You are on page 1of 29

LAPORAN KASUS

EPISTAKSIS ANTERIOR




DISUSUN OLEH :

SARTIKA SABHINAYA
FK UPN VETERAN JAKARTA
1120221174






KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN THT
RUMAH SAKIT TK.II dr. SOEDJONO MAGELANG
2013



1

LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
EPISTAKSIS ANTERIOR

Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas
Kepaniteraan Klinik Departemen THT Rumah Sakit Tk.II
dr. Soedjono Magelang

Oleh :


SARTIKA SABHINAYA
1120221174


Magelang, Juli 2013
Telah dibimbing dan disahkan oleh,


Pembimbing,



(Kolonel CKM dr. Budi Wiranto, Sp.THT )








2

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas nikmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan penyusunan laporan kasus ini. Penulis berharap agar laporan ini dapat
dimanfaatkan oleh tenaga kesehatan dan instasi.
Dalam penyelesaian laporan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada :
1. Mayor CKM dr. Budi Wiranto, Sp.THT
2. Teman-teman Departemen stase THT yang selama ini selalu memberikan dukungan
Penulis menyadari bahwa selama penulisan ini, penulis masih mempunyai banyak
kekurangan. Oleh karena itu penulis menerima saran dan kritikan untuk menyempurnakan
laporan ini.


Magelang, Juli 2013


Penulis

















3

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan.............................................................................................................. 1
Kata Pengantar...................................................................................................................... 2
Daftar Isi.................................................................................................................... ........... 3
BAB I Pendahuluan............................................................................................................... 4
BAB II Status Pasien............................................................................................................. 5
BAB III Tinjauan Pustaka..................................................................................................... 12
BAB IV Pembahasan............................................................................................................ 26
Daftar Pustaka............................................................................................. 28

























4

BAB I
PENDAHULUAN

Epistaksis merupakan masalah yang sangat lazim, sehingga tiap dokter harus siap
menangani kasus tersebut. Kunci menuju pengobatan yang tepat adalah aplikasi tekanan pada
pembuluh yang berdarah.
Epistaksis merupakan perdarahan hidung, bukanlah merupakan suatu penyakit,
melainkan sebagai gejala dari suatu kelainan. Perdarahan bisa ringan sampai serius dan bila
tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Sumber perdarahan biasanya berasal dari bagian
depan atau bagian belakang hidung. Epistaksis banyak dijumpai sehari-hari baik pada anak-
anak maupun pada usia lanjut.
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya, kadang-
kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada
hidung ataupun juga dapat disebabkan oleh kelainan sistemik. Penyebab tersebut diantaranya
trauma, infeksi, neoplasma, kelainan kongenital, penyakit kardiovaskular, kelainan darah,
infeksi sistemik, gangguan endokrin, perubahan tekanan atmosfer.
Epistaksis anterior berasal dari pleksus Kiesselbach atau a.etmoidalis anterior.
Perdarahan biasanya ringan, mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri. Sedangkan epistaksis
posterior umumnya berat sehingga sumber perdarahan seringkali sulit dicari. Umumnya
berasal dari a.sfenopalatina dan a.etmoidalis posterior.











5

BAB II
STATUS PASIEN

II.1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.J
Usia : 27 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Asrama
Pekerjaan : Tentara
Agama : Islam

II.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama : mimisan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke UGD RST dr.Soedjono tanggal 8Juli 2013 pukul 16.20 WIB. Pasien
mengeluh mimisan yang keluar dari kedua lubang hidung sudah 2 hari, awalnya pada
hari minggu sore setelah pasien berpergian jauh, perdarahan yang keluar sedikit, lalu
berhenti sendiri dengan memencet hidung dan menyumpalnya dengan tisu, lalu pada
senin pagi dan pada senin siang kembali lagi mimisan, perdarahan yang keluar juga
sedikit dan berheti dengan memasukkan daun sirih ke dalam hidung. Badan terasa
tidak enak, pasien juga mengeluh batuk tidak berdahak, pasien merasa sedikit pusing.
Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelumnya tidak pernah seperti ini, HT, DM, dan penyakit kelainan darah (-),
riwayat trauma pada wajah/hidung (-)
Riwayat Pengobatan
Tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan antikoagulan seperti aspirin, dan belum
pernah diobati ke dokter
Riwayat Penyakit Keluarga:
Dikeluarga tidak ada yang seperti ini
Riwayat Sosial Ekonomi
Kesan ekonomi cukup


