You are on page 1of 13

LAPORAN PENDAHULUAN SLE

DEFINISI
Lupus Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai
adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh.
Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan.( Lamont, David E, DO ;2006 )

ETIOLOGI
Penyebab LES tidak diketahui walaupun penyakit ini sering terjadi pada orang-orang dengan
kecenderungan mengidap penyakit autoimun. Kecenderungan terjadinya LES dapat berhubungan
dengan perubahan gen MCH spesifik dan bagaimana antigen sendiri ditunjukkan dan dikenali. Resiko
meningkat 2550% pada kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, menunjukkan kaitannya
dengan faktor genetik. Wanita ebih cenderung mengalami LES dibandingkan dengan pria, karena
peran hormon seks. LES dapat dicetuskan oleh stres, sering berkaitan dengan kehamilan atau
menyusui. Pada beberapa orang, pajanan radiasi ultraviolet yang berlebihan dapat mencetuskan
penyakit. Penyakit ini dapat bersifat ringan hingga menyebabkan kematian.

GAMBARAN KLINIS
Polialtralgia ( nyeri sendi) dan arthitis (peradangan sendi)
Demam akibat peradangna kronik
Ruam wajah dalam polamalar (seperti kupu-kupu) di pipi dan hidung.
Lesi dan kebiruan di ujung jari akibat buruknya aliran darah dan hipoksia kronik
Sklerosis (pengencangan atau pengerasan) kulit jari tangan
Luka di selaput lendir mulut atau faring (sariawan)
Lesi berskuama di kepala , leher dan punggung
Edema mata dan kaki mungkin mencerminkan keterlibatan ginjal dan hipertensi
Anemia, kelelahan kronik, infeksi berulangm dan perdarahan sering terjadi karen aserangan
terhadap sel darah merah dan putih serta trombosit

PATOFISIOLOGI
Stimulasi antigen spesifik yang dibawa oleh antigen presenting cells (APCs)
dapat berasal dari luar seperti bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, dan dapat
berasal dari dalam yaitu protein DNA atau RNA. Stimulus ini menyebabkan terjadinya
aktifasi sel B dan sel T. Karena terdapat antibodi antilimfosit T, menyebabkan
terjadinya limfositopenia sel T dan terjadi hiperaktifitas sel B. peningkatan sel B yang
teraktifasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia.
Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+ (helper).
CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi
CD8+ (Isenberg and Horsfalli, 1998). Berkurangnya jumlah sel T juga menyebabkan
berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai pada CD8+ juga berkurang
dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya
kedua subset sel T yang disebut double negatif (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan
sekresi autoantibodi (Mok and Lau, 2003). Proses autoantibodi terjadi melalui 3
mekanisme yaitu :
1) Kompleks imun terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan
komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan.
2) Autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak
dalam jaringan, komplemen akan teraktifasi dan terjadi kerusakan jaringan.
3) Autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktifasi komplemen
yang berperan dalam kematian sel (Epstein, 1998).
Pada sel B, terjadi peningkatan reseptor sitokin, IL-2, sehingga dapat
meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) dan CD4+ pada sel B. Namun terjadi
penurunan terhadap CR 1 ( complement reseptor 1) dan juga fagositosis yang inadekuat
pada igG2 dan igG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcRIIA dan FcRIIIA. Hal ini
juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya
gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun
dan terjadinya deposisi kompleks imun pada berbagai macam organ sehingga terjadi
fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktifasi komplemen
yang menghasilkan mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang.
Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan atau gejala pada organ atau
tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, kulit dan sebagainya (Albar,
2003).
Secara ringkas, proses perjalanan penyakit lupus eritematosus sistemik adalah
sebagai berikut :
Stimulasi antigen spesifik yang dibawa oleh antigen presenting cells (APCs)
yang berasal dari luar (bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus) dan dari dalam
(protein DNA/RNA)

