You are on page 1of 40

BLOK NEURO BEHAVIOR

Dosen Pengampu: Ns Desi Ariyana Rahayu M.Kep


Latar belakang
Gangguan jiwa merupakan gangguan pikiran,
perasaan atau tingkah laku sehingga menimbulkan
penderitaan dan terganggunya fungsi sehari-hari.
Gangguan jiwa meskipun tidak menyebabkan
kematian secara langsung tetapi menimbulkan
penderitaan yang mendalam bagi individu serta beban
berat bagi keluarga (Townsend, 2002).

Salah satu bentuk gangguan jiwa yang umum terjadi
adalah skizoprenia. Sedangkan halusinasi merupakan
gejala yang paling sering muncul pada pasien
skizoprenia, dimana sekitar 70% dari penderita
skizoprenia mengalami halusinasi (Mansjoer, 1999).
Pengertian
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan
persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang
sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra
tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan
yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa
stimulus eksteren/ persepsi palsu yang terjadi dalam
kehidupan sadar atau bangun, dasarnya mungkin
organik, fungsional, psikopatik ataupun histerik
(Maramis, 2005).
Halusinasi adalah salah persepsi yang diterima
pancaindera dan berasal dari stimulus eksternal yang
biasanya tidak diinterpretasikan kedalam pengalaman
(Brooker, 2005).
Halusinasi adalah satu persepsi yang salah oleh panca
indera tanpa adanya rangsang (stimulus) eksternal
(Cook & Fontain, 1987).
Kemudian Sunaryo (2004) menjelaskan bahwa halusinasi
merupakan bentuk kesalahan pengamatan tanpa
pengamatan objektivitas penginderaan dan tidak disertai
stimulus fisik yang adekuat.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan halusinasi adalah
suatu keadaan dimana seseorang mengalami satu
gangguan sensori persepsi terhadap lingkungan sekitar
tanpa ada stimulus luar baik secara penglihatan,
pendengaran, pengecapaan, perabaan dan penciuman.
Rentang respon neurobiologis
Klasifikasi
Stuart dan Laraia (2001), membagi halusinasi menjadi
tujuh jenis, meliputi: halusinasi pendengaran
(auditory), halusinasi penglihatan (visual), halusinasi
penghidu (olfactory), halusinasi pengecapan
(gustatory), halusinasi perabaan (tactile), halusinasi
cenesthetic, dan halusinasi kinesthetic.
1. Halusinasi pendengaran, seperti mendengar suara-
suara atau kebisingan, paling sering suara orang
2. Halusinasi penglihatan, stimulus visual dalam
bentuk kilatan cahaya, gambar geometris, gambar
kartun, bayangan yang rumit atau kompleks.
Bayangan bisa menyenangkan atau menakutkan
seperti melihat monster.
3. Halusinasi penghidu, klien membaui bau- bauan
tertentu seperti bau darah, urin, atau feses,
umumnya bau-bauan yang tidak rnenyenangkan
4. Halusinasi pengecapan, klien merasa mengecap rasa
seperti rasa darah, urinatau feses.
5. Halusinasi cenesthetic, yaitu merasakan fungsi tubuh
seperti aliran darah divena atau arteri, pencernaan
makanan, atau pembentukan urin.
6. Halusinasi kinesthetic, yaitu merasakan pergerakan
sementara berdiri tanpa bergerak

7. Halusinasi perabaan, dimana klien mengalami nyeri
atau ketidak nyamanan tanpa stimulus yang jelas,
seperti rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah,
benda mati, atau orang lain.
D. Etiologi

1. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi
adalah:
a. Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan
dengan respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai
dipahami
b. Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi
respon dan kondisi psikologis klien.
c. Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita
seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan,
bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.
2. Faktor Presipitasi
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan
halusinasi adalah:
a. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk
dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara
selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk
diinterpretasikan.
b. Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c. Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
stressor. (Stuart & Sundeen, 2007)

Penyebab halusinasi :
Keadaan-keadaan emosi yang sifatnya sementara dan tidak
harus merupakan indikasi dari gangguan mental yang
berat (Semiun, 2006)
Penderita skizofrenia
Konsumsi alcohol (Davey, 2005)
Penggunaan kokain / obat-obatan terlarang (Joewana,
2005)
Panik
Menarik diri
Stres berat yang mengancam ego yang lemah Townsend (
1998 ).

