You are on page 1of 7

REFERAT

PHARMACOECONOMIC


Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya
SMF Ilmu Penyakit Dalam di RSUD dr.Soebandi Jember


Disusun oleh:
Nurlaili Tria Kusuma
NIM 092011101064


Dokter Pembimbing:
dr. Suryono, Sp.JP (FIHA)




FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
BAB I
PENDAHULUAN

Kesehatan adalah hak asasi manusia. UUD 1945 menjamin bahwa setiap
penduduk Indonesia berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal
sesuai dengan kebutuhan, tanpa memandang kemampuan membayar. Sebagai
anggota dari komunitas peradaban dunia, Indonesia juga memiliki tanggung jawab
untuk mencapai target Millennium Development Goals (MDGs) 20002015.
Komitmen pencapaian MDGs ini telah dituangkan dalam berbagai target Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan periode 20102014.
Dengan pencapaian target MDGs, diharapkan terjadi peningkatan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Tetapi, sampai saat ini Indonesia
masih terbelit berbagai masalah di bidang yang strategis tersebut. Jumlah
penduduk miskin dengan status kesehatan yang rendah masih sangat besar dan
tekanan beban ganda penyakit semakin berat dengan meningkatnya prevalensi
penyakit degeneratif di tengah insidensi penyakit infeksi yang masih tinggi.
Dengan masuknya berbagai teknologi baru yang umumnya lebih mahal, membuat
biaya pelayanan kesehatan terus meningkat. Di sisi lain, anggaran kesehatan yang
tersedia masih terbatas dan belum memadai.
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan salah satu
program jaminan sosial yang diselenggarakan oleh BPJS dan dilaksanakan secara
nasional mulai dari Januari 2014. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
sendiri adalah badan hukum publik yang bertugas menyelenggarakan program-
program sosial dari pemerintah. Target dari program ini adalah seluruh penduduk
Indonesia memiliki jaminan kesehatan yang memadai pada tahun 2019 nanti.
Jaminan kesehatan yang diberikan pada program JKN ini bukan hanya pada saat
memiliki penyakit kronis seperti jantung atau kanker namun juga termasuk di
dalamnya usaha-usaha pencegahan, seperti imunisasi dan pemeriksaan kesehatan.
Dengan adanya program ini diharapkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan
nantinya akan merata terhadap setiap orang tidak bergantung pada besarnya iuran,
sehingga rakyat miskin tidak perlu khawatir mendapat perlakuan berbeda.
Untuk mempersiapkan program JKN ini, maka pada tanggal 1 Januari
2014, ASKES akan berganti nama menjadi BPJS. Pembiayaan pada sistem JKN
ini menggunakan prinsip Indonesia Case Base Group (INA-CBG's) atau
berdasarkan grup penyakit. Contohnya penyakit amandel. Pembiayaannya bukan
berdasarkan biaya perawatan dan operasi. Namun, hitungannya ditotal. Sehingga
pelayanan pada pasien pun sesuai standar. Penerapan JKN secara nasional ini
menuntut fasilitas kesehatan, perusahaan farmasi, dan praktisi kesehatan agar
lebih siap. Fasilitas kesehatan dituntut untuk terus menerus memantau efisiensi
dalam pelayanan terutama dalam hal pemilihan obat-obatan. Fasilitas kesehatan
harus mampu memilih obat obatan mana yang paling cost effective, bukan hanya
yang paling murah. Selain itu, praktisi kesehatan diharapkan dapat memiliki
keterampilan dalam analisis ekonomi terkait dalam pemilihan obat-obatan. Salah
satu cara untuk mencapai kesiapan tersebut adalah dengan menguasai ilmu
farmakoekonomi.
Farmakoekonomi adalah sistem perhitungan antara biaya yang dikeluarkan
dan dampaknya pada penyembuhan dalam pengambilan keputusan tentang
pengembangan obat dan strategi harga obat. Farmakoekonomi mengkaji dan
menganalisa pengobatan mana yang paling efektif tapi harganya seminimal
mungkin, namun memberikan outcome klinis dengan baik.
Informasi dan data yang diperoleh ketika menerapkan farmakoekonomi ini
akan sangat bermanfaat bagi pemerintah untuk menentukan kebijakan obat. Untuk
para praktisi akan sangat membantu dalam memilihkan terapi obat yang efektif,
bagi perusahaan asuransi akan sangat membantu dalam menentukan mana-mana
obat yang perlu dilist untuk dimasukan ke daftar obat-obat yang mau mereka
tanggung. Industri obat sendiri dapat melihat apakah obat yang dijual memang
telah memenuhi standar life saving namun juga cost saving dan yang terpenting
bagi pasien, mereka tidak perlu mengeluarkan biaya yang begitu banyak untuk
obat yang mereka butuhkan. Singkat kata, kajian farmakoekonomi itu sangat
bermanfaat bagi penerapan JKN di 2014 nanti.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Farmakoekonomi dijabarkan sebagai suatu deskripsi dan analisis biaya
terapi pengobatan terhadap sistem perawatan kesehatan dan masyarakat. Studi
tentang farmakoekonomi bertujuan mengidentifikasi, mengukur, dan
membandingkan biaya dan konsekuensi dari suatu tindakan atau produk
kesehatan.
Setiap institusi pelayanan kesehatan, bahkan semua Negara di seluruh
dunia, memiliki keterbatasan sumberdaya dan dana yang kebutuhannya terus
meningkat, sumber daya manusia (terutama tenaga ahli), waktu, fasilitas dan
peralatan dalam menjalankan sistem pelayanan kesehatan. Keterbatasan ini
memaksa dilakukannya pemilihan prioritas terhadap teknologi kesehatan,
terutama obat, yang digunakan dan mengalokasikan sumberdaya yang tersedia
seefisien mungkin, sesuai skala prioritas yang dibuat secara obyektif.
Untuk pemilihan obat, faktor efikasi merupakan salah satu pertimbangan
yang penting. Agar tercapai peningkatan kesehatan yang maksimal di tengah
keterbatasan yang ada, setiap pengambil kebijakan di bidang kesehatan setidaknya
harus memberikan jawaban memuaskan terhadap empat pertanyaan berikut:
1. Apakah obat (atau, secara umumnya teknologi kesehatan) yang akan
digunakan itu efektif?
2. Siapa yang akan menerima manfaat dari penggunaan obat (teknologi
kesehatan) itu?
3. Berapa biaya yang diperlukan untuk penggunaan obat (teknologi
kesehatan) itu?
4. Bagaimana efektivitasnya jika dibandingkan dengan obat (teknologi
kesehatan) yang telah digunakan?
Kajian farmakoekonomi yang mempertimbangkan faktor klinis
(efektivitas) sekaligus faktor ekonomi (biaya) dapat membantu para pengambil
kebijakan mendapatkan jawaban obyektif terhadap keempat pertanyaan tersebut.
Dengan demikian, Ilmu Farmakoekonomi dapat membantu pemilihan obat yang
rasional, yang memberikan tingkat kemanfaatan paling tinggi.