Terdapatnya antibodi antilimfosit T

Limfositopenia sel T, Hiperaktivitas sel B, fungsi sel T supresor abnormal

Double negatif (CD4-CD8-), hipergamaglobulinemia, penimbunan kompleks ag-ab
(igG/igM) dalam jaringan/pembuluh darah

Mengaktifkan komplemen

Komplemen melepaskan MCF (Macrophage chemotactic factor)

Makrofag dikerahkan ke tempat tersebut

Melepaskan enzim protease dan bahan toksik yang berasal dari metabolisme oksigen
dan arginin (oksigen radikal bebas)

Merusak jaringan sekitarnya (autoimun)

Lupus Eritematosus Sistemik

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Antibodi antinukleus tampak pada sekurang-kurangnya 95% penderita LES, namun dapat terjadi
pada non penderita
Antibodi terhadap DNA untai ganda adalah diagnostik LES
Protein pada urine sebagai tanda kerusakan ginjal
Antibodi antineuron dapat terjadi

PENATALAKSANAAN
1. Secara Umum
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam
penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis.
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah penderita
tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang agresif. Bila
penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka
dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi
dan imunosupresan lainnya. Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE.
Tujuan dari terapi adalah mengurangi gejala dan melindungi organ dengan
mengurangi peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun di tubuh.
Bentuk penanganan umum pasien dengan SLE antara lain (Sukmana,2004):
a. Kelelahan
Hampir setengah penderita SLE mengeluh kelelahan. Sebelumnya kita harus
mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagian dari derajat sakitnya atau karena
penyakit lain yaitu: anemia, demam, infeksi, gangguan hormonal atau komplikasi
pengobatan dan emotional stress. Upaya mengurangi kelelahan di samping
pemberian obat ialah: cukup istirahat, batasi aktivitas, dan mampu mengubah
gaya hidup.
b. Hindari merokok
Walaupun prevalensi SLE lebih banyak pada wanita, cukup banyak wanita
perokok. Kebiasaan merokok akan mengurangi oksigenisasi, memperberat
fenomena Raynaud yang disebabkan penyempitan pembuluh darah akibat bahan
yang terkandung pada sigaret/rokok.
c. Cuaca
Walaupun di Indonesia tidak ditemukan cuaca yang sangat berbeda dan hanya
ada dua musim, akan tetapi pada sebagian penderita SLE khususnya dengan
keluhan artritis sebaiknya menghindari perubahan cuaca karena akan
mempengaruhi proses inflamasi.
d. Stres dan trauma fisik
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perubahan emosi dan trauma fisik
dapat mempengaruhi sistem imun melalui: penurunan respons mitogen limfosit,
menurunkan fungsi sitotoksik limfosit dan menaikkan aktivitas sel NK (Natural
Killer). Keadan stress tidak selalu mempengaruhi aktivasi penyakit, sedangkan
trauma fisik dilaporkan tidak berhubungan dengan aktivasi SLE-nya. Umumnya
beberapa peneliti sependapat bahwa stress dan trauma fisik sebaiknya dikurangi
atau dihindari karena keadaan yang prima akan memperbaiki penyakitnya.
e. Diet
Tidak ada diet khusus yang diperlukan pasien LES, makanan yang berimbang
dapat memperbaiki kondisi tubuh. Beberapa penelitian melaporkan bahwa
minyak ikan (fish oil) yang mengandung eicosapentanoic acid dan
docosahexanoic acid dapat menghambat agregasi trombosit, leukotrien dan 5-
lipoxygenase di sel monosit dan polimorfonuklear. Sedangkan pada penderita
dengan hiperkolesterol perlu pembatasan makanan agar kadar lipid kembali
normal.
f. Sinar matahari (sinar ultra violet)
Seperti diketahui bahwa sinar ultra violet mempunyai tiga gelombang, dua dari
tiga gelombang tersebut (320 dan 400 nm) berperan dalam proses fototoksik.
Gelombang ini terpapar terutama pada pukul 10 pagi s/d pukul 3 sore, sehingga
semua pasien SLE dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari pada
waktu-waktu tersebut.
g. Kontrasepsi oral
Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi akan memperberat
LES, akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan membahayakan penyakitnya.
Pada penderita SLE yang mengeluh sakit kepala atau tromboflebitis jangan
menggunakan obat yang mengandung estrogen.
2. Terapi konservatif
Diberikan tergantung pada keluhan atau manifestasi yang muncul. Pada keluhan
yang ringan dapat diberikan analgetik sederhana atau obat antiinflamasi nonsteroid
namun tidak memperberat keadaan umum penderita. Efek samping terhadap sistem
gastrointestinal, hepar dan ginjal harus diperhatikan, dengan pemeriksaan kreatinin
serum secara berkala. Pemberian kortikosteroid dosis rendah 15 mg, setiap pagi.
Sunscreen digunakan pada pasien dengan fotosensivitas. Sebagian besar sunscreen
topikal berupa krem, minyak, lotion atau gel yang mengandung PABA dan esternya,
benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A dan B atau
steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat dan triamsinolon
asetonid.
3. Terapi agresif
Pemberian oral pada manifestasi minor seperti prednison 0,5 mg/kgBB/hari,
sedangkan pada manifestasi mayor dan serius dapat diberikan prednison 1-1,5
mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB
selama 3 hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis tinggi,
kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1,5 mg/kgBB/ hari.
Secara ringkas penatalaksanaan LES adalah sebagai berikut :
b. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama
kortikosteroid, secara topical untuk kutaneus.
c. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE
d. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.
e. Pemberian obat anti inflamasi nonsteroid termasuk aspirin untuk mengendalikan
gejala artritis.
f. Krim topikal kortikosteroid, seperti hidrokortison, buteprat ( acticort ) atau
triamsinalon (aristocort) untuk lesi kulit yang akut.
g. Penyuntikan kortikosteroid intralesiatau pemberian obat anti malaria, seperti
hidroksikolorokuin sulfat ( plaquinil ), mengatasi lesi kulit yang membandel.
h. Kortikosteroid sistemik untuk mengurangi gejala sistemik SLE dan mencegah
eksaserbasi akut yang menyeluruh ataupun penyakit serius yang berhubungan
dengan sistem organ yang penting, seperti pleuritis, perikarditis, nefritis lupus,
faskulitis dan gangguan pada SSP. (Kowalak, Welsh, Mayer . 2002).

