You are on page 1of 7

MAKARA, SAINS, VOL. 14, NO.

1, APRIL 2010: 15-21


15
PENGARUH KASEIN HIDROLISAT DAN INTENSITAS CAHAYA
TERHADAP PRODUKSI BIOMASSA DAN ALKALOID CANTHINONE DI
DALAM KULTUR SUSPENSI SEL PASAK BUMI (Eurycoma longifolia Jack)

Luthfi Aziz Mahmud Siregar
1*)
, Chan Lai-Keng
2
, dan Boey Peng-Lim
3


1. Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan 20155, Indonesia
2. Pusat Pengajian Sains Kajihayat, Universiti Sains Malaysia, Penang 11800, Malaysia
3. Pusat Pengajian Sains Kimia, Universiti Sains Malaysia, Penang 11800, Malaysia

*)
E-mail: luthfi2004@yahoo.com


Abstrak

Suatu kajian untuk mengetahui pengaruh beberapa konsentrasi kasein hidrolisat dan intensitas cahaya terhadap produksi
biomassa dan alkaloid canthinone di dalam kultur suspensi sel Pasak Bumi (Eurycoma longifolia J ack) telah dilakukan.
Penelitian ini bersifat eksperimental dengan menggunakan rancangan acak kelompok non faktorial. Kajian pengaruh
kasein hidrolisat terdiri atas 8 (delapan) perlakuan konsentrasi, yaitu 0,00, 0,10, 0,25, 0,50, 0,75, 1,00, 2,00, dan 5,00%
(w/v). Sedangkan untuk kajian pengaruh intesitas cahaya terdiri atas 5 (lima) besaran intensitas cahaya, yaitu 0, 190,
290, 585, dan 1525 lux. Hasil kajian menunjukkan bahwa penambahan 0,12,0% (w/v) kasein hidrolisat ke dalam
medium kultur tidak menunjukkan pengaruh terhadap produksi biomassa sel dibandingkan dengan tanpa penambahan
kasein hidrolisat. Total alkaloid yang dihasilkan biomassa sel meningkat dua kali lipat di dalam medium kultur yang
mengandung 0,1% kasein hidrolisat. Medium dengan penambahan 5% kasein hidrolisat menyebabkan penurunan secara
nyata peningkatan berat basah, berat kering dan total alkaloid dibandingkan dengan medium tanpa atau penambahan
kasein hidrolisat pada konsentrasi 0,1-2%. Sedangkan modifikasi terhadap besaran intensitas cahaya (0-1525 lux) tidak
mempengaruhi produksi biomassa sel di dalam medium kultur, tetapi menempatkan kultur suspensi sel E. longifolia
J ack pada intensitas cahaya 1525 lux dapat merangsang peningkatan total 9-hydroxycanthin-6-one di dalam sel.


Abstract

Effects of Casein Hydrolisate and Light Intensity on Production of Biomass and Canthinone Alkaloid in Cell
Suspension Cultures of Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack). A study on the effect of several concentrations of
casein hydrolysate and light intensity to produce biomass and canthinone alkaloid in cell suspension culture of Pasak
Bumi (Eurycoma longifolia J ack) was conducted. The research was an experimental study with block random design
non factorial. For study of casein hydrolysate was used 8 (eight) of concentration treatments, i.e. 0.00, 0.10, 0.25, 0.50,
0.75, 1.00, 2.00, dan 5.00% (w/v). Beside for study of different light intensity effect was used five of light intensity, i.e.
0, 190, 290, 585, and 1525 lux. The results showed that addition 0.12.0% (w/v) of casein hydrolysate into culture
medium did not show the effect on production of cell biomass compare with without casein hydrolysate. Total of
alkaloid produce increased two fold in the culture medium containing 0.1% casein hydrolysate. The medium with
addition 5% casein hydrolysate significantly decrease of increased fresh weight, dry weight and total of alkaloid
compare with medium without or additions of casein hydrolysate at 0.12.0% concentration. Besides, the modifications
on light intensity (01525 lux) did not effect the production of cell biomass in culture medium, but the place of E.
longifolia J ack cell suspension culture at light of 1525 lux was found have to stimulate increased the total of 9-
methoxycanthin-6-one in cells.

Keywords: canthinone, casein hydrolysate, cell suspension, Eurycoma longifolia Jack, light intensity



1. Pendahuluan

Eurycoma longifolia J ack (Pasak Bumi) adalah tanaman
obat yang termasuk dalam Famili Simaroubaceae dan
tumbuh secara meluas di Malaysia, Indonesia, Thailand,
dan Vietnam. Beberapa komponen kimia yang
dihasilkan tanaman ini menunjukkan aktivitas biologi
sebagai anti-malaria, sitotoksik, afrodisiak dan anti-
MAKARA, SAINS, VOL. 14, NO. 1, APRIL 2010: 15-21


16
ulser [1-4]. Kardono et al. melaporkan bahwa tumbuhan
Pasak Bumi mengandung alkaloid dari golongan
canthinone, yaitu 9-methoxycanthin-6-one dan 9-
hydroxycanthin-6-one yang digunakan sebagai penanda
pokok dan bersifat sitotoksik terhadap beberapa sel
kanker [2]. Hal yang sama dilaporkan juga oleh Kuo et
al. bahwa 9-methoxycanthin-6-one secara signifikan
bersifat sitotoksik terhadap lini sel A-549 (sel kanker
paru) dan MCF-7 (sel kanker payudara) [5]. Di samping
itu, 9-methoxycanthin-6-one menunjukkan aktifitas
sebagai agen antimikroba bakteri Bacillus cereus [6]
dan memiliki potensi yang lebih baik dalam melawan
isolat strain Plasmodium falciparum yang resisten
klorokuin dibandingkan dengan klorokuin difosfat [7].

Teknik kultur sel dan jaringan tanaman dikenal sebagai
alternatif untuk produksi metabolit sekunder yang
memiliki nilai perobatan. Beberapa keberhasilan yang
telah diperoleh melalui teknik ini seperti produksi
komersial shikonin dari Lithospermum erythrorhizon
[8], berberine dari Coptis japonica [8], dan taxol dari
Taxus brevifolia [9]. Metode ini dapat dikembangkan
untuk produksi biomassa dan produk-produk
metabolisme secara besar-besaran, misalnya dengan
menggunakan bioreaktor. Bagaimanapun, produksi yang
rendah selalu menjadi faktor pembatas yang tidak
menguntungkan dalam proses komersialisasi. Dari segi
praktiknya, teknik seperti ini lebih kompleks dan rumit
dibandingkan produksi metabolit skunder yang berasal
dari mikroorganisme [10].

Inisiasi, proliferasi dan sintesis metabolisme sekunder di
dalam kultur suspensi sel dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu genotip atau sumber sel, komposisi
medium dan beberapa faktor fisik. Dalam komposisi
medium kultur sel tumbuhan, selain dari garam-garam
nitrat dan ammonium, nitrogen diperoleh melalui
komponen organik seperti urea, asparagina, asam
glutamat, tirosina dan kasein hidrolisat. Asam amino
terdiri dari asam amino tunggal dan asam amino
kompleks. Asam amino kompleks merupakan kumpulan
dari sejumlah asam amino yang tidak dapat
didefinisikan secara nyata komposisinya, seperti kasein
hidrolisat, ekstrak malt, ekstrak yis [11]. Kasein
hidrolisat dibuat dari protein susu keledai atau sapi yang
terdiri daripada campuran 18 asam amino yang tidak
diketahui secara pasti komposisinya [10]. Kultur
suspensi sel biasanya mampu mensintesis semua asam
amino yang diperlukan, tetapi untuk memperoleh
manfaat yang lebih baik perlu ditambah nitrogen
organik dalam bentuk asam amino seperti glutamina,
kasein hidrolisat, asparagina ataupun nukleotida seperti
adenina [12].

Cahaya dapat mempengaruhi perkembangan tumbuhan
secara in vivo dan in vitro. Keadaan suatu kultur
dipengaruhi oleh fotoperiodisitas, kualitas dan intensitas
cahaya. Cahaya mempengaruhi pengaturan produksi
bahan metabolit dalam kultur suspensi sel, termasuk
produksi metabolit primer seperti enzim, karbohidrat,
lipida dan asam amino dan metabolit sekunder seperti
antosianin, karotenoid, polifenol, minyak mudah
menguap (volatile oil) dan terpena [13]. Aktivitas enzim
dalam biosintesis asam sinamat, kumarin, lignin, flavon,
flavonol, chalkon dan antosianin dipengaruhi oleh
cahaya secara signifikan [14].

Melalui suatu kajian in vitro yang berkesinambungan
telah diperoleh mekanisme organogenesis dan
mikropropagasi dari tumbuhan E. longifolia J ack secara
in vitro [15]. Suatu kajian awal berkaitan dengan
induksi kalus, inisiasi kultur suspensi sel, deteksi
kehadiran quasinoid dan alkaloid canthinone dalam
biomassa sel hasil kultur in vitro telah dilakukan [16-
18]. Pemilihan lini sel dan modifikasi konsentrasi
makronutrien medium MS dalam kultur suspensi sel E.
longifolia J ack telah dilakukan untuk mendapatkan lini
sel dengan produksi biomassa yang tinggi [19].
Disamping itu, identifikasi dan seleksi lini sel
berdasarkan produksi alkaloid melalui kultur kalus dan
suspensi sel telah dilaporkan [20]. Modifikasi
konsentrasi makronutrien, mikronutrien dan penambahan
4% sukrosa berdasarkan nilai optimum yang dicapai
untuk memperoleh produksi biomassa sel dalam suatu
seri-penelitian yang berkelanjutan diperoleh medium
MSBs yang mampu meningkatkan produksi biomassa
sel dan total 9-hydroxycanthin-6-one [21]. Penambahan
zat pengatur tumbuh BA ke dalam medium kultur dapat
meningkatkan total 9-hydroxycanthin-6-one, tetapi
menurunkan total 9-methoxycanthin-6-one [22].

Kajian mengenai pengaruh penambahan kasein
hidrolisat dan intensitas cahaya terhadap produksi
biomassa dan alkaloid canthinone di dalam kultur
suspensi sel E. longifolia J ack dilaksanakan sebagai
suatu upaya untuk meningkatkan kemampuan sel dalam
menghasilkan metabolit sekunder yang tinggi
khususnya senyawa 9-hydroxycanthin-6-one dan 9-
methoxycanthin-6-one yang berasal dari Pasak Bumi.

2. Metode Penelitian

Penyediaan kultur suspensi sel E. longifolia Jack.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Sel
dan J aringan Tanaman, Pusat Pengajian Sains
Kajihayat, Universiti Sains Malaysia, Penang, Malaysia.
Kultur suspensi sel E. longifolia J ack diinisiasi dari
kalus daun yang berasal dari lini sel Eu-9 [20]. Sel-sel
sebanyak 1,0 g berat basah dan berumur 12 hari dikultur
ke dalam 100 mL gelas Erlenmeyer yang mengandung
25 mL medium cair TAM + 2,69 M asam -
naftalenasetat (NAA) and 1,13 M asam 2,4-
diklorofenoksiasetat (2,4-D) +3% sukrosa [19]. Medium
TAM merupakan medium MS [23] yang mengalami
modifikasi dalam komponen makronutriennya.
Komposisi makronutrien medium TAM adalah 21,50
MAKARA, SAINS, VOL. 14, NO. 1, APRIL 2010: 15-21


17
mM NH
4
NO
3
, 12,25 mM KNO
3
, 3,10 mM CaCl
2
.2H
2
O,
0,58 mM MgSO
4
.7H
2
O, and 1,83 mM KH
2
PO
4
. Sel
suspensi E. longifolia J ack disubkultur ke dalam
medium baru yang sama setiap 12 hari. Medium kultur
ditetapkan pada pH 5,7 sebelum autoklaf. Sebelum
digunakan, medium disterilisasi dalam autoklaf pada
suhu 121
o
C selama 13 menit. Kultur sel ditempatkan
pada penggoncang berputar dengan kelajuan 130 rpm
dan suhu ruangan 25 2C dengan intensitas cahaya
fluoresen putih 1525 lux. Sel suspensi dipanen dengan
memisahkan biomassa sel dari medium cair dengan
menggunakan kertas saring (Whatman, 110 mm)
yang diletakkan pada corong pengisap ( 90 mm) dan
terhubung dengan pompa vakum. Biomassa sel
dikeringkan pada suhu 24 2
o
C sehingga berat yang
konstan diperoleh.

Pengaruh kasein hidrolisat dan intensitas cahaya.
Satu gram biomassa sel Eu9 yang berasal dari kultur
suspensi sel E. longifolia J ack di dalam medium TAM
+2,69 M NAA +1,13 M 2,4-D +3% sukrosa,
dikultur ke dalam 100 mL gelas Erlenmeyer yang
mengandung 25 mL medium cair MSBs +2,69 M
NAA +1,13 M 2,4-D. Medium MSBs merupakan
medium MS yang mengalami modifikasi dalam
konsentrasi dari komponen makronutrien, mikronutrien
dan dengan penambahan 4% sukrosa. Medium MSBs
memiliki komposisi makronutrien sebagai berikut:
21,50 mM NH
4
NO
3
, 12.25 mM KNO
3
, 3,10 mM
CaCl
2
.2H
2
O, 0,58 mM MgSO
4
.7H
2
O, and 1,83 mM
KH
2
PO
4
. Untuk mikronutrien, medium MSBs memiliki
komposisi dan konsentrasi mikronutrien sama dengan
medium MS kecuali konsentrasi FeNa-EDTA dan
MnSO
4
.4H
2
O ditetapkan pada konsentrasi 0,11 mM
dan tanpa mengandung CuSO
4
.5H
2
O.

Untuk pengaruh kasein hidrolisat, kajian dijalankan
dengan menambahkan kasein hidrolisat ke dalam
medium MSBs +2,69 M NAA +1,13 M 2,4-D +
4% sukrosa dengan konsentrasi 0,00, 0,10, 0,25, 0,50,
0,75, 1,00, 2,00 dan 5,00% (w/v). Biomassa sel dipanen
pada 14 hari setelah kultur.

Untuk kajian pengaruh intensitas cahaya, perbedaan
intensitas cahaya diperoleh dengan cara menutup gelas-
gelas kultur dalam setiap ulangan (blok) dengan plastik
transparan yang berwarna, kertas dan alumunium foil.
Berdasarkan perbedaan dari warna dan jenis
pembungkus maka diperoleh beberapa nilai intensitas
cahaya (Tabel 1). Intensitas cahaya ditentukan dengan
menggunakan luxmeter. Biomassa sel dipanen pada 14
hari setelah kultur.

Analisis data. Tiga replikat digunakan untuk setiap
perlakuan dan kajian diulangi tiga kali dengan
menggunakan Rancangan Acak Kelompok Non
Faktorial. Data peningkatan berat basah dan berat
kering dianalisis dengan ANOVA dua arah dan
Tabel 1. Modifikasi Intensitas Cahaya Akibat Perbedaan
Jenis Bahan Pembungkus Gelas Kultur
No. Bahan pembungkus Intensitas cahaya (lux)
1.
2.
3.
4.
5.
Alumunium foil
Plastik hitam
Kertas putih
Plastik biru
Tanpa pembungkus
0
190
290
585
1525


perbedaan rataan untuk setiap perlakuan dilakukan
dengan Uji HSD Tukey pada p =0,05. Grafik pengaruh
perbedaan konsentrasi perlakuan (kasein hidrolisat dan
intensitas cahaya) terhadap parameter peningkatan
berat basah, berat kering, konsentrasi 9-
methoxycanthin-6-one dan 9-hydroxycanthin-6-one,
total 9-methoxycanthin-6-one dan 9-hydroxycanthin-6-
one, dan total dua-alkaloid ditentukan dengan
menggunakan program komputer.

Analisis alkaloid. Metode ekstraksi dan analisis
alkaloid biomassa sel E. longifolia J ack ini disesuaikan
dari metode yang telah dilakukan oleh Liu et al. untuk
ekstraksi alkaloid dari tumbuhan Brucea javanica
(Simaroubaceae) [24]. Biomassa kering (0,50 g)
direndam dalam heksana untuk menghilangkan lemak.
Selanjutnya, sampel diekstrak dalam 20 mL metanol
selama 24 jam pada suhu ruang 25 2C sebanyak tiga
kali. Setelah penyaringan dengan kertas filter
WhatmanNo.1, ekstrak metanol dikeringkan dengan
alat evaporator pada suhu 45
o
C. Untuk analisis HPLC
(High Performance Liquid Chromatography), residu
kering dilarutkan di dalam 5 mL metanol dan disaring
dengan millipor ( 0,45 m, Whatman). Analisis
HPLC dilakukan dengan penyuntikan sampel ke dalam
suatu injektor (20 L, Rheodyne, USA) yang
disambung kepada suatu kolom fase berbalik dengan
ukuran partikel 5 m dan panjang 250 x 4,6 mm
(Hypersil ODS column). Deteksi dilakukan dengan
sinar ultra violet dari suatu alat SPD-10 AVp Shimadzu
UV-VIS. Analisis HPLC dijalankan dengan pompa
tekanan tinggi LC-10 ADVp Shimadzu Liquid
Chromatograph. Semua peralatan dan tatacara analisis
dikontrol dengan suatu program komputer Shimadzu
Class Vp. Fase gerak mengandungi asetonitril (Fisher
Scientific): 0,2% asam asetat (Merck, Germany) (42 :
58) dengan kelajuan aliran 2 mL/menit. Elusi alkaloid
dimonitor pada 280 nm dan diidentifikasi berdasarkan
kepada masa retensi (t
R
).

3. Hasil dan Pembahasan

Pengaruh kasein hidrolisat. Penambahan 0,1-2%
(w/v) kasein hidrolisat di dalam medium MSBs +2,69
M NAA + 1,13 M 2,4-D + 4% sukrosa tidak
mempengaruhi peningkatan berat basah dan berat
MAKARA, SAINS, VOL. 14, NO. 1, APRIL 2010: 15-21


18
kering sel-sel E. longifolia Jack dibandingkan dengan
medium tanpa penambahan kasein hidrolisat dalam 14
hari masa setelah kultur. Sedangkan medium dengan
penambahan 5% kasein hidrolisat menyebabkan
penurunan secara nyata peningkatan berat basah dan
berat kering dibandingkan dengan medium tanpa atau
penambahan kasein hidrolisat pada konsentrasi 0,1-2%
(Gambar 1A).

Medium MSBs +2,69 M NAA +1,13 M 2,4-D +4%
sukrosa dengan penambahan 0,1% kasein hidrolisat
meningkatkan kadar produksi 9-hydroxycanthin-6-one
(0,067%) dan 9-methoxycanthin-6-one (0,008%)
dibandingkan dengan tanpa kasein hidrolisat di dalam
medium. Medium tanpa kasein hidrolisat hanya 0,036 %
9-hydroxycanthin-6-one dan 0,005% 9-methoxycanthin-
6-one dihasilkan. Kandungan kasein hidrolisat dalam
medium yang lebih dari 0,25% menurunkan konsentrasi
alkaloid 9-hydroxycanthin-6-one dan kadar ini
mendekati sama dengan kadar alkaloid di dalam
medium tanpa kasein hidrolisat (Gambar 1B).

Total 9-hydroxycanthin-6-one, 9-methoxycanthin-6-one
dan kedua alkaloid juga meningkat dengan penambahan
0,1% kasein hidrolisat ke dalam medium MSBs +2,69
M NAA +1.13 M 2,4-D +4% sukrosa. Penambahan
0,25-2% kasein hidrolisat ke dalam medium
merangsang produksi total alkaloid yang menyerupai
dengan sel-sel yang dikulturkan dalam medium tanpa
kasein hidrolisat. Total alkaloid semakin rendah di
dalam medium dengan penambahan 5% kasein
hidrolisat (Gambar 1C).

Kasein hidrolisat sebagai sumber asam amino dan
oligopeptida adalah suatu produk yang dibuat dari
protein keju. Penambahan 0,10-2% kasein hidrolisat di
dalam medium MSBs tidak mempengaruhi produksi
biomassa sel. Total alkaloid dapat ditingkatkan dalam
sel-sel E. longifolia J ack dengan penambahan 0,1%
kasein hidrolisat ke dalam medium cair MSBs. Ketchum
et al. melaporkan bahwa medium B5 +4,52 M 2,4-D +
1% sukrosa (kontrol) adalah medium terbaik untuk
pertumbuhan kalus, tetapi medium ini tidak berbeda
secara nyata dengan medium kontrol + 0,2% kasein
hidrolisat terhadap pertumbuhan sel untuk tiga lini sel
Taxus brevifolia [25]. Sedangkan Mersinger et al.
menemukan bahwa produksi biomassa yang terbaik bagi
kultur suspensi sel Coleus forskohlii dapat dihasilkan
dalam medium cair B5 +1 mg/L (4,52 M) 2,4-D +0,2
mg/L (0,93 M) kinetin yang mengandung 600 mg/L
(0,6% (w/v)) kasein hidrolisat [26]. Lini sel dari kultur
suspensi Coleus forskohlii yang tumbuh dalam keadaan
gelap dapat menghasilkan kandungan forskolin yang
optimum di dalam medium cair B5 +1 mg/L IBA +
0,01 mg/L BAP yang mengandung 600 mg/L kasein
hidrolisat. Sedangkan lini sel yang tumbuh dalam
keadaan cahaya terang menunjukkan produksi forskolin
yang optimum di dalam medium cair yang sama tetapi
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0 0.1 0.25 0.5 0.75 1 2 5
kasein hidrolisat (%, w/v))
p
e
n
i
n
g
k
a
t
a
n

b
e
r
a
t

b
a
s
a
h

(
g
)
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
b
e
r
a
t

k
e
r
i
n
g

(
g
)
peningkatan berat basah
berat kering
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
b
b
A

0
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
0.08
0 0.1 0.25 0.5 0.75 1 2 5
kasein hidrolisat (%, w/w)
9
-
h
y
d
r
o
x
y
c
a
n
t
h
in
-
6
-
o
n
e

(
%
)
0
0.001
0.002
0.003
0.004
0.005
0.006
0.007
0.008
0.009
0.01
9
-
m
e
t
h
o
x
y
c
a
n
t
h
in
-
6
-
o
n
e

(
%
)
9-hydroxycanthin-6-one
9-methoxyicanthin-6-one
B

0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
0 0.1 0.25 0.5 0.75 1 2 5
kasein hidrolisat (%, w/v)
t
o
t
a
l

a
l
k
a
l
o
i
d

(
m
g
/
2
5

m
L

m
e
d
i
u
m
)
total 9-hydroxycanthin-6-one
total 9-methoxycanthin-6-one
total dua-alkaloid
C

Gambar 1. Pengaruh Konsentrasi Kasein Hidrolisat (0-
5% (w/v)) dalam 25 mL Medium Cair MSBs+
2,69 M NAA + 1,13 M 2,4-D + 4% Sukrosa
terhadap Produksi Biomassa Sel (A),
Konsentrasi 9-Hydroxycanthin-6-one dan 9-
Methoxycanthin-6-one (B), dan Total 9-
Hydroxycanthin-6-one, Total 9-Methoxycanthin-
6-one dan Total Dua-Alkaloid (C) di dalam
Kultur Suspensi Sel E. longifolia Jack dalam
14 Hari Masa Setelah Kultur


kasein hidrolisat ditukarkan dengan glisina [26].
Penambahan 1000 mg/L kasein hidrolisat ke dalam
medium kultur suspensi sel Cistanche deserticola dapat
meningkatkan akumulasi phenylethanoid glycosides
sebanyak 1,5 kali walaupun penambahan ini
menurunkan 1/5 produksi biomassa [27].

Pengaruh intensitas cahaya. Intensitas pencahayaan
yang berbeda tidak menunjukkan pengaruh terhadap
produksi biomassa dalam kultur suspensi sel E.
longifolia J ack di dalam medium cair MSBS +2,69 M
NAA +1,13 M 2,4-D +4% sukrosa dalam 14 hari
MAKARA, SAINS, VOL. 14, NO. 1, APRIL 2010: 15-21


19
masa setelah kultur (Gambar 2A), tetapi mempengaruhi
konsentrasi 9-hydroxycanthin-6-one dan 9-
methoxycanthin-6-one di dalam sel. Kultur suspensi sel
yang diletakkan pada shaker dengan intensitas cahaya
1525 lux menyebabkan produksi 9-hydroxycanthin-6-
one yang tertinggi (0,059%) dibandingkan dengan
lainnya. Konsentrasi 9-hydroxycanthin-6-one menjadi
semakin rendah apabila intensitas cahaya semakin
rendah. Tetapi konsentrasi 9-methoxycanthin-6-one
meningkat pada keadaan tanpa pencahayaan atau
dengan intensiti 290 lux. Pencahayaan 1525 lux
menyebabkan kadar 9-methoxycanthin-6-one menjadi
rendah (0,009%) (Gambar 2B).

Total 9-hydroxycanthin-6-one yang paling tinggi (0,217
mg/25 mL medium) diperoleh dari kultur suspensi sel
yang diinkubasi pada intensitas cahaya 1525 l ux.
Dalam keadaan tanpa cahaya atau cahaya berintensitas
290 lux, total 9-methoxycanthin-6-one yang tinggi
dihasilkan, yaitu sebanyak 0,096 mg/25 mL medium
dan 0,101 mg/25 mL medium masing-masing. Total
dua-alkaloid yang paling tinggi dihasilkan dengan
intensitas cahaya 1525 lux (0,250 mg/25 mL medium)
(Gambar 2C).

Pengaruh faktor fisik seperti intensitas cahaya terhadap
produksi biomassa sel dan alkaloid di dalam kultur
suspensi sel E. longifolia J ack menunjukkan bahwa
modifikasi pencahayaan pada intensitas 01525 lux
tidak memberi pengaruh terhadap produksi biomassa
sel, tetapi konsentrasi 9-hydroxycanthin-6-one yang
paling tinggi dapat diperoleh pada intensitas cahaya
1525 lux tetapi konsentrasi 9-methoxycanthin-6-one
adalah berbeda dengan intensitas cahaya yang berbeda.
Kajian lain juga telah menunjukkan intensitas cahaya
dapat mempengaruhi kultur suspensi sel. Pada kultur
suspensi sel Polygonum tinchtorium, antosianin tidak
dihasilkan dalam keadaan gelap dan hanya sedikit
antosianin dihasilkan bila kultur diletakkan pada
pencahayaan 780 lux, dan total antosianin dapat
ditingkatkan apabila kultur diletakkan pada
pencahayaan 1520 lux [28]. Kondisi yang hampir sama
diperoleh dalam kultur kalus Prunus cerasus L., yaitu
antosianin dihasilkan rendah apabila ditempatkan pada
kondisi gelap, tetapi kandungan antosianin dalam sel
meningkat apabila kalus dikulturkan dalam kondisi
terang [29].

Kualitas cahaya yang dibedakan berdasarkan kepada
warna cahaya juga mempengaruhi produksi metabolit
sekunder. Kultur kalus Saussurea medusa dalam
medium padat MS yang dipajankan dengan cahaya biru
menunjukkan produksi jaseosidin yang terbaik
dibandingkan dengan cahaya putih, tanpa cahaya
(gelap) atau cahaya merah [30]. Adakalanya kultur
menghasilkan metabolit sekunder yang lebih banyak
dalam kondisi gelap. Kultur suspensi sel Hypericum
perforatum L. (St. Johns wort) menghasilkan produksi
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0 190 290 585 1525
intensitas cahaya (lux)
p
e
n
i
n
g
k
a
t
a
n

b
e
r
a
t

b
a
s
a
h

(
g
)
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
b
e
r
a
t

k
e
r
i
n
g

(
g
)
peningkatan berat basah
berat kering
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
A

0
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
0 190 290 585 1525
intensitas cahaya (lux)
a
l
k
a
l
o
i
d

(
%
,

w
/
w
)
9-hydroxycanthin-6-one
9-methoxycanthin-6-one
B

0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0 190 290 585 1525
intensitas cahaya (lux)
t
o
t
a
l

a
l
k
a
l
o
i
d

(
m
g
/
2
5

m
L

m
e
d
i
u
m
)
total 9-hydroxycanthin-6-one
total 9-methoxycanthin-6-one
total dua alkaloid
C

Gambar 2. Produksi Biomassa Sel (A), Konsentrasi 9-
Hydroxycanthin-6-one dan 9-Methoxycanthin-
6-one (B), dan Total 9-Hydroxycanthin-6-one,
Total 9-Methoxycanthin-6-one dan Total Dua-
Alkaloid (C) yang Dipengaruhi oleh
Perbedaan Intensitas Cahaya di dalam 25 mL
Medium Cair MSBs + 2,69 M NAA + 1,13
M 2,4-D + 4% Sukrosa dalam 14 Hari Masa
Setelah Kultur


biomassa dan hypericin lebih tinggi dalam kondisi gelap
dibandingkan kultur ditempatkan pada kondisi terang
[31].

Tetapi, adakalanya kultur hanya menghasilkan metabolit
sekunder dalam keadaan gelap saja, seperti kultur sel
Taxus media cv. Hicksii dalam produksi taksol [32].
Dalam kultur suspensi sel Calendula officinalis, pada
awalnya produksi biomassa adalah sama dalam
keadaaan terang dan gelap, tetapi pertumbuhan sel
menjadi berkurang 30% dalam keadaan terang setelah
MAKARA, SAINS, VOL. 14, NO. 1, APRIL 2010: 15-21


20
78 bulan disubkultur, sedangkan kultur yang dipelihara
dalam keadaan gelap tidak mengakibatkan perubahan
pertumbuhan. Di samping itu, kehadiran asam oleanolik
dapat dideteksi di dalam keadaan gelap, sedangkan
dalam keadaan terang terjadi agregasi sel di dalam
kultur [33].

4. Simpulan

Penambahan 0,12,0% (w/v) kasein hidrolisat ke dalam
medium kultur tidak menunjukkan pengaruh terhadap
produksi biomassa sel dibandingkan dengan tanpa
penambahan kasein hidrolisat. Total alkaloid yang
dihasilkan meningkat dua kali lipat di dalam medium
kultur yang mengandung 0,1% kasein hidrolisat.
Sedangkan modifikasi terhadap besaran intensitas
cahaya (01525 lux) tidak mempengaruhi produksi
biomassa sel di dalam medium kultur, tetapi
menempatkan kultur suspensi sel Eurycoma longifolia
J ack pada intensitas cahaya 1525 lux ditemukan dapat
merangsang peningkatan jumlah 9-hydroxycanthin-6-
one di dalam sel.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih diucapkan kepada Dr. Tripetch
Kanchanaphoom dari Khon Kaen University, Thailand,
untuk standard alkaloid yang diberikan, Sobri bin Aziz
untuk bantuan dalam analisis HPLC, dan Yee Chin-
Leng untuk bantuannya dalam analisis Spektrometri
Massa dari Pusat Pengajian Sains Kimia, Universiti
Sains Malaysia.

Daftar Acuan

[1] K.L Chan, M.J . ONeill, J .D. Phillipson, D.C.
Warhurst, Planta Med. 52/20 (1986) 105.
[2] L.B.S. Kardono, C.K. Angehofer, S. Tsauri, K.
Padmawinata, J .M. Pezzuto, D. Kinghorn, J . Nat.
Prod. 54 (1991) 1360.
[3] H.H. Ang, K.L. Chan, E.K. Gan, K.H. Yuen, J ourn.
Pharmacog. 35/2 (1997) 144.
[4] H. Tada, F. Yasuda, K. Otani, M. Doteuchi, Y.
Ishihara, M Shiro, Europ. J. Medic. Chem. 26
(1991) 345.
[5] P.C. Kuo, L.S. Shi, A.G. Damu, C.R. Su, C.H.
Huang, C.H. Ke, J .B. Wu, A.J . Lin, K.F. Bastow,
K.H. Lee, T.S. Wu, J. Nat. Prod. 66 (2003) 1324.
[6] C.Y. Choo, B.K. Nah, P. Ibrahim, K.L. Chan,
Proceedings of the 16
th
National Seminar on
Natural Products Department of Chemistry,
Universiti Putra Malaysia, Serdang, Malaysia,
2000, pp.219.
[7] K.L. Chan, C.Y. Choo, N.R. Abdullah, Z. Ismail, J .
Ethnopharm. 92/2-3 (2004) 223.
[8] K. Saito, H. Mizukami, in: K.M. Oksman-
Caldentey, W.H. Barz (Eds.), Plant Biotechnology
and Transgenic Plants, Marcel Dekker, New York,
2002, p.223.
[9] S.S. Bhojwani, M.K. Razdan, Plant Tissue Culture:
Theory and Practise, a Revised Edition, Elsevier
Science, Amsterdam, 1996, p.561.
[10] A.J . Nair, Introduction to Biotechnology and
Genetic Engineering, Infinity Science Press LLC,
Hingham, Massachusetts, 2008, p.685.
[11] E.F. George, G.J . de Klerk, in: E.F. George, M.A.
Hall, G.J . de Klerk, Plant Propagation by Tissue
Culture 3
rd
Edition, vol. 1 Background, Springer,
Dordrecht, 2008, p.81.
[12] H.S. Chawla, Introduction to Plant Biotechnology.
Science Publishers, New Hampshire, USA, 2000.
[13] M. Seibert, P.G. Kadkade, In: E.J . Staba (Ed.),
Plant Tissue Culture as a Source of Biochemicals,
CRC Press, Boca Raton, Florida, U.S.A. 1980,
p.123.
[14] K. Hahlbrock, J . Schroder, J . Vieregge, Adv.
Biochem. Eng. 18 (1980) 39.
[15] L.A.M. Siregar, L.K. Chan, The Planter. 78/915
(2002) 289.
[16] L.K. Chan, L.A.M. Siregar, K.H. Chris Teo,
Proceeding of Medicinal Plants Quality Herbal
Products for Healthy, Forest Research Institute of
Malaysia, CFFPR series (1999) 101.
[17] L.A.M. Siregar, L.K. Chan, K.H. Chris Teo,
Proceedings of the Second IMT-GT UNINET
Conference, Hatyai, Thailand, 1998, p.121.
[18] B.T. Ong, Tesis Sarjana Muda, Pusat Pengajian
Sains Kimia, Universiti Sains Malaysia, Penang,
Malaysia, 1999.
[19] L.A.M. Siregar, L.K. Chan, P.L. Boey, J. Plant
Biotech. 5/2 (2003) 131.
[20] L.A.M. Siregar, L.K. Chan, P.L. Boey, J. Plant
Biotech. 6/2 (2004) 125.
[21] L.A.M. Siregar, L.K. Chan, P.L. Boey, Hayati J .
Biosci. 16/2 (2009) 69.
[22] L.A.M. Siregar, L.K. Chan, P.L. Boey, Jurnal Natur
Indonesia. 12/2 (2010) 143.
[23] T. Murashige, F. Skoog, Physiol. Plant 15 (1962)
473.
[24] K.C.S. Liu, S.L. Yang, M.F. Roberts, J .D.
Phillipson, Phytochemistry 29/1 (1990) 141.
[25] R.E.B. Ketchum, D.M. Gibson, L. Greespan-Galo,
Plant Cell Tissue Org. Cult. 42 (1995) 185.
[26] R. Mersinger, H. Dornauer, E. Reinhard, Planta
Medica 54 (1988) 200.
[27] X.Y. Cheng, T. Wei, B. Guo, W. Ni, C.Z. Liu,
Process Biochemistry 40 (2005) 3119.
[28] A. Ernawati, M. Kyo, S. Mayama, Ind. J . Trop.
Agric. 2/2 (1991) 73.
[29] F. Blando, A.P. Scardino, L. De Bellis, I. Nicoletti,
G. Giovinazzo. Food Research International 38
(2005) 937.
[30] D. Zhao, J . Xing, M. Li, D. Lu, Q. Zhao, Plant Cell
Tissue Org. Cult. 67 (2001) 227.
MAKARA, SAINS, VOL. 14, NO. 1, APRIL 2010: 15-21


21
[31] T.S. Walker, H.P. Bais, J .M. Vivanco,
Phytochemistry 60 (2002) 289.
[32] E.R. Wickremesinhe, R.N. Arteca, J . Plant Physiol.
144 (1994) 183.
[33] A. Grzelak, W. J aniszowska, Plant Cell Tissue
Org. Cult. 71 (2002) 29.

You might also like