You are on page 1of 26

PENDAHULUAN

Afasia adalah kehilangan daya pengutaraan melalui bicara, menulis atau penggunaan
tanda- tanda , dan kehilangan pengertian bahasa yang didengar atau dibaca.Afasia terbagi dua
yaitu : Afasia motorik dan afasia sensorik. Afasia motorik adalah kesulitan berkata- kata
tetapi dapat mengerti pembicaraan, sedangkan afasia sensorik dimana pasien sukar mengerti
komprehensi pembicaraan orang , tetapi mudah mengucapkan kata, tanpa adanya gangguan
pendengaran.
Afasia dapat terjadi apabila ada gangguan peredaran darah otak. Dimana pada
umumnya telah ada penyakit lain yang mendahului gangguan peredaran darah otak tersebut,
yang paling sering dijumpai adalah penyakit kardiovaskuler (penyakit jantung, hipertensi),
kemudian penyakit/gangguan otak lainnya.
Gejala dapat muncul untuk sementara, lalu menghilang atau lalu memberat atau
menetap. Gejala ini muncul akibat daerah otak tertentu tidak berfungsi yang disebabkan oleh
terganggunya aliran darah ke tempat tersebut.
Afasia motorik yang ditandai oleh gangguan atau hilangnya kemampuan untuk
menyatakan pikiran- pikiran yang dapat dimengerti dalam bentuk bicara dan menulis. Afasia
motorik timbul akibat gangguan pada pembuluh darah Karotis Interna, yaitu cabangnya yang
menuju Otak bagian tengah (Arteri serebri media) tepatnya pada cabang akhir (Arteri
presentalis), afasia motorik ini disertai kelemahan lengan lebih berat daripada tungkai.
Arteri serebri media memperdarahi bagian terbesar dari konveksitas belahan otak .
Arteri serebri media merupakan cabang arteri karotis interna yang paling besar.
Afasia motorik disebut juga afasia Broca. Paul Broca, ilmuwan Perancis, menemukan
suatu area pada lobus frontalis kiri yang jika rusak akan mengakibatkan kehilangaan daya
pengutaraan pendapat dan perasaan dengan kata- kata. Tidak ada kelumpuhan alat bicara
pada gangguan ini. Daerah Otak tersebut dikenal sebagai Area Broca.
Gangguan afasia terdiri dari afasia Broca, Wernicke, global, konduksi,transkortikal
motorik, transkortikal sensorik, dan transkortikal campuran. Seseorang disebut afasia global
bila semua modalitas bahasa-meliputi kelancaran berbicara, pengertian bahasa lisan,
penamaan, pengulangan,membaca, menulis-terganggu berat. Penderita tidak ada suara sama
sekali dan tidak mengerti apa yang dikatakan lawan bicara, serta tidak bisa membaca dan
menulis. Ini terjadi karena kerusakan otak yang luas disertai kelumpuhan otot-otot tubuh sisi
kanan. Afasia Broca atau afasia motorik merupakan ketidakmampuan bertutur kata. Namun,
ia mengerti bila diperintah dan menjawab dengan gerakan tubuh sesuai perintah itu. Karena
kerusakan terjadi berdampingan dengan pusat otak untuk pergerakan otot-otot tubuh,
penderita juga lumpuh di otot-otot tubuh sebelah kanan. Afasia Wernicke atau afasia sensorik
merupakan ketidakmampuan memahami lawan bicara. Ia hanya lancar mengeluarkan isi
pikiran, tetapi tidak mengerti pembicaraan orang lain. Itu sebabnya mengapa orang sering
menganggap penderita sakit jiwa. Pada tingkat sangat berat, perintah satu kata, seperti
duduk! atau makan!, juga tidak dipahaminya. Ia hanya mengerti bila dilakukan dengan
gerakan, karena pengertian ini diterima otak melalui penglihatan. Afasia konduksi merupakan
ketidakmampuan mengulangi kata atau kalimat lawan bicara. Namun, penderita masih
mampu mengeluarkan isi pikiran dan menjawab kalimat lawan bicaranya.
Afasia anomik membuat penderita ini tidak mampu menyebut nama benda yang
dilihat, angka, huruf, bentuk benda, dan kata kerja dari gambar yang dilihat. Ia juga tak bisa
menyebut nama binatang yang didengar suaranya atau benda yang diraba. Gangguan anomik
terdapat pada semua penderita afasia dengan variasi kemampuan. Pada afasia transkortikal
sensorik, gangguan mirip dengan Wernicke, tetapi mampu menirukan kata/kalimat lawan
bicara. Gangguan pada afasia transkortikal campuran mirip afasia global, namun mampu
meniru ucapan lawan bicara. Berbagai tes wawancara, membaca, menulis, menggambar,
ataupun melakukan tugas-tugas tertentu bisa digunakan untuk mengetahui terjadinya
kerusakan otak. Kalau ada gangguan komunikasi, misalnya mengemukakan pikiran tidak
lancar, tetapi paham diajak bicara, bisa ditebak pasti ada kerusakan dibagian depan. Ini
tinggal dicocokkan dengan pemeriksaan pendukung, seperti CT-Scan pada otak, jelas
Lumempouw. Pemeriksaan ini amat penting untuk terapi dan rehabilitasi pasien. Umumnya
sel-sel otak yang tertekan atau membengkak bisa membaik kembali. Sedang sel-sel otak yang
kerusakannya menetap, tugas-tugasnya akan diambil alih oleh sel-sel di sekitarnya.
Dengan adanya beban tambahan pada sel-sel baru-tentunya sudah punya tugas lain
sebelumnya-maka mutu setelah rehabilitasi tidak bisa sebagus keadaan sebelum infark.
Karena itu, hal terbaik adalah menghindari faktor-faktor risiko yang bisa memicu stroke,
seperti merokok, makan makanan yang berkolesterol tinggi, dan tekanan darah tinggi.


