You are on page 1of 23

13

BAB II
GAGAL JANTUNG KONGESTIF

2.1 PENDAHULUAN
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan
merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung.
Gagal Jantung menjadi perhatian dunia kesehatan, mulai dari insidensi dan angka
perawatan di rumah sakit serta biaya perawatannya yang terus meningkat.
1
Diperkirakan 1-2% dari seluruh jumlah populasi dewasa di negara maju
memiliki gagal jantung dengan prevalensi yang meningkat sebanyak 10% pada
usia dai atas 70 tahun.
1
Penelitian lain menyebutkan bahwa diperkirakan 670.000
kasus gagal jantung baru di US setiap tahunnya mengenai usia di atas 45 tahun.
Insidensi gagal jantung meningkat pada usia yang lebih tua, untuk usia 65-74
tahun dengan angka 9.200 kasus/tahun untuk laki-laki dan 4.700 kasus/tahun
untuk wanita. Pada usia 75-84 tahun, angka insidensi 22.300 kasus/tahun untuk
laki-laki dan 14.800 kasus/tahun untuk perempuan. Sedangkan usia 75-84 tahun,
angka insidensinya adalah 41.900 kasus/tahun untuk laki-laki dan 32.700
kasus/tahun untuk perempuan. Secara umum, terjadi peningkatan sebanyak 20%
untuk menjadi kasus gagal jantung pada usia di atas 40 tahun.
1
Angka perawatan gagal jantung di rumah sakit juga meningkat 3 kali lipat
pada penelitian prospektif yang telah dilakukan pada tahun 1979 hingga 2004, hal
ini sesuai peningkatan usia harapan hidup dan kemajuan pengobatan kardiologi,
sehingga kasus yang ditemui juga lebih banyak.
1

Prevalensi gagal jantung di negara berkembang cukup tinggi dan makin
meningkat. Setengah dari pasien yang terdiagnosis gagal jantung masih punya
harapan hidup 5 tahun. Penelitian Framingham menunjukkan mortalitas 5 tahun
sebesar 62% pada pria dan 42% wanita.
1
Gagal jantung juga menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama
pada beberapa negara industri maju dan negara berkembang seperti Indonesia.
Sindroma gagal jantung ini merupakan masalah yang penting pada usia lanjut,
dikarenakan prevalensi yang tinggi dengan prognosis yang buruk. Prevalensi

14

gagal jantung kongetif akan meningkat seiring dengan meningkatnya populasi
usia lanjut, karena populasi usia lanjut dunia bertambah dengan cepat dibanding
penduduk dunia seluruhnya, relatif bertambah besar pada negara berkembang
termasuk Indonesia.
1
Gagal jantung susah dikenali secara klinis, karena beragamnya
keadaan klinis serta tidak spesifik serta hanya sedikit tanda-tanda klinis pada
tahap awal penyakit. Perkembangan terkini memungkinkan untuk mengenali
gagal jantung secara dini serta perkembangan pengobatan yang memperbaiki
gejala klinis, kualitas hidup, penurunan angka perawatan, memperlambat
progresifitas penyakit dan meningkatkan kelangsungan hidup.
2

2.2 DEFINISI SERTA KLASIFIKASI
Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi
dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul
dengan atau tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa
gangguan fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau
ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan
kematian pada pasien.
3
Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal
jantung kanan. Gagal jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal
jantung kronis dekompensasi, serta gagal jantung kronis.
3


Gagal Jantung Kiri
3

Peningkatan tekanan atrium kiri meningkatkan tekanan vena pulmonalis
dan menyebabkan kongesti paru dan akhirnya edema alveolar, mengakibatkan
sesak nafas, batuk, dan terkadang hemoptisis.
Manifestasi klinis gagal jantung kiri yaitu : Penurunan kapasitas aktivitas,
dispnu awalnya timbul pada aktivitas namun bila gagal ventrikel kiri berlanjut
dapat terjadi saat istirahat, menyebabkan dispnue nocturnal paroksismal
(paroxysmal nocturnal dyspnoea/PND), batuk (hemoptisis), letargi dan kelelahan,
penurunan nafsu makan dan berat badan, kulit lembab, tekanan darah (tinggi,
rendah, atau normal), denyut nadi (volume normal atau rendah) atau irregular

15

karena ektopik atau AF. Pulsus alternans dapat ditemukan pergeseran apeks ke
lateral (dilatasi LV), pada auskultasi didapat bunyi jantung ketiga (S3), gallop dan
murmur total dari regurgitasi mitral sekunder, krepitasi paru karena edema
alveolar.


