You are on page 1of 26

1

DAFTAR ISI
BAB I : Pendahuluan 2
BAB II : Anatomi Jantung 4
Persarafan Jantung 7
Pembuluh Jantung 7
Fisiologi Jantung 8
Sistem Konduksi Jantung 10
Definisi Atrial Fibrilasi 12
Klasifikasi Atrial Fibrilasi 12
Etiologi Atrial Fibrilasi 13
Tanda Dan Gejala Atrial Fibrilasi 14
Faktor Resiko Atrial Fibrilasi 14
Patofisiologi Atrial Fibrilasi 15
Penatalaksanaan Atrial Fibrilasi 16
BAB III : Penanganan Atrial Fibrilasi Pada Gagal Jantung 19
BAB IV : Kesimpulan 24
Daftar Pustaka 25

















2


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Atrial fibrilasi (AF) merupakan suatu aritmia jantung paling umum yang
melibatkan peran dari bagian-bagian jantung, terutama atrium
1
. Pengertian kata AF
berasal dari fibrillating atau bergetarnya otot-otot jantung atrium, jadi bukan merupakan
suatu kontraksi yang terkoordinasi. Hal ini sering diidentifikasi dengan peningkatan
denyut jantung dan ketidakteraturan irama jantung. Sedangkan untuk indicator untuk
mementukan ada tidaknya AF adalah tidak adanya gelombang P pada elektrokardiogram
(EKG), yang secara normal ada saat kontraksi atrium yang terkoordinasi
2
.
Atrial fibrilasi merupakan aritmia yang paling umum ditemukan dalam praktek
klinis
3
. Hal ini juga menyumbang
1
/
3
dari penerimaan pasien rumah sakit untuk gangguan
irama jantung
4
. Hal itu juga sesuai dengan pernyataan bahwa tingkat penerimaan untuk
AF telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir
5
. Sedangkan untuk presentase stroke
yang berasal dari AF berkisar 6-24% dari semua stroke iskemik, sedangkan 3-11% dari
mereka yang secara struktural terdiagnosis AF, memiliki jantung yang normal
6
. Dari
sekitar 2,2 juta orang di Amerika Serikat, ditemukan kurang lebih 160.000 kasus baru
setiap tahun. Pada prevalensi umum AF, terdapat peningkatan seiring dengan
bertambahnya usia, yaitu sekitar 1-2%. Pada usia kurang dari 50 tahun (<50 tahun),
prevalensi AF kurang lebih berkisar pada nilai presentase 1 % dan kemudian meningkat
menjadi 9 % pada usia 80 tahun. AF lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan
dengan wanita, walaupun sebenarnya tidak ada kepustakaan yang mengatakan adanya
perbedaan yang relevan antara jenis kelamin pria dengan wanita yang mempengaruhi
prevalensi AF
7
.
Pada dasarnya, jantung bisa melakukan kontraksi karena adanya sistem konduksi
sinyal elektrik yang berasal dari nodus sino-atrial (SA). Pada AF, nodus SA tidak mampu
melakukan fungsinya secara normal, hal ini menyebabkan tidak teraturnya konduksi
sinyal elektrik dari atrium ke ventrikel. Akibat dari hal tersebut, detak jantung menjadi
tidak teratur dan terjadi peningkatan denyut jantung. Keadaan ini dapat terjadi dan
berlangsung dari menit ke minggu atau dapat terjadi sepanjang waktu selama bertahun-
tahun. Kecenderungan alami dari AF sendiri adalah kecenderungan untuk menjadi kondisi
kronis dan menyebabkan adanya komplikasi lain
8
.
3

AF seringkali tanpa disertai adanya gejala, tapi terkadang AF dapat menyebabkan
palpitasi, penurunan kesadaran, nyeri dada dan gagal jantung kongestif. Orang dengan AF
biasanya memiliki peningkatan signifikan risiko stroke (hingga >7 kali populasi umum).
Pada AF, risiko stroke meningkat tinggi, hal ini dikarenakan adanya pembentukan
gumpalan di atrium sehingga menurunkan kemampuan kontraksi jantung, khususnya pada
atrium kiri jantung
9
. Disamping itu, tingkat peningkatan risiko stroke tergantung juga pada
jumlah faktor risiko tambahan. Tetapi, banyak orang dengan AF memang memiliki faktor
risiko tambahan dan AF juga merupakan penyebab utama dari stroke
10
.
AF dapat diobati dengan pengobatan yang baik dengan memperlambat denyut
jantung atau mengembalikan irama jantung kembali normal. Elektrik kardioversi juga
dapat digunakan untuk mengkonversi irama jantung AF kembali ke irama jantung yang
normal. Disamping hal tersebut, bedah dan terapi berbasis kateter juga dapat digunakan
untuk mencegah terulangnya AF dalam individu-individu tertentu.





















4

BAB II
DASAR PERBAHASAN

1. Anatomi, Persarafan dan Pembuluh Darah Jantung
a. Anatomi Jantung
Jantung adalah organ berotot dan berongga yang berfungsi memompa darah
melalui pembuluh darah dengan frekuensi denyut yang ritmik. Jantung manusia
dewasa mempunyai berat yang hampir sama antara satu orang dengan orang yang lain,
yaitu kurang lebih sekitar 300-350 gr. Jantung secara normal terletak didalam rongga
toraks, yang berada diantara sternum di sebelah anterior dan vertebra di sebelah
posterior, sedangkan pada bagian inferior berbatasan dengan diafragma
11,12
.
Anatomi jantung dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu anatomi eksternal dan
anatomi internal
10,11,12
.
1. Anatomi Eksternal
Anatomi eksternal jantung dapat dikatakan sebagai bagian lapisan-lapisan
pada jantung. Pada dasarnya terdapat tiga bagian lapisan pada jantung, yaitu
pericardium, miokardium dan endokardium.
Lapisan perikardium merupakan lapisan jantung bagian luar yang terbuat
oleh jaringan ikat yang tebal. Lapisan ini terdiri dari 2 lapisan yaitu perikardium
parietal yang berada dibagian luar dan perikardium visceral yang berada dibagian
dalam. Ruangan diantara perikardium parietal dan perikardium visceral dinamakan
rongga perikardial yang berisi cairan perikardium encer. Fungsi rongga tersebut
adalah sebagai ruang kompsensasi pergerakan jantung.
Lapisan kedua adalah lapisan miokardium, yang merupakan lapisan paling
tebal dan lapisan yang terdiri atas otot-otot jantung. Lapisan ini terdiri dari 3
macam otot, yaitu otot atrium, otot ventrikel dan otot serat khusus. Otot atrium
mempunyai karakteristik otot yang lebih tipis dibandingkan dengan otot ventrikel,
hal ini lebih banyak dipengaruhi oleh fungsi kontraktilitas jantung berkaitan
dengan fungsi pompa darah ke seluruh tubuh. Otot atrium dan otot ventrikel
mempunyai kinerja kontraksi yang sama, sedangkan otot serat khusus lebih
tergantung dari rangsang konduksi jantung.
Lapisan yang terakhir adalah lapisan endokardium. Lapisan ini adalah
suatu lapisan yang terdiri dari membran tipis di bagian luar yang membungkus
5

