Dokumen tersebut membahas hambatan belajar pada anak tunarungu. Hambatan-hambatan tersebut antara lain kesulitan dalam penguasaan bahasa dan komunikasi, serta keterlambatan dalam perkembangan kognitif dan kemampuan berpikir akibat ketunarunguan sejak dini. Ketunarunguan berdampak pada berbagai aspek perkembangan anak.
Dokumen tersebut membahas hambatan belajar pada anak tunarungu. Hambatan-hambatan tersebut antara lain kesulitan dalam penguasaan bahasa dan komunikasi, serta keterlambatan dalam perkembangan kognitif dan kemampuan berpikir akibat ketunarunguan sejak dini. Ketunarunguan berdampak pada berbagai aspek perkembangan anak.
Dokumen tersebut membahas hambatan belajar pada anak tunarungu. Hambatan-hambatan tersebut antara lain kesulitan dalam penguasaan bahasa dan komunikasi, serta keterlambatan dalam perkembangan kognitif dan kemampuan berpikir akibat ketunarunguan sejak dini. Ketunarunguan berdampak pada berbagai aspek perkembangan anak.
Anak tunarungu di dalam mengaktualisasikan potensi
yang dimilikinya seringkali dihadapkan kepada berbagai masalah dalam kehidupann ya. Anak tunarungu adalah seseorang yang mengalami hambatan atau keterbatasan dalam kemampuan mendengar, dari keterbatasannya itu seringkali mempengaruhi ke hidupannya secara kompleks baik sebagai mahluk pribadi maupun sebagai mahluk sosial . Dikatakan kompleks karena ketunarunguan membawa dampak terhadap perkembangan bicara dan bahasa, kecerdasan, emosi, maupun perkembangan pribadi dan sosialnya. Meadow (1976), Myklebust (1953) menyatakan bahwa, yang ditimbulkan karena hilangnya kemampuan mendengar (tunarungu) ad alah terhambatnya komunikasi dengan dan diantara kaum tunarungu serta lingkungan nya. Lebih berat lagi apabila seseorang mengalami ketunarunguan sejak lahir, ia t idak akan mengembangkan kemampuan berbahasanya secara spontan, sehingga dal am usaha untuk bermasyarakat akan timbul berbagai permasalahan seperti aspek sos ial, emosional dan mental. Lebih rinci, Boothroyd (1980) menyatakan ketunarun guan sebagai kelainan primer yang bersifat motoris (fisik), dapat mengaki batkan terjadinya kelainan sekunder (dampak) pada berbagai aspek kehidupan dan perkemba ngan Anak Tunarungu, yaitu dalam kemampuan berbahasa dan berkomunikasi, fungsi sosial, emosi, kognitif, dan sebagainya. Selain berbagai dampak tersebut di atas , ketunarunguan akan berdampak juga terhadap proses perkembangan pendidikan (prose s belajar) dan lebih jauh lagi adalah kurangnya peluang atau sempitnya kesempatan dalam mencari pekerjaan. Berkaitan dengan bagaimana Anak Tunarungu mempers epsi lingkungan di luar dirinya sebagai bagian dari proses belajar, Myklebu st (1963), mengemukakan suatu konsep tentang sensory deprivation atau kehilangan/kemiskinan penginderaan. Melalui kelima indera seseorang memperoleh informasi mengen ai segala perubahan yang terjadi dalam lingkungannya, sehingga ia dapat mengatur kes eimbangan antara kebutuhan diri dengan keadaan di luar. Ke lima indera bekerjasama dalam arti bahwa walaupun yang dirangsang hanya salah satu indera, pengalaman peng inderaan melalui indera tersebut akan memperoleh makna berdasarkan pengalaman yang t elah diperoleh sebelumnya melalui indera-indera lainnya. Berkaitan dengan keb erfungsian dan integritas penginderaan tersebut di atas, Saunders (1960) menj elaskan bahwa jika salah satu indera tidak berfungsi akan terjadi distorsi dalam mempero leh informasi dari luar, ada sesuatu yang hilang atau kurang lengkap dalam keseluruhan d unia penghayatan/persepsi seseorang. Sehingga masalahnya bukan hanya terletak pada berkurangnya daya pendengaran melainkan perubahan dalam keseluruhan s truktur penghayatan yang meliputi suatu kesadaran dan pemahaman tentang bend a, kejadian, serta orang dalam lingkungannya bahkan termasuk dirinya. Selanjutnya Myklebust mengemukakan bahwa dari keli ma indera manusia, pendengaran dan penglihatan merupakan indera yang p aling canggih dan digolongkan sebagai indera jarak jauh ( distance sense ), berbeda dengan ketiga indera lainnya yaitu perabaan, pengecap, dan pencium yang dinamakan inde ra jarak dekat ( near sense ). Pada orang tunarungu yang tergolong Tuli ( Deaf ), maka indera penglihatan yang akan mengambil peran terpenting, baru kemudian indera pe raba, pencium dan pengecap. Sedangkan bagi mereka yang masih memiliki banyak si sa pendengaran ( Hard of Hearing ) di samping indera penglihatan, pendengaran masih berperan, kemudian indera lainnya. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka ketunar unguan sebagai suatu kelainan atau gangguan ( impairment ) pada organ pendengaran, dapat mengakibatkan terja dinya suatu ketidakmampuan/kekurangmampuan dalam fungsi p endengaran ( hearing disability ) dan kemudian bila tidak ditangani menjadi suatu ken dala atau hambatan ( handicap ) dalam berbagai aspek kehidupan seseorang seperti bi dang komunikasi dan bahasa, kognitif dan intelektual, serta sosial emosi (Meado w, 1980). Keadaan ini dapat menyebabkan Anak Tunarungu mengalami hambatan dalam belajar dan kurang dapat mengambil manfaat dari kesempatan pendidikan yang s ecara lazim tersedia bagi anak pada umumnya karena mereka kurang dapat memenuhi ke butuhannya yang khusus, sehingga mereka tidak dapat berkembang secara optim al. Akibatnya mereka akan tumbuh menjadi manusia dewasa yang kurang mandiri, kurang memiliki kemampuan memadai dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Berdasarkan uraian/pengantar di atas, maka hambata n yang dialami anak tunarungu, terutama hambatan belajar tidak akan lep as dari dampak ketunarunguan, yaitu: 1. Hambatan Penguasaan Bahasa dan Komunikasi Ketunarunguan tidak hanya mengakibatkan tidak berke mbangnya kemampuan berbicara, lebih dari itu dampak paling besar adala h terjadinya kemiskinan bahasa (Van Uden, 1977; Meadow, 1980). Leigh (1994), memperjela s bahwa dampak ketunarunguan adalah kemiskinan dalam penguasaan bahasa secara ke seluruhan. Artinya tanpa pendidikan khusus, terlebih bagi Anak Tunarungu ber at, mereka tidak akan mengenal lambang bahasa atau nama guna mewakili suatu benda, kegiatan, peristiwa dan perasaan serta tidak akan (sulit) memahami aturan atau siste m bahasa yang berlaku dan digunakan oleh lingkungannya. Oleh karena itu dari berbagai d ampak yang ada akan menimbulkan hambatan yang kompleks dan saling mempengaruhi satu sama lain. Lebih lanjut Leigh (1994) mengemukakan bahwa masala h utama kaum tunarungu bukan terletak pada tidak dikuasainya suatu sarana komunikasi lisan melainkan akibat hal tersebut terhadap perkembangan kemampuan berbahasan ya secara keseluruhan yaitu mereka tidak atau kurang mampu dalam memahami lamba ng dan aturan bahasa. Secara lebih spesifik, mereka tidak mengenal atau mengerti lambang/kode atau nama yang digunakan lingkungan guna mewakili benda-benda, per istiwa kegiatan, dan perasaan serta tidak memahami aturan/system/tata bahasa. Kea daan ini terutama diderita anak tunarungu yang mengalami ketulian sejak lahir atau usia dini (tuli pra bahasa). Van Uden (1997) menjelaskan proses penguasaan bahas a seseorang (pendengaran normal) sejak lahir sampai menguasai bahasa adalah sebagai berikut: - tahap prelingual (pra bahasa) sejak lahir sampai us ia 1,6 tahun merupakan masa sebelum kemampuan berbahasa berkembang, walaupun an ak menggunakan tanda-tanda (signal) tertentu seperti menangis, men unjuk dan mulai memahami lambang yang digunakan lingkungan sekitar, namun me reka sendiri belum mengembangkan suatu sistem lambang. - Tahap interlingual (antar-bahasa) merupakan masa an tara, dimana anak mulai mengembangkan suatu sistem lambang yang sebagian su dah sama dengan sistem lambang yang digunakan lingkungannya namun untuk se bagian masih berbeda. - Tahap postlingual (purna-bahasa), sejak usia 3 tahu n anak akan makin memahami dan menerapkan secara tepat aturan bahasa sebagaima na berlaku di lingkungannya sehingga sewaktu berusia 4 tahun samp ai akhir memasuki tahap purna bahasa. Untuk anak tunarungu yang seusia dengan anak normal meskipun sudah dididik dengan baik sejak usia dini, proses penguasaan baha sanya mengalami perbedaan mencolok. Anak dengar pada usia 4 tahun sudah memas uki tahap penguasaan bahasa sedangkan bagi anak tuli hal itu baru dicapai pada usia 12 tahun. 2. Hambatan dalam Perkembangan Kognitif dan Daya Pikir Inteligensi anak tunarungu secara potensial pada um umnya sama dengan anak normal, tetapi secara fungsional perkembangannya di pengaruhi oleh tingkat kemampuan berbahasa (Myklebust, 1964, dalam Moores, 1982:148) . Keterbatasan informasi dan kurangnya daya abstraksi anak akibat ketunarunguan menghambat proses pencapaian pengetahuan yang lebih luas, dengan demikian perkem bangan inteligensi secara fungsional juga terhambat. Hal ini mengakibatkan an ak tunarungu kadang-kadang menampakkan keterlambatan dalam belajar dan menampa kkan keterbelakangan mental. Cruickshank yang dikutip Siregar (1981:6) mengataka n bahwa: anak-anak tunarungu sering memperlihatkan keterlambatan dalam belajar dan kadang tampak terbelakang. Keadaan ini tidak hanya disebabkan ole h derajat gangguan pendengaran yang dialami anak, tetapi juga tergantung pada pote nsi kecerdasan yang dimiliki, rangsangan mental, serta dorongan dari lingkungan l uar yang memberikan kesempatan bagi anak untuk mengembangkan kecerdasan itu. Pendapat lain yang mendukung pernyataan di atas ada lah pernyataan Rittenhouse yang dikutip Hallahan & Kauffman, (1998:285) adalah sebagai berikut: ... karena anak tunarungu berprestasi sangat jauh di bawah rata-rat a kelas sekolahnya, terutama di kelas yang agak tinggi, ada kecenderungan atau anggapan b ahwa mereka secara kognitif kemampuannya kurang. Kesulitan akademik yang dihada pi anak tunarungu bukanlah karena masalah kognitif yang kurang, akan tetapi se benarnya kesulitan dalam bahasa dan pendidiklah yang belum memaksimalkan kelebihan kogn itif anak tunarungu. Keterlambatan atau prestasi rendah kaum tunarungu d alam mengerjakan tugas dimana dituntut penalaran dengan bahasa bukan berar ti potensi kecerdasan atau inteligensi mereka rendah. Bila kesulitan dalam pen yampaian instruksi pada tes kecerdasan dapat diatasi dan perangkat tes yang dig unakan bersifat non verbal yaitu tidak menuntut kemampuan berbahasa lisan maka kaum tunaru ngu menunjukkan penyebaran angka kecerdasan yang normal artinya sebagian besar diantara mereka akan berada pada taraf rata-rata (Myklebust, 1964; Furth, 1966). Pendapat lain diungkapkan Pintner (Moores, 1982:154 ) yang menyatakan bahwa anak tunarungu jauh tertinggal dibandingkan anak normal dan anak tunarungu itu inferior (rendah) inteligensinya. Sementara Mykleb ust (1953), menyatakan bahwa anak- anak tunarungu secara umum tidaklah inferior inteli gensinya, bahwa sekalipun anak tunarungu secara kuantitatif (Skor IQ-nya) sama den gan anak normal, akan tetapi secara kualitatif mereka belum tentu sama. Lebih lanjut ia mengatakan, aspek kualitatif dari fungsi perceptual dan konseptual dan penalaran anak tunarungu tampaknya berbeda. Myklebust menyimpulkan bahwa anak tunarungu sulit u ntuk melakukan fungsi yang sama luas serta keabstrakannya bila dibandingkan d engan anak normal. Anak tunarungu dianggap lebih konkrit dan kurang abstrak bila diba ndingkan anak normal (Moores, 1982: 154-155). Helen Keller sebagai penyandang tunanetra dan tunar ungu, menggambarkan kondisi ketunarunguan, sebagai berikut: ...ketulian merupakan bencana yang lebih besar (daripada kebutaan) karena berarti kehilangan rangs angan yang paling vital bagi seseorang yaitu suara manusia yang membawa bahasa, yang dapat menggugah/merangsang pikiran dan menempatkan kita d alam jajaran manusia intelektual.. Pendapat tersebut didasarkan kepada pengalaman prib adi tentang hubungan antara pikiran dan bahasa, yang kemudian dipertegas oleh b erbagai ahli. Bahasa merupakan sistem lambang yang digunakan untuk berkomunikasi, sehingga antara pikiran dan bahasa lebih bersifat timbal balik serta interaktif , artinya perkembangan kognitif dapat mempengaruhi penguasaan bahasa dan bahasa dapat mem pengaruhi kognisi. Meskipun tidak semua pikiran secara global akan mempengaruhi keseluruhan aspek bahasa dan sebaliknya (Cromer, 1988). Ada aspek pikiran terten tu yang berkembang secara bebas dari bahasa, namun beberapa aspek lainnya sangat di pengaruhi bahasa. Kemiskinan bahasa dan terbatasnya pengalaman pada a nak tunarungu akan menghambat perkembangan kemampuan mereka untuk berp ikir logis. Sedangkan kemampuan anak tunarungu pada tahap awal, yaitu tah ap sensorimotor, tidak menunjukkan perbedaan yang berarti dengan anak deng ar yang seusia (Paul & Jackson, 1994). Meskipun begitu Oleron (1953); Marschark (19 88) dalam Bunawan (2000:17) menyatakan bahwa bahasalah merupakan faktor yang la ngsung dapat memberi pengaruh terhadap perkembangan kognitif karena bahasa akan m empermudah anak dalam memahami konsep-konsep. Hasil penelitian menunjukka n bahwa anak tunarungu yang berhasil mencapai tahap kognitif operasional konkri t memiliki kemampuan tata bahasa (Dolman, 1983) dan kemampuan baca tulis yang lebih baik (Parasnis & Long, 1979). Sedangkan pada tahap formal, penampilan anak tunaru ngu menunjukkan terlalu banyak variabilitas sehingga tidak diperoleh gambaran yang jelas tentang kemampuan mereka. Sampai pada tahapan akhir dari perkembangan kogniti f, yaitu operasional formal, anak tunarungu akan jauh ketinggalan dibandingkan anak m endengar yang seusia, yaitu menunjukkan keterlambatan 2 sampai 4 tahun. Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa dalam meng erjakan tugas (berdasarkan tahapan perkembangan kognitif Piaget), anak tunarungu (tuli) dapat menunjukkan kesamaan prestasi dengan anak mendengar bila tugas-tugas itu menuntut perhatian visual dan persepsi seperti misalnya seri asi. Namun bila tugas-tugas itu menuntut perhatian visual dan persepsi (seperti pad a tugas konservasi) maka ketergantungan pada persepsi visual akan mengakibat kan kurangnya konseptualisasi. Apalagi dalam tahap operasional konkrit dan formal menuntut daya abstraksi dan penalaran yang memerlukan kemampuan bahasa yang mem adai, prestasi mereka akan makin memprihatinkan. Implikasinya adalah dengan mengadakan perubahan dal am petunjuk tugas, memberikan lebih banyak keterangan daripada yang di lakukan terhadap anak mendengar, penampilan anak tunarungu dapat diperbaiki dalam ar ti memperkecil perbedaannya dengan prestasi anak mendengar. Maka Furth menyimpu lkan bahwa keterlambatan anak tunarungu dalam bidang kognitif lebih disebabkan ku rangnya pengalaman dalam dunia nyata dan bahwa hal ini secara tidak langsung merup akan akibat kemiskinan bahasanya yang membatasi mereka dalam kesempatan mengembangka n interaksi dan dengan demikian membatasi pengalamannya pula. 3. Hambatan Emosi dan Penyesuaian Sosial Keterbatasan dalam berkomunikasi sering menimbulkan kesulitan sosial dan perilaku. Meadow (1987) yang dikutip Hallahan & Kau ffman, (1991:71) menyatakan bahwa: :inventarisasi kepribadian dengan konsisten menunjukkan bahwa anak-anak tunarungu mempunyai lebih banyak masalah penyesuaia n daripada anak-anak normal. Jika anak-anak tunarungu yang tanpa masalah-masalah nyata atau serius diteliti, mereka menunjukkan kekhasan akan kekakuan, egosentrik, tan pa control dalam diri, impulsive dan keras kepala. Hambatan belajar yang dihadapi anak tunarungu seba gai dampak terhambatnya perkembangan emosi dan penyesuaian social tidak aka n terlepas dari keberfungsian kedua aspek tersebut yang saling berhubungan. Fungs i emosi diartikan sebagai persepsi seseorang tentang dirinya, dan fungsi sosial adalah sebagai persepsi tentang hubungan dirinya dengan orang lain dalam situasi sosial (Boo throyd, 1982). Selanjutnya dikatakan bahwa pendengaran memegang peran yang signifikan da lam perkembangan awal emosi- sosial namun bukan esensial. Sedangkan pada tahap p erkembangan yang lebih lanjut bahasalah yang memegang peran berarti dan esensial. Dalam berbagai teori tentang perkembangan kepriba dian dan sosial ditekankan pada pengalaman seseorang semasa kecil akan memberi pengaruh dalam membentuk perilaku dan penyesuaian diri dalam hidup dikemudia n hari. Deadon (1976) menunjuk pada dua situasi yang akan dialami anak tuli pra ba hasa pada umumnya semasa kecilnya yaitu pertama terhalangnya komunikasi antara anak d an orangtua mereka, dan kedua adalah reaksi orangtua setelah menerima kepastian t entang diagnosa ketulian anak. Sejalan dengan itu Van Uden (1971) menambahkan bahw a ketulian dapat menyebabkan suatu keadaan terasing atau terisolasi bagi penderi tanya. Berdasarkan pengalaman ternyata bahwa keluarga yang mempunyai anak tunarun gu mengalami banyak kesukaran untuk melibatkan anak dalam keadaan dan kejadian se hari-hari agar mereka mengetahui tentang apa yang terjadi di lingkungannya. Sering t erjadi bahwa karena kemiskinannya dalam bidang komunikasi, maka anak tunarungu kurang dapat memaknai situasi dan kondisi lingkungan di luar dirinya secara utuh dan total yang akan dapat memperkaya khasanah pengalaman lahiriah dan batiniahnya. Denga n kata lain keadaan ini tentu mengakibatkan suatu kekurangan dalam keseluruhan pe ngalaman anak yang pada hakikatnya merupakan dasar dari perkembangan perasa an, sikap sosial dan kepribadian. Jadi dapat diasumsikan bahwa ketulian mengubah peng alaman seseorang dan menyebabkan suatu keterasingan, suatu distansi dan kontak yang berkurang dengan keadaan sekelilingnya sehari-hari. Beberapa sifat dan ciri sebagai konsekuensi dan dam pak terhambatnya perkembangan emosi dan sosial anak tunarungu menuru t Van Uden (1971) dan Meadow (1976, 1980) adalah: * Sifat egosentris yang lebih besar daripada anak m endengar. Karena dunia penghayatan mereka lebih sempit, maka anak tuli akan lebih tera rah kepada diri sendiri, sehingga mereka sukar menempatkan diri pada cara berpikir da n perasaan orang lain, dan kurang menyadari/peduli efek perilakunya terhadap orang la in. Dalam tindakannya dikuasai perasaan dan pikirannya secara berlebihan, sukar me nyesuaikan diri. Bahasa merupakan suatu faktor yang penting dalam pe rkembangan kontak dan interaksi sosial. Bahasa merupakan alat utama untuk mengkrist alisasikan dan menstruktur pengalaman. Jadi kemampuan bahasa yang terbatas aka n membatasi pula kemampuan untuk mengintegrasikan pengalaman dan akan memperku at sifat egosentris ini. * Memiliki sifat impulsive, yaitu tindakannya tidak didasarkan pada perencanaan yang jelas dan matang, serta tanpa mengantisipasi akibat yang mungkin ditimbulkan oleh perbuatannya. Apa yang mereka inginkan biasanya per lu segera dipenuhi. Adalah sukar bagi mereka untuk merencanakan atau menunda suatu p emuasan kebutuhan dalam jangka panjang. Dalam membuat rencana jangka panjang diper lukan kemampuan untuk memikirkan atau membayangkan berbagai kemungkinan d i masa datang berdasarkan masa kini. Justru dalam hal inilah mereka kekuranga n karena kurang mempunyai konsep tentang relasi/hubungan. * Sifat kaku, menunjuk pada sikap kaku atau kurang luwes dalam memandang dunia dan tugas-tugas. Hal ini disebabkan oleh sempitnya bida ng penghayatan dan berpikir sebagai akibat ketulian dan kemiskinan bahasa. Pikiran dan perasaan mereka terbatas pada hal-hal konkret saja. Menurut Meadow (1980) hal ini dapat m enyebabkan suatu ketidakmampuan untuk mengubah suatu tuntutan sesuai perubahan situ asi atau kejadian. Erat kaitannya dengan sifat ini adalah kesulitan dalam mendapatkan pengertian tentang hubungan sebab akibat baik dalam lingkungan fisik maupun social da n kesulitan dalam memahami alasan atau sebab dari suatu kejadian. * Sifat lekas marah atau tersinggung Karena kemiskinan bahasanya, anak tunarungu tidak d apat menjelaskan atau mengekspresikan keinginanya dengan baik dan sebalik nya kurang dapat memahami apa yang dikatakan orang lain. Keadaan ini dapat menyeb abkan kekecewaan, ketegangan, dan frustrasi yang diekspresikan secara aktif dan a gresif tetapi kadang dapat diungkapkan dengan sikap malu-malu, ragu-ragu dan menarik diri. Kedua sikap yang berlawanan ini banyak bergantung dari reaksi orangtua/pendidik ter hadap kemampuan anak sehingga terbentuknya konsep diri yang negatif pada anak, pa da akhirnya dapat menghambat proses kegiatan belajar di kelas. Meadow (1980) men jelaskan bahwa pembentukan konsep diri terjadi sejalan dengan perkembangan soc ial seorang anak. Berdasarkan reaksi atau sikap orang lain dalam lingkungannya terhadap diri dan tindakannya akan terbentuk pandangan terhadap diri sendiri. Apabila kita menginginkan anak tunarungu dapat ber kembang bicara dan bahasanya, maka kita harus senantiasa berkomunikasi dengan mereka dalam berbagai kesempatan atau keadaan. Yang harus kita lakukan ad alah melihat dan mengembangkan terlebih dahulu hal-hal penting yang menjadi dasar untuk berkomunikasi pada anak tunarungu, seperti: (prinsip-prinsip belajar) a. sikat keterarahwajahan bagi anaktunarungu sumber informasi datangnya sebag ian besar secara visual atau penglihatan, dan sebagian kecil melalui pendengaran atau auditoris. Keterarahwajahan yang baik merupakan dasar utama un tuk membaca ujaran atau untuk menangkap ungkapan orang lain, sehingga anak dapat memahami bicara orang disekitarnya. b. Sikap Keterarahsuaraan Keterarahsuaraan adalah sikap untuk selalu memperha tikan suara atau bunyi yang terjadi di sekelilingnya dan perlu dikembangkan pad a ATR agar sisa pendengaran yang masih dimilikinya dapat dimanfaatkan guna memp erlancar interaksinya dengan lingkungan di luar dirinya. c. Tanggap terhadap apa yang ingin dikatakan anak Pada saat bermain atau melakukan kegiatan tentu ban yak yang ingin diungkapkan anak, namun karena tidak mempunyai bahasa maka anak akan menggunakan berbagai cara untuk mengungkapkan dirinya seperti: gerak-gerik tingkah laku, suara bermakna, senyuman, tangisan, mimic, isyarat tangan dan kata-kata yang jelas. Bila pada situasi tertentu ATR menggunakan s alah satu bentuk ungkapan seperti di atas, maka sebaiknya kita segera tanggap apa yang diamatinya lalu kita mencoba menguhubungkan dengan apa yang ingin dia ka takana sehinga kita dapat membahasakannya dengan tepat. d. Penggunaan dorongan Imitasi Dasar berbahasa bukanlah sekedar memberikan atau me nanmkan perbendaharaan pada anak, tetapi terutama menciptakan situasi yang membangkitkan minat anak untuk berkomunikasi. Semua hal yang ingin dikatakan anak sesegera mungkin diberi bahasanya dalam suasana perrcakapan.
tuna wicara dan tunarungu
TUNA WICARA DAN TUNA RUNGU MAKALAH Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah PSIKOLOGI PENDIDIKAN Dosen pengampu : Renie Tri Herdiani, M. Pd
Oleh : Kelompok III : 1. Deni Purwati 2. Eka Alendah 3. Friska Rahma A 4. Gema Gilang 5. Lita Desyana Fasin 6. Titin Mukminatin 7. Toto Riyanto 8. Toto Sugiarto Kelas : III D
BIMBINGAN DAN KONSELING FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL 2012 KATA PENGANTAR
Seiring alunan kata Alhamdulillah, segala puji syukur semata-mata hanya untuk Allah SWT. Yang telah melimpahkan karunia, taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat merampungkan makalah ini. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah atas junjungan Nabi besar Muhammad SAW. Pembawa risalah kebenaran bagi seluruh umat di alam ini. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya makalah ini berkat dorongan dan arahan dan menyampaikan ucapan terimakasih kepada : 1. Renie Tri Herdiani, M. Pd 2. Teman-teman mahasiswa yang telah membantu memberikan sumbang saran penulisan makalah ini.
Terlalu banyak yang penulis peroleh dari mereka. Untuk itu, semoga amal dan kebaikan Ibu dan rekan-rekan mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa kemampuan yang ada pada penulis sangat tebatas. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mohon kepada pembaca untuk memberikan saran dan kritik yang membangun demi kebaikan penulisan makalah selanjutnya. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.
ii
DAFTAR ISI
JUDUL ....................................................................................................... i KATA PENGANTAR ............................................................................... ii DAFTAR ISI ............................................................................................. iii BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah ............................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 2 C. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Tuna rungu dan tuna wicara .................................... 3 B. klasifikasi tuna rungu ................................................................ 6 C. Karakteristik tuna wicara dan tuna rungu ................................ 9 D. Terapi Terpadu untuk anak tuna rungu .................................... 12 E Perkembangan pendidikan tunarungu dan tuna wicara .............15 F. Peranan orang tua Dalam Pendidikan Anak Tunarungu ..........19 G. Penyebab Terjadinya Tunarungu ......................................................21 H. Cara Pencegahan Terjadinya Tunarungu ..........................................22 I. Analisis Kasus ....................................................................................23 J. Layanan Yang Diperlukan..................................................................30 K. Implementasi Model Pembelajaran Anak Tunarungu ......................32 L. Kurikulum Pendidikan Khusus Anak Tunarungu .............................36 M. Alat Pendidikan Khusus ...................................................................39 N. Bimbingan dan Konseling bagi Anak Tunarungu .............................41
BAB III PENUTUP 1 Simpulan 44 DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Manusia memiliki tiga sifat penting sifat atau tritunggal yaitu mampu mendengar, mampu berfikir sebagai manusia, dan mampu bercakap-cakap. Ketiga fungsi itu mempunyai hubungan yang sangat erat. Fungsi pendengaran tergolong yang paling tua dan mempengaruhi fungsi berfikir, sedangkan fungsi berfikir itu sendiri melatih dan mempergunakan fungsi berbicara sebagai alat untuk menyatakan kepada dunia luar apa yang tersembunyi dalam alam pikirannya. Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak. Kehilangan pendengaran yang ringan atau parsial saja dapat mempengaruhi kemampuan anak untuk berbicara dan memahami bahasa. Bagi anak-anak, pendengaran dan kemampuan berbahasa adalah alat yang sangat penting untuk belajar, bermain dan membangun kemampuan sosial. Anak belajar untuk berkomunikasi dengan meniru suara yang mereka dengar. Jika mereka memiliki gangguan pendengaran yang tidak diketahui sebelumnya dan tidak ditangani, informasi untuk perkembangan bahasa dari lingkungan mereka akan terbuang sia-sia. Hal ini akan mengakibatkan lambatnya perkembangan kemampuan verbal serta menimbulkan masalah soaial dan akademik.
1
Tuna rungu wicara biasanya terjadi yang diawali dengan tuna rungu(gangguan pendengaran) pada awal anak tersebut lahir, baik dapatan ataupun kongenital. Selanjutnya tuna rungu ini, anak dengan tuna rungu ini disertai dengangangguan keterbelakangan mental, gangguan emosional, gangguan bahasa atau bicara(tuna wicara). Gangguan pendengaran dibedakan antara tuli sebagian (hearing impaired) dan tuli total (deaf). Tuli sebagian (hearing impaired) adalah keadaan fungsi pendengaran berkurang namun masih dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat bantu dengar, sedangkan tuli total (deaf) adalah keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian terganggunya sehinggatidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapat perkerasan bunyi (amplikasi). Tuna rungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran permanen maupun temporer (tidak permanen). B. Rumusan masalah 1. Apa yang dimaksud dengan tuna rungu dan tuna wicara? 2. Bagaimana sistem dan implementasi pendidikan tuna wicara dan tuna rungu? C. Tujuan penulisan 1. Untuk mengetahui maksud dari tuna rungu dan tuna wicara, 2. Untuk mengetahui sistem dan implememntasi pendidikan tuna wicara dan tuna rungu.