6

II.3. PEMERIKSAAN FISIK
Status generalisata
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital :
TD : 130/80 mmHg
N : 88 x/min
S : 36.2
o
C
RR : 20x/min
Aktivitas : Normoaktif
Sikap : Kooperatif
Status gizi : Baik

Status lokalis (THT)
Kepala & leher :
Kepala : mesocephale
Wajah : simetris
Leher : pembesaran kelj.limfe (-)

TELINGA
Bagian Auricula Dextra Sinistra
Auricula
Bentuk normal,
nyeri tarik (-)
nyeri tragus (-)
Bentuk normal
nyeri tarik (-)
nyeri tragus (-)
Pre auricular
Bengkak (-)
nyeri tekan (-)
fistula (-)
Bengkak (-)
nyeri tekan (-)
fistula (-)
Retro auricular
Bengkak (-)
Nyeri tekan (-)
Bengkak (-)
Nyeri tekan (-)
Mastoid
Bengkak (-)
Nyeri tekan (-)
Bengkak (-),
Nyeri tekan (-)
CAE
Serumen (+)
hiperemis (-)
Sekret (-)
Serumen (+)
hiperemis (-)
Sekret (-)
7

Membran
timpani
Intak
putih mengkilat
refleks cahaya (+)
Intak
putih mengkilat
refleks cahaya (+)


HIDUNG DAN SINUS PARANASAL
Luar: Kanan Kiri
Bentuk Normal Normal
Sinus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Inflamasi/tumor (-) (-)

Rhinoskopi Anterior Kanan Kiri
Sekret (-) (-)
Mukosa hiperemis (-)
edema (-)
basah (-)
pucat (-)
hiperemis (-)
edema (-)
basah (-)
pucat (-)
Konka Media hipertrofi (-)
hiperemis (-)
hipertrofi (-)
hiperemis (-)
Konka Inferior hipertrofi (-)
hiperemis (-)
hipertrofi (-)
hiperemis (-)
Tumor (-) (-)
Septum Deviasi (-)
Massa (-) (-)

TENGGOROKAN
Lidah Ulcus (-) Stomatitis (-)
Uvula Bentuk normal, di tengah, hiperemis (-)
Tonsil Dextra Sinistra
Ukuran T
1
T
1
Permukaan Rata Rata
Warna Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Kripte Melebar (-) Melebar (-)
8

Detritus (-) (-)
Faring Mukosa hiperemis (-), dinding rata, granular (-)

II.4. RINGKASAN
o Anamnesis
o Epistaksis (+), pada kedua lubang hidung, darah yang keluar sedikit, dapat
berhenti sendiri dengan melakukan tekanan pada hidung
o Seperti ini baru pertama kali
o Trauma hidung (-)
o Riw HT, DM dan penyakit kelainan darah (-)
o Riw konsumsi obat-obatan seperti aspirin (-)
o Pemeriksaan Fisik
o Pada pemeriksaan hidung tidak ditemukan kelainan, tidak ditemukan darah

II.5. USULAN PEMERIKSAAN
Darah Lengkap
Parameter Hasil Nilai rujukan
WBC (10
3
/mm
3
) 9.1 4.0-10.0
RBC (10
6
/mm
3
) 5.98 3.50 5.50
HGB (gr/dl) 15.3 11.0 15.0
HCT (%) 47.4 36.8 48.0
PLT (10
3
/mm
3
) 256 158 - 458
PCT (%) 0.29 .18 - .28
MCV (m
3
) 79.4 80.0 99.0
MCH (pg) 25.5 26.0 32.0
MCHC (gr/dl) 32.2 32.0 36.0
RDW (%) 11.4 11.5 14.5
MPV ( m
3
) 11.7 7.4 10.4
9

PDW (%) 15.8 10.0 14.0
% Lym 16.3 20.0 40.0
% Mon 11.4 1.0 15.0
% Gran 72.3 50.0 70.0
# Lym 1.5 0.6 - 4.1
# Mon 1.0 0.1 1.8
# Gran 6.6 2.8 7.0

GDS
Ureum/Creatinin
SGPT/SGOT
CT/BT

II.6. DIAGNOSIS BANDING
Epistaksis anterior
Epistaksis posterior

II.7. DIAGNOSIS SEMENTARA
Epistaksis anterior

II.8. USULAN TERAPI:
Nonmedikamentosa
o Pasang tampon
Medikamentosa
o Infus RL 20 tpm
o Antibiotik (cefotaxim 2x1 gr)





