You are on page 1of 31

ffi

PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS
IINIVERSII'AS KRIS fEN SAI YA WACANA
ll
I),1!),(!.r, tl 6rl5iln,(i 50711
JJ\1
T.nli, ltr(ltr(*i.i
T.tt, r)2')t 121212, t:,r\
(rtelr
lrr+ll
l:,trrlli il,i,\,.r rlnj i,l.s.r,l!
i
Lrip:,:., il)n !Ls !1lL
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT DAN PERSETUJUAN AKSES
Sebagai sivitas akademik Universitas Kristen Satya Wacana, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
NIM
Fakultas
: Daddi Heryono Gunawan
:9020088104
: PROGRAM PASCASARJANA
Email : didit_heryono@yahoo.com
Program Studi : DOKTOR STUDr PEMBANGUNAN
Daddi Hervofo Gunawan
Judul tugas akhir : Perubahan Sosialdi Perdesaan Eali
Dengan ini menyerahkan karya tersebut di atas untuk disimpan dalam Koleksi Digital Perpustakaan Universitas dengan
ketentuan akses tugas akhjr elektronik sebagai berikut (beri
tanda pada kotak yang
sesuai):
pl a.Saya mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Koleksi Digital Perpustakaan Universitas,
dan/atau portal
GARUDA.
!
b.Saya tidak mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Koleksi Digital Perpustakaan Universitas,
dan/atau portal
GARUDA.
*
*
poin b harus dilampiri dengon swat doi Dekon/ Koptodi otou pembimbing fA dengan diketahui oteh
pimpinon
Jokultos
yong menjelaskan atason pilihon.
akon ditomDilkon odoloh holoman iudul+ ohsttok.
Dengan ini saya
juga
menyatakan bahwa:
1. Hasil karya yang saya serahkan ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar
kesarjanaan baik di
Universitas Kristen Satya Wacana maupun di institusi pendidikan lainnya.
2. Hasil karya saya ini bukan saduran/ terjemahan melainkan merupakan gagasan, rumusan, dan hasil pelaksanaan
penelitian/ implementasi saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan pembimbing
akademik dan
narasumber penelitjan.
3. Hasil karya saya ini merupakan hasil revisi terakhir setelah diujikan yang telah diketahui dan disetujui oleh
pem
bimbing.
4. Dalam karya saya ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali yang
digunakan sebagai acuan dalam naskah dengan menyebutkan nama pengarang
dan dicantumkan dalam daftar
pustaka.
5. Saya menyerahkan hak non-eksklusif kepada Perpustakaan Universitas
-
Universitas Kristen Satya Wacana untuk
menyimpan, mengatur akses serta melakukan pengelolaan terhadap karya saya ini dengan mengacu pada ketentuan
akses tugas akhir elektronik di atas dan norma hukum yang berlaku.
Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terbukti ada penyimpangan
dan ketidakbenaran
karena karya saya ini, serta sanksi lain yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku di U Kristen Satya Wacana.
lanuari2013
Tondo tanqon &nomo tercng nahasiswa
C''m"^,r?->
Marthen L.Ndoen, SE, MA, PhD
Tondo tongon & nono tercns
ko-prcnotot
Mengetahui,
Prof. Dr. Kutut Suwondo, MS
Iohda tonqon & nonolercng
Prof. Dr. Robert MZ. Lawang
Tonda tanqon & nomo tercnq ko-promotor
P':RFU.]T'AI<AAN LNIVLPSI].AS IJNiVI.RsI fAs KFj!j,I.qI] SATYA WA.jAITA


PERUBAHAN SOSIAL
DI PERDESAAN BALI








Daddi Heryono Gunawan




UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA











ISBN 978-602-17410-0-9
Layout : Arie Herdiyanto / Edi Wilson
Disain Sampul : Robby Kurniawan
Foto Cover : Barong dan Randa (Koleksi Pribadi)

All rights reserved. Save Exception stated by the law, no part of this
publication may be reproduced, stored in a retrieval system of any nature, or
transmitted in any form or by any means, electronic, mechanical,
photocopying, recording or otherwise, included a complete or partial
transcription, without the prior written permission of the author, application
for which should be addressed to author.

Diterbitkan oleh:
Program Pascasarjana Studi Pembangunan
Universitas Kristen Satya Wacana
Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI


DISERTASI

Diajukan untuk memperoleh gelar Doktor di
Universitas Kristen Satya Wacana,
disertasi ini telah dipertahankan dalam Ujian Terbuka
Program Pasca Sarjana Studi Pembangunan
Universitas Kristen Satya Wacana
yang dipimpin oleh Rektor Magnificus
Prof. Pdt. John A. Titaley, ThD.
pada hari Kamis, 17 Januari 2013
di Kampus Universitas Kristen Satya Wacana
Jalan Diponegoro 52-60 Salatiga,
Jawa Tengah
Indonesia







Oleh

Daddi Heryono Gunawan
Lahir di Madiun, Jawa Timur, Indonesia
Promotor:
Prof. Dr. Ir. Kutut Suwondo, MS.

Co-Promotor:
Marthen L. Ndoen, SE, MA, PhD.
Prof. Dr. Robert M.Z. Lawang


Penguji:
Dr. Soegeng Hardiyanto
Dr. Pamerdi Giri Wiloso, Msi.
Dr. Robertus Robet, MA.














v

DAFTAR ISI

Isi Halaman
Daftar isi ....... v
Daftar Tabel.. ix
Daftar Gambar...... xi
Glosari... xiii
Kata Pengantar .... xxiii
Abstrak . xxxi

Bab 1. Pendahuluan................ 1
Latar Belakang.......... 1
Perubahan di Tingkat Nasional ...... 1
Perubahan di Tingkat Lokal .......... 5
Tujuan dan Metode.......... 9
Ruang Lingkup Perubahan Sosial .......... 12
Kerangka Logis Penelitian ...... 21
Metode Penelitian ........................................................................... 23
Arti Penting Penelitian ... 26
Struktur Penulisan ... 27
Bab 2. Tinjauan Literatur........ 33
Tinjauan Teoritis Perubahan Sosial .... 33
Dari Klasik Sampai Modern ......................... 33
Pemikiran Modernis Akhir .... 55
Perspektif Anthony Giddens dan Pierre Bourdieu ........ 60
Perspektif Anthony Giddens ....... 60
Perspektif Pierre Bourdieu .. 70
Rangkuman .. 79
Bab 3. Perdesaan di Bali dalam Perspektif Sejarah..... 83
Asal Mula Desa Asli di Bali . 83
Desa di Bali Pada Jaman Kuno ........ 83
Desa Bali Aga dan Bali Apanaga ..... 95
Dinamika Struktur Desa di Bali .. 123
vi