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik bisa terjadi pada wanita maupun pria,
namun penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan perbandingan wanita dan
pria 8 : 1.
b. Biasa ditemukan pada ras-ras tertentu seperti Negro, Cina, dan Filiphina.
c. Lebih sering pada usia 20-40 tahun, yaitu pada usia produktif.
d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit ini.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas,
anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu, apakah pernah menderita penyakit ginjal
atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun yang lain.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam malar-
fotosensitif, ruam diskoid-bintik-bintik eritematosa menimbul, Artralgia/arthritis,
demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, perikarditis, bengkak pada pergelangan
kaki, kejang, ulkus dimulut.
b. Mulai kapan keluhan dirasakan.
c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
d. keluhan-keluhan lain yang menyertai.
5. Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan Klorpromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid, dilantin, penisilamin, dan kuinidin.
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakit yang sama
atau penyakit autoimun yang lain.
7. Pemeriksaan Fisik
Dikaji secara sistematis
B1 ( Breath )
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan otot nafas
tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales, ronchii), nyeri saat inspirasi, produksi
sputum, reaksi alergi . Patut dicurigai terjadi pleuritis atau efusi pleura. .
B2 ( Blood )
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada, suara jantung ( S1,S2,S3), bunyi systolic
click ( ejeksi click pulmonal dan aorta ), bunyi mur-mur. Friction rub perikardium
yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan
vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan
B3 ( Brain )
Mengukur tingkat kesadaran ( efek dari hipoksia ) Glasgow Coma Scale secara
kuantitatif dan respon otak ; compos mentis sampai coma (kualitatif), orientasi klien.
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang
B4 ( Bladder )
Pengukuran urine tampung ( menilai fungsi ginjal ), warna urine (menilai filtrasi
glomelorus),
B5 ( Bowel )
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan., turgor kulit.
Nyeri perut, nyeri tekan, apakah ada hepatomegali, pembesaran limpa.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.
Nyeri berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan.
Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan pada penampilan fisik.
Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, leukopenia, penurunan hemoglobin
Intoleransi aktivitas fisik berhubungan dengan kelemahan atau keletihan akibat anemia.





