You are on page 1of 32

i

Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)




Kemitraa
n Sektor
Agribisnis
Hendra
Hendra (G211 12 015)
Program Studi Agibisnis
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian
Fakultas Pertanian
Universitas Hasanuddin
Kemitraan Sektor Agribisnis
Hendra (G211 12 015)
KEMITRAAN SEKTOR AGRIBISNIS
2014
Menjelaskan tentang kemitraan agribisnis
dan kondisinya saat ini disertai dengan model kemitraan
pada agribisnis komoditi tembakau

ii
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang
selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Atas izin-Nya jualah sehingga
penulis mampu menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Penulisan makalah ini ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Manajemen Agribinis dengan judul Kemitraan Sektor Agribinis. Makalah
ini menjelasakan tentang kemitraan dalam bidang secara umum, kondisi kemitraan
dalam bidang pertanian saat ini, dan dilengkapi dengan contoh model kemitraan
pada salah satu komoditi pertanian yaitu kemitraan pada komoditi tembakau .
Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak akan selesai tanpa bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam merampungkan
makalah ini.
Penulis juga menyadari bahwa makalh ini tidak luput dari berbagai
kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik demi
kesempurnaan dan perbaikan untuk masa mendatang.

Makassar, Maret 2014


Penulis



iii
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN ........................................................................................ i
KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii
I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Tujuan dan Kegunaan ...................................................................... 2
II. DESKRIPSI KEMITRAAN ................................................................... 3
2.1 Pengertian Kemitraan ...................................................................... 3
2.2 Unsur-Unsur Kemitraan .................................................................. 4
2.3 Tujuan Kemitraan............................................................................ 7
2.4 Bentuk Kemitraan ........................................................................... 9
2.5 Pola Kemitraan ................................................................................ 10
III. KERAGAAN KEMITRAAN AGRIBISNIS .......................................... 14
3.1 Peraturan Pemerintah ...................................................................... 14
3.2 Kinerja Kelembagaan Kemitraan Usaha Pertanian ........................... 15
IV. MODEL KEMITRAAN DALAM AGRIBISNIS TEMBAKAU ............ 19
4.1 Kemitraan Sebagai Wahana Bersinergi ............................................ 19
4.2 Keragaan Kemitraan Tembakau Saat Ini .......................................... 20
4.3 Harapan Model Kemitraan Agribisnis Tembakau Yang Ideal .......... 24
V. PENUTUP ............................................................................................. 27
5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 27
5.2 Saran ............................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA



1
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendekatan pembangunan pertanian telah mengalami perubahan yang
mendasar yaitu dari pendekatan komoditi menjadi pendekatan agribisnis. Hal ini
sejalan dengan penegasan paradigma baru pendekatan pembangunan pertanian
yang bertujuan membangun sistem agribisnis yang kuat sekaligus pemerataan
sehingga berkesinambungan antar sektor dan antar wilayah. Visi pembangunan
pertanian berdasarkan landasan tersebut adalah terwujudnya kehidupan sejahtera
khususnya petani, melalui pembangunan sistem agribisnis dan usaha-usaha
agribisnis berdaya saing, berkelanjutan dan terdesentralisasi.
Sejalan dengan visi pembangunan pertanian yang bertujuan membangun
sistem agribisnis yang kuat berkesinambungan antar sektor dan antar wilayah
diatas maka sangat diperlukan teknologi pertanian untuk pengembangan
komoditas yang berorentasi pasar serta sistem pelayanan bagi petani baik dalam
hal teknik budidaya serta penyediaan modal usaha (kredit) dan penyuluhan
pertanian sehingga diharapkan dapat meningkatkan komoditas-komoditas
pertanian di era pasar bebas.
Mengingat usaha pertanian memerlukan permodalan yang besar serta
kondisi petani Indonesia yang sangat lemah baik dalam hal manajemen dan
profesionalisme serta terbatasnya akses terhadap permodalan, teknologi dan
jaringan pemasaran maka diperlukan peran serta pengusaha besar (pemilik modal)
untuk membantu mengembangkan usahatani petani kecil dalam bentuk
kemitraan. Kemitraan usaha merupakan suatu bentuk kerjasama yang tepat
untuk mengatasi permasalahan petani tersebut. Kemitraan dikembangkan atas
dasar aspek ekonomis dan dengan pembinaan untuk menghasilkan manfaat
jangka panjang. Dampak dari program kemitraan diharapkan tidak hanya
menguntungkan para pelaku ekonomi atau perusahaan saja melainkan juga
harus membawa dampak positif bagi seluruh kehidupan petani. Hubungan
kemitraan diharapkan dapat menyelesaikan segala permasalahan seperti dalam
hal permodalan, teknologi, saprodi, penetapan harga serta pemasaran hasil dengan
mendapat bantuan dari pihak luar.

2
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)
Berdasarkan uraian tersebut, maka disusunlah maklah ini sebagi sebuah
sumber informasi mengenai seluk beluk kemitraan agribisnis, sehingga pentinya
kemitraan dalam agribisnis dapat dipahami dan implementasi penerapan kemitraan
dapat berjalan dengan lancar yang mana saling menguntungkan diantara
pihak-pihak yang bermitra.
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan pengertian, unsur-unsur, tujuan, bentuk, dan pola kemitraan
dalam agribisnis.
2. Mendeskripsikan keragaan/kondisi kekinian kemitraan dalam bidang
pertania/agribisnis.
3. Menguraikan salah satu model kemitraan komoditi pertanian, dalam hal ini
adalah tembakau
Adapun kegunaan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Menjadi acuan bagi dosen yang bersangkutan untuk memberikan nilai kepada
penulis.
2. Menciptakan bahan bacaan yang membahas tentang kemitraan pada sektor
agribisnis.
3. Menjadi sumber referensi bagi pihak lain untuk penulisan karya ilmiah
lainnya.



3
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)
II. DESKRIPSI KEMITRAAN
2.1 Pengertian Kemitraan
Terdapat adanya perbedaan pendapat diantara para ahli mengenai
pengertian kemitraan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata mitra
adalah teman, kawan kerja, pasangan kerja, rekan. Kemitraan artinya perihal
hubungan atau jalinan kerjasama sebagai mitra.
Menurut Muhammad Jafar Hafsah (1999) kemitraan adalah suatu strategi
bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu
untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan
saling membesarkan. Karena merupakan strategi bisnis maka keberhasilan
kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara yang bermitra
dalam menjalankan etika bisnis. Sedangkan menurut Keint L. Fletcher (1987)
Partnership is the relation which subsists between persons carrying on a
business in common with a view of profit.
Kesemua definisi tersebut di atas, ternyata belum ada satu definisi yang
memberikan definisi secara lengkap tentang kemitraan. Hal tersebut disebabkan
karena para sarjana mempunyai titik fokus yang berbeda dalam memberikan
definisi tentang kemitraan. Menurut Keint L. Fletcher dan Kamus Besar Bahasa
Indonesia memandang kemitraan sebagai suatu jalinan kerjasama usaha untuk
tujuan memperoleh keuntungan. Berbeda dengan Muhammad Jafar Hafsah yang
memandang kemitraan sebagai suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua
pihak atau lebih, dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan.
Tetapi dengan adanya perbedaan pendapat diantara para sarjana ini maka akan
saling melengkapi diantara pendapat sarjana yang satu dengan yang lainnya, dan
apabila dipadukan maka akan menghasilkan definisi yang lebih sempurna,
bahwa kemitraan merupakan jalinan kerjasama usaha yang merupakan strategi
bisnis yang dilakukan antara dua pihak atau lebih dengan prinsip saling
membutuhkan, saling memperbesar dan saling menguntungkan.
Adapun definisi kemitraan menurut peraturan perundang-undangan yang
telah dibakukan adalah menurut Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995 tentang
Usaha Kecil, Pasal 1 angka 8 dan menurut Peraturan Pemerintah Nomor. 44