Berkembangnya Struktur Dualisme Desa .. 123
Desa di Bali Masa Kini . 130
Rangkuman ..... 138
Bab 4. Desa Pakraman Tabola 143
Profil Desa Pakraman Tabola .. 143
Desa Tabola dan Puri Sidemen ....... 143
Struktur Organisasi Desa Tabola .... 158
Desa Tabola Dalam Perubahan Jaman................ 178
Desa Tabola Sebelum Jaman Reformasi...... 178
Tabola di Jaman Reformasi . 185
Rangkuman .. 190
Bab 5. Awig-Awig dan Gejala Perubahan 193
Pendahuluan .... 193
Konsep dan Sejarah Awig-awig di Bali .. 193
Awig-awig di Era Otonomi Daerah ... 201
Awig-awig Desa Tabola... 209
Proses Penyuratan Awig-awig. 209
Awig-awig dan Perubahan Sosial ... 219
Rangkuman .. 245
Bab 6. Tabola Merespon Perubahan Jaman .. 249
Dualisme Desa di Tabola: Pakraman dan Dinas. 249
Hegemoni Desa Dinas ..... 249
Bangkitnya Desa Pakraman ........ 257
Desa Tabola Yang Berubah ............ 265
Perubahan Struktur Kelembagaan Desa...... 265
Desa Tabola Mengkonsolidasi Diri . 281
Rangkuman ......... 288
Bab 7. Pegulatan Kepemimpinan di Tabola .. 293
Kepemimpinan Desa Tabola. 293
Pemimpin Lama dan Baru ... 293
Perjuangan Yang Belum Selesai....... 308
Bentuk Kepemimpinan Baru di Tabola... 319
vii

Kepemimpinan dan Politik Supra-Desa .... 319
Kepemimpinan Baru di Tabola ... 322
Rangkuman . 326
Bab 8. Perspektif Dualisme dan Dualitas ...... 329
Pendahuluan .... 329
Perubahan Struktur Obyektif dan Subyektif . 333
Faktor Penyebab Eksogen dan Endogen. 341
Arah Perubahan Siklikal dan Linier.... 345
Faktor Pendorong Struktur dan Agensi.. 350
Pola Pikir Dualitas di Bali ... 356
Konsep Rwabhineda dan Dualitas .. 356
Teori Pembangunan dan Konsep Dualitas.. 365
Rangkuman .. 370
Bab 9. Kesimpulan .. 375
Apendix 383
Daftar Pustaka .. 391
Indeks.... 399



















































ix




DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1: Perolehan Suara Golkar dan PDIP dalam Pemilu . 8
Tabel 2: Distribusi Pendapatan Domestik Regional Bruto
(PDRB) atas Harga Konstan Tahun 2000 Berdasarkan
Sektor Industri di Propinsi Bali, 2006 -2007. 20
Tabel 3: Tingkatan Unit Struktur dan Kemungkinan Perubahan... 37
Tabel 4: Perbedaan Sifat antara Desa Adat dan Dinas di Bali .... 137
Tabel 5: Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Jumlah Rumah
Tangga Tiga Desa ... 144
Tabel 6: Keadaan Kependudukan Desa Pakraman Tabola ..... 148
Tabel 7: Luas Lahan Pertanian (Sawah) di Desa Pakraman
Tabola.. 150
Tabel 8: Data Fasilitas Pendidikan di Desa Pakraman Tabola 151
Tabel 9: Data Fasilitas Kesehatan di Desa Pakraman Tabola.. 153
Tabel 10: Data Fasilitas Infrastruktur di Desa Tabola....... 153
Tabel 11: Perbandingan Awig-awig Tertulis Zaman Dulu dan
Jaman Sekarang.. 205

















































xi




DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1: Kerangka Logis Penelitian............... 21
Gambar 2: Peta Pulau Bali dan Kabupaten-Kabupaten
yang ada di Bali ... 31
Gambar 3: Peta Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali ... 32
Gambar 4: Rangkaian Hubungan Agensi, Praktik dan Struktur ..... 65
Gambar 5: Mrajan milik suatu keluarga di Bali ....... 93
Gambar 6: Struktur Kepemimpinan Kolektif di Desa
Tenganan Pegringsingan 98
Gambar 7: Pintu Gerbang Puri Sidemen, Karang Asem, Bali..... 102
Gambar 8: Suasana Desa Tenganan Pegringsingan, Kecamatan
Manggis, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali ... 106
Gambar 9. Struktur OrganisasiPemerintahan Pusat (Raja) dan
Desa di Bali di Masa Lalu ... 121
Gambar 10: Lahan Pertanian di Sidemen Berada di Areal
Perbukitan dan Lembah .... 150
Gambar 11: Perkampungan Warga Muslim di Desa Tabola,
Sidemen ..... 156
Gambar 12: Contoh Bentuk Padmasana....... 159
Gambar 13: Pura Puseh dan Pura Desa (Balai Agung) Desa
Tabola..... 160
Gambar 14: Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Adat/
Pakaraman Tabola Berdasarkan Awig-Awig
Desa Tabola..................................................................... 173
Gambar 15: Proses Penyuratan Awig-Awig dan Timbulnya
Kesadaran Baru Krama Desa ..... 219
Gambar 16: Awig-Awig Sebagai Produk Sekaligus Sumber
Perubahan .. 246
Gambar 17: Organisasi Desa Tabola
(sebelum penyuratan awig-awig).. 266
xii

Gambar 18: Proses Perubahan Organisasi Desa Pakraman
Tabola. 269
Gambar 19: Struktur Organisasi Desa Tabola
(setelah lahir awig-awig desa)... 270
Gambar 20: Struktur Organisasi Desa Tabola Terbaru
(setelah 2009) 280
Gambar 21: Perubahan Relasi antara Desa Dinas
dengan Desa Adat/Desa Pakraman...... 289
Gambar 22: Proses Perubahan Kepemimpinan Desa
(Lama ke Baru) . 306
Gambar 23: Konsep Oposisi Biner Dualisme........ 331
Gambar 24: Konsep Dualitas dari Rwabhineda.... 332
Gambar 25: Aktor/Agen yang Aktif Merespon Dinamika
Dunia Sosialnya...... 372





















