You are on page 1of 27

APPENDISITIS

1. Anatomi usus besar



Usus besar atau kolon yang panjangnya kira-kira satu setengah meter,
adalah sambungan dari usus halus dan mulai di katup ileokolik atau ileoseka,
yaitu tempat sisa makanan lewat, dimana normalnya katup ini tertutup dan
akan terbuka untuk merespon gelombang peristaltik dan menyebabkan
defekasi atau pembuangan. Usus besar terdiri atas empat lapisan dinding yang
sama seperti usus halus. Serabut longitudinal pada dinding berotot tersusun
dalam tiga jalur yang memberi rupa berkerut-kerut dan berlubang-lubang.
Dinding mukosa lebih halus dari yang ada pada usus halus dan tidak memiliki
vili. Didalamnya terdapat kelenjar serupa kelenjar tubuler dalam usus dan
dilapisi oleh epitelium silinder yang memuat sela cangkir.
Usus besar terdiri dari :
1. Sekum
Sekum adalah kantung tertutup yang menggantung dibawah area katup
ileosekal. Apendiks vermiformis merupakan suatu tabung buntu yang
sempit, berisi jaringan limfoid, menonjol dari ujung sekum.
2. Kolon
Kolon adalah bagian usus besar, mulia dari sekum sampai rektum. Kolon
memiliki tiga bagian, yaitu :
a. Kolon asenden
Merentang dari sekum sampai ke tepi bawah hatti sebelah kanan dan
membalik secara horizontal pada fleksura hepatika.
b. Kolon transversum
Merentang menyilang abdomen dibawah hati dan lambung sampai ke
tepi lateral ginjal kiri, tempatnya memutar kebawah pada flkesura
splenik.
c. Kolon desenden
Merentang ke bawah pada sisi kiri abdomen dan menjadi kolon
sigmoid berbentuk S yang bermuara di rektum.
3. Rektum
Rektum Adalah bagian saluran pencernaan selanjutnya dengan panjang 12
sampai 13 cm. Rektum berakhir pada saluran anal dan membuka ke
eksterior di anus.







2. Anatomi appendik

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10
cm (4 inci), lebar 0,3 - 0,7 cm dan isi 0,1 cc melekat pada sekum tepat
dibawah katup ileosekal. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu : taenia anterior,
medial dan posterior. Secara klinis, apendiks terletak pada daerah Mc.Burney
yaitu daerah 1/3 tengah garis yang menghubungkan spina iliaka anterior
superior kanan dengan pusat. Lumennya sempit dibagian proksimal dan
melebar dibagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk
kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Persarafan
parasimpatis pada apendiks berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti
arteri mesentrika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan
simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada
apendisitis bermula disekitar umbilikus.



Fisiologi Apendiks
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Lendir dalam
apendiks bersifat basa mengandung amilase dan musin. Immunoglobulin
sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang
terdapat disepanjang saluran cerna termasuk apendiks ialah IgA.
Immunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai perlindungan terhadap
infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi
sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfa disini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya disaluran cerna dan diseluruh tubuh.
Apendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur kedalam
sekum. Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya cenderung kecil,
maka apendiks cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap
infeksi ( Sjamsuhidayat, 2005).


3. Appendicitis
Etiologi dan Predisposisi
Apendisitis akut merupakan merupakan infeksi bakteria. Berbagai berperan
sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang
diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit,
tumor apendiks dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab
lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks
karena parasit seperti E.histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran
kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap
timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang
berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini mempermudah timbulnya
apendisitis akut. (Sjamsuhidayat, 2005).

Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan
apendisitis kronik (Sjamsuhidayat, 2005).
1. Apendisitis akut.
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun
tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut talah nyeri
samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium
disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah.
Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah
ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya
sehingga merupakan nyeri somatik setempat
2. Apendisitis kronik.
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya :
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks
secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik
adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total
lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa , dan adanya
sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.

Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan
mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus
tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan
yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan
edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi
apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini
disebut apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan
terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut
dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan
terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang
disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi
abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan
apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut
ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan
terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena
telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2000).

Manifestasi Klinik
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat. nyeri kuadran
bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan
hilangnya nafsu makan. Pada apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan dapat
dirasakan pada kuadran kanan bawah pada titik Mc.Burney yang berada antara
umbilikus dan spinalis iliaka superior anterior. Derajat nyeri tekan, spasme otot
dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi
dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar dibelakang sekum, nyeri dan nyeri
tekan terasa didaerah lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat
diketahui hanya pada pemeriksaan rektal. nyeri pada defekasi menunjukkan ujung
apendiks berada dekat rektum. nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa
ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada
bagian bawah otot rektus kanan dapat terjadi. Tanda rovsing dapat timbul dengan
melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan
nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri
menjadi menyebar. Distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi
pasien memburuk.
Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi.
Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau
proses penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia
mengalami ruptur apendiks. Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada
lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan
tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda (Smeltzer C. Suzanne, 2002).

4. Diagnosis appendicitis
Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini terjadi karena
hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga
nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau rangsangan viseral akibat aktivasi
n.vagus. Obstipasi karena penderita takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika timbul
komplikasi. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5-38,5 C. Tetapi jika
suhu lebih tinggi, diduga sudah terjadi perforasi (Departemen Bedah UGM, 2010).
Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan membungkuk sambil memegangi
perutnya yang sakit, kembung bila terjadi perforasi, dan penonjolan perut bagian kanan bawah
terlihat pada apendikuler abses (Departemen Bedah UGM, 2010).
Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi dinding abdomen
dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi
nyeri. Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah:
Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah
atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.
Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah
nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah
sebelumnya dilakukan penekanan perlahan dan dalam di titik Mc. Burney.
Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis. Defence muscular adalah nyeri
tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.
Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila
dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri
lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.
Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan
yang terjadi pada apendiks.
Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut
difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan
peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium. (Departemen Bedah UGM, 2010)
Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Auskultasi akan terdapat peristaltik normal, peristaltik
tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata.
Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah
terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus. Pada pemeriksaan colok dubur
(Rectal Toucher) akan terdapat nyeri pada jam 9-12 (Departemen Bedah UGM, 2010).


Pasien dengan skor awal 4 sangat tidak mungkin menderita apendisitis dan tidak
memerlukan perawatan di rumah sakit kecuali gejalanya memburuk.




5. Radiologi diagnostic appendicitis
Pemeriksaan radiologi berupa foto barium usus buntu (Appendicogram) dapat membantu melihat
terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) didalam lumen usus buntu. Pemeriksaan USG
(Ultrasonografi) dan CT scan bisa membantu dakam menegakkan adanya peradangan akut usus buntu
atau penyakit lainnya di daerah rongga panggul (Sanyoto, 2007).
Gambaran radiologi pada appendicitis secara umum :
- Reaksi inflamasi
- Obstruksi lumen
- Appendicoliths
a.Plain abdomen
Pada > 50 % kasus didapatkan gambaran yang normal, hanya sekitar 10 % memperlihatkan gambaran
kalsifikasi berupa laminated appendicoliths. Indikator lain berupa udara bebas, ileus usus kecil, udara
ekstra luminal, penebalan dinding caecm, hilangnya pelvis fat plain disekitar vesika urinaria meninjukkan
cairan bebas didalam pelvis, hilangnya peritoneal fat, distorsi garis psoas dan tanda cut-off pada pola
udara yang normaldi fleksura hepatica akibat spasme colon.



b.Appendikogram
Definisi
Appendicogram merupakan pemeriksaan berupa foto barium usus buntu yang dapat membantu melihat
terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) di dalam lumen usus buntu (Sanyoto, 2007)

Teknik Pemeriksaan
Indikasi dilakukannya pemeriksaan appendicogram adalah apendisitis kronis atau akut. Sedangkan
kontraindikasi dilakukan pemeriksaan appendicogram adalah pasien dengan kehamilan trimester I
atau pasien yang dicurigai adanya perforasi.
Persiapan Bahan:
Larutan Barium Sulfat (250 gram) +120-200 cc air.

