You are on page 1of 18

BAB I

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi
Bunuh diri merupakan kematian yang diperbuat oleh sang pelaku sendiri
secara sengaja (Haroid I. Kaplan & Berjamin J. Sadock, 1998).
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan (Budi Anna kelihat, 1991).
Perlaku destruktif diri yaitu setiap aktifitas yang jika tidak dicegah dapat
mengarah kepada kematian (Gail Wiscara Stuart, dan Sandra J. Sundeen,
1998).
Bunuh diri adalah perbuatan menghentikan hidup sendiri yang dilakukan
oleh individu itu sendiri atau atas permintaannya. ( Wikipedia : 2011 )
Setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada kematian (
Gail w.Stuart,Keperawatan Jiwa,2007)
Pikiran untuk menghilangkan nyawa sendiri (Ann Isaacs, Keperawatan Jiwa
& Psikiatri, 2004)
Ide, isyarat dan usaha bunuh diri, yang sering menyertai gangguan depresif
sering terjadi pada remaja ( Harold Kaplan, Sinopsis Psikiatri,1997)
Bunuh diri adalah, perbuatan menghentikan hidup sendiri, yang dilakukan
oleh individu itu sendiri. Namun, bunuh diri ini dapat dilakukan pula oleh
tangan orang lain. Misal : bila si korban meminta seseorang untuk
membunuhnya, maka ini sama dengan ia telah menghabisi nyawanya
sendiri. Dimana, Menghilangkan nyawa, menghabisi hidup atau membuat diri
menjadi mati oleh sebab tangan kita atau tangan suruhan, adalah perbuatan-
perbuatan yang termasuk dengan bunuh diri. Singkat kata, Bunuh diri adalah
tindakan menghilangkan nyawa sendiri dengan menggunakan segala
macam cara.

B. Etiologi
Penyebab perilaku bunuh diri dapat dikategorikan sebagai berikut :
1. Faktor genetic
Ada yang berpikir bahwa bawaan genetik seseorang dapat menjadi
faktor yang tersembunyi dalam banyak tindakan bunuh diri. Memang
gen memainkan peranan dalam menentukan temperamen seseorang,
dan penelitian menyingkapkan bahwa dalam beberapa garis keluarga,
terdapat lebih banyak insiden bunuh diri ketimbang dalam garis keluarga
lainya. Namun, kecenderungan genetik untuk bunuh diri sama sekali
tidak menyiratkan bahwa bunuh diri tidak terelakan. kata Jamison.
Kondisi kimiawi otak pun dapat menjadi faktor yang mendasar. Dalam
otak. miliaran neuron berkomunikasi secara elektrokimiawi. Di ujung-
ujung cabang serat syaraf, ada celah kecil yang disebut sinapsis yang
diseberangi oleh neurotransmiter yang membawa informasi secara
kimiawi. Kadar sebuah neurotransmiter, serotonin, mungkin terlibat
dalam kerentanan biologis seseorang terhadap bunuh diri. Buku Inside
the Brain menjelaskan, Kadar serotonin yang rendah dapat
melenyapkan kebahagiaan hidup, mengurangi minat seseorang pada
keberadaanya serta meningkatkan resiko depresi dan bunuh diri.. Akan
tetapi, faktor genetik tidak bisa dijadikan alasan yang mengharuskan
seseorang untuk melakukan tindakan bunuh diri.
2. Faktor kepribadian
Salah satu faktor yang turut menentukan apakah seseorang itu punya
potensi untuk melakukan tindakan bunuh diri adalah faktor kepribadian.
Para ahli mengenai soal bunuh diri telah menggolongkan orang yang
cenderung untuk bunuh diri sebagai orang yang tidak puas dan belum
mandiri, yang terus-menerus meminta, mengeluh, dan mengatur, yang
tidak luwes dan kurang mampu menyesuaikan diri. Mereka adalah orang
yang memerlukan kepastian mengenai harga dirinya, yang akhirnya
menganggap dirinya selalu akan menerima penolakan, dan yang
berkepribadian kekanak-kanakan, yang berharap orang lain membuat
keputusan dan melaksanakannya untuknya (Doman Lum).
Robert Firestone dalam buku Suicide and the Inner Voice menulis
bahwa mereka yang mempunyai kecenderungan kuat untuk bunuh diri,
banyak yang lingkungan terkecilnya tidak memberi rasa aman,
lingkungan keluarganya menolak dan tidak hangat, sehingga anak yang
dibesarkan di dalamnya merasakan kebingungan dalam menghadapi
kehidupan sehari-hari.