INTERVENSI
Diagnosa Keperawatan/ Masalah
Kolaborasi
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan :
Eksternal :
- Hipertermia atau hipotermia
- Substansi kimia
- Kelembaban
- Faktor mekanik (misalnya : alat yang
dapat menimbulkan luka, tekanan,
restraint)
- Immobilitas fisik
- Radiasi
- Usia yang ekstrim
- Kelembaban kulit
- Obat-obatan
Internal :
- Perubahan status metabolik
- Tonjolan tulang
- Defisit imunologi
- Berhubungan dengan dengan
perkembangan
- Perubahan sensasi
- Perubahan status nutrisi (obesitas,
kekurusan)
- Perubahan status cairan
- Perubahan pigmentasi
- Perubahan sirkulasi
- Perubahan turgor (elastisitas kulit)

DO:
- Gangguan pada bagian tubuh
- Kerusakan lapisa kulit (dermis)
- Gangguan permukaan kulit
(epidermis)

NOC :
Tissue Integrity : Skin and Mucous
Membranes
Wound Healing : primer dan sekunder
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama.. kerusakan
integritas kulit pasien teratasi dengan
kriteria hasil:
Integritas kulit yang baik bisa
dipertahankan (sensasi,
elastisitas, temperatur, hidrasi,
pigmentasi)
Tidak ada luka/lesi pada kulit
Perfusi jaringan baik
Menunjukkan pemahaman
dalam proses perbaikan kulit
dan mencegah terjadinya
sedera berulang
Mampu melindungi kulit dan
mempertahankan kelembaban
kulit dan perawatan alami
Menunjukkan terjadinya proses
penyembuhan luka

NIC : Pressure Management
Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang
longgar
Hindari kerutan pada tempat tidur
Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam
sekali
Monitor kulit akan adanya kemerahan
Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang
tertekan
Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
Monitor status nutrisi pasien
Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
Kaji lingkungan dan peralatan yang menyebabkan tekanan
Observasi luka : lokasi, dimensi, kedalaman luka,
karakteristik,warna cairan, granulasi, jaringan nekrotik,
tanda-tanda infeksi lokal, formasi traktus
Ajarkan pada keluarga tentang luka dan perawatan luka
Kolaburasi ahli gizi pemberian diae TKTP, vitamin
Cegah kontaminasi feses dan urin
Lakukan tehnik perawatan luka dengan steril
Berikan posisi yang mengurangi tekanan pada luka



Diagnosa Keperawatan/ Masalah
Kolaborasi
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Nyeri akut berhubungan dengan:
Agen injuri (biologi, kimia, fisik,
psikologis), kerusakan jaringan