jantung. Lapisan ini terdiri dari jaringan epitel (endotel) dan berhubungan
langsung dengan jantung.
2. Anatomi Internal
Jantung terdiri dari 4 ruang, yaitu atrium kanan, atrium kiri, ventrikel
kanan dan ventrikel kiri. Bagian kanan (atrium dan ventrikel kanan) dan kiri
(atrium dan ventrikel kiri) jantung dipisahkan oleh suatu sekat yang dinamakan
septum cordis. Disamping itu, jantung juga mempunyai 4 buah katup jantung,
yang terdiri dari katup trikuspidalis, katup mitral/bikuspidalis, katup semilunar
pulmonalis dan katup semilunar aorta.
a. Atrium Kanan
Atrium kanan merupakan ruang pada jantung yang berfungsi untuk
menampung darah vena yang mengalir melalui vena kava inferior dan vena
kava superior. Kedua vena kava bermuara pada tempat yang berbeda, vena
kava superior bermuara pada dinding bagian supero-posterior atrium kanan,
sedangkan vena kava inferior bermuara pada dinding bagian infero-latero-
posterior atrium kanan.
b. Ventrikel Kanan
Ventrikel kanan merupakan ruangan setelah atrium kanan. Darah vena
akan dialirkan dari atrium kanan ke ventrikel kanan, yang sebelumnya
melewati katup atrio-ventrikular kanan atau triskupidalis.
c. Atrium Kiri
Atrium kiri merupakan ruangan yang menerima darah (bersih) yang
berasal dari paru-paru. Atrium kiri menerima darah dari empat vena
pulmonalis yang bermuara pada dinding postero-posterior atau postero-lateral.
d. Ventrikel Kiri
Ventikel kiri merupakan bagian ruangan pada jantung yang berfungsi
memompa darah ke seluruh bagian organ tubuh. Ventrikel kiri mempunyai
tebal lapisan sebesar 2-3 kali lipat dibandingkan dengan ventrikel kanan. Hal
ini dipengaruhi oleh fungsi pompa darah ventrikel kanan dan kiri.
e. Katup Semilunar
Katup semilunar terdiri dari dua katup, yaitu katup semilunar
pulmonalis dan katup semilunar aorta. Kedua katup ini mempunyai bentuk
katup yang sama, tetapi secara antomis katup semilunar aorta lebih tebal
dibandingkan dengan katup semilunar pulmonalis. Katup semilunar pulmonalis
6

berfungsi sebagai sekat antara ventrikel kanan dengan paru-paru, sedangkan
katup semilunar aorta berfungsi sebagai sekat antara ventrikel kiri dengan
aorta. Setiap katup terdiri dari tiga daun katup, untuk katup semilunar
pulmonalis terdiri dari daun katup anterior, dekstra dan sinistra. Sedangkan
katup semilunar aorta terdiri dari daun katup koroner dekstra, koroner sinistra
dan non-koroner.
f. Katup Atrio-Ventrikuler
Katup Atrio-ventrikuler terdiri dari dua katup, yaitu katup trikuspidalis
dan katup bikuspidalis atau mitral. Katup trikuspidalis terdiri dari tiga daun
katup yang berbeda ukuran pada setiap daun katup. Ketiga daun katup ini
adalah katup anterior, septal dan katup posterior. Katup ini terletak sebagai
sekat antara atrium kanan dengan ventrikel kanan. Sedangkan katup
bikuspidalis (mitral) terletak sebagai sekat antara atrium kiri dengan ventrikel
kiri. Katup bikuspidalis (mitral) mempunyai dua daun katup, yang terdiri dari
daun katup mitral anterior dan posterior.
Aliran darah yang melewati kedua katup tidak hanya diatur oleh kedua
katub ini, tetapi lebih diatur oleh interaksi antara atrium, annulus fibrosus,
daun katup, korda tandinea, otot papillaris dan otot ventrikel. Keenam
komponen ini merupakan rangkaian unit fungsional dalam proses aliran darah,
sehingga bila terjadi gangguan pada salah satu komponen akan mengakibatkan
gangguan hemodinamik yang serius.
7


Gambar 1. Anatomi Jantung
b. Persarafan Jantung
Jantung dipersarafi oleh sistem saraf otonom, yaitu serabut saraf simpatis dan
serabut saraf parasimpatis. Serabut saraf simpatis mempersarafi daerah atrium,
ventrikel dan pembuluh darah koroner. Sedangkan serabut saraf parasimpatis
mempersarafi nodus sino-atrial, atrio-ventrikuler dan otot-otot atrium
11,12
.
Persarafan simpatis eferen preganglionik berasal dari medulla spinalis torakal
III-VI dan diperantarai oleh norepinefrin. Sedangkan persarafan parasimpatis berasal
dari pusat nervus vagus di medulla oblongata dan diperantarai oleh asetilkolin. Secara
fungsional, saraf simpatis mempengaruhi kinerja dari otot ventrikel, sedangkan saraf
parasimpatis lebih berperan dalam mengontrol irama dan menurunkan laju denyut
jantung.
c. Pembuluh Darah Jantung
Pendarahan otot jantung berasal dari aorta melalui dua pembuluh koroner,
yaitu arteri koroner kanan dan arteri koroner kiri. Kedua arteri ini, baik arteri koroner
kanan atau arteri koroner kiri keluar dari sinus valsava aorta. Arteri koroner kiri akan
bercabang menjadi arteri sirkumfleks kiri dan arteri desendens anterior kiri yang
memperdarahi sebagian besar bagian proksimal RBB (right bundle branch), LBB (left
8

bundle branch) dan fasikulus anterior LBB. Sedangkan arteri koroner kanan akan
bercabang menjadi arteri atrium anterior kanan yang memperdarahi nodus sino-atrial
dan arteri koroner desendens posterior yang memperdarahi nodus atrio-ventrikuler dan
fasikulus posterior LBB. Pembuluh darah balik dari otot jantung adalah vena koroner.
Vana koroner ini berjalan berdampingan dengan arteri koroner yang akan masuk atau
bermuara ke dalam atrium kanan melalui sinus koronarius
11,12,13
.

