You are on page 1of 24

BAB I

PENDAHULUAN

Takikardi supraventrikular (TSV) adalah satu jenis takidisritmia yang
ditandai dengan perubahan frekuensi jantung yang mendadak bertambah cepat
menjadi berkisar antara 150 sampai 280 per menit. TSV merupakan jenis disritmia
yang paling sering ditemukan pada usia bayi dan anak. Prevalensi TSV kurang
lebih 1 di antara 25.000 anak lebih. Serangan pertama sering terjadi sebelum usia
4 bulan dan lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan
sedangkan pada anak yang lebih besar prevalensi di antara kedua jenis kelamin
tidak berbeda.

Pengenalan secara dini jenis takidisritmia ini sangat penting, terutama
pada bayi karena sifatnya yang gawat darurat. Diagnosis awal dan tatalaksana
SVT memberikan hasil yang memuaskan. Keterlambatan dalam menegakkan
diagnosis dan memberikan terapi akan memperburuk prognosis, mengingat
kemungkinan terjadinya gagal jantung bila TSV berlangsung lebih dari 24-36 jam,
baik dengan kelainan struktural maupun tidak.

Referat ini diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan dan tatalaksana terhadap takikardi supraventikular
pada bayi dan anak.











2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Supraventricular tachycardia (SVT) adalah satu jenis takidisritmia
yang ditandai dengan perubahan denyut jantung yang mendadak bertambah
cepat. Perubahan denyut jantung pada bayi dengan SVT umumnya menjadi
berkisar antara 220 kali/menit sampai 280 kali/menit (Doniger & Sharieff,
2006). Sedangkan, denyut jantung pada anak-anak yang berusia lebih dari 1
tahun umumnya lebih lambat, yaitu berkisar 180 kali/menit sampai dengan
240 kali/menit (Schlechte, et al., 2008).
Kelainan pada SVT mencakup komponen sistem konduksi dan terjadi
di bagian atas bundel HIS. Pada kebanyakan SVT mempunyai kompleks QRS
normal.

Kelainan ini sering terjadi pada demam, emosi, aktivitas fisik dan
gagal jantung (Schlechte, et al., 2008).

B. EPIDEMIOLOGI
Takikardi supraventrikular merupakan kegawatdaruratan
kardiovaskular yang sering ditemukan pada bayi dan anak. Angka kejadian
SVT diperkirakan 1 per 250.000 sampai 1 per 250. Angka kekerapan masing-
masing bentuk SVT pada anak berbeda dengan SVT pada dewasa (Chun &
Van Hare, 2004).
Kasus SVT pada anak-anak diperkirakan hampir 50-60% terjadi pada
tahun pertama kehidupan, tapi sering terjadi sebelum umur 4 bulan (Schlechte,
et al., 2008). Sebagian besar SVT pada bayi dengan struktur jantung yang
normal dan hanya 15% bayi SVT yang disertai dengan penyakit jantung,
karena obat-obatan atau karena demam (Kantoch, 2005). SVT akan
menghilang secara spontan pada beberapa bayi pada usia 6 sampai 12 bulan
(Hanisch, 2001). Namun, sampai dengan 33% pasien tersebut akan mengalami
kekambuhan pada usia sekitar 8 tahun (Schlechte, et al., 2008). Bahkan, untuk
SVT jenis atrioventricular nodal reentrant tachycardia (AVNRT) biasanya
3

tidak dapat sembuh secara spontan dan membutuhkan ablasi radiofrekuensi
(Sekar, 2008).

C. ETIOLOGI

1. Idiopatik, ditemukan pada hampir setengah jumlah pasien. Tipe idiopatik
ini biasanya terjadi lebih sering pada bayi daripada anak.
2. Sindrom Wolf Parkinson White (WPW) terdapat pada 10-20% kasus dan
terjadi hanya setelah konversi menjadi sinus aritmia. Sindrom WPW
adalah suatu sindrom dengan interval PR yang pendek dan interval QRS
yang lebar; yang disebabkan oleh hubungan langsung antara atrium dan
ventrikel melalui jaras tambahan.
3. Beberapa penyakit jantung bawaan (anomali Ebsteins, single ventricle, L-
TGA)

D. KLASIFIKASI
Berikut ini adalah jenis takikardia supraventrikular:
1) SVT yang melibatkan jaringan sinoatrial :
a. Sinus tachycardia
b. Inappropriate sinus tachycardia
c. Sinoatrial node reentrant tachycardia (SANRT)
2) SVT yang melibatkan jaringan atrial :
a. Atrial tachycardia (Unifocal) (AT)
b. Multifocal atrial tachycardia (MAT)
c. Atrial fibrillation
d. Atrial flutter
3) SVT yang melibatkan jaringan nodus atrioventrikular :
a. AV nodal reentrant tachycardia (AVNRT)
b. AV reentrant tachycardia (AVRT)
c. Junctional ectopic tachycardia