Persiapan Pasien:
Sehari sebelum pemeriksaan pasien diberi BaSO4 dilarutkan dalam air masak dan diminta untuk
diminum pada jam 24.00 WIB setelah itu puasa.
Pasien di panggil masuk ke ruang pemeriksaan dalam keadaan puasa.
Pasien diminta untuk membuka pakaian.
Pasien diberi baju RS untuk dipakai.

Prosedur:
Pasien naik ke atas meja pemeriksaan.
Kaset ditempatkan di bawah meja pemeriksaan.
Meminta pasien agar kooperatif dan menuruti perintah radiografer sehingga pemeriksaan berjalan
dengan baik.
Sesudah pasien difoto, pasien diminta mengganti pakaian dan diminta untuk datang keesokan
harinya untuk dilakukan foto kembali selama 3 hari berturut-turut.


Gambaran Radiologis

Appendicogram dengan non-filling apendiks (negatif appendicogram) merupakan apendisitis akut.
Appendicogram dengan partial filling (parsial appendicogram) diduga sebagai apendisitis dan
appendicogram dengan kontras yang mengisi apendiks secara total (positif appendicogram)
merupakan apendiks yang normal (Sibuea, 1996).
Appendicogram sangat berguna dalam diagnosis apendisitis akut, karena merupakan pemeriksaan
yang sederhana dan dapat memperlihatkan visualisasi dari apendiks dengan derajat akurasi yang
tinggi (Sibuea, 1996).







Normal appendix; barium enema radiographic examination. Tampak kontras mengisi
appendix is (arrows), hal ini menyingkirkan diagnosis appendicitis.



c.USG (Ultrasonography)
Normal appendix
Sebuah apendiks normal jarang diamati menggunakan gray-scale uS, tetapi struktur ini dapat
divisualisasikan sebagai blind-ended, tubular, lingkaran usus kompresibel yang terhubung dengan sekum
dan memiliki diameter kurang dari 6 mm (lihat gambar di bawah).

Ultrasonografi longitudinal menunjukkan struktur tubular kompresibel dengan diameter luar kurang dari
6 mm. A = iliaka arteri; V = iliaka vena.
Temuan ultrasonografi
Graded Compression Ultrasound
Blind-ended, tubular, noncompressible, aperistaltic structure
Diameter > 6 mm, laminated wall
Increased periappendiceal echogenicity
Appendicolith: echogenic with distal shadowing
Doppler: increased circumferential flowPerforation/Abscess: thickening of adjacent bowel
wall, fluid collections, hypoechoic mass
Overall diagnostic accuracy: 85%

Appendicoliths pada ultrasonografi

. Bright, echogenic focus
. Clean distal acoustic shadowing


Phlegmonous appendicitis; ultrasonogram oblique-aksial. A pericecal fluid collection, yang dilapisi oleh
dinding loop usus kecil (mata panah) ditunjukkan, dan appendicolith dengan bayangan akustik (panah)
yang diamati.

Suppurative appendicitis
Ultrasonografi longitudinal menunjukkan nonperforated, apendix yang meradang yang ditandai oleh
aperistaltic, noncompressible, blind-ended, struktur tubular dengan dinding berlapis yang muncul dari
dasar sekum. Ketika peradangan ringan dan visualisasi yang optimal, 5 lapisan dinding apendiksg yang
berbeda dapat diidentifikasi (lihat gambar di bawah).