Pengaruh dari latar belakang kehidupan di masa lampau ini disebut
faktor predisposesi (faktor bawaan). Dengan memahami konteks yang
demikian, dapatlah kita katakan bahwa akar masalah dari perilaku
bunuh diri sebenarnya bukanlah seperti masalah-masalah yang telah
disebutkan di atas (ekonomi, putus cinta, penderitaan, dan sebagainya).
Sebab masalah-masalah tersebut hanyalah faktor pencetus/pemicu
(faktor precipitasi). Penyebab utamanya adalah faktor predisposisi.
Menurut Widyarto Adi Ps, seorang psikolog, seseorang akan jadi
melakukan tindakan bunuh diri kalau faktor kedua, pemicu (trigger)-nya,
memungkinkan. Tidak mungkin ada tindakan bunuh diri yang muncul
tiba-tiba, tanpa ada faktor predisposisi sama sekali. Akumulasi
persoalan fase sebelumnya akan terpicu oleh suatu peristiwa tertentu.
3. Faktor psikologis
Faktor psikologis yang mendorong bunuh diri adalah kurangnya
dukungan sosial dari masyarakat sekitar, kehilangan pekerjaan,
kemiskinan, huru-hara yang menyebabkan trauma psikologis, dan
konflik berat yang memaksa masyarakat mengungsi. Psikologis
seseorang sangat menentukan dalam persepsi akan bunuh diri sebagai
jalan akhir/keluar. Dan psikologis seseorang tersebut juga sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor tertentu juga.
4. Faktor ekonomi
Masalah ekonomi merupakan masalah utama yang bisa menjadi faktor
seseorang melakukan tindakan bunuh diri. Ekonomi sangat berpengaruh
dalam pemikiran dan kelakuan seseorang. Menurut riset, sebagian
besar alasan seseorang ingin mengakhiri hidupnya/ bunuh diri adalah
karena masalah keuangan/ekonomi. Mereka berangggapan bahwa
dengan mengakhiri hidup, mereka tidak harus menghadapi kepahitan
akan masalah ekonomi. Contohnya, ada seorang ibu yang membakar
dirinya beserta ananknya karena tidak memiliki uang untuk makan.
Berdasarkan contoh tersebut, para pelaku ini biasanya lebih memikirkan
menghindari permasalahan duniawi dan mengakhir hidup.
5. Gangguan mental dan kecanduan
Gangguan mental merupakan penyakit jiwa yang bisa membuat
seseorang melakukan tindakan bunuh diri. Mereka tidak memikirkan
akan apa yang terjadi jika menyakiti dan mengakhiri hidup mereka,
karena sistem mental sudah tidak bisa bekerja dengan baik.
Selain itu ada juga gangguan yang bersifat mencandu, seperti depresi,
gangguan bipolar, scizoprenia dan penyalahgunaan alkohol atau
narkoba. Penelitian di Eropa dan Amerika Serikat memperlihatkan
bahwa lebih dari 90 persen bunuh diri yang dilakukan berkaitan dengan
gangguan-gangguan demikian. Bahkan, para peneliti asal Swedia
mendapati bahwa di antara pria-pria yang tidak didiagnosis menderita
gangguan apapun yang sejenis itu, angka bunuh diri mencapai 8,3 per
100.000 orang, tetapi di antara yang mengalami depresi, angkanya
melonjak menjadi 650 per 100.000 orang! Dan, para pakar mengatakan
bahwa faktor-faktor yang mengarah ke bunuh diri ternyata serupa
dengan yang di negeri-negeri timur. Namun, sekalipun ada kombinasi
antara depresi dan peristiwa -peristiwa pemicu, itu bukan berarti bunuh
diri tidak bisa dielakan.

C. Jenis Tentamen Suicide
Jenis tentamen suicide antara lain :
1. Ancaman Bunuh Diri
Peringatan verbal atau nonverbal bahwa orang tersebut
mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang tersebut mungkin
menunjukkan secara verbal bahwa ia tidak akan berada di sekitar kita
lebih lama lagi atau mungkin juga mengkomunikasikan secara nonverbal
melalui pemberian hadiah, merevisi wasiatnya dan sebagainya. Pesan-
pesan ini harus dipertimbangkan dalam konteks peristiwa kehidupan
terakhir. Ancaman menunjukkan ambivalensi seseorang tentang
kematian. Kurangnya respon positif dapat ditafsirkan sebagai dukungan
untuk melakukan tindakan bunuh diri.