4

E. ELEKTROFISIOLOGI

Gangguan irama jantung secara elektrofisiologi disebabkan oleh
gangguan pembentukan rangsang, gangguan konduksi rangsang dan gangguan
pembentukan serta penghantaran rangsang.
1) Gangguan pembentukan rangsang
Gangguan ini dapat terjadi secara pasif atau aktif. Bila gangguan rangsang
terbentuk secara aktif di luar urutan jaras hantaran normal, seringkali
menimbulkan gangguan irama ektopik dan bila terbentuk secara pasif
sering menimbulkan escape rhytm (irama pengganti).
- Irama ektopik timbul karena pembentukan rangsang ektopik secara
aktif dan fenomena reentry
- Escape beat (denyut pengganti) ditimbulkan bila rangsang normal
tidak atau belum sampai pada waktu tertentu dari irama normal,
sehingga bagian jantung yang belum atau tidak mendapat rangsang itu
bekerja secara otomatis untuk mengeluarkan rangsangan instrinsik
yang memacu jantung berkontraksi.
- Active ectopic firing terjadi pada keadaan dimana terdapat kenaikan
kecepatan automasi pembentukan rangsang pada sebagian otot jantung
yang melebihi keadaan normal.
- Reentry terjadi bila pada sebagian otot jantung terjadi blokade
unidirectional (blokade terhadap rangsang dalam arah antegrad)
dimana rangsang dari arah lain masuk kembali secara retrograd
melalui bagian yang mengalami blokade tadi setelah masa refrakternya
dilampaui. Keadaan ini menimbulkan rangsang baru secara ektopik.
Bila reentry terjadi secara cepat dan berulang-ulang, atau tidak teratur
(pada beberapa tempat), maka dapat menimbulkan keadaan takikardi
ektopik atau fibrilasi.
2) Gangguan konduksi
Kelainan irama jantung dapat disebabkan oleh hambatan pada hantaran
(konduksi) aliran rangsang yang disebut blokade. Hambatan tersebut
mengakibatkan tidak adanya aliran rangsang yang sampai ke bagian
5

miokard yang seharusnya menerima rangsang untuk dimulainya kontraksi.
Blokade ini dapat terjadi pada tiap bagian sistem hantaran rangsang mulai
dari nodus SA atrium, nodus AV, jaras HIS, dan cabang-cabang jaras
kanan kiri sampai pada percabangan purkinye dalam miokard.
3) Gangguan pembentukan dan konduksi rangsangan
Gangguan irama jantung dapat terjadi sebagai akibat gangguan
pembentukan rangsang bersama gangguan hantaran rangsang.

F. MEKANISME TERJADINYA SVT
Mekanisme tersering yang menyebabkan timbulnya supraventrikular
takikardi adalah atrioventricular nodal reentrant tachycardia (AVNRT),
atrioventricular reciprocating (reentrant) tachycardia (AVRT), and atrial
tachycardia (Link, 2012).
1) Atrioventricular Nodal Reentrant Tachycardia (AVNRT)
AVNRT timbul karena adanya sebuah lingkaran reentrant yang
menghubungkan antara nodus AV dan jaringan atrium. Pada pasien
dengan takikardi jenis tersebut, nodus AV memiliki dua jalur konduksi
yaitu jalur konduksi cepat dan jalur konduksi lambat. Jalur konduksi
lambat yang terletak sejajar dengan katup trikuspid, memungkinkan
sebuah lingkaran reentrant sebagai jalur impuls listrik baru melalui jalur
tersebut, keluar dari nodus AV secara retrograde (yaitu, mundur dari nodus
AV ke atrium) dan secara anterograde (yaitu, maju ke atau dari nodus AV
ke ventrikel) pada waktu yang bersamaan. Akibat depolarisasi atrium dan
ventrikel yang bersamaan, gelombang P jarang terlihat pada gambaran
EKG, meskipun pada depolarisasi atrium kadang-kadang akan
memunculkan gelombang P pada akhir kompleks QRS pada lead V1
(Link, 2012).
6


Gambar 1. Proses terjadinya atrioventricular nodal reentrant tachycardia
dan gambaran EKG yang timbul

2) Atrioventricular Reciprocating (Reentrant) Tachycardia (AVRT)
AVRT merupakan takikardi yang disebabkan oleh adanya satu atau
lebih jalur konduksi aksesori yang secara anatomis terpisah dari sistem
konduksi jantung normal. Jalur aksesori merupakan sebuah koneksi
miokardium yang mampu menghantarkan impuls listrik antara atrium dan
ventrikel pada suatu titik selain nodus AV. AVRT terjadi dalam dua
bentuk yaitu orthodromik dan antidromik (Doniger & Sharieff, 2006).
Pada AVRT orthodromik, impuls listrik akan dikonduksikan turun
melewati nodus AV secara antegrade seperti jalur konduksi normal dan
menggunakan sebuah jalur aksesori secara retrograde untuk masuk
kembali ke atrium. Karakteristik jenis ini adalah adanya gelombang P yang
mengikuti setiap kompleks QRS yang sempit karena adanya konduksi
retrograde (Kantoch, 2005; Doniger & Sharieff, 2006).
Sedangkan impuls listrik pada AVRT antidromik akan
dikonduksikan berjalan turun melalui jalur aksesori dan masuk kembali ke
atrium secara retrograde melalui nodus AV. Karena jalur aksesori tiba di
ventrikel di luar bundle His, kompleks QRS akan menjadi lebih lebar
dibandingkan biasanya (Kantoch, 2005; Doniger & Sharieff, 2006).
7