Gambar 2. Pembuluh Darah Jantung
2. Fisiologi dan Sistem Konduksi Jantung
a. Fisologi Jantung
Jantung berkontraksi atau berdenyut dengan irama yang ritmik, akibat adanya
potensial aksi (otoritmisitas). Terdapat dua jenis khusus sel otot jantung, yaitu 99%
sel-sel kontraktil yang melakukan kerja mekanik (kontraksi), tetapi tidak
menghasilkan potensial aksi dan 1 % sel-sel otoritmik yang tidak melakukan kerja
mekanik (tidak berkontraksi), tetapi mempunyai fungsi dalam mencetuskan dan
menghantarkan potensial aksi
11,12,13
.
Aksi potensial otot jantung yang memicu suatu proses kontraksi mekanik
jantung dinamakan excitation contraction coupling. Kontraksi otot jantung dimulai
dengan adanya aksi potensial pada sel-sel otoritmik. Potensial aksi dimulai dari proses
dopalarisasi, proses plateau dan proses repolarisasi. Ketiga proses ini merupakan
rangkaian proses potensial aksi yang harus ada untuk memicu kontraksi otot jantung
11
.
Potensial aksi dimulai dari proses depolarisasi, dimana terjadi pembukaan
saluran Na
+
secara cepat. Proses masuknya ion Na
+
menyebabkan perubahan potensial
membran sel-sel otoritmik, mulai dari -70 mv hingga +30 mv. Setelah mencapai
ambang batas perubahan potensial, saluran Na
+
akan segera menutup yang kemudian
9

diikuti pembukaan saluran Ca
2+
. Pembukaan saluran Ca
2+
terjadi secara lambat, yang
menyebabkan proses plateau dan influks Ca
2+
dari ekstraseluler ke dalam intraseluler
atau sel-sel otoritmik. Setelah beberapa saat, saluran Ca
2+
akan menutup dan terjadi
pembukaan saluran K
+
. Pembukaan saluran K
+
menyebabkan terjadinya proses
repolarisasi, yang ditandai dengan keluarnya atau effluks K
+
ke ekstraseluler
12,13,14
.

Gambar 3. Fisiologi Potensial Aksi Jantung
Proses kontraktilitas otot jantung terjadi pada fase plateau proses potensial
aksi, dimana terjadi penutupan saluran Na
2+
dan pembukaan saluran Ca
2+
secara
lambat. Proses kontraktilitas otot jantung ini terjadi akibat influks Ca
2+
atau kenaikan
konsentrasi Ca
2+
bebas intraseluler. Pada dasarnya terdapat dua mekanisme yang dapat
menerangkan hal tersebut, yaitu Ca
2+
ekstraseluler berdifusi kedalam intraseluler
akibat pembukaan saluran Ca
2+
selama fase plateu pada potensial aksi jantung dan
Ca
2+
yang dikeluarkan dari cadangan intraseluler (sarcoplamic reticulum) akibat
rangsangan masuknya Ca
2+
yang berasal dari ekstraseluler
13,14
.
Peningkatan Ca
2+
dalam intraseluler mengakibatkan adanya ikatan Ca
2+
dengan
troponin. Ikatan antara Ca
2+
dengan troponin, mengakibatkan kontraksi otot-otot
jantung. Selama kontraksi otot jantung, filamen-filamen tebal (miosin) dan tipis
(aktin) akan saling menggeser untuk memperpendek tiap sarkomer. Berkurangnya
ikatan antara Ca
2+
dengan troponin akan menyebabkan stimulasi proses relaksasi otot
jantung. Pada fase ini, Ca
2+
yang tidak berikatan dengan troponin akan disimpan
10

kembali di dalam sarcoplamic reticulum dan sebagian Ca
2+
keluar ke ekstraseluler.
Proses keluarnya Ca
2+
ke ekstraseluler terjadi karena adanya pertukaran dengan ion
Na
2+
yang berada di ekstraseluler. Kemudian ion Na
+
yang telah masuk kedalam
intraseluler akan bertukaran secara aktif dengan ion K
+
melalui proses Na
+
- K
+
-
ATPase
13,14
.

Gambar 4. Fisiologi kontraksi dan Relaksasi Otot Jantung
b. Sistem Konduksi Jantung
Pada dasarnya yang menyebabkan adanya potensial aksi hingga menimbulkan
kontraktilitas otot jantung adalah adanya impuls atau rangsangan elektrik. Sistem
konduksi jantung terdiri dari nodus sino-atrial, nodus atrio-ventrikuler, berkas his,
berkas cabang kanan-kiri dan serabut purkinje. Rangsangan atau sinyal elektrik
pertama jantung berawal di nodus sino-atrial (Nodus SA) yang berada di latero-
superior atrium kanan. Terjadinya sinyal elektrik pada nodus SA menyebabkan
kontraksi dari atrium, baik atrium kanan ataupun atrium kiri. Kontraksi yang
bersamaan antara atrium kanan dan kiri dipengaruhi oleh penjalaran rangsangan
elektrik melalui traktus inter-atrial yang merupakan cabang dari nodus SA. Nodus SA
memiliki kemampuan mencetuskan potensial elektrik (pacemaker) tercepat bila
dibandingkan dengan sistem konduksi jantung yang lain, yaitu sebesar 60-100
potensial aksi/menit. Kemampuan ini menyebabkan nodus SA sebagai pengontrol
utama rangsangan elektrik jantung (overdrive pacemaker) dan mengendalikan sistem
konduksi jantung
7,9
.
11