2. Upaya bunuh diri
Semua tindakan yang diarahkan pada diri yang dilakukan oleh individu
yang dapat mengarah kematian jika tidak dicegah.
3. Bunuh diri
Bunuh diri mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau
diabaikan. Orang yang melakukan upaya bunuh diri dan yang tidak
benar-benar ingin mati mungkin akan mati jika tanda-tanda tersebut
tidak diketahui tepat pada waktunya.

D. Patofisiologi
Patofisiologi dari tentamen sucide tergantung dari tipe percobaan
bunuh diri yang dilakukan pasien, tindakan yang paling umum dilakukan
klien dalam upaya bunuh diri adalah dengan sengaja mengonsumsi zat aditif
atau bahan beracun, memutus nadi pergelangan tangan, penenggelaman,
dan lain sebagainya. Pada intoksifikasi zat beracun, Intoksikasi atau
keracunan adalah masuknya zat atau senyawa kimia ke dalam tubuh
seorang manusia yang menimbulkan efek yang bersifat merugikan pada
yang menggunakannya.
Istilah peptisida pada umumnya dipakai untuk semua bahan yang
dipakai manusia untuk membasmi hama yang merugikan manusia.Termasuk
peptisida ini adalah insektisida. Ada 2 macam insektisida yang paling banyak
digunakan dalam bidang pertanian pada pembasmian hama :
1. Insektisida hidrokarbon khorin (IHK= Chlorinated Hydrocarbon)
2. Insektida fosfat organic (IFO =Organo Phosphatase insectisida)
Yang paling sering digunakan adalah IFO yang pemakaiannya terus
menerus meningkat. Sifat dari IFO adalah insektisida poten yang paling
banyak digunakan dalam pertanian dengan toksisitas yang tinggi. Salah satu
derivatnya adalah Tabun dan Sarin. Bahan ini dapat menembus kulit yang
normal (intact) juga dapat diserap diparu-paru dan saluran makanan namun
tidak berakumulasi dalam jaringan tubuh seperti golongan IHK. Macam-
macam IFO adalah malathion ( Tolly ) Paraathion,
Diazinon,Basudin,Paraoxon dan lain-lain.
IFO ada 2 macam adalah IFO Murni dan golongan carbamate. Salah
satu contoh golongan carbamate adalah baygon.
IFO bekerja dengan cara menghabat ( inaktivasi ) enzim asetikolinesterase
tubuh (KhE).Dalam keadaan normal enzim KhE bekerja untuk menghidrolisis
arachnoid (AKH) dengan jalan mengikat Akh KhE yang bersifat inaktif.Bila
konsentrasi racun lebih tinggi dengan ikatan IFO-KhE lebih banyak terjadi.
Akibatnya akan terjadi penumpukan Akh ditempat-tempat tertentu, sehingga
timbul gejala-gejala rangsangan Akh yang berlebihan dan akan
menimbulkan efek muscarinik, nikotinik dan SSP (menimbulkan stimulasi
kemudian depresi SSP)
Pada keracunan IFO, ikatan Ikatan IFOKhE bersifat menetap
(ireversibel), sedangkan keracunan carbamate ikatan ini bersifat sementara
(reversible).Secara farmakologis efek Akh dapat dibagi 3 golongan:
1. Muskarini terutama pada saluran pencernaan,kelenjar ludah dan
keringat, pupil, bronkus dan jantung.
2. Nikotinik,terutama pada otot-otot skeletal,bola mata,lidah,kelopak mata
dan otot pernafasan.
3. SSP, menimbulkan nyeri kepala,perubahan emosi,kejang-kejang
(Konvulsi) sampai koma. Gambaran Klinik. Yang paling menonjol adalah
kelainan visus,hiperaktifitas kelenjar ludah,keringat dan gangguan
saluran pencernaan, serta kesukaran bernafas.
a. Gejala ringan meliputi : Anoreksia, nyeri kepala, rasa
lemah,rasa takut, tremor pada lidah,kelopak mata, pupil miosis.
b. Keracunan sedang : nausea, muntah-muntah, kejang
atau kram perut, hipersaliva, hiperhidrosis, fasikulasi otot dan
bradikardi.
c. Keracunan berat : diare, pupil pi- poin, reaksi cahaya
negatif sesak nafas, sianosis, edema paru,inkontenesia urine
dan feces, kovulsi,koma, blokade jantung akhirnya meningal.