Gambar 2. Proses terjadinya atrioventricular reciprocating (reentrant)
tachycardia dan gambaran EKG yang timbul

3) Atrial tachycardia
Terdapat sekitar 10% dari semua kasus SVT, namun SVT ini sukar
diobati. Takikardi ini jarang menimbulkan gejala akut. Penemuannya
biasanya karena pemeriksaan rutin atau karena ada gagal jantung akibat
aritmia yang lama. Pada takikardi atrium primer, tampak adanya
gelombang P yang agak berbeda dengan gelombang P pada waktu irama
sinus, tanpa disertai pemanjangan interval PR. Pada pemeriksaan
elektrofisiologi intrakardiak tidak didapatkan jaras abnormal (jaras
tambahan) (Manole & Saladino, 2007).
Takikardi atrial adalah takikardi fokal yang dihasilkan dari adanya
sebuah sirkuit reentrant mikro atau sebuah fokus otomatis. Atrial flutter
disebabkan oleh sebuah ritme reentry di dalam atrium, yang menimbulkan
laju detak jantung sekitar 300 kali/menit dan bersifat regular atau regular-
ireguler. Pada gambaran EKG akan tampak gelombang P dengan
penampakan sawtooth. Perbandingan antara gelombang P dan QRS
yang terbentuk biasanya berkisar 2:1 sampai dengan 4:1. Karena rasio
gelombang P terhadap QRS cenderung konsisten, atrial flutter biasanya
lebih regular bila dibandingkan dengan atrial fibrillation. Atrial
fibrillation dapat menjadi SVT jika respon ventrikel yang terjadi lebih
besar dari 100 kali per menit. Takikardi jenis ini memiliki karakteristik
8

ritme ireguler-ireguler baik pada depolarisasi atrium maupun ventrikel
(Doniger & Sharieff, 2006; Link, 2012).


Gambar 3. Proses terjadinya atrial tachycardia dan gambaran EKG yang
timbul

G. GEJALA KLINIS
Gejala klinis takikardia supraventrikular (SVT) pada bayi tidak khas,
umumnya terjadi pada bayi di bawah usia 4 bulan. Bayi biasanya dibawa ke
dokter karena mendadak gelisah, irritabel, diaforesis, tidak mau menetek atau
minum susu,. Kadang-kadang orangtua membawa bayinya karena bernafas
cepat dan tampak pucat. Dapat pula terjadi muntah-muntah. Laju nadi sangat
cepat sekitar 200-300 per menit, tidak jarang disertai gagal jantung atau
kegagalan sirkulasi yang nyata (Schlechte, et al., 2008; Hanash & Crosson,
2010).
Takikardia supraventrikular pada anak yang serangan pertamanya
dimulai pada usia yang lebih tua seringkali disebabkan oleh sindrom WPW,
baik yang manifes maupun yang tersembunyi (concealed). Berbeda dengan
SVT pada bayi, pada kelompok ini tidak dijumpai tanda gagal jantung atau
kegagalan sirkulasi karena frekuensi jantung yang lebih lambat. Yang sering
menyebabkan pasien dibawa ke dokter adalah rasa berdebar dan perasaan
tidak enak (Schlechte, et al., 2008).
9

Berbeda dengan SVT pada bayi dan anak, SVT kronik dapat
berlangsung selama berminggu-minggu bahkan sampai bertahun-tahun. Hal
yang menonjol adalah frekuensi denyut nadi yang lebih lambat, berlangsung
lebih lama, gejalanya lebih ringan dan juga lebih dipengaruhi oleh sistem
susunana saraf autonom. Pada sebagian besar pasien terdapat disfungsi
miokard akibat SVT pada saat serangan atau pada SVT sebelumnya
(Schlechte, et al., 2008).
Gejala klinis lain SVT dapat berupa palpitasi, lightheadness, mudah
lelah, pusing, nyeri dada, nafas pendek dan bahkan penurunan kesadaran.
Pasien juga mengeluh lemah, nyeri kepala dan rasa tidak enak di tenggorokan
(Schlechte, et al., 2008; Hanash & Crosson, 2010).
Risiko terjadinya gagal jantung sangat rendah pada anak dan remaja
dengan SVT tapi risikonya meningkat pada neonatus dengan SVT, neonatus
dengan WPW dan pada anak dengan penyakit jantung. Bila takikardi terjadi
saat fetus, dapat menyebabkan timbulnya gagal jantung berat dan hidrops
fetalis (Kothari & Skinner, 2006).