Secara klasik, kongesti dan edema pulmoner yang disebabkan oleh
gangguan aliran keluar darah dari paru-paru. Berkurangnya perfusi darah renal
(karena berkurangnya curah jantung) yang menyebabkan retensi garam (dan air
yang menyertai) untuk meningkatkan volume darah. Nekrosis tubuler akut karena
iskemia. Gangguan ekskresi zat sisa sehingga terjadi azotemia renal.
Berkurangnya perfusi darah pada sistem saraf pusat, yang sering menyebabkan
ensefalopati hipoksia, dengan gejala yang berkisar dari iritabilitas hingga koma.


Gagal Jantung Kanan
3

Gagal jantung kanan paling sering disebabkan oleh gagal jantung kiri .
Gagal jantung kanan yang sejati dapat terjadi karena penyakit katup trikuspid atau
pulmonalis atau karena penyakit vaskular pulmoner atau penyakit intrinstik
pulmoner yang menghalangi aliran keluar darah dari ventrikel kanan.

Manifestasi gagal jantung kanan adalah :Pembengkakan pergelangan kaki,
dispnu (namun bukan ortopnu atau PND), penurunan kapasitas aktivitas, nyeri
dada. Memiliki tanda-tanda berupa denyut nadi (aritmia takikardi), peningkatan
JVP, edema, hepatomegali dan asites, gerakan bergelombang parasternal, S3 atau
S4 RV, efusi pleura.
Kongesti portal, sistemik, dan edema dependen perifer, misalnya kaki,
pergelangan kaki, sakrum engan disertai efusi. Hepatomegali dengan kongesti
sentrilobuler dan atrofi hepatosit sentral. (kongesti pasif yang kronik).
Splenomegali kongestif dengan dilatasi sinusoid, perdarahan fokal, endapan
hemosiderin dan fibrosis.

Gagal Jantung Sistolik
3
Gagal jantung sistolik (ejection fraction depressed) adalah suatu keadaan
yang menggambarkan penurunan kemampuan otot jantung untuk berkontraksi dan
memompa darah melawan perlawanan sistemik vaskular, yang biasanya

16

meningkat. Penyakit arteri koroner (CAD) adalah penyebab utama gagal jantung
pada umumnya dan disfungsi sistolik khususnya, terhitung untuk 60-75% dari
semua kasus di negara-negara industri. Baik hipertensi (tekanan darah tinggi) dan
diabetes berinteraksi dengan kecenderungan genetik yang meningkat untuk
berkembang menjadi CAD, seperti halnya dislipidemia.
Etiologi lain termasuk nonischemic cardiomyopathy idiopatik, penyakit
katup jantung, myocarditis, alkohol dan obat-obatan. Demam rheumatik tetap
penyebab utama gagal jantung di Afrika dan Asia, terutama pada penduduk muda.

Gagal Jantung Diastolik
3
Gagal jantung diastolik (preserved ejection fraction) adalah suatu keadaan
dimana kontraktilitas otot jantung masih utuh atau mengalami peningkatan,
namun, fase relaksasi siklus jantung terganggu. Ruangan jantung menjadi tebal
dan kaku. Resistensi vaskular meningkat untuk meningkatkan volume pengisian
ke jantung. Penyebab paling umum gagal jantung diatolik adalah hipertensi, yang
juga berkontribusi bagi perkembangan penyakit arteri koroner dan disfungsi
sistolik.
Penyebab lain yang jarang termasuk Hypertrophy Primer
cardiomyopathy, penyakit katup jantung, cardiomyopathy terbatas, amiloidosis,
dan constrictive pericarditis.
3
Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam
pengenalan dan penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara
lain pembagian berdasarkan Killip yang digunakan pada Infark Miokard
Akut, klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu klasifikasi Forrester,
Stevenson dan NYHA.
3
Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard
akut, dengan pembagian
3
:
- Derajat I : Tanpa gagal jantung
- Derajat II : Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3
galop dan peningkatan tekanan vena pulmonalis
- Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan paru.

17

- Derajat IV : Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik 90
mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan
diaforesis).
Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat
tanda kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea,
distensi vena juguler, ronki basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara
jantung pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada
manuver valsava.
Status perfusi ditetapkan berdasarkan adanya tekanan nadi yang
sempit, pulsus alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan
penurunan kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut basah (wet) yang
tidak disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin
(cold) dan yang tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut penderta
dibagi menjadi empat kelas, yaitu:
- Kelas I (A) : kering dan hangat (dry warm)
- Kelas II (B) : basah dan hangat (wet warm)
- Kelas III (L) : kering dan dingin (dry cold)
- Kelas IV (C) : basah dan dingin (wet cold)

2.3 ETIOLOGI
Penyakit arteri koroner dan hipertensi di negara maju merupakan
penyebab terbanyak sedangkan di negara berkembang yang menjadi penyebab
terbanyak adalah penyakit jantung katup dan penyakit jantung akibat
malnutrisi.
4

Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai
penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita.