4
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)
Tahun 1997 tentang kemitraan, Pasal 1 angka 1. Menurut peraturan perundang-
undangan yang telah dibakukan adalah menurut Undang-Undang Nomor. 9 Tahun
1995 tentang Usaha Kecil, Pasal 1 Kemitraan adalah kerja sama usaha antara
Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau dengan Usaha Besar disertai
pembinaan dan Pengembangan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar dengan
memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling
menguntungkan. Sedangkan Menurut Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun
1997 tentang kemitraan, Pasal 1 angka 1.Kemitraan adalah kerja sama usaha
antar a Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan
memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling
menguntungkan.
Pada dasarnya konsep kemitraan (partnership) adalah jenis entitas bisnis yang
mana mitra (pemilik) saling berbagi keuntungan atau kerugian bisnis. Kemitraan
sering digunakan diperusahaan untuk tujuan perpajakan, sebagai struktur kemitraan
umumnya tidak dikenakan pajak atas laba sebelum didistribusikan kepada para
mitra (yaitu tidak ada pajak dividen dikenakan). Namun, tergantung pada struktur
kemitraan dan yurisdiksi yang mana ia beroperasi, pemilik kemitraan mungkin
terkena kewajiban pribadi yang lebih besar daripada mereka yang akan memegang
saham dari suatu perusahaan. Pada sistem hukum perdata, kemitraan biasa diikat
dengan kontrak (perjanjian) antara individu-individu yang dengan semangat
kerjasama setuju untuk melaksanakan suatu usaha, berkontribusi dalam
menggabungkan modal, pengetahuan atau kegiatan dan berbagi keuntungan. Mitra
mungkin memiliki perjanjian kemitraan, atau deklarasi kemitraan dan di beberapa
wilayah hukum seperti perjanjian mungkin terdaftar dan tersedia untuk inspeksi
publik. Di banyak negara, kemitraan juga dianggap sebagai hukum badan,
meskipun sistem hukum yang berbeda membuat kesimpulan yang berbeda tentang
hal ini.
2.2 Unsur-Unsur Kemitraan
Pada dasarnya kemitraan itu merupakan suatu kegiatan saling
menguntungkan dengan pelbagai macam bentuk kerjasama dalam menghadapi
dan memperkuat satu sama lainnya. Julius Bobo (2003) menyatakan, bahwa

5
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)
tujuan utama kemitraan adalah untuk mengembangkan pembangunan yang
mandiri dan berkelanjutan (Self-Propelling Growth Scheme) dengan landasan
dan struktur perekonomian yang kukuh dan berkeadilan dengan ekonomi rakyat
sebagai tulang punggung utamanya.
Berkaitan dengan kemitraan seperti yang telah disebut di atas, maka
kemitraan itu mengandung beberapa unsur pokok yang merupakan kerjasama usaha
dengan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling
memerlukan yaitu :
1. Kerjasama Usaha
Dalam konsep kerjasama usaha melalui kemitraan ini, jalinan
kerjasama yang dilakukan antara usaha besar atau menengah dengan
usaha kecil didasarkan pada kesejajaran kedudukan atau mempunyai
derajat yang sama terhadap kedua belah pihak yang bermitra. Ini berarti
bahwa hubungan kerjasama yang dilakukan antara pengusaha besar atau
menengah dengan pengusaha kecil mempunyai kedudukan yang setara
dengan hak dan kewajiban timbal balik sehingga tidak ada pihak yang
dirugikan, tidak ada yang saling mengekspoitasi satu sama lain dan
tumbuh berkembangnya rasa saling percaya di antara para pihak dalam
mengembangkan usahanya.
2. Antara Pengusaha Besar atau Menengah Dengan Pengusaha Kecil
Dengan hubungan kerjasama melalui kemitraan ini diharapkan
pengusaha besar atau menengah dapat menjalin hubungan kerjasama yang
saling menguntungkan dengan pengusaha kecil atau pelaku ekonomi
lainnya, sehingga pengusaha kecil akan lebih berdaya dan tangguh
didalam berusaha demi tercapainya kesejahteraan.
3. Pembinaan dan Pengembangan
Pada dasarnya yang membedakan hubungan kemitraan dengan
hubungan dagang biasa oleh pengusaha kecil dengan pengusaha besar
adalah adanya bentuk pembinaan dari pengusaha besar terhadap
pengusaha kecil atau koperasi yang tidak ditemukan pada hubungan
dagang biasa. Bentuk pembinaan dalam kemitraan antara lain pembinaan
didalam mengakses modal yang lebih besar, pembinaan manajemen usaha,

6
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)
pembinaan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), pembinaan
manajemen produksi, pembinaan mutu produksi serta menyangkut pula
pembinaan didalam pengembangan aspek institusi kelembagaan, fasilitas
alokasi serta investasi.
4. Prinsip Saling Memerlukan, Saling Memperkuat dan Saling
Menguntungkan
Menurut John L. Mariotti dalam Muhammad Jafar Hafsah (1999)
kemitraan merupakan suatu rangkaian proses yang dimulai dengan
mengenal calon mitranya, mengetahui posisi keunggulan dan kelemahan
usahanya. Pemahaman akan keunggulan yang ada akan menghasilkan
sinergi yang bedampak pada efisiensi, turunnya biaya produksi dan
sebagainya. Penerapannya dalam kemitraan, perusahaan besar dapat
menghemat tenaga dalam mencapai target tertentu dengan menggunakan
tenaga kerja yang dimiliki oleh perusahaan yang kecil. Sebaliknya
perusahaan yang lebih kecil, yang umumnya relatif lemah dalam hal
kemampuan teknologi, permodalan dan sarana produksi melalui teknologi
dan sarana produksi yang dimiliki oleh perusahaan besar. Dengan
demikian sebenarnya ada saling memerlukan atau ketergantungan diantara
kedua belah pihak yang bermitra.
Dalam kemitraan usaha, sebelum kedua belah pihak memulai untuk
bekerjasama, maka pasti ada sesuatu nilai tambah yang ingin diraih oleh
masing-masing pihak yang bermitra. Nilai tambah ini selain diwujudkan
dalam bentuk nilai ekonomi seperti peningkatan modal dan keuntungan,
perluasan pangsa pasar, tetapi juga ada nilai tambah yang non ekonomi
seperti peningkatan kemapuan manajemen, penguasaan teknologi dan
kepuasan tertentu. Keinginan ini merupakan konsekwensi logis dan
alamiah dari adanya kemitraan. Keinginan tersebut harus didasari sampai
sejauh mana kemampuan untuk memanfaatkan keinginan tersebut dan
untuk memperkuat keunggulan-keunggulan yang dimilikinya, sehingga
dengan bermitra terjadi suatu sinergi antara para pelaku yang bermitra
sehingga nilai tambah yang diterima akan lebih besar.