GLOSARI

AWIG-AWIG: acuan hukum normatif yang mendasari tatanan dan
proses kehidupan sosial, budaya dan religi dari masyarakat (krama)
desa adat di Bali, atau yang sekarang dikenal dengan nama desa
pakraman. Jadi awig-awig ini, kurang lebih bisa disejajarkan dengan
semacam konstitusi yang berlaku bagi desa adat, yang substansinya
memuat berbagai ketentuan atau aturan tentang pelaksanaan
kehidupan sosial kemasyarakatan dan keagamaan di perdesaan di
Bali.
BANJAR: kesatuan masyarakat desa di Bali yang strukturnya berada di
bawah desa adat.
CATUR DRESTA: empat pandangan mengenai tatakrama pergaulan
hidup yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Secara tersurat, catur
dresta itu sendiri berasal dari suku kata, catur yang berarti empat,
dan dresta yang berarti pandangan. Unsur-unsur catur dresta itu
terdiri dari purwa dresta, loka dresta, desa dresta, dan sastra dresta.
Purwa dresta atau juga biasa disebut sebagai kuna dresta adalah
suatu pandangan dari sebuah komunitas yang berlaku sejak dahulu
kala secara turun menurun sehingga menjadi suatu tradisi yang
masih berlaku sampai sekarang. Sedangkan loka dresta adalah
pandangan dari suatu masyarakat lokal atau daerah tertentu yang
bisa berbeda dengan masyarakat lokal atau daerah lainnya. Desa
dresta adalah pandangan masyarakat yang hanya berlaku pada suatu
desa tertentu. Yang terakhir, sastra dresta, adalah pandangan yang
dilandasi oleh ajaran-ajaran Hindu yang dipergunakan sebagai
pedoman mengatur kehidupan masyarakat.
CATUR GURU: konsep catur guru itu sendiri terdiri empat (catur)
panutan/guru (wisesa) yang harus dipatuhi. Unsur dari empat guru
itu adalah: (1) guru swadhyaya; (2) guru rupaka; (3) guru pengajian;
(4) guru wisesa. Guru swadhyaya, tidak lain adalah Sang Hyang Widi
Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, yang mutlak harus dipatuhi dan
dipuja. Guru rupaka adalah kedua orang tua yang telah mengajarkan
nilai kehidupan kepada kita semua. Guru pengajian adalah para guru
yang telah mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan, termasuk
pengetahuan agama. Sedangkan Guru wisesa adalah pemerintah,
yang harus dipatuhi dalam kehidupan bernegara.
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

xiv

CUNTAKA: kurang lebih artinya sesuatu keadaan dimana seseorang,
pria atau perempuan, karena sesuatu hal dianggap tidak bersih,
atau dalam bahasa Bali disebut leteh, dan karena itu dilarang
melakukan sesuatu tindakan tertentu, seperti misalnya pergi ke pura
untuk mengikuti upacara keagamaan, dan lain sebagainya.
DADYA/SOROH: organisasi masyarakat di desa adat yang dibentuk
berdasarkan kesamaan keturunan keluarga/leluhur.
DESA ADAT/DESA PAKRAMAN: desa adat atau yang sekarang ini
lebih dikenal dengan nama desa pakraman adalah desa asli di Bali
yang keberadaannya bisa ditelusuri sejak jaman kuno, jauh sebelum
Bali mendapatkan pengaruh dari luar (Kerajaan di Jawa) yaitu
sekitar abad 9. Pada jaman itu masyarakat desanya disebut dengan
nama kraman, sedangkan tempat atau wilayah dimana kraman
tinggal disebut desa. Sehingga tempat para kraman tinggal di suatu
tempat itu disebut desa pakraman.
DESA SESABU: yang dimaksudkan dengan desa sesabu menurut Awig-
Awig Desa Pakraman Tabola adalah siapapun mereka yang karena
memegang, menempati, menggarap, tanah-tanah Pelaba Pura Puseh
Tabola, Tanah Ayahan Desa Tabola sesuai dengan dresta kuno
(aturan yang telah berlaku sejak jaman dahulu kala) dan sesuai
dengan surat menyurat (catatan).
DIPASOPATI: kata Pasupati awalnya berasal dari nama anak panah
sakti milik Arjuna, yang adalah salah seorang satria dari lima satria
Pandawa yang dikenal dalam cerita pewayangan di Bali dan di Jawa.
Dalam konteks tindakan me-pasupati awig-awig di pura puseh,
artinya menjadi bukan lagi nama benda (anak panah) tetapi berubah
menjadi suatu pemberkatan kekuatan suci dari dari Dewa Syiwa.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka makna dari mem-
pasupati awig-awig lantas berarti suatu proses pemberkatan
terhadap naskah awig-awig yang merupakan semacam ketentuan
atau konstitusi yang mengatur kehidupan bersama masyarakat desa.
Pemberkatan ini dilakukan oleh para pedanda (pendeta brahmana)
yang merupakan pemuka (pingajeng) desa agar isi/ketentuan awig-
awig bisa ditaati bersama karena seperti kata masyarakat desa
setempat bahwa awig-awig disebut sebagai sepat siku-siku atau
artinya kurang lebih pedoman dasar di dalam desa Tabola agar
GLOSARI

xv

tercapai suatu kehidupan sosial yang harmoni di desa berdasarkan
Tri Hita Karana.
FIELD/ARENA: field atau arena bisa dipahami sebagai jaringan
(networks) dari relasi di antara posisi-posisi obyektif, yang
keberadaannya terpisah dari kesadaran dan keinginan individual.
Mereka yang menempati posisi-posisi obyektif itu bisa agen atau
institusi, dan posisi-posisinya tersebut di batasi oleh struktur dari
arena itu sendiri. Dalam dunia sosial ada beberapa contoh arena
yang semi-otonom, yaitu antara lain arena kesenian, arena agama,
arena ekonomi, dan lain sebagainya.
FUSI PARTAI: penyederhanaan partai-partai politik yang dilakukan
Pemerintahan Orde Baru yang dimulai pada Pemilihan Umum
tahun 1977. Jumlah partai peserta Pemilu yang sebelumnya 10
(Pemilu 1971) disederhanakan menjadi 3, yaitu Partai Demokrasi
Indonesia (PDI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan
Golongan Karya (Golkar). PDI adalah gabungan (fusi) dari Partai
Nasionalis Indonesia (PNI), Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia
(Parkindo), Partai Murba, dan Partai Ikatan Polopor Kemerdekaan
Indonesia (IPKI). PPP adalah gabungan (fusi) dari Partai Nahddatul
Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Serikat
Islam Indonesia (PSII), dan Partai Pendidikan Islam (Perti). Golkar
adalah partai baru yang didirikan oleh Pemerintahan Orde Baru
dalam rangka Pemilu 1971.
GEMEINSCHAFT DAN GESSELLCHAFT: gemeinschaft atau sering
dipadankan dengan komunitas (community) ditandai oleh ikatan
sosial yang bersifat pribadi, akrab, dan tatap muka (hubungan
primer). Oleh karena proses perubahan sosial, ciri-ciri komunitas ini
berubah menjadi gessellchaft atau masyarakat modern (society)
yang cirinya adalah impersonal, kurang akrab karena tersedianya
instrumen mediasi, dan komunikasi tidak lagi tatap muka tetapi
sekunder.
HABITUS: habitus bisa dipahami sebagai struktur mental atau
kognitif, yang melalui struktur itu orang berhubungan dengan
dunia sosial. Atau dengan kata lain bahwa setiap orang memiliki
atau membawa dalam dirinya suatu skema tertentu (struktur mental
atau kognitif) yang terinternalisasi, yang melalui skema tertentu itu
orang mempersepsikan, memahami, mengapresiasi, dan
mengevaluasi dunia sosialnya. Setelah melewati proses
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