2.2 Perspektif Penilaian
Perspektif penilaian merupakan hal penting dalam Kajian
Farmakoekonomi, karena perspektif yang dipilih menentukan komponen biaya
yang harus disertakan. Seperti yang telah disampaikan, penilaian dalam kajian ini
dapat dilakukan dari tiga perspektif yang berbeda, yaitu:
1. Perspektif masyarakat (societal).
Sebagai contoh Kajian Farmakoekonomi yang mengambil perspektif
masyarakat luas adalah penghitungan biaya intervensi kesehatan, seperti
program penurunan konsumsi rokok, untuk memperkirakan potensi
peningkatan produktivitas ekonomi (PDB, produk domestik bruto) atau
penghematan biaya pelayanan kesehatan secara nasional dari intervensi
kesehatan tersebut.
2. Perspektif kelembagaan (institutional).
Contoh kajian farmakoekonomi yang terkait kelembagaan antara lain
penghitungan efektivitas-biaya pengobatan untuk penyusunan
Formularium Rumah Sakit. Contoh lain, di tingkat pusat, penghitungan
AEB untuk penyusunan DOEN dan Formularium Nasional.
3. Perspektif individu (individual perspective).
Salah satu contoh kajian farmakoekonomi dari perspektif individu adalah
penghitungan biaya perawatan kesehatan untuk mencapai kualitas hidup
tertentu sehingga pasien dapat menilai suatu intervensi kesehatan cukup
bernilai atau tidak dibanding kebutuhan lainnya (termasuk hiburan).
Karena pertanyaan yang harus dijawab oleh ketiga perspektif itu berbeda, jenis
biaya yang diperhitungkan dalam Kajian Farmakoekonomi masing-masing
perspektif tersebut juga tak sama.



2.3 Hasil Pengobatan (outcome)
Kajian farmakoekonomi senantiasa mempertimbangkan dua sisi, yaitu
biaya (cost) dan hasil pengobatan (outcome). Kenyataannya, dalam kajian yang
mengupas sisi ekonomi dari suatu obat/pengobatan ini, factor biaya (cost) selalu
dikaitkan dengan efektivitas (effectiveness), utilitas (utility) atau manfaat (benefit)
dari pengobatan (pelayanan) yang diberikan. Efektivitas merujuk pada
kemampuan suatu obat dalam memberikan peningkatan kesehatan (outcomes)
kepada pasien dalam praktek klinik rutin (penggunaan sehari-hari di dunia nyata,
bukan di bawah kondisi optimal penelitian). Dengan mengaitkan pada aspek
ekonomi, yaitu biaya, kajian farmakoekonomi dapat memberikan besaran
efektivitas-biaya (cost effectiveness) yang menunjukkan unit moneter (jumlah
rupiah yang harus dibelanjakan) untuk setiap unit indikator kesehatan baik klinis
maupun nonklinis (misalnya, dalam mg/dL penurunan kadar LDL dan/atau
kolesterol total dalam darah) yang terjadi karena penggunaan suatu obat. Semakin
kecil unit moneter yang harus dibayar untuk mendapatkan unit indicator kesehatan
(klinis maupun non-klinis) yang diinginkan, semakin tinggi nilai efektivitas-biaya
suatu obat. Utilitas merujuk pada tambahan usia (dalam tahun) yang dapat
dinikmati dalam keadaan sehat sempurna oleh pasien karena menggunakan suatu
obat. Jumlah tahun tambahan usia (dibanding kalau tidak diberi obat) dapat
dihitung secara kuantitatif, yang jika dikalikan dengan kualitas hidup yang dapat
dinikmati (katakanlah, setara dengan sekian bagian sehat sempurna) akan
memberikan unit yang disebut Quality Adjusted Life Years-QALY atau jumlah
tahun yang disesuaikan (JTKD). Dikaitkan dengan aspek biaya, Kajian
Farmakoekonomi ini akan memberikan unit utilitas-biaya (cost-utility) yang
menunjukkan unit moneter
yang harus dikeluarkan untuk setiap JTKD yang diperoleh. Semakin kecil jumlah
rupiah yang harus dibayar untuk mendapatkan tambahan JTKD, semakin tinggi
utilitas-biaya suatu obat.
Sementara itu, manfaat (benefit) merujuk pada nilai kepuasan yang
diperoleh pasien dari penggunaan suatu obat. Nilai kepuasan ini dinyatakan dalam
besaran moneter setelah dilakukan konversi dengan menggunakan nilai rupiah
yang rela dibayarkan untuk mendapat kepuasan tersebut (willingness to pay).
Semakin tinggi willingness to pay relatif terhadap harga riil obat (cost), semakin
layak obat tersebut dipilih.

You might also like