7
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)
Dengan motivasi ekonomi tersebut maka prinsip kemitraan dapat
didasarkan pada saling memperkuat. Kemitraan juga mengandung makna
sebagai tanggung jawab moral, hal ini disebabkan karena bagaimana
pengusaha besar atau menengah mampu untuk membimbing dan membina
pengusaha kecil mitranya agar mampu (berdaya) mengembangkan usahanya
sehingga menjadi mitra yang handal dan tangguh didalam meraih
keuntungan untuk kesejahteraan bersama. Hal ini harus disadari juga oleh
masingmasing pihak yang bermitra yaitu harus memahami bahwa mereka
memiliki perbedaan, menyadari keterbatasan masing-masing, baik yang
berkaitan dengan manajemen, penguasaan Ilmu Pengetahuan maupun
penguasaan sumber daya, baik Sumber Daya Alam maupun Sumber Daya
Manusia (SDM), dengan demikian mereka harus mampu untuk saling isi
mengisi serta melengkapi kekurangankekurangan yang ada.
Salah satu maksud dan tujuan dari kemitraan usaha adalah win-
win solution partnership kesadaran dan saling menguntungkan. Pada
kemitraan ini tidak berarti para partisipan harus memiliki kemampuan
dan kekuatan yang sama, tetapi yang essensi dan lebih utama adalah
adanya posisi tawar yang setara berdasarkan peran masing-masing. Pada
kemitraan usaha terutama sekali tehadap hubungan timbal balik, bukan
seperti kedudukan antara buruh dan majikan, atau terhadap atasan kepada
bawahan sebagai adanya pembagian resiko dan keuntungan proporsional,
disinilah letak kekhasan dan karakter dari kemitraan usaha tersebut.
Berpedoman pada kesejajaran kedudukan atau memiliki derajat yang
setara bagi masing-masing pihak yang bermitra, maka tidak ada pihak
yang tereksploitasi dan dirugikan tetapi justru terciptanya rasa saling
percaya diantara para pihak sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan
keuntungan atau pendapatan melalui pengembangan usahanya
2.3 Tujuan Kemitraan
Untuk menghasilkan tingkat efisiensi dan produktivitas yang optimal
diperlukan sinergi antara pihak yang memiliki modal kuat, teknologi maju,
manajemen modern dengan pihak yang memiliki bahan baku, tenaga kerja dan

8
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)
lahan. Sinergi ini dikenal dengan kemitraan. Kemitraan yang dihasilkan
merupakan suatu proses yang dibutuhkan bersama oleh pihak yang bermitra
dengan tujuan memperoleh nilai tambah. Hanya dengan kemitraan yang saling
menguntungkan, saling membutuhkan dan saling memperkuat, dunia usaha baik
kecil maupun menengah akan mampu bersaing. Adapun secara lebih rinci
tujuan kemitraan meliputi beberapa aspek, antara lain yaitu :
1. Tujuan dari Aspek Ekonomi
Dalam kondisi yang ideal, tujuan yang ingin dicapai dalam
pelaksanaan kemitraan secara lebih kongkrit yaitu:
a. Meningkatkan pendapataan usaha kecil dan masyarakat
b. Meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan
c. Meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan usaha
kecil
d. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, wilayah dan
nasional
e. Memperluas kesempatan kerja
f. Meningkatkan ketahanan ekonomi nasional.
2. Tujuan dari Aspek Sosial dan Budaya
Kemitraan usaha dirancang sebagai bagian dari upaya
pemberdayaan usaha kecil. Pengusaha besar berperan sebagaai faktor
percepatan pemberdayaan usaha kecil sesuai kemampuan dan kompetensinya
dalam mendukung mitra usahanya menuju kemandirian usaha, atau dengan
perkataan lain kemitraan usaha yang dilakukan oleh pengusaha besar
yang telah mapan dengan pengusaha kecil sekaligus sebagai tanggung
jawab sosial pengusaha besar untuk ikut memberdayakan usaha kecil
agar tumbuh menjadi pengusaha yang tangguh dan mandiri.
Adapun sebagai wujud tanggung jawab sosial itu dapat berupa
pemberian pembinaan dan pembimbingan kepada pengusaha kecil, dengan
pembinaan dan bimbingan yang terus menerus diharapkan pengusaha kecil
dapt tumbuh dan berkembang sebagai komponen ekonomi yng tangguh
dan mndiri. Dipihak lain dengan tumbuh berkembangnya kemitraan usaha
ini diharapkan akan disertai dengan tumbuhnya pusat-pusat ekonomi baru

9
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)
yang semakin berkembang sehingga sekaligus dapat merupkan upaya
pemerataan pendapatan sehingga dapat mencegah kesenjangan sosial..
3. Tujuan dari Aspek Teknologi
Secara faktual, usaha kecil biasanya mempunyai skala usaha yang
kecil dari sisi modal, penggunaan tenaga kerja, maupun orientasi
pasarnya. Demikian pula dengan status usahanya yang bersifat pribadi
atau kekeluargaan; tenaga kerja berasal dari lingkungan setempat;
kemampuan mengadopsi teknologi, manajemen, dan adiministratif sangat
sederhana; dan struktur permodalannya sangat bergantung pada modal tetap.
Sehubungan dengan keterbatasan khususnya teknologi pada usaha kecil,
maka pengusaha besar dalam melaksanakan pembinaan dan pengembangan
terhadap pengusaha kecil meliputi juga memberikan bimbingan teknologi.
Teknologi dilihat dari arti kata bahasanya adalah ilmu yang berkenaan
dengan teknik. Oleh karena itu bimbingan teknologi yang dimaksud
adalah berkenaan dengan teknik berproduksi untuk meningkatkan
produktivitas dan efisiensi.
4. Tujuan dari Aspek Manajemen
Manajemen merupakan proses yang dilakukan oleh satu atau lebih
individu untuk mengkoordinasikan berbagai aktivitas lain untuk mencapai
hasil-hasil yang tidak bisa dicapai apabila satu individu bertindak sendiri.
Sehingga ada 2 (dua) hal yang menjadi pusat perhatian yaitu : Pertama,
peningkatan produktivitas individu yang melaksnakan kerja, dan Kedua,
peningkatan produktivitas organisasi di dalam kerja yang dilaksanakan.
Pengusaha kecil yang umumnya tingkat manajemen usaha rendah, dengan
kemitraan usaha diharapkan ada pembenahan manajemen, peningkatan
kualitas sumber daya manusia serta pemantapan organisasi.
2.4 Bentuk Kemitraan
Bentuk dasar kemitraan adalah kemitraan umum, di mana semua mitra
mengelola bisnis dan secara pribadi bertanggung jawab atas hutangnya. Bentuk lain
yang telah dikembangkan di sebagian besar negara adalah kemitraan terbatas(LP),
di mana mitra terbatas untuk mengelola bisnis dan dengan imbalan terbatas. Mitra

10
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)
Umum mungkin memiliki kewajiban bersamaatau beberapa kewajiban bersama dan
tergantung pada keadaan, tanggung jawab mitra terbatas pada investasi mereka
dalam kemitraan tersebut. Mitra diam (silent partner) adalah mitra yang tetap
berbagi dalam keuntungan dan kerugian pada usaha, tetapi tidak terlibat dalam
mengelola usaha atau keterlibatan mereka dalam usaha tidak diketahui umum.
Mitra ini biasanya hanya menyediakan modal.
2.5 Pola-Pola Kemitraan
Dalam rangka merealisasikan kemitraan sebagai wujud dari keterkaitan
usaha, maka diselenggarakan melalui pola-pola yang sesuai dengan sifat dan
tujuan usaha yang dimitrakan adalah sebagai berikut :
1. Pola Inti Plasma
Dalam pola inti plasma, Usaha Besar dan Usaha Menengah
bertindak sebagai inti membina dan mengembangkan Usaha Kecil sebagai
plasma. Selanjutnya menurut penjelasan Pasal 27 huruf (a) Undang-
Undang Nomor. 9 Tahun 1995, yang dimaksud dengan pola inti plasma
adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah
atau usaha besar sebagai inti membina dan mengembangkan usaha kecil
yang menjadi plasmanya dalam menyediakan lahan, penyediaan sarana
produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi,
perolehan, penguasaan dan peningktan teknologi yang diperlukan bagi
peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha. Kerjasma inti plasma akan
diatur melalui suatu perjanjian kerjasama antara inti dan plasma. Dalam
program inti plasma ini diperlukan keseriusan dan kesiapan, baik pada
pihak usaha kecil selaku pihak plasma yang mendapat bantuan dalam
upaya mengembangkan usahanya, maupun pada pihak usaha besar atau
usaha menengah yang mempunyai tanggungjawab sosial untuk membina
dan mengembangkan usaha kecil sebagai mitra usaha untuk jangka
panjang.
Selain itu juga sebagai suatu upaya untuk mewujudkan kemitraan
usaha pola inti plasma yang mampu memberdayakan ekonomi rakyat
sangat dibutuhkan adanya kejelasan peran masingmasing pihak yang