E. Patofisiologi

Halusinasi pendengaran paling sering terdapat pada
klien Skizoprenia. Halusinasi terjadi pada klien
Skizopreniadan gangguan manik. Halusinasi dapat
timbul pada Skizoprenia dan pada psikosa fungsional
yang lain, pada sindroma otak organik, epilepsi (
sebagai aura ), nerosa histerik, intoksinasi atropin atau
kecubung, zat halusinogenik dan pada deprivasi
sensorik, (Maramis, 2005).

Halusinasi yang dialami oleh klien bisa berbeda
intensitas dan keparahannya. Stuart dan Laraia (dalam
Stuart dan Sundeen, 2006), membagi fase halusinasi
dalam 4 fase berdasarkan tingkat ansietas yang
dialami dan kemampuan klien mengendalikan dirinya
Fase-Fase Halusinasi

Fase 1 : Comforting-ansietas tingkat sedang, secara
umum, halusinasi bersifat menyenangkan
Fase II: Condemning-ansietas tingkat berat, secara
umum, halusinasi menjadi menjijikkan
Fase III: Controlling-ansieta stingkat berat,
pengalaman sensori menjadi berkuasa
Fase IV: Conquering Panik, umumnya halusinasi
menjadi lebih rumit, melebur dalam halusinasinya
F. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala dari halusinasi menurut Budi Anna
Keliat, (2006) yaitu:
Bicara, senyum dan tertawa sendiri
Menarik diri dan menghindar dari orang lain
Tidak dapat membedakan antara keadaan nyata dan tidak
nyata
Tidak dapat memusatkan perhatian
Curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan
lingkungannya), takut
Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung
G. Komplikasi
Dampak dari gangguan sensori persepsi : Halusinasi ( Stuart and Laraia,
2005)
o Risiko perilaku kekerasan
Hal ini terjadi bahwa klien dengan halusinasinya cenderung untuk
marah-marah dan mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
o Isolasi sosial
Hal ini terjadi karena prilaku klien yang sering marah-marah dan risiko
prilaku kekerasan maka lingkungan akan menjauh dan mengisolasi.
o Harga diri rendah
Hal ini terjadi karena klien menjauhi dan mengisolasi dari lingkungan
klien beranggapan dirinya merasa tidak berguna dan tidak mampu.
o Defisit perawatan diri : kebersihan diri
Hal ini terjadi karena klien mersa tidak berguna dan tidak mampu
sehingga klien mengalami penurunan motivasi dalam hal kebersihan
dirinya.

H. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan menurut Videbeck, (2008) kepda
penderita halusinasi yaitu:
1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik untuk
mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan
pasien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan
pendekatan di lakukan secara individual dan usahakan
agar terjadi kontak mata,
2. Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang
dapat merangsang perhatian dan mendorong pasien untuk
berhubungan dengan realitas, misalnya jam dinding,
gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan.

3. Melaksanakan program terapi dokter
Pendekatan sebaiknya secara persuatif tapi instruktif.
Perawat harus mengamati agar obat yang di berikan
betul di telannya, serta reaksi obat ya
4. Menggali permasalahan pasien dan membantu
mengatasi masalah yang ada
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif,
perawat dapat menggali masalah pasien yang
merupakan penyebab timbulnya halusinasi ng di
berikan.
5. Memberi aktivitas pada pasien misalnya pasien di
ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan
fisik, misalnya berolah raga, bermain atau melakukan
kegiatan.
6. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam
proses perawatan.
7. Sebaiknya perawat menyarankan agar pasien
jangan menyendiri dan menyibukkan diri dalam
permainan atau aktivitas yang ada.
I. Pengkajian Fokus
Menurut Trimelia S.Skp ( 2012 ), bahwa faktor terjadinya
halusinasi meliputi :
1. Faktor predisposisi
Faktor Biologis
Terdapat lesi pada area frontal, temporal dan limbik.
Faktor Perkembangan
Rendahnya kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan
individu tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi,
hilang percaya diri dan lebih rentan terhadapa stress
Faktor Sosiokultural
Individu yang merasa tidak diterima lingkungannya akan merasa
tersingkirkan kesepian dan tidak percaya pada lingkungannya.

Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Akibat stress
berkepanjangan menyebabkan teraktivitasnya neurtransmiter otak.
Misalnya terjadi ketidakseimbangan Acetylcholin dan Dopamin.
Faktor Psikologis
Tipe kepribadian yang lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Selain itu ibu yang
pencemas, overprotektif, dingin, tidak sensitif, pola asuh tidak adekuat
juga berpengaruh pada ketidakmampuan individu dalam mengambil
keputusan yang tepat demi masa depannya.
Faktor genetik
Penelitian menunjukan bahwa anak yang di asuh oleh orang tua
skizofrenia cenderung akan mengalami skizofrenia.

2. Faktor presipitasi
Factor presipitasi adalah factor pencetus sebelum timbul gejala
Stresor social budaya
Stress dan kecemasan akan meningkat apabila terjadi penurunan
stablitas keluarga, perpisahan dengan orang terpentng atau
disingkirkan dari kelompok.
Faktor biokimia
Berbagai penelitian tentang dopamine, inhalan, non epineprin,
zat halusigenik, diduga berkaitan dengan halusinasi
Faktor pskologi
kecemasan yang memandang dan terbatasnya kemampuan
untuk mengatasi masalah sehingga klien mengembangkan
koping untuk menghindari kenyataan yang menyenangkan.

3. Prilaku halusinasi
Menurut Rawlins dan Heacokck ( dalam Yosep 2010) Prilaku halusinasi dapat
dilihat dari lima dimensi sebagai berikut:
Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik, seperti kelelahan
yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi
alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama. Tanda gejala yang
ditimbulkan yaitu muka merah, kadang pucat, ekspresi dengan perubahan
wajah tegang, TD meningkat, nafas tersengah-sengah, nadi cepat, timbul
gangguan kebutuhan nutrisi.
Dimensi Emosi
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar masalah yang tidak dapat diatasi
merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa
perintah memaksa dan menankutkan. Tanda gejala yang dapat dilihat
ketakutan dengan rasa tegang dan rasa tidak aman, tidak berdaya,
menyalahkan diri sendiri atau orang lain sikap curiga dan saling bermusuhan,
marah, jengkel, dendam dan sakit hati

Dimensi Sosial
Klien mengalami interaksi sosial dalam fase awal dan comforting, klien
menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahayakan. Isi
halusinasi dijadikan kontrol oleh individu tersebut, sehingga jika dioerintah
halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung untuk itu.
Tanda gejala yang timbul isolasi sosial, menghindar dari orang lain, berbicara /
komunikasi verbal tergangu, bicara inkoheren dan tidak masuk akal, merusak diri
sendiri atau orang lain
Dimensi Intelektual
Bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi
ego.tanda gejala tidak dapat membedakan nyata dan tidak nyata, sulit membuat
keputusan, tidak mampu berfikir abstrak dan daya ingat menurun
Dimensi Spiritual
Secara spritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup , rutinitas tidak
bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spritual untuk
menyucikan diri. Saat terbangun merasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya.
Individu sering memkai takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput rezeki,
menyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk.

4. Mekanisme koping
Regresi : menghindari stress, kecemasan dan menampilkan prilaku
kembali seperti pada prilaku perkembangan anak atau
berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
menanggulangi ansietas.
Proyeksi : keinginan yang tidak dapat ditoleransi mencurahkan
emosi pada orang lain karena kesalahan yang dilakukan diri sendiri
(sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi).
Isolasi sosial : reaksi yang ditampilakn dapat berupa reaksi fisik
maupun psikologis, reaksi fisik yaitu individu pergi atu lari
menghindar sumber stressor, misalnya menjauhi polusi, sumber
infeksi, gas beracun dan lain-lain. Sedangkan reaksi psikologis
individu menunjukan perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak
berminat, sering disertai rasa takut dan bermusuhan.