Perawatan utama untuk aphasia adalah terapi wicara yang berfokus pada belajar kembali dan
mempraktekkan kemampuan berbahasa dan menggunakan alternatif atau tambahan metode
komunikasi. Anggota keluarga sering berpartisipasi dalam proses terapi dan berfungsi
sebagai mitra komunikasi penderita aphasia.
Di pusat bahasa manusia, manusia memahami dan mengenal huruf, suku kata, arti
kata, kalimat sederhana, kalimat bertingkat sampai sampai yang kompleks dan abstrak, serta
berbagai macam bahasa. Sedang di bagian lain ada yang bertugas mengeluarkan isi pikiran
secara lisan dan tulisan, yang berarti harus berkoordinasi dengan pergerakan otot-otot jari.
Gangguan afasia terdiri dari afasia broca, wernicke, global, konduksi, transkortikal motorik,
transkortikal sensorik, dan transkortikal campuran. Seseorang disebut mengalami afasia
global bila semua modalitas bahasa meliputi kelancaran berbicara, pengertian bahasa lisan,
penamaan, pengulangan, membaca dan menulis terganggu berat. Pada kasus ini penderita
tidak bisa bicara sama sekali dan tidak mengerti apa yang dikatakan lawan bicara serta tidak
bisa membaca dan menulis. Ini terjadi karena kerusakan otak yang luas disertai kelumpuhan
otot-otot tubuh sisi kanan. Afasia Broca atau afasia motorik merupakan ketidakmampuan
bertutur kata. Namun ia mengerti bila diperintah dan menjawab dengan gerakan tubuh sesuai
perintah itu. Ini terjadi karena kerusakan yang terjadi berdampingan dengan pusat otakuntuk
pergerakan otot-otot tubuh. Kelumpuhan juga terjadi pada anggota tubuh bagian kanan.
Afasia Wernicke atau afasia sensorik merupakan kemampuan memahami lawan bisa bicara.
Ia hanya lancar mengeluarkan isi pikiran, tetrapi tidak mengerti pembicaraan orang lain.
Sedangkan afasia konduksi merupakan ketidakmampuan mengulangi kata atau kalimat lawan
bicara, namun penderita masih mampu mengeluarkan isi pikirannya dan menjawab kalimat
lawan bicaranya. Untuk afasia anomik membuat penderita ini tidak bisa menyebut nama
benda yang dilihat,angka, huruf, bentuk gambar yang dilihat. Ia juga tak bisa menyabut nama
binatang yang didengar suaranya atau benda yang diraba. Gangguan anomik terdapat pada
semua penderita afasia dengan variasi kemampuan. Pada afasia transkortikal sensorik,
gangguan mirip dengan Wernicke, tetapi mampu menirukan kata/kalimat lawan bicara,
sedangkan gangguan afasia transkortikal campuran mirif afasia global, namun mampu
menirukan ucapan lawan bicara. Berbagai tes wawancara, membaca, menulis, menggambar,
ataupun melakukan tugas-tugas tertentu bisa digunakan untuk mengetahui terjadinya
kerusakan otak, dan tinggal dicocokkan dengan pemeriksaan CT-Scan pada otak.
Pemeriksaan ini sangat penting untuk terapi dan rehabilitasi pasien.

METODE KOMUNIKASI :Klien dg Aphasia
5

Mendengar & menunggu klien untuk berbicara Jangan berteriak atau berbicara dengan
keras ( tidak kehilanganpendengaran) Jika klien memiliki masalah untuk mengerti, gunakan
pertanyaan yang sederhana, pendek, & gunakan gerakan mimik untuk memberi tanda/
sebagai isyarat tambahan jika klien mempunyai masalah pengucapan, bertanyalah dengan
sederhana dengan jawaban ya/tidak/mengejapkan mata. Menawarkan gambaran atau suatu
[papan/meja] komunikasi sehingga kliendapat menunjuk gbr yg dimaksud Memberikan klien
kesempatan untuk memahami Jangan memaksa atau melelahkan klien







BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Afasia merupakan gangguan berbahasa. Dalam hal ini pasien menunjukkan gangguan dalam
memproduksi dan / atau memahami bahasa. Defek dasar pada afasia ialah pada pemrosesan
bahasa tingkat integratif yang lebih tinggi. Gangguan artikulasi dan praksis mungkin ada
sebagai gejala yang menyertai.
1

Afasia adalah gangguan berbahasa akibat gangguan serebrovaskuler hemisfer dominan,
trauma kepala, atau proses penyakit. Terdapat beberapa tipe afasia, biasanya digolongkan
sesuai lokasi lesi. Semua penderita afasia memperlihatkan keterbatasan dalam pemahaman,
membaca, ekspresi verbal, dan menulis dalam derajat berbeda-beda.
Afasia mencakup gangguan berbahasa secara menyeluruh walaupun biasanya terdapat
gangguan yang lebih menonjol daripada gangguan lainnya. Tercakup di dalam afasia adalah
gangguan yang lebih selektif, misalnya gangguan membaca (alexia) atau gangguan menulis
(agrafia). Gangguan yang berkaitan misalnya apraksia (gangguan belajar atau ketrampilan),
gangguan mengenal (agnosia), gangguan menghitung (akalkulias), serta defisit perilaku
neurologis seperti demensia dan delirium. Ini semua bisa muncul bersama-sama dengan
afasia atau muncul sendiri.

B. Etiologi
Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat timbul akibat cedera otak
atau proses patologik pada area lobus frontal, temporal atau parietal yang mengatur
kemampuan berbahasa, yaitu Area Broa, Area Wernicke, dan jalur yang menghubungkan
antara keduanya. Kedua area ini biasanya terletak di hemisfer kiri otak dan pada kebanyakan
orang, bagian hemisfer kiri merupakan tempat kemampuan berbahasa diatur.
4

Afasia biasanya berarti hilangnya kemampuan berbahasa setelah kerusakan otak. Kata afasia
perkembangan (sering disebut sebagai disfasia) digunakan bila anak mempunyai
keterlambatan spesifik dalam memperoleh kemampuan berbahasa. Dalam hal ini,
perkembangan kemampuan berbahasa yang tidak sebanding dengan perkembangan kognitif
umumnya.
Pada dasarnya kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan oleh stroke, cedera otak
traumatik, perdarahan otak aku dan sebagainya. Afasia dapat muncul perlahan-lahan seperti
pada kasus tumor otak. Afasia juga terdaftar sebagai efek samping yang langka dari fentanyl,
suatu opioid untuk penanganan nyeri kronis.

C. Patofisiologi
Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di otak. Pada manusia, fungsi
pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer kiri otak pada 96-99% orang yang
dominan tangan kanan (kinan) dan 60% orang yang dominan tangan kiri (kidal). Pada pasien
yang menderita afasia, sebagian besar lesi terletak pada hemisfer kiri.
2,3,4

Afasia paling sering muncul akibat stroke, cedera kepala, tumor otak, atau penyakit
degeneratif. Kerusakan ini terletak pada bagian otak yang mengatur kemampuan berbahasa,
yaitu area Broca dan area Wernicke.
Area Broca atau area 44 dan 45 Broadmann, bertanggung jawab atas pelaksanaan motorik
berbicara. Lesi pada area ini akan mengakibatkan kersulitan dalam artikulasi tetapi penderita
bisa memahami bahasa dan tulisan.
Area Wernicke atau area 41 dan 42 Broadmann, merupakan area sensorik penerima untuk
impuls pendengaran. Lesi pada area ini akan mengakibatkan penurunan hebat kemampuan
memahami serta mengerti suatu bahasa.
Secara umum afasia muncul akibat lesi pada kedua area pengaturan bahasa di atas. Selain itu
lesi pada area disekitarnya juga dapat menyebabkan afasia transkortikal. Afasia juga dapat
muncul akibat lesi pada fasikulus arkuatus, yaitu penghubung antara area Broca dan area
Wernicke.