11
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)
terlibat. Adapun pihak-pihak terdebut antara lain : (1) Pengusaha Besar
(Pemrakarsa), (2) Pengusaha Kecil (Mitra Usaha) dan (3) Pemerintah.
Peran pengusaha besar selaku (inti) sebagaimana tersebut di atas tentunya
juga harus diimbangi dengan peran usaha kecil (plasma) yaitu
meningkatkan kemampuan manajemen dan kinerja usahanya yang
berkelanjutan serta memanfaatkan dengan sebaik-baiknya berbagai bentuk
pembinaan dan bantuan yang diberikan oleh usaha besar dan atau usaah
menengah. Selanjutnya untuk peran pemerintah akan dibahas lebih lanjut
pada sub bab yang tersendiri.
2. Pola Subkontrak
Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (b) Undang-Undang Nomor. 9
Tahun 1995 bahwa pola subkontr ak adalah hubungan kemitraan antara
Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di
dalamnya Usaha Kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh
Usaha Menengah atau Usaha Besar sebagai bagian dari produksinya.
Selanjutnya menurut Soewito (1992), pola subkontraktor adalah suatu
sistem yang menggambarkan hubungan antara usaha besar dengan usaha
kecil atau menengah, dimana usaha besar sebagai perusahaan induk
(parent firma) meminta kepada usaha kecil atau menengah selaku
subkontraktor untuk mengerjakan seluruh atau sebagian pekerjaan
(komponen) dengan tanggung penuh pada perusahaan induk.
Dapat pula dikatakan bahwa dalam pola subkontrak, usaha kecil
memproduksi barang dan atau jasa yang merupakan komponen atau bagian
produksi usaha menengah atau usaha besar. Oleh karena itu, maka melalui
kemitraan ini usaha menengah dan atau usaha besar memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada usaha kecil untuk membeli bahan
baku yang diperlukan secara berkesinambungan dengan harga yang wajar.
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dalam kemitraan dengan pola
subkontrak, bagi perusahaan kecil antara lain adalah dapat menstabilkan
dan menambah penjualan, kesempatan untuk mengerjakan sebagian
produksi dan atau komponen, bimbingan dan kemampuan teknis produksi
atau manajemen, perolehan, pengusaan dan peningkatan teknologi yang

12
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)
diperlukan. Sedangkan bagi perusahaan besar adalah dapat memfokuskan
perhatian pada bagian lain, memenuhi kekurangan kapasitas, memperoleh
sumber pasokan barang dengan harga yang lebih murah daripada impor,
selain itu juga dapat meningkatkan produktivitas dan kesempatan kerja
baik pada perusahaan kecil maupun perusahaan besar.
3. Pola Dagang Umum
Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (c) Undang-Undang Nomor. 9
Tahun 1995, Pola Dagang Umum adalah hubu ngan kemitraan antara
Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di
dalamnya Usaha Menengah atau Usaha Besar memasarkan hasil produksi
Usaha Kecil atau Usaha Kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh
Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya.Dengan demikian maka
dalam pola dagang umum, usaha menengah atau usaha besar memasarkan
produk atau menerima pasokan dari usaha kecil mitra usahanya untuk
memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha
besar mitranya.
4. Pola Keagenan
Berdasarkan penjelasan Pasal 27 huruf (e) Undang-Undang Nomor
9 Tahun 1995, pola keagenan adalah hubungan kemitraan, yang di
dalamnya Usaha Kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa
Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya. Dalam pola keagenan,
usaha menengah dan atau usaha besar dalam memasarkan barang dan jasa
produknya memberi hak keagenan hanya kepada usaha kecil. Dalam hal ini
usaha menengah atau usaha besar memberikan keagenan barang dan jasa
lainnya kepada usaha kecil yang mampu melaksanakannya. Selanjutnya
menurut Munir Fuady (1997), pola keagenan merupakan hubungan
kemitraan, dimana pihak prinsipal memproduksi atau memiliki sesuatu,
sedangkan pihak lain (agen) bertindak sebagai pihak yang menjalankan
bisnis tersebut dan menghubungkan produk yang bersangkutan langsung
dengan pihak ketiga. Seorang agen bertindak untuk dan atas nama
prinsipal, sehingga pihak prinsipal bertanggungjawab atas tindakan yang
dilakukan oleh seorang agen terhadap pihak ketiga.

13
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)
5. Pola Waralaba
Menurut Penjelasan Pasal 27 Huruf (d) Undang-Undang Nomor. 9
Tahun 1995, Pola Waralaba adalah hubungan kemitraan, yang di
dalamnya pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek
dagang, dan saluran distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba
dengan disertai bantuan bimbingan manajemen.Berdasarkan pada
ketentuan seperti tersebut di atas, dalam pola waralaba pemberi waralaba
memberikan hak untuk menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau
penemuan atau ciri usaha kepada penerima waralaba. Dengan demikian,
maka dengan pola waralaba ini usaha menengah dan atau usaha besar
yang bertindak sebagai pemberi waralaba menyediakan penjaminan dan
atau menjadi penjamin kredit yang diajukan oleh usaha kecil sebagai
penerima waralaba kepada pihak ketiga.
6. Bentuk-Bentuk Lain
Selain daripada pola-pola seperti yang telah disebutkan di atas,
seiring dengan semakin berkembangnya lalu lintas usaha (bisnis)
dimungkinkan pula dalam perjalanannya nanti adanya timbul bentuk
pola-pola lain yang mungkin saat ini atau pada saat yang mendatang
akan atau sudah berkembang tetapi belum dibakukan.