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Tunarungu dan Tunawicara Menurut Pernamari Somad dan Tati Herawati (1996, hal. 27) menyatakan bahwa Tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagaian atau seluruh alat pendenganran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak terhadap kehidupan secara kompleks. Sedangkan menurut Sardjono (1997, hal. 7) mengatakan bahwa: Anak tunarungu adalah anak yang kehilangan pendengaran sebelum belajar bicara atau kehilangan pendengaran demikian anak sudah mulai belajar bicara karena suatu gangguan pendengaran, suara dan bahasa seolah-olah hilang. Sedangkan sebagian tunawicara adalah mereka yang menderita tuna rungu sejak bayi/lahir, yang karenanya tidak dapat menangkap pembicaraan orang lain, sehingga tak mampu mengembangkan kemampuan bicaranya meskipun tak mengalami ganguan pada alat suaranya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa anak penyandang tunarungu dan tunawicara adalah anak yang kehilangan kemampuan untuk mendengar baik sebagian maupun seluruhnya yang mengakibatkan tidak mampu untuk menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupannya sehari-hari dan juga tidak mampu mengembangkan kemampuan bicaranya.
3
Tuna wicara merupakan gangguan verbal pada seseorang sehingga mengalami kesulitan dalam berkomunikasi melalui suara. Tuna wicara sering dikaitkan dengan tuna rungu. Van Uden (1971) menyatakan bahwa penyandang tuna rungu bukan saja tuna rungu tetapi juga tuna bahasa. Sedangkan Leigh (1994) mengemukakan bahwa terhadap anak tuna rungu, orang akan langsung berpikir tentang ketidakmampuan mereka dalam berkomunikasi secara lisan (berbicara), padahal masalah utamanya bukan pada ketidakmampuan dalam berbicara melainkan pada akibat dari keadaan ketunarunguan tersebut terhadap perkembangan bahasa. Pendapat Van Uden yang menyatakan bahwa penyandang tuna rungu juga pasti tuna bahasa, berlawanan dengan pendapat Morag Clark, seorang International Consultant in Natural Auditory Oral Education for children who are hearing impaired. Clark (2007) menyatakan bahwa apabila anak-anak dengan gangguan pendengaran diberi alat bantu dengar yang tepat sehingga dapat baik maka kualitas bicara mereka sangat mengagumkan. Andreas Dwijosumarto dalam seminar ketuna runguan di bandung (19 juni 1988) mengemukakan bahwa tuna rungu adalah suatu kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai perangsang, terutama indra pendengaran. Menurut batasan dari Sri Moerdiani (1987: 27) dalam buku psikologi anak luar biasa bahwa anak tuna rungu adalah mereka yang menaglami gangguan pendengaran sedemikian rupa sehingga tidak mempunyai fungsi praktis dan tujuan komunikasi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya.
4
Adapun Moh Amin dalam buku Ortopedagogik umum mengemukakan bahwa anak tuna rungu adalah mereka yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh organ pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembanganya sehingga memerlukan bimbingan pendidikan khusus. (1991: 1). Ahli lainnya memberikan batasan mengenai tunarungu ditinjau dari segi medis dan pedagogis sebagai berikut : Tunarungu berarti kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan seluruh alat pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembangan bahasa sehingga memerlukan bimbingan dan pelayanan khusus. ( Salim, 1984 : 8). Orang tuli adalah seseorang yang mengalami ketidakmampuan untuk mendengar sehingga tidak dapat mengembangkan, biasanya pada tingkat 70 dB ISO atau lebih besar sehinga menghalangi untuk mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengaranya sendiri tanpa mengunakan alat bantu dengar. Seseorang dikatakan kurang mendengar adalah ketidak mampuan untuk mendengar sehingga tidak dapat mengembangkan, bisanya pada tingkat 35 sampai 69 Db ISO tetapi tidak menghalangi untuk mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengaranya sendiri tanpa atau menggunakan alat bantu dengar. Atau dengan menggunakan bahasa lain, bahwa anak tuna rungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang diakibatkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya indra pendengaran sehingga mengalami hambatan dalam perkembanganya. Dengan demikian anak tuna rungu memerlukan pendidikan secara khusus untuk mencapai kehidupa lahir batin yang layak.
5
B. Klasifikasi Tunarungu Ketunarunguan dapat diklasifikasikan berdasarkan empat hal, yaitu tingkat kehilangan pendengaran, saat terjadinya ketunarunguan, letak gangguan pendengaran secaraanatomis, serta etiologis. 1. Berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran yang diperoleh melalui tes dengan menggunakan audiometer ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a) Tunarungu ringan (mild hearing loss) b) Tunarungu sedang (moderate hearing loss) c) Tunarungu agak berat (moderately csevere hearing loss) d) Tunarungu berat (severe hearing loss) e) Tunarungu berat sekali (profound hearing loss) 2. Berdasarkan saat terjadinya ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai berikut. a) Ketunarunguan prabahasa (prelingual deafness), yaitu kehilangan pendengaran yang terjadi sebelum kemampuan bicara da bahsa berkembang. b) Ketunarunguan pascabahasa (post lingual deafness), yaitu kehilangan pendengaran yang terjadi beberapa tahun setelah kemampuan bicara dan bahasa berkembang.
6
3. Berdasarkan letak gangguan pendengaran secara anatomis, ketunarunguan dapat diklasifasikan sebagai berikut. a) Tunarungu tipe konduktif, yaitu kehilangan pendengaran yang disebabkan oleh terjadinya kerusakan pada telinga bagian luar dan tengah, yang berfungsi sebagai alat konduksi atau pengantar getaran suara menuju telinga bagian dalam. b) Tunarungu tipe sensorineural, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh terjadinya kerusakan pada telinga dalam serta saraf pendengaran (nervus chochlearis). c) Tunarungu tipe campuran yang merupakan gabungan tipe konduktif dan sensorineural, artinya kerusakan terjadi pada telinga luar/tengah dengan telinga dalam/saraf pendengaran. 4. Berdasarkan etiologi atau asal usul ketunarunguan diklasifikasikan sebagai berikut. a) Tunarungu endogen, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh faktor genetik (keturunan) b) Tunarungu eksogen, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh factor nongenetik (bukan keturunan). Tuna rungu diklasifikasikan berdasarkan tingkat gangguan pendengaran, yaitu gangguan pendengaran sangat ringan(27-40dB), gangguan pendengaran ringan(41-55 dB), gangguan pendengaran sedang(56-70 dB), gangguan pendengaran berat(71-90 dB), gangguan pendengaran ekstrem/tuli(diatas 91 dB).
7
Klasifikasi ketunarunguan sangat bervariasi menurut BOOThroyd. Klasifiksi dan karakteristik ketunarunguan diantaranya didsarkan pada: Kelompok I : Kehilangan 15-30 dB: mild hearing losses atau ketunarunguan ringan; daya tangkap suara cakapan manusia normal. Kelompok II : kehilangan 31-60 dB: moderate hearing losses atau ketunarunguan sedang; daya tangkap terhadap cakapan manusia hanya sebagian. Kelompok III : kehilangan 61-90 dB: severve hearing losses atau ketunarunguan berat; daya tangkap terhadap cakapan suara manusia tidak ada. Kelompok IV : kehilangan 91-120 dB: profound hearing losses atau ketunarunguan sangat berat; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali. Kelompok V : kehilangan lebih ari 120 dB: total hearing losses atau ketunarunguan total; daya tangkap terhadap suara manusia tidak ada sama sekali. Uden (1977) mebagi klasifikasi ketunarunguan menjadi tiga, yakni berdasarkan saat terjadinya ketunarunguan, berdasarkan tempat keruasakan pada organ pendengaran, dan berdasarkan pada taraf penguasaan bahasa.
8
C. Karakteristik Tuna Wicara dan Tuna Rungu Masalah yang utama pada diri seorang tunawicara adalah mengalami kehilangan/terganggunya fungsi pendengaran (tunarungu) dan atau fungsi bicara (tunawicara), yang disebabkan karena bawaan lahir, kecelakaan maupun penyakit. Umumnya anak dengan gangguan dengar/wicara yang disebabkan karena faktor bawaan (keturunan/genetik) akan berdampak pada kemampuan bicara Walaupun tidak selalu. Sebaliknya anak yang tidak/kurang dapat bicara umumnya masih dapat menggunakan fungsi pendengarannya walaupun tidak selalu. Anak dengan gangguan dengar/wicara dikelompokan sebagai berikut : a. Ringan (20 30 db) Umumnya mereka masih dapat berkomunikasi dengan baik, hanya kata-kata tertentu saja yang tidak dapat mereka dengar langsung, sehingga pemahaman mereka menjadi sedikit terhambat. b. Sedang (40 60 db) Mereka mulai mengalami kesulitan untuk dapat memahami pembicaraan orang lain, suara yang mampu terdengar adalah suara radio dengan volume maksimal. c. Berat/parah (di atas 60 db) Kelompok ini sudah mulai sulit untuk mengikuti pembicaraan orang lain, suara yang mampu mereka dengar adalah suara yang sama kerasnya dengan jalan pada jam-jam sibuk. Biasanya kalau masuk dalam kategori ini sudah menggunakan alat bantu dengar, mengandalkan pada kemampuan membaca gerak bibir, atau bahasa isyarat untuk berkomunikasi.
9
Hambatan dalam pendengaran pada individu tuna rungu berakibat terjadinya hambatan dalam berbicara. Sehingga, mereka biasa disebut tuna wicara. Cara berkomunikasi dengan individu tuna rungu menggunakan bahasa isyarat. Bahasa isyarat melalui abjad jari telah dipatenkan secara internasional. Untuk komunikasi dengan isyarat bahasa masih berbeda-beda disetiap negara. Saat ini, beberapa SLB bagian B tengah mengembangkan komunikasi total, yaitu cara berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat,bahasa tubuh. Individu tunarungu cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari sesuatu yang abstrak. Karakteristik tunawicara: a. Berbicara keras dan tidak jelas b. Suka melihat gerak bibir atau gerak tubuh teman bicaranya c. Telinga mengeluarkan cairan d. Menggunakan alat bantu dengar e. Bibir sumbing f. Suka melakukan gerakan tubuh g. Cenderung pendiam h. Suara sengau i. Cadel Berikut ini diuraikan karakteristik anak tunarungu dilihat dari segi intelegensi, bahasa dan bicara, emosi serta sosial :
10
1. Karakteristik Dalam segi Intelegensi Pada umumnya anak tunarungu memiliki intelegensi normal atau rata-rata, akan tetapi karena perkembangan intelegensi sangat dipengaruhi oleh perkembangan bahasa maka anak tunarungu akan menampakkan intelegensi yang rendah disebabkan oleh kesulitan memahami bahasa. Rendahnya tingkat prestasi anak tunarungu bukan berasal dari kemampuan intelektual yang randah, tetapi pada umumnya disebabkan karena intelegensinya tidak mendapat kesempatan untuk berkembang dengan maksimal. Tidak semua aspek intelegensi anak tunarungu terhambat, tetapi hanya yang bersifat verbal, misalnya dalam merumuskan pengertian, menarik kesimpulan dan meramalkan kejadian. 2. Karakteristik Dalam Segi Bahasa dan Bicara Perkembangan bicara dan bahasa anak tunarungu sampai masa meraban tidak mengalami hambatan karena meraban merupakan kegiatan alami pernafasan dan pita suara. Setelah masa meraban perkembangan bahasa dan bicara anak tunarungu terhenti. Pada masa meniru anak tunarungu terbatas pada peniruan yang sifatnya visual yaitu gerak dan isyarat. Karena anak tunarungu tidak bisa mendengar bahasa, kemampuan bahasanya tidak akan berkembang bila ia tidak di didik atau dilatih secara khusus. Karena itu anak tunarungu bicara dan bahasanya pada awalnya seringkali sukar ditangkap, akan tetapi bila bergaul lebih lama dengan mereka kita akan terbiasa dengan cara bicara mereka sehingga akan mempermudah kita dalam memahami maksud bicara anak tunarungu itu.
11
3. Karakteristik Dalam segi Emosi dan Sosial Ketunarunguan dapat mengakibatkan terasing dari pergaulan sehari-hari, yang berarti mereka terasing dari pergaulan atau aturan sosial yang berlaku dalam masyarakat dimana ia hidup / keadaan ini menghambat perkembangan kepribadian anak menuju dewasa. Akibat dari keterasingan tersebut dapat menimbulkan efek-efek negatif seperti ; 1. Egosentrisme yang melebihi anak normal 2. Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas 3. Ketergantungan terhadap orang lain 4. Perhatian mereka lebih sukar dialihkan 5. Mereka umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana dan tanpa banyak masalah 6. Mereka lebih mudah marah dan cepat tersinggung. D. Terapi Terpadu untuk Anak Tuna Rungu Keywords: terapi mendengar / terapi dengar, auditory verbal therapy / terapi auditori verbal, auditory oral therapy, AVT / TAV, terapi wicara, implan koklea / cochlea implant, alat bantu dengar / ABD, komunikasi, tunarungu.
12
Prinsip Dasar Terapi Ellen (Terapi terpadu = terapi mendengar + terapi wicara) : 1. Mendengar melalui telinga yang dibantu ABD, bukan karena melihat gerakan tangan atau gerakan mulut. 2. Keterbatasan si anak dalam merespon pembicaraan kita adalah karena belum mengerti kata/kalimat yang didengar (keterbatasan kosa kata, karena baru mulai mendengar selama 2 tahun), sehingga perlu dibantu dengan gambar/gerakan tangan. Tetapi bantuan inipun sifatnya hanya sesaat dalam rangka memasok kata baru, setelah kata tersebut dimengerti, bantuan visual dihilangkan. 3. Karena itu yang penting adalah memasok kosa kata ke telinga Ellen, tanpa menuntut dia segera/langsung dapat mengerti apalagi mengucapkan. John Tracy Clinic menuliskan: untuk dapat mengerti suatu kata si anak harus mendengar 100 kali, untuk dapat mengucapkan ia harus mendengar 1000 kali. Jadi sejak Ellen memakai ABD kami konsentrasi memasok dan memasok kata ke telinganya (saat bercakap-cakap normal, maupun saat spesifik mengajarkan kata-kata baru). 4. Teknik berbicara adalah dengan volume suara normal di dekat telinganya. Hal ini bertujuan agar suluruh konsonan dapat ditangkap. Bicara pada jarak yang lebih jauh dengan suara keras (berteriak) menyebabkan yang ditangkap hanya vokal saja.
13
5. Kami telah menerapkan point 1-4 selama 1 tahun dan telah terbukti menunjukkan hasil yang baik. Pada akhir tahun pertama, dia baru memiliki bahasa reseptif (paham beberapa kata yang kami ucapkan tanpa dia melihat gerak bibir, tapi dia belum bisa mengucapkannya), lalu setelah itu mulai muncul kata-kata pertamanya (walau pengucapan tidak sempurna, tetapi konsisten), dan langsung disusul dengan kata-kata berikutnya. Metode ini biasa disebut teknik auditory verbal. 6. Kendala yang muncul adalah pengucapan yang masih sangat lemah, karena itulah atas saran John Tracy Clinic kemudian Ellen dibantu terapi wicara (di suatu RS). Terapis wicara membantu membentuk pengucapan Ellen dengan teknik terapi wicara terhadap kata-kata yang sudah dimengerti Ellen tetapi belum bagus pengucapannya. Walaupun hanya 4 bulan (terpaksa quit karena tidak tertampung jadwal baru mereka yang hanya pagisiang), pola ini telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Metode auditory verbal + terapi wicara ini biasa disebut auditory oral. Ini yang kami lanjut-terapkan saat ini (dengan bantuan terapis wicara di sekolah). Catatan: - Penelitian modern menyatakan hampir semua anak tuna rungu masih punya sisa pendengaran (tidak 100% tuli). Sisa pendengaran ini dapat dioptimalkan dengan bantuan alat bantu dengar (ABD, walaupun tidak secanggih implan koklea).