D. Manifestasi Klinis
Gejala dan Gambaran klinik Afasia
Afasia global. Afasia global ialah bentuk afasia yang paling berat. Keadaan ini ditandai oleh
tidak adanya lagi bahasa spontan atau berkurang sekali dan menjadi beberapa patah kata yang
diucapkan secara stereotip (itu-itu saja, berulang), misalnya : "iiya, iiya, iiya", atau: "baaah,
baaaah, baaaaah" atau: "amaaang, amaaang, amaaang". Komprehensi menghilang atau sangat
terbatas, misalnya hanya mengenal namanya saja atau satu atau dua patah kata. Repetisi
(mengulangi) juga sama berat gangguannya seperti bicara spontan. Membaca dan menulis
juga terganggu berat.
2,3

Afasia global disebabkan oleh lesi luas yang merusak sebagian besar atau semua daerah
bahasa. Penyebab lesi yang paling sering ialah oklusi arteri karotis interna atau arteri serebri
media pada pangkalnya. Kemungkinan pulih ialah buruk. Afasia global hampir selalu disertai
hemiparese atau hemiplegia yang menyebabkan invaliditas kronis yang parah.
Afasia Broca. Bentuk afasia ini sering kita lihat di klinik dan ditandai oleh bicara yang tidak
lancar, dan disartria, serta tampak melakukan upaya bila berbicara. Pasien sering atau paling
banyak mengucapkan kata-benda dan kata-kerja. Bicaranya bergaya telegram atau tanpa tata-
bahasa (tanpa grammar). Contoh: "Saya....sembuh....rumah....kontrol....ya..kon..trol."
"Periksa...lagi...makan... banyak.."
Mengulang (repetisi) dan membaca kuat-kuat sama terganggunya seperti berbicara spontan.
Pemahaman auditif dan pemahaman membaca tampaknya tidak terganggu, namun
pemahaman kalimat dengan tatabahasa yang kompleks sering terganggu (misalnya
memahami kalimat: "Seandainya anda berupaya untuk tidak gagal, bagaimana rencana anda
untuk maksud ini").
Ciri klinik afasia Broca:
bicara tidak lancar
tampak sulit memulai bicara
kalimatnya pendek (5 kata atau kurang per kalimat)
pengulangan (repetisi) buruk
kemampuan menamai buruk
Kesalahan parafasia
Pemahaman lumayan (namun mengalami kesulitan memahami kalimat yang sintaktis
kompleks)
Gramatika bahasa kurang, tidak kompleks
Irama kalimat dan irama bicara terganggu
Menamai (naming) dapat menunjukkan jawaban yang parafasik. Lesi yang menyebabkan
afasia Broca mencakup daerah Brodmann 44 dan sekitarnya. Lesi yang mengakibatkan afasia
Broca biasanya melibatkan operkulum frontal (area Brodmann 45 dan 44) dan massa alba
frontal dalam (tidak melibatkan korteks motorik bawah dan massa alba paraventrikular
tengah). Selain itu, ada pasien dengan lesi dikorteks peri-rolandik, terutama daerah Brodmann
4; ada pula yang terganggu di daerah peri-rolandik dengan kerusakan massa alba yang
ekstensif.
Ada pakar yang menyatakan bahwa bila kerusakan terjadi hanya di area Broca di korteks,
tanpa melibatkan jaringan di sekitarnya, maka tidak akan terjadi afasia.
Penderita afasia Broca sering mengalami perubahan emosional. seperti frustasi dan depresi.
Apakah hal ini disebabkan oleh gangguan berbahasanya atau merupakan gejala yang
menyertai lesi di lobus frontal kiri belum dapat dipastikan.
Pemulihan terhadap berbahasa (prognosis) umumnya lebih baik daripada afasia global.
Karena pemahaman relatif baik, pasien dapat lebih baik beradaptasi dengan keadaannya.
Afasia Wernicke. Pada kelainan ini pemahaman bahasa terganggu. Di klinik, pasien afasia
Wernicke ditandai oleh ketidakmampuan memahami bahasa lisan, dan bila ia menjawab
iapun tidak mampu mengetahui apakah jawabannya salah. la tidak mampu memahami kata
yang diucapkannya, dan tidak mampu mengetahui kata yang diucapkannya, apakah benar
atau salah. Maka terjadilah kalimat yang isinya kosong, berisi parafasia, dan neologisme.
Misalnya menjawab pertanyaan: Bagaimana keadaan ibu sekarang ? Pasien mungkin
menjawab: "Anal saya lalu sana sakit tanding tak berabir".
Pengulangan (repetisi) terganggu berat. Menamai {naming) umumnya parafasik. Membaca
dan menulis juga terganggu berat.