10

II.9. EDUKASI
Segera hubungi dokter apabila terjadi mimisan kembali

II.10. PROGNOSA:
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionales : dubia ad bonam

II.11. FOLLOW UP
Tanggal 9-7-2013
S : sudah tidak mimisan, batuk (+)
O :
St generalis dbn
TD 130/90 mmHg, N 88x/min, S 36
o
C, RR 20x/min
St THT :
Telinga
Sekret -/-, serumen -/-, m timpani intak/intak
Hidung
Sekret -/-, konka hipeemis -/-, konka hipertrofi -/-
Tenggorokan
Uvula ditengah, T1/T1, detritus -, kripte melebar -
A : epistaksis anterior
P : Infus RL 20 tpm
Zibac 2x1 gr
Kalnex 3x1 amp
Dycinon 3x1 amp

Tanggal 10-7-2013
S : hidung mimisan (-), batuk (-), kepala terasa sedikit berat
O :
St generalis dbn
TD 130/80 mmHg, N 80 x/min, S 36
o
C, RR 20x/min
St THT :
Telinga
11

Sekret -/-, serumen -/-, m timpani intak/intak
Hidung
Sekret -/-, konka hipeemis -/-, konka hipertrofi -/-
Tenggorokan
Uvula ditengah, T1/T1, detritus -, kripte melebar -
A : epistaksis anterior
P : boleh pulang, kontrol ke poli hari Senin 15/7/2013























12

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

III.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung
Hidung terdiri dari hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar berbentuk piramid,
bagiannya (dari atas ke bawah) yaitu pangkal hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung,
ala nasi, kolumela, lubang hidung (nares anterior). Sedangkan bagian hidung dalam terdiri
dari vestibulum dan cavum nasi. Tiap kavum nasi memiliki 4 buah dinding yaitu :
- medial adalah septum nasi yang dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yaitu lamina
prependikularis, vomer, krista nasalis os maksilla, krista nasalis os palatina, kartilago
septum, dan kolumela
- lateral adalah konka yang terdiri dari konka inferior, media, dan superior. Diantara konka
tersebut dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.
1. Concha nasalis superior
... Meatus nasi superior...
2. Concha nasalis media
... Meatus nasi medius...
3. Concha nasalis inferior
... Meatus nasi inferior...
Dasar cavum nasi
Pada meatus medius terdapat muara sinus frontalis, maksila, dan etmoid anterior. Pada
meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sfenoid.
- inferior adalah os maksilla & os palatum
- superior adalah lamina kribiformis

Vaskularisasi
Bagian bawah hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris interna, di
antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina lalu memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis.
Bagian atas rongga hidung mendapat vaskularisasi dari a.etmoid aanterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna. Bagian depan
13

septum, terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis
superior, a.palatina mayor (Pleksus Kiesselbach) .

Vena-vena di hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum & struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus.

Inervasi
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus
oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang
maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus
memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus
etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis
anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama
arteri etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi
cabang nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum
Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut
serabut sensorid dari nervus maksila.Serabut parasimpatis dari nervus petrosus profundus.
Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konkha
media. Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di
daerah sepertiga atas hidung.


14

Fisiologi
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi hidung
dan sinus paranasal adalah :
1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara, penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal
2. Fungsi penghidu karema terdapatnya mukosa olfaktorus dan reservoir udara untuk
menampung stimulus penghidu
3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses biacara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang
4. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma
dan pelindung panas
5. Refleks nasal.

III.2. Epistaksis
III.2.1. Definisi
Merupakan perdarahan hidung, bukanlah merupakan suatu penyakit, melainkan
sebagai gejala dari suatu kelainan. Perdarahan bisa ringan sampai serius dan bila tidak segera
ditolong dapat berakibat fatal. Sumber perdarahan biasanya berasal dari bagian depan atau
bagian belakang hidung.
1. Epistaksis ringan biasanya berasal dari bagian anterior hidung, umumnya mudah
diatasi dan dapat berhenti sendiri.
2. Epistaksis berat berasal dari bagian posterior hidung yang dapat menimbulkan syok
dan anemia serta dapat menyebabkan terjadinya iskemia serebri, insufisiensi koroner
dan infark miokard yang kalau tidak cepat ditolong dapat berakhir dengan kematian.
Pemberian infus dan transfusi darah serta pemasangan tampon atau tindakan lainnya
harus cepat dilakukan. Disamping itu epistaksis juga dapat merupakan tanda adanya
pertumbuhan suatu tumor baik ganas maupun jinak. Ini juga memerlukan
penatalaksanaan yang rinci dan terarah untuk menegakkan diagnosis dan menentukan
modalitas pengobatan yang terbaik.