14
- Tetapi memakai ABD tidak sama dengan orang memakai kaca mata, yang langsung bisa melihat dengan lebih jelas. Karena respon atas stimuli visual adalah langsung, sedangkan respon atas stimuli auditori adalah melalui tahap pemahaman/interpretasi dulu. Untuk mencapai tahap pemahaman yang penting adalah harus sering mendengar dan mendengar, dengan pengucapan yang jelas, kalimat pendek, dan jika perlu disertai bantuan visual: gambar & gerakan tangan (kadang tanpa bantuan akan sulit anak memahami kata-kata baru, mirip kita nonton film berbahasa asing dimana kita mendengar pemain berbicara cas-cis-cus tanpa kita menangkap artinya). Tetapi bantuan itu perlahan dihilangkan, sehingga nantinya hanya akan berkomunikasi secara verbal. (by: mama Ellen, edited by papa Ellen).
E. Perkembangan pendidikan Tunarungu dan Tunawicara Salah satu literatur tertua mengenai tunarungu dan tunawicara tercatat pada abad kelima SM, dalam Plato Cratylus, di mana Socrates berkata: "Jika kami tidak memiliki suara atau lidah, dan ingin mengungkapkan hal-hal yang satu sama lain, tidak akan kami mencoba untuk membuat tanda-tanda dengan menggerakkan tangan, kepala, dan seluruh tubuh kita, seperti orang bodoh lakukan saat ini ? Disini tampak bahwa orang yang disebut Socrates sebagai orang bodoh adalah sekelompok orang yang tidak bersuara dan tidak berlidah. Terdapat juga literatur pada abad ke-2 Yudea, rekaman dalam traktat Mishnah Gittin menyatakan bahwa untuk tujuan transaksi komersial "Seorang tuli-bisu dapat mengadakan percakapan melalui suatu gerakan tertentu.
15
Di masa yang lebih modern, yaitu pada tahun 1620, Juan Pablo Bonet menerbitkan Reduccin de las letras y arte para ensear a hablar mudos los (Pengurangan huruf dan seni untuk mengajar orang bisu untuk berbicara') di Madrid. Sejumlah esai modern pertama Fonetik dan Logopedia, kemudian menetapkan metode pendidikan oral bagi penyandang tunarungu dengan cara penggunaan tanda-tanda manual, dalam bentuk alfabet manual untuk memperbaiki komunikasi dari penyandang tunarungu dan tunawicara. Terinpirasi dari bahasa tanda-tanda Bonet ini, Charles-Michel de l'pe kemudian menerbitkan alfabet manualnya di abad ke-18, yang sampai kini terus bertahan di Perancis dan Amerika Utara. Ini merupakan masa-masa awal berkembangnya pendidikan khusus penyandang tunarungu dan tunawicara. Pada 1755, Abb de l'pe mendirikan sekolah pertama untuk anak-anak penyandang tunarungu dan tunawicara di Paris. Salah satu lulusannya yang juga berperan dalam pengembangan pendidikan ini Laurent Clerc. Clerc melakukan migrasi ke Amerika Serikat bersama Thomas Hopkins Gallaudet untuk mendirikan Sekolah Amerika untuk Tuli di Hartford, Connecticut, pada tahun 1817. Perjuangan ini diteruskan oleh Edward Miner Gallaudet (putra T.H Gallaudet) yang mendirikan sekolah untuk penyandang tunarungu pada tahun 1857 di Washington, DC. Pada tahun 1864 sekolah ini menjadi National Deaf-Mute College. Universitas ini kemudian disebut Gallaudet University, dan masih merupakan universitas seni liberal hanya untuk orang-orang tunarungu dan tunawicara di dunia.
16
Di Indonesia sendiri, pendirian lembaga pendidikan yang menangani Anak Tunarungu (ATR) baru dirintis oleh C.M.Roelfsma Wesselink, di Bandung pada tahun 1933. 5 tahun kemudian, di Wonosobo didirikan lembaga pendidikan oleh Misi Katolik yang hanya menerima siswisiswi tuna rungu yang terkenal pula dengan metode oralnya. Lalu pada tahun 1953 didirikan sekolah lain di kota yang sama oleh Misi Bruder Charitas yang khusus mendidik siswa putra. Dimulai tahun 1970-an mulai berkembang berbagai versi perangkat isyarat dalam menerapkan komunikasi pada penyandang tunarungu di Indonesia. Baru tahun 1933 , Balitbang Dikbud, Dekdikbut mulai menyusun kamus baku bahasa isyarat. Dan pada tahun yang sama Direktorat Pendidikan Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah, Depdikbud mengambil keputusan membakukan suatu Sistem Isyarat Nasional, yang kemudian lebih dikenal dengan istilah Sistem Isyarat Bahasa Indonesia. Menurut sejarah pendidikan anak tunarungu dimulai setelah adanya perkembangan dan pengalaman terhadap kemampuan-kemampuan anak tunarungu. Kemampuan tersebut meliputi berbagai bidang, antara lain ; mampu dilatih mengeluarkan suara/bicara walaupun tidak dapat mendengar suara orang lain maupun suaranya sendiri, serta mampu berkomunikasi dengan masyarakat umumnya walaupun hanya menggunakan isyarat dan kadang-kadang disertai suara.
17
1. Perkembangan anak tunarungu di luar negeri Berdasarkan pengalaman-pengalaman dan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam memberikan layanan pendidikan dinegara-negara maju khususnya di amerika serikat dan eropa barat, ternyata penyandang tunarungu dapat hidup wajar seperti halnya anggota masyarakat lainnya, asal saja mereka dipersiapkan sebaik-baiknya yaitu diupayakan pengembangan kemampuan seoptimal mungkin sesuai dengan kondisinya. Hambatan utama anak tunarungu adalah kurang lancarnya berkomunikasi dengan orang lain yang diakibatkan oleh tidak berfungsinya pendengaran secara baik. Orang pertama yang menaruh perhatian terhadap pendidikan anak tunarungu adalah St. Yohannes of Baverly yang hidup pada akhir abad ke tujuh sampai abad kedelapan. Pada abad pertengahan itu menjadi lebih intensif karena pada zaman itu perhatian terhadap kemanusian lebih besar. 2. Perkembangan pendidikan anak tunarungu di indonesia Pendidikan anak tunarungu diindonesia mulai dirintis pada tahun 1930 dibandung oleh Ny. Roelfsma Wesselink ( istri dokter THT ) dengan mendirikan sekolah anak tunarungu, yang kemudian dikelola oleh perkumpulan penyelenggaraan pengajaran bagi anak Tuli Bisu di indonesia yang berkedudukan di Bandung. Kepala sekolah pertama adalah D.W. Bluenink berkebangsaan Belanda. Sekolah anak tunarungu yang kedua didirikan di wonosoba oleh Broeder-Broeder Charitas pada tahun 1938 yang mempunyai hubungan dengan sekolah bagi anak tunarungu dinegeri belanda, yakni St. Micliects gestel.
18
Setelah indonesia merdeka, khususnya setelah tahun tujuh puluhan, perkembangan pendidikan anak tunarungu semakin berarti meskipun jumlah sekolah belum memadai, tetapi sudar tersebar di kota-kota besar di indonesia. Sejak Pelita III dan awal Pelita IV pemerintah mendirikan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) sebanyak 200 buah, yang prioritas didirikan dikota-kota yang belum memiliki SLB.
F. Peranan Orang Tua Dalam Pendidikan Anak Tunarungu Masa-masa yang paling kritis dalam kehidupan orang tua adalah ketika mereka harus mengakui bahwa anaknya berkelainan. Keadaan tersebut akan menimbulkan bermacam- macam reaksi. Beberapa diantaranya akan berusaha menghindarkan diri dari kenyataan ini, seperti dengan menyembunyikan anak tersebut. Selain itu ada juga yang berhati mulia menghadapi kenyataan tersebut bahkan sekaligus memikirkan masa depan anaknya yang berkelainan. Penting untuk disadari bahwa penerimaan yang secepatnya dari orang tua terhadap anaknya serta membuat rencana untuk masa depan anaknya adalah merupakan suatu kebajikan untuk kebahagiaan anak itu sendiri maupun bagi orang tua/keluarganya sendiri.
19
Sikap positif yang dituntut dari orang tua adalah sikap menerima sebagaimana adanya yaitu sikap yang bijaksana yang mencerminkan ketulusan terhadap kehendak ilahi, sehingga dapat membahagiakan anak tunarungu. Sikap menerima berarti adanya pengakuan terhadap eksistensi anak tunarungu sebagai mahkluk tuhan dan anggota keluarga yang sederajat dan berhak memperoleh kasih sayang seperti halnya anak yang lain. Pendidikan kepada anak tunarungu hendaknya didasarkan pada aspek penerimaan yang tulus atas kondisi kelainannya. Pendidikan pertama-tama adalah merupakan tanggung jawab orang tuanya. Pendidikan dan latihan harus diberikan kepada anak tunarungu sedini mungkin untuk menghindari / mengurangi kemungkinan terjadi kelainan tambahan, seperti tunawicara atau bisu. Agar dapat mendidik dan melatih anak tunarungu sebaik-baiknya, orang tua dituntut memiliki berbagai pengetahuan dan keterampilan antara lain : - Pengetahuan tentang jenis dan tingkat ketunarunguan - Pengetahuan tentang karakteristik anak tunarungu - Pengetahuan tentang cara-cara mendidik anak tunarungu yang meliputi segi-segi teori maupun praktek.
20
- Pengetahuan tentang cara mamilih, menggunakan, serta merawat alat bantu dengar. - Pengetahuan dan keterampilan tentang cara berkomunikasi dengan anak tunarungu agar kemampuan berbicara dan berbahasanya makin berkembang.
G. Penyebab Terjadinya Tunarungu a. Penyebab Tunarungu Tipe Konduktif: 1) Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga luar yang dapat disebabkan antara lain oleh: tidak terbentuknya lubang telinga bagian luar (atresia meatus akustikus externus), dan terjadinya peradangan pada lubang telinga luar (otitis externa). 2) Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga tengah, yang dapat disebabkan antara lain oleh hal-hal berikut: Ruda Paksa, yaitu adanya tekanan/benturan yang keras pada telinga seperti karena jatuh tabrakan, tertusuk, dan sebagainya. Terjadinya peradangan/inpeksi pada telinga tengah (otitis media).
21
Otosclerosis, yaitu terjadinya pertumbuhan tulang pada kaki tulang stapes. Tympanisclerosis, yaitu adanya lapisan kalsium/zat kapur pada gendang dengar (membran timpani) dan tulang pendengaran. Anomali congenital dari tulang pendengaran atau tidak terbentuknya tulang pendengaran yang dibawa sejak lahir. Disfungsi tuba eustaschius (saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan rongga mulut), akibat alergi atau tumor pada nasopharynx. 3) Penyebab Terjadinya Tunarungu Tipe Sensorineural Disebabkan oleh faktor genetik (keturunan), Disebabkan oleh faktor non genetik antara lain: - Rubena (Campak Jerman) - Ketidaksesuaian antara darah ibu dan anak. - Meningitis (radang selaput otak ) - Trauma akustik.
H. Cara Pencegahan Terjadinya Tunarungu 1) Pada saat sebelum nikah (pra nikah) antara lain: menghindari pernikahan sedarah atau pernikahan dengan saudara dekat; melakukan pemeriksaan darah; dan melakukan konseling genetika.
22
2) Upaya yang dapat dilakukan pada waktu hamil,antara lain: menjaga kesehatan dan memeriksakan kehamilan secara teratur; mengkonsumsi gizi yang baik/seimbang; tidak meminum obat sembarangan; dan melakukan imunisasi tetanus. 3) Upaya yang dapat dilakukan pada saat melahirkan, antara lain: tidak menggunakan alat penyedot dan apabila Ibu tersebut terkena virus herpes simplek pada daerah vaginanya,maka kelahiran harus melalui operasi caesar. 4) Upaya yang dapat dilakukan pada masa setelah lahir antara lain: melakukan imunisasi dasar serta imunisasi rubela yang sangat penting, terutama bagi wanita; mencegah sakit influenza yang terlalu lama (terutama pada anak); dan menjaga telinga dari kebisingan.
I. Analisis Kasus Kasus 1 Cerita Shafa: Tuna Rungu Jangan Menjadi Hambatan Shafa, adalah seorang anak yang merupakan inspirator untuk anak-anak lain agar tidak menyerah dengan ketidak normalan pada pendengaran. Berikut merupakan penuturannya.
23
Namaku Shafa Husnul Khatimah, aku lahir di Bandung tanggal 20 Juni 1991. Aku adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Aku dilahirkan dengan keadaan normal, aku cucu pertama dari keluarga ibuku, aku sangat disayang dan diperhatikan oleh keluarga besar ibuku. Ibu dan keluargaku bercerita bahwa aku adalah anak yang sangat lucu dan menggemaskan. Ketika aku bayi sampai usiaku 20 bulan tidak ada yang dikhawatirkan terhadap diriku sebab aku tumbuh dengan sangat wajar, namun pamanku sedikit takut dengan pendengaranku, karena setiap mereka memanggil namaku, tak penah sekalipun aku menoleh, sehingga pamanku menyarankan kepada ibuku untuk memeriksakan pendengaranku, ketika itu ibuku marah besar karena menurut beliau tidak ada masalah dengan pendengaranku. Namun akhirnya ibuku ikut juga saran paman untuk memeriksakan pendengaranku. Aku diperiksa oleh dokter THT namun dokter tidak yakin apakah aku tuli atau tidak, untuk meyakinkan apakah aku punya masalah pada pendengaranku akhirnya aku periksa BERA (test pendengaran dengan peralatan computer). Setelah selesai pemeriksaan dan mendapatkan hasilnya betapa terkejutnya keluargaku karena dokter menyatakan bahwa aku termasuk anak tuna rungu berat, ini semua dilihat dari hasil tes BERA yang menunjukkan bahwa untuk telinga kanan tidak tembus ambang 110 Db (Decibel) - kekerasan suara yang terdengar diatas 110 Db - , dan telinga kiri mencapai 110 db.