Gambaran klinik afasia Wernicke:
Keluaran afasik yang lancar
Panjang kalimat normal
Artikulasi baik
Prosodi baik
Anomia (tidak dapat menamai)
Parafasia fonemik dan semantik
Komprehensi auditif dan membaca buruk
Repetisi terganggu
Menulis lancar tapi isinya "kosong"
Penderita afasia jenis Wernicke ada yang menderita hemiparese, ada pula yang tidak.
Penderita yang tanpa hemiparese, karena kelainannya hanya atau terutama pada berbahasa,
yaitu bicara yang kacau disertai banyak parafasia, dan neologisme, bisa-bisa disangka
menderita psikosis.
Lesi yang menyebabkan afasia jenis Wernicke terletak di daerah bahasa bagian posterior.
Semakin berat defek dalam komprehensi auditif, semakin besar kemungkinan lesi mencakup
bagian posterior dari girus temporal superior. Bila pemahaman kata tunggal terpelihara,
namun kata kompleks terganggu, lesi cenderung mengenai daerah lobus parietal, ketimbang
lobus temporal superior. Afasia jenis Wernicke dapat juga dijumpai pada lesi subkortikal
yang merusak isthmus temporal memblokir signal aferen inferior ke korteks temporal.
Penderita dengan defisit komprehensi yang berat, pronosis penyembuhannya buruk,
walaupun diberikan terapi bicara yang intensif. Afasia konduksi. Ini merupakan gangguan
berbahasa yang lancar (fluent) yang ditandai oleh gangguan yang berat pada repetisi,
kesulitan dalam membaca kuat-kuat (namun pemahaman dalam membaca baik), gangguan
dalam menulis, parafasia yang jelas, namun umumnya pemahaman bahasa lisan terpelihara.
Anomianya berat.
Terputusnya hubungan antara area Wernicke dan Broca diduga menyebabkan manifestasi
klinik kelainan ini. Terlibatnya girus supramarginal diimplikasikan pada beberapa pasien.
Sering lesi ada di massa alba subkortikal - dalam di korteks parietal inferior, dan mengenai
fasikulus arkuatus yang menghubungkan korteks temporal dan frontal.
Afasia transkortikal. Afasia transkortikal ditandai oleh repetisi bahasa lisan yang baik
(terpelihara), namun fungsi bahasa lainnya terganggu. Ada pasien yang mengalami kesulitan
dalam memproduksi bahasa, namun komprehensinya lumayan.
Ada pula pasien yang produksi bahasanya lancar, namun komprehensinya buruk. Pasien
dengan afasia motorik transkortikal mampu mengulang (repetisi), memahami dan membaca,
namun dalam bicara -spontan terbatas, seperti pasien dengan afasia Broca. Sebaliknya, pasien
dengan afasia sensorik transkortikal dapat mengulang (repetisi) dengan baik, namun tidak
memahami apa yang didengarnya atau yang diulanginya. Bicara spontannya dan menamai
lancar, tetapi parafasik seperti afasia jenis Wernicke. Sesekali ada pasien yang menderita
kombinasi dari afasia transkortikal motorik dan sensorik. Pasien ini mampu mengulangi
kalimat yang panjang, juga dalam bahasa asing, dengan tepat. Mudah mencetuskan repetisi
pada pasien ini, dan mereka cenderung menjadi ekholalia (mengulang apa yang didengarnya).
Gambaran klinik afasia sensorik transkortikal:
Keluaran (output) lancar (fluent)
Pemahaman buruk
Repetisi baik
Ekholalia
Komprehensi auditif dan membaca terganggu
Defisit motorik dan sensorik jarang dijumpai
Didapatkan defisit lapangan pandang di sebelah kanan.
Gambaran klinik afasia motorik transkortikal:
Keluaran tidak lancar (non fluent)
Pemahaman (komprehensi) baik
Repetisi baik
Ungkapan-ungkapan singkat
Parafasia semantik
Ekholalia
Gambaran klinik afasia transkortikal campuran:
Tidak lancar (nonfluent)
Komprehensi buruk
Repetisi baik
Ekholalia mencolok
Afasia transkortikal disebabkan oleh lesi yang luas, berupa infark berbentuk bulan sabit, di
dalam zona perbatasan antara pembuluh darah serebral mayor (misalnya di lobus frontal
antara daerah arteri serebri anterior dan media). Afasia transkortikal motorik terlihat pada lesi
di perbatasan anterior yang menyerupai huruf C terbalik (gambar 9-1). Lesi ini tidak
mengenai atau tidak melibatkan korteks temporal superior dan frontal inferior (area 22 dan 44
dan lingkungan sekitar) dan korteks peri sylvian parietal. Korteks peri sylvian yang utuh ini
dibutuhkan untuk kemampuan mengulang yang baik.
Penyebab yang paling sering dari afasia transkortikal ialah:
Anoksia sekunder terhadap sirkulasi darah yang menurun, seperti yang dijumpai pada
henti-jantung (cardiac arrest).
Oklusi atau stenosis berat arteri karotis.
Anoksia oleh keracunan karbon monoksida.
Demensia.
Afasia anomik. Ada pasien afasia yang defek berbahasanya berupa kesulitan dalam
menemukan kata dan tidak mampu menamai benda yang dihadapkan kepadanya. Keadaan ini
disebut sebagai afasia anomik, nominal atau amnestik. Berbicara spontan biasanya lancar dan
kaya dengan gramatika, namun sering tertegun mencari kata dan terdapat parafasia mengenai
nama objek.
Gambaran klinik alasia anomik:
Keluaran lancar
Komprehensi baik
Repetisi baik
Gangguan (defisit) dalam menemukan kata.
Banyak tempat lesi di hemisfer dominan yang dapat menyebabkan afasia anomik, dengan
demikian nilai lokalisasi jenis afasia ini terbatas. Anomia dapat demikian ringannya sehingga
hampir tidak terdeteksi pada percakapan biasa atau dapat pula demikian beratnya sehingga
keluaran spontan tidak lancar dan isinya kosong. Prognosis untuk penyembuhan bergantung
kepada beratnya defek inisial. Karena output bahasa relatif terpelihara dan komprehensi
lumayan utuh, pasien demikian dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik daripada jenis
afasia lain yang lebih berat.
Afasia dapat juga terjadi oleh lesi subkortikal, bukan oleh lesi kortikal saja. Lesi di talamus,
putamen-kaudatus, atau di kapsula interna, misalnya oleh perdarahan atau infark, dapat
menyebabkan afasia anomik. Mekanisme terjadinya afasia dalam hal ini belum jelas,
mungkin antara lain oleh berubahnya input ke serta fungsi korteks di sekitarnya.
Bentuk
Afasia


Ekspresi Komprehensi
verbal
Repetisi Menamai Komprehe
nsi
membaca
Menulis Lesi
Ekspresi
(Broca)
Tak lancar Terlatif terpelihara Terganggu Terganggu Bervariasi Terganggu Frontal
inferior
posterior
Reseptif
(wernickl
e)
Lancar Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Temporal
superior
inferior
(area
wernickle)
Global Tak lancar Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Fronto
temporal
Konduksi Lancar Relatif terpelihara Terganggu Terganggu Bervariasi Terganggu Fasikulus
arkutus,
gyrus
supramargi
nal
Nominal Lancar Relatif terperlihara Terpelihara Terganggu Bervariasi Bervariasi Girus
angulus,
tempral
superior
posterior
Trankorti
kal motor
Tak lancar Relatif terpelihara Terpelihara Terganggu Bervariasi Terganggu Peri silvian
anterior
Transkort
ikal
sensorik
Lancar Terganggu terpelihara Terganggu Terganggu Terganggu Peri silvian
posterior








Klasifikasi Afasia
Dasar untuk mengklasifikasi afasia beragam, diantaranya ada yang mendasarkan kepada:
1. Manifestasi klinik
2. Distribusi anatomi dari lesi yang bertanggung jawab bagi defek
3. Gabungan pendekatan manifestasi klinik dengan lesi anatomik







Gambar 1. Area pengaturan bahasa pada otak. Lesi pada area ini akan menyebabkan afasia


Berdasarkan manifestasi klinik, afasia dapat dibedakan atas:
- Afasia tidak lancar atau non-fluent
- Afasia lancar atau fluent
Berdasarkan lesi anatomik, afasia dapat dibedakan berdasarkan:
- Sindrom afasia peri-silvian
- Afasia Broca (motorik, ekspresif)
- Afasia Wernicke (sensorik, reseptif)
- Afasia konduksi
Sindrom afasia daerah perbatasan (borderzone)
- Afasia transkortikal motorik
- Afasia transkortikal sensorik
- Afasia transkortikal campuran
Sindrom afasia subkortikal
- Afasia talamik
- Afasia striatal
Sindrom afasia non-lokalisasi
- Afasian anomik
- Afasia global
Sebagai tambahan, ada yang disebut dengan parafasia. Parafasia ialah mensubstitusi kata.
Ada 2 jenis parafasia, yaitu parafasia semantik (verbal) dan parafasia fonemik (literal).
Parafasia semantik ialah mensubstitusi satu kata dengan kata lain, misalnya kucing dengan
anjing. Parafasia fonemik ialah mensubstitusi suatu bunyi dengan bunyi lain, misalnya
bir dengan kir.