Faktor
risiko koroner seperti diabetes dan merokok, berat badan, tingginya rasio
kolesterol total dengan HDL, hipertensi juga merupakan faktor yang dapat
berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung, termasuk Hipertensi
ventrikel kiri yang dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik
dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk
terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun ventrikel. Ekokardiografi

18

yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan
perkembangan gagal jantung.
4
Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang
bukan disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung
kongenital, katup ataupun penyakit pada perikardial. Kardiomiopati dibedakan
menjadi empat kategori fungsional : dilatasi (kongestif), hipertrofik, restriktif
dan obliterasi.
4
Kardiomiopati dilatasi merupakan penyakit otot jantung dimana terjadi
dilatasi abnormal pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan.
Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit pada jaringan ikat seperti
SLE, sindrom Churg-Strauss dan poliarteritis nodosa.
4

Kardiomiopati hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan
(autosomal dominan) meski secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai
dengan adanya kelainan pada serabut miokard dengan gambaran khas
hipertrofi septum yang asimetris yang berhubungan dengan obstruksi outflow
aorta (kardiomiopati hipertrofik obstruktif).
4
Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance
ventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan
fungsi diastolik (relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel.
4,5

Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik,
walaupun saat ini sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju.
Penyebab utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan
stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan
kelebihan beban volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta
menimbulkan beban tekanan (peningkatan afterload).
4

Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan
dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada
penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul
bersamaan.
4
Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal
jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi).
Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi

19

(penyakit otot jantung alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2-3%
dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi
tiamin.
4
Obat-obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi
seperti doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan
gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung.
4
Meskipun gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat dari sebagian besar
bentuk penyakit jantung, di Amerika Serikat dan Eropa Barat, penyakit jantung
iskemik bertanggung jawab sebanyak tiga perempat dari semua kasus.
Kardiomiopati menempati urutan kedua, sementara kasus bawaan, penyakit katup
jantung, dan penyakit jantung hipertensi adalah penyebab lain yang posisinya
terletak di bawah dua penyebab di atas. Hal ini penting untuk mengidentifikasi
potensi pengobatan penyebab gagal jantung, seperti ketiga kelompok di atas.
5
Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam
pengenalan dan penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara lain
pembagian berdasarkan Killip yang digunakan pada infark miokard akut,
klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu klasifikasi NYHA dan American
College of Cardiology/American College Heart Association.

Berdasarkan klasifikasi fungsional NYHA (New York Heart Association)
yaitu :
6
I. Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktivitas fsik. Aktivitas fisik
sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi, atau sesak.
II. Terdapat batas aktivitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat istirahat,
namun aktivitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi, atau
sesak nafas.
III. Terdapat batasan aktivitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat istirahat,
tetapi aktifitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak.
IV. Tidak terdapat batasan aktivitas fisik tanpa keluhan, terdapat gejala saat
istirahat. Keluhan meningkat sat melakukan aktivitas.



20

Klasifikasi Gagal jantung menurut American College of Cardiology/
American College Heart Associationyaitu :
6
Stadium A : Memiliki resiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung.
tidak terdapat gangguan fungsional jantung, tidak terdapat tanda
atau gejala.
Stadium B : Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang berhubungan
dengan perkembangan gagal jantung, tidak terdapat tanda atau
gejala.
Stadium C : Gagal jantung yang simtomatis berhubungan dengan penyakit
Struktural jantung yang mendasari.
Stadium D : Penyakit struktural jantung yang lanjut serta gagal jantung yang
sangat bermakna saat istirahat walaupun sudah mendapat terapi
medis maksimal.

2.4 PATOFISIOLOGI
Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi
gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf
simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks.
4
Gagal jantung kongestif terjadi sewaktu kontraktilitas jantung berkurang
dan ventrikel tidak mampu memompa keluar darah sebanyak yang masuk selama
diastol. Hal ini menyebabkan volume diastolik akhir ventrikel secara progresif
bertambah. Peningkatan progresif volume diastolik akhir, sel-sel otot ventrikel
mengalami peregangan melebihi panjang optimumnya sehingga serat-serat otot
tertinggal dalam kurva panjang-tegangan. Tegangan yang dihasilkan menjadi
berkurang karena ventrikel teregang oleh darah. Semakin terisi berlebihan
ventrikel, semakin sedikit darah yang dapat dipompa keluar sehingga akumulasi
darah dan peregangan serat otot bertambah. Akibatnya volume sekuncup curah
jantung dan tekanan darah turun.
5

Penurunan tekanan darah dirasakan oleh baroreseptor. Hal ini terjadi
karena respon-respon reflek tersebut menyebabkan peningkatan pengisian
ventrikel (preload) atau semakin menurunkan volume sekuncup dengan
meningkatkan afterload yang harus dilawan oleh kerja pompa ventrikel.