H. DIAGNOSIS
Diagnosis SVT berdasarkan pada gejala dan tanda sebagai berikut:

a. Pada bayi : sukar minum, muntah, iritabelm mudah mengantuk, mudah
pingsan, keringat berlebihan. Bila gagal jantung, maka dapat menjadi
pucat, batuk, distress respirasi dan sianosis (Schlechte, et al., 2008).
b. Pada balita dan anak usia sekolah : palpitasi, nyeri dada, pusing, kesulitan
bernapas, pingsan (Schlechte, et al., 2008).
c. Pada anak usia dewasa : palpitasi, nyeri dada, pusing, kesulitan bernapas,
pucat, keringat berlebihan, mudah lelah, toleransi latihan fisik menurun,
kecemasan meningkat dan pingsan (Schlechte, et al., 2008).
d. Denyut jantung: pada bayi 220 280 kali/menit, pada anak-anak yang
berusia lebih dari 1 tahun 180 240 kali/menit (Manole & Saladino, 2007)
e. Dapat terjadi gagal jantung (bila dalam 24 jam tidak membaik)

10

f. EKG:
(1) AVNRT : gelombang P yang menghilang atau timbul segera setelah
kompleks QRS sebagai pseudo r dalam V1 atau pseudo s dalam lead
inferior (Delacrtaz, 2006)
(2) AVRT orthodromik : gelombang P yang mengikuti setiap kompleks
QRS yang sempit karena adanya konduksi retrograde (Kantoch, 2005;
Doniger & Sharieff, 2006).
(3) AVRT antidromik : kompleks QRS melebar
(4) Atrial tachycardia : Rasio gelombang P : QRS berkisar 2:1 sampai
dengan 4:1

I. PENATALAKSANAAN
Secara garis besar penatalaksanaan SVT dapat dibagi dalam dua
kelompok yaitu penatalaksanaan segera dan penatalaksanaan jangka panjang.
1) Penatalaksanaan segera
a. Direct Current Synchronized Cardioversion
Setiap kegagalan sirkulasi yang jelas dan dan dapat termonitor
dengan baik, dianjurkan penggunaan direct current synchronized
cardioversion dengan kekuatan listrik sebesar 0,25 watt-detik/pon
yang pada umumnya cukup efektif. DC shock yang diberikan perlu
sinkron dengan puncak gelombang QRS, karena rangsangan pada
puncak gelombang T dapat memicu terjadinya fibrilasi ventrikel. Tidak
dianjurkan memberikan digitalis sebelum dilakukan DC Shock oleh
karena akan menambah kemungkinan terjadinya fibrilasi ventrikel.
Apabila terjadinya fibrilasi ventrikel maka dilakukan DC shock kedua
yang tidak sinkron. Apabila DC shock kedua ini tetap tidak berhasil,
maka diperlukan tindakan invasive (American Heart Association,
2005).
b. Manuver Vagal
Tindakan ini dulu lazim dicoba pada anak yang lebih besar
namun tidak dianjurkan pada bayi, karena jarang sekali berhasil.
11

Maneuver vagal yang terbukti efektif adalah perendaman wajah.
Teknik ini dilakukan dengan cara bayi terbungkus handuk dan
terhubung ke EKG, wajah direndam selama sekitar lima detik ke dalam
mangkuk air dingin. Akan tetapi, maneuver vagal yang lain seperti
pemijatan sinus karotis dan penekanan pada bola mata tidak
direkomendasikan dan terbukti tidak efektif. Hal tersebut dikarenakan
pemijatan sinus karotis justru dapat menekan pernapasan dan
penekanan pada bola mata memiliki resiko terjadinya luka pada mata
dan retina. Jika perendaman wajah gagal, adenosin dengan dosis awal
200 g / kg dapat diberikan secara intravena dengan cepat ke dalam
pembuluh darah besar (seperti pada fossa antecubital). Terkadang
dibutuhkan dosis adenosine sampai dengan 500 g / kg (Schlechte, et
al., 2008).
c. Pemberian adenosin
Adenosin merupakan nukleotida endogen yang bersifat
kronotropik negatif, dromotropik, dan inotropik. Efeknya sangat cepat
dan berlangsung sangat singkat dengan konsekuensi pada
hemodinamik sangat minimal. Adenosin dengan cepat dibersihkan dari
aliran darah (sekitar 10 detik) dengan cellular uptake oleh sel endotel
dan eritrosit. Obat ini akan menyebabkan blok segera pada nodus AV
sehingga akan memutuskan sirkuit pada mekanisme reentry. Adenosin
mempunyai efek yang minimal terhadap kontraktilitas jantung
(Manole & Saladino, 2007).
Adenosin merupakan obat pilihan dan sebagai lini pertama
dalam terapi SVT karena dapat menghilangkan hampir semua SVT.
Efektivitasnya dilaporkan pada sekitar 90% kasus (Dubin, 2007;
Kannankeril & Fish, 2008). Adenosin diberikan secara bolus intravena
diikuti dengan flush saline, mulai dengan dosis 50 g/kg dan dinaikkan
50 /kg setiap 1 sampai 2 menit (maksimal 200 /kg). Dosis yang
efektif pada anak yaitu 100 150 g/kg. Pada sebagian pasien
12