DS:
- Laporan secara verbal
DO:
- Posisi untuk menahan nyeri
- Tingkah laku berhati-hati
- Gangguan tidur (mata sayu, tampak
capek, sulit atau gerakan kacau,
menyeringai)
- Terfokus pada diri sendiri
- Fokus menyempit (penurunan
persepsi waktu, kerusakan proses
berpikir, penurunan interaksi dengan
orang dan lingkungan)
- Tingkah laku distraksi, contoh : jalan-
NOC :
Pain Level,
pain control,
comfort level
Setelah dilakukan tinfakan
keperawatan selama . Pasien tidak
mengalami nyeri, dengan kriteria hasil:
Mampu mengontrol nyeri (tahu
penyebab nyeri, mampu
menggunakan tehnik
nonfarmakologi untuk mengurangi
nyeri, mencari bantuan)
Melaporkan bahwa nyeri berkurang
dengan menggunakan manajemen
nyeri
Mampu mengenali nyeri (skala,
intensitas, frekuensi dan tanda
nyeri)
NIC :
Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk
lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
presipitasi
Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan
dukungan
Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti
suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
Kurangi faktor presipitasi nyeri
Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala,
relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin
Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: ...
Tingkatkan istirahat
Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri,
berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi
ketidaknyamanan dari prosedur
jalan, menemui orang lain dan/atau
aktivitas, aktivitas berulang-ulang)
- Respon autonom (seperti diaphoresis,
perubahan tekanan darah, perubahan
nafas, nadi dan dilatasi pupil)
- Perubahan autonomic dalam tonus
otot (mungkin dalam rentang dari
lemah ke kaku)
- Tingkah laku ekspresif (contoh :
gelisah, merintih, menangis, waspada,
iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah)
- Perubahan dalam nafsu makan dan
minum

Menyatakan rasa nyaman setelah
nyeri berkurang
Tanda vital dalam rentang normal
Tidak mengalami gangguan tidur



Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian
analgesik pertama kali

Diagnosa Keperawatan/ Masalah
Kolaborasi
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Gangguan body image berhubungan
dengan:
Biofisika (penyakit kronis), kognitif/persepsi
(nyeri kronis), kultural/spiritual, penyakit, krisis
situasional, trauma/injury, pengobatan
(pembedahan, kemoterapi, radiasi)
DS:
- Depersonalisasi bagian tubuh
- Perasaan negatif tentang tubuh
- Secara verbal menyatakan perubahan
gaya hidup
DO :
- Perubahan aktual struktur dan fungsi
tubuh
- Kehilangan bagian tubuh
- Bagian tubuh tidak berfungsi

NOC:
Body image
Self esteem
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama . gangguan
body image
pasien teratasi dengan kriteria
hasil:
Body image positif
Mampu mengidentifikasi
kekuatan personal
Mendiskripsikan secara
faktual perubahan fungsi
tubuh
Mempertahankan interaksi
sosial

NIC :
Body image enhancement
- Kaji secara verbal dan nonverbal respon klien
terhadap tubuhnya
- Monitor frekuensi mengkritik dirinya
- Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan
dan prognosis penyakit
- Dorong klien mengungkapkan perasaannya
- Identifikasi arti pengurangan melalui pemakaian alat
bantu
- Fasilitasi kontak dengan individu lain dalam kelompok
kecil


Diagnosa Keperawatan/ Masalah
Kolaborasi
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Risiko infeksi

Faktor-faktor risiko :
- Prosedur Infasif
- Kerusakan jaringan dan peningkatan
paparan lingkungan
- Malnutrisi
- Peningkatan paparan lingkungan
patogen
- Imonusupresi
- Tidak adekuat pertahanan sekunder
(penurunan Hb, Leukopenia,
penekanan respon inflamasi)
- Penyakit kronik
- Imunosupresi
- Malnutrisi
- Pertahan primer tidak adekuat
(kerusakan kulit, trauma jaringan,
gangguan peristaltik)
NOC :
Immune Status
Knowledge : Infection control
Risk control
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama pasien tidak
mengalami infeksi dengan kriteria
hasil:
Klien bebas dari tanda dan gejala
infeksi
Menunjukkan kemampuan untuk
mencegah timbulnya infeksi
Jumlah leukosit dalam batas
normal
Menunjukkan perilaku hidup
sehat
Status imun, gastrointestinal,
genitourinaria dalam batas
normal
NIC :
Pertahankan teknik aseptif
Batasi pengunjung bila perlu
Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan
keperawatan
Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai dengan
petunjuk umum
Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi
kandung kencing
Tingkatkan intake nutrisi
Berikan terapi antibiotik:.................................
Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
Pertahankan teknik isolasi k/p
Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap
kemerahan, panas, drainase
Monitor adanya luka
Dorong masukan cairan
Dorong istirahat
Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4 jam