Supuratif appendisitis pada anak umur 15 tahun; ultrasonogram longitudinal. Sebuah aperistaltic,
noncompressible, blind-ended, berisi cairan, struktur apendiks tubular ditampilkan, dan lapisan dinding
yang berbeda (panah) yang muncul dari dasar sekum.
Gangrenous appendicitis
Generalized or focal loss of the echogenic submucosal layer of the appendiceal wall, as well as the
prominent, surrounding, echogenic fat, is consistent with gangrenous appendicitis (see the images
below).
Generalized atau fokal loss lapisan submukosa echogenic dari dinding appendix, prominent, sekitarnya,
echogenic fat, konsisten dengan apendisitis gangren (lihat gambar di bawah).

Gangrenous appendicitis; ultrasonogram longitudinal. Terlihat gambaran appendix yang membesar
(panah), hilangnya mukosa dan lapisan submukosa, dan prominent echogenic pericecal fat .
Perforated appendicitis
Dalam diagnosis apendisitis perforasi, gray-scale US juga merupakan alat diagnostik yang berharga,
meskipun fakta bahwa appendix perforasi mungkin tidak dapat divisualisasikan dalam RLQ. Irregularity
dan kerusakan kontur apendiks dengan adanya cairan periappendiceal dan hyperechoic, lemak pericecal
menonjol adalah diagnostik perforasi (lihat gambar di bawah). Gelembung gas terjadi dalam
pengumpulan cairan dalam kasus perforasi atau sebagai akibat dari organisme pembentuk gas. Pada
localized perforasi dari ujung appendix dapat memperlihatkan gambaran gas pockets di bagian yang
mengalami perforasi.

Perforated appendix; longitudinal ultrasonogram. A defect on the tip (large arrow, right side) of the
enlarged appendix (short arrows, left side) is observed. c = cecum.
Perforated appendix; ultrasonogram longitudinal. Sebuah defect pada ujung (panah besar, sisi kanan)
dari usus buntu yang membesar (panah pendek, sisi kiri) diamati. c = sekum.


Perforated Appendix dengan Free Peritoneal Fluid (FF) disekitar loops dar bowel.
Periappendiceal phlegmon and abscess
Sebuah phlegmon muncul sebagai localized fluid collection, yang dindingnya berdekatan dengan
greater omentum and small-bowel loops. Abses appendix muncul sebagai kompleks, massa hypoechoic
berdekatan dengan sekum atau usus buntu. Pada pasien ini, usus buntu yang meradang tidak dapat
divisualisasikan (lihat gambar di bawah).

Pembentukan abses periappendiceal; ultrasonogram oblique-aksial. Sebuah dinding yang tebal,
kompleks, massa hypoechoic berdekatan dengan sekum (panah) ditampilkan. Usus buntu yang
meradang tidak dapat divisualisasikan.
Color Doppler ultrasonographic findings
Color Doppler US bermanfaat dalam evaluasi kondisi peradangan dari saluran usus, dan menurut
sebagian besar penulis, modalitas ini adalah tambahan yang berguna US konvensional dalam penilaian
apendisitis akut. [41, 42]
Appendix yang normal jarang menunjukkan temuan hiperemia ringan pada pemeriksaan ultrasonografi
Doppler. Namun, appendix yang meradang menunjukkan gambaran aliran lebih besar dari appendix
yang normal, dan warna melingkar di dinding appendix yang meradang (terlihat pada gambar di bawah)
seperti yang diamati pada warna Doppler ultrasonografi gambar adalah indikator kuat apendisitis akut.

Apendisitis supuratif; potongan transversal, gambar warna USG Doppler. Warna yang circumferential
pada dinding appendix yang meradang (panah), indikator kuat apendisitis akut
Adanya penampilan berupa aliran dengan Doppler US telah dilaporkan sebagai kecurigaan adanya
appendix yang patologis, tetapi tidak adanya aliran tidak bisa membedakan normal dari lampiran
abnormal.
Vaskularisasi perifer mesenterium meradang dan omentum dapat ditunjukkan; Namun, deteksi
hyperemia pada dinding appendix tidak mungkin pada pasien dengan gangren appendicitis karena
nekrosis pembuluh darah yang berdekatan dengan dinding apendiks yang telah dihasilkan dari
peradangan
d.CT- SCAN
Primary Criteria:
Enlarged, inflamed appendix
- diameter >6 mm in adults
- > 8mm in children
Appendicolith
Non-contrast filled
Secondary Criteria:
Wall enhancement
Fat stranding
Abscess formation
Focal thickening of the cecum (arrow-head sign)
Adenopathy
Small bowel obstruction
Free fluid in the pelvis
Overall Accuracy: 98%