III.2.2. Etiologi
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya, kadang-
kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada
hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan
15

pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan
sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan
atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital.

Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan
ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau akibat trauma yang lebih hebat
seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu-lintas. Selain itu juga bias terjadi akibat adanya
benda asing tajam atau trauma pembedahan.
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya septum yang tajam. Perdarahan dapat
terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu
sedang mengalami pembengkakan.

Kelainan pembuluh darah (lokal)
Sering kongenital. Pembuluh darah lebih lebar, tipis, jaringan ikat dan sel-selnya lebih
sedikit.

Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis atau
sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rinitis jamur, tuberculosis, lupus, sifilis, atau
lepra.

Tumor
Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih sering terjadi
pada angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis berat.

Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada arteriosklerosis,
nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes mellitus dapat menyebabkan epistaksis.
Epistaksis yang terjadi pada penyakit hipertensi sering kali hebat dan dapat berakibat fatal.

Kelainan darah
Kelainan darah penyebab epistaksis anatara lain leukemia, trombositopenia,
bermacam-macam anemia serta hemofilia.
16

Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah teleangiektasis
hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic teleangiectasis Osler-Rendu-Weber disease),
juga sering terjadi pada Von Willenbrand disease.

Infeksi sistemik
Yang sering menyebabkan epistaksis adalah demam berdarah (dengue hemorrhagic
fever). Demam tifoid, influenza dan morbilli juga dapat disertai epistaksis.

Perubahan udara dan tekanan atmosfir
Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang cuacanya sangat
dingin atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan adanya zat-zat kimia di tempat industry
yang menyebabkan keringnya mukosa hidung

Gangguan hormonal
Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena pengaruh
perubahan hormonal.

Beberapa penyebab epistaksis dapat digolongkan menjadi etiologi lokal dan sistemik.
Etiologi lokal
Trauma lokal misalnya setelah membuang ingus dengan keras, mengorek hidung,
fraktur hidung atau trauma maksilofasia lainnya.
Tumor, baik tumor hidung maupun sinus yang jinak dan yang ganas. Tersering adalah
tumor pembuluh darah seperti angiofibroma dengan ciri perdarahan yang hebat dan
karsinoma nasofaring dengan ciri perdarahan berulang ringan bercampur lendir atau
ingus.
Idiopatik yang merupakan 85% kasus epistaksis, biasanya ringan dan berulang pada
anak dan remaja. Ketiga diatas ini merupakan penyebab lokal tersering.
Eiologi lainnya yaitu :
iritasi gas atau zat kimia yang merangsang ataupun udara panas pada mukosa hidung;
Keadaan lingkungan yang sangat dingin
Tinggal di daerah yang tinggi atau perubahan tekanan atmosfir yang tiba tiba
Pemakaian semprot hidung steroid jangka lama
17

Benda asing atau rinolit dengan keluhan epistaksi ringan unilateral clsertai Ingus
berbau busuk.
Etiologi sistemik
Hipertensi dan penyakit kardiovaskuler lainnya seperti arteriosklerosis. Hipertensi
yang disertai atau tanpa arteriosklerosis rnerupakan penyebab epistaksis tersering
pada usia 60-70 lahun.
Kelainan perdarahan misalnya leukemia, hemofilia, trombositopenia dll.
Infeksi, misalnya demam berdarah disertai trornbositopenia, morbili, demam tifoid
dll.
Termasuk etiologi sistemik lain
Lebih jarang terjadi adalah gangguan keseimbangan hormon misalnya pada
kehamilan, menarke dan menopause
kelainan kongenital misalnya hereditary hemorrhagic Telangieclasis atau penyakit
Rendj-Osler-Weber;
Peninggian tekanan vena seperti pada emfisema, bronkitis, pertusis, pneumonia,
tumor leher dan penyakit jantung
pada pasien dengan pengobatan antikoagulansia.