Sistem penjalaran rangsangan elektrik harus terkoordinasi dengan baik untuk
menimbulkan proses mekanik atau pemompaan yang efisien. Penjalaran sinyal
elektrik harus memenuhi tiga kriteria, diantaranya adalah :
a. Rangsangan dan kontraksi atrium harus sudah selesai sebelum kontraksi ventrikel
dimulai
b. Rangsangan otot-otot jantung dikoordinasi untuk memastikan setiap pasangan
atrium dan pasangan ventrikel berkontraksi sebagai satu kesatuan
c. Pasangan atrium dan ventrikel harus saling terkoordinasi sebagai satu sinsitium.
Sinyal elektrik dari nodus SA kemudian akan diteruskan ke nodus atrio-
ventrikuler (nodus AV). Rangsangan elektrik ini dihantarkan melalui traktus
internodal (internodal anterior, posterior dan medial). Nodus AV merupakan satu-
satunya penghubung sistem konduksi antara atrium dengan ventrikel. Disamping itu,
nodus AV juga mempunyai kemampuan mencetuskan potensial elektrik (pacemaker)
kedua tercepat, yaitu sebesar 40-60 potensial aksi/menit. Hal ini memungkinkan nodus
SA sebagai pengontrol dan pengendali sistem konduksi jantung apabila terjadi blok
pada rangsangan elektrik nodus SA. Secara fisiologis, nodus AV sebenarnya memiliki
keterlambatan penjalaran sinyal elektrik, yaitu sebesar 0,08-0,12 detik. Keterlambatan
ini sebenarnya mempunyai fungsi dalam memberikan waktu atrium untuk berkontraksi
sempurna dan memberikan waktu dalam proses mengosongkan voleme atrium ke
dalam ventrikel (memberi waktu pengisian ventrikel), sebelum ventrikel
terdepolarisasi dan berkontraksi
8,9,10
.
Sistem konduksi setelah nodus AV adalah berkas his. Berkas his sebenarnya
dapat dikatakan sebagai sekelompok serabut purkinje yang berasal dari nodus AV,
yang berjalan sepanjang septum interventrikuler menuju ke ventrikel. Berkas his akan
bercabang menjadi dua bagian, yaitu berkas cabang kanan dan berkas cabang kiri.
Berkas cabang kanan (RBB/right bundle branch) merupakan percabangan dari berkas
his. RBB bercabang sebagai struktur tunggal di lapisan subendokardium di sisi bagian
kanan. Kemudian RBB akan terbagi menjadi tiga cabang, yaitu RBB cabang anterior,
posterior dan lateral. Bagian RBB lateral akan berjalan menuju dinding lateral
ventrikel kanan dan menuju bagian bawah septum interventrikuler, yang kemudian
akan membentuk anyaman purkinje atau serabut purkinje. Berbeda dengan RBB,
berkas cabang kiri (LBB/left bundle branch) mempunyai dua struktur percabangan.
Kedua struktur percabangan LBB ini berjalan di subendokardium di sisi bagian kiri
dan kemudian masing-masing percabangan akan membentuk suatu struktur bangunan
12

seperti pada percabangan RBB, yaitu serabut purkinje. Penjalaran sinyal elektrik
menuju ventrikel melewati berkas his dan serabut purkinje berjalan sangat cepat.
Disamping itu, serabut purkinje juga mempunyai peran dalam menjaga keseimbangan
koordinasi kontraktilitas (sinsitium) antara ventrikel kanan dan ventrikel kiri
5,7,9,14
.



Gambar 5. Sistem Konduksi Jantung


3. Atrial Fibrilasi
a. Definisi
Atrial fibrilasi adalah suatu gangguan pada irama jantung (aritmia) yang
ditandai dengan ketidakteraturan irama denyut jantung dan peningkatan frekuensi
denyut jantung, yaitu sebesar 100 - 175 x/menit. Pada dasarnya atrial fibrilasi
merupakan suatu takikardi supraventrikuler dengan aktivasi atrial yang tidak
terkoordinasi dan deteriorisasi fungsi mekanik atrium. Keadaan ini menyebabkan tidak
efektifnya proses mekanik atau pompa darah jantung
2,5,6
.
b. Klasifikasi
Menurut AHA (American Heart Association), klasifikasi dari atrial fibrilasi
dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu
2
:
a. AF deteksi pertama
Semua pasien dengan AF selalu diawali dengan tahap AF deteksi pertama. Tahap
ini merupakan tahapan dimana belum pernah terdeteksi AF sebelumnya dan baru
pertama kali terdeteksi.
b. Paroksismal AF
13

AF yang berlangsung kurang dari 7 hari atau AF yang mempunyai episode
pertama kali kurang dari 48 jam dinamakan dengan paroksismal AF. AF jenis ini
juga mempunyai kecenderungan untuk sembuh sendiri dalam waktu kurang dari
24 jam tanpa bantuan kardioversi.
c. Persisten AF
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 7
hari. Berbeda dengan paroksismal AF, persisten AF perlu penggunaan dari
kardioversi untuk mengembalikan irama sinus kembali normal.
d. Kronik/permanen AF
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 7 hari. Pada permanen AF,
penggunaan kardioversi dinilai kurang berarti, karena dinilai cukup sulit untuk
mengembalikan ke irama sinus yang normal.