xvi

mempersepsikan, memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi
orang menghasilkan suatu praktek (tindakan); yang selanjutnya
secara dialektis akan dipersepsikan dan dievaluasi kembali.
HARI RAYA NYEPI: salah satu hari suci agama Hindu yang dirayakan
setahun sekali, dalam rangka menyambut Tahun Baru Caka, yang
biasanya jatuh pada hari pertama Sasih Kedasa (kalender Bali) atau
sekitar bulan Maret dan April. Pada waktu satu hari sebelum Hari
Raya Nyepi masyarakat desa di Bali umumnya melakukan upacara
penyucian yang disebut dengan nama melasti/mekiis atau melis.
Tujuannya adalah memohon kepada Sanghyang Widi Wasa, Tuhan
Yang Maha Esa, untuk menyucikan alam semesta berserta isinya.
KAGADUHAN: kegaduhan berasal dari suku kata gaduh, yang artinya
punya atau kepunyaan (desa), yang dalam konteks ini bermakna
aturan atau ketentuan yang menjadi milik desa yang harus diikuti
oleh masyarakat (krama).
KAHYANGAN DESA/KAHYANGAN TIGA: suatu bentuk bangunan
pura yang didirikan di wilayah suatu desa sebagai tempat bagi
masyarakat desa melakukan upacara pemujaan kepada Tuhannya.
Pura kahyangan desa pada abad ke 11 berkembang menjadi kahyangan
tiga, yang terdiri dari tiga bangunan pura suci yang harus ada dalam desa
adat/pakraman di Bali, yaitu pura desa atau pura balai agung, pura puseh,
dan pura dalem. Pura desa atau pura balai agung adalah pura tempat
pemujaan kepada Dewa Brahma sebagai representasi dari sifat Sang Hyang
Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) sebagai Maha Pencipta; pura puseh
adalah pura tempat pemujaan terhadap Dewa Wisnu sebagai representasi
sifat Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) sebagai Maha
Pemelihara; dan pura dalem adalah pura tempat pemujaan terhadap Dewa
Syiwa sebagai representasi sifat Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang
Maha Esa) sebagai Maha Perusak (mengembalikan yang ada menjadi tidak
ada/pralina).
KAHYANGAN JAGAT: artinya kira-kira tempat suci (untuk
sembayang) bagi seluruh (umum) umat Hindu. Ini agak berbeda
dengan status kahyangan tiga, yang merupakan tempat suci untuk
para krama desa pakraman tertentu sebagai pemaksan pura (umat).
KAWITAN: asal usul atau leluhur. Kawitan menjadi unsur penting
keberadaan identitas orang Bali.
GLOSARI

xvii

KEKERASAN SIMBOLIK: kekerasan simbolik merupakan praktek
tidak langsung dari suatu kontrol sosial yang sifatnya mendominasi,
dan yang prosesnya terutama terjadi melalui mekanisme kultural.
Mekanisme kultural itu tidak harus melibatkan suatu kontrol dan
dominasi fisik secara langsung, misalnya melalui kekerasan fisik.
Tetapi suatu kontrol melalui komunikasi sosial yang mempengaruhi
kognisi, yang pada tingkat tertentu mereka yang dikontrol atau
didominasi tidak merasakannya, atau bahkan mempersepsikan
dominasi itu sebagai bentuk wajar dari tanggungjawab dan
kewajibannya.
KRAMA DESA/KRAMAN: warga desa adat atau desa parkraman, yang
keanggotaannya terkait dengan posisinya sebagai kepala keluarga
(sudah menikah) dari suatu rumah tangga di desa.
LUPUT: luput ini adalah bahasa Bali, yang artinya lepas atau bebas dari
berbagai kewajiban tertentu di desa. Jadi dengan menerima luput
ini berarti mereka dibebaskan dari kewajiban untuk, misalnya,
membayar iuran wajib yang dibebankan kepada krama desa untuk
kepentingan desa. Juga mereka dibebaskan dari kewajiban
membayar iuran untuk pemeliharaan pura-pura tertentu yang ada
di desa, khususnya pura puseh, pura desa atau pura dalem.
Termasuk dalam hal ini iuran-iuran yang harus ditanggung bersama
para krama desa bila ada kegiatan upacara adat/agama yang
diselenggarakan di desa Tabola.
MESETIA: adalah praktik ritual dengan terjun ke tempat pembakaran
api yang sedang menyala untuk menyusul raja yang sudah
meninggal. Praktik ini biasanya dilakukan oleh para janda raja (di
BALI pada masa lampau) yang baru saja meninggal dan dianggap
sebagai simbol kesetiaan dan kesucian sehidup-semati.
NGAYAH: artinya meladeni/melayani, yang dalam konteks desa di
Bali sering berarti melakukan sesuatu pekerjaan untuk desa atau
pura di desa tanpa dibayar. Ngayah ini biasanya melibatkan para
krama desa untuk berbagai jenis pekerjaan, dari mulai pekerjaan
mempersiapkan upacara agama di desa sampai pekerjaan-pekerjaan
gotong-royong lainnya yang diselenggarakan oleh desa maupun
banjar.
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

xviii

ODALAN: odalan adalah bahasa Bali yang artinya perayaan ulang
tahun atau hari jadi (misalnya, pura) yang diperingati melalui suatu
kegiatan upacara agama atau adat.
PADMASANA: padmasana berasal dari bahasa sanskerta padmsana,
yang adalah sebuah tempat untuk bersembahyang dan menaruh
sajian bagi umat Hindu (Bali) di Indonesia.
PALEMAHAN: konsep yang berkaitan dengan masalah tanah atau
alam. Palemahan diambil dari suku kata lemah, yang artinya tanah
atau alam. Bersama dengan konsep kahyangan dan pawongan,
ketiganya menjadi unsur dari konsep Tri Hita Karana, yaitu gagasan
yang memberikan arti penting bagi keberadaan hubungan yang
harmonis antara manusia dengan Tuhan (parhyangan), manusia
dengan alam (palemahan) dan manusia dengan sesama manusia
(pawongan), agar manusia bisa mencapai kehidupan yang bahagia.
PANCA YADNYA: kurang lebih berarti lima jenis (panca) karya
suci/pengorbanan (yadnya) yang dilakukan oleh umat Hindu dalam
usahanya mencari kesempurnaan hidup. Panca-yadnya itu terdiri
dari: (1) dewa yadnya; (2) pitra yadnya; (3) manusa yadnya; (4) resi
yadnya; dan (5) bhuta yadnya. Dewa yadnya adalah suatu
karya/pengorbanan/persembahan suci kepada Sang Hyang Widi
Wasa beserta seluruh manifestasiNya yang terdiri dari Dewa
Brahma sebagai Maha Pencipta, Dewa Wisnu sebagai Maha
Pemelihara, dan Dewa Syiwa sebagai Maha Pengembali pada
asalnya (pralina). Pitra yadnya adalah suatu
karya/pengorbanan/persembahan suci yang ditujukan pada roh suci
dan leluhur (pitra) dengan menghormati dan mengenang jasanya
dengan menyelenggarakan upacara jenazah, seperti misalnya
upacara ngaben, mamukur/maligya. Manusa yadnya adalah suatu
karya/pengorbanan/persembahan suci demi kesempurnaan hidup
manusia, diantaranya dengan melakukan upacara selamatan. Resi
yadnya, adalah suatu karya/pengorbanan/persembahan suci
keagamaan yang ditujukan kepada para maha resi, orang-orang suci,
resi, pinandita, guru. Pelaksanaannya dapat diwujudkan dalam
berbagai bentuk, seperti misalnya, melakukan upacara penobatan
calon sulinggih atau pendeta (upacara diksa), termasuk juga
mentaati, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran para
sulinggih (pendeta). Bhuta yadnya adalah suatu
pengorbanan/persembahan suci kepada sarwa bhuta, yaitu
GLOSARI