CT scan findings in the normal appendix

kontras pada lampiran (CT) appendix normal; computed tomography (CT) scan. Appendix
normal, tervisualisasi di dasar sekum (panah), yang diamati pada 44-51% pasien. Potongan
tipis CT scan (5-mm collimation atau kurang) lebih berguna dalam mengidentifikasi appendisitis.
Kontras oral atau rektal harus diberikan. Kontras intravena berguna untuk memperlihatkan
enhancement dan edema pada dinding appendix.

Retrocecal appendix; ct-scan. Kiri, appendisitis terjadi di lokasi retrocecal di 65% dari pasien.
Kanan, pada wanita muda ini, usus buntu meluas cranially sejauh lobus posterior hati.
Appendisitis pada pasien dengan appendix retrocecal dapat terlihat atypically, disertai kurang
atau lemahnya rasa sakit sekitar, ketidaknyamanan pada waktubatuk atau berjalan, atau nyeri
dirasakan di kuadran kanan bawah.

Uncomplicated Appendicitis: CT

Non-contrast filled
Enlarged appendix, 14 mm in diameter
Adjacent fat stranding
Coronal CT: Enhancing Wall

CT: Appendicolith


Arrowhead Sign

Arrowhead sign; ct-scan. Adanya tanda ini mengindikasikan kontras outlining sekum dan disalurkan ke
dalam appendix, dengan obstruksi lumen mencegah aliran retrograde barium ke dalam appendix distal.


Apendisitis gangrene akut disertai kalsifikasi appendicolith; computed tomography (CT) scan. Terlihat
adanya kalsifikasi appendicolith didalam lumen apendiks yang membesar karena inflamasi.
Periappendiceal Abscess


Coronal CT: Abscess

Perforated appendicitis with abscess

Perforated apendisitis dengan abses; ct-scan. Perhatikan appendicolith (panah) dan udara
dalam abses. Ileum terminal terletak anterior dari abses appendiks, dan perubahan inflamasi
terlihat pada dinding, berupa penebalan (panah terbuka).

E. Magnetic Resonance Imaging
Dua penelitian mengenai penggunaan MRI dalam mengevaluasi apendisitis akut mendukung teknik yang
berbeda.
Sebuah studi oleh Incesu et al dijelaskan peningkatan yang signifikan dari usus buntu yang meradang
dan lemak sekitarnya pada gadolinium disempurnakan, lemak ditekan, T1-tertimbang, gambar spin-echo
(lihat gambar pertama di bawah). [30] peningkatan Mild diamati dalam appendix normal dan usus (lihat
gambar kedua di bawah). Menggunakan teknik lemak jenuh, kontras perbedaan yang diamati antara
usus buntu yang meradang dan lemak sekitarnya. Lemak-ditekan, T2-tertimbang, gambar aksial dan
koronal juga membantu dalam deteksi dan evaluasi usus buntu dan komplikasinya.