III.2.3. Epidemiologi
Epistaksis jarang ditemukan pada bayi, sering pada anak, agak jarang pada orang
dewasa muda, dan lebih banyak lagi pada orang dewasa tua. Epistaksis atau perdarahan
hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi umum. Puncak kejadian dari epistaksis
didapatkan berupa dua puncak (bimodal) yaitu pada usia <10 tahun dan >50 tahun. Epistaksis
anterior lebih sering terjadi pada anak- anak dan dewasa muda, sedangkan epistaksis
posterior lebih sering terjadi pada usia lebih tua, terutama pada laki- laki berusia 50 tahun
dengan penyakit hipertensi dan arteriosklerosis. Pasien yang menderita alergi, inflamasi
hidung dan penyakit hidung lebih rentan terhadap terjadinya epistaksis, karena mukosanya
lebih kering dan hiperemis yang disebabkan oleh reaksi inflamasi.
Kira- kira 10% dari penduduk dunia mempunyai riwayat hidung berdarah beberapa
kali dalam hidupnya. Sekitar 30% anak- anak umut 0-5 tahun, 56% umur 6-10 tahun dan 64%
berumur 11- 15 tahun mengalami satu kali epistaksis. Sebagai tambahan, 56% orang dewasa
dnegan perdarahan hidung berulang pernah mengalami kejadian serupa pada saat kecil.

18

III.2.4.Sumber perdarahan
Sumber perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior rongga hidung.
Epistaksis anterior
Berasal dari pleksus Kiesselbach atau a.etmoidalis anterior. Perdarahan biasanya
ringan, mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri.
Pada saat pemeriksaan dengan lampu kepala, periksalah pleksus Kiesselbach yang
berada di septum bagian anterior yang merupakan area terpenting pada epistaksis. la
merupakan anastomosis cabang a.etmoidalis anterior, a.sfenopaltina, a. palatina
asendens dan a.labialis superior. Terutama pada anak pleksus ini di dalam mukosa
terletak lebih superfisial, mudah pecan dan menjadi penyebab hampir semua
epistaksis pada anak.
Epistaksis posterior
umumnya berat sehingga sumber perdarahan seringkali sulit dicari. Umumnya berasal
dari a.sfenopalatina dan a.etmoidalis posterior. Sebagian besar darah mengalir ke rongga
mulut dan memerlukan pemasangan tampon posterior untuk mengatasi perdarahan. Sering
terjadi pada penderita usia lanjut dengan hipertensi.




19

III.2.5. Patofisiologi
Rongga hidung mendapat aliran darah dari cabang arteri maksilaris interna yaitu arteri
palatina mayor dan arteri sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari arteri
fasialis. Bagian depan septum terdapat anastomosis (gabungan) dari cabang-cabang arteri
sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor yang
disebut sebagai pleksus kiesselbach (littles area).
Jika pembuluh darah tersebut luka atau rusak, darah akan mengalir keluar melalui dua
jalan, yaitu lewat depan melalui lubang hidung, dan lewat belakang masuk ke tenggorokan.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang). Kasus epistaksis
anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal perdarahan berasal dari
pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior
melalui cabang a.sfenopalatina.
Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa perdarahan dari
lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan gejala yang tidak terlalu jelas
seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia dan biasanya epistaksis posterior melibatkan
pembuluh darah besar sehingga perdarahan lebih hebat jarang berhenti spontan.
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan
lanjut,terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan
kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang
komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi
pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan
yang banyak dan lama.
Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya
epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini
disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.
Hipertensi dapat membuat kerusakan yang berat pada pembuluh darah di hidung
(terjadi proses degenerasi perubahan jaringan fibrous di tunika media) yang dalam jangka
waktu yang lama merupakan faktor risiko terjadinya epistaksis

III.2.6. Diagnosis
Penegakkan diagnosis epistaksis memerlukan ketelitian dalam melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan tambahan jika diperlukan bersamaan dengan persiapan
untuk menghentikan epistaksis. Setelah perdarahan berhenti, lakukan evaluasi untuk
menentukan penyebab.
20