21

Peningkatan preload dan afterload menyebabkan peningkatan beban kerja
dan kebutuhan oksigen jantung. Kebutuhan oksigen yang meningkat tidak dapat
terpenuhi hingga serat-serat otot menjadi hipoksik sehingga kontraktilitas
berkurang. Siklus perburukan gagal jantung terus berulang. Refleks terus
menyebabkan peningkatan pengisian dan peregangan jantung dan/atau afterload.
Maka tekanan darah terus berada di bawah normal, sehingga refleks-refleks
tersebut tetap dipertahankan dan ditingkatkan. Gagal jantung akan berlanjut,
kecuali siklus pengisian berlebihan darah dapat ditangani.
5
Bila curah jantung oleh suatu keadaan menjadi tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan metabolism tubuh, maka jantung akan memakai mekanisme
kompensasi. Mekanisme kompensasi ini dipakai untuk mengatasi beban kerja,
diupayakan memelihara tekanan darah yang masih memadai untuk perfusi alat-
alat vital. Mekanisme ini mencakup :
7
1. Mekanisme Frank-Starling
2. Pertumbuhan hipertrofi ventrikel
3. Aktivitas neurohormonal
4. Sistem saraf adrenergik
5. Sistem Renin Angiotensin
6. Hormon antidiuretic

Mekanisme Frank Starling
7

Mekanisme Frank-Starling berarti makin besar otot jantung diregangkan
selama pengisian, makin besar kekuatan kontraksi dan makin besar pula jumlah
darah yang dipompa ke dalam aorta atau arteri pulmonalis.

Penurunan isi sekuncup mengakibatkan pengosongan ruang yang tidak
sempurna sewaktu jantung berkontraksi sehingga volume darah yang menumpuk
dalam ventrikel semasa diastole lebih tinggi dibandingkan normal. Hal ini bekerja
sebagai mekanisme kompensasi karena kenaikan beban awal (atau volume akhir
diastolik) merangsang isi sekuncup yang lebih besar pada kontraksi berikutnya,
yang membantu mengosongkan ventrikel kiri yang membesar.




22

Hipertrofi Ventrikel
7

Stres pada dinding ventrikel meningkat akibat dilatasi (peningkatan radius
ruang)atau beban akhir yang tinggi (misalnya pada stenosis aortik atau hipertensi
yang tidak terkendali.


Peningkatan volume akhir diastol juga akan meningkatkan tekanan di
dinding ventrikel yang jika terjadi terus-menerus, maka akan merangsang
pertumbuhan hipertrofi ventrikel. Terjadinya hipertrofi ventrikel berfungsi untuk
mengurangi tekanan dinding dan meningkatkan massa serabut otot sehingga
memelihara kekuatan kontraksi ventrikel. Dinding ventrikel yang mengalami
hipertrofi akan meningkat kekakuannya (elastisitas berkurang) sehingga
mekanisme kompensasi ini selalu diikuti dengan penigkatan tekanan diastolik
ventrikel yang selanjutnya juga menyebabkan peningkatan tekanan atrium kiri.


Aktivasi Neurohormonal
7

Perangsangan neurohormonal merupakan mekanisme kompensasi yang
mencakup sistem saraf adrenergic, sistem rennin angiotensin, peningkatan
produksi hormone antidiuretik, semua sebagai jawaban terhadap penurunan curah
jantung. Semua mekanisme meningkatkan tahanan pembuluh sistemik, sehingga
mengurangi setiap penurunan tekanan darah. Selanjutnya menyebabkan retensi
garam dan air yang pada awalnya bermanfaat meningkatkan volume intravaskuler
dan beban awal ventrikel kiri, memaksimalkan isi sekuncup melalui mekanisme
Frank starling.


Sistem Syaraf Adrenergik
7

Penurunan curah jantung oleh reseptor-reseptor di sinus karotis dan arkus
aorta sebaga penurunan perfusi. Reseptor ini mengurangi laju pelepasan rangsang
sebanding dengan penurunan tekanan darah. Arus simpatis ke jantung dan
sirkulasi perifer meningkat dan tonus parasimpatis berkurang. Ada tiga hal yang
segera terjadi, yaitu :

1. Peningkatan laju debar jantung
2. Peningkatan kontraktilitas ventrikel

23

3. Vasokonstriksi akibat stimulasi reseptor-reseptor alfa pada vena-vena dan
arteri sistemik.
Konstriksi arteriolar pada gagal jantung meningkatkan tahanan pembuluh
perifer sehingga membantu memelihara tekanan darah.