Pada klien dengan gantung diri akan mengalami kekurangan oksigen
hebat sehingga dapat terjadi kematian, Kerusakan akibat asfiksia
disebabkan oleh gagalnya sel menerima atau menggunakan oksigen.
Kegagalan ini diawali dengan hipoksemia. Hipoksemia adalah penurunan
kadar oksigen dalam darah. Manifestasi kliniknya terbagi dua yaitu hipoksia
jaringan dan mekanisme kompensasi tubuh. Tingkat kecepatan rusaknya
jaringan tubuh bervariasi. Yang paling membutuhkan oksigen adalah sistem
saraf pusat dan jantung. Terhentinya aliran darah ke korteks serebri akan
menyebabkan kehilangan kesadaran dalam 10-20 detik. Jika PO2 jaringan
dibawah level kritis, metabolisme aerob berhenti dan metabolisme anaerob
berlangsung dengan pembentukan asam laktat.6,7.
Tanda dan gejala hipoksemia dibagi menjadi 2 kategori yaitu akibat
ketidakseimbangan fungsi pusat vital dan dan akibat aktivasi mekanisme
kompensasi. Hipoksemia ringan menyebabkan sedikit manifestasi yaitu
gangguan ringan dari status mental dan ketajaman penglihatan, kadang-
kadang hiperventilasi. Hal ini karena saturasi Hb masih sekitar 90% ketika
PO2 hanya 60 mmHg.
Hipoksemia yang lebih berat bisa menyebabkan perubahan
kepribadian, agitasi, inkoordinasi otot, euphoria, delirium, bisa sampai stupor
dan koma. Pengerahan mekanisme kompensasi simpatis menyebabkan
takikardi, kulit menjadi dingin (oleh karena vasokonstriksi perifer),
diaphoresis dan peningkatan ringan dari tekanan darah. Hipoksemia akut
yang sangat berat bisa menyebabkan konvulsi, perdarahan retina dan
kerusakan otak permanent. Hipotensi dan bradikardi biasanya merupakan
stadium preterminal pada orang dengan hipoksemia, mengindikasikan
kegagalan mekanisme kompensasi. Kehilangan oksigen bisa bersifat parsial
(hipoksia) atau total (anoksia).
Hipoksia dapat diberi batasan sebagai suatu keadaan dimana sel
gagal untuk dapat melangsungkan metabolisme secara efisien. Dahulu untuk
keadaan ini disebut anoksia yang setelah dipelajari ternyata pemakaian
istilah anoksia itu sendiri tidak tepat. Dalam kenyataan sehari-hari
merupakan gabungan dari 4 kelompok, yaitu :
1. Hipoksik-hipoksia (dahulu anoksik-anoksia)
Keadaan dimana oksigen tidak dapat masuk aliran darah atau tidak
cukup bisa mencapai aliran darah , misalnya pada orang-orang yang
menghisap gas inert, berada dalam tambang atau pada tempat yang
tinggi dimana kadar oksigen berkurang.
2. Stagnan-hipoksia (dahulu stagnant circulatory anoxia)
Terjadi karena gangguan sirkulasi darah (embolism)
3. Anemik-hipoksia (dahulu anemic anoxia)
Darah tidak mampu mengangkut oksigen yang cukup. Bisa karena
volume darah yang kurang
4. Histotoksik-hipoksia (dahulu histotoxic tissue anoxia)
Pada keadaan ini sel-sel tidak dapat mempergunakan oksigen dengan
baik, hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor berikut:
a. Extra celluler: system enzim oksigen terganggu. Misalnya pada
keracunan HCN, barbiturate dan obat-obat hypnotic.
Pada keracunan HCN, cytochrome enzim hancur sehingga sel-sel
mati. Sedangkan barbiturate dan hypnotic hanya sebagian system
cytochrome enzim yang terganggu, maka jarang menimbulkan
kematian sel kecuali pada overdosis.
b. Intra celluler: terjadi karena penurunan permeabilitas sel membrane,
seperti yang terjadi pada pemberian obat-obat anesthesia yang larut
dalam lemak (chloroform, ether, dll)
c. Metabolit: sisa-sisa metabolisme tidak bisa dibuang, misalnya pada
uremia dan keracunan CO2
d. Substrat: bahan-bahan yang diperlukan untuk metabolisme kurang.
Misalnya pada hipoglikemia.