Diagnosis
Diagnosis afasia ialah berdasarkan tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada pemeriksaan
fisik dan kejiwaan. Sedangkan pemeriksaan tambahan lainnya dilakukan untuk mengetahui
penyebab kerusakan otaknya

Penatalaksanaan Medis
DASAR-DASAR REHABIL1TASI
3,5

Bina wicara (speech therapy) pada afasia didasarkan pada :
1. Dimulai seawal mungkin. Segera diberikan bila keadaan umum pasien sudah
memungkinkan pada fase akut penyakitnya.
2. Dikatakan bahwa bina wicara yang diberikan pada bulan pertama sejak mula sakit
mempunyai hasil yang paling baik.
3. Hindarkan penggunaan komunikasi non-linguistik (seperti isyarat).
4. Program terapi yang dibuat oieh terapis sangat individual dan tergantung dari latar
belakang pendidikan, status sosial dan kebiasaan pasien.
5. Program terapi berlandaskan pada penurnbuhan motivasi pasien untuk mau belajar (re-
learning) bahasanya yang hilang. Memberikan stimulasi supaya pasien metnberikan
tanggapan verbal. Stimuli dapat berupa verbal, tulisan atau pun taktil. Materi yang teiah
dikuasai pasien perlu diulang-ulang(repetisi).
6. Terapi dapat diberikan secara pribadi dan diseling dengan terapi kelompok dengan pasien
afasi yang lain.
7. Penyertaan keluarga dalam terapi sangat mutlak.
Prinsip umum dari terapi wicara adalah:
Terlepas dari jenis terapi afasia yang digunakan, hasilnya akan lebih baik jika intensitas terapi
ditingkatkan. Dengan kata lain, hasil terapi akan lebih baik jika pasien melakukan beberapa
sesi terapi selama beberapa hari dibandingkan dengan melakukan banyak sesi terapi dalam
sehari dengan jumlah hari yang lebih banyak pula. Efektivitas terapi afasia akan meningkat
jika terapis menggunakan berbagai bentuk stimulus sensori. Sebagai contoh, stimulus audio
dalam bentuk musik, dan stimulus visual dalam bentuk gambar-gambar, serta lukisan. Jenis
stimulus ini sebaiknya digunakan secara rutin selama mengikuti sesi terapi afasia.
Peningkatan kesulitan dalam praktek latihan tes berbahasa selama mengikuti sesi terapi akan
memberikan hasil yang lebih baik.
4

Berikut merupakan beberapa bentuk terapi afasia yang paling sering digunakan.
Terapi kognitif linguistik. Bentuk terapi ini menekankan pada komponen- komponen
emosional bahasa. Sebagai contoh, beberapa latihan akan mengharuskan pasien untuk
menginterpretasikan karakteristik dari suara dengan nada emosi yang berbeda-beda. Ada juga
yang meminta pasien mendeskripsikan arti kata seperti kata "gembira." Latihan-latihan
seperti ini akan membantu pasien mempraktekkan kemampuan komprehensif sementara tetap
fokus pada pemahaman komponen emosi dari bahasa.
Program stimulus. Jenis terapi ini menggunakan berbagai modalitas sensori. Termasuk
gambar-gambar dan musik. Program ini diperkenalkan denngan tingkat kesukaran yang
meningkat dari tingkat yang mudah ke tingkat yang sulit.
Stimulation-Fascilitation Therapy. Jeni terapi afasia ini lebih fokus pada semantik (arti) dan
sintaksis (sususan kalimat) dari bahasa. Stimulus utama yang digunakan selama terapi adalah
stimulus audio. Prinsip terapi ini yaitu, peningkatan kemampuan berbahasa akan lebih baik
jika dilakukan dengan pengulangan.
Terapi kelompok (group therapy). Dalam terapi ini, pasien disediakan konteks sosial untuk
mempraktekkan kemampuan berkomunikasi yang telah mereka pelajari selama sesi pribadi.
Selain itu, mereka juga akan mendapatkan umpan balik dari para terapis dan pasien lainnya.
Hal ini bisa juga dilakukan dengan anggota keluarga. Efeknya akan sama sekaligus juga
mempererat komunikasi pasien dengan orang-orang tercinta mereka.
PACE (Promoting Aphasic's Communicative Effectiveness). Ini merupakan bentuk terapi
pragmatik yang paling terkenal. Jenis terapi afasia ini bertujuan meningkatkan kemampuan
berkomunikasi dengan menggunakan percakapan sebagai alatnya. Dalam terapi ini, pasien
akan terlibat percakapan dengan terapis. Untuk menstimulus komunikasi yang spontan, jenis
terapi ini akan menggunakan lukisan-lukisan, gambar, serta benda-benda visual. Benda-benda
ini akan digunakan oleh pasien sebagai sumber ide untuk dikomunikasikan dalam
percakapan. Pasien dan terapi secara bergiliran akan menyampaikan ide-ide mereka.
Transcranial Magnetic Stimulation (TMS). Terapi ini dilakukan dengan mendekatkan magnet
langsung ke area otak yang diduga menghambat pemulihan kemampuan berbahasa setelah
stroke. Dengan menekan fungsi dari bagian otak tersebut, maka pemulihan diharapakan akan
semakin cepat. Beberapa studi telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Tetapi, masih
diperlukan studi yang lebih besar untuk membuktikan efektivitas terapi ini.