Dari anamnesis yang dapat digali adalah :
1. Riwayat perdarahan sebelumnya
2. Lokasi perdarahan
3. Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah keluar
dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak?
4. Lama perdarahan dan frekuensinya
5. Kecenderungan perdarahan
6. Hipertensi
7. Diabetes mellitus
8. Penyakit hati
9. Penggunaan antikoagulan
10. Trauma hidung yang belum lama
11. Obat-obatan, seperti aspirin, fenibutazon
Pada pemeriksaan fisik diawali dengan kesadaran, tanda vital, pemeriksaan kepala
sampai ekstremitas. Pada epistaksis anterior, keadaan umum pasien baik, tidak ada gangguan
tanda vital, dan tidak ditemukannya tanda hipoperfusi. Sedangkan pada epistaksis posterior,
pemeriksaan fisik sangat bergantung dengan jumlah dan waktu perdarahan. Kesadaran pasien
dapat menurun, dapat terjadi gangguan tanda vital hingga menunjukkan tanda syok seperti
nadi lemah, hipotensi, takipnea, akral dingin.
Epistaksis posterior dicurigai bila (1) sebagian besar perdarahan terjadi ke dalam
faring, (2) suatu tampon anterior gagal mengontrol perdarahan, atau (3) nyata dari
pemeriksaan hidung bahwa perdarahan terletak posterior dan superior.
Pemeriksaan yang diperlukan berupa :
1. Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum,mukosa hidung dan septum nasi, dindng lateral hidung dan konkha
inferior harus diperiksa dengan cermat
2. Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan
epistaksis dan secret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma
3. Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena
hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang

21

4. Rontgen sinus
Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi
5. Skrinning terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protombin serum,waktu tromboplastin parsial,
jumlah platlet dan waktu perdarahan

III.2.6. Penatalaksanaan
Terdapat 3 prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi, dan mencegah berulang nya epistaksis.
Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya, nadi, pernapasan
serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu misalnya dengan memasang
infus. Jalan napas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau
dihisap. Untuk dapat menghentikan perdarahan perlu dicari sumbernya, setidaknya dilihat
apakah perdarahan dari anterior atau posterior.
Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir keluar
dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaannya lemah sebaiknya setengah duduk
atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus diperhatikan jangan sampai darah masuk ke
saluran napas bagian bawah. Pasien anak duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala
dipegangi agar tegak dan tidak bergerak-gerak.
Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan bekuan darah
dengan bantuan alat penghisap. Kemudian dipasang tampon sementara yaitu kapas yang telah
dibasahi dengan adrenalin 1/5000 1/10.000 dan pantocain atau lidocain 2% dimasukan ke
dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri pada saat
dilakukan tindakan selanjutnya. Tampon itu dibiarkan selama 10-15 menit. Setelah terjadi
vasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan berasal dari bagian anterior atau
posterior hidung.

Perdarahan Anterior
Perdarahan seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian depan.
Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior, terutama pada anak, dapat
dicoba dihentikan dengan menekan hidung luar selama 10-15 menit, seringkali berhasil.
Pasien dengan perdarahan aktif lewat bagian depan hidung harus duduk tegak, menggunakan
apron plastic serta memegang suatu wadah berbentuk ginjal untuk melindungi pakaiannya.
22

Gulungan kapas yang telah dibasahi larutan kokain 4% dimasukkan dengan hati-hati ke
dalam hidung sambil mengaaspirasi darah yang berlebihan.
Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan
larutan Nitras Argenti (AgNO
3
) 25-30%. Sesudahnya area tersebut diberi krim antibiotik.




Bila dengan cara ini perdarahan masih berlangsung, maka perlu dilakukan
pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin
atau salep antibiotik. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dari
dasar hingga atap hidung dan meluas hingga ke seluruh panjang rongga hidung, serta harus
dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2x24 jam, harus dikeluarkan
untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilaukan pemeriksaan penunjang untuk
mencari faktor penyebab epistaksis. Bila perdarahan belum berhenti dipasang tampon baru.

Bila hanya memerlukan tampon anterior tanpa adanya gangguan medis primer, pasien
dapat diperlakukan ssebagai pasien rawat jalan dan diberitahu untuk duduk tegak dengan
tenang sepanjang hari, serta kepala ditinggikan pada malam hari. Pasien tua dengan
kemunduran fisik harus dirawat di rumah sakit.