diberikan digitalisasi untuk mencegah takikardi berulang
(Moghaddam, et al., 2008).
Efek samping adenosin dapat berupa nyeri dada, dispnea, facial
flushing, dan terjadinya A-V bloks. Bradikardi dapat terjadi pada
pasien dengan disfungsi sinus node, gangguan konduksi A-V, atau
setelah pemberian obat lain yang mempengaruhi A-V node (seperti
beta blokers, calsium channel blocker, amiodaron). Adenosin bisa
menyebabkan bronkokonstriksi pada pasien asma (Manole & Saladino,
2007).
Kegagalan adenosine dalam menghilangkan takikardi masih
mungkin mengarah pada :
(1) Dosis yang tidak adekuat atau pemberian obat yang terlalu lambat
(2) Proses mekanisme menuju atrial takikardi
(3) Proses mekanisme menuju VT (Kothari & Skinner, 2006)
d. Verapamil
Obat ini juga tersedia untuk penanganan segera SVT pada anak
berusia di atas 12 bulan, akan tetapi saat ini mulai jarang digunakan
karena efek sampingnya. Obat ini mulai bekerja 2 sampai 3 menit, dan
bersifat menurunkan cardiac output. Banyak laporan terjadinya
hipotensi berat dan henti jantung pada bayi berusia di bawah 6 bulan.
Oleh karena itu verapamil sebaiknya tidak digunakan pada pasien yang
berusia kurang dari 2 tahun karena risiko kolap kardiovaskular. Jika
diberikan verapamil, persiapan untuk mengantisipasi hipotensi harus
disiapkan seperti kalsium klorida (10 mg/kg), cairan infus, dan obat
vasopressor seperti dopamin. Tidak ada bukti bahwa verapamil efektif
mengatasi ventrikular takikardi pada kasus-kasus yang tidak
memberikan respon dengan adenosine (Chun & Van Hare, 2004;
American Heart Association, 2005).
e. Prokainamid. Pada pasien AVRT atau AVNRT, prokainamid mungkin
juga efektif. Obat ini bekerja memblok konduksi pada jaras tambahan
atau pada konduksi retrograd pada jalur cepat pada sirkuit reentry di
13

nodus AV. Hipotensi juga sering dilaporkan pada saat loading dose
diberikan. Dosis oral yang biasa diberikan berkisar antara 40-100
mg/kg/hari terbagi dalam 4-6 dosis. Dosis awal untuk intravena yang
dapat ditoleransi adalah 5-15 mg/kg, sedangkan untuk dosis
pemeliharaan dapat menggunakan 40-100 mcg/kg/menit (Iyer, 2008).
f. Digoksin dilaporkan juga efektif untuk mengobati kebanyakan SVT
pada anak. Digoksin tidak digunakan lagi untuk penghentian segera
SVT dan sebaiknya dihindari pada anak yang lebih besar dengan
WPW sindrom karena ada risiko percepatan konduksi pada jaras
tambahan. Digitalisasi dipakai pada bayi tanpa gagal jantung kongestif
(Schlechte, et al., 2008).
g. Bila pasien tidak mengalami gagal jantung kongestif, adenosin tidak
bisa digunakan, dan digitalis tidak efektif, infus intravena
phenylephrine bisa dicoba untuk konversi cepat ke irama sinus.
Phenylephrine dapat meningkatkan tekanan darah dengan cepat dan
mengubah takikardi dengan meningkatkan refleks vagal. Efek
phynilephrin (Neo-synephrine) sama halnya dengan sedrophonium
(tensilon) yang meningkatkan reflek vagal seperti juga efek anti
aritmia lain seperti procainamid dan propanolol. Metode ini tidak
direkomendasikan pada bayi dengan CHF karena dapat meningkatkan
afterload sehingga merugikan pada bayi dengan gagal jantung. Dosis
phenylephrin 10 mg ditambahkan ke dalam 200 mg cairan intravena
diberikan secara drip dengan pengawasan doketr terhadap tekanan
darah. Tekanan sistolik tidak boleh melebihi 150-170 mmHg.
h. Flecainide dan sotalol merupakan kombinasi baru, yang aman dan
efektif untuk mengontrol SVT yang refrakter. Dosis yang terbukti
aman digunakan berkisar 80-180 mg/m2/hari yang diberikan dalam 2-3
dosis terbagi (Iyer, 2008).
i. Beta bloker. Obat ini telah terbukti efektif pada 55% pasien. Selain itu
juga penggunaan obat amiodarone juga berhasil pada 71% pasien
dimana di antaranya sebagai kombinasi dengan propanolol.
14

Keberhasilan terapi memerlukan kepatuhan sehingga amiodarone
dipakai sebagai pilihan terapi pada beberapa pasien karena hanya
diminum 1x sehari. Semua pasien yang diterapi dengan amiodarone,
harus diperiksa tes fungsi hati dan fungsi tiroid setiap 3 bulan.
Propanolol dapat digunakan secara hati-hati, sering efektif dalam
memperlambat fokus atrium pada takikardi atrial ektopik (Iyer, 2008).