E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan kelancaran berbicara. Seseorang disebut berbicara , lancar bila bicara
spontannya lancar, tanpa tertegun-tegun untuk mencari Kata yang diinginkan. Kelancaran
berbicara verbal merupakan refleksi dari efisiensi menemukan kata. Bila kemampuan ini
diperiksa secara khusus ilnpat dideteksi masalah berbahasa yang ringan pada lesi otak yang
ringan iiImii pada demensia dini. Defek yang ringan dapat dideteksi melalui tes knlnncaran,
menemukan kata yaitu jumlah kata tertentu yang dapat dlproduksi selama jangka waktu yang
terbatas. Misalnya menyebutkan sebanyak-banyaknya nama jenis hewan selama jangka
waktu satu menit, ulnu menyebutkan kata-kata yang mulai dengan huruf tertentu, misalnya
huruf S atau huruf B dalam satu menit.
Menyebutkan nama hewan : Pasien disuruh menyebutkan sebanyak mungkin nama hewan
dalam waktu 60 detik. Kita catat jumlahnya serta kesalahan yang ada, misalnya parafasia.
Skor : Orang normal umumnya mampu menyebutkan 18 - 20 nama hewan selama 60 detik.
Usia merupakan faktor yang berpengaruh secara bermakna dalam tugas ini. Orang normal
yang berusia di bawah 69 tahun akan mampu menyebutkan 20 nama hewan dengan simpang
baku.
Kemampuan ini menurun menjadi 17 (+ 2,8) pada usia 70-an, dan menjadi 15,5 ( 4,8) pada
usia 80-an. Bila skor kurang dari 13 pada orang normal di bawah usia 70 tahun, perlu
dicurigai adanya gangguan dalam kelancaran berbicara verbal. Skor yang dibawah 10 pada
usia dibawah 80 tahun, sugestif bagi masalah penemuan kata. Pada usia 85 tahun skor 10
mungkin merupakan batas normal bawah.
Menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu: Kepada pasien dapat juga diberikan
tugas menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu, misalnya huruf S, A atau P. Tidak
termasuk nama orang atau nama kota. Skor: Orang normal umumnya dapat menyebutkan
sebanyak 36 - 60 kata, tergantung pada usia, inteligensi dan tingkat pendidikan. Kemampuan
yang hanya sampai 12 kata atau kurang untuk tiap huruf di atas merupakan petunjuk adanya
penurunan kelancaran berbicara verbal. Namun kita harus hati-hati monginterpretasi tes ini
pada pasien dengan tingkat pendidikan tidak melebihi tingkat Sekolah Menengah Pertama.
Pemeriksaan pemahaman (komprehensi) bahasa lisan
Kemampuan pasien yang afasia untuk memahami sering sulit dlnllal Pemeriksaan klinis
disisi-ranjang dan tes yang baku cenderung kurang cukup dan dapat memberikan hasil yang
menyesatkan. Langkah terakhir dapat digunakan untuk mengevaluasi pemahaman
(komprehensi) secara klinis, yaitu dengan cara konversasi, suruhan, pilihan (ya atau tidak),
dan menunjuk.Konversasi. Dengan mengajak pasien bercakap-cakap dapat dinilai
kemampuannya memahami pertanyaan dan suruhan yang diberikan oleh pemeriksa.
Suruhan. Serentetan suruhan, mulai dari yang sederhana (Satu langkah) sampai pada yang
sulit (banyak langkah) dapat digunakan untuk menilai kemampuan pasien memahami. Mula-
mula suruh pasien bertepuk tangan, kemudian tingkatkan kesulitannya, misalnya: mengambil
pinsil, letakkan di kotak dan taruh kotak di atas kursi (suruhan ini dapat gagal pada pasien
dengan apraksia dan gangguan motorik, walaupun pemahamannya baik; hal ini harus
diperhatikan oleh pemeriksa).
Pemeriksa dapat pula mengeluarkan beberapa benda, misalnya kunci, duit, arloji, vulpen,
geretan. Suruh pasien menunjukkan salah sntu benda tersebut, misalnya arloji. Kemudian
suruhan dapat dlpermilit, misalnya: tunjukkan jendela, setelah itu arloji, kemudian vulpen.
Pasion tanpa afasia dengan tingkat inteligensi yang rata-rata mampu menunjukkan 4 atau
lebih objek pada suruhan yang beruntun. Pasien dengan Afasia mungkin hanya mampu
menunjuk sampai 1 atau 2 objek saja. Jadi, pada pemeriksaan ini pemeriksa (dokter)
menambah jumlah objek yang hams ditunjuk, sampai jumlah berapa pasien selalu gagal.
Ya atau tidak. Kepada pasien dapat juga diberikan tugas berbentuk pertanyaan yang dijawab
dengan "ya" atau "tidak". Mengingat kemungkinan salah ialah 50%, jumlah pertanyaan harus
banyak, paling sedikit 6 pertanyaan, misalnya :
"Andakah yang bernama Santoso?"
"Apakah AC dalam ruangan ini mati ?"
"Apakah ruangan ini kamar di hotel ?"
"Apakah diluar sedang hujan?"
"Apakah saat ini malam hari?"
Menunjuk. Kita mulai dengan suruhan yang mudah difahami dan kemudian meningkat pada
yang lebih sulit. Misalnya: "tunjukkan lampu", kemudian "tunjukkan gelas yang ada
disamping televisi".
Pemeriksaan sederhana ini, yang dapat dilakukan di sisi-ranjang, kurang mampu menilai
kemampuan pemahaman dengan baik sekali, namun dapat memberikan gambaran kasar
mengenai gangguan serta beratnya. Korelasi anatomis dengan komprehensi adalah kompleks.
Pemeriksaan repetisi (mengulang)
Kemampuan mengulang dinilai dengan menyuruh pasien mengulang, mula-mula kata yang
sederhana (satu patah kata), kemudian ditingkatkan menjadi banyak (satu kalimat). Jadi, kita
ucapkan kata atau angka, dan kemudian pasien disuruh mengulanginya.
Cara pemeriksaan
Pasien disuruh mengulang apa yang diucapkan oleh pemeriksa. Mula-mula sederhana
kemudian lebih sulit. Contoh:
- Map
- Bola
- Kereta
- Rumah Sakit
- Sungai Barito
- Lapangan Latihan
- Kereta api malam
- Besok aku pergi dinas
- Rumah ini selalu rapi
- Sukur anak itu naik kelas
- Seandainya si Amat tidak kena influensa
Pemeriksa harus memperhatikan apakah pada tes repetisi ini didapatkan parafasia, salah
tatabahasa, kelupaan dan penambahan.
Orang normal umumnya mampu mengulang kalimat yang mengandung 19 suku-kata.
Banyak pasien afasia yang mengalami kesulitan dalam mengulang (repetisi), namun ada juga
yang menunjukkan kemampuan yang baik dalam hal mengulang, dan sering lebih baik
daripada berbicara spontan.
Umumnya dapat dikatakan bahwa pasien afasia dengan gangguan kemampuan mengulang
mempunyai kelainan patologis yang melibatkan daerah peri-sylvian. Bila kemampuan
mengulang terpelihara, maka daerah -sylvian bebas dari kelainan patologis.
Umumnya daerah ekstra-sylvian yang terlibat dalam kasus afasia tanpa defek repetisi terletak
di daerah perbatasan vaskuler (area water-shed).
Pemeriksaan menamai dan menemukan kata
2

Kemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi herbahasa. Hal ini sedikit-
banyak terganggu pada semua penderita afasia. Dengan demikian, semua tes yang digunakan
untuk menilai afasia mencakup penilaian terhadap kemampuan ini. Kesulitan menemukan
kata erat kaitannya dengan kemampuan menyebut nama (menamai) dan hal ini disebut
anomia.
Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan nama objek, bagian dari objek,
bagian tubuh, warna, dan bila perlu gambar geometrik, simbol matematik atau nama suatu
tindakan. Dalam hal ini, perlu digunakan aitem yang sering digunakan (misalnya sisir, arloji)
dan yang jarang ditemui atau digunakan (misalnya pedang). Banyak penderita afasia yang
masih mampu menamai objek yang sering ditemui atau digunakan dengan cepat dan tepat,
namun lamban dan tertegun, dengan sirkumlokusi (misalnya, melukiskan kegunaannya) atau
parafasia pada objek yang jarang dijumpainya.
Bila pasien tidak mampu atau sulit menamai, ia dapat dibantu dengan memberikan suku kata
pemula atau dengan menggunakan kalimat penuntun. Misalnya: pisau. Kita dapat membantu
dengan suku kata pi Atau dengan kalimat: "kita memotong daging dengan ". Yang penting
kita nilai ialah sampainya pasien pada kata yang dibutuhkan, kemampuannya (memberi nama
objek). Ada pula pasien yang mengenal objek dan mampu melukiskan kegunaannya
(sirkumlokusi) namun tidak dapat menamainya. Misalnya bila ditunjukkan kunci ia
mengatakan : "Anu ... itu...untuk masuk rumah...kita putar".
Cara pemeriksaan. Terangkan kepada pasien bahwa ia akan disuruh menyebutkan nama
beberapa objek juga warna dan bagian dari objek tersebut. Kita dapat menilai dengan
memperlihatkan misalnya arloji, bolpoin, kaca mata, kemudian bagian dari arloji (jarum
menit, detik), lensa kaca mata. Objek atau gambar objek berikut dapat digunakan: Objek yang
ada di ruangan: meja, kursi, lampu, pintu, jendela. Bagian dari tubuh: mata, hidung, gigi, ibu
jari, lutut
Warna: merah, biru, hijau, kuning, kelabu.
Bagian dari objek: jarum jam, lensa kaca mata, sol sepatu, kepala ikat pinggang, bingkai kaca
mata.
Perhatikanlah apakah pasien dapat menyebutkan nama objek dengan cepat atau lamban atau
tertegun atau menggunakan sirkumlokusi, parafasia, neologisme dan apakah ada perseverasi.
Disamping menggunakan objek, dapat pula digunakan gambar objek.
Bila pasien tidak mampu menyebutkan nama objek, dapatkah ia memilih nama objek tersebut
dari antara beberapa nama objek.
Gunakanlah sekitar 20 objek sebelum menentukan bahwa tidak didapatkan gangguan.
Area bahasa di posterior ialah area kortikal yang terutama bertugas memahami bahasa lisan.
Area ini biasa disebut area Wernicke; mengenai batasnya belum ada kesepakatan. Area
bahasa bagian frontal berfungsi untuk produksi bahasa. Area Brodmann 44 merupakan area
Broca.
Penelitian dengan PET (positron emission tomography) tentang meta-bolisme glukosa pada
penderita afasia, menyokong spesialisasi regional tugas ini. Namun demikian, pada hampir
semua bentuk afasia, tidak tergantung pada jenisnya, didapat pula bukti adanya
hipometabolisme di daerah temporal kiri. Penelitian ini memberi kesan bahwa sistem bahasa
sangat kompleks secara anatomi-fisiologi, dan bukan merupakan kumpulan dari pusat-pusat
kortikal dengan tugas-tugas terbatas atau terpisah-pisah atau sendiri-sendiri.

Pemeriksaan sistem bahasa
Evaluasi sistem bahasa harus dilakukan secara sistematis. Perlu diperhatikan bagaimana
pasien berbicara spontan, komprehensi (pemahaman), repetisi (mengulang) dan menamai
(naming).
Membaca dan menulis harus dinilai pula setelah evaluasi bahasa lisan. Selain itu, perlu pula
diperiksa sisi otak mana yang dominan, dengan melihat penggunaan tangan (kidal atau
kandal).
Dengan melakukan penilaian yang sistematis biasanya dalam waktu yang singkat dapat
diidentifikasi adanya afasia serta jenisnya. Pasien yang afasia selalu agrafia dan sering
aleksia, dengan demikian pengetesan membaca dan menulis dapat dipersingkat. Namun
demikian, pada pasien yang tidak afasia, pemeriksaan membaca dan menulis harus dilakukan
sepenuhnya, karena aleksa atau agrafia atau keduanya dapat terjadi terpisah (tanpa afasia).
Pemeriksaan penggunaan tangan (kidal atau kandal)
Penggunaan tangan dan sisi otak yang dominan mempunyai kaitan yang erat Sebelum menilai
bahasa perlu ditentukan sisi otak mana yang dominan, dengan melihat penggunaan tangan.
Mula-mula tanyakan kepadn p irsion apakah ia kandal (right handed) atau kidal. Banyak
orang kidal telah illnjarkan sejak kecil untuk menulis dengan tangan kanan. Dengan
ilcmikian, mengobservasi cara menulis saja tidak cukup untuk menentukan npakah seseorang
kandal atau kidal. Suruh pasien memperagakan tangan mana yang digunakannya untuk
memegang pisau, melempar bola, dsb.
Tanyakan pula apakah ada juga kecenderungannya menggunakan tangan yang lainnya.
Spektrum penggunaan tangan bervariasi dari kandal yang kuat; kanan sedikit lebih kuat dari
kiri; kiri sedikit lebih kuat dan kanan dan kidal yang kuat. Ada individu yang kecenderungan
kandal dan kidalnya hampir sama (ambi-dextrous)
Pemeriksaan berbicara spontan
2