14
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)
III. KERAGAAN KEMITRAAN AGRIBISNIS
Lahirnya konsep kerjasama atau usaha kemitraan usaha antara perusahaan
pertanian (BUMN, swasta, koperasi) dengan pertanian rakyat (petani kecil)
didasarkan atas dua argumen. Pertama, adanya perbedaan dalam penguasaan
sumberdaya (lahan dan kapital) antara masyarakat industrial di perkotaan
(pengusaha) dengan masyarakat pertanian di pedesaan (petani). Dimana orang kota
dikategorikan mempunyai modal dan pengetahuan, namun kurang dalam
sumberdaya lahan dan tenagakerja, sedangkan di sisi lain orang desa dikategorikan
mempunyai lahan dan tenaga kerja, namun kurang modal dan kemampuan
(ketrampilan). Kedua, adanya perbedaan sifat hubungan biaya per satuan output
dengan skala usaha pada masing-masing subsistem dari sistem agribisnis. Di dalam
subsistem usahatani, skala kecil lebih efisien atau sama efisiennya dengan skala
usaha besar, karena sifat hubungan biaya per satuan output dengan skala usaha
bersifat tetap (constant cost to scale).
Dalam subsistem pemasaran, pengolahan dan pengadaan saprodi, skala
usaha besar lebih efisien dari pada skala kecil, karena sifat hubungan biaya per
satuan output dengan skala usaha bersifat menurun (decreasing cost to scale)
(Sinaga,1987). Dari uraian tersebut memberikan gambaran pentingnya
mewujudkan keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif melalui
strategi kooperatif atau kemitraan usaha.
3.1 Peraturan Pemerintah
Pentingnya aspek kemitraan usaha ini sudah sejak lama disadari tidak hanya
oleh para ahli ekonomi tetapi juga oleh pemerintah, hal antara lain dapat ditelusuri
beberapa kebijakan atau peraturan pemerintah tentang kemitraan usaha. Sejak
pertengahan 1970-an hingga awal 1980-an telah dikeluarkan peraturan-peraturan
tentang kemitraan usaha melalui pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR), sehingga
muncullah PIR-Perkebunan, PIR-Perunggasan, Tambak Inti Rakyat, Tebu Inti
Rakyat, dan kemitraan usaha di bidang hortikultura. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan, secara prinsip kemitraan usaha
tetap diarahkan dapat berlangsung atas dasar norma-norma ekonomi yang berlaku

15
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)
dalam keterkaitan usaha yang saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling
menguntungkan. Kemudian di tindak lanjuti melaui SK Mentan No. 940/Kpts/OT.
210/10/1997 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, dikatakan bahwa tujuan
kemitraan usaha pertanian antara lain untuk meningkatkan pendapatan,
kesinambungan usaha, meningkatkan kualitas sumberdaya mitra, peningkatan skala
usaha, serta dalam rangka menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha
kelompok mitra yang mandiri.
Dalam SK Mentan tersebut juga dikemukakan tentang pola-pola kemitraan
usaha yang dapat dilaksanakan, antara lain pola : inti-plasma, sub-kontrak, dagang
umum, keagenan, atau bentuk-bentuk lain, misalnya Kerjasama Operasional
Agribisnis (KOA); dalam pengawasan dan pengendalian melibatkan Badan
Agribisnis, Ditjen Lingkup Deptan, BIP, serta Dinas Teknis Lingkup Deptan. SK
Mentan No. 944/Kpts/OT. 210/10/1997 tentang Pedoman Penetapan Tingkat
Hubungan Kemitraan Usaha Pertanian, tingkat hubungan kemitraan usaha dibobot
dan dinilai berdasarkan indikator manajemendan manfaat.
3.2 Kinerja Kelembagaan Kemitraan Usaha Pertanian
Untuk melihat bagaimana kinerja kelembagaan kemitraan usaha dalam
bidang pertanian berikut ini adalah beberapa contoh kasus dari berbagai
komoditas pertanian:
1. Kasus Pada Komoditas Padi
Implemtasi peraturan tersebut memunculkan berbagai kelembagaan
kemitraan usaha. Pada komoditas padi terjadi hubungan kemitraanantara PT
Pertani dengan kelompok tani padi dalam penyediaan bahan baku bibit padi
bersertifikat, seperti yang dijumpai di daerahdaerah sentra produksi padi di
Majalengka, JawaBarat; Klaten, Jawa Tengah; Kediri, Jawa Timur; Sidrap,
Sulawesi Selatan, dan Agam,Sumatera Barat. Di samping itu PT Pertani juga
bekerjasama dengan kelompok tani kasus di Sidrap, Enrekang dan Pinrang
dalam penyediaan bahan baku gabah untuk menghasilkan beras berkualitas
(branded rice).Selain itu, juga dijumpai kelembagaan kemitraan usaha antara
petani dan kelompok kerja pemanen (pengusaha power thresher) yang
dilengkapi power thresherdi pedesaan Sulawesi Selatan.

16
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)
2. Kasus Pada Komoditas Palawija
Pada komoditas palawija dijumpai kelembagaan kemitraan usaha
antara Perusahaan Pembibitan (breeding Farm) dari berbagai perusahaan
seperti Arjuna BC, Charoen Phokpand, dengan petani baik secara individu
maupun kelompok dalam menyediakan bahan baku bibit jagung hibrida dan
jagung composit. Di samping itu juga dijumpai kemitraan usaha antara
Perusahan Pakan Ternak dengan petani baik secara individu maupun
kelompok tani melalui Pola PIR, seperti yang di jumpai di pedesaan Jawa
Timur dan Lampung. Sementara itu, untuk komoditas kedelai pernah terjalin
beberapa model kemitraan usaha namun tidak berkelanjutan.
3. Kasus Pada Komoditas Hortikultura
Pengembangan kelembagaan kemitraan usaha pada komoditas
hortikultura (Ditjenhort, 2001) mengemukakan terdapat lima skenario
pengembangan model usaha hortikultura yaitu : (1) usaha perorangan; (2)
usaha patungan; (3) usaha koperasi, dan (4) kerjasama atau kemitraan; dan
(5) model manajemen satu atap. Dalam Model Kemitraan PetaniPengusaha,
pengushapengusaha besar, pengusaha pengolahan hasil, eksportir atau
pedagang hasil hortikultura melakukan kemitraan dengan petani produsen,
dengan membentuk kesepakatan harga dan kualitas pembelian produk.
Kemitraan dilakukan dengan kelompok tani, sehingga kegiatan produksi
dapat dilakukan secara lebih terkoordinir dalam satu kawasan atau hamparan
dengan skala usaha tertentu. Namun dalam prakteknya dijumpai kontrak
kerjasama baik secara individu maupun kelompok. Seperti yang dijumpai
kerjasama usaha antara Perusahaan Daerah Provinsi Bali dengan petani
penggarap, PT Bayu Jaya Kusuma dengan kelompok tani Strabery di
Sukasada, Buleleng, PT Putra Agro Sejati dengan petani secara individu
untuk komoditas lobak, pueleng, gobo, dan wortel, serta ubijalar dan PTSelect
Tani dengan petani kentang, kubis, cabe merah dan tomat di Tanah Karo,
Sumatera Utara. Di samping itu, juga terdapat kemitraan usaha dalam
kerangka pengembangan Sub Terminal Agribisnis, seperti STA di Bali dan
Jawa Barat baik untuk memasok pasal lokal, pasar induk, konsumen hotel dan
restarant.