Gambar 6. Pola Klasifikasi Atrial Fibrilasi
Disamping klasifikasi menurut AHA (American Heart Association), AF juga
sering diklasifikasikan menurut lama waktu berlangsungnya, yaitu AF akut dan AF
kronik. AF akut dikategorikan menurut waktu berlangsungnya atau onset yang kurang
dari 48 jam, sedangkan AF kronik sebaliknya, yaitu AF yang berlangsung lebih dari
48 jam.
c. Etiologi
Etiologi yang terkait dengan AF terbagi menjadi beberapa faktor-faktor,
diantaranya adalah
5,6
:
a. Peningkatan tekanan/resistensi atrium
1. Penyakit katup jantung
14

2. Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium
3. Hipertrofi jantung
4. Kardiomiopati
5. Hipertensi pulmo (chronic obstructive pulmonary disease dan cor pulmonal
chronic)
6. Tumor intracardiac
b. Proses infiltratif dan inflamasi
1. Pericarditis/miocarditis
2. Amiloidosis dan sarcoidosis
3. Faktor peningkatan usia
c. Proses infeksi
1. Demam dan segala macam infeksi
d. Kelainan Endokrin
1. Hipertiroid
2. Feokromositoma
e. Neurogenik
1. Stroke
2. Perdarahan subarachnoid
f. Iskemik Atrium
1. Infark miocardial
g. Obat-obatan
1. Alkohol
2. Kafein
h. Keturunan/genetik
d. Tanda dan Gejala
Pada dasarnya AF, tidak memberikan tanda dan gejala yang khas pada
perjalanan penyakitnya. Umumnya gejala dari AF adalah peningkatan denyut jantung,
ketidakteraturan irama jantung dan ketidakstabilan hemodinamik. Disamping itu, AF
juga memberikan gejala lain yang diakibatkan oleh penurunan oksigenisasi darah ke
jaringan, seperti pusing, kelemahan, kelelahan, sesak nafas dan nyeri dada. Tetapi,
lebih dari 90% episode dari AF tidak menimbulkan gejala-gejala tersebut
7,8,9
.
e. Faktor Resiko
Beberapa orang mempunyai faktor resiko terjadinya AF, diantaranya adalah :
a. Diabetes Melitus
15

b. Hipertensi
c. Penyakit Jantung Koroner
d. Penyakit Katup Mitral
e. Penyakit Tiroid
f. Penyakit Paru-Paru Kronik
g. Post. Operasi jantung
h. Usia 60 tahun
i. Life Style
f. Patofisiologi
Mekanisme AF terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi lokal dan multiple
wavelet reentry. Proses aktivasi lokal bisa melibatkan proses depolarisasi tunggal atau
depolarisasi berulang. Pada proses aktivasi lokal, fokus ektopik yang dominan adalah
berasal dari vena pulmonalis superior. Selain itu, fokus ektopik bisa juga berasal dari
atrium kanan, vena cava superior dan sinus coronarius. Fokus ektopik ini
menimbulkan sinyal elektrik yang mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan
menggangu potensial aksi yang dicetuskan oleh nodus SA
7,9,14
.
Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang
berulang dan melibatkan sirkuit/jalur depolarisasi. Mekanisme multiple wavelet
reentry tidak tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi lokal,
tetapi lebih tergantung pada sedikit banyaknya sinyal elektrik yang mempengaruhi
depolarisasi. Pada multiple wavelet reentry, sedikit banyaknya sinyal elektrik
dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode refractory, besarnya ruang atrium dan
kecepatan konduksi. Hal ini bisa dianalogikan, bahwa pada pembesaran atrium
biasanya akan disertai dengan pemendekan periode refractory dan penurunan
kecepatan konduksi. Ketiga faktor tersebutlah yang akan meningkatkan sinyal elektrik
dan menimbulkan peningkatan depolarisasi serta mencetuskan terjadinya AF
7,9,14
.

16

Gambar 7. A. Proses Aktivasi Lokal Atrial Fibrilasi dan B. Proses Multiple Wavelets Reentry
Atrial Fibrilasi
g. Penatalaksanaan
Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol ketidakteraturan
irama jantung, menurunkan peningkatan denyut jantung dan menghindari/mencegah
adanya komplikasi tromboembolisme. Kardioversi merupakan salah satu
penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk AF. Menurut pengertiannya, kardioversi
sendiri adalah suatu tata laksana yang berfungsi untuk mengontrol ketidakteraturan
irama dan menurunkan denyut jantung. Pada dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2,
yaitu pengobatan farmakologi (Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan
elektrik (Electrical Cardioversion)
8,10
.
a. Mencegah pembekuan darah (tromboembolisme)
Pencegahan pembekuan darah merupakan pengobatan untuk mencegah
adanya komplikasi dari AF. Pengobatan yang digunakan adalah jenis antikoagulan
atau antitrombosis, hal ini dikarenakan obat ini berfungsi mengurangi resiko dari
terbentuknya trombus dalam pembuluh darah serta cabang-cabang vaskularisasi.
Pengobatan yang sering dipakai untuk mencegah pembekuan darah terdiri dari
berbagai macam, diantaranya adalah :
1. Warfarin
Warfarin termasuk obat golongan antikoagulan yang berfungsi dalam proses
pembentukan sumbatan fibrin untuk mengurangi atau mencegah koagulasi.
Warfarin diberikan secara oral dan sangat cepat diserap hingga mencapai
puncak konsentrasi plasma dalam waktu 1 jam dengan bioavailabilitas 100%.
Warfarin di metabolisme dengan cara oksidasi (bentuk L) dan reduksi (bentuk
D), yang kemudian diikuti oleh konjugasi glukoronidasi dengan lama kerja
40 jam.
2. Aspirin
Aspirin secara irreversible menonaktifkan siklo-oksigenase dari trombosit
(COX
2
) dengan cara asetilasi dari asam amino serin terminal. Efek dari COX
2

ini adalah menghambat produksi endoperoksida dan tromboksan (TXA
2
) di
dalam trombosit. Hal inilah yang menyebabkan tidak terbentuknya agregasi
dari trombosit. Tetapi, penggunaan aspirin dalam waktu lama dapat
menyebabkan pengurangan tingkat sirkulasi dari faktor-faktor pembekuan
darah, terutama faktor II, VII, IX dan X.
17

b. Mengurangi denyut jantung
Terdapat 3 jenis obat yang dapat digunakan untuk menurunkan
peningkatan denyut jantung, yaitu obat digitalis, -blocker dan antagonis kalsium.
Obat-obat tersebut bisa digunakan secara individual ataupun kombinasi.
1. Digitalis
Obat ini digunakan untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan
menurunkan denyut jantung. Hal ini membuat kinerja jantung menjadi lebih
efisien. Disamping itu, digitalis juga memperlambat sinyal elektrik yang
abnormal dari atrium ke ventrikel. Hal ini mengakibatkan peningkatan
pengisian ventrikel dari kontraksi atrium yang abnormal.