5. Sumber koping
Sumber koping individual harus dikaji dengan pemahaman
terhadap pengaruh gangguan otak dan prilaku. Kekuatan
dapat meliputi seperti modal intelegensia atau kreatifitas
yang tinggi. Orang tua harus secara aktif mendidik anak-
anak dan dewasa muda tentang ketrampilan koping,
karena meraka biasanya tidak hanya belajar dari
pengamatan. Sumber keluarga dapat berupa pengetahuan
tentang penyakit. Finansial yang cukup, ketersediaan
waktu dan tenaga kemampuan serta untuk memberikan
dukungan csecara kesinambungan

J. Pohon Masalah







Pohon Masalah Gangguan Persepsi Sensori :
Halusinasi (Keliat, 2005)

Resiko Perilaku Kekerasan
Halusinasi
Isolasi Sosial
K. Diagnosa Keperawatan

Adapun diagnosa keperawatan yang muncul klien
dengan masalah utama perubahan persepsi sensori :
halusinasi menurut Yosep (2009) adalah sebagai
berikut :
Resiko Perilaku Kekerasan.
Halusinasi
Isolasi Sosial

L. Fokus Intervensi dan Rasional
Diagnoasa 1:
Resiko Perilaku Kekerasan
Tujuan : Tidak terjadi perilaku kekerasan pada diri
sendiri dan orang lain.
Kriteria Hasil :
Pasien dapat mengungkapkan perasaannya dalam keadaan
saat ini secara verbal.
Pasien dapat menyebutkan tindakan yang biasa dilakukan
saat halusinasi, cara memutuskan halusinasi dan
melaksanakan cara yang efektif bagi pasien untuk digunakan
Pasien dapat menggunakan keluarga pasien untuk
mengontrol halusinasi dengan cara sering berinteraksi
dengan keluarga.

Intervensi :
Bina Hubungan saling percaya
Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya.
Dengarkan ungkapan klien dengan empati
Adakan kontak secara singkat tetapi sering secara bertahap
(waktu disesuaikan dengan kondisi klien).
Observasi tingkah laku : verbal dan non verbal yang
berhubungan dengan halusinasi.
Jelaskan pada klien tanda-tanda halusinasi dengan
menggambarkan tingkah laku halusinasi.
Identifikasi bersama klien situasi yang menimbulkan dan
tidak menimbulkan halusinasi, isi, waktu, frekuensi.

Diagnosa 2:
Halusinasi
Tujuan : Klien mampu mengontrol halusinasinya
Kriteria Hasil :
a. Pasien dapat dan mau berjabat tangan.
b. Pasien mau menyebutkan nama, mau memanggil
nama perawat dan mau duduk bersama.
c. dapat menyebutkan penyebab klien menarik diri.
d. Pasien mau berhubungan dengan orang lain.
e. Setelah dilakukan kunjungan rumah klien dapat
berhubungan secara bertahap dengan keluarga
Intervensi :
Bina hubungan saling percaya.
Buat kontrak dengan klien.
Lakukan perkenalan.
Panggil nama kesukaan.
Ajak pasien bercakap-cakap dengan ramah.
Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-
tandanya, serta beri kesempatan pada klien mengungkapkan perasaan
penyebab pasien tidak mau bergaul/menarik diri.
Jelaskan pada klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta
yang mungkin jadi penyebab.
Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaan.
Diskusikan tentang keuntungan dari berhubungan.
Perlahan-lahan serta pasien dalam kegiatan ruangan dengan melalui
tahap-tahap yang ditentukan.
Beri pujian atas keberhasilan yang telah dicapai.
Diagnosa 3.:
Isolasi sosial
Tujuan :
Pasien dapat berhubungan dengan orang lain secara
bertahap.
Kriteria Hasil :
Pasien dapat menyebutkan koping yang dapat digunakan
Pasien dapat menyebutkan efektifitas koping yang dipergunakan
Pasien mampu memulai mengevaluasi diri
Pasien mampu membuat perencanaan yang realistik sesuai dengan
kemampuan yang ada pada dirinya
Pasien bertanggung jawab dalam setiap tindakan yang dilakukan
sesuai dengan rencanan

Intervensi :
Dorong pasien untuk menyebutkan aspek positip yang ada pada
dirinya dari segi fisik.
Diskusikan dengan pasien tentang harapan-harapannya.
Diskusikan dengan pasien keterampilannya yang menonjol selama di
rumah dan di rumah sakit.
Identifikasi masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh pasien
Diskusikan koping yang biasa digunakan oleh pasien.
Diskusikan strategi koping yang efektif bagi pasien.
Bersama pasien identifikasi stressor dan bagaimana penialian pasien
terhadap stressor.
Jelaskan bahwa keyakinan pasien terhadap stressor mempengaruhi
pikiran dan perilakunya.
Bersama pasien identifikasi keyakinan ilustrasikan tujuan yang tidak
realistic.

Simpulan
Setelah menyusun makalah halusinasi penulis dapat menyimpulkan
bahwa
Halusinasi adalah persepsi yang timbul tanpa stimulus eksternal serta
tanpa melibatkan sumber dari luar yang meliputi semua system panca
indra.
Factor predisposisi penyebab halusinasi seperti factor perkembangan,
sosialcultural, biokimia, psikologis, genetic dan pola asuh. Sedangkan
factor prepitasi dilihat dari perilaku dari segi dimensi fisik, emosional,
intelektual, social dan spiritual.
Tipe halusinasi ada beberapa macam yaitu halusinasi dengar,
halusinasi penglihatan, halusinasi penghidu, halusinasi perabaan,
halusinasi pengecapan dan halusinasi kinestik. Sedangkan tahap
terjadinya halusinasi terdiri dari empat fase.
Tindakan dalam melakukan pengkajian klien dengan
halusinasi adalah membina hubungan saling percaya,
mengkaji data objektif dan subjektif, mengkaji waktu,
frekuensi dan situasi munculnya halusinasi dan
mengkaji respons terhadap halusinasi.
Tindakan keperawatan yang dilakukan pada klien
halusinasi seperti membantu klien mengenali
halusinasi dan melatih mengontrol halusinasi dengan
cara menghardik halusinasi, melatih bercakap-cakap,
melatih beraktivitas, melatih menggunakan obat
secara teratur dan melibatkan keluarga dalam
tindakan.

Daftar Pustaka
Brooker, C. (2005). Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: EGC.
Davey, P. (2005). At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.
Fountaine, C. &. (1987). Essentials Mental Health Nursing. Addison-wesley: Company.
Joewana, S. (2005). Gangguan mental Dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif Edisi 2. Jakarta:
EGC.
Keliat, B. (2006). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Maramis, W. f. (2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Ed. 9. Surabaya: Airlangga University Press.
Rasmun. (2001). Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintograsi dengan Keluarga. Jakarta: CV
Agung Seto.
Semiun, Y. (2006). Kesehatan Mental 3. Yogyakarta: Kanisius.
Stuart, G. W., & Sundeen, S. J. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa (Terjemahan). Jakarta: EGC.
Sunaryo. (2004). Psikologi untuk keperawatan. Jakarta: EGC.
Townsend, M. C. (2006). Buku saku diagnosa keperawatan pada keperawatan psikiatri: pedoman
untuk pembuatan rencana perawatan Edisi 5. Jakarta: EGC.
Videbeck, S. L. (2008). Buku Ajar Keerawatan Jiwa. (E. K. Pamilih, Penyunt., K. Renata, & H. Alfrina,
Penerj.). Jakarta: EGC.
Yosep, I. (2009). Keperwatan Jiwa (Edisi Revisi). Bandung: Refika.

You might also like