24
Setelah mendapatkan hasil tes BERA tersebut keluarga besarku mencari solusi untuk pengobatanku baik melalui dokter sampai ke alternatif, karena mereka beranggapan bahwa kita harus berusaha dan berdoa semaksimal mungkin karena Allah akan memberikan hasil sesuai dengan usaha dan doa kita. Saat aku memasuki bangku sekolah, aku masuk TK umum di Cimahi ketika usiaku 4 tahun. Aku belum bisa bicara seperti teman-teman yang lain, namun aku tidak berkecil hati sebab aku terus belajar dan mengikuti terapi bicara, namun orang tuaku kasihan melihatku yang sering kali dibicarakan oleh teman-temanku. Akhirnya aku dipindahkan ke sekolah khusus anak tuna rungu di Jakarta. Padahal ketika itu banyak sekali hal-hal yang dikorbankan termasuk karir ayahku dimana ayahku harus cari kerja baru di Jakarta, padahal karir ayahku saat itu cukup bagus, namun demi aku mereka rela memulai dari awal lagi. Di samping itu juga aku sangat sedih harus berpisah dengan ibu Dewi Tirtatawati, beliau adalah salah satu orang yang sangat berharga bagiku, karena tanpa beliau aku belum tentu bisa berbicara seperti sekarang ini. Ibu Dewi adalah guru terapi bicaraku, dia sangat sabar dan sayang kepadaku, aku terapi setiap hari dari hari Senin sampai Jumat, di rumah sakit Hasan Sadikin Bandung. Ketika kami pindah ke Jakarta aku dimasukkan ke sekolah SLB-B Santi Rama, namun aku hanya bisa sekolah di sana 2 minggu sebab ibuku melihat aku tidak cocok sekolah di sana. Akhirnya aku dipindahkan lagi ke TK umum Mutiara Indonesia cabang Kayu Putih,selama 2 tahun.
25
Alhamdulilah ketika aku bersekolah di sana aku punya banyak teman, karena mereka sangat peduli dan mau berteman denganku, walaupun aku belum lancar bicara tapi mereka mau mengerti dan memahamiku. Setelah itu aku pindah lagi ke Cimahi untuk masuk SD. Di Cimahi aku masuk sekolah SD umum yaitu SDN 2 Cimahi. Aku masuk SD berumur 7 tahun. Alhamdulillah aku bisa mengikuti pelajaran dengan baik dan bicaraku pun semakin baik juga sebab aku tetap terapi bicara terus sampai usiaku 7 tahun. Ketika aku baru masuk SD sampai kelas 4 aku sering dihina teman-temanku, mereka bilang aku si kuping robot sebab di telingaku ada alat bantu dengar, tapi aku tak menghiraukan mereka yang penting aku tidak merugikan mereka dan tidak membalasnya. Alhamdulillah setelah kelas 5 teman-temanku tidak lagi menghinaku. Aku di sekolah tidak minder. Aku berpikir, aku seperti ini adalah kehendak Allah. Aku, orang tuaku dan keluarga besarku tidak ingin aku dikasihani, sehingga aku diperlakukan sama seperti yang lain. Aku di sekolah memang tidak dapat ranking 5 besar tapi nilaiku cukup bagus terbukti dengan nilai UPMPku sehingga aku bisa masuk SMPN 1 Cimahi.yang menurut orang-orang SMPN favorit yang sangat bagus dan berat untuk bisa masuk ke sana. Ketika aku duduk di kelas 1 SMP, aku memutuskan untuk menggunakan kerudung. Alhamdulillah aku punya banyak teman. Teman-temanku tidak menyangka kalau aku adalah anak tuna rungu, bahkan guru-guru juga. Ibuku selalu bercerita kepada guru-guru BP, padahal aku tidak ada masalah dengan pelajaran di sekolah, kecuali setiap ada pelajaran mendengar (listening), aku sangat susah untuk mengikuti. Alhamdulillah pada pelajaran lain aku dapat menerima dengan cukup baik.
26
Sekarang aku kelas 3 SMP, aku pernah ikut olimpiade matematika se-kota Cimahi ketika kelas 2 SMP, alhamdulillah aku dapat peringkat 3 ketika tes tertulis. Ketika SD aku juga sering juara lomba Sempoa Aritmatika dan Mewarnai. Aku juga belajar drum sampai sekarang sebab setelah aku belajar drum aku bisa belajar alat musik lain seperti gitar, keyboard, recorder. Sebelum aku belajar drum aku tidak bisa belajar alat musik apapun dan entah kenapa setelah aku belajar drum aku bisa belajar alat musik yang lain. Mungkin di drum aku belajar ketukan sehingga aku sedikit tahu tentang alat musik yang ditentukan dengan tempo (ketukan). Aku juga tidak malu kalau tampil main drum dan aku pernah tampil ketika kota Cimahi berulang tahun. Orang-orang yang tidak tahu tentang keadaanku mereka tidak menyangka bahwa aku anak tuna rungu berat sebab aku bisa bicara seperti anak normal. Namun, memang aku sering tidak bisa mendengar kalau orang bicara pelan walaupun aku sudah pakai Alat Bantu Dengar. Aku dan keluargaku ingin sekali berbagi kepada semua orang yang memiliki anak tuna rungu, sebab orang sering beranggapan kalau anak tuna rungu itu tidak bisa berbicara dengan lancar. Aku ingin tunjukkan bahwa yang tuna rungu bisa berbicara dengan lancar dan baik sebagaimana orang normal. Kami ingin menginformasikannya kepada semua orang.
27
Kasus II Epi merupakan seorang anak yang tinggal di daerah desa Padang Alai, Kecamatan V Koto Timur, Kabupaten Padang Pariaman. Epi awalnya dibesarkan oleh orang tua kandungnya sendiri. Orang tua kandungnya merupakan tuna wicara yang berprofesi sebagai petani. Orang tua Epi membesarkannya dengan penuh kasih sayang, meskipun serba kekurangan. Namun sayang sekali, dikarenakan orang tuanya tuna wicara, maka Epi pun berangsur-angsur tidak dapat berbicara. Padahal menurut bidan yang mengurus persalinannya, pada saat ia dilahirkan hingga umur beberapa bulan, ia masih bisa menangis seperti anak normal pada umumnya. Epi tinggal di daerah terpencil sehingga sangat jarang berkomunikasi dengan orang lain. Uniknya, Epi dapat meniru suara gonggongan anjing. Ini dikarenakan orang tuanya memelihara seekor anjing. Suara anjing tersebut sering didengar oleh Epi dan ditirunya. Jadi meskipun Epi tidak bisa berbicara, ia masih bisa meniru suara- suara yang ia dengar disekelilingnya. Saat ini, Epi diasuh oleh saudara ibunya. Meskipun telah diajarkan mengucapkan kata-kata oleh orang tua angkatnya, ternyata Epi tetap tidak dapat berbicara. Ia hanya bisa meniru bunyi-bunyian yang pernah didengarnya dahulu sewaktu masih dibesarkan oleh otang tua kandungnya. Kenyataan inilah yang membuat penulis tertarik untuk menganalisis pemerolehan bahasa pertamanya selama dibesarkan oleh orang tua yang tua wicara. Pemerolehan bahasa pertama pada anak tergantung pada bunyi- bunyian atau kata-kata yang mereka dengar pada masa-masa awal mereka tumbuh. Sejauh mana mereka bisa meniru, membunyikan, dan mengucapkan suatu kata tergantung dari bahasa ibu yang mereka dapatkan.
28
Karenanya jika mereka tidak mendapatkan bunyi-bunyian untuk ditiru, maka alat ucap mereka menjadi tidak berfungsi. Ini disebabkan karena mereka tidak mengoptimalkan penggunaan alat ucap mereka. Hal ini yang terjadi pada Epi. Selama dibesarkan oleh orang tuanya yang tuna wicara, Epi tidak pernah mendengar bunyi-bunyian atau kata-kata yang dapat ia tiru untuk kemudian diucapkan. Padahal, pada awalnya Epi mamapu bersuara seperti anak-anak pada umumnya. Ia mampu menangis seperti pada umumnya. Namun, setelah berumur beberapa bulan hingga umur 4 tahun, ia tidak pernah mendengar kata-kata dari orang tuanya. Sehingga ia pun tidak bisa berbicara. Epi hanya bisa membunyikan bunyi-bunyian tertentu, dimana bunyi-bunyi tidak pernah ia dapatkan dari kedua orang tuanya. Bunyi-bunyian yang ia dengungkan pun tidak jelas maknanya dan tidak berupa kata-kata, hanya berupa lenguhan-lenguhan singkat. Epi mengalami masa-masa pertumbuhan yang tidak seperti biasa dialami oleh anak- anak pada umumnya. Ia tidak pernah mengalami masa-masa membabel, holofrasa, dan dua kata seperti yang biasa dialami anak-anak pada umumnya. Ia tidak pernah berusaha menggunakan alat ucapnya untuk mengucapkan suatu kata, ini dikarenakan tak ada kata-kata yang bisa ia tiru. Dengan demikian jelas sudah. Terdapat hubungan antara cara mendidik orang tua dengan pemerolehan bahasa pertama anak. Seorang anak apabila tidak mendapatkan kata- kata untuk ia tiru pada masa-masa ia seharusnya meniru sebuah kata, maka alat ucapnya tidak akan berfungsi lagi.
29
J. Layanan Yang Diperlukan a. Sistem Layanan Pendidikan Tunarungu b. Anak yang mendengar, semasa usia balita, akan secara spontan menemukan bermacam- macam lambang; baik lambang untuk benda, berbagai kegiatan, maupun segala perasaan orang, serta menemukan aturan tata bahasa yang dipakai oleh ibunya. Lambang bahasa serta aturan tata bahasa yang telah ditemukan tersebut kemudian diterapkan secara tepat dalam percakapan sehari-hari tanpa mengetahui istilah tata bahasa bakunya. A.van Uden; seorang tokoh pendidikan anak tunarungu dari Belanda; mengatakan bahwa anak tunarungu yang ditangani secara dini, dalam arti sejak bayi diajak dan dilatih untuk berkomunikasi seperti bayi yang mendengar, akan terhindar dari ketertinggalan perkembangan bahasa-nya yang amat jauh dari anak dengar seusianya. Maka A. van Uden kemudian mengembangkan suatu metode atau model pengajaran bahasa untuk anak tunarungu yang menggunakan dasar tahapan perkembangan bahasa pada anak dengar.
30
c. Permasalannya adalah bahwa akibat ketunarunguan anak tidak hanya tidak dapat mendengar/ terganggu pendengarannya, tetapi juga tidak berbahasa, artinya tidak dapat berkomunikasi secara wajar (secara oral/lisan). Menurut kenyataan, tidak semua anak tunarungu berhasil dididik untuk menungkapkan bahasanya dengan cara yang lazim dipakai orang dengar, yaitu secara oral. Dari sinilah muncul pemikiran untuk mencarikan berbagai cara berkomunikasi, di samping mencarikan metode untuk pengajaran bahasanya. Kebanyakan guru SLB-B tidak menyadari perbedaan antara kedua hal tersebut. Ada empat Aliran dalam Media Komunikasi dalam pembelajaran yakni (1) Aliran Oral : ada yang secara murni + membaca ujaran, ada juga secara oral + aural (memanfaatkan sisa pendengarannya). (2) Aliran Manual : Ada juga dengan isyarat/gesti saja. Ada pula yang dengan isyarat baku + abjad jari/SIBI (3) Aliran Campuran : secara oral + salah satu media lain atau semua media lain dalam Komunikasi Total, (4) Aliran Auditory Verbal/AVT : mengandalkan kemampuan dengar saja tanpa membaca ujaran. Sedangkan pendekatan pemerolehan / pengajaran bahasa bagi siswa tunarungu meliputi , pertama aliran Konstruktif/Struktural/gramatikal : yaitu pengajaran bahasa secara Formal, kedua aliran Natural yaitu pengajaran bahasa secara informal dengan pendekatan percakapan atau menggunakan bahasa ibu. Pada pertengahan abad 20 ini muncul sebuah metode pengajaran bahasa yang menggabungkan antara pendekatan Informal dengan Formal menjadi Semi Formal, yang terkenal dengan Metode Maternal Reflektif atau Metode Pengajaran Bahasa Ibu yang Reflektif. Dengan Metode Maternal Reflektif kita akan membawa anak tunarungu dari keadaan tak berbahasa hingga menguasai bahasa seperti yang dipakai oleh lingkungannya. 30
d. Metode Maternal Reflektif tersebut dalam pelaksanaannya ditunjang dengan pelaksanaan Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama, yang terdiri dari : Bina Wicara, Bina Persepsi Bunyi dan Irama Musik maupun Bahasa serta Bina Isyarat, secara terprogram , kontinyu dan berkesinambungan. Bagaimana Bina Wicara, BPBI, Bina Isayarat tersebut dilaksanakan di SLB B ? e. Penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa Tunarungu yang Ideal f. Mengubah peran guru dari pendidik yang spesialis ke generalis, pendekatan interdisipliner dengan meningkatkan kelenturan dalam menggunakan pendekatan/metode pembelajaran bagi tunarungu. g. Perlunya pengkaderan pengurus yayasan, kepala sekolah, baik sebagai manager maupun leader yang memahami atau menguasai bidang keahliannya dalam pendidikan tunarungu, sehingga terampil mengelola sistem pendidikan tunarungu. h. Dalam kegiatan belajar mengajar, menggunakan Kurikulum Lintas Bahasa, dengan pendekatan metode pemerolehan bahasa dan sistem komunikasi tunarungu yang tepat (metode pemerolehan bahasa yang ditawarkan Metode Maternal Reflektif). i. Terlaksananya layanan deteksi dan intervensi dini, dengan memberikan layanan Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama secara terprogram, terarah, kontinyu dan berkesinambungan. j. Pemanfaatan sisa pendengaran dengan mengoptimalkan alat bantu dengar secara benar, meliputi : pemilihan, pemanfaatan dalam rehabilitasi dan habilitasinya, serta sistem perawatanya.
31
k. Strategi optimalisasi semua komponen sekolah ; guru, orangtua/masyarakat, lingkungan dan sarana prasarana dalam pelayanan pendidikan siswa tunarungu secara berkualitas.
K. Implementasi Model Pembelajaran Anak Tunarungu di Kelas Inklusi Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi tidaklah mudah. Sebelum menempatkan anak tunarungu di kelas inklusi, sebaiknya persyaratan dibawah ini dapat dipenuhi, yaitu: 1. Anak tunarungu harus memiliki bahasa yang cukup. Artinya sebelum anak tunarungu dimasukan dalam kelas inklusi terlebih dahulu harus memiliki bahasa yang dapat menjembatani pembelajaran yang dilakukan dikelas inklusi dan mampu berkomunikasi dengan baik. Hal ini sangat diperlukan agar anak tunarungu mampu mengikuti pembelajaran dengan anak regular lainnya tanpa harus menjadi penonton di dalam kelas. Tanpa bahasa yang cukup anak tunarungu hanya sebagai hiasan di kelas inklusi tanpa bisa mencerna dan memahami pembelajaran yang diberikan oleh guru. 2. Sekolah yang di dalamnya menyertakan anak berkebutuhan khusus harus memiliki guru pendamping yang berlatarbelakang PLB, lebih baik lagi jika guru pendamping tersebut berlatarbelakang dari sekolah luar biasa dengan bidang kajian yang sama dengan anak berkebutuhan khusus yang ada di kelas inklusi. 3. Guru regular hendaknya memahami karakteristik anak tunarungu serta sedapat mungkin mampu berempati terhadap anak tunarungu agar pembelajaran yang diberikan dapat dipahami dengan mudah.