2. -blocker
Obat -blocker merupakan obat yang menghambat efek sistem saraf
simpatis. Saraf simpatis pada jantung bekerja untuk meningkatkan denyut
jantung dan kontraktilitas jantung. Efek ini akan berakibat dalam efisiensi
kinerja jantung.
3. Antagonis Kalsium
Obat antagonis kalsium menyebabkan penurunan kontraktilitas jantung
akibat dihambatnya ion Ca
2+
dari ekstraseluler ke dalam intraseluler melewati
Ca
2+
channel yang terdapat pada membran sel.
c. Mengembalikan irama jantung
Kardioversi merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan
untuk menteraturkan irama jantung. Menurut pengertiannya, kardioversi sendiri
adalah suatu tata laksana yang berfungsi untuk mengontrol ketidakteraturan irama
dan menurunkan denyut jantung. Pada dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2,
yaitu pengobatan farmakologi (Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan
elektrik (Electrical Cardioversion).
1. Pharmacological Cardioversion (Anti-aritmia)
a. Amiodarone
b. Dofetilide
c. Flecainide
d. Ibutilide
e. Propafenone
f. Quinidine
18

2. Electrical Cardioversion
Suatu teknik memberikan arus listrik ke jantung melalui dua pelat
logam (bantalan) ditempatkan pada dada. Fungsi dari terapi listrik ini adalah
mengembalikan irama jantung kembali normal atau sesuai dengan NSR (nodus
sinus rhythm).

3. Operatif
a. Catheter ablation
Prosedur ini menggunakan teknik pembedahan dengan membuatan sayatan
pada daerah paha. Kemudian dimasukkan kateter kedalam pembuluh darah
utma hingga masuk kedalam jantung. Pada bagian ujung kateter terdapat
elektroda yang berfungsi menghancurkan fokus ektopik yang bertanggung
jawab terhadap terjadinya AF.
b. Maze operation
Prosedur maze operation hamper sama dengan catheter ablation, tetapi
pada maze operation, akan mengahasilkan suatu labirin yang berfungsi
untuk membantu menormalitaskan system konduksi sinus SA.
c. Artificial pacemaker
Artificial pacemaker merupakan alat pacu jantung yang ditempatkan di
jantung, yang berfungsi mengontrol irama dan denyut jantung.













19

BAB III
PERBAHASAN

Atrium fibrilasi dan gagal jantung kronis adalah antara masalah utama kardiovaskular
yang sering terjadi pada waktu bersamaan. Tetapi, terdapat data yang kurang tentang cara
penanganan yang terbaik jika kedua keadaan ini terjadi pada waktu yang bersamaan. AF
sering dikaitkan dengan peningkatan mortalitas pada pasien gagal jantung namun masih
belum jelas ada atau tidak hubungan sebab akibat. Terdapat beberapa strategi untuk
mengelakkan kejadian AF pada pasien gagal jantung yang dapat memperbaiki kualiti hidup
dan survival pasien.

Pengenalan
AF dan gagal jantung adalah antara masalah utama kardiovaskular yang sedang
bertambah prevalensinya dalam masyarakat. Walaupun kurang data yang tepat, prevalensinya
diperkirakan sekitar > 1% dalam populasi umum dan meningkat dengan usia. Prevalensi < 1%
pada pasien kurang 60 tahun tetapi meningkat ke kurang lebih 8% pada usia 80 tahun ke atas.
Framingham Heart Study menjumpai prevalensi gagal jantung adalah 0.8% pada usia 50 59,
meningkat ke 6.6% pada lelaki dan 7.9% pada wanita usia 80 89. AF dan gagal jantung
sering terjadi bersama dan menjadi predisposisi satu sama lain. Pada gagal jantung ringan
sedang (NYHA II - III), prevalensi AF adalah 10 15 % manakala pada gagal jantung berat
(NYHA IV), terdapat AF pada 50% pasien.
Disfungsi sistolik dan diastolik, keduanya telah ditunjukkan berkaitan dengan
peningkatan risiko untuk terjadi AF. AF pula boleh menaikkan denyut jantung hingga terjadi
miopati-takikardi pada jantung yang sebelumnya normal. Malah pada pasien dengan gagal
jantung, AF sendiri meningkatkan risiko disfungsi ventrikel progresif dan eksaserbasi gejala
gagal jantung. Ini mungkin disebabkan oleh pengurangan pengisian ventrikel akibat kontraksi
otot jantung yang sudah tidak teratur. Jadi hubungan antara AF dan gagal jantung dapat
dikatakan membentuk suatu lingkaran yang menyebabkan satu sama lain terjadi. Menurut
Framingham Heart Study, pada 40% kasus didapatkan AF sebelum gagal jantung, 40% kasus
terdapat gagal jantung sebelum AF dan 20% kasus ditemukan kedua-duanya pada hari yang
sama.



20



Irama atau Denyut?
Pada pasien dengan AF dan gagal jantung, pengembalian dan seterusnya mengekalkan
irama sinus dianggap bermanfaat. Ini adalah kerana menurut beberapa kebaikan irama sinus
berbanding AF yaitu :
- Irama regular memperbaiki hemodinamik
- Meningkatkan cardiac output dengan memperbaiki pengisian
ventrikel
- Risiko tromboemboli dikurangkan
- Miopati takikardi dicegah
- Status fungsional dan kualiti hidup bertambah baik
Jadi adalah sangat mungkin mortalitas dan morbiditas dapat dikurangkan jika irama sinus
normal dapat dikembalikan dan seterusnya dikekalkan.
Sejak 2000, 5 studi telah dikemukakan untuk menunjukkan kebaikan pengawalan
irama sinus berbanding pengawalan denyut jantung tetapi tidak ada satu pun yang dapat
membuat kesimpulan bahawa pengawalan irama sinus adalah lebih baik berbanding
pengawalan denyut jantung. Hasil pengobatan pasien gagal jantung pada kedua jenis
pengawalan adalah kurang lebih sama. Pada pasien tanpa gagal jantung, terdapat pengurangan
mortalitas dengan pengawalan denyut jantung. Tetapi adanya irama sinus dikaitkan dengan
risiko mortalitas yang lebih rendah walaupun tidak diketahui itu adalah penyebab atau sekadar
penunjuk prognosis yang lebih baik.
Pengawalan denyut yang adekuat, hingga sekarang, belum ada definisinya. Pada
pasien AF dengan EF yang berkurang berat (23 8 %), denyut nadi waktu istirehat yang
rendah (<80x/menit) mungkin dikaitkan dengan prognosis yang jelek. Untuk mengelakkan
takikardi pada pasien AF, beberapa strategi tersedia sekarang.