Langkah pertama dalam menilai berbahasa ialah mendengarkan bagaimana pasien berbicara
spontan atau bercerita. Dengan mendengnrknn pasien berbicara spontan atau bercerita, kita
dapat
memperoleh data yang sangat berharga mengenai kemampuan pasien berbahasa. Cara Ini
tidak kalah pentingnya dari tes-tes bahasa yang formal.
Kita dapat mengajak pasien berbicara spontan atau berceritera melalui pertanyaan berikut :
Coba ceriterakan kenapa anda sampai dirawat di rumah sakit. Coba ceritakan mengenai
pekerjaan anda serta hobi anda.
Bila mendengarkan pasien berbicara spontan atau bercerita, perhatikan:
1. Apakah bicaranya pelo, cadel, tertegun-tegun, disprosodik (irama, ritme, intonasi bicara
terganggu). Pada afasia sering ada gangguan ritme dan irama (disprosodi).
2. Apakah ada afasia, kesalahan sintaks, salah menggunakan kata (parafasia, neologisme),
dan perseverasi. Perseverasi sering dijumpai pada afasia.
Parafasia. Parafasia ialah men-substitusi kata. Kita mengenai 2 jenis parafasia, yaitu parafasia
semantik (verbal) dan parafasia fonomik (literal). Parafasia semantik ialah mensubstitusi satu
kata dengan kata yang lain misalnya: "kucing" dengan "anjing". Parafasia fonemik, ialah
mensubstitusi suatu bunyi dengan bunyi yang lain, misalnya bir dengan kir, balon dengan
galon.
Afasia motorik yang berat biasanya mudah dideteksi. Pasien berbicaranya sangat terbatas
atau hampir tidak ada; mungkin ia hanya mengucapkan: "ayaa, ayaa, aaai, Hi".
Sesekali ditemukan kasus dimana pasien sangat terbatas kemampuan bicaranya, namun bila
ia marah, beremosi tinggi, keluar ucapan makian yang cara mengucapkannya cukup baik.
Afasia ialah kesulitan dalam memahami dan/atau memproduksi bahasa yang disebabkan oleh
gangguan (kelainan, penyakit) yang melibatkan hemisfer otak.
Didapatkan berbagai jenis afasia, masing-masing mempunyai pola abnormalitas yang dapat
dikenali, bila kita berbincang dengan pasien serta melakukan beberapa tes sederhana.
Pada semua pasien dengan afasia didapatkan juga gangguan membaca dan menulis (aleksia
dan agrafia)
Pada afasia semua modalitas berbahasa sedikit-banyak terganggu, yaitu bicara spontan,
mengulang (repetisi), namai (naming), pemahaman bahasa, membaca dan menulis.
Pada lesi di frontal, pasien tidak bicara atau sangat sedikit bicara, dan mengalami kesulitan
atau memerlukan banyak upaya dalam berbicara. Selain itu gramatikanya miskin (sedikit) dan
menyisipkan atau mengimbuh huruf atau bunyi yang salah, serta terdapat perseverasi. Pasien
sadar akan kekurangan atau kelemahannya. Pemahaman terhadap bahasa lisan dan tulisan
kurang terganggu dibandingkan dengan kemampuan mengemukakan isi pikiran. Menulis
sering tidak mungkin atau sangat terganggu, baik motorik menulis maupun isi tulisan.
Pada lesi di temporo-parietal pasien justru bicara terlalu banyak, cara mengucapkan baik dan
irama kalimat juga baik, namun didapat gangguan berat pada, mem-formulasi dan menamai
sehingga kalimat yang diucapkan tidak mempunyai arti. Bahasa lisan dan tulisan tidak atau
kurang difahami, dan menulis secara motorik terpelihara, namun isi tulisan tak menentu.
Pasien tidak begitu sadar akan kekurangannya.
Afasia jenis yang disebutkan pertama disebut afasia Broca, atau afasia motorik atau afasia
ekspresif. Afasia jenis ke dua disebut jenis Wernicke atau sensorik atau reseptif.
Kadang dijumpai pasien dengan gangguan yang berat pada semua modalitas bahasa. Pasien
sama sekali tidak bicara atau hanya bicara sepatah kata atau frasa, yang selalu diulang-ulang,
dengan artikulasi (pengucapan) dan irama yang buruk dan tidak bermakna.
Hal ini disebut afasia global. Lesi biasanya melibatkan semua daerah bahasa di sekitar fisura
sylvii.
Kadang afasia ditandai oleh kesulitan menemukan nama, sedangkan modalitas lainnya relatif
utuh. Pasien mengalami kesulitan menamai sesuatu benda. Pada pasien demikian kita dengar
ungkapan seperti : "anu, itu, kau, kau tahu kan, ya anu itu". Afasia amnestik ini sering
merupakan sisa afasia yang hampir pulih, pada afasia yang tersebut terdahulu, namun dapat
juga dijumpai pada berbagai gangguan otak yang difus. Afasia amnestik mempunyai nilai
lokalisasi yang kecil.
Adakalanya digunakan kata afasia campuran. Sebetulnya kata ini kurang tepat, karena di
klinik semua jenis afasia adalah campuran, hanya bidang tertentu lebih menonjol atau lebih
berat.
Berbagai tes wawancara, membaca, menulis, menggambar, ataupun melakukan tugas-tugas
tertentu bias digunakan untuk mengetahui terjadinya kerusakan otak, dan tinggal dicocokkan
dengan pemeriksaan CT-Scan pada otak. Pemeriksaan ini sangat penting untuk terapi dan
rehabilitasi pasien.
Pemeriksaan tambahan
Pemeriksaan laboratorium, hanya diperlukan tergantung dari penyebab kerusakan otaknya.
Diagnosis afasia terutama berasal dari pemeriksaan klinik dan kejiwaan karena afasia
merupakan tanda klinis.
2

Pemeriksaan radiologi, biasanya dilakukan dalam hal untuk melokalisasi lesi dan
mendiagnosa penyebab kerusakan otak. CT (Computed Tomography) Scan efektif untuk
mengetahui adanya perdarahan otak atau stroke iskemik yang sudah lebih dari 48 jam. MRI
(Magnetic Resonance Imaging) mampu mendeteksi stroke sesegera mungkin sampai 1 jam
setelah onset. Penggunaan kontras mungkin perlu
untuk mendeteksi tumor.
PROGNOSA
Prognosa hidup untuk penderita afasia tergantung pada penyebab afasia. Suatu tumor otak
dapat dihubungkan dengan angka harapan hidup yang kecil, sedangkan afasia dengan stroke
minor mungkin memiliki prognosis yang sangat baik. Prognosis hidup ditentukan oleh
penyebab afasia tersebut.
Prognosis kesembuhan kemampuan berbahasa bervariasi, tergantung pada ukuran lesi dan
umur serta keadaan umum pasien. Secara umum, pasien dengan tanda klinis yang lebih
ringan memiliki kemungkinan sembuh yang lebih baik. Afasia Broca secara fungsional
memiliki prognosis yang lebih baik daripada afasia Wernicke. Terakhir, afasia akibat
penyakit yang tidak dapat atau sulit disembuhkan, misalnya tumor otak, memiliki tingkat
prognosis yang buruk.
1




BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Proses bicara melibatkan dua stadium utama aktivitas mental: (1) membentuk buah
pikiran untuk diekspresikan dan memilih kata-kata yang akan digunakan, kemudian (2)
mengatur motorik vokalisasi dan kerja yang nyata dari vokalisasi itu sendiri. Pembentukan
buah pikiran dan bahkah pemilihan kata-kata merupakan fungsi area asosiasi sensorik otak.
Sekali lagi, area Wemicke pada bagian posterior girus temporalis superior merupakan hal
yang paling penting untuk kemampuan ini. Oleh karena itu, penderita yang mengalami afasia
Wernicke atau afasia global tak mampu memformulasikan buah pikirannya untuk
dikomunikasikan. Atau, bila lesinya tak begitu parah, maka penderita masih mampu
memfontiulasikan pikirannya namun tak mampu menyusun kata-kata yang sesuai secara
berurutan dan bersama-sama untuk mengekspresikan pikirannya. Seringkali, penderita fasih
berkata-kata namun kata-kata yang dikeluarkannya tidak beraturan.
3

Afasia Motorik Akibat Hilangnya Area Broca. Kadang-kadang, penderita mampu
menentukan apa yang ingin dikatakannya, dan mampu bervokalisasi, namun tak dapat
mengatur sistem vokalnya untuk menghasilkan kata-kata selain suara ribut. Efek ini, disebut
afasia motorik, disebabkan oleh kerusakan pada area bicara Broca, yang terletak di regio
prefrontal dan fasial premotorik korteks kira-kira 95 % kelainannya di hemisfer. Oleh karena
itu, pola keterampilan motorik yang dipakai untuk mengatur laring, bibir, mulut, sistem
respirasi, dan otot-otot lainnya yang dipakai untuk bicara dimulai dari daerah ini.



DAFTAR PUSTAKA
1. Snell, Ricard S, Neuroanatomi klinik ed 2, Jakarta : ECG, 1996
2. Lumlantoling, S.M., Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental, Jakarta : Balai
penerbit fakultas kedokteran UI, 2004
3. Harsono (ed). Buku Ajar Neurologi Klinis Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia, Yogyakarta : UGM, 2005.
4. Duus Peter. Diagnosis Topik Neurologi, Jakarta : ECG, 1996.
5. Carperito, Lynda J., Buku saku diagnosa keperawatan-ed-8, Jakarta : ECG, 2000

You might also like