32
4. Guru regular mampu menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran bagi anak tunarungu seperti prinsip keterarah wajahan, keterarah suaraan, prinsip intersubyektivitas dan prinsip kekonkritan. 5. Lingkungan di sekolah inklusi harus kondusif dan dapat menerima keberadaan anak berkebutuhan khusus. 6. Sarana dan prasarana yang mendukung bagi anak berkebutuhan khusus. Jika persyaratan diatas telah dipenuhi, maka selanjutnya pembelajaran di kelas inklusi bagi anak tunarungu dapat dilakukan. Pembelajaran tunarungu yang paling utama dan terutama adalah pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa ini diperoleh melalui percakapan. Untuk mencapai kepada pembelajaran yang bermakna bagi tunarungu dibutuhkan pendekatan khusus yaitu metode maternal reflektif (MMR). Pembelajaran bagi tunarungu berbeda dari pembelajaran yang ada pada umumnya. Hal ini dikarenakan tunarungu tidak dapat menerima informasi melalui pendengarannya dan untuk itu maka diperlukan adanya visualisasi untuk lebih memudahkan tunarungu menyerap informasi. Melalui metode maternal reflektif ini tunarungu diolah bahasanya. Mulai dari mengeluarkan suara, mengucapkan kata dengan benar sesuai dengan artikulasinya, hingga tunarungu mampu berkomunikasi dengan menggunakan beberapa kalimat yang baik dan benar.Secara garis besar, kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ini terdiri atas kegiatan percakapan, termasuk di dalamnya menyimak, membaca dan menulis yang dikemas secara terpadu dan utuh. Dengan ini anak memahami dan dapat menemukan sendiri kaidah- kaidah percakapan.
33 1. Kegiatan Percakapan Kegiatan percakapan menjadi ciri utama dalam menggunakan metode maternal reflektif, karena penyampaian materi ajar semua bidang studi dilakukan melalui percakapan. Dalam metode ini dikenal dua jenis percakapan, yaitu percakapan dari hati ke hati atau conversation form heart to heart dan percakapan linguistik atau linguistic conversation (Uden, 1977). Percakapan dari hati ke hati merupakan percakapan yang spontan, fleksibel untuk mengembangkan empati anak. Ungkapan yang dimaksud anak melalui kata-kata atau suara yang kurang jelas, gesti atau gerakan-gerakan lainnya dan isyarat ditangkap oleh guru (seizing method) dan dibahasakan sesuai dengan maksudnya kemudian meminta anak untuk mengucapkannya kembali (play a double part). Namun dalam kegiatan ini guru tetap menjaga lajunya percakapan dan pertukaran yang terjadi di antara anggota yang bercakap (anak dengan anak atau anak dengan guru) misalnya berupa persetujuan, penyangkalan, imbauan, atau komentar atau pertanyaan untuk memperjelas pesan komunikasi.
34
Membaca dan menulis penyandang tunarungu dikembangkan melalui percakapan. Pada awalnya perilaku berbahasa mereka berada pada taraf pengungkapan diri melalui gesti atau gerakan-gerakan lainnya, isyarat, dan suara-suara yang kurang jelas maknanya yang kemudian dibahasakan oleh guru melalui seizing method dan play a double part. Anak menerima masukan bahasa tersebut melalui membaca ujaran dan atau melalui pemanfaatan sisa pendengarannya. Ungkapan-ungkapan bahasa yang belum ditangkap secara sempurna dari diucapkannya dalam kegiatan percakapan itu dituliskan atau divisualkan dalan bentuk tulisan yang kemudian dibacanya. Bacaan visualisasi hasil percakapan dipahami anak secara global intutif karena apa yang ditulisi dan dibacanya merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca permulaan pada anak tunarungu menurut MMR merupakan membaca ideo visual. Pengenalan bunyi fonem (vokalisasi dan konsonan) diberikan menyatu dalam kata dan pengucapannya sehingga lebih bermakna yang pada akhirnya anak mengenal huruf, kata, cara pengucapan, dan cara penulisannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkembangan kemampuan berbahasa anak berlangsung secara serempak.
35
Pelaksanaan pembelajaran di kelas inklusi bagi guru reguler hendaknya mengikuti teknik atau kaidah-kaidah guru sekolah luar biasa dalam membelajarkan anak tunarungu, prinsip- prinsip MMR harus dipahami oleh guru reguler, sehingga sekalipun di dalam kelas regular anak tunarungu tetap dilibatkan dalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Kemampuan guru dalam melibatkan anak tunarungu dalam proses pembelajaran memang tidak semudah membelajarkan anak-anak yang mendengar, dikarenakan setiap kata yang diucapkan oleh guru harus dimengerti dan dipahami anak terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam substansi materi yang akan diberikan. Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi haruslah benar-benar terprogram dan selalu berbasis pada pengembangan bahasa anak yang dilakukan secara berkesinambungan, karena tanpa bahasa yang dikuasai anak tunarungu, maka pembelajaran di kelas inklusi tidak akan bermanfaat. L. Kurikulum Pendidikan Khusus Anak Tunarungu Ketunarunguan yang berdampak kepada kemiskinan bahasa dan hambatan dalam berkomunikasi, dianggap menyulitkan orang lain termasuk dalam layanan pendidikannya. Hal ini dapat dibuktikan terutama di Indonesia, hingga kini layanan pendidikan bagi anak tunarungu sebagian besar bersifat segregatif, yaitu pelayanan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus yang terpisah dari satuan pendidikan pada umumnya. Wujud dari pendidikan segregatif ini adalah yang lazim dikenal Sekolah Khusus (SKh).
36 Sistem segregatif ini baik, jika hanya untuk kepentingan pembelajaran, namun jika sampai kepada layanan pendidikan, segregatif tentu saja akan merugikan anak. Mereka akan kehilangan haknya untuk belajar, bersosialisasi dan berkomunikasi dengan teman sebayanya yang mendengar. Sistem pendidikan segregatif (SKh) sangat tidak membantu perkembangan sosialitas peserta didik. Sehingga tetap sulit bagi anak khusus, khususnya anak tunarungu yang sudah tamat dari SKh untuk dapat diterima sebagai anggota masyarakat. Hal ini merupakan akibat dari adanya penyederhanaan strategi pembelajaran yang tidak memperhitungkan bahwa pergaulan antar peserta didik dalam komunitasnya merupakan bentuk proses pembelajaran natural yang seharusnya tidak boleh diabaikan. Berdasarkan karakteristik anak tunarungu, khususnya miskinnya bahasa yang disebabkan karena ketunarunguannya yang berakibat ia tidak mengalami masa pemerolehan bahasa seperti halnya anak dengar lainnya, maka dalam pengembangan kurikulum untuk anak tunarungu harus dilandasi pada kompetensi berbahasa dan komunikasi yang selanjutnya dapat diimplementasikan dalam pengajaran bahasa yang menggunakan pendekatan percakapan. Disinilah nampak metode ini sejalan dengan konsep Language Across the Curricullum atau kurikulum lintas bahasa, yang memiliki filosofi bahwa tujuan kurikulum akan dapat dicapai dahulu jika didahului dengan keterampilan dan penguasaan bahasa yang tinggi.
37
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari Language Across the Curricullum itu adalah sebuah metode pembelajaran yang senantiasa disajikan melalui konteks kebahasaan melalui percakapan, yang tahapannya dari mulai penguasaan bahasa, aturan bahasa, hingga ke pengetahuan umum.Untuk itu perlu dikembangkan satu model kurikulum bagi anak dengan gangguan pendengaran yang berbasiskan Kompetensi Berbahasa dan Komunikasi untuk menuju kecakapan hidup. Kurikulum yang berlaku di pendidikan khusus untuk anak tunarungu masih menggunakan Kurikulum 1994, sedangkan wacana yang berkembang sekarang ini kurikulum yang berbasis kompetensi sehingga mengarah pada skill dan keterampilan masing-masing peserta didik sesuai dengan kekhususannya. Secara proporsional kurikulum pada SMPKh menitikberatkan pada program keterampilan 42% dan SMAKh menitikberatkan pada program keterampilan 62%. Pelaksanaannya di lapangan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan di mana sekolah tersebut berada dan hal ini pun masih harus disesuaikan dengan keberadaan situasi dan kondisi lingkungan daerah masing-masing. Sebagai contoh: 1. Sekolah yang berada di lingkungan pantai, maka kurikulum muatan lokalnya antara lain pengolahan hasil laut, atau keterampilan yang menunjang perangkat nelayan, misalnya merajut jaring, jala dan sebagainya; 2. Sedangkan untuk sekolah yang berada pada daerah pegunungan atau dataran rendah dapat menerapkan keterampilan pertanian, perikanan darat, keterampilan menganyam dan sebagainya.
38 3. Sekolah yang berada di perkotaan dapat menerapkan keterampilan otomotif, percetakan, sablon, mengukir atau membatik.
M. Alat Pendidikan Khusus Berhubung dengan ketulian yang dideritanya, maka sangat diperlukan alat-alat bantu khusus meningkatkan potensinya, yang masih dapat diperbaiki dan dikembangkan terutama masalah komunikasi baik dengan menggunakan bahasa lisan maupun tulisan. Kebutuhan minimal alat kebutuhan khusus di Sekolah Luar Biasa untuk anak- anak tunarungu antara lain: 1) Audiometer Yaitu alat penelitian yang dapat mengukur segala aspek dari pendengaran seseorang. Dengan audiometer dapat dibuat sebuah audigram yang dapat memberitahukan angka dari sisa pendengaran anak. 2) Alat bantu mendengar (hearing aid) Dengan mempergunakan alat bantu dengar (hearing aid) perorangan dan alat bantu dengan (group hearing aid) kelompok, anak-anak tunarungu diberikan latihan mendengar. Latihan-latihan tersebut dapat diberikan secara individual atau secara kelompok.
39
3) Cermin Untuk memberikan cantoh-contoh ucapan dengan artikulasi yang baik diperlukan sebuah cermin. Dengan bantuan cermin kita dapat menyadarkan anak terhadap posisi bicara yang kurang tepat. Dengan bantuan cermin kita dapat mengucapkan beberapa contoh konsonan, vokal dan kata-kata atau kalimat dengan baik. 4) Alat bantu wicara (speech trainer) Speech trainer ialah sebuah alat elektronik terdiri dari amplifaer, head phone dan mickrophone. Gunanya untuk memberikan latihan bicara individual. Bagi yang masih mempunyai sisa pendengaran cukup banyak akan sangat membantu pembentukan ucapannya. Bagi yang sisa pendengarannya sedikit akan membantu dalam pembentukan suara dan irama. Alat Peraga Untuk memperkaya perbendaharaan bahasa anak hendaknya jangan dilupakan alat- alat peraga tradisional seperti: 1) Miniatur binatang-binatang 2) Miniatur manusia 3) Gambar-gambar yang relevan 4) Buku perpustakaan yang bergambar 5) Alat-alat permainan anak.
40
Sesuai dengan kemampuan anak tunarungu dalam kurikulum lebih diutamakan mata pelajaran keterampilan yang menuju kearah irama. Untuk itu diperlukan alat-alat keterampilan untuk pria dan atau wanita antara lain sebagai berikut : 1) Alat pertukangan 2) Alat pertanian 3) Alat perbengkelan 4) Alat tenun 5) Alat masak memasak 6) Alat jahit menjahit 7) Alat salon kecantikan 8) Alat potong rambut (barber shop) 9) Komputer N. Bimbingan dan Konseling bagi Anak Tunarungu Masalah-masalah bimbingan anak tunarungu bukan karena anak memiliki kelainan ( tunarungu ) tetapi karena ia seorang anak yang sedang berkembang. Agar dapat memberikan layanan kepada anak tunarungu secara tepat dalam merencanakan dan menentukan masa depannya, dan agar mereka dapat memiliki kehidupan yang layak sehingga dapat mensupport diri sendiri maupun keluarganya, maka pendidikan bagi anak tunarungu perlu dilengkapi dengan program bimbingan yang jelas dan terarah sesuai dengan kebutuhan anak.
41 Untuk lebih jelasnya apa yang dimaksud dengan bimbingan anak tunarungu dan jenis bimbingan apa yang diperlukannya, perhatikan baik-baik uraian berikut ini : 1. Pengertian Bimbingan Anak Tunarungu Bimbingan terhadap anak tunarungu merupakan suatu usaha mempersiapkan anak tunarungu agar dapat mencapai kondisi yang optimal dalam proses pendidikan serta mampu menghadapi tuntutan yang datang dari masyarakat. Tujuan utam bimbingan adalah untuk mengembangkan potensi setiap anak tunarungu sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Usaha ini berkaitan erat dengan pengembangan kemampuan fisik, psikologis, kestabilan emosi serta kemampuan pribadi. 2. Bimbingan Komunikasi kepada Anak Tunarungu Bimbingan komunikasi kepada anak tunarungu bertujuan membuka dan memperlancar komunikasi mereka, hal ini merupakan langkah utama dalam melaksanakan pendidikan mereka, sehingga akan memperlancar pencapaian tujuan bimbingan yang akan dilakukan secara serempak dilingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Bimbingan yang perlu diberikan ialah : - Bimbingan dilingkungan keluarga - Bimbingan dilingkungan sekolah - Bimbingan dilingkungan masyarakat.
42
3. Bimbingan Pribadi kepada Anak Tunarungu Bimbingan pribadi kepada anak tunarungu bertujuan agar mereka dapat mengenal dirinya, menyadari kemampuan serta kekurangannya, dan akhirnya mereka diharapkan mempunyai sikap positif terhadap keadaan dirinya, mempunyai kemauan untuk belajar dan bekerja, tidak merasa rendah diri, serta memiliki kestabilan emosi. Bimbingan pribadi diberikan kepada seseorang yang mempunyai masalah pribadi dengan harapan agar ia mampu mengatasi masalahnya. Masalah pribadi dapat bersumber dari dirinya sendiri, lingkungan, keluarganya, dan juga dapat bersumber dari masyarakat sekitarnya. 4. Bimbingan Pekerjaan kepada Anak Tunarungu Bimbingan pekerjaan kepada anak tunarungu bertujuan agar anak tunarungu pada akhirnya mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya dan yang cocok dengan kepribadiannya, agar mereka merasa mantap dalam pekerjaan dan menikmati kebahagiaan dalam hidupnya. Langkah pertama dalam bimbingan pekerjaan kepada anak tunarungu adalah menganalisis kepribadian, bakat dan minat mereka. Kegiatan itu perlu untuk mengarahkan dan menentukan langkah selanjutnya, sehingga dapat memberikan masukan berharga kepada pembimbing dalam memilih dan melatih pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan anak. Pemilihan pekerjaan bagi anak yang tidak sesuai akan merusak perkembangan jiwa anak.
43
BAB III PENUTUP
A. Simpulan 1. anak penyandang tunarungu dan tunawicara adalah anak yang kehilangan kemampuan untuk mendengar baik sebagaian maupun seluruhnya yang mengakibatkan tidak mampu untuk menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupannya sehari-hari dan juga tidak mampu mengembangkan kemampuan bicaranya. 2. Masalah yang utama pada diri seorang tunawicara adalah mengalami kehilangan/terganggunya fungsi pendengaran (tunarungu) dan atau fungsi bicara (tunawicara), yang disebabkan karena bawaan lahir, kecelakaan maupun penyakit. 3. Masa-masa yang paling kritis dalam kehidupan orang tua adalah ketika mereka harus mengakui bahwa anaknya berkelainan. 4. Ketunarunguan yang berdampak kepada kemiskinan bahasa dan hambatan dalam berkomunikasi, dianggap menyulitkan orang lain termasuk dalam layanan pendidikannya. 5. Masalah-masalah bimbingan anak tunarungu bukan karena anak memiliki kelainan ( tunarungu ) tetapi karena ia seorang anak yang sedang berkembang.