Normal appendix; contrast-enhanced, fat-suppressed, T1-weighted, spin-echo coronal magnetic
resonance image. Mild enhancement in the unenlarged appendix, ileum (arrowhead), and
cecum


Acute suppurative appendicitis; contrast-enhanced, fat-suppressed, T1-weighted, spin-echo
axial magnetic resonance image. A markedly enhanced dan penebalan appendix yang
mengalami inflamasi (arrows) is shown. a =iliac artery; c =cecum; p =psoas muscle; v =iliac
vein
Degree of confidence
Konsensus dalam literatur adalah bahwa radiografi polos tidak sensitif dan tidak spesifik.
Radiografi polos tidak harus dilakukan secara rutin, kecuali untuk mengevaluasi obstruksi udara
bebas.
Appendicoliths dapat ditemukan pada individu tanpa usus buntu, dan tanda-tanda polos-film lain
dari usus buntu dapat diamati pada penyakit perut lainnya. Ditemukannya kalsifikasi fekalith
appendix , merupakan tanda polos-film yang paling spesifik, terjadi pada kurang dari 10%
pasien
Meskipun akurasi diagnostik enema barium dilaporkan 80-100%, teknik ini memiliki beberapa
kelemahan, seperti non filling appendix, yang dapat diamati pada 15-20% pasien tanpa usus
buntu. . Kekurangan barium enema termasuk tingginya insiden pemeriksaan non diagnostik,
paparan radiasi, sensitivitas cukup, dan invasi.
Dalam meta-analisis dari 6 studi prospektif, CT menunjukkan sensitivitas superior (91%) dan
spesifisitas (90%) lebih ultrasonografi (sensitivitas 78%, spesifisitas, 83%).
Di tahun 2005 review retrospektif dari 23 laporan yang diterbitkan, Anderson et al menemukan
bahwa CT scan tanpa kontras oral setidaknya seakurat CT scan dengan kontras oral, mencapai
sensitivitas 95%, spesifisitas 97%, nilai prediksi positif dari 97%, dan nilai prediksi negatif 96%.
Tidak dilakukannya kontras oralmenhambat untuk dilakukannya intervensi operatif
Kerugian yang signifikan dari US adalah bahwa hal itu tergantung pada operator. Peristaltik
usus, denyutan dari arteri iliaka (ketika dekat dengan usus buntu), respirasi yang mendalam
pada pasien non kooperatif, dan kesulitan mempertahankan probe di lokasi yang sama untuk
waktu yang lama kelemahan warna Doppler US dalam mendeteksi peningkatan vaskularisasi
dari appendix.
Kekurangan CT scan mencakup paparan radiasi, potensi reaksi anafilaktoid intravena (IV)
kontras digunakan, waktu persiapan yang panjang jika kontras oral digunakan, dan
ketidaknyamanan pasien jika kontras rektal digunakan.
Kekurangan MRI termasuk biaya tinggi, penggunaan kontras IV, persyaratan bahwa pasien
sepenuhnya bekerja sama, kesulitan dengan pasien yang sesak, ketidakmampuan untuk
mengamati appendicolith dalam lumen (temuan penting dalam apendisitis akut), dan
ketidakmampuan untuk membedakan antara gas dan appendicolith perforasi.
Kekurangan pemindaian radionuklida termasuk waktu yang lama akuisisi (sekitar 5 jam) dan
kurangnya ketersediaan modalitas ini
Namun dari semua pemeriksaan pembantu ini, yang menentukan diagnosis apendisitis akut adalah
pemeriksaan secara klinis. Pemeriksaan CT scan hanya dipakai bila didapat keraguan dalam menegakkan
diagnosis. Pada anak-anak dan orang tua penegakan diagnosis apendisitis lebih sulit dan dokter bedah
biasanya lebih agresif dalam bertindak (Sanyoto, 2007).
6. Pengobatan appendicitis
Pengobatan tunggal yang terbaik untuk usus buntu yang sudah meradang/apendisitis akut adalah
dengan jalan membuang penyebabnya (operasi appendektomi). Pasien biasanya telah dipersiapkan
dengan puasa antara 4 sampai 6 jam sebelum operasi dan dilakukan pemasangan cairan infus agar
tidak terjadi dehidrasi. Pembiusan akan dilakukan oleh dokter ahli anastesi dengan pembiusan umum
atau spinal/lumbal. Pada umumnya, teknik konvensional operasi pengangkatan usus buntu dengan
cara irisan pada kulit perut kanan bawah di atas daerah apendiks (Sanyoto, 2007).
Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman gram negatif dan positif
serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan sebelum pembedahan
(Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Alternatif lain operasi pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara bedah laparoskopi. Operasi ini
dilakukan dengan bantuan video camera yang dimasukkan ke dalam rongga perut sehingga jelas
dapat melihat dan melakukan appendektomi dan juga dapat memeriksa organ-organ di dalam perut
lebih lengkap selain apendiks. Keuntungan bedah laparoskopi ini selain yang disebut diatas, yaitu luka
operasi lebih kecil, biasanya antara satu dan setengah sentimeter sehingga secara kosmetik lebih baik
(Sanyoto, 2007).
7. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
perforasi pada apendiks yang telah mengalami perdindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas
kumpulan apendiks, sekum, dan letak usus halus (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Komplikasi usus buntu juga dapat meliputi infeksi luka, perlengketan, obstruksi usus, abses
abdomen/pelvis, dan jarang sekali dapat menimbulkan kematian (Craig, 2011).
Selain itu, terdapat komplikasi akibat tidakan operatif. Kebanyakan komplikasi yang mengikuti
apendisektomi adalah komplikasi prosedur intra-abdomen dan ditemukan di tempat-tempat yang
sesuai, seperti: infeksi luka, abses residual, sumbatan usus akut, ileus paralitik, fistula tinja eksternal,
fistula tinja internal, dan perdarahan dari mesenterium apendiks (Bailey, 1992).
8. Prognosa
Kebanyakan pasien setelah operasi appendektomi sembuh spontan tanpa penyulit, namun komplikasi
dapat terjadi apabila pengobatan tertunda atau telah terjadi peritonitis/peradangan di dalam rongga
perut. Cepat dan lambatnya penyembuhan setelah operasi usus buntu tergantung dari usia pasien,
kondisi, keadaan umum pasien, penyakit penyerta misalnya diabetes mellitus, komplikasi dan
keadaan lainya yang biasanya sembuh antara 10 sampai 28 hari (Sanyoto, 2007).
Alasan adanya kemungkinan ancaman jiwa dikarenakan peritonitis di dalam rongga perut ini
menyebabkan operasi usus buntu akut/emergensi perlu dilakukan secepatnya. Kematian pasien dan
komplikasi hebat jarang terjadi karena usus buntu akut. Namun hal ini bisa terjadi bila peritonitis
dibiarkan dan tidak diobati secara benar (Sanyoto, 2007).





