Sistem Renin Angiotensin
7

Penurunan perfusi ginjal menyebabkan stimulasi sistem rennin angiotensin
aldosteron (RAA) yang menyebabkan peningkatan kadar renin, angiotensin II
plasma, dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor kuat pada
arteriol eferen (dan sistemik) ginjal, yang menstimulasi pelepasan norepinefrin
(noradrenalin) dari ujung saraf simpatik, menghambat tonus vagal, dan membantu
pelepasan aldosteron dari adrenal, menyebabkan retensi natrium dan air serta
ekskresi kalium di ginjal. Gangguan fungsi hati pada gagal jantung dapat
menurunkan metabolisme aldosteron, sehingga meningkatkan kadar aldosteron
lebih lanjut.

Gambar 1. Mekanisme Sistem Renin Angiotensin

Hormon Antidiuretik
7

Pada gagal jantung, sekresi hormone antidiuretik oleh kelenjar hipofisis
posterior meningkat, karena rangsang terhadap baroreseptordi arteri dan atrium
kiri serta oleh kadar Angitensin II meningkat dalam sirkulasi.


24

Hormon antidiuretik berperan meningkatkan volume intravaskuler karena
ia meningkatkan retensi cairan melalui nefron distal. Kenaikan cairan
intravaskuler inilah yang meningkatkan beban awal ventrikel kiri dan curah
jantung.
Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan
peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada
pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi
endoteli-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan derajatgagal jantung.
Selain itu juga berhubungan dengan tekanan pulmonary artery capillary wedge
pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah dikembangkan endotelin-1
antagonis sebagai obat kardioprotektor yang bekerja menghambat terjadinya
remodeling vascular dan miokardial akibat endotelin.
5


2.5 DIAGNOSIS
Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala
dan tanda seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP,
hepatomegali, edema tungkai.
8,9,10

Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis
adanya gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi,
pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes fungsi paru.
2,11,12

Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran
siluet jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena
pulmonalis terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena
pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul gambaran cairan pada fisura
horizontal dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus. Bila tekanan lebih
dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru yang
menunjukkan adanya udema paru bermakna. Dapat pula tampak gambaran
efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak terkena adalah
bagian kanan.
8,10

Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada
hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal
dapat dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara

25

lain gelombang Q, abnormalitas ST-T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch
block dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya
menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai
penyebab dispneu pada pasien sangat kecil kemungkinannya.
8

Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna
pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif
mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan
ekokardiografi adalah : semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas
yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi
atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard
anterior, hipertensi tak terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat
mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya
gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli.
8

Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia
sebagai penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit
dasar serta komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya
kemampuan mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional,
karena itu adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang
berat.
Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui
adanya gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis
apabila terjadi peningkatan serum kreatinin setelah pemberian angiotensin
converting enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi.
Pada gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat
terjadi pada pemberian diuretik tanpa suplementasi kalium dan obat
potassium sparring. Hiperkalemia timbul pada gagal jantung berat dengan
penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium
sparring.
8
Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan
LDH) gambarannya abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid,
albumin serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan. Pemeriksaaan

26

penanda BNP sebagai penanda biologis gagal jantung dengan kadar BNP
plasma 100pg/ml dan plasma NT-proBNP adalah 300 pg/ml.
3,8,12,13,14

Pemeriksaan radionuclide atau multigated ventrikulografi dapat
mengetahui ejection fraction, laju pengisisan sistolik, laju pengosongan diastolik
dan abnormalitas dari pergerakan dinding. Angiografi dikerjakan pada nyeri dada
berulang akibat gagal jantung. Angiografi ventrikel kiri dapat mengetahui
gangguan fungsi yang global maupun segmental serta mengetahui tekanan
diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan
arteri pulmonalis) serta pulmonary artery capillary wedge pressure.
8,15


Gambar 2.Alur Diagnostik pada Gagal Jantung




27



Selain itu kriteria Firmingham dapat digunakan untuk diagnosis gagal
jantung kongestif. Menurut Framingham kriterianya gagal jantung kongestif ada 2
kriteria yaitu kriteria mayor dan kriteria minor. Adapun kriterianya adalah sebagai
berikut:
12
a. Kriteria mayor terdiri dari:

1) Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
2) Peningkatan tekanan vena jugularis
3) Ronkhi basah tidak nyaring
4) Kardiomegali
5) Edema paru akut
6) Gallop di S3
7) Refluks hepatojugular
b. Kriteria minor terdiri dari:

1) Edema pergelangan kaki
2) Batuk malam hari
3) Dyspnea d effort
4) Hepatomegali
5) Efusi pleura
6) Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
7) Takikardi
Diagnosis ditegakkan dari dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan
dua kriteria minor harus ada di saat bersamaan.
2.6 PENANGANAN
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan
secara non farmakologis dan secara farmakologis, keduanya dibutuhkan
karena akan saling melengkapi untuk penatalaksaan penderita gagal jantung.
Penatalaksanaan gagal jantung baik itu akut dan kronik ditujukan untuk
memperbaiki gejala dan prognosis, meskipun penatalaksanaan secara
individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi sehingga semakin

28

cepat kita mengetahui penyebab gagal jantung akan semakin baik
prognosisnya.
3,13

Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat dikerjakan antara lain
adalah dengan menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, pengobatan
serta pertolongan yang dapat dilakukan sendiri. Perubahan gaya hidup seperti
pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan pada penderita dengan
kegemukan. Pembatasan asupan garam, konsumsi alkohol, serta pembatasan
asupan cairan perlu dianjurkan pada penderita terutama pada kasus gagal
jantung kongestif berat. Penderita juga dianjurkan untuk berolahraga karena
mempunyai efek yang positif terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel
serta neurohormonal dan juga terhadap sensitifitas terhadap insulin meskipun
efek terhadap kelangsungan hidup belum dapat dibuktikan.
Gagal jantung kronis mempermudah dan dapat dicetuskan oleh infeksi
paru sehingga vaksinasi terhadap influenza dan pneumococal perlu
dipertimbangkan. Profilaksis antibiotik pada operasi dan prosedur gigi diperlukan
terutama pada penderita dengan penyakit katup primer maupun pengguna
katup prostesis.
13

Penatalaksanaan gagal jantung kronis meliputi penatalaksaan non
farmakologis dan farmakologis. Gagal jantung kronis bisa terkompensasi
ataupun dekompensasi. Gagal jantung terkompensasi biasanya stabil, dengan
tanda retensi air dan edema paru tidak dijumpai. Dekompensasi berarti
terdapat gangguan yang mungkin timbul adalah episode udema paru akut
maupun malaise, penurunan toleransi latihan dan sesak nafas saat aktifitas.
Penatalaksaan ditujukan untuk menghilangkan gejala dan memperbaiki
kualitas hidup. Tujuan lainnya adalah untuk memperbaiki prognosis serta
penurunan angka rawat.
14
Obat-obat yang biasa digunakan untuk gagal jantung kronis antara lain:
diuretik (loop dan thiazide), angiotensin converting enzyme inhibitors, blocker
(carvedilol, bisoprolol, metoprolol), digoxin, spironolakton, vasodilator
(hydralazine /nitrat), antikoagulan, antiaritmia, serta obat positif inotropik.
14-15

Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5-2
l/hari) dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring jangka

29

pendek dapat membantu perbaikan gejala karena mengurangi metabolisme
serta meningkatkan perfusi ginjal. Pemberian heparin subkutan perlu diberikan
pada penderita dengan imobilitas.
14
Pemberian antikoagulan diberikan pada pemderita dengan fibrilasi
atrium, gangguan fungsi sistolik berat dengan dilatasi ventrikel.
13
Penderita gagal
jantung akut datang dengan gambaran klinis dispneu, takikardia serta cemas,
pada kasus yang lebih berat penderita tampak pucat dan hipotensi. Adanya trias
hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg), oliguria serta cardiac output
yang rendah menunjukkan bahwa penderita dalam kondisi syok kardiogenik.
Gagal jantung akut yang berat serta syok kardiogenik biasanya timbul
pada infark miokard luas, aritmia yang menetap (fibrilasi atrium maupun
ventrikel) atau adanya problem mekanis seperti ruptur otot papilari akut
maupun defek septum ventrikel pasca infark.
3,15
Gagal jantung akut yang berat
merupakan kondisi emergensi dimana memerlukan penatalaksanaan yang tepat
termasuk mengetahui penyebab, perbaikan hemodinamik, menghilangan
kongesti paru, dan perbaikan oksigenasi jaringan.
3

Menempatkan penderita dengan posisi duduk dengan pemberian
oksigen konsentrasi tinggi dengan masker sebagai tindakan pertama yang
dapat dilakukan. Monitoring gejala serta produksi kencing yang akurat
dengan kateterisasi urin serta oksigenasi jaringan dilakukan di ruangan
khusus. Base excess menunjukkan perfusi jaringan, semakin rendah menunjukkan
adanya asidosis laktat akibat metabolisme anerob dan merupakan prognosa yang
buruk. Koreksi hipoperfusi memperbaiki asidosis, pemberian bikarbonat hanya
diberikan pada kasus yang refrakter.
13

Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan menyebabkan
venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis. Loop
diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin vasdilator renal. Efek ini
dihambat oleh prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi non steroid,
sehingga harus dihindari bila memungkinkan.
3,16

Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin penting dalam
penatalaksanaan gagal jantung akut berat karena dapat menurunkan
kecemasan, nyeri dan stress, serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat juga

30

menurunkan preload dan tekanan pengisian ventrikel serta udem paru. Dosis
pemberian 2-3 mg intravena dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
3

Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi
preload serta tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan
angina serta gagal jantung. Pada dosis rendah bertindak sebagai vasodilator
vena dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi arteri
termasuk arteri koroner. Sehingga dosis pemberian harus adekuat sehingga
terjadi keseimbangan antara dilatasi vena dan arteri tanpa mengganggu perfusi
jaringan. Kekurangannya adalah teleransi terutama pada pemberian intravena
dosis tinggi, sehingga pemberiannya hanya 16 24 jam.
3,17
Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang diberikan
pada gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal jantung yang disertai
krisis hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari pada gagal ginjal berat
dan gangguan fungsi hati. Dosis 0,3 0,5 g/kg/menit.
3,17
Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan vasodilator.
Nesiritide adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan
ventrikel. Pemberiannya akan memperbaiki hemodinamik dan neurohormonal,
dapat menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan menurunkan kadar
epinefrin, aldosteron dan endotelin di plasma. Pemberian intravena
menurunkan tekanan pengisian ventrikel tanpa meningkatkan laju jantung,
meningkatkan stroke volume karena berkurangnya afterload. Dosis
pemberiannya adalah bolus 2 g/kg dalam 1 menit dilanjutkan dengan infus 0,01
g/kg/menit.
3

Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung akut
yang disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan/atau
vasodilator digunakan pada penderita gagal jantung akut dengan tekanan darah
85-100 mmHg. Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka inotropik dan/atau
vasopressor merupakan pilihan. Peningkatan tekanan darah yang berlebihan
akan dapat meningkatkan afterload. Tekanan darah dianggap cukup memenuhi
perfusi jaringan bila tekanan arteri rata - rata > 65 mmHg.
1,3,13

Pemberian dopamin 2 g/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi pembuluh
darah splanknik dan ginjal. Pada dosis 2-5 g/kg/mnt akan merangsang reseptor

31

adrenergik beta sehingga terjadi peningkatan laju dan curah jantung. Pada
pemberian 5-15 g/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik alfa dan beta
yang akan meningkatkan laju jantung serta vasokonstriksi. Pemberian dopamin
akan merangsang reseptor adrenergik 1 dan 2, menyebabkan berkurangnya
tahanan vaskular sistemik (vasodilatasi) dan meningkatnya kontraktilitas.
Dosis umumnya 2-3 g/kg/mnt, untuk meningkatkan curah jantung diperlukan
dosis 2,5-15 g/kg/mnt. Pada pasien yang telah mendapat terapi penyekat
beta, dosis yang dibutuhkan lebih tinggi yaitu 15-20 g/kg/mnt.
3
Phospodiesterase inhibitor menghambat penguraian cyclic-AMP menjadi
AMP sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan inotropik jantung. Yang
sering digunakan dalam klinik adalah milrinone dan enoximone. Biasanya
digunakan untuk terapi penderia gagal jantung akut dengan hipotensi yang telah
mendapat terapi penyekat beta yang memerlukan inotropik positif. Dosis
milrinone intravena 25 g/kg bolus 10-20 menit kemudian infus 0,375-0,75
g/kg/mnt. Dosis enoximone 0,25-0,75 g/kg bolus kemudian 1,25-7,5
g/kg/mnt.
3
Pemberian vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung akut
yang disertai syok kardiogenik dengan tekanan darah < 70 mmHg. Penderita
dengan syok kardiogenik biasanya dengan tekanan darah < 90 mmHg atau
terjadi penurunan tekanan darah sistolik 30 mmHg selama 30 menit. Obat yang
biasa digunakan adalah epinefrin dan norepinefrin. Epinefrin diberikan infus
kontiniu dengan dosis 0,05-0,5 g/kg/mnt. Norepinefrin diberikan dengan dosis
0,2-1 g/kg/mnt.
3

Penanganan yang lain adalah terapi penyakit penyerta yang menyebabkan
terjadinya gagal jantung akut de novo atau dekompensasi. Yang tersering
adalah penyakit jantung koroner dan sindrom koroner akut. Bila penderita
datang dengan hipertensi emergensi pengobatan bertujuan untuk menurunkan
preload dan afterload. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat
seperti loop diuretik intravena, nitrat atau nitroprusside intravena maupun
natagonis kalsium intravena (nicardipine).
3
Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah pompa balon intra
aorta, pemasangan pacu jantung, implantable cardioverter defibrilator,