44
DAFTAR PUSTAKA
http : www. //Terapi Terpadu untuk Anak Tuna Rungu. Com http: www.// Ortopedagogik anak tuna rungu. com http://www. sejarah-berkembangnya-kependidikan.html http: //www. Pendidikan anak tuna rungu.com www.google.com Bunawan, Lani dan C. Susila Yuwati (2000), Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu, Yayasan Santi Rama, Jakarta Departemen Pendidikan Nasional (2000), Pengajaran Bina Persepsi Bunyi dan Irama untuk Anak Tunarungu, Jakarta Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004), Pedoman Pendidikan Terpadu/Inklusi Alat Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus, Dirjen Dikdasmen, Depdiknas, Jakarta Gatty (1994), Mengajarkan Wicara kepad anak-anak Tunarungu, Alih bahasa Hartotanojo, Yayasan Karya Bakti, Wonosobo Nugroho Bambang (2004), Pentingnya Intervensi Dini Secara Edukatif Bagi Anak Tunarungu, Makalah Pelatihan Teknis Tunarungu, Jakarta Satmoko Budi Santoso (2010), Sekolah Alternatif, Diva press, Jogjakarta Observasi pada Anak Tuna Rungu dan Tuna Wicara Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Orthopedagogik Dosen Pengampu oleh Ninik Nurhidayah, A.md,OT.,S.pd
Disusun Oleh :
Ridwan Sanjaya P 27229011074 Magdalena Yuniati P 27229011051
POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA JURUSAN TERAPI WICARA TA 2011/2012
Kata Pengantar
Puji syukur atas segala berkat serta karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dilimpahkan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini. Tugas ini mengulas tentang mata kuliah Orthopedagogik yang di dalamnya terdapat hasil observasi dan pembahasan.
Tugas ini disusun untuk tugas dari mata kuliah Orthopedagogik. Kami menyadari tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, tugas ini tidak dapat terselesaikan dengan baik. Untuk itu kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Ibu Ninik Nurhidayah, A.Md, OT.,S.pd selaku dosen mata kuliah Orthopedagogik. 2. Teman-teman satu jurusan khususnya tingkat satu dalam membantu pengumpulan bahan tugas. 3. Kedua orangtua kami atas dukungan yang telah diberikan dan semangat dan motivasi dari mereka sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini. 4. Kepada semua pihak yang telah membantu kami yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.
Dalam penyusunan tugas ini terdapat banyak kekurangan. Untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak yang berhubungan dengan penulisan tugas ini. Sehingga dengan adanya saran dan kritik tersebut dapat dijadikan bahan perbaikan lebih lanjut.
Akhir kata, kami berharap semoga tugas ini dapat berguna bagi para pembaca, khususnya kami dan Politeknik Kesehatan Surakarta.
Surakarta, 02 November 2010
Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar... ii Daftar Isi........ iv Bab I Pendahuluan 1 Latar Belakang .............................................................................................. 1 Pembatasan Masalah . 2 Bab II Laporan Klien. 5 Identitas Umum Klien ... 5 Riwayat Sebelum Kelahiran.. 6 Riwayat Kelahiran 6 Riwayat Setelah Kelahiran 7 Tanda-tanda dan Gejala. 7 Riwayat Terapi atau Pendidikan ... 8 Bab III Kajian Teori . 9 Faktor-faktor Penyebab Tuna Rungu 9 Klasifikasi Penyandang Tuna Rungu 10 Mendeteksi Ketunarunguan .. 12 Faktor-faktor Penyebab Tuna Wicara ... 13 Pengaruh Kemampuan Berkomunikasi Pada Penyandang Tuna Wicara Dan Tuna Rungu ... 13 Pendekatan Pengajaran Alternatif Bagi Penyandang Tuna Rungu Dan Tuna Wicara ... 15
Bab III Penutup . 20 Kesimpulan ... 20 Daftar Pustaka ... 22
Bab I Pendahuluan
Latar Belakang Masyarakat seakan acuh pada keadaan orang yang memiliki kekurangan didalam dirinya. Banyak orang yang merasa dikucilkan dan merasa dirinya tidak di anggap di dalam masyarakat. Masyarakat yang cenderung individualistis dan selalu mementingkan diri sendiri mengakibatkan terjadinya para penyandang catat mengalami perasaan yang di kucilkan. Menurut Departemen Sosial (Depsos) pada tahun 2002 . Anak yang mengalami cacat di Indonesia berjumlah 358.738 jiwa . yang didalamnya terdiri dari tuna daksa (35.8 %), tuna netra (17%), tuna rungu wicara (14.27%), tuna grahita (12.15%), dan sisanya kurang dari 7% adalah penyandang cacat lain. Sedangkan, Menurut data WHO , anak yang memiliki cacat atau kekurangan pada setiap Negara adalah sejumlah 10% dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penyandang cacat sesuai sensus tahun 1978 di Indonesia berjumlah 1.793.118 jiwa, atau mencapai (3.1%) dari jumlah penduduk. Lalu pada tahun 2004 dapat diketahui jumlah penyandang cacat sesuai hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Sosenas) di Indonesia adalah 6.047.008 jiwa, yang terdiri dari tuna netra 1.749.981 jiwa (29%), tuna daksa 1.652.741 jiwa (27%), eks penderita penyakit kronis 1.282.881 jiwa (21%), tuna grahita 777.761 jiwa (12.8%), dan tuna rungu wicara mencapai angka 602.784 (9.9%). Angka 602.784 jiwa tuna rungu wicara cukup mencengangkan bagi masyarakat awam apalagi kita yang berperan sebagai terapis wicara kelak. Perbandingan antara terapis wicara di Indonesia yang berjumlah kurang dari 600 orang pada tahun 2011 ini dan penyandang tuna rungu wicara yang mencapai 602.784 jiwa dan mungkin lebih. Kasus tuna rungu wicara merupakan masalah yang sering di jumpai di masyarakat. Mungkin warga yang mengalami tuna rungu dan tuna wicara ada di sekitar kita. Namun, kita sering tidak tanggap akan masyarakat yang mengalami kekurangan dalam segi pendengaran dan bicaranya sehingga kita tidak tahu akan keberadaan orang yang mengalami gangguan tersebut. Pengetahuan tentang gangguan pendengaran dan gangguan wicara perlu diperhatikan pada anak, karena itu semua saling berkaitan dalam proses berkomunikasi. Keadaan pada anak yang mengalami gangguan pada pendengarannya akan mempengaruhi pada proses bicara dimasa dewasa anak.
Pembatasan Masalah
Proses mendengar merupakan proses penerimaan impuls makna dari setiap kata-kata yang terdengar. Apabila anak mengalami gangguan pendengaran, maka kosa kata yang dimiliki sedikit dan anak tidak bisa berkomunikasi seperti anak-anak biasa seusianya. Karena sangat minim sekali impuls suara masuk. Sehingga dapat disimpulkan bahwa proses mendengar mempengaruhi proses bahasa dan sangat berpengaruh pada komunikasi. Proses mendengar sangat mempengaruhi pembentukan bunyi bahasa, karena proses berbicara dimulai dari mendengarkan lalu dilanjutkan ke sistem pada otak sehingga kita dapat mengerti dan dapat menyampaikan makna yang diungkapkan. Proses berbicara melalui proses fonasi, respirasi, artikulasi, resonansi (Point Of Articulation, Manner Of Artikulation), dan pada keharmonisan motorik yaitu pada setiap kesiapan penggunaan bagian organis, motoris, fisiologis dalam persiapan produksi bunyi. Menurut Pernamari Somad dan Tati Herawati (1996, hal. 27) menyatakan bahwa Tuna rungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagaian atau seluruh alat pendengaran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendegarannya dalam kehidupan sehari- hari yang membawa dampak terhadap kehidupan secara kompleks. Sedangkan menurut Sardjono (1997, hal. 7) mengatakan bahwa: Anak tuna rungu adalah anak yang kehilangan pendengaran sebelum belajar bicara atau kehilangan pendengaran demikian anak sudah mulai belajar bicara karena suatu gangguan pendengaran, suara dan bahasa seolah-olah hilang. Lebih lanjut, Moories (1991) menjabarkan bahwa, A deaf person is ones hearing disabled to an extend usually 70 dB ISO or greater that precludes the understanding of speech through the ear alone, with or without the use of hearing disabled to an extend (usually 35-69 dB ISO) that make difficult but he does the understanding a speech through the ear alone, without or with a hearing aid. Sedangkan sebagian tuna wicara adalah mereka yang menderita tuna rungu sejak bayi/lahir, yang karenanya tidak dapat menangkap pembicaraan orang lain, sehingga tak mampu mengembangkan kemampuan bicaranya meskipun tak mengalami ganguan pada alat suaranya. Begitu juga seperti observasi yang telah kami lakukan pada klien kami yang mengalami gangguan pendengaran dan otomatis ia juga mengalami mengalami gangguan pada bicaranya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa anak penyandang tuna rungu dan tuna wicara adalah anak yang kehilangan kemampuan untuk mendengar baik sebagaian maupun seluruhnya yang mengakibatkan tidak mampu untuk menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari- hari dan juga tidak mampu mengembangkan kemampuan bicaranya.
Bab II Laporan Klien
Identitas Umum Klien Nama klien yang kami Erfan Apritriyanto, ia merupakan anak yang aktif dan bersemangat layaknya anak-anak lainnya. Ia sering di panggil dengan Erfan. Ia lahir tigabelas tahun lalu di kota Surakarta, tepatnya pada 28 April 1998 . Ia merupakan buah hati dari pasangan Hasto Mulyadi dan Sartini. Mereka memlikiki empat orang anak, yang pertama telah lulus sekolah dan sekarang telah bekerja namanya adalah Bayu, yang kedua sedang meneruskan sekolahnya di SMK seni di Kota Surakarta namanya adalah Asep Dwiyanto, yang ke tiga merupakan klien kami ini yang bernama Erfan Apritryanto dan yang terakhir adalah Syifa yang berusia masih balita dan sekarang mengenyam pendidikan di Taman Kanak-Kanak di sekitar rumahnya. Klien kami kali merupakan anak yang riang dan mudah berbaur dengan orang lain. Namun, apabila ia baru saja mengenal orang yang belum di kenalnya, ia cenderung untuk diam dan berkesan tidak menunjukan bahwa ia memiliki gangguan pada pendengarannya dan dengan pasti juga gangguan dari cara ia berkomunikasi. Ia sering berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat, bahasa tulis karena ia di sekolahkan di SLB-B YRT RW dan sekarang ia duduk di kelas 6 SD di institusi tersebut. Ia kadang berangkat sekolah menggunakan sepedanya walaupun dengan jarak yang cukup jauh. Namun, kadang-kadang ia di antarkan oleh kedua kakaknya. Klien kami merupakan klien yang mandiri dan bisa melakukan segala aktifitasnya sendiri. Klien kami merupakan pribadi yang selalu aktif dan mudah di ajak, mudah pula bersosialisasi dengan orang yang sebaya dengannya atau yang lebih dewasa dengannya atau yang lebih muda. Tapi tidak semua anak yang memiliki kebutuhan khusus mudah untuk berbaur dengan lingkungannya. Kadang anak yang memiliki kebutuhan khusus cenderung malu dan minder pada orang lain yang baru maupun yang telah lama ia kenal , tetapi sangat berlainan dengan anak ini ketika saya pernah tinggal dirumahnya. Riwayat Sebelum Kelahiran Berdasar pada ujaran orangtua klien, anak mereka dalam kondisi yang baik-baik saja ketika masih di dalam kandungan ibunya. Kondisi ibu dan janin dalam keadaan sehat. Tidak ada gejala- gejala yang menunjukan secara pasti tentang keadaan anak mereka saat ini sebelum kelahiran. Riwayat Kelahiran Pada proses kelahiran, keadaan anak lahir secara normal seperti pada anak-anak normal lainnya. Tetapi ketika mulai menginjak usia satu tahun, orangtua mulai merasakan akan adanya keadaan tersebut. Anak mereka tidak merespon bunyi-bunyi suara ketika dilakukan pemanggilan atau dengan cara lain untuk mengetahui keadaan pendengaran anak. Namun, hasilnya anak mereka mengalami gangguan pada pendengarannya.
Riwayat Setelah Kelahiran Ketika orangtua tahu bahwa anak mereka mengalami gangguan pendengaran, maka mereka segera bertindak cepat untuk melarikan anak mereka ke dokter spesialis THT untuk memeriksaan keberadaan pendengarannya. Menurut dokter tersebut, anak mereka hanya memiliki daun telinga saja. Organ-organ pendengaran pendukung pada bagian dalam tidak ada. Tetapi Keadaan anak pada saat ini tidak ada riwayat penyakit pada klien yang berhubungan dengan keadaanya sekarang. Anak dalam kondisi yang sehat dan tampak seperti anak normal seusianya, namun ia memiliki gangguan pada pendengarannya yang mempengaruhi pada proses perolehan bahasa, sehingga menggangu fungsi bicaranya walaupun semua organ bicaranya dalam keadaan normal. Tanda-Tanda dan Gejala Tanda-tanda pada klien antara lain terjadinya pendengaran dan bicara yang terganggu sehingga susah untuk berkomunikasi, sehingga di dalam berkomunikasi klien bisa menggunakan tulisan agar bisa dimengerti oleh lawan bicaranya. Namun kondisi fisik dan mental pada klien sama seperti anak anak seusianya yang tidak ada kelainan pada dirinya, bahkan klien pandai sekali menggunakan telpon seluler untuk berkomunikasi seperti SMS dan klien pandai menggunakan jejaring sosial seperti Facebook. Namun apabila ia berusaha untuk mengucapkan sesuatu, ia cenderung seperti teriakan-teriakan dan sengau.
Riwayat Terapi atau Pendidikan Klien pernah mengunjungi Dokter-dokter spesialis, Asrama tuna rungu, terapis wicara, Pengobatan alternatif dan sekarang klien sedang mengenyam pendidikan di SLB B di YRT RW dan sekarang duduk di kelas 6. Karena orangtua mereka merasakan lebih baik memberikan pendidikan untuk anak mereka daripada memberikan terapi-terapi khusus bagi anak mereka, karena sudah bertahun-tahun mereka melakukan terapi pada anak mereka, namun tidak menunjukan perubahan yang signifikan pada anak mereka setelah sekian lama melakukan terapi.
