You are on page 1of 6

PERFORASI REKTUM YANG DISEBABKAN OLEH STRIKTUR ANAL

SETELAH PENGOBATAN HEMOROID


Yong Joon Suh, Heon-Kyun Ha, Heung-Kwon Oh, Rumi Shin, Seung-Yong
Jeong, Kyu Joo Park
Department of Surgery, Seoul National University College of Medicine, Seoul,
Korea

Terapi tidak pantas untuk hemoroid dapat menyebabkan berbagai
komplikasi, termasuk striktur anorektal. Kami melaporkan seorang pasien yang
mengalami bencana perforasi rektum karena striktur anal parah setelah
pengobatan hemoroid yang tidak pantas. Seorang pria berusia 67-tahun dengan
nyeri perianal datang ke ruang gawat darurat. Hemoroid disertai dengan sembelit,
sudah dideritanya sejak muda. Dengan demikian ia telah mendapatkan injeksi
sclerotherapy beberapa kali oleh seorang terapis berlisensi dan hemorrhoidectomy
dua kali di klinik praktisi swasta. Suhu tubuhnya 38,5 C. CT-Scan menunjukkan
perforasi fokus posterior dinding rektum. Dilakukan operasi darurat. Jaringan
fibrosis yang berasal dari lubang anus dipotong. Dan kemudian dibuat lingkaran
sigmoid kolostomi. Pasien diizinkan pulang empat hari setelah operasi. Laporan
ini meminta perhatian terhadap risiko besar injeksi skleroterapi tanpa izin dan
hemorrhoidectomy sehingga terjadi jaringan parut, striktur progresif, dan akhirnya
perforasi rektum.
Kata kunci : Wasir; Striktur; perforasi usus
PENDAHULUAN
Wasir adalah penyakit dengan kelainan jaringan submukosa, meliputi
struktur vaskular yang terdiri dari saluran arteri-vena yang berfungsi sebagai
bantalan di anal kanal [1]. Dilaporkan wasir merupakan lebih dari 70 % dari
semua penyakit anal dan lebih dari 90 % merupakan hemoroid interna.
Wasir diketahui dapat diobati dengan berbagai metode. Penyakit sekunder
yang cenderung terjadi setelah pengobatan wasir adalah striktur anal, yang terjadi
pada 3,8 % dari pasien yang dirawat untuk penyakit wasir dan kebanyakan dari
mereka menunjukkan gejala kira-kira 6 minggu setelah operasi [2]. Striktur anal
sekunder juga dapat terjadi terhadap reseksi lesi perianal, fistulectomy,
sphincteroplasty, kauterisasi listrik kondiloma, dan reseksi kuratif untuk kanker
rektal bawah [3]. Jika epitel anal yang berlebihan dan mukosa dubur dibuang,
dapat meninggalkan bekas luka yang dapat berkembang menjadi striktur dan
kronis yang memperburuk kelenturan anal. Jika diperpanjang kerusakan hingga
mekanisme sfingter, dapat menyebabkan striktur anal serius yang berhubungan
dengan inkontinensia tinja, sembelit, sakit perut, atau tenesmus. Banyak metode
non bedah dan bedah saat ini dikenal sebagai pengobatan wasir [4,5]. Namun,
banyak komplikasi dari metode-metode pengobatan telah dilaporkan [6,7]. Untuk
tujuan ini, selain kajian literature, penulis melaporkan kasus, setelah memiliki
pengalaman dalam pengobatan pasien dengan kondisi striktur anal bahkan
perforasi rektum yang telah berkembang setelah pengobatan wasir.
LAPORAN KASUS
Pasien seorang laki-laki, 67 tahun, dirawat di rumah sakit melalui ruang
gawat darurat, ia mengeluh sudah merasakan sakit perianal sejak bulan lalu.
Terkait dengan wasir pasien juga merasakan sembelit untuk waktu yang lama, dan
gejalan-gejalaya, berdasarkan dari kriteria sembelit kronis, bisa dikategorikan
sebagai kriteria Roma III dengan berdasarkan riwayat medis nya [8,9]. Sekitar 30
tahun sebelumnya, pasien telah mendapat injeksi sclerotherapy dari terapis
berlisensi untuk mengobati kondisinya, tapi injeksi tersebut menyebabkan
inkontinensia tinja. Meskipun inkontinensia tinja cepat segera diselesaikan,
namun sembelitnya menjadi lebih parah dan memerlukan perawatan medis dari
rumah sakit lain. Meskipun demikian, gejalanya tidak membaik, melainkan
semakin memburuk sekitar 10 tahun yang lalu. Karena perkembangan ini, ia
melakukan hemorrhoidectomy dua kali di klinik praktisi swasta. Meskipun
prosedurnya seperti bedah, namun gejala-gejala pada pasien semakin memburuk
ke tingkat kesulitan dalam buang air besar sehingga ia harus menggunakan
jarinya, kapas batang, atau air keran untuk evakuasi isi usus.
Pada saat mengunjungi ruang gawat darurat, tekanan darahnya 110/74
mmHg, denyut jantungnya adalah 90 kali/menit, laju pernapasan nya 16 kali /
menit, dan suhu tubuhnya setinggi 38,5 C. Dari pemeriksaan fisik, ditemukan
nyeri perut, selain itu, tidak ditemukan nyeri atau kekakuan dan Rebound perut.
Pada pemeriksaan visual, ditemukan jaringan fibrosis sekitar 1,5 cm yang
menutupi lubang anus, sehingga dokter tidak bisa menggunakan jari kecilnya
untuk pemeriksaan rektal digital (Gambar 1). Pasien menderita diabetes mellitus
dan hipertrofi prostat jinak sebagai penyakit yang mendasari, dan membantah
memiliki riwayat bedah hemorrhoidektomi dua kali sekitar 10 tahun sebelumnya.
Dari uji hematologi, jumlah sel darah putih 13.960/uL (neutrofil, 80,9%),
hemoglobin yaitu 14,9 g/dL, jumlah trombosit yaitu 224.000/uL, dan sensitivitas
protein C-reaktif tinggi yaitu 7,74 mg/dL (referensi kisaran, 0-0,5 mg/dL).
Pemeriksaan CT-Scan yang diambil pada saat kunjungan ke ruang gawat darurat
menunjukkan impaksi tinja di usus besar dan rektum dengan jumlah yang besar,
dan perforasi dari dinding rektum posterior dikonfirmasi dengan fokus
menggunakan bayangan gas ekstraluminal terkait dengan infiltrasi jaringan lunak
(Gambar. 2).