17
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)
4. Kasus Pada Komoditas Perkebunan
Pola kemitraan usaha dalam bentuk Perusahaan Inti Rakyat (PIR)
dikembangkan pada berbagai komoditas perkebunan Karet, Kopi, Kakao,
Kelapa Sawit, dan Tebu. Salah satu Pola Kemitraan Usaha yang berhasi
hingga kini adala pada PIR kelapa sawit. Beberapa faktor utama yang
menyebabkan keberhasilan PIR Kelapa Sawit adalah (Erwidodo, dkk., 1995).
Usaha komoditas perkebunan memiliki economic of scalesehingga
pengembangan agribisnis dengan pola PIR yang mencakup areal relatif luas
mampu menekan ongkos produksi, dengan kata lain meningkatkan
keuntungan; (2) Pelaksanaan PIR perkebunan pada umumnya dilakukan pada
lahan transmigrasi yang baru dibangun, sehingga dapat dirancang lebih
mudah ukran usaha yang menguntungkan perusahaan inti yang menjadi mitra
petani; dan (3) Perusahaan inti tertarik untuk melakukan kemitraan dengan
petani karena pasar bahan baku bagi industri pengolahan yang dibangunnya
dapat dikuasai, dan adanya pembagian resiko antara perusahaan inti, petani
dan pemerintah. Sedang bagi petani, kemitraan tersebut menguntungkan
karena komoditas perkebunan yang dikembangkan menjadi miliki jangkauan
pasar lebih luas akibat dikembangkannya pabrik pengolahan dan pasar
produk yang dihasilkan petani lebih terjamin.
5. Kasus Pada Komoditas Peternakan
Dalam operasionalnya pada komoditas peternakan dengan mengambil
kasus-kasus kemitraan yang terjadi pada peternakan ayam ras petelur dan
pedaging di Jawa Barat dijumpai adanya Pola Inti Rakyat Perunggasan (PIR-
Perunggasan). Hasil kajian Saptana (1999) dikenal tiga bentuk PIR-
Perunggasan, yaitu: (1) pola PIR dengan plasma kesepakatan, yaitu jaminan
penyediaan sapronak dan pemasaran hasil; (2) pola PIR dengan plasma rasio,
yaitu kerjasama inti plasma dengan sistem rasio harga, antaraa harga pakan,
doc dan obat-obatan dengan harga jual hasil; dan (3) pola PIR dengan plasma
mandiri (tanpa kesepakatan dan rasio harga). Dengan dikeluarkannya
Keppres 22/1990 yang pada dasarnya berisi pembebasan skala usaha,
membuka kesempatan bagi pemodal besar untuk bergerak dalam bidang

18
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)
budidaya dengan syarat 65% dari produksinya ditujukan ekspor (PMA) dan
melakukan pembinaan terhadap peternakan rakyat melalui kemitraan usaha.
Bersadarkan uraian diatas merefleksikan beberapa hal sebagai berikut:
(1) pada periode sebelum terjadinyua krisis moneter di Jawa Barat terdapat
kemitraan usaha ayam ras dalam bentuk KINAK PRA dan KINAK PIR baik
untuk ayam ras petelur maupun pedaging; (2) setelah terjadinya krisis
moneter hanya teedapat kemitraan usaha ayam ras dalam bentuk KINAK
PRA untuk ayam ras pedaging saja; (3) terdapat penurunan secara tajam baik
perusahaan peternakan sebagai inti yaitu turun 25 persen, jumlah peternak
plasma yang terlibat turun sebesar 40 persen dan jumlah terrnak yang
diusahakan turun seebesar 60 persen untuk KINAK PRA ayam ras pedaging.
Hasil kajian Saptana (1999) diperoleh hasil bahwa kemitraan usaha
setelah terjadinya krisis mengalami kemerosotan baik dari segi jumlah
maupun kualitasnya. Pola kemitraan yang semula dalam bentuk KINAK PRA
atau PIR kesepakatan mengalami pergeseran kearah pola kerjasama sewa
kandang (contract farm) sekaligus jasa tenaga kerja. Artinya peternak hanya
sebagai pengelola ayasm ras dengan memperoleh imbalan uang sewa
kandang sebesar Rp. 50-75/ekor dan upah kerja Rp. 200-225/ekor, sehingga
peternak memperoleh penghasilan sebesar Rp. 250-300/ekor per siklus.
Sebagianhanya disewakan saja dimana perusahaan peternakan menaruh
buruh dikandang yang disewanya. Sementara itu pola kemitraan usaha
KINAK PIR pada kenyataannya hanya merupakan buruh ataau karyawan
yang dibayar secara bulanan, meskipun dalam perjanjian ada hak atas
pemilikan kandang setelah kredit dari Bank dimana perusahaan peternakan
(inti) sebagai penjamin








19
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)
IV. MODEL KEMITRAAN
DALAM AGRIBISNIS TEMBAKAU
Bisnis tembakau sangat menguntungkan sehingga semakin banyak petani
yang membudidayakan tembakau. Selain itu makin banyak juga yang tertarik
menjadi pedagang tembakau, dari yang bermodal kecil sampai yang bermodal
sangat besar. Pada saat itu petani merasa terbantu dalam memasarkan tembakau,
sedangkan industri rokok juga merasa terbantu dalam memperoleh bahan baku
yang dibutuhkan. Bahkan kemudian banyak pedagang yang menjadi kepercayaan
industri rokok.
Dari waktu ke waktu situasi berkembang ke arah yang kurang kondusif.
Kepentingan lain para pelaku bisnis tembakau mulai masuk, terutama untuk
memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, tetapi mengabaikan kepentingan pihak
lain. Berbagai cara ditempuh untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar,
antara lain dengan menekan harga di tingkat petani dan mencampur atau
memalsukan tembakau sehingga menurunkan mutunya.
Situasi tersebut menimbulkan dampak negatif bagi petani maupun industri
rokok. Petani merugi karena harga jual tembakaunya rendah, sedangkan industri
merugi karena tembakau yang diperoleh tidak sesuai dengan kebutuhan. Untuk
menjamin kecukupan dan stabilitas mutu tembakau yang dibutuhkan, beberapa
industri rokok tergerak terjun langsung ke lapangan untuk melakukan
pembenahan.
4.1 Kemitraan Sebagai Wahana Bersinergi
Untuk membenahi situasi yang tidak kondusif tersebut beberapa industri
rokok menjalin kemitraan dengan petani. Industri rokok merupakan konsumen
atau pengguna tembakau, sedangkan petani menjadi produsen tembakau. Model
kemitraan diharapkan dapat menjadi jembatan kepentingan tim bal balik,
hubungan antara keduanya bersifat mutualistik sehingga saling menguntungkan
kedua belah pihak. Dalam kemitraan agribisnis tembakau, peran industri rokok
sangat penting karena dapat menjadi dinamisator dan motivator. Kemitraan akan
menjadi wahana dan pemandu bagi petani agar menghasilkan tembakau dalam
jumlah dan mutu yang sesuai dengan kebutuhan industri yang bermitra. Kemitraan

20
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)
juga dapat menjadi wahana untuk mengintroduksi inovasi teknologi kepada petani.
Dari pengamatan di lapangan dapat diketahui ketidakmampuan petani
menerapkan inovasi teknologi dan menghasilkan produk yang baik seringkali
terkait dengan keterbatasan modal untuk melakukan usaha tani secara baik.
Sebagian besar petani sulit mengakses lembaga atau sumber pembiayaan yang
ada, khususnya perbankan. Belum ada skim pembiayaan dengan bunga murah
untuk tanaman perkebunan, khususnya tembakau. Melalui kemitraan, industri
rokok dapat membantu menyediakan modal yang terjangkau bagi petani mitra.
Pengembalian modal usaha dilakukan setelah atau bersamaan dengan penjualan
hasil panennya.
4.2 Keragaan Kemitraan Tembakau Saat Ini
Sejak lama beberapa industri rokok telah melakukan kemitraan dengan
petani. Realisasi di lapangan menunjukkan pola yang digunakan sangat
beragam. Pada pertemuan di Bandungan, Jawa Tengah sekitar tahun 2004, salah
satu industri rokok mempresentasikan tentang kemitraan yang telah dilakukan.
Pada kesempatan tersebut juga dinyatakan bahwa pola kemitraan yang dilakukan
oleh beberapa industri rokok tidak mungkin diseragamkan karena dipengaruhi
juga oleh budaya setempat, tingkat pemahaman petani dan beberapa faktor
lain. Industri rokok yang bermitra mengharapkan pemerintah berperan sebagai
fasilitator, tetapi tidak menyeragamkan pola kemitraan yang telah ada.
Rasanya keragaman pola kemitraan tersebut tidak menjadi masalah. Tetapi
berdasarkan pengamatan selama ini, kemitraan dalam agribisnis tembakau yang
dilakukan oleh satu-dua industri rokok masih memiliki kelemahan . Demikian
juga di pihak petani, masih banyak hal yang melemahkan pencapaian sasaran
kemitraan. Beberapa kelemahan sistem dalam kemitraan agribisnis tembakau
akan dikemukakan sehingga dapat digunakan sebagai bahan perbandingan untuk
melakukan perbaikan ke depan.
1. Industri yang Bermitra
Faktor penting yang perlu mendapat perhatian adalah kesiapan sumber
daya manusia (SDM), inovasi teknologi, sarana produksi, sistem pembelian,