Gambar 3. Algoritma Penatalaksanaan Jangka Pendek SVT


15

2) Penanganan Jangka Panjang
Umur pasien dengan SVT digunakan sebagai penentu terapi jangka
panjang SVT. Di antara bayi-bayi yang menunjukkan tanda dan gejala
SVT, kurang lebih sepertiganya akan membaik sendiri dan paling tidak
setengah dari jumlah pasien dengan takikardi atrial automatic akan
mengalami resolusi sendiri. Berat ringan gejala takikardi berlangsung dan
kekerapan serangan merupakan pertimbangan penting untuk pengobatan.
Para dokter biasanya memilih untuk memberikan profilaksis terhadap
bayi-bayi dengan riwayat SVT saat fetus. Mereka akan memberikan terapi
antiaritmia jangka panjang segera setelah bayi dilahirkan, yaitu sekitar 52-
65% pada bayi non hidrops fetalis dan sekitar 80% pada bayi dengan
hidrops fetalis.

Gambar 4. Algoritma Manajemen Jangka Panjang SVT

16


a. Medikamentosa
Pada sebagian besar pasien tidak diperlukan terapi jangka
panjang karena umumnya tanda yang menonjol adalah takikardi
dengan dengan gejala klinis ringan dan serangan yang jarang dan tidak
dikaitkan dengan preeksitasi.
Bayi atau anak-anak yang sensitif terhadap pengobatan
adenosine dapat diberikan long acting blocker, yang telah terbukti
aman digunakan dan tidak membutuhkan monitoring spesifik. Pada
bayi yang mengalami syok atau sulit untuk dilakukan kardioversi,
dapat diberikan obat-obatan antiaritmia yang lebih kuat, seperti sotalol,
flecainide atau amiodarone yang masing-masing membutuhkan
monitoring intensif. Konsentrasi flecainide dalam darah harus diukur
pada pemberian hari ke tujuh untuk memastikan tidak tercapainya
konsentrasi yang bersifat toksik. Pada pemberian sotalol, harus
dilakukan monitoring terhadap interval QT. Dosis yang diberikan
dapat diterima jika interval QT mencapai 0,5 detik. Sotalol memiliki
beberapa efek blocker dan harus diperhatikan kemungkinan
terjadinya disfungsi miokard (Iyer, 2008).
Digoksin kadang-kadang digunakan sebagai obat tambahan
yang dikombinasikan dengan obat-obatan tersebut (Wong, et al.,
2006). Digoksin tidak diunakan sebagai terapi tunggal karena dianggap
kurang efektif. Penggunaannya juga berpotensi memberikan resiko
terjadinya atrial takikardi di masa mendatang. Penggunaan digoksin
dikontraindikasikan untuk pasien dengan Wolff-Parkinson-White
(WPW) karena meningkatkan sifat konduksi dari jalur aksesori dan
merupakan predisposisi untuk mempercepat terjadinya fibrilasi atrium
dan kematian mendadak pada pasien (Wong, et al., 2006).
Pada pasien dengan serangan yang sering dan berusia di atas 5
tahun, radiofrequency ablasi catheter merupakan pengobatan pilihan.
Pasien yang menunjukkan takikardi pada kelompok umur ini
17

umumnya takikardinya tidak mungkin mengalami resolusi sendiri dan
umunya tidak tahan atau kepatuhannya kurang dengan pengobatan
medikamentosa. Terapi ablasi dilakukan pada usia 2 sampai 5 tahun
bila SVT refrakter terhadap obat anti aritmia atau ada potensi efek
samping obat pada pemakaian jangka panjang. Pada tahun-tahun
sebelumnya, alternatif terhadap pasien dengan aritmia yang refrakter
dan mengancam kehidupan hanyalah dengan anti takikardi pace maker
atau ablasi pembedahan (Kothari & Skinner, 2006).

Tabel 1. Klasifikasi obat-obatan yang biasa digunakan dalam
manajemen takikardi pada neonatus
Klasifikasi Obat-Obatan
Kelas 1 : Sodium channel blocker Flecainide, propafenone
Kelas 2 : blockers Atenolol, propanolol, esmolol,
nodolol
Kelas 3 : potassium channel
blocker
Amiodarone, sotalol
Kelas 4 : calcium channel blocker Verapamil, diltiazem

b. Ablasi Kateter
Prosedur elektrofisiologi hampir selalu diikuti oleh tindakan
kuratif berupa ablasi kateter. Ablasi kateter pertama sekali
diperkenalkan oleh Gallagher dkk tahun 1982. Sebelum tahun 1989
ablasi kateter dilakukan dengan sumber energi arus langsung yang
tinggi (high energy direct current) berupa DC Shock menggunakan
kateter elektroda multipolar yang diletakkan di jantung. Karena
pemberian energi dengan jumlah tinggi dan tidak terlokalisasi maka
banyak timbul komplikasi. Saat ini ablasi dilakukan dengan energi
radiofrekuensi sekitar 50 watt yang diberikan sekitar 30-60 detik.
Energi tersebut diberikan dalam bentuk gelombang sinusoid dengan
frekuensi 500.000 siklus per detik (hertz).
18