Perdarahan Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab perdarahan hebat dan sulit
dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Penanganan epistaksis posterior
antara lain adalah blok ganglion sfenopalatinum, tampon hidung posterior, atau ligase
pembuluh spesifik.
23

Blok Ganglion Sfenopalatinum
Pada kasus epistaksis posterior, blok sfenopalatinum dapat bersifat diagnostik dan
terapeutik. Injeksi 0,5 ml Xilokain 1% dengan epinefrin 1:100.000 secara hati-hati ke dalam
kanalis palatina mayor yang akan menyebabkan vasokontriksi arteri sfenopalatina.
Disamping vasokontriksi, injeksi ini juga menimbulkan anastesia untuk prosedur pemasangan
tampon hidung posterior. Bila perdarahan berasal dari cabang arteri sfenopalatina, maka
epistaksis akan berkurang dalam beberapa menit. Berkurangnya perdarahan ini hanya
berlangsung singkat hingga Xilokain diabsorbsi, untuk itu dapat digunakan Gliserin (USP
2%) dan Xilokain untuk efek yang lebih lama. Jika injeksi tidak member efek, maka
perdarahan mungkin berasal dari arteri etmoidalis posterior. Metode ini lebih sering
digunakan oleh spesialis karena komplikasinya ke okular.

Tampon Hidung Posterior
Suatu tampon posterior yang dimasukkan melalui mulut dapat ditarik memakai kateter
melalui hidung ke dalam koana posterior. Suatu spons berukuran 4x4 inchi yang digulung
erat dan diikat dengan benang sutera No.1 merupakan tampon yang baik. Dapat diolesi
dengan salep antibiotic topikal untuk mengurangi insidens infeksi. Untuk menanggulangi
perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior (tampon Bellocq). Tampon ini
dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini
terikat 3 utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah di sisi berlawanan.
Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan bantuan
kateter karet yang dimasukan dari lubang hidung sampai tampak di orofaring, lalu ditarik
keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang tampon Bellocq tadi, kemudian
kateter ditarik kembali melalui hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu
didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum mole masuk ke
nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka dapat ditambah tampon anterior ke dalam
kavum nasi. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di
depan nares anterior, supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap ditempatnya. Benang
lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien. Gunanya ialah untuk
menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-hati mencabut tampon karena
dapat menyebabkan laserasi mukosa.
24


Tamponade dengan berbagai balon hidung komersial yang dimasukkan lewat depan
dan kemudian ditiup, dapat pula dilakukan. Beberapa pabrik membuat balon dengan dua
ruang terpisah, yang satu berfungsi sebagai tampon anterior, dan yang satunya sebagai
tampon posterior. Suatu kateter Folay no.14 biasa dengan suatu kantung 15cc juga dapat
dimasukan tranasal, dikembangkan dan ditarik rapat pada koana posterior. Posisi kateter
dapat dipertahankan dengan suatu klem umbilicus. Yang paling sering dilakukan adalah
memasukan suatu kateter melalui hidung, ditangkap pada faring dan kemudian dikeluarkan
lewat mulut. Dua benang yang melekat pada tampon diikatkan pada kateter yang menjulur
dari mulut. Tali ketiga yang melekat pada tampon dibiarkan menggantung dalam faring
sebagai tali penarik. Kateter kemudian ditarik keluar melalui hidung depan untuk
menempatkan tampon pada koana. Jika perlu, tampon dapat dibantu penempatannya dengan
jari dokter hingga berada diatas palatum mole. Posisi tampon harus cukup kuat dan tidak
boleh menekan palatum mole. Sementara tegangan dipertahankan melalui kedua tali yang
keluar dari hidung depan, dokter harus menempatkan tampon anterior diantara kedua tali dan
kedua tali diikatkan simpul pada gulungan kasa kecil. Kedua tali harus dikeluarkan lewat
lubang hidung yang sama dan tidak diikatkan pada kolumela, hal ini dapat menimbulkan
nekrosis jaringan lunak. Pasien yang memasang tampon harus dirawat dirumah sakit.
Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma, digunakan
bantuan dua kateter masing-masing melalui kavum nasi kanan dan kiri, dan tampon posterior
terpasang di tengah-tengah nasofaring. Sebagai pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan
kateter Folley dengan balon. Akhir-akhir ini juga banyak tersedia tampon buatan pabrik
dengan balon yang khusus untuk hidung atau tampon dari bahan gel hemostatik. Dengan
semakin meningkatnya pemakaian endoskop, akhir-akhir ini juga dikembangkan teknik
kauterisasi atau ligasi a. sfenopalatina dengan panduan endoskop.