21
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)
dan sebagai pendukung adalah pembiayaan. Kesiapan beberapa industri
rokok yang bermitra masih sangat bervariasi.
a. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia yang dimaksud dalam pola kemitraan agribisnis
tembakau adalah petugas lapangan. Kesiapan sumber daya manusia
dari industri yang bermitra masih sangat bervariasi, ada yang tidak
memiliki, ada yang memiliki tetapi jumlahnya belum cukup, tetapi
ada juga yang telah mampu menyediakan dalam jumlah cukup.
Selain jumlah SDM, hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah
belum meratanya kapasitas atau kemampuan petugas lapangan yang
dimiliki oleh industri.
b. Inovasi Teknologi
Sumber inovasi teknologi bermacam-macam, dapat berasal dari
institusi penelitian pemerintah, swasta, luar negeri, atau yang
dihasilkan oleh industri rokok sendiri. Beberapa industri yang bermitra
sangat aktif mencari dan mengaplikasikan inovasi teknologi kepada
petani mitranya. Beberapa industri lainnya tidak melakukan hal
tersebut sehingga petani bebas melakukan pengelolaan tanamannya
sesuai dengan kemampuan masing masing. Hal ini terjadi terutama
pada industri yang melakukan kemitraan tetapi tidak menyediakan
petugas lapangan. Akibatnya tembakau yang dihasilkan oleh petani
mitranya sangat bervariasi.
c. Sarana Produksi
Heterogenitas tanaman dan tercampurnya varietas merupakan
masalah yang krusial di beberapa daerah penghasil tembakau,
terutama tembakau lokal. Hal tersebut dapat diatasi antara lain dengan
menyediakan benih bermutu dan varietas yang sesuai dengan
kebutuhan industri yang bermitra. Sayang hanya beberapa industri
rokok yang peduli tentang masalah ini, sedangkan lainnya tidak
berupaya untuk melakukan hal serupa. Sudah tentu produktivitas dan
mutu tembakau yang dihasilkan oleh petani mitra juga sangat
bervariasi. Sarana lain yang juga berpengaruh besar terhadap mutu

22
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)
tembakau adalah pupuk dan pestisida. Saat ini banyak produk pupuk
dan pestisida yang beredar dan tidak teregistrasi. Organisasi dan
manajemen kemitraan yang belum tertata dengan baik, menjad
celah dan peluang pengedar produkproduk semacam itu memasukkan
produknya sebagai paket bagi petani mitra. Beragamnya varietas
dan sarana produksi yang digunakan akan memperbesar variasi produk
yang diperoleh petani mitra.
d. Sistem Pembelian Tembakau
Sistem pembelian tembakau dalam kemitraan oleh beberapa industri
rokok juga sangat bervariasi. Hampir semua industri rokok yang
bermitra telah menyediakan tempat pembelian secara khusus,
namun sistem yang diterapkan berbeda-beda. Penggunaan pedagang
pengumpul (di Madura disebut bandol) memberikan peluang
terjadinya kecurangan sehingga merugikan petani mitra. Dengan
berbagai dalih seperti jumlah yang masuk ke gudang telah terpenuhi,
mutu tidak sesuai, dan sebagainya, maka petani terpaksa menggunakan
jasanya untuk memasukkan tembakau ke gudang mitranya. Dalam
sistem kemitraan demikian, posisi petani tidak jelas dan lemah.
Berbeda dengan sistem yang telah tertata dengan baik, petani dibina
untuk menghasilkan mutu sesuai dengan kebutuhan industri. Dengan
hasil yang dicapai tersebut petani mendapatkan penghargaan dan
mempunyai posisi tawar yang baik sehingga tidak dirugikan. Dalam
sistem kemitraan demikian, kedua belah pihak akan mendapat
keuntungan.
e. Pembiayaan
Telah diungkap di atas bahwa banyak petani mitra yang membutuhkan
modal usaha tani tembakau. Pinjaman modal usaha tani dari industri
yang bermitra akan sangat membantu bagi petani. Jumlah dan sistem
bantuan modal yang dilakukan sangat bervariasi. Beberapa
perusahaan telah merancang agar modal pinjaman tersebut merupakan
salah satu komponen yang tidak harus berlaku selamanya, tetapi
bersifat sementara. Apabila petani menjadi lebih mampu maka

23
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)
bantuan tersebut harus dialihkan ke sumber pendanaan komersial agar
petani tidak menjadi tergantung, tetapi berperilaku sebagai pelaku
bisnis. Beberapa pengusaha lain belum mengarah ke sana sehingga
tidak merangsang petani menjadi lebih profesional dan berperilaku
bisnis serta mandiri.
f. Petani yang Bermitra
Secara umum petani juga mempunyai beberapa kelemahan sehingga
menjadi kendala dalam mengelola usaha tani tembakaunya.
Beberapa diantaranya adalah petani tidak mudah menerima inovasi
teknologi, berpola konsumtif, tidak mempunyai informasi pasar yang
memadai, dan modal usaha tani terbatas.
g. Inovasi Teknologi
Kebanyakan petani melakukan usaha tani tembakau secara
tradisional, berdasarkan pengalaman turun-temurun. Akses terhadap
inovasi teknologi sangat terbatas dan membutuhkan waktu lama
untuk dapat menerima inovasi teknologi. Hal ini terjadi karena petani
khawatir bila mengadopsiteknologi baru menyebabkan produknya
berubah sehingga tidak dapat diterima oleh konsumen, yaitu industri
rokok. Bagi petani yang bermitra akan lebih mudah menerima inovasi
teknologi yang berasal dari industri mitranya karena yakin bahwa
dengan penerapan teknologi tersebut maka tembakau yang dihasilkan
tetap dibeli oleh industri yang mengintroduksi teknologi tersebut.
h. Pola Konsumtif
Hasil yang diperoleh dari usaha tani tembakau menjadi tumpuan bagi
petani. Segala kebutuhan yang besar biasanya dibiayai dari hasil
tembakau, misalnya hajatan, membangun rumah, membeli
kendaraan, dan lain-lain. Dengan demikian maka hasil yang
diperoleh dari tembakau habis untuk biaya tersebut tanpa berpikir
menyisihkan nya untuk modal usaha tani berikutnya. Hal ini
menyebabkan petani selalu kekurangan modal usahatani.
i. Informasi Pasar