Kontrol Denyutan Jantung
BETA BLOCKER : Dalam ACC/AHA/ESC Guidelines for the Management of AF,
beta bloker direkomendasikan dan pada studi AFFIRM, beta bloker adalah obat paling
berkesan untuk mengontrol denyut jantung. Tetapi kerana terdapat kesan inotropik negatif,
beta bloker yang diberi IV harus diberi dengan berhati-hati pada pasien dengan gagal jantung.
Hanya terdapat 1 trial terkontrol plasebo berkaitan dengan penggunaan beta bloker pada
pasien dengan AF dan gagal jantung. Hanya ada 47 pasien yang terlibat dan hasilnya adalah
21

EF yang membaik, simptom berkurang dan denyut terkawal kerana penggunaan carvedilol
dan digoxin. Metoprolol juga menurunkan risiko mortalitas dan transplantasi jantung secara
signifikan. Penurunan tekanan darah yang tinggi (>10mmHg) dengan bisoprolol mungkin
berbahaya pada pasien AF berbanding dengan irama sinus.
CA CHANNEL ANTAGONISTS : Antagonis saluran kalsium mempunyai kesan
inotropik negatif dan secara umumnya dianggap tidak sesuai pada pasien dengan gagal
jantung. Namun, terdapat beberapa studi kecil yang menunjukkan penggunaan diltiazem
jangka pendek pada pasien AF dengan gagal jantung sedang hingga berat adalah aman dan
efektif.
DIGITALIS GLYCOSIDES : Penggunaan digoxin untuk mengontrol laju denyut
jantung pada pasien dengan gagal jantung dan AF disarankan dalam guideline penanganan AF
dan gagal jantung. Sebuah studi kecil mencadangkan bahawa penggunaan kombinasi digoxin
dan beta bloker (carvedilol) mengurangkan gejala, memperbaiki fungsi ventrikel dan
menghasilkan kawalan denyut ventrikel yang lebih baik berbanding penggunaan tunggal salah
satu dari keduanya. Pada studi AFFIRM, kawalan denyutan pada waktu istirehat dan aktifitas
dapat dicapai pada 54% dengan digoxin dan 81% dengan beta bloker (dengan atau tanpa
digoxin). Digoxin tidak mengurangkan mortalitas pada pasien dengan irama sinus dan
mungkin berbahaya pada wanita. Jadi, penggunaan kombinasi kedua obat tersebut
memungkinkan pengurangan dosis yang dipakai pada setiap pasien, hingga memberikan
kelebihan dalam mengelakkan efek samping kedua-dua obat tersebut.
AMIODARONE : Penggunaan amiodaron pada pasien gagal jantung untuk
mengontrol denyut jantung sewaktu AF dianggap sebagai lini kedua dalam guideline. Kerna
efek sampingnya, amiodaron hanya digunakan jika terapi lain tidak berkesan atau
dikontraindikasikan. Amiodaron yang diberikan secara IV adalah aman relatif dan lebih
efektif berbanding digoxin pada pengawalan denyut jantung akut. Ini digunakan pada pasien
dengan keadaan yang kritikal. Namun, terdapat studi kecil yang menunjukkan peningkatan
resiko aritmia ventrikel 3 48 jam selepas pemberian amiodaron.
ATRIOVENTRICULAR NODAL ABLATION : Ablasi nodus AV dan pemicu
ventrikel adalah cara yang sangat efisien untuk mengontrol denyut jantung. Pasien dengan
gejala akibat taki-aritmia atau taki-kardiomiopati adalah yang paling mungkin mendapat
faedah dari terapi ini. Kerna ablasi nodus AV membuat ketergantungan pada pemicu jantung
seumur hidup, terapi ini harus dipikirkan yang terakhir sekali.


22

Kontrol Irama Sinus
BETA BLOCKER : Sehingga kini, penggunaan beta bloker untuk mengontrol irama
sinus selepas kardioversi pada pasien gagal jantung belum disentuh secara spesifik.
Mengobati gagal jantung dengan beta bloker mungkin mengurangkan beban atrial dan
membantu remodelling atrial. Pengobatan lama dengan beta bloker dikaitkan dengan
pemanjangan potensi aksi atrial. Ini akan memanjangkan gelombang atrial dan menghasilkan
kesan anti-fibrilasi. Penggunaan metoprolol mengurangkan resiko AF sebanyak 48%.
AMIODARONE AND DOFETILIDE : Pasien dengan gagal jantung mempunyai
resiko yang lebih tinggi untuk mengalami aritmia ventrikel dan kematian mendadak. Hanya
amiodarone dan dofetilide yang disarankan penggunaannya untuk mengekalkan irama sinus
pada pasien gagal jantung dengan AF. Dofetilide tidak mempunyai kesan inotropik negatif
maka tidak mempengaruhi mortalitas. Jadi terapi dengan dofetilide dianggap terapi yang
relatif aman pada gagal jantung. Namun, terapi dengan dofetilide mempunyai dosis terapeutik
yang sempit. Torsade des pointes dapat terjadi dengan penggunaan dofetilide tetapi dapat
dielakkan dengan mengatur dosis yang sesuai dengan fungsi ginjal dan monitor jantung
berterusan selama 3 hari pertama pemberiannya. Amiodarone juga dianggap terapi yang aman
pada pasien gagal jantung, dan bisa digunakan untuk mengelakkan terjadinya AF pada masa
depan. Tetapi efek samping seperti bradikardi menghalang penggunaan obat ini untuk jangka
panjang.