32

ventricular assist device. Pompa balon intra aorta ditujukan pada penderita
gagal jantung berat atau syok kardiogenik yang tidak memberikan respon
terhadap pengobatan, disertai regurgitasi mitral atau ruptur septum interventrikel.
Pemasangan pacu jantung bertujuan untuk mempertahankan laju jantung dan
mempertahankan sinkronisasi atrium dan ventrikel, diindikasikan pada penderita
dengan bradikardia yang simtomatik dan blok atrio-ventrikular derajat tinggi.
Implantable cardioverter device bertujuan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel dan
takikardia ventrikel. Vascular Assist Device merupakan pompa mekanis yang
mengantikan sebgaian fungsi ventrikel, indikasi pada penderita dengan syok
kardiogenik yang tidak respon terhadap terapi terutama inotropik.
1,3
























33

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi
dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul
dengan atau tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa
gangguan fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau
ketidaksesuaian preload dan afterload. Untuk mempertahankan fungsi sirkulasi
yang adekuat, maka di dalam tubuh terjadi refleks hemostasis atau mekanisme
kompensasi melalui mekanisme Frank Starling, pertumbuhan hipertrofi ventrikel,
aktifasi neurohormonal, sistem saraf adrenergik, sistem Renin Angiotensin, dan
hormone antidiuretik.
Gagal jantung dapat disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati, penyakit
katup jantung, kongenital (ASD/VSD), aritmia, alkohol, obat-obatan, penyakit
arteri koroner, malnutrisi. Faktor risiko koroner antara lain adalah diabetes,
merokok, berat badan, tingginya rasio kolesterol total dengan HDL dan hipertensi.
Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala
dan tanda seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP,
hepatomegali, edema tungkai. Selain itu kriteria Firmingham dapat digunakan
untuk diagnosis gagal jantung kongestif. Menurut Framingham kriterianya gagal
jantung kongestif ada 2 kriteria yaitu kriteria mayor dan kriteria minor.
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan
secara non farmakologis dan farmakologis, dimana penatalaksanaan gagal
jantung baik itu akut dan kronik ditujukan untuk memperbaiki gejala dan
prognosisnya.







34

DAFTAR PUSTAKA

1. Maggioni AP. Review of the new ESC guidelines for the harmacological
management of chronic heart failure. European Heart Journal Supplements
2005;7 (Supplement J):J15-J20.
2. Davis RC, Hobbs FDR, Lip GYH. ABC of heart failure: History and
epidemiology. BMJ 2000;320:39-42.
3. Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S.
Diagnosis dan tatalaksana praktis gagal jantung akut. 2007.
4. Lip GYH, Gibbs CR, Beevers DG. ABC of heart failure: aetiology. BMJ
2000;320:104-7.
5. Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and
restrictive). In: Dec GW, editor. Heart failure a comprehensive guide to
diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker; 2005.p.137-56.
6. Jackson G, Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH. ABC of heart failure:
pathophysiology. BMJ 2000;320:167-70.
7. McNamara DM. Neurohormonal and cytokine activation in heart failure. In:
Dec GW, editors. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and
treatment. New York: Marcel Dekker; 2005.p.117-36.
8. Davies MK, Gibbs CR, Lip GYH. ABC of heart failure: investigation.
BMJ 2000;320:297-300
9. Hobbs FDR, Davis RC, Lip GYH. ABC of heart failure: heart failure in
general practice. BMJ 2000;320:626-9.
10. Nieminen MS. Guideline on the diagnosis and treatment of acute heart failure
full text the task force on acute heart failure of the european society of
cardiology. Eur Heart J 2005.
11. Senni M, Tribouilloy CM, Rodeheffer RJ, Jacobsen SJ, Evans JM, Bailey
KR, Redfield NM. Congestive heart failure in the community trends in
incidence and survival in 10-year period. Arch Intern Med 1999;159:29-34.
12. Watson RDS, Gibbs CR, Lip GY H. ABC of heart failure: clinical features
and complications. BMJ 2000;320:236-9.



35

13. Gibbs CR, Jackson G, Lip GYH. ABC of heart failure: non-drug
management. BMJ 2000;320:366-9
14. Lee TH. Practice guidelines for heart failure management. In: Dec GW,
editors. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment. New
York: Marcel Dekker; 2005.p.449-65.
15. Millane T, Jackson G, Gibbs CR, Lip GYH. ABC of heart failure: acute
and chronic management strategies. BMJ 2000;320:559-62.
16. Davies MK, Gibbs CR, Lip GYH. ABC of heart failure: management:
diuretics, ACE inhibitors, and nitrates. BMJ 2000;320:428-31.

You might also like