Selama prosedur ablasi radiofrekuensi (ARF) timbul
pemanasan resistif akibat agitasi ionik. Jadi jaringan yang berada di
bawah kateter ablasi yang menjadi sumber energi panas, bukan kateter
itu sendiri. Thermal injury adalah mekanisme utama kerusakan
jaringan selama prosedur ARF. Meningkatnya suhu jaringan
menyebabkan denaturasi dan evaporasi cairan yang kemudian
menimbulkan kerusakan jaringan lebih lanjut dan koagulasi jaringan
dan darah. Kerusakan jaringan permanen timbul pada temperatur
sekitar 50 derajat celsius.
Prosedur ARF adalah prosedur invasif minimal dengan
memasukkan kateter ukuran 4-8 mm secara intravaskular (umumnya
ke jantung kanan) dengan panduan sinar X. Biasanya prosedur ini
bersamaan dengan pemeriksaan elektrofisiologi. Selanjutnya kateter
ablasi diletakkan pada sirkuit yang penting dalam mempertahankan
kelangsungan aritmia tersebut di luar jaringan konduksi normal. Bila
lokasi yang tepat sudah ditemukan, maka energi radiofrekuensi
diberikan melalui kateter ablasi. Umumnya pasien tidak merasakan
adanya rasa panas tapi kadang-kadang dapat juga dirasakan adanya
rasa sakit. Bila tidak terjadi komplikasi pada pasien, hanya perlu
dirawat selama 1 hari bahkan bisa pulang hari.
Indikasi untuk ARF bergantung pada banyak hal seperti lama
dan frekuensi takikardi, toleransi terhadap gejala, efektivitas dan
toleransi terhadap obat anti aritmia, dan ada tidaknya kelainan struktur
jantung. Untuk SVT yang teratur, banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa ARF lebih efektif daripada obat dalam aspek
peningkatan kualitas hidup pasien dan penghematan biaya daripada
obat anti aritmia.
Dari beberapa meta analisis didapatkan angka keberhasilan
rata-rata ARF pada SVT adalah 90-98% dengan angka kekambuhan
sekitar 2-5%. Angka penyulit sekitar 1%. ARF dipertimbangkan
19

sebagai terapi lini pertama dibandingkan dengan obat-obatan (Kim, et
al., 2012).


c. Pacu Jantung Dan Terapi Bedah
Alat pacu jantung akan segera berfungsi bila terjadi bradikardi
hebat. Alat pacu jantung untuk bayi dan anak yang dapat diprogram
secara automatik (automatic multiprogrammable overdrive
pacemaker) akan sangat memudahkan penggunaannya pada pasien
yang memerlukan. Pacu jantung juga dapat dipasang di ventrikel
setelah pemotongan bundel HIS, yaitu pada pasien dengan SVT
automatik yang tidak dapat diatasi. Tindakan ini merupakan pilihan
terakhir setelah tindakan pembedahan langsung gagal.
Tindakan pembedahan dilakukan pertama kali pada pasien
sindrom WPW. Angka keberhasilannya mencapai 90%. Karena
memberikan hasil yang sangat memuaskan, akhir-akhir ini cara ini
lebih disukai daripada pengobatan medikamentosa. Telah dicoba pula
tindakan bedah pada SVT yang disebabkan mekanisme automatik
dengan jalan menghilangkan fokus ektopik secara kriotermik. Gillete
tahun 1983 melaporkan satu kasus dengan fokus ektopik di A-V
junctionyang berhasil diatasi dengan tehnik kriotermi dilanjutkan
dengan pemasangann pacu jantung permanen di ventrikel.
Dengan kemajuan di bidang kateter ablasi, tindakan bedah
mulai ditinggalkan. Akan tetapi di beberapa senter kardiologi,
kesulitan melakukan ablasi transkateter dapat diatasi dengan
pendekatan bedah dengan menggunakan tehnik kombinasi insisi dan
cryoablation jaringan. Pada saat yang sama adanya residu kelainan
hemodinamik yang menyebabkan hipertensi atrium dan ventrikel dapat
dikoreksi sekaligus.




20

BAB III
KESIMPULAN

Takikardi supraventrikular merupakan kegawatdaruratan kardiovaskular
yang sering ditemukan pada bayi dan anak. Penyebab SVT adalah idiopatik,
sindrom Wolf Parkinson White (WPW) dan beberapa penyakit jantung bawaan
(anomali Ebsteins, single ventricle, L-TGA).
Gejala klinis lain SVT dapat berupa gelisah, irritabel, diaforesis, tidak mau
menetek atau minum susu. Kadang-kadang orangtua membawa bayinya karena
bernafas cepat dan tampak pucat. Dapat pula terjadi muntah-muntah. Laju nadi
sangat cepat sekitar 200-300 per menit, tidak jarang disertai gagal jantung atau
kegagalan sirkulasi yang nyata, palpitasi, lightheadness, mudah lelah, hoyong,
nyeri dada, nafas pendek dan bahkan penurunan kesadaran. Pasien juga mengeluh
lemah, nyeri kepala dan rasa tidak enak di tenggorokan.