DAFTAR PUSTAKA


1. Ristaniah D. Soetikno, emergenci radiologi, appendicitis , hal : 119-121
2. Arabinda pani, Gillian Lieberman, MD, RadiologicDiagnosis of
appendicitis, January 2005
3. Universitas Sumatera Utara, Tinjauan pustaka, Appendisitis
4. Dr.Benedictus Kartika widjajanto, Bagian ilmu bedah FK Undip, Sistem
skor pada diagnosis appendicitis akut anak, 2000.
5. Moch, Aleq Sander, dr,Mkes, Appendisitis, download 11 mei 2014.
6. Sjahrial Rasad, Sukonto Kartoleksono, Iwan ekayuda, Radiologi diagnostic,
Buku ajar FKUI, Hal : 398
7. Adriaan Van Breda, Vriesman M.D and Julien M.D. Radiology Department
Rijnland Hospital, Leiderdorp and medical Centre Haaglanden, the Hague,
the Netherland. Appendicitis-MIMICS. Alternative non surgical diagnose
at sonography and CT. Publication date August 14, 2005.
8. Dr.Yuranga Weerakkody and Dr.Koshy Jacob et al. Appendicitis Journal.
Radiopaedia
9. William Herring. Learning Radiology. Second edition, Hal 181-183, 191-
192, 203-204, 207-208
10. Prof.DR.dr.H.Triyono KSP,SpRad (K). Prosedur pemeriksaan radiologi Hal
14-19.

You might also like