xix

makhluk-makhluk rendahan, baik yang terlihat (sekala) ataupun
yang tidak terlihat (niskala), hewan (binatang), tumbuh-tumbuhan,
dan berbagai jenis makluk lain ciptaan Sang Hyang Widi Wasa.
PANGELING-ELING: pangeling-eling berasal dari suku kata eling yang
artinya ingat, atau dalam konteks ini berarti apa-apa yang diingat
oleh masyarakat terkait berbagai hal (aturan/ketentuan) yang
dilarang ataupun diwajibkan untuk diikuti atau dijalankan oleh
desa.
PAREKAN: pengikut keluarga puri (raja). Sebagai pengikut, mereka
menempati ataupun menggarap tanah-tanah milik keluarga puri,
sebagai imbalan atas loyalitasnya. Dalam berbagai kesempatan,
mereka sering ikut ngayah, atau bekerja sukarela, untuk berbagai
keperluan keluarga puri, khususnya ketika diselenggarakan upacara
adat.
PARHYANGAN: konsep yang berkaitan dengan masalah Ketuhanan.
Parhayangan berasal dari suku kata Hyang, yang artinya Tuhan.
Bersama dengan konsep palemahan dan pawongan, ketiganya
menjadi unsur dari konsep Tri Hita Karana, yaitu gagasan yang
memberikan arti penting bagi keberadaan hubungan yang harmonis
antara manusia dengan Tuhan (parhyangan), manusia dengan alam
(palemahan) dan manusia dengan sesama manusia (pawongan), agar
manusia bisa mencapai kehidupan yang bahagia.
PAWONGAN: konsep yang berkaitan dengan masalah manusia.
Pawongan berasal dari suku kata Wong, yang artinya manusia.
Bersama dengan konsep palemahan dan pawongan, ketiganya
menjadi unsur dari konsep Tri Hita Karana, yaitu gagasan yang
memberikan arti penting bagi keberadaan hubungan yang harmonis
antara manusia dengan Tuhan (parhyangan), manusia dengan alam
(palemahan) dan manusia dengan sesama manusia (pawongan), agar
manusia bisa mencapai kehidupan yang bahagia.
PEMAKSAN: warga desa/krama desa yang menjadi anggota pura di
suatu desa adat/prakraman di Bali.
PERANG PUPUTAN: perang sampai habis-habisan contoh perang
Puputan Badung tahun 1906 dan Perang Puputan Klungkung tahun
1908.
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

xx

PERBEKEL: sebutan untuk kepala desa di Bali. Sekarang sebutan
perbekel digunakan untuk sebutan bagi kepala desa dinas;
sedangkan kepala desa adat/pakraman disebut bendesa.
RWABHINEDA: Rwabhineda bisa diartikan sebagai dua yang berbeda
tetapi adalah satu; dua yang berbeda itu dicerminkan dengan sosok
kesatuan Syiwa dan Budha, sedang satu itu bermakna Dia Yang
Tunggal, Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa. Konsep
Rwabhineda ini sesungguhnya mengandung gagasan tentang
dualitas, yang maknanya adalah bahwa dalam kehidupan dunia ini
realitas sering menampakkan diri dalam dua sisi katagori yang
berbeda (hitam-putih, baik-buruk, benar-salah, hilir/teben dan
hulu, profane/sekala dan sakral/niskala, dan lain sebagainya) tetapi
yang eksistensinya saling mengandaikan dan tidak bisa dipisahkan
satu dengan yang lainnya.
SEKALA/NISKALA: sekala menunjuk pada dimensi kehidupan yang
bersifat material/duniawi, sedangkan niskala lebih menunjuk pada
dimensi kehidupan yang bersifat non-fisik/spiritual.
SEKE/SEKEHA: kesatuan organisasi masyarakat yang ada di desa adat
di Bali yang dibentuk untuk suatu tujuan khusus tertentu (misalnya
perkumpulan para penabuh gamelan/seke gong, perkumpulan
memanam padi/seke memula, dan lain sebagainya sesuai
perkembangan kebutuhan masyarakat desa).
SIMA: Sedangkan sima dalam bahasa Bali kurang lebih berarti patok
atas batas suatu wilayah tertentu atau wilayah, yang kemudian
berkembang artinya menjadi patokan-patokan atau ketentuan-
ketentuan tidak tertulis yang berlaku di masyarakat.
SUBAK: suatu kelembagaan masyarakat pemakai air yang mengatur
sistem mekanisme pengelolaan air irigasi sawah di Bali. Subak
dipimpin oleh ketua subak yang disebut Klian Subak atau Pekaseh.
Saat ini organisasi subak ada dua macam, yaitu subak sawah (subak)
dan subak kebun (subak abian).
TABUH RAH: tabuh rah adalah bahasa Bali, yang pengertiannya
kurang lebih adalah taburan darah binatang korban yang
dilaksanakan dalam rangkaian upacara agama (yadnya). Cara
penaburan darah ini dilaksanakan dengan menyembelih atau perang
satha (perang ayam/adu ayam); dan darah yang menetes ke tanah
GLOSARI

xxi

dianggap sebagai yadnya, yang artinya pengorbanan atau
persembahan.
TANAH AYAHAN: tanah sawah atau kebun milik desa yang dikelola
dan dikerjakan oleh warga desa, dan sebagai imbalannya warga yang
bersangkutan mempunyai kewajiban tertentu terhadap desa yang
diatur oleh ketentuan adat.
TANAH PECATU: tanah milik puri atau bekas kerajaan di Bali yang
digarap oleh masyarakat desa, dengan imbalan memberikan
sebagian hasil panennya atau melakukan kewajiban kerja kepada
puri.
TANAH PELABA PURA: tanah milik pura yang digarap oleh
penduduk desa, dan sebagai imbalannya mereka yang menggarap
tanah tersebut berkewajiban memberikan sebagian hasilnya ke
Pura.
TEMPEK: kesatuan masyarakat desa di Bali yang strukturnya berada di
bawah banjar (sedangkan banjar di bawah desa adat).
TRI HITA KARANA: Pengertiannya diambil dari suku kata: Tri yang
berarti tiga, Hita berarti baik, dan Karana berarti sumber. Sehingga
secara keseluruhan Tri Hita Karana bermakna tiga sumber kebaikan
yang memungkinkan manusia dan masyarakat desa bisa
memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin. Agar
manusia (dan kemudian, masyarakat) bisa mencapai kehidupan
bahagia lahir batin itu maka harus mampu membangun tiga
hubungan yang harmonis, yaitu hubungan antara: manusia dengan
Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa); manusia dengan
wilayah tempat pemukiman dan alam sekitarnya (wilayah
desa/banjar); dan akhirnya manusia dengan sesama manusia.
TRIWANGSA: sistem hirarkhi yang masih terdapat dalam masyarakat
Hindu Bali, yang susunannya berdasarkan kasta/varna, yaitu terdiri
dari kasta/varna/golongan brahmana, satria, weisya dan sudra. Tiga
golongan yang pertama disebut triwangsa, sedang golongan sudra,
disebut non-wangsa.

KATA PENGANTAR


Setelah tertunda untuk yang kesekian kalinya dari target waktu
yang telah ditetapkan sebelumnya, naskah disertasi yang sekarang ada
dihadapan para pembaca yang budiman, akhirnya berhasil diselesaikan.
Naskah disertasi ini sesungguhnya merupakan laporan hasil penelitian
lapangan di Bali yang dilakukan penulis sejak awal tahun 2008 lalu.
Bermula dari suatu penelitian terkait pelaksanaan otonomi desa
di perdesaan Bali yang dilakukan penulis bersama tim peneliti dari
Kelompok Studi Perdesaan, FISIP UI. Maka ketika mendapat
kesempatan untuk mengikuti program doctor by research di
Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, menjelang akhir
tahun 2008, penulis memilih tetap mendalami masalah perdesaan di
tempat yang sama, Desa Tabola, Kecamatan Sidemen, Kabupaten
Karangasem, Bali.
Fokus penelitian yang kemudian dipilih adalah Perubahan
Sosial di Perdesaan, suatu topik yang sejak lama menarik perhatian
penulis, khususnya terkait masyarakat Bali yang sering dipandang
sangat kuat mempertahankan adat istiadatnya. Karena begitu kuatnya
mereka berpegang pada adat istiadatnya itu, pihak luar Bali tidak
jarang menilai bahwa masyarakat desa di Bali sulit berubah. Tetapi
benarkah demikian? Inilah pertanyaan yang sejak lama tersimpan
dalam pikiran penulis.
Sesungguhnya, pandangan bahwa masyarakat desa di Bali sulit
berubah bukan hanya ditemukan pada masa sekarang. Sejak jaman
kolonial, khususnya setelah pihak Kolonial Hindia Belanda berhasil
menancapkan kekuasaannya di Buleleng (sekarang Singaraja), Bali,
bulan Mei 1849, pandangan seperti ini sudah mulai berkembang atau
lebih tepatnya dikembangkan. Lebih dari itu, masyarakat (perdesaan)
Bali, dilihat dari segi kehidupan sehari-hari adat dan agamanya, bahkan
dianggap sebagai museum hidup di dunia.
Pandangan kolonial seperti ini, antara lain ikut mendorong
lahirnya kebijakan kolonial di Bali yang disebut Baliseering, atau
maknanya kurang lebih biarkan masyarakat Bali hidup menurut
xxiv

caranya (adat istiadatnya) sendiri. Dengan Baliseering itu hendaknya
masyarakat Bali dijaga atau dilindungi dari pengaruh-pengaruh luar
(Bali) yang dinilai bisa merusak tata kehidupannya.
Tetapi apakah Bali bisa bebas sepenuhnya dari pengaruh
interaksi dengan dunia atau pihak luar? Realitanya tidak demikian, dan
bahkan dalam perjalanan sejarahnya masyarakat Bali tidak pernah sepi
dari persinggungannya dengan dunia luar. Atas dasar ini bisa
dimengerti kalau masyarakat Bali juga selalu dan terus berkembang
sebagai masyarakat yang dinamis. Hasil kajian sejarah dalam disertasi
ini menguatkan gambaran seperti ini.
Jadi alih-alih sebagai masyarakat yang sulit berubah,
masyarakat Bali sesungguhnya adalah masyarakat yang berkembang
dinamis, yang setiap saat menghadapi dan menjalani berbagai
perubahan ataupun transformasi sosial. Sebagaimana dipaparkan dalam
disertasi ini, proses perubahan itu tidak jarang diwarnai oleh
pertentangan dan konflik, dari mulai yang lunak hingga keras dan
bahkan kejam. Meskipun dalam perjalanannya kemudian terbangun
kembali situasi harmoni, yang dengan itu seolah-olah menyiram bersih
semua bekas-bekas konflik yang keras dan kejam itu.
Dalam menghadapi perkembangan seperti ini, kalau tidak
cermat, kita bisa terkecoh oleh kesan sepertinya situasi di Bali tidak
pernah dan tidak akan mungkin terjadi pertentangan dan konflik yang
keras dan kejam. Apalagi kalau imajinasi Bali sebagai Pulau Dewata,
pulau yang dikenal dengan ribuan pura suci yang dianggap sebagai
tempat bersemayam para dewa-dewi itu, telah terlanjur melekat kuat
dalam pikiran kita.
Sebagaimana telah dibuktikan dalam penelitian ini, Bali atau
masyarakat Bali, sesungguhnya adalah masyarakat yang dinamis
kehidupan sosialnya: konflik dan harmoni, datang silih berganti
ataupun berbarengan. Semuanya itu tidak lain menandakan bahwa
proses perubahan sosial atau transformasi sosial nyata adanya di sana.
Penelitian ini, selain pada satu sisi mengungkapkan adanya
berbagai perubahan sosial di Perdesaan Bali, khususnya dalam periode
xxv

waktu 1999-2010, di sisi lain juga menunjukkan adanya ciri dualitas
dalam proses perubahan sosial. Sebagaimana dibahas dalam disertasi
ini, ciri dualitas itu berhubungan erat dengan cara berfikir (dan
bertindak) orang Bali, khususnya terkait konsep Rwabhineda, yang
dalam disertasi ini dikatakan sudah menjadi habitus masyarakat
perdesaan di Bali.
Rwabhineda itu artinya kurang lebih adalah dua yang berbeda
tetapi satu, dan dua yang berbeda itu diwujudkan melalui sosok
Syiwa-Budha, yang merupakan simbol dari agama Hindu Bali. Di sini
maknanya, Syiwa dan Budha itu adalah dua (nama) entitas, tetapi yang
hakekatnya adalah satu, yaitu Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang
Maha Esa.
Sejarah penyebutan agama Hindu di Bali sebagai agama Syiwa-
Budha itu sendiri bisa dilacak hingga ke periode sejarah abad 10
Masehi. Pada waktu itu Empu Kuturan, dengan konsep Syiwa-Budha,
berhasil menyatukan kembali perpecahan akibat pertentangan di
antara bermacam-macam sekte dalam kepercayaan agama Hindu yang
dianut masyarakat Bali masa itu.
Kembali ke soal ciri dualitas. Dengan konsep Rwabhineda itu
maka masyarakat Bali, baik sebagai individu maupun kolektif,
merespon setiap proses perubahan yang dihadapinya, dan respon itulah
yang, antara lain, mendorong munculnya perubahan sosial yang
bersifat dualitas. Dalam kaitannya dengan hal ini, maka bisa dikatakan
bahwa masyarakat Bali pada dasarnya adalah agen-agen atau aktor-
aktor yang aktif dalam menyikapi perkembangan dunia sosialnya,
khususnya terkait proses perubahan sosial.
Kenyataan seperti ini mungkin agak berbeda dengan penilaian
sebagian kalangan yang melihat bahwa masyarakat Bali, sebagai
individu maupun kolektif, adalah aktor-aktor yang pasif, yang hanya
mampu mengikuti saja berbagai ketentuan adat yang melingkupi
kehidupan sosialnya. Seolah-olah struktur dunia sosialnya begitu kuat
mencengkeram sehingga sepertinya tidak ada kemampuan lain bagi
masyarakat perdesaan Bali kecuali mengikutinya saja.
xxvi

Bagaimanapun, disertasi ini sesungguhnya buah karya banyak
tangan, yang nama-namanya mungkin sulit disebutkan satu persatu.
Meskipun jelas bahwa tanggungjawab dari semua yang dituliskan
disini, berada pada diri penulis semata. Kalau menengok agak ke
belakang, tentu perlu menyebutkan nama-nama yang ada dalam tim
Kelompok Studi Perdesaan, FISIP, Universitas Indonesia, yang pada
awalnya menginspirasi penulis melakukan penelitian untuk disertasi
ini dengan tema terkait perubahan sosial di perdesaan Bali.
Kepada mereka, Ir. Bayu A. Yulianto, Msi., Nia Elvina, SSos.,
MSi., dan utamanya Prof. Dr. Robert M.Z. Lawang, saya mengucapkan
terimakasih atas segala bantuan dan kerjasamanya selama ini. Prof. Dr.
Robert M.Z. Lawang, bahkan yang menjebloskan saya untuk
mengikuti program doctor by research di kampus UKSW, Salatiga, dan
kemudian juga menjadi co-promotor penulis.
Masih teringat kata-kata beliau ketika melihat saya agak ragu
untuk mengambil program doctor by research seperti yang
disarankannya itu. Yang penting itu siapa dulu gurunya, begitu
ujarnya kala itu. Penulis memang lebih dari 20 tahun menjadi murid
beliau, baik secara langsung sebagai murid di kelas, maupun tidak
langsung dengan mendampinginya sebagai asisten. Sekarang, disertasi
ini bisa selesai, juga karena penulis secara langsung kembali menjadi
murid beliau.
Dalam perjalanannya saya jadi mengerti bahwa siapa gurunya
itu memang penting. Di sini saya merasa beruntung karena di UKSW
telah mendapatkan guru-guru yang berdedikasi tinggi dalam
membimbing calon doktor riset yang memang harus lebih banyak
belajar secara mandiri itu. Beliau-beliau itu adalah Prof. Dr. Ir. Kutut
Suwondo, yang sejak awal membantu penulis dalam menemukan jalan
terang menuju rumusan masalah penelitian yang lebih solid. Sikap
kritisnya, selalu menginspirasi penulis dalam menuliskan disertasi ini.
Marthen L. Ndoen, SE, MA, PhD., atau sering dipanggil Om
Then, adalah pembimbing yang tidak kenal lelah, dimana saja dan
kapan saja, memberikan dorongan agar penulis menyelesaikan
penyusunan disertasi. Pak Marthen, demikian saya biasa
xxvii

memanggilnya sejak puluhan tahun yang lalu ketika pertama kali
mengenalnya sebagai sesama kolega wartawan di Jakarta, adalah sosok
guru dan ilmuwan yang sederhana, yang dari dulu tetap tidak
bergeming idealismenya.
Terus terang, beliau telah membangkitkan kembali tekad
penulis yang semakin hari semakin redup, dan malahan hampir padam,
dalam menyelesaikan disertasi. Ini karena tergerus kesibukan rutin
sehari-hari yang hampir tidak ada ujung pangkalnya. Tidak berhenti di
situ, Pak Marthen bahkan mendampingi dengan sabar di hari-hari
yang menentukan ketika penulis menyelesaikan bagian terakhir
disertasi ini di Salatiga.
Penulis masih ingat, pagi hari beliau menyempatkan mampir
ke Wisma UKSW sebelum mengajar di kampus untuk menemani
menulis; malam hari datang lagi melanjutkan menemani menulis
sambil diskusi sejenak, katanya untuk refreshing, membahas berbagai
topik terkini terkait perkembangan sosial-politik di Indonesia.
Semuanya itu menginspirasi dan menambah semangat penulis untuk
segera merampungkan tulisan. Kepada pak Kutut dan Pak Marthen,
saya mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya atas bimbingan dan
dukungannya selama ini.
Begitupula dalam kesempatan ini, penulis patut mengucapkan
terimakasih pula kepada para penguji disertasi: Dr.Soegeng Hardiyanto,
Dr. Pamerdi Giri Wiloso, Msi., Dr. Robertus Robet, MA. Penulis
memiliki kesan tersendiri terhadap masing-masing tiga guru ini. Pak
Sugeng, yang sejak ujian pra-kualifikasi bertindak sebagai penguji yang
tidak segan-segan mengkritik pandangan penulis yang dirasakan
kurang pas, dan ini seringkali menggedor cara berfikir penulis untuk
bisa lebih kritis lagi.
Pak Pamerdi, yang dalam proses penyelesaian disertasi ini
banyak memberikan masukan kritis yang sangat berharga, terutama
catatan-catatan, yang diberikan ketika menjadi penguji pada ujian
kelayakan. Penulis bahkan butuh waktu beberapa hari untuk
merenungkan catatan-catatan Pak Pamerdi yang bernilai tinggi itu,
sampai akhirnya bisa memahami. Atas pemahaman itu, pengertian
xxviii

penulis tentang proses perubahan atau transformasi sosial menjadi
semakin terang.
Pak RBT, begitu penulis biasa memanggil Dr. Robertus Robet,
MA, adalah kawan sekaligus sahabat yang kenal sejak puluhan tahun
lalu. Penulis mengenalnya sebagai sosok intelektual muda yang kritis,
dan tidak pernah sejengkalpun mau meninggalkan idealismenya.
Sebagai seorang filosof, penulis banyak dibantu dalam memahami
beberapa persoalan mendasar menyangkut akar konsep dualisme dan
dualitas, yang akhirnya menjadi konsep penting yang dibahas dalam
disertasi ini.
Kesediaan Pak RBT untuk menjadi penguji disertasi penulis
memiliki arti penting tersendiri yang membanggakan, mengingat lebih
dari 15 tahunan yang lalu, penulis justru pernah menjadi salah satu
gurunya di kampus UI. Sekarang, terkait dengan disertasi ini, murid
telah menjadi guru dan guru menjadi murid.
Masih banyak nama-nama yang harus disebutkan di sini atas
jasanya membantu penulis menyelesaikan disertasi yang ada dihadapan
pembaca budiman. Dodi, Roby, Vodka, Wilson, Timor, Aak, dan
kawan-kawan lainnya di Yayasan Kekal dan P2D. Juga para pendukung
dibalik layar yang membantu tampa pamrih.
Begitupula para Scholar di Brighten Institut, terutama Dr. Joyo
Winoto, Dr. Harianto, Prof. Dr. Hermanto Siregar, Dr Sony, Prof. Dr.
Indriatmo Sutarto, Dr. Azam, serta para kolega lainnya, seperti Shohib,
Tantan, Dicky, Rony cs. Mereka semua, sambil bercanda sering
meledek, memacu dan menantang penulis untuk segera menyelesaikan
disertasi ini.
Tidak lupa, saya juga ingin mengucapkan terimakasih kepada
para nara sumber penelitian ini, khususnya yang ada di Sidemen,
Karangasem, Bali, tempat penelitian ini dilakukan. Terutama kepada
Bapak Cokorda Gde Dangin, Ida I Dewa Gde Catra, I Gusti Lanang
Sidemen, dan masih banyak lagi nama-nasma yang tidak disebutkan di
sini. Tanpa bantuan mereka semuanya, tentu disertasi ini tidak
mungkin terwujud.
xxix

Last but not least, disertasi ini saya persembahkan terutama
untuk Ibunda Sayono di Madiun; mbakyu Dr. Ir. Wuye Ria Andayani
dan adik Drs. Dading Handoko Wiwoho, MBT. Juga tidak lupa, Dony
dan Pipit, yang telah meminjamkan rumahnya selama saya tinggal di
Salatiga untuk kepentingan penyelesaian disertasi ini. Paling
teristimewa untuk Istri tercinta, Anak Agung Ariyani Kartika Dewi,
SS.; serta anak-anakku tersayang, Gathaya Sukarnoadi Gunawan dan
Aisha Karunia Kartika. Tanpa pengertian kalian bertiga, rasanya tidak
mungkin saya merampungkan disertasi ini. Terimakasih sebesar-
besarnya dan puji syukur ke hadapan Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan
Yang Maha Esa, Gusti Allah Ingkang Kuoso.


Bogor, Agustus 2012

Daddi Heryono Gunawan

ABSTRAK
Selama ini, perdesaan di Bali, seringkali dikesankan sebagai suatu wilayah sosial
yang masyarakatnya sulit mengalami perubahan sosial-budaya. Kesan seperti ini timbul
karena begitu kuatnya gambaran umum yang melekat pada sosok Bali sebagai pulau
dewata, pulau tempat bersemayam para dewa dengan kehidupannya yang selalu damai
dan harmonis, jauh dari dinamika perubahan yang sering dibayangkan selalu membawa
gejolak sosial-budaya.
Namun kesan memang sering berbeda dengan kenyataan. Tulisan dalam
disertasi yang merupakan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perdesaan di Bali
ternyata berkembang sangat dinamis. Masyarakat yang tinggal di pulau dewata itu hampir
tidak pernah sepi dari terpaan gelombang perubahan sosial yang datang dan pergi silih
berganti, dari jaman ke jaman, hingga dewasa ini. Hal seperti ini juga terjadi di Desa
Pakraman Tabola, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem Bali, tempat penelitian ini
dilakukan.
Dari hasil pengamatan dalam penelitian terlihat bahwa perubahan sosial yang
terjadi ternyata memiliki karakter yang bersifat dualitas. Sementara kalau dicermati, cara
berfikir masyarakat perdesaan di Bali ternyata juga diwarnai oleh sifat dualitas, yang hal
ini terpadu dengan keyakinan nilai-nilai untuk mewujudkan kehidupan yang harmoni.
Cara berfikir dualitas dan ajaran nilai-nilai untuk mewujudan kehidupan yang harmoni
ini dalam kehidupan masyarakat perdesaan sehari-hari tertuang dalam suatu konsep yang
disebut sebagai Rwabhineda (dualitas) dan Tri Hita Karana (keharmonian).
Hasil penelitian ini diakhiri oleh suatu refleksi terkait konsep dan teori
pembangunan. Ini khususnya menyangkut kemungkinan pengembangan gagasan terkait
konsep dan teori serta praktik pembangunan yang berlandaskan pada konsep Rwabhineda
(dualitas) dan Tri Hita Karana (keharmonian). Refleksi ini sendiri dilakukan karena ruang
lingkup dari penelitian ini pada dasarnya adalah bagian dari suatu kajian di bidang studi
pembangunan.
Kata kunci: Bali, dualitas, harmoni, Rwabhineda dan Tri Hita Karana.
ABSTRACT
Still, community in Bali has been imaging as hard to get social and cultural
changes. This imagination turns up because of the adhering general image of Bali as
Island of Gods, the place of Gods which have been staying with peace and harmony, and
far from dynamic changes that always full of social and cultural tensions and conflicts.
But the impression is often different with the reality. This dissertation pointed
out that rural Bali has been a dynamic social development. The communities in Bali, the
Island of Gods, have always been experiencing a long with the process of social changes.
This situation has been happening at Desa Pakraman Tabola, Sidemen, Karangasem Bali,
that is this research was carried out.
From the observation, we know that social change at Tabola has a duality
characteristic. At the same times, we also know that rural communities in Bali have a
duality way of thinking. It exists together with the belief to bring harmony in reality in
their life. In the term of local concept, we call the duality way of thinking as Rwabhineda,
and harmony as Tri Hita Karana.
This dissertation was closed by a reflection related to development concept,
theory and practice. This notably associates with the possibility to elaborate idea of
development concept, theory and practice. This reflection was needed because this
research was part of development studies.
Keywords: Bali, duality, harmony, Rwabhineda dan Tri Hita Karana.

You might also like