Diagnosa Keperawatan/ Masalah
Kolaborasi
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Intoleransi aktivitas
Berhubungan dengan :
Tirah Baring atau imobilisasi
Kelemahan menyeluruh
Ketidakseimbangan antara suplei
oksigen dengan kebutuhan
Gaya hidup yang dipertahankan.
DS:
Melaporkan secara verbal adanya
kelelahan atau kelemahan.
Adanya dyspneu atau
ketidaknyamanan saat beraktivitas.
DO :

Respon abnormal dari tekanan
darah atau nadi terhadap aktifitas
Perubahan ECG : aritmia, iskemia

NOC :
Self Care : ADLs
Toleransi aktivitas
Konservasi eneergi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama . Pasien bertoleransi terhadap
aktivitas dengan Kriteria Hasil :
Berpartisipasi dalam aktivitas fisik
tanpa disertai peningkatan tekanan
darah, nadi dan RR
Mampu melakukan aktivitas sehari
hari (ADLs) secara mandiri
Keseimbangan aktivitas dan
istirahat

NIC :
Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan
aktivitas
Kaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan
Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat
Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi
secara berlebihan
Monitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas
(takikardi, disritmia, sesak nafas, diaporesis, pucat,
perubahan hemodinamik)
Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi Medik
dalam merencanakan progran terapi yang tepat.
Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang
mampu dilakukan
Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai
dengan kemampuan fisik, psikologi dan sosial
Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan
sumber yang diperlukan untuk aktivitas yang
diinginkan
Bantu untuk mendpatkan alat bantuan aktivitas seperti
kursi roda, krek
Bantu untuk mengidentifikasi aktivitas yang disukai
Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu
luang
Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi
kekurangan dalam beraktivitas
Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktivitas
Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan
penguatan
Monitor respon fisik, emosi, sosial dan spiritual














DAFTAR PUSTAKA

Corwin,Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta: EGC
Sudoyo, et all. 2009. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 3 edisi 5. Interna publishing. Jakarta
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 2004. LupusEritematosus Hal 246 - 249 Edisi ketiga,
Cetakan Kelima, FK UI, Jakarta,
Sukmana, Nanang. 2011. Systemic Lupus Erytemathossus : Pathogenesis. Upload :
www.New England Of Medicine Journals (diakses 30 April 2013)
Noer, Sjaifoellah. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi 3. Jakarta : Balai
penerbit FKUI
Mansjoer, Arif. 1999. kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Edisi 6 Vol 2. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3. Jakarta : EGC
Engram, Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Vol 2. Jakarta: EGC
Gleadle, Jonathan. 2007. Anamnesis dan pemeriksaan Fisik. Jakarta : Erlangga
Oehadian, Amaylia. 2008. Kelainan darah pada lupus eritematosus sistemik. Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran.
Kowalak. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
Herdman, T. Heather. (2012). Nursing Diagnoses Definition and Classification 2012-2014. Oxford:
Wiley-Blackwell
Moorhead, Sue.et al. (2004). Nursing Outcome Classification (NOC) Fourth Edition. Missouri :
Mosby. Elsevier
Dochterman, Joanne McCloskey.et al. (2008). Nursing Intervention Classification Fifth Edition.
Missouri : Mosby. Elsevier

TUGAS SEMESTER PENDEK
MEDICAL SURGICAL NURSING
LAPORAN PENDAHULUAN SLE DAN HIV














Oleh :
Cicilia Endah Purbawati
1350702091111010








FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014

You might also like