Pilihan Terapi Non-Farmakologik
CATHETER ABLATION : Menurut guideline yang terbaru, ablasi kateter untuk
mengontrol irama sinus dan mengelakkan terjadinya AF berulang dianggap terapi
alternatif yang sesuai berbanding terapi farmakologik pada pasien simptomatik dengan
pembesaran LA yang minimal atau tidak ada pembesaran LA sama sekali. Studi pasien
yang diterapi dengan ablasi kateter menunjukkan terapi ini memperbaiki fungsi jantung,
gejala, kapasiti kerja dan kualitas hidup pasien, walaupun pada pasien dengan penyakit
jantung lain.
SURGERY : Pembedahan dengan prosedur Cox-Maze, memisahkan atrium
kepada bagian yang berbeza supaya massa atrial yang tersedia untuk terus mengekalkan
AF berkurang. Irama sinus berterusan jangka panjang dalam 90% dari pasien yang
menjalani pembedahan ini tanpa perlu menggunakan obat anti artimia. Namun,
pembedahan disimpan untuk pasien yang memerlukan pembedahan jantung lain supaya
morbiditas dapat dikurangkan.
23


Terapi Lain
Terdapat beberapa obat yang tidak bekerja pada sistem elektrofisiologi jantung tetapi
didapati mempunyai kesan pada kejadian AF pada pasien gagal jantung.
RAAS BLOCKERS : Gagal jantung dikaitkan dengan aktivasi sistem renin-
angiotensin-aldosteron (RAAS). Tambahan pula, terdapat bukti bahawa ACE-inhibitors,
Angiotensin Receptor Blocker (ARB) dan antagonis aldosteron memberi manfaat pada pasien
gagal jantung. Pada model anjing, telah ditunjukkan bahawa ACE-inhibitor (enalapril)
melemahkan kesan gagal jantung pada konduksi atrial, fibrosis atrial dan durasi episode AF.
Terdapat beberapa studi yang menyimpulkan penggunaan irbesartan, enalapril dan eplerenone
boleh mengurangkan kejadian AF selepas kardioversi.
DIURETICS : Diuretik dan pembatasan garam diindikasikan pada pasien dengan
gejala atau riwayat gejala gagal jantung dan pada pasien dengan penurunan LVEF yang
mempunyai gejala retensi cairan. Diuretik mampu menurunkan ukuran atrium dan tekanan
dindingnya, maka secara teoritis mampu mengurangkan kejadian AF juga. Dalam sebuah
studi, dikaji kesan atenolol, captopril, clonidine, diltiazem, HCT dan prazosin pada ukuran
atrium kiri dan didapati HCT adalah yang paling efektif menurunkan ukuran atrium kiri.

















24





BAB IV
KESIMPULAN

AF dan gagal jantung sangat sering terjadi bersama hingga pada gagal jantung berat,
50% penderita juga menderita AF. Keadaan ini melbatkan ramai pasien yang menderita
penyakit yang kritikal hingga harus diteliti penatalaksanaan yang khusus buat mereka supaya
tidak memperparah penyakit mereka. Beberapa penelitian telah membandingkan obat-obatan
yang digunakan untuk mencari yang paling berkesan dan tidak menambah kerusakan pada
jantung pasien. Kesimpulannya, menurut ACC/AHA/ESC Guidelines for the Management of
AF, terapi pilihan untuk pasien gagal jantung dengan AF adalah amiodarone dan dofetilide.
Jika tidak berkesan dapat disarankan beberapa terapi lain seperti beta bloker, diuretik dan
ablasio kateter.


















25





DAFTAR PUSTAKA
1. Wyndham CRC (2000). "Atrial Fibrillation: The Most Common arrhythmia". Texas Heart
Institute Journal 27 (3): 257-67.
2. "Atrial Fibrillation (for Professionals)". American Heart Association, Inc. 2008-12-04. Archived
from the original on 2009-03-28.
3. Fuster V, Rydn LE, Cannom DS, et al. (2006). "ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for the
Management of Patients with Atrial Fibrillation: a report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines and the European
Society of Cardiology Committee for Practice Guidelines (Writing Committee to Revise the 2001
Guidelines for the Management of Patients With Atrial Fibrillation): developed in collaboration
with the European Heart Rhythm Association and the Heart Rhythm Society". Circulation 114 (7):
257354.
4. Friberg J, Buch P, Scharling H, Gadsbphioll N, Jensen GB. (2003). "Relationship between left
atrial appendage function and left atrial thrombus in patients with nonvalvular chronic atrial
fibrillation and atrial flutter".Circulation Journal 67 (1): 6872.
5. Narumiya T, Sakamaki T, Sato Y, Kanmatsuse K ( January 2003). Relationship between left
atrial appendage function and left atrial thrombus in patient with nonvalvular chronic atrial
fibrillation and atrial flutter. Circulation Journal 67.
6. Sanfilippo AJ, Abascal VM, Sheehan M, Oertel LB, Harrigan P, Hughes RA dan Weyman AE
(1990). "Atrial enlargement as a consequence of atrial fibrillation A prospective
echocardiographic study" . Circulation 82 (3): 7927.
7. Nasution SA, Ismail D. 2006. Fibrilasi Atrial. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalaml. Ed.3. Jakarta.
EGC, 1522-27.
8. Wattigney WA, Mensah GA, Croft JB (2002). "Increased atrial fibrillation mortality: United
States, 1980-1998". Am. J. Epidemiol. 155 (9): 81926.
9. Blackshear JL, Odell JA (February 1996). "Appendage obliteration to reduce stroke in cardiac
surgical patients with atrial fibrillation". Ann. Thorac. Surg. 61 (2): 7559.
10. Wolf PA, Dawber TR, Thomas HE, Kannel WB (1978). "Epidemiologic assessment of chronic
atrial fibrillation and risk of stroke: the Framingham study". Neurology 28 (10): 9737.
11. Guyton (1995). Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. EGC: 287-305.
12. Ganong William F (1999). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17. EGC: 682-712.
26

13. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson (2000). Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-proses Penyakit)
Buku 2, Edisi 4. EGC: 770-89, 813-93.
14. Harrison (2000). Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 3 Edisi 13. EGC: 1418-87.
15. Hans-Ruprecht Neuberger, Christian Mewis, Dirk J. van Veldhuisen, Ulrich Schotten, Isabelle C.
van Gelder, Maurits A. Allessie, and Michael Bohm. Management of atrial fibrillation in patients
with heart failure. European Heart Journal (2007) 28, 2568 2577.

You might also like