Bab III Kajian Teori
Faktor-faktor Penyebab Tuna Rungu Menurut Sardjono (1997, hal. 10-20) menjelaskan faktor-faktor penyebab ketunarunguan anak, yaitu sebagai berikut: Faktor-faktor sebelum anak dilahirkan (Pre Natal). Faktor-faktor penyebab ketunarunguan ketika anak belum dilahirkan diantaranya karena faktor keturunan (Hereditas), cacat air atau yang biasa disebut campak (Rubella, Geuman measles), terjadinya keracunan darah (Toxaemia), penggunaan obat-obatan yang melampaui batas seperti penggunaan pilkina dalam jumlah yang besar, kekurangan oksigen (Hipoxia), dan terjadi karena kelainan pada organ pendengaran sejak lahir. Faktor-faktor saat anak dilahirkan (Natal). Faktor-faktor penyebab ketunarunguan pada saat anak dilahirkan diantaranya karena faktor Rheus (Rh) ibu dan anak yang sejenis, anak yang lahir sebelum waktunya (pre mature), anak lahir menggunakan alat bantu tang (forcep), dan proses kelahiran yang terlalu lama dapat mengakibatkan anak menjadi tuna rungu. Faktor-faktor sesudah anak dilahirkan (Past Natal). Faktor-faktor penyebab ketunarunguan ketika anak sudah dilahirkan diantaranya karena terjadinya infeksi pada bagian-bagian organ pendengarannya, peradangan pada selaput otak (Meningitis), tuna rungu perseptif yang bersifat keturunan, dan Otitis media yang kronis dapat mengakibatkan terjadinya ketunarunguan.
Klasifikasi Penyandang Tuna Rungu Menurut Sardjono (1997, hal. 21) mengklasifikasikan ketunarunguan sebagai berikut : Berdasarkan bagian alat pendengaran. Klasifikasi ketunarunguan berdasar pada bagian alat pendengarannya yang rusak dapat dijelaskan kembali menjadi tiga bagian , yaitu tuna rungu konduktif, tuna rungu perseptif, dan gejala tuna rungu campuran (kombinasi ketunarunguan konduktif dan perseptif). Berdasarkan kelainan pendengaran. Kelainan jenis ini terbagi atas tiga jenis yaitu kelainan pendengaran conductive lasses, sensory neural or perceptive losses, dan central deafness. Berdasarkan gradasi atau tingkatan. Kelainan jenis ini di bagi lagi menjadi enam bagian pada etiologis, anatomi dan fisiologis ukuran nada . Tuna rungu sangat ringan (0-25 dB), tuna rungu rimgan (30-40dB),tuna rungu sedang (40-60 dB), tuna rungu berat (60-70 dB), tuli berat (70 dB dan lebih parah ), dan pada tingkatan paling akut atau total deafness (tuli total). Berdasarkan kemampuan mengerti bahasa. Kelainan ini berdasarkan pada kemampuan mengerti bahasa dan bicara yaitu 10-20 dB (normal) tidak ada hubungan dengan gangguan bicara dan bahasa. 20-35 dB (mild hearing impairment) tidak ada hubungan dengan gangguan bahasa. Tapi mungkin perkembangan bahasa menjadi terlambat. 35-55 dB (mild to moderate hearing impairment) ada beberapa kesulitan artikulasi, perkembangan kata mungkin tidak sempurna. 55-70 dB (moderate hearing impairment) artikulasi dan suara tidak baik dan perbendaharaan kata mungkin tidak sempurna. 70-90 dB (severe hearing loss) artikulasi dan kualitas suara tidak baik. Kalimat dan aspek-aspek bahasa tidak sempurna. 90 dB atau lebih (severe to profound hearing impairment) ritme bicara, suara dan artikulasi tidak baik, bicara dan bahasa harus dikembangkan secara intensif dan seksama. 100 dB atau lebih (profound hearing impairment) sangat perlu bantuan tentang keberadaan pendengarannya, tapi tidak perlu bantuan pengembangan bicara melalui pendengaran. Menurut Uden (1997) dalam Murni Winarsih (2007, hal. 26) kita dapat membagi klasifikasi ketunarunguan menjadi tiga bagian yaitu : Berdasarkan saat terjadinya. Klasifikasi ini berdasarkan saat terjadinya ketunarunguan, diantaranya terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu ketunarunguan bawaan dan ketunarunguan setelah lahir. Yang dimaksud dengan ketunarunguan bawaan adalah keadaan ketunarungguan disandang ketika anak lahir sudah menyandang tuna rungu dan indera pendengarannya sudah tidak berfungsi lagi. Sedangkan ketunarunguan setelah lahir artinya terjadi ketunarunguan setelah anak lahir dan diakibatkan oleh kecelakaan atau oleh suuatu penyakit. Berdasarkan tempat kerusakan. Klasifikasi ini terbagi kembali menjadi dua , yaitu kerusakan pada telinga luar dan telinga tengah atau yang sering disebut bagian konduktif yang mengakibatkan menjadi tuli konduksi, dan yang kedua adalah pada bagian telinga dalam yang menyerang pada bagian sensori neural yang mengakibatkan kerusakan pendengaran pada bagian persepsinya atau yang sering disebut tuli sensoris. Berdasarkan taraf penguasaan bahasa. Kalsifikasi ini membagi ketunarunguan menjadi dua, yaitu tuna rungu pra bahasa dan purna bahasa. Ketunarunguan pra bahasa adalah ketunarunguan yang terjadi pada mereka yang mengalami tuna rungu ketika belum terkuasainya bahasa. Sedangkan tuli purna bahasa adalah ketunarunguan yang terjadi setelah mereka mengenal bahasa dan telah menguasainya dan telah menerapkannya dalam kehidupannya yang berlaku dilingkungannya. Mendeteksi Ketunarunguan Sardjono (2000, hal. 48) juga menjelaskan ada beberapa cara untuk mendeteksi terjadinya kelainan pendengaran seseorang. Ada pun tes-tes yang diberikan untuk mengetahui kelainan tersebut antara lain : Tes bisik (Whisper test). Tes ini dilakukan dengan dilakukan di tempat yang tenag , jarak anak dan pemeriksa antara 5 atau 6 meter , memeriksa dahulu telinga bagian kanan lalu telinga dihadapkan ke arah pemeriksa dan pemeriksa membisikan kata-kata yang harus diterima anak. Tes detik jam. Tes ini dilakukan dengan cara mendengarkan detik jam tangan dan menghitung jarak dimana anak tersebut tidak bisa mendengar detik jam tersebut, dilakukan secara bergantian pada kedua telinga secara bergantian lalu membandingkan dengan pemeriksa (pendengaran pemeriksa harus normal). Tes suara. Tes ini dilakukan apabila tidak bisa dilakukannya pengetesan pendengaran dengan melakukan tes pertama dan kedua. Tes ini dilakukan dengan cara memanggil anak itu dari belakang atau membunyikan sesuatu dari arah belakang anak , seperti suara bel, suara pecahan piring dan lain lain. Tes mendengar suara. Tes ini dilakukan dengan cara pemeriksaan bunyi binatang seperti kambing, ayam, sapi, harimau dan lain lain. Dan kemudian anak diharuskan untuk menyebutkan nama nama binatang tersebut.
Faktor-faktor Penyebab Tuna Wicara Faktor yang bisa menyebabkan tuna wicara diantaranya karena tekanan darah yang terlalu tinggi (Hipertensi), faktor genetik atau keturunan dari orangtua, keracunan makanan, penyakit Tetanus Neonatorum yang menyerang bayi pada saat bayi baru lahir, biasanya karena pertolongan persalinan yang tidak memadai, dan penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan bagian atas (Difteri). Pengaruh Kemampuan Berkomunikasi Pada Penyandang Tuna Wicara Dan Tuna Rungu Menurut Edja Sajaah dan Darjo Sukarja (1995, hal. 48), Pada umunya pendengaran anak tuna rungu berpengaruh terhadap kemapuan berbahasanya, antara lain: Miskin dalam kosakata, sulit mengartikan ungkapan-ungkapan yang mengandung kiasan, sulit mengartikan kata- kata abstrak kurang menguasai irama dengan gaya bahasa. Dari ketunarunguan terjadi hambatan pada anak dalam pendidikannya, yaitu: Pertama, konsekuensi akibat gangguan pendengaran atau tuna rugu tersebut bahwa penderitaannya akan mengalami kesulitan dalam menerima segala macam rangsang atau peristiwa bunyi yang ada di sekitrnya. Kedua, akibat kesulitan menerima rangsang bunyi, konsekuensinya penderita tuna rungu akan mengalami kesulitan pula dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang terdapat di sekitarnya. (Mohammad Efendi, 2006, hal. 72). Dari uraian di atas, maka kehilangan pendengaran bagi seseorang sama halnya mereka telah kehilangan sesuatu yang berarti, sebab pendengaran merupakan kunci utama pembuka tabir untuk dapat meniti tugas perkembanganya secara optimal. Atas dasar itulah anak tuna rungu yang belum terdidik dengan baik, tampak pada dirinya seperti terbelakang, walaupun hal itu sebenarnya masih semu, serta tampak tidak komunikatif. Memperhatikan keterbatasan kemampuan anak tuna rungu dari aspek kemampuan bahasa dan bicaranya, maka sejak awal masuk sekolah pengembangan kemampuan bahasa dan bicara menjadi skala prioritas program pendidikannya. Pendekatan yang lazim digunakan untuk mengembangkan kemampuan bahasa dan bicara anak tuna rungu, yaitu oral dan isyarat. Selama ini pendekatan yang digunakan dalam pendidikan secara kontroversial, sebab masing-masing institusi punya dasar filosofi yang berbeda. Menurut Sunaryo Kartadinata (1996, hal. 80), dampak tuna rungu wicara sehubungan dengan karakteristik anak tuna rungu yaitu: miskin dalam kosakata, sulit memahami kata-kata abstrak, sulit mengartikan kata-kata yang mengandung kiasan, adanya gangguan bicara maka hal ini merupakan sumber masalah pokok bagi anak tuna rungu wicara. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kehilangan pendengaran bagi seseorang sama halnya mereka telah kehilangan sesuatu yang berarti, sebab pendengaran merupakan kunci utama pembuka tabir untuk dapat meniti tugas perkembangan secara optimal. Usaha yang mungkin akan mendorong anak tuna rungu dapat bersekolah dengan cepat adalah mengikuti pendidikan pada sekolah normal dan disediakan program-program khusus bila mereka tidak mampu mempelajari bahan pelajaran seperti anak normal. Pendekatan Pengajaran Alternatif Bagi Penyandang Tuna Rungu Dan Tuna Wicara Menurut Smith (2009, hal. 283), terdapat tiga dasar pendekatan pengajaran alternatif bagi siswa dengan penyandang tuna rungu dan tuna wicara. Metode manual. Metode manual terdisir dua komponen dasar, yaitu bahasa isyarat (sign language) dan finger spelling. Bahasa isyarat. Sistem Isyarat Bahasa Indonesia yang dibakukan merupakan salah satu media yang membantu komunikasi sesama tuna rungu dan tuna wicara ataupun komunikasi tuna rungu dan tuna wicara di dalam masyarakat yang lebih luas. Wujudnya adalah tatanan yang sistematis bagi seperangkat isyarat jari, tangan, dan berbagai gerak untuk melambangkan kosa kata bahasa Indonesia. Isyarat yang dikembangkan di indonesia secara umum mengikuti tata/aturan isyarat sebagaimana yang telah dikemukakan mengenai aspek linguistik bahasa isyarat. Berikut adalah contoh bahasa isyarat.
Gambar 1. Bahasa isyarat Keterangan : Bahasa Isyarat yang bermakna I Love You http://bahansekolahminggu.files.wordpress.com/2010/07/i-love-you.jpg
Abjad Jari (Finger Spelling/Finger Alphabet). Secara harafiah, abjad jari merupakan usaha untuk menggambarkan alpabet secara manual dengan menggunakan satu tangan. Berikut adalah contoh abjad jari:
Gambar 2. Abjad jari Keterangan: Abjad jari dari A-Z http://2.bp.blogspot.com/_fAaDsRA3wzg/TCwcw- t067I/AAAAAAAAAE0/BE4JT6lFbD0/s320/bahasa+isyarat.png
Abjad jari adalah isyarat yang dibentuk dengan jari-jari tangan (tangan kanan atau tangan kiri) untuk mengeja huruf atau angka. Bentuk isyarat bagi huruf dan angka di dalam SIBI serupa dengan International Manual Alphabet. Abjad jari digunakan untuk mengisyaratkan nama diri, mengisyaratkan singkatan atau akromin , dan mengisyaratkan kata yang belum ada isyaratnya. Metode oral. Pendekatan oral menekankan pada pembimbingan ucapan dan pembacaan ucapan. Para pendidik kebutuhan khusus yang setuju dengan metode ini memandang bahwa ketergantungan pada bahasa isyarat dan abjad jari membuat eksklusi penyandang tuna rungu dan tuna wicara. Kurangnya orang yang tertarik untuk menggunakan dan memahami komunikasi manusia juga seakan-akan mebatasi mereka yang menggunakan metode ini sebagai alat utama komunikasinya. Metode oral membantu siswa untuk lebih memahami ucapan orang lain. Siswa akan dilatih untuk memperhatikan gerak bibir, posisi bibir, serta gigi agar dapat memahami apa yang sedang diucapkan. Penyandang tuna rungu juga diajari cara membaca isyarat-isyarat seperti ekspresi wajah yang akan memudahkan mereka berkomunikasi. Metode komunikasi total. Metode komunikasi total ada penggabungan kedua metode sebelumnya. Metode ini dipopulerkan oleh lembaga Maryland School for the Deaf. Lembaga ini membuat gerakan dengan menghapuskan perbedaan teoritis dan metodologis antara pendekatan oral dan manual. Komunikasi total memuat spektrum model bahasa yang lengkap, membedakan gerakan/mimic tubuh anak, bahasa isyarat yang formal, belajar berbicara, membaca ucapan, abjad jari, serta belajar membaca dan menulis. Dengan komunikasi total, anak tuna rungu dan tuna wicara memiliki kesempatan untuk mengembangkan dirinya. Lebih lanjut, Bastable (1997) juga memberikan pendapat yang sama. Menurutnya, strategi pendidikan yang cocok bagi penyandang tuna rungu dan tuna wicara antaralain melalui membaca isyarat, membaca gerak bibir, verbalisasi oleh lawan bicara dan strategi tertulis. Dari dua pandangan tersebut dapat dilihat bahwa dalam strategi pembelajaran untuk anak tuna rungu. Keberhasilannya dipengaruhi oleh keahlian, kerjasama, keluarga, teman, dan tim ahli. Dalam hal ini orangtua menjadi dasar, sekali mereka memutuskan anak mereka untuk mulai belajar mendengar dan dan berbicara, maka mereka menjadi ketua dalam proyek tersebut. Secara umum, rekan-rekan yang dapat membantu orangtua dalam hal ini seperti Audiologist, speech-language pathologist, pendidik khusus tuna rungu dan tuna wicara, guru, terapi wicara, fisio terapi dan lingkungannya. Untuk mengatasi masalah tuna rungu dan tuna wicara bagi Terapis Wicara antara lain dengan melakukan melakukan Assessment (observasi) pada anak agar mengetahui secara pasti tentang gangguan yang dimiliki. Lalu melakukan Diagnosa atau penentuan gangguan yang dimiliki berdasar hasil observasi. Lalu melakukan prognosis atau perbandingan terhadap bahasa, bicara, irama, kelancaran suara dan menelan. Lalu mulai masuk pada proses terapi yang akan dilakukan dan telah melakukan berbagai persiapan organis, fisiologis, neurologis, psikologis dan environtment pada anak yang mengalami gangguan pada pendengarannya, lalu melakukan habilitasi pendengaran atau memberikan fungsi pendengaran yang seharusnya dimiliki seseorang, khususnya pada bayi atau pada anak yang belum memiliki pengalaman atau kemampuan mendengar sebelumnