You are on page 1of 8

1

Pengaruh metil jasmonate pada induksi dihydroechinofuran selama


embriogenesis somatik Lithospermum erythrorhizon Sieb. et Jucc.

Totik Sri Mariani
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung,
J alan Ganesha 10, Bandung 40132
E-mail : totik@sith.itb.ac.id dan totiksrimariani@yahoo.com

Abstrak
Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh metil jasmonate (MeJ a) pada induksi
dihydroechinofuran (DHEF) selama embriogenesis somatik Lithospermum erythrorhizon
Sieb. et J ucc. Tujuan penelitian ini untuk mengamati pengaruh MeJ a terhadap induksi
DHEF oleh embrio somatik L. erythrorhizon dan mengamati struktur permukaan embrio
somatik L. erythrorhizon yang memproduksi DHEF dengan menggunakan Scanning
electron microscopy (SEM). Embrio somatik diinisiasi pada medium L2PVP dan
berdiferensiasi pada medium L3PVP. Pemberian MeJ a dengan konsentrasi 10 M dan
100 M pada medium diferensiasi mampu menginduksi DHEF oleh embrio somatik L.
erythrorhizon tahap hati, bakal torpedo dan torpedo. Struktur permukaan embrio somatik
L. erythrorhizon yang mendapat perlakuan metil jasmonat dan memproduksi DHEF
memperlihatkan penampakan seperti serat kapas dengan tonjolan bulat kecil berdiameter
0,5 1 m yang terdeposisi pada dinding sel. Hasil ini akan memberikan pengaruh
positif terhadap perkembangan life sciences dan teknologi di bidang kesehatan.

Kata kunci : dihydroechinofuran, embriogenesis somatik, Lithospermum erythrorhizon,
metil jasmonat, scanning electron microscopy (SEM)

Abstract
A study concerning the effect of methyl jasmonate (MeJ a) on induction of
dihydroechinofuran (DHEF) during somatic embryogenesis of Lithospermum
erythrorhizon has been conducted. The purposes of this study were to observe the effect
of MeJ a on the induction of DHEF by somatic embryo of L. erythrorhizon and to
observe surface structure of somatic embryo of L. erythrorhizon that produced DHEF by
using Scanning electron microscopy (SEM). Somatic embryo was initiated on L2PVP
medium and differentiated on L3PVP medium. Administration of 10 M and 100 M
MeJ a on the differentiation medium was able to induce DHEF by heart, early torpedo and
torpedo stage of somatic embryo of L. erythrorhizon. The surface structure of somatic
embryo of L. erythrorhizon treated by MeJ a and produced DHEF gave appearance like
cotton-fibres with little granules diameter: 0.5-1 m that was deposited on the cell wall.
This result will give positive impact on the development of life sciences and technology
in medicinal field.

Keywords :dihydroechinofuran, somatic embryogenesis, Lithospermum erythrorhizon,
methyl jasmonate, scanning electron microscopy (SEM)


2
1. Pendahuluan

Lithospermum erythrorhizon
Sieb. et J ucc. merupakan tanaman obat
tradisional yang digunakan secara luas di
dunia pada saat ini. L. erythrorhizon
tergolong tumbuhan asli dari dataran
Cina yang lebih dikenal dengan nama
tzu tsao, tzu ken, hung-tzu ken
karena menghasilkan senyawa turunan
shikonin (pigmen merah naftoquinon)
sebagai produk metabolit sekunder yang
terakumulasi pada sel-sel epidermis akar
(Papageorgiou et al., 1999). Sebagai
tanaman obat, L. erythrorhizon memiliki
aktivitas antibakterial, anti-jamur, anti-
luka, anti-inflamasi, zat analgesik, anti-
piretik, anti-tumor dan sebagai stimulus
untuk mengaktifkan respon imun.
(Bown, 1995 ; Yazaki et al., 1999).
Selain shikonin, L. erythrorhizon juga
menghasilkan senyawa metabolit
sekunder dihydroechinofuran (DHEF)
yang berkhasiat sebagai obat tetapi
belum banyak diketahui (Yazaki, 2001).

Dihydroechinofuran (DHEF)
merupakan metabolit sekunder yang
dihasilkan dari jalur biosintesis yang
sama dengan jalur biosintesis shikonin
pada tanaman L. erythrorhizon. Rangka
dasar naftoquinon yang membentuk
molekul shikonin berasal dari dua
prekursor utama yakni dari geranil
pirofosfat (GPP) dan asam p-
hidroksibenzoat (PHB). GPP berasal dari
asetil ko-A yang diproses melalui jalur
sintesis mevalonat, sedangkan PHB
berasal dari fenilalanin yang diproses
melalui jalur sintesis shikimat. Senyawa
intermediet, geranylhydroquinon, akan
membentuk cincin naftalen untuk
memproduksi shikonin atau mengalami
siklisasi membentuk cincin furan untuk
memproduksi turunan benzofuran yang
akan menghasilkan senyawa DHEF
(Yazaki, 2001 ; Papageorgiou et al.,
1999).

Metil jasmonat merupakan salah
satu elisitor abiotik yang dikenal sebagai
hormon stres pada tanaman yang
berperan dalam sistem pertahanan
terhadap serangan herbivor (Major &
Constabel, 1999). Yazaki et al. (1997)
menggunakan metil jasmonat untuk
menginduksi produksi senyawa turunan
shikonin dan dihydroechinofuran
(DHEF) pada kultur suspensi sel L.
erythrorhizon. Dengan demikian metil
jasmonat mampu berperan sebagai
elisitor pada biosintesis shikonin dan
DHEF.

Penelitian embriogenesis
somatik dan pengamatan struktur
metabolit sekunder akan memberikan
informasi yang luas untuk memahami
mekanisme embriogenesis pada tanaman
L. erythrorhizon dan mekanisme sekresi
metabolit lipofiliknya. Tsukada &
Tabata (1984) menggunakan
Transmission Electron Microscopy
(TEM) untuk mengamati struktur
permukaan sel-sel epidermis akar L.
erythrorhizon yang memproduksi
shikonin. Mereka menemukan bahwa
shikonin dideposisikan di permukaan
dinding sel yang berpigmen sebagai
granular yang berdiameter 1 M.
Mariani et al. (1998) menggunakan
scanning electron microscopy (SEM)
untuk mengamati struktur permukaan
embrio somatik padi yang setiap
tahapannya menunjukkan karakteristik
struktur permukaan yang khas. Pada
permukaan dinding sel nodul embrio
somatik tampak mikrofibril selulosa
dengan struktur granularnya. Namun,
sejauh ini pengamatan terhadap struktur
permukaan sel-sel embrio yang
3
menghasilkan metabolit sekunder belum
pernah dilakukan.

Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengamati pengaruh metil
jasmonat terhadap induksi
dihydroechinofuran (DHEF) oleh embrio
somatik L. erythrorhizon dan mengamati
struktur permukaan embrio somatik L.
erythrorhizon yang memproduksi DHEF
dengan menggunakan SEM.

2. Bahan dan Metoda
2.1. Bahan penelitian
Pada penelitian ini digunakan
kultur kalus embriogenik in vitro L.
erythrorhizon sebagai inokulum untuk
kultur sel embriogenik.

2.2. Metoda kerja
2. 2. 1. Pengaruh metil jasmonat
terhadap produksi
dihydroechinofuran
Untuk produksi metabolit
sekunder, embrio somatik (globular,
bakal hati dan hati) dalam medium
L2PVP sebanyak 10 ml disubkultur ke
dalam 20 ml medium L2PVP (medium
inisiasi embrio somatik) dan medium
L3PVP (medium diferensiasi embrio
somatik) yang masing-masing
mengandung MeJ A dengan konsentrasi
10 M dan 100 M, kemudian
perkembangan embrio somatik diamati
selama 10 hari. Medium L2PVP
dilengkapi dengan zat pengatur tumbuh
(zpt) NAA 5 M dan kinetin 0.5 M
sedangkan medium L3PVP dilengkapi
dengan NAA 5 M dan kinetin 5 M.
Medium L2PVP dan L3PVP dilengkapi
dengan prolin 1.5 g/l, sukrosa 3% dan
PVP 0.3%. Medium dasar untuk L2PVP
dan L3PVP adalam medium M9, yaitu
medium LS yang telah dimodifikasi
(Fujita et al., 1981 dalam Yazaki et al.,
1997). Sebagai kontrol, sebanyak 10 ml
kultur embrio somatik (tahap globular,
bakal hati dan hati) dipindahkan ke
dalam 20 ml medium L2PVP dan
L3PVP tanpa pemberian MeJ A. Seluruh
kultur diletakkan pada shaker, dikocok
dengan kecepatan 100 rpm dan
dipelihara dalam keadaan gelap pada
suhu 23 25
0
C selama 2 minggu.

2. 2. 2. Analisis kimia menggunakan
kromatografi lapis tipis (KLT)
Untuk mengekstrak metabolit
sekunder pada medium digunakan
kloroform 100 % dengan cara
mengocoknya menggunakan stirer
selama 30 menit. Kemudian larutan
didiamkan beberapa waktu sehingga
terbentuk dua lapisan yang terpisah.
Lapisan kloroform yang mengandung
metabolit sekunder dipisahkan dengan
alat separator. Metabolit sekunder yang
terlarut dalam kloroform dibiarkan
menguap dalam hood. Selanjutnya
metabolit kering dicairkan kembali
menggunakan aseton dan segera
ditotolkan pada silika gel 60 GF 254
(kromatografi lapis tipis). Sebagai
standar digunakan senyawa asetil-
shikonin yang diperoleh dari Dr.
Hirobumi Yamamoto, Nagasaki
University, Jepang. Silika gel setinggi 12
cm diletakkan dalam bejana
kromatografi yang telah dijenuhkan
dengan kloroform dan dilihat
pergerakannya pada kromatogram.

2. 2. 3.Scanning electron microscopy
(SEM)
Sampel dari embrio somatik pada
medium L2PVP dan L3PVP kontrol
serta sampel dari embrio somatik pada
medium L2PVP dan L3PVP yang
mendapat perlakuan MeJ A 10 dan 100
M, difiksasi dalam glutaraldehida 5 %
yang dilarutkan dalam buffer cacodilate
pH 7,2 pada suhu 4
0
C selama 24 jam.
4
Kemudian sampel dibilas dalam buffer
cacodilate 0,1 M sebanyak 2 kali dan
sekali menggunakan akuades masing-
masing pada suhu 4 C, selama satu jam.
Berikutnya sampel didehidrasi dalam
serial etanol (30 %; 50% ; 70%; 90 %;
100%) masing-masing selama satu jam,
pada suhu 4 C, kecuali dehidrasi
dengan alkohol 100 % dilakukan pada
suhu ruang. Setelah itu sampel
dicelupkan dalam isoamil asetat selama
5 menit dan dikeringkan pada titik kritis
dengan alat Critical Point Dry DCP-1
(Denton Vacuum) menggunakan CO
2

sebagai fluida yang lewat. Pada tahap
akhir, sampel dilapisi emas dengan
memercikkan ion pada alat ion coater
J eol J EE, dan diamati dengan SEM
Philips XL 20.

3. Hasil dan Pembahasan
3. 1. Pengaruh metil jasmonat
(MeJA) terhadap induksi
dihydroechinofuran
Kultur embrio pada kontrol
(tanpa perlakukan MeJ A) berwarna
kekuningan (Gambar 1A tabung no.5).
Perlakuan MeJ A diberikan setelah hari
ke-3 pada subkultur kedua ke medium
L2PVP yakni saat kultur berumur 10
hari. Hal ini disesuaikan dengan tingkat
perkembangan embrio.














Gambar 1 : A. Pengaruh MeJ A terhadap
produksi metabolit sekunder L. Erythrorhizon.
B. Warna metabolit sekunder merah ungu pada
medium L3PVP +100 M MeJ a. C. Hasil
analisis kualitatif menggunakan kromatografi
lapis tipis, (1) asetil shikonin (2) sampel :
metabolit berwarna merah ungu

Saat kultur embrio berumur 10
hari pada medium L2PVP, embrio
somatik berukuran 1 mm (globular,
bakal hati dan hati) dipindahkan ke
medium L2PVP dan L3PVP yang
masing-masing mengandung MeJ A 10
M dan 100 M. Hasilnya, setelah 2
hari kultur, pada medium L2PVP, warna
kekuningan berubah menjadi ungu muda
setelah perlakuan MeJ A 10 M dan 100
M (Gambar 1A tabung no.1 dan no.2).
Sedangkan kultur yang dipindahkan dari
medium L2PVP ke medium L3PVP +10
M MeJ A, warna medium berubah
menjadi merah ungu (Gambar 1A tabung
no.3). Kultur yang dipindahkan dari
medium L2PVP ke medium L3PVP
dengan 100 M MeJA berubah warna
menjadi merah ungu tua (Gambar 1A
tabung no.4, Gambar 1B). Gambar 1A
tabung no. 5 adalah kontrol (tanpa
penambahan MeJ A).

Metabolit sekunder berwarna
merah ungu berubah warna menjadi
oranye pada fase kloroform. Metabolit
kering yang berwarna oranye dilarutkan
dengan aseton dan segera ditotolkan
pada silika gel. Pada silika gel terlihat
spot berwarna oranye dengan
menggunakan kloroform sebagai
pengembang. Spot berwarna oranye dari
sampel memiliki Rf = 0,5. Spot
berwarna merah dari standar asetil-
shikonin memiliki Rf =0,56 (Gambar
1C, no. 1). Dalam komunikasi pribadi
dengan Dr. Hirobumi Yamamoto dari
Nagasaki University, J epang (2002),
spot berwarna oranye (Gambar 1C no.2)
yang mempunyai Rf yang hampir sama


1 2 3 4 5
5
dengan standar asetil-shikonin (spot
berwarna merah pada gambar 1 C no.1)
adalah echinofuran B.

Menurut Dr. Yamamoto
(Nagasaki University, J epang
komunikasi pribadi, 2002), metabolit
sekunder yang berwarna ungu dan
dilepaskan ke medium adalah
dihydroechinofuran (DHEF). DHEF
adalah senyawa tereduksi dari
echinofuran B dan mudah teroksidasi
menjadi echinofuran B oleh radikal
dalam kloroform. Hal ini yang
menjelaskan terjadinya perubahan warna
merah ungu menjadi oranye dalam
kloroform.

Yazaki et al. (1997)
menyebutkan ada dua produk akhir dari
jalur biosintesis shikonin yang
terakumulasi pada medium cair kultur
suspensi sel L. erythrorhizon yakni
shikonin dan dihydroechinofuran (Fukui
et al., 1992) karena dihydroechinofuran
(DHEF) memiliki prekursor yang sama
dengan shikonin yakni PHB (p-
hidroxibenzoic acid). Prof. Dr.
Kazufumi Yazaki (Kyoto University,
J epang komunikasi pribadi, 2003)
menjelaskan bahwa shikonin terbentuk
dari cincin naftalen sedang DHEF
terbentuk dari cincin furan. Bila induksi
kerja enzim-enzim yang terlibat dalam
pembentukan shikonin berlangsung
lambat, sementara produksi PHB-
geraniltransferase diinduksi dengan
cepat, maka sejumlah besar prekursor
shikonin akan beralih memproduksi
DHEF. Struktur cincin furan terbentuk
dari m-geranil melalui serangkaian
senyawa perantara hidrokuinon dan
dihidroshikonofuran sehingga
menghasilkan produk akhir echinofuran
B yang berwarna oranye (Yazaki et al.,
1999).
Pada penelitian ini, MeJ A dapat
menginduksi DHEF oleh embrio somatik
L. erythrorhizon. MeJ A diduga
menyebabkan peningkatan yang cepat
terhadap aktivitas enzim-enzim yang
terlibat dalam biosintesis shikonin
seperti p-hidroksibenzoat
geraniltransferase yang diikuti dengan
akumulasi yang cepat dari DHEF dan
memperlambat produksi shikonin pada
kultur sel L. erythrorhizon (Yazaki et al.,
1997).

Selain produksi DHEF,
perlakuan MeJ A turut mempengaruhi
tingkat perkembangan embrio somatik L.
erythrorhizon. Apabila embrio
dipindahkan ke medium L3PVP dengan
konsentrasi MeJ A 10 M, MeJ A dapat
menginduksi perkembangan embrio
somatik hingga mencapai tahap bakal
torpedo dan pada medium L3PVP
dengan konsentrasi MeJ A 100 M
menghasilkan embrio torpedo (Gambar
2). Namun diferensiasi lanjut embrio
somatik tahap torpedo menjadi kotiledon
menjadi terhambat. Pengamatan
perkembangan embrio somatik hingga
minggu ke-2 tidak menjumpai embrio
kotiledon pada medium L3PVP dengan
adanya perlakuan MeJ A. Sedangkan
perlakuan MeJ A dengan konsentrasi 10
M dan 100 M pada medium L2PVP
hanya meningkatkan biomassa embrio
hati (15 18 embrio) dalam kultur dan
tidak mempengaruhi tahapan dalam
embriogenesis somatik (Gambar 2)









Keterangan jumlah embrio :
0
1
2
3
4
5
L2PVP (-)
MJ
L2PVP +
10 M MJ
L2PVP +
100 M MJ
L3PVP (-)
MJ
L3PVP +
10 M MJ
L3PVP +
100 M MJ
Medium
J
u
m
l
a
h

e
m
b
r
i
o
proembrio globular bakal hati
hati bakal torpedo torpedo
6
1 =sangat sedikit (<5 embrio) 2 =sedikit (6 10 embrio)
3 =banyak (11 20 embrio) 4 =sangat banyak (21 40
embrio)

Gambar 2. Diagram perkembangan
embrio somatik dengan perlakuan MeJ A
untuk produksi metabolit sekunder

Menurut Selles et al. (1999)
tingkat perkembangan kalus
embriogenik hingga menghasilkan
tahapan embrio globular dengan adanya
diferensiasi lanjut kultur kalus
embriogenik pada Narcissus confusus
mempengaruhi jumlah kandungan
alkaloid pada kultur. Semakin lanjut
tingkat diferensiasi sel, semakin tinggi
kandungan metabolit sekunder yang
dikandungnya (Selles et al., 1999). Pada
penelitian ini, embrio somatik tahap hati,
bakal torpedo dan torpedo dapat
memproduksi metabolit sekunder DHEF,
karena embrio somatik pada tahapan
tersebut merupakan struktur yang telah
terdiferensiasi. Kultur embrio somatik
lebih mudah ditangani dibandingkan
kultur organ karena lebih cepat untuk
memproduksi metabolit sekunder dan
strukturnya masih sederhana. Dengan
demikian, penggunaan embrio somatik
dalam menghasilkan metabolit sekunder
menjadi lebih efisien (Selles et al.,
1999).

3.2. Pengamatan struktur permukaan
embrio dengan Scanning electron
microscopy(SEM)

Pengamatan struktur permukaan
embrio somatik yang mendapat
perlakuan MeJ A dan memproduksi
DHEF dengan menggunakan SEM
memperlihatkan penampakan permukaan
yang berbeda dengan struktur shikonin
yang diamati oleh Tsukada & Tabata
(1984) pada kultur sel L. erythrorhizon.
Permukaan embrio somatik (Gambar
3A) yang memproduksi DHEF dengan
pemberian MeJ A terlihat menyerupai
serat kapas yang halus dengan tonjolan
berbentuk bulat kecil yang tersebar luas
menutupi seluruh permukaan dinding
sel.
Gambar 3B menunjukkan
pengamatan struktur shikonin pada
epidermis akar kecambah menggunakan
SEM. Terlihat bahwa struktur granular
shikonin berdiameter 1 1,5 M
terdeposisi pada permukaan dinding sel
epidermis akar kecambah L.
erythrorhizon. Hal ini sesuai dengan
penelitian Tsukada & Tabata (1984)
yang melaporkan mekanisme sekresi
pigmen merah naftoquinon pada akar L.
erythrorhizon.
















Tsukada & Tabata (1984) yang
mengamati pigmen pada sel-sel
epidermis akar pada medium produksi
shikonin (M9) dengan menggunakan
TEM menyebutkan bahwa shikonin dan
turunannya terdeposisi ke bagian luar
dari dinding sel berupa granular yang
besar berdiameter 1 m, sedangkan
diameter tonjolan bulat kecil pada
struktur DHEF yang diamati pada
penelitian ini berukuran 0,5 1 m.
Pengamatan SEM terhadap permukaan
embrio somatik yang tidak mendapat
Gambar 3. A Struktur permukaan embrio somatik L.
erythrorhizon yang mendapat perlakuan MeJ A dan
memproduksi DHEF
B. Struktur permukaan epidermis akar yang
memproduksi shikonin
C. Permukaan embrio somatik L. erythrorhizon tanpa
perlakuan MeJ A dan tidak memproduksi metabolit
sekunder
7
perlakuan MeJ A (kontrol) dan tidak
memproduksi metabolit sekunder
memperlihatkan permukaan yang sangat
halus dan tidak terdapat struktur granular
maupun struktur menyerupai serat kapas
(Gambar 3C).

Menurut Tsukada & Tabata
(1984) shikonin dan senyawa turunannya
mula-mula disintesis di retikulum
endoplasma kasar yang menghasilkan
vesikel-vesikel. Kemudian vesikel-
vesikel tersebut bermigrasi ke ruang
periperal dari sitoplasma dan melekat
pada membran plasma untuk
mensekresikan isi dari vesikel-vesikel
tersebut (pigmen shikonin, lemak dan
protein) ke bagian luar dinding sel. Hasil
yang sama juga diperlihatkan pada
pengamatan morfologis menggunakan
SEM pada embrio somatik L.
erythrorhizon yakni struktur menyerupai
serat kapas tersebut harus dideposisikan
ke dinding sel untuk memproduksi
DHEF. J ika tidak demikian, sel tidak
akan mensekresikan metabolit sekunder
DHEF, seperti terlihat pada kontrol.

Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah :
1. Pemberian metil jasmonat
dengan konsentrasi 10 M dan
100 M pada medium
diferensiasi mampu menginduksi
produksi DHEF oleh embrio
somatik L. erythrorhizon tahap
hati, bakal torpedo dan torpedo
2. Struktur permukaan embrio
somatik L. erythrorhizon yang
mendapat perlakuan metil
jasmonat dan memproduksi
DHEF memperlihatkan
penampakan seperti serat kapas
dengan tonjolan bulat kecil
berdiameter 0,5 1 m yang
terdeposisi pada dinding sel.
DAFTAR PUSTAKA

Bown, D. 1995. Encyclopaedia of Herbs
and Their Uses. Dorling Kindersley,
London.
p : 238 239.
Fukui, H., Tani, M., Tabata, M. 1992.
An usual metabolite,
dihydroechinofuran, released from
cultured cells of Lithospermum
erythrorhizon. Phytochemistry. (31) :
519 521.
Major, I & Constanbel, C. P. 1999. How
trees defend themselves against
insect herbivors : macroarray
analysis of gene expression in hybrid
polar (Populus trichocarpa x P.
deltoides).Inhttp://www.treebiotech2
003.norrnod.se/s2_o.htm
Mariani T.S., Miyake H. and Takeoka Y.
1998. Changes in surface structure
during direct somatic embryogenesis
in rice scutellum observed by
scanning electron microscopy. Plant
Prod. Sci. 1: 223-231.
Papargeorgiou, V. P., Assimopoulou, A.
N., Couladouros, E. A., Hepworth,
D., Nicolaou, K. C. 1999. The
Chemistry and biology of alkannin,
shikonin and related naphthazarin
natural products. Angewandte
Chemie International Edition. Vol.
38 : 270 - 300.
Selles, M., Viladomat F., Bastida J .,
Codina C. 1999. Callus induction,
somatic embryogenesis and
organogenesis in Nircissus confuses :
correlation between the state of
differentiation and the content of
galanthamine and related alkaloids.
Plant Cell Reports. 18 : 646 651.
Tsukada, M. & Tabata, M. 1984.
Intracellular localization and
secretion of naphthoquinone
pigments in cell cultures of
8
Lithospermum erythrorhizon. Planta
Medica. 4 (8) : 285 364.
Yazaki, K., Takeda K., Tabata, M. 1997.
Effects of methyl jasmonate on
shikonin and dehydroechinofuran
production in Lithospermum cell
cultures. Plant Cell Physiol. 38 (7).
776 782.
Yazaki, K., Matsuoka H., Ujihara T.,
Sato, F. 1999. Shikonin biosintesis in
Lithospermum erythrorhizon :
light induced negative regulation
of secondary metabolism. Plant
Biotechnology. 16 (5) : 335 342.
Yazaki, K. 2001. Root-spesific
production of secondary
metabolites regulation of
shikonin biosynthesis by light in
Lithospermum erythrorhizon.
Natural Medicines. 55 (2) : 49 54.

You might also like