24
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)
Pada umumnya petani tidak mempunyai informasi pasar yang
memadai. Informasi tersebut termasuk tentang mutu dan jumlah
tembakau yang dibutuhkan. Dalam sistem kemitraan hal serupa dapat
dialami oleh petani, terutama bila industri yang bermitra tidak memiliki
petugas lapangan atau teknisi. Hal tersebut menjadi sasaran empuk bagi
pelaku bisnis tembakau yang ingin mengambil keuntungan sebesar-
besarnya. Petani tidak dapat membuat perencanaan secara baik
sehingga posisi tawar petani selalu di pihak yang lemah. Kondisi
demikian tidak terjadi bila industri rokok yang bermitra memiliki
petugas lapangan. Para petugas sejak awal telah mengarahkan petani
agar produk yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan industri,
terutama mutunya. Dengan demikian maka petani tidak mengalami
kesulitan dalam memasarkan hasil tembakaunya.
4.3 Harapan Model Kemitraan Agribisnis Tembakau Yang Ideal
Serad (2006) menyatakan bahwa kemitraan antara petani sebagai
produsen dengan industri rokok atau industri hasil tembakau (IHT) sebagai
konsumen adalah kelembagaan bisnis, bukan sosial. Kemitraan dibangun atas
dasar prinsip saling membutuhkan, saling bergantung, dan saling
menguntungkan. Kemitraan juga disertai dengan alih teknologi kepada petani
agar dapat menghasilkan tembakau yang sesuai dengan kebutuhan industri
rokok.Pengalaman menunjukkan bahwa alih teknologi bukan hal yang terlalu
mudah, perlu waktu dan cara pendekatan yang sesuai. Melalui kemitraan, alih
teknologi akan lebih mudah karena ada harapan tertentu dari petani. Dengan
menerapkan teknologi dari industri yang bermitra atau dari sumber teknologi
lainnya, maka produk tembakaunya lebih sesuai dengan yang diinginkan oleh
industri mitra. Pola pikir demikian sebenarnya terlalu dangkal bila dikaitkan
dengan konsep kemitraan sebagai bagian dari bisnis. Oleh karena itu alih teknologi
kepada petani harus disertai juga dengan pendekatan untuk mengubah pola pikir
dan perilaku petani sebagai interpreuneur sehingga mampu mengakses lembaga
pendana komersial. Pada Gambar 1 diperlihatkan kelembagaan yang terlibat dalam
kemitraan, termasuk instansi pemerintah yang berperan sebagai fasilitator.

25
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)















Gambar 1. Interaksi antarkelembagaan dalam kemitraan antara industri rokok
dengan petani tembakau

Dalam agribisnis tembakau perlu ada kemitraan antara pabrikan dengan
petani yang difasilitasi oleh pemerintah (Rinto-Harno, 2006). Penerapan kemitraan
di lapangan diserahkan kepada masingmasing industri rokok. Namun
kenyataannya model kemitraan sangat beragam sehingga hasil yang dicapai juga
sangat beragam. Salah satu faktor yang besar pengaruhnya adalah tidak semua
industri menyiapkan SDM. Untuk mencapai hasil yang optimal Koeswanto
(2003) menyatakan bahwa industri rokok yang bermitra wajib menyediakan
petugas lapangan yang profesional dan wajib meningkatkan kemampuan petugas
lapangan tersebut melalui pelatihan maupun uji coba dan demoplot yang
dilakukan bersama dengan petani.
Salah satu faktor penting dalam kemitraan sering terabaikan, yaitu
penataan pemasaran tembakau hasil kemitraan. Dalam kemitraan, industri mitra
perlu memberikan kriteria mutu yang jelas serta menyediakan tempat khusus
untuk menampung tembakau petani secara reguler. Selanjutnya kedua belah
pihak harus selalu memegang komitmen. Bila mutu yang dihasilkan tidak sesuai,
Pemerintah
Fasilitator
Petani Mitra Industri Rokok
Petugas Lapangan
Lembaga Penelitian
-Pemerintah
-Swasta
Lembaga Keuangan

26
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)
petani diberi alternatif untuk menjual tembakau hasil kemitraan kepada pihak
lain, tetapi petani tetap harus memenuhi kewajiban lain yang terkait dengan
kemitraan seperti pada Gambar 2. Sebaliknya dalam rangka kemitraan tersebut
maka industri mitra tidak membeli tembakau dari petani bebas agar tidak
mengurangi kesempatan bagi petani mitra.

Pola Bebas Pola Kemitraan








Gambar 2. Sistem dan jalur pemasaran tembakau dari petani kepada industri dalam
pola kemitraan dan pola bebas
















Industri Rokok
Pedagang Mitra Pedagang Bebas
Gudang Pembelian
Gudang Pembelian

27
Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kemitraan merupakan hubungan kerjasama yang saling antara dua pihak
yang didasari oleh rasa kepercayaan. Kemitraan dibidang pertanian dapat
dibedakan menjadi kemitraan antar petani, kemitraan antara petani dengan
perusahaa, kemitraan petani dengan pemerintah, dan kemitraan petani dengan
pasar. Kemitraan tersebut terselenggara dengan menggunakan prisnsip saling
mendukung dan saling mengembangkan. Pihak yang lain mendukung dan
mengembangkan pihak lainnya dengan cara memenuhi atau menutupi kebutuhan
atau kelemahan pihak lainnya, dan begitu pula sebaliknya. Sehingga dalam
kemitraan terjadi terjadi hubungan timbal balik yang diharapkan saling
menguntungkan.
5.2 Saran
Sampai saat ini sektor pertanian masih merupakan salah satu sektor yang
dalam prakteknya masih banyak ditemukan permasalahan yang merugikan petani.
Mulai dari kesulitan dalam akses permodalan, kesulitan dalam mendaptkan input,
sampai pada harga jual yang diterima rendah. Untuk itu petani sebaiknya
membentuk kemitraan dengan pihak-pihak tertentu untuk mengatasi permasalahan
tersebut.








DAFTAR PUSTAKA
Ditjenhort. 2001. Kebijakan Strategi dan Pengembangan Produksi Hortikultura:
Rencana Strategis dan Program Kerja Tahun 2001-2004. Direktorat Jenderal
Bina Produksi Hortikultura. Departemen Pertanian
Erwidodo.1995. Transformasi Struktural dan Industrialisasi Pertanian
dalamProsiding Agribisnis; Peluang dan Tantangan Agribisnis Perkebunan,
Peternakan dan Perikanan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Depdikbud, 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.
John L. Mariotti dalam Muhammad Jafar Hafsah, 1999. Kemitraan Usaha. Pustaka
Sinar Harapan. Jakarta. hal. 51
Julius Bobo, 2003. Transformasi Ekonomi Rakyat. PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta.
Keint L Fletcher, 1987. The Law of Partnership, The Law Book Company Limited.
Syidney.
Koeswanto, S. 2003. Pengalaman sebagai pengelola intensifikasi tembakau
virginia. Prosiding Lokakarya Pengembangan Agribisnis Tembakau.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. p. 3540.
Lihat di dalam Munir Fuady, 1997. Pembiayaan Perusahaan Masa Kini (Tinjauan
Hukum Bisnis). PT. Citra Aditya Bakti, hal. 165
Lihat Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 9 tahun
1995 tentang Usaha Kecil.
Muhammad Jafar Hafsah, 1999. Kemitraan Usaha. Pustaka Sinar Harapan.
Jakarta.
Rinto-Harno. 2006. Tembakau dilihat dari sudut pandang pabrik rokok keretek.
Prosiding Diskusi Panel Revitalisasi Sistem Agribisnis Tembakau Bahan
Baku Rokok. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. p.
912.


Saptana. 1999. Dampak Krisis Moneter dan Kebijaksanaan Pemerintah Terhadap
Profitabilitas dan Dayasaing Sistem Komoditi Ayam Ras di Jawa Barat. Tesis
S2. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Program Pasca Sarjana, Institut
Pertanian. Bogor.
Serad, H.S.M. 2006. Usaha kemitraan dalam agribisnis tembakau. Prosiding
Diskusi Panel Revitalisasi Sistem Agribisnis Tembakau Bahan Baku Rokok.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. p. 1317.
Sinaga, R.S. 1987. Pembangunan Pertanian Sistem Agribisnis dan Perusahaan Inti
Rakyat. Ringkasan Kuliah. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

You might also like