Risiko terjadinya gagal
jantung sangat rendah pada anak dan remaja dengan SVT tapi risikonya
meningkat pada neonatus dengan SVT, neonatus dengan WPW dan pada anak
dengan penyakit jantung.
Diagnosis SVT berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan EKG. Penatalaksanaan SVT berupa penatalaksanaan segera dan
jangka panjang. Penatalaksanaan segera dapat menggunakan Direct Current
Synchronized Cardioversion, maneuver vagal dan medikamentosa. Sedangkan
penatalaksanaan jangka panjang yang dapat dilakukan yaitu medikamentosa, DC
shock, ablasi kateter, pemakaian alat pacu jantung dan tindakan bedah.








21

DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association, 2005. Guidelines for cardiopulmonary resuscitation
and emergency cardiovascular care: Pediatric advanced life support.
Circulation, Volume 112, pp. 167-187.
Chun, T. U. H. & Van Hare, G. F., 2004. Advances in the approach to treatment
of supraventricular tachycardia in the pediatric population. Current
Cardiology Reports, Volume 6, pp. 322-326.
Delacrtaz, E., 2006. Supraventricular Tachycardia. New England Journal of
Medicine, 354(10), pp. 1039-1051.
Doniger, S. J. & Sharieff, G. Q., 2006. Pediatric Dysrythmias. Pediatric Clinics of
North America, Volume 53, pp. 85-105.
Dubin, A., 2007. Cardiac arrhythmias. In: R. Kliegmann, R. Behrmann, H. Jenson
& B. Stanton, eds. Nelson Textbook of Pediatrics 18th ed. Philadelphia:
Saunders, Elsevier, pp. 1942-1950.
Hanash, C. R. & Crosson, J. E., 2010. Emergency Diagnosis and Management of
Pediatric Arrhythmias. J Emerg Trauma Shock, Volume 3(3), p. 251260.
Hanisch, D., 2001. Pediatric arrhythmias. Journal of Pediatric Nursing, Volume
16, pp. 351-362.
Iyer, V. R., 2008. Drug Therapy Considerations in Arrhythmias in Children.
Indian Pacing and Electrophysiology Journal, Volume 8 (3), pp. 202-210.
Kannankeril, P. & Fish, F., 2008. Disorders of Cardiac Rhythm and Conduction.
In: , eds. . 7th ed.. In: H. Allen, D. Driscoll, R. Shaddy & T. Feltes, eds.
Moss and Adams' Heart Disease in Infants, Children, and Adolescents:
Including the Fetus and Young Adults 7th Ed. Philadelphia: Lippincott,
Williams and Wilkins, pp. 293-342.
Kantoch, M. J., 2005. Supraventricular tachycardia in children. Indian Journal of
Pediatrics, Volume 72, pp. 609-619.
Kim, Y. H., Park, H.-S., Hyun, M. C. & Kim, Y.-N., 2012. Pediatric
Tachyarrhythmia and Radiofrequency Catheter Ablation: Results From
1993 to 2011. Korean Circulation Journal, Volume 42, pp. 735-740.
22

Kothari, D. S. & Skinner, J. R., 2006. Neonatal tachycardias: an update. Arch Dis
Child Fetal Neonatal, Volume 91, p. 136144.
Link, M. S., 2012. Evaluation and Initial Treatment of Supraventricular
Tachycardia. The New England Journal of Medicine, 367(15), pp. 1438-
1448.
Manole, M. D. & Saladino, R. A., 2007. Emergency Department Management of
the Pediatric Patient With Supraventricular Tachycardia. Pediatric
Emergency Care, 23(3), pp. 176-189.
Moghaddam, M. Y. A., Dalili, S. M. & Emkanjoo, Z., 2008. Efficacy of
Adenosine for Acute Treatment of Supraventricular Tachycardia in Infants
and Children. The Journal of Tehran University Heart Center, Volume
3(3), pp. 157-162.
Schlechte, E. A., Boramanand, N. & Funk, M., 2008. Supraventricular
Tachycardia in the Pediatric Primary Care Setting: Agerelated Presentation,
Diagnosis, and Management. Journal of Pediatric Health Care, 22(5), pp.
289-299.
Sekar, R. P., 2008. Epidemiology of Arrhythmias in Children. Indian Pacing and
Electrophysiology Journal, Volume 8, pp. 8-13.
Wong, K. K., Potts, J. E., Etheridge, S. P. & Sanatani, S., 2006. Medications used
to manage supraventricular tachycardia in the infant: A North American
Survey. Pediatric Cardiology, Volume 27, pp. 199-203.











23

REFERAT
SUPRAVENTRIKULAR TAKIKARDIA PADA ANAK







Disusun Oleh :
Rahmah Fitri Utami G1A212042

Pembimbing :
dr. Ariadne Tiara H., Sp.A., Msi. Med


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU- ILMU KESEHATAN
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD Prof.Dr. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2014
24

LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
SUPRAVENTRIKULAR TAKIKARDIA PADA ANAK

Diajukan untuk memenuhi syarat
Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior
Di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan
Pada tanggal Maret 2014


Disusun oleh :
Rahmah Fitri Utami G1A212042


Purwokerto, Maret 2014
Pembimbing,


dr. Ariadne Tiara H., Sp.A., Msi. Med

You might also like