25

Ligasi Pembuluh Spesifik
Bila tampon posterior dan anterior gagal mengendalikan epistaksis, maka perlu
dilakukan ligase arteri spesifik. Arteri tersebut antara lain arteri karotis eksterna, arteri
maksilaris interna dengan cabang terminusnya, arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis
posterior anterior.


III.2.7. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat
dari usaha penanggulangan epistaksis.
Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas
bagian bawah, nekrosis septum, aspirasim sinusitis, eksaserbasi dari sleep obstructive apnea,
hipoksia, syok, anemia, hipotensi, iskemia serebri, insufisiensi koroner, sampai infark
miokard dan hingga kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah harus
dilakukan secepatnya.
Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu diberikan
antibiotik.
Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media, septikemia atau
toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap
pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila perdarahan
masih berlanjut dipasang tampon baru. Selain itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat
mengalirnya darah melalui tuba Eustachius, dan air mata berdarah (bloody tears), akibat
mengalirnya darah secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis. Pemasangan tampon
posterior (tampon Belloq) dapat menyebabkan laserasi palatum mole atau sudut bibir, jika
benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau tampon
balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung
dan septum.
26

BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang ke UGD RST dr.Soedjono tanggal 8Juli 2013 pukul 16.20 WIB. Pasien
mengeluh mimisan yang keluar dari kedua lubang hidung sudah 2 hari, awalnya pada hari
minggu sore setelah pasien berpergian jauh, perdarahan yang keluar sedikit, lalu berhenti
sendiri dengan memencet hidung dan menyumpalnya dengan tisu, lalu pada senin pagi dan
pada senin siang kembali lagi mimisan, perdarahan yang keluar juga sedikit dan berheti
dengan memasukkan daun sirih ke dalam hidung. Badan terasa tidak enak, pasien juga
mengeluh batuk tidak berdahak, pasien merasa sedikit pusing. Riwayat penyakit dahulu
sebelumnya tidak pernah seperti ini, HT, DM, dan penyakit kelainan darah (-), riwayat
trauma pada wajah/hidung (-). Riwayat pengobatan tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan
seperti aspirin, dan belum pernah diobati ke dokter. Riwayat Penyakit Keluarga dikeluarga
tidak ada yang seperti ini
Pemeriksaan hidung tidak ditemukan darah. Pada pemeriksaan lab darah tidak
ditemukan kelainan yang bermakna
Maka dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka dapat diambil diagnosis
sementara yaitu epistaksis anterior. Mekanisme epistaksis dari pasien adalah :
Etiologi

Pecahnya pleksus Kiesselbach atau a.etmoidalis anterior

Epiktaksis
Pasien diberikan terapi berupa :
Nonmedikamentosa
o Pasang tampon
Medikamentosa
o Infus RL 20 tpm
Mengandung Na, K, Ca, Cl, Basa. Diindikasikan untuk mengembalikan
keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi dan syok hipovolemik.



27

o Zybac 2x1gr
Mengandung ceftrazidime pentahydrate. Diindikasikan untuk infeksi saluran
pernafasan bagian bawah, ISK, infeksi kulit, infeksi abdominal, dialisis. Dosis
diberikan 1 gr tiap 8-12 jam.
o Kalnex 3x1 amp
Mengandung asam traneksamat. Diindikasikan untuk fibrinolisis lokal
(epistaksis), edema angioneurotik hereditas, perdarahan abnormal sesudah
operasi, perdarahan setelah operasi, menoragia. Dosis yang diberikan injeksi
1-2 x/hr ,oral 3-4 x 500 mg.
o Dicynone
Mengandung etamsilat. Diindikasikan untuk perdarahan efusi (pencegahan &
pengobatan pada bedah umum, bedah saraf, THT, mata, & rongga mulut),
pengobatan internal (perdarahan pada pencernaan, mimisan), dan kandungan,
pengobatan kerapuhan pembuluh kapiler. Dosis : 3x500 mg.

















28

DAFTAR PUSTAKA

Efiaty A.S. dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Ed 6. Jakarta. 2007
Higler, B.A. Buku Ajar Penyakit THT Boies Ed.6. Jakarta
Moore,K.L.dkk. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta.2000
FKUI. Farmakologi Dan Terapi Edisi 5. FKUI. Jakarta.2007
ISO Indonesia Volume 43. Jakarta. 2008

You might also like