Berdasarkan hasil pemeriksaan diatas pasien menjalani operasi darurat. Di
bawah pengaruh anestesi umum, dilakukan pemeriksaan dubur untuk memeriksa
kondisi dengan posisi litotomi, kemudian, dilakukan reseksi dari jaringan fibrosis
menutup jalan anus, yang memungkinkan pendekatan melalui lubang anus.
Setelah mekanis kotoran telah dievakuasi sebanyak mungkin, rektum dicuci
menggunakan larutan garam, diikuti dengan larutan betadine. Setelah itu, pasien
direposisi terlentang, dan kolostomi sigmoid lingkaran dibangun di bagian kiri
bawah perut untuk pengalihan kolon sementara akibat perforasi rektum. Pasien
diizinkan untuk minum air pada hari kedua setelah operasi, mulai melakukan diet
cair pada hari ketiga pasca operasi, dan selesai pada hari keempat pasca operasi.
Pada kunjungan pertama pasca operasi ke departemen rawat jalan dua minggu
setelah debit, hasil pemeriksaan colok dubur menunjukkan bahwa feses masih
tetap di dalam anus. Pasien telah melakukan pengobatan konservatif rendam
duduk dengan air hangat di rumah, dan gejala-gejalanya cukup membaik
dibandingkan dengan kondisinya saat sebelum operasi.
PEMBAHASAN
Ketelitian hemorrhoidectomy memerlukan keterampilan pembedahan
untuk menghindari perongrongan terlalu berlebihan dan menjaga anoderm normal.
Saat melakukan hemorrhoidectomy sangat penting mencegah kerusakan pada
sfingter. Selain itu, memerlukan kelincahan untuk meminimalkan jaringan parut
dengan menjaga kelompok kulit anodermal yang berfungsi sebagai jembatan
jaringan normal sehingga luka bedah dapat disembuhkan secara alami [3].
Pasien telah menerima injeksi sclerotherapy dari terapis berlisensi
bukannya diperiksa dan dirawat oleh coloproctologist berlisensi. Kemungkinan
sementara terjadinya inkontinensia tinja karena sphincter menjadi bermasalah
disebabkan oleh suntikan ke daerah yang terlalu dalam. Juga, sangat mungkin
bahwa operasi berulang-ulang menyebabkan peradangan dan pembentukan
jaringan parut yang berkembang menjadi striktur anorektal. Kemungkinan juga
bahwa terdapat sebagian besar jaringan anodermal telah sikatrik atau telah
menjadi fibrosis di dalam lubang anus yang rusak karena dua hemorrhoidectomies
sebelumnya [10].
Meskipun diketahui banyak metode terapi untuk pengobatan wasir, jika
gejala-gejala yang dikeluhkan oleh pasien dan kondisi obyektif tidak konsisten,
pertama-tama konfirmasi status saat diperlukan. Bahkan jika pasien memiliki
wasir derajat I, tidak dianjurkan melakukan injeksi skleroterapi secara rutin, dan
perlu dicatat bahwa beberapa wasir tanpa prolaps, tetapi hanya dengan
perdarahan, dapat diobati melalui konsultasi cukup dengan pencegahan makanan
[4]. Selain itu, pada saat pasien telah menjalani dua hemorrhoidectomies,
identifikasi seharusnya dibuat berdasarkan adanya gejala striktur anorektal dengan
menetapkan periode observasi tindak lanjut selama sekitar 6 minggu, dan
pertimbangan metode tersebut seharusnya diberikan terhadap sphincterotomy atau
sliding skin graft. Dalam kebanyakan kasus, diagnosis dini dan pengobatan telah
dilaporkan menjadi sukses [2]. Pada pasien ini, penyakit ini cukup serius, dengan
adanya kerusakan sfingter anal dan hampir hilangnya seluruh kulit atau mukosa
dubur anodermal, sehingga sulit dekompresi usus tanpa membangun kolostomi.
Karena lubang anus yang tersumbat oleh fibrosis yang parah, ketika pemeriksaan
dubur dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum, prosedur seperti businasi,
sphincteroplasty, atau cangkok lipatan kulit tidak dapat dilakukan [11]. Pasien
memiliki perforasi fokus, yang timbul dari dinding posterior rektum, sehingga
berbatas pada rongga retroperitoneal tidak rongga intraperitoneal, kondisi itu
bukan diperburuk karena peritonitis umum. Perforasi fokus diduga berkaitan
dengan perubahan iskemik atau ulkus stercoral yang disebabkan oleh stasis tinja
dalam rektum. Sebuah massa besar kering, feses keras dengan stasis panjang
karena striktur anal tampaknya lebih cenderung menjadi penyebab ulserasi fokus
yang akhirnya menyebabkan perforasi pada dinding posterior rektum distal.
Pasien menjalani kolostomi loop setelah kotoran keras telah dihilangkan sebanyak
mungkin dari rektum [12,13]. Karena kerusakan parah pada anus, termasuk
sfingter anal, terdapat kemungkinan bahwa anus tidak akan berfungsi dengan baik
bahkan dengan flap kulit. Oleh karena itu, setelah evaluasi pelaksanaan uji
fisiologis dan fungsional seperti defecography, cinedefecography, anorektal
manometry, elektromiografi anal, dan waktu transit usus, terlebih dahulu dapat
dibuat keputusan tentang kelayakan melakukan penutupan kolostomi tersebut.
Striktur anal bukan merupakan komplikasi pasca pengobatan wasir, tapi
bila hal tersebut terjadi, pasien tidak memiliki pilihan lain selain mengalami
penderitaan yang luar biasa secara fisik dan psikologis. Oleh karena itu, pasien
perlu memahami pentingnya striktur anal dan menyadari metode pengobatan yang
belum diverifikasi sedang dilaksanakan oleh personel non medis. Selain itu, staf
medis harus berhati-hati untuk mencegah kejadian striktur anal pada saat
pengobatan awal [14].
KEPENTINGAN PERSELISIHAN
Tidak ada potensi kepentingan konflik yang relevan dengan dilaporkan
artikel ini.