Terdapat empat fase dalam asfiksia, yaitu :
1. Fase Dispneu.
Pada fase ini terjadi penurunan kadar oksigen dalam sel darah merah
dan penimbunan CO2 dalam plasma akan merangsang pusat
pernapasan di medulla oblongata. Hal ini membuat amplitude dan
frekuensi pernapasan meningkat, nadi cepat, tekanan darah meninggi,
dan mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama muka dan tangan.
2. Fase Konvulsi.
Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap
susunan saraf pusat sehingga terjadi konvulsi (kejang), yang mula-mula
kejang berupa kejang klonik tetapi kemudian menjadi kejang tonik dan
akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil mengalami dilatasi, denyut
jantung menurun, tekanan darah juga menurun. Efek ini berkaitan
dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak akibat kekurangan
O2.
3. Fase Apneu.
Pada fase ini, terjadi depresi pusat pernapasan yang lebih hebat.
Pernapasan melemah dan dapat berhenti, kesadaran menurun,dan
akibat dari relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran cairan sperma,
urine, dan tinja.
4. Fase Akhir.
Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti
setelah kontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung
masih berdenyut beberapa saat setelah pernapasan berhenti. Masa dari
saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi.
Umumnya berkisar antara 4-5 menit.
Fase 1 dan 2 berlangsung 3-4 menit. Hal ini tergantung dari tingkat
penghalangan O2. Bila penghalangan O2 tidak 100 %, maka waktu kematian
akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.
Stadium asfiksia adalah
1. Stadium pertama.
Gejala yang terjadi pada stadium ini adalah pernapasan dirasakan berat.
Kadar CO2 yang meningkat menyebabkan pernapasan menjadi cepat
dan dalam (frekuensi pernapasan meningkat), nadi menjadi cepat,
tekanan darah meningkat, muka dan tangan menjadi agak biru.
2. Stadium kedua.
Gejala yang terjadi adalah pernapasan menjadi sukar, terjadi kongesti di
vena dan kapiler sehingga terjadi perdarahan berbintik-bintik (petechie),
kesadaran menurun, dan timbul kejang.
3. Stadium ketiga.
Gerakan tubuh terhenti, pernapasan menjadi lemah dan lama kelamaan
berhenti, pingsan, muntah, pengeluaran kencing dan tinja, dan
meninggal dunia. Korban laki-laki dapat mengeluarkan mani dan korban
wanita mengeluarkan darah dari vagina.
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam dua
golongan :
1. Primer ( akibat langsung dari asfiksia )
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak
tergantung pada tipe dari asfiksia. Sel sel otak sangat sensitif terhadap
kekurangan O2. Apa yang terjadi pada sel yang kekurangan O2 belum
dapat diketahui, tapi yang dapat diketahui adanya perubahan elektrolit
dimana kalium meninggalkan sel dan diganti natrium mengakibatkan
terjadinya retensi air dan gangguan metabolisme. Di sini sel sel otak
yang mati akan digantikan oleh jaringan glial. Akson yang rusak akan
mengalami pertumbuhan (sprouting) pada kedua ujung yang terputus
oleh jaringan parut tersebut. Akan tetapi hal ini tidak mengakibatkan
tersambungnya
kembali akson yang terputus, karena terhalang oleh jaringan parut yang
terdiri dari sel glia.
Bila orang yang mengalami kekurangan anoksia dapat hidup
beberapa hari sebelum meninggal perubahan tersebut sangat khas
pada sel sel serebrum, serebelum dan ganglia basalis. Akan tetapi bila
orangnya meninggal cepat, maka perubahannya tidak spesifik dan dapat
dikaburkan dengan gambaran postmortem autolisis. Pada organ tubuh
yang lain yakni jantung, paru paru, hati, ginjal dan yang lainnya
perubahan akibat kekurangan O2 langsung atau primer tidak jelas.
2. Sekunder ( berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari
tubuh )
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen
yang rendah dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri
dan vena meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan
tidak cukup untuk kerja jantung maka terjadi gagal jantung dan kematian
berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati pada :
a. Penutupan mulut dan hidung ( pembekapan )
b. Obstruksi jalan nafas seperti pada mati gantung, penjeratan,
pencekikan dan korpus alienum dalam saluran nafas atau pada
tenggelam karena cairan menghalangi udara masuk ke paru paru
c. Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan
(traumatic asphyxia)
d. Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat
pernafasan, misalnya pada keracunan.
Pada klien dengan kasus bunuh diri dengan cara memotong urat nadi
yang dilakukan di pergelangan tangan biasanya akan mengalami syok
hipovolemia. Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan
cara mengaktifkan 4 sistem major fisiologi tubuh: sistem hematologi, sistem
kardiovaskular, sistem renal dan sistem neuroendokrin.
Sistem hematologi berespon kepada perdarahan hebat yang terjadi
secara akut dengan mengaktifkan cascade pembekuan darah dan
mengkonstriksikan pembuluh darah (dengan melepaskan thromboxane A2
lokal) dan membentuk sumbatan immatur pada sumber perdarahan.
Pembuluh darah yang rusak akan mendedahkan lapisan kolagennya, yang
secara subsekuen akan menyebabkan deposisi fibrin dan stabilisasi dari
subatan yang dibentuk. Kurang lebih 24 jam diperlukan untuk pembentukan
sumbatan fibrin yang sempurna dan formasi matur.
Sistem kardiovaskular awalnya berespon kepada syok hipovolemik
dengan meningkatkan denyut jantung, meninggikan kontraktilitas myocard,
dan mengkonstriksikan pembuluh darah jantung. Respon ini timbul akibat
peninggian pelepasan norepinefrin dan penurunan tonus vagus (yang
diregulasikan oleh baroreseptor yang terdapat pada arkus karotid, arkus
aorta, atrium kiri dan pembuluh darah paru. System kardiovaskular juga
merespon dengan mendistribusikan darah ke otak, jantung, dan ginjal dan
membawa darah dari kulit, otot, dan GI.
System urogenital (ginjal) merespon dengan stimulasi yang
meningkatkan pelepasan rennin dari apparatus justaglomerular. Dari
pelepasan rennin kemudian dip roses kemudian terjadi pembentukan
angiotensi II yang memiliki 2 efek utama yaitu memvasokontriksikan
pembuluh darah dan menstimulasi sekresi aldosterone pada kortex adrenal.
Adrenal bertanggung jawab pada reabsorpsi sodium secra aktif dan
konservasi air.
System neuroendokrin merespon hemoragik syok dengan
meningkatkan sekresi ADH. ADH dilepaskan dari hipothalmus posterior yang
merespon pada penurunan tekanan darah dan penurunan pada konsentrasi
sodium. ADH secara langsung meningkatkan reabsorsi air dan garam (NaCl)
pada tubulus distal. Ductus colletivus dan the loop of Henle.
Patofisiology dari hipovolemik syok lebih banyak lagi dari pada yang telah
disebutkan . untuk mengexplore lebih dalam mengenai patofisiology,
referensi pada bibliography bias menjadi acuan.
Mekanisme yang telah dipaparkan cukup efektif untuk menjaga
perfusi pada organ vital akibat kehilangan darah yang banyak. Tanpa
adanya resusitasi cairan dan darah serta koreksi pada penyebab hemoragik
syok, kardiak perfusi biasanya gagal dan terjadi kegagalan multiple organ.

E. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin muncul pada klien dengan tentamen
suicide sangat tergantung pada jenis dan cara yang dilakukan klien untuk
bunuh diri, namun resiko paling besar dari klien dengan tentamen suicide
adalah berhasilnya klien dalam melakukan tindakan bunuh diri, serta jika
gagal akan meningkatkan kemungkingan klien untuk mengulangi perbuatan
tentamen suicide.
Pada klien dengan percobaan bunuh diri dengan cara meminum zat
kimia atau intoksikasi zat komplikasi yang mungkin muncul adalah diare,
pupil pi- poin, reaksi cahaya negatif , sesak nafas, sianosis, edema paru
.inkontenesia urine dan feces, konvulsi, koma, blokade jantung akhirnya
meninggal.
Pada klien dengan tentamen suicide yang menyebabkan asfiksia
akan menyebabkan syok yang diakibatkan karena penurunan perfusi di
jaringan terutama jaringan otak.
Pada klien dengan perdarahan akan mengalami syok hipovolemik
yang jika tidak dilakukan resusitasi cairan dan darah serta koreksi pada
penyebab hemoragik syok, kardiak perfusi biasanya gagal dan terjadi
kegagalan multiple organ.

F. Pemeriksaan Penunjang
Koreksi penunjang dari kejadian tentamen suicide akan menentukan
terapi resisitasi dan terapi lanjutan yang akan dilakukan pada klien dengan
tentamen suicide. Pemeriksaan darah lengkap dengan elektrolit akan
menunjukan seberapa berat syok yang dialami klien, pemeriksaan EKG dan
CT scan bila perlu bia dilakukan jika dicurigai adanya perubahan jantung dan
perdarahan cerebral.









BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN
PADA KLIEN DENGAN TENTAMEN SUICIDE

A. Pengkajian
Dalam memberikan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan
dasar utama dan hal yang paling penting dilakukan oleh perawat, baik pada
saat penderita pertama kali masuk Rumah Sakit (untuk mengetahui riwayat
penyakit dan perjalanan penyakit yang dialami pasien) maupun selama
penderita dalam masa perawatan (untuk mengetahui perkembangan pasien
dan kebutuhannya serta mengidentifikasi masalah yang dihadapinya).
Hasil pengkajian yang dilakukan perawat terkumpul dalam bentuk data.
Adapun metode atau cara pengumpulan data yang dilakukan dalam
pengkajian:
1. Wawancara
2. Pemeriksaan fisik
3. Observasi atau pengamatan
4. Catatan atau status pasie
5. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain

Pengkajian Primer meliputi :
1. Airway
Menilai apakah jalan nafas pasien bebas. Apakah klien dapat berbicara
dan bernafas dengan mudah, nilai kemampuan klien untuk bernafas
secara normal. Pada klien dengan kasus percobaan bunuh diri secara
penenggelaman, mungkin akan ditemukan adanya timbunan cairan di
paru-paru yang ditandai dengan muntah dan sesak nafas hebat.
2. Breathing
Kaji pernafasan klien, berupa pola nafas, ritme, kedalaman, dan nilai
berapa frekuensi pernafasan klien per menitnya. Penurunan oksigen
yang tajam ( 10 liter/menit ) harus dilakukan suatu tindakan ventilasi.
Analisa gas darah dan pulse oxymeter dapat membantu untuk
mengetahui kualitas ventilasi dari penderita. Tanda hipoksia dan
hiperkapnia bisa terjadi pada penderita dengan kegagalan ventilasi
seperti pada klien dengan kasus percobaan bunuh diri yang dapat
mengakibatkan asfiksia. Kegagalan oksigenasi harus dinilai dengan
dilakukan observasi dan auskultasi pada leher dan dada melalui distensi
vena.
3. Circulation
Nilai sirkulasi dan peredaran darah, kaji pengisian kapiler, kaji
kemampuan venus return klien, lebih lanjut kaji output dan intake klien
Penurunan kardiak output dan tekanan darah, klien dengan syok
hipovolemik biasanya akan menunjukan beberapa gejala antara lain,
Urin out put menurun kurang dari 20cc/jam, Kulit terasa dingin,
Gangguan fungsi mental, Takikardi, Aritmia
4. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat dan akurat. Hanya respon terhadap
nyeri atau sama sekali tidak sadar. Tidak di anjurkan menggunakan
GCS, adapun cara yang cukup jelas dan cepat adalah :
A : Awakening
V : Respon Bicara
P : Respon Nyeri
U : Unresponsive
Penurunan kesadaran dapat disebabkan penrunan oksigenasi atau
penurunan perfusi ke otak atau disebabkan trauma langsung pada otak.
Penurunan kesadaran menuntut dilakukannya reevaluasi terhadap
keadaan oksigenasi, ventilasi dan perfusi.
5. Exposure
Lepaskan pakaian yang dikenakan dan penutup tubuh agar dapat
diketahui kelaianan atau cidera yang berhubungan dengan
keseimbangan cairan atau trauma yang mungkin dialami oleh klien
dengan tentamen suicide, beberapa klien dengan tentamen suicide akan
mengalami trauma pada lokasi tubuh percobaan bunuh diri tersebut,
misalnya di leher, pergelangan tangan dan dibagian-bagian tubuh yang
lain.
Pengkajian sekunder :
Data pasien merupakan identitas pasien yang meliputi
1. Nama
2. Usia, jenis kelamin
3. Kebangsaan/suku
4. Berat badan, tinggi badan
5. Tingkat pendidikan
6. Pekerjaan
7. Status perkawinan
8. Anggota keluarga
9. Agama
10. Kondisi medis, prosedur pembedahan
11. Masalah emosional
12. Dirawat di RS sebelumnya
13. Pengobatan sebelumnya
14. Alergi
15. Review sistem tubuh (pada sistem utama yang mengalami gangguan)
Pengkajian dilanjutkan dengan mengkaji keluhan utama, keluhan tambahan
serta aspek psikologis dari klien dengan percobaan bunuh diri.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif
2. Kekurangan voleume cairan
3. Pola nafas tidak efektif
4. Gangguan pertukaran gas
5. Gangguan perfusi jaringan

C. Intervensi Keperawatan
1. Diagnosa keperawatan 1 : Bersihan jalan nafas tidak efektif
NOC : Status Pernapasan: Ventilasi
Tujuan: Bersihan jalan napas kembali efektif
Kriteria Hasil :
a. Menunjukkan jalan napas paten dg bunyi napas bersih
b. Tidak ada dipsneu
c. Sekret dapat keluar
NIC : Pengelolaan Jalan Napas
a. Kaji frekuensi atau kedalaman pernapasan dan gerakan dada
b. Auskultasi area paru, catat area penurunan udara
c. Bantu pasien latihan nafas dalam dan melakukan batuk efektif.
d. Berikan posisi semifowler dan pertahankan posisi anak
e. Lakukan penghisapan lendir sesuai indikasi.
f. Kaji vital sign dan status respirasi.
g. Kolaborasi pemberian oksigen dan obat bronkodilator serta
mukolitik ekspektoran.
2. Diagnosa keperawatan 2 : Kekurangan volume cairan, Resiko
kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
berlebih.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan
cairan dan elektrolit adekuat.
NOC : Fluid balance
Kriteria hasil :
a. Mempertahankan urine output sesuai berat badan
b. Tanda-tanda vital dalam batas normal
c. Tidak ada tanda dehidrasi, turgor kulit baik, mukosa lembab.
Skala penilaian NOC :
1 = Tidak pernah menunujukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
NIC : Fluid management
a. Pertahankan intake dan output sesuai berat badan
b. Monitor status hidrasi
c. Monitor TTV
d. Kolaborasi pemberian cairan IV
e. Anjurkan pasien untuk meningkatkan masukan makanan dan cairan
f. Monitor adanya tanda dehidrasi, turgor kulit dan mukosa bibir
3. Diagnosa keperawatan 3 : Pola nafas tidak efektif
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan pasien bisa bernafas dengan lega.
Kriteria hasil :
a. Respirasi 20x/mnt
b. Pasien tidak terengah engah dalam bernafas
c. Pasien tampak rileks
Intervensi :
a. Berikan terapi oksigen
Rasional : membantu mencukupi kebutuhan oksigen
b. Berikan posisi tendelenberg
Rasional : meningkatkan aliran balik vena
c. Observasi TTV, terutama respirasi tiap 4 jam sekali
Rasional : membantu mengevaluasi perkembangan pola nafas
d. Kolaborasi medis untuk pemberian obat golongan epinefrin
Rasional : membantu pembuluh kapiler dilatasi
4. Diagnosa keperawatan 4 : gangguan pertukaran gas
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pertukaran
gas lancar.
NOC : Respiratory status : gas exchange
Kriteria hasil :
a. Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigen yang
adekuat.
b. Memelihara kebersihan paru dan bebas dari tanda-tanda distress
pernafasan .
c. Tanda-tanda vital dalam rentang normal.
Keterangan skala :
1 = Tidak pernah menunujukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
NIC : Airway management
Aktivitas :
a. Buka jalan nafas, gunakan teknik chin lift atau jaw thurst bila perlu.
b. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi.
c. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan.
d. Berikan bronkodilator bila perlu.
e. Monitor konsentrasi dan status oksigen.
5. Diagnosa keperawatan 5 : Gangguan perfusi jaringan
Tujuan : Tidak terjadi perubahan perfusi pada jaringan serebral
NOC I: Status sirkulasi
a. Tekanan darah sistol normal
b. Tekanan darah diastole normal
c. Denyut nadi normal
d. Tekanan vena sentral normal
e. Tekanan paru paru normal
f. Denyut jantung normal
g. Irama jantung normal
h. Perbedaan oksigen darah di arteri dan vena normal
Keterangan skala :
1 = Tidak pernah menunujukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
NIC : Awasi sirkulasi
a. Evaluasi adanya edema perifer dan nadi
b. Lihat / kaji kulit ada luka atau tidak
c. Kaji derajat ketidaknyamanan atau nyeri
d. Ekstermitas bawah direndahkan untuk meningkatkan sirkulasi arteri
e. Ganti posisi pasien paling sedikit 2 jam
f. Monitor stress cairan, termasuk cairan dan keluaran.

You might also like