REFERENSI
1. Haas PA, Fox TA Jr, Haas GP. The pathogenesis of hemorrhoids. Dis Colon
Rectum 1984;27:442-50.
2. Eu KW, Teoh TA, Seow-Choen F, Goh HS. Anal stricture following
haemorrhoidectomy: early diagnosis and treatment. Aust N Z J Surg
1995;65:101-3.
3. Katdare MV, Ricciardi R. Anal stenosis. Surg Clin North Am 2010; 90:137-45.
4. Hardy A, Chan CL, Cohen CR. The surgical management of haemorrhoids: a
review. Dig Surg 2005;22:26-33.
5. Parks AG. The surgical treatment of haemorrhoids. Br J Surg 1956; 43:337-51.
6. Mann CV, Motson R, Clifton M. The immediate response to injection therapy
for first-degree haemorrhoids. J R Soc Med 1988; 81:146-8.
7. Bleday R, Pena JP, Rothenberger DA, Goldberg SM, Buls JG. Symptomatic
hemorrhoids: current incidence and complications of operative therapy. Dis
Colon Rectum 1992;35:477-81.
8. Lembo A, Camilleri M. Chronic constipation. N Engl J Med 2003; 349:1360-8.
9. Drossman DA, Corazziari E, Delvaux M, Spiller RC, Talley NJ, Thompson
WG, editors. Rome III: the functional gastrointestinal disorders. 3rd ed.
McLean (VA): Degnon Associates Inc.; 2006.
10. Milligan ET, Morgan CN, Jones L, Officer R. Surgical anatomy of the anal
canal, and the operative treatment of haemorrhoids. Lancet 1937;230:1119-24.
11. Brisinda G, Vanella S, Cadeddu F, Marniga G, Mazzeo P, Brandara F, et al.
Surgical treatment of anal stenosis. World J Gastroenterol 2009;15:1921-8.
12. Maria G, Brisinda G, Civello IM. Anoplasty for the treatment of anal stenosis.
Am J Surg 1998;175:158-60.
13. Alver O, Ersoy YE, Aydemir I, Erguney S, Teksoz S, Apaydin B, et al. Use
of house advancement flap in anorectal diseases. World J Surg
2008;32:2281-6.
14. Lim SW. Analysis and measures for anal stricture following a
hemorrhoidectomy. J Korean Soc Coloproctol 2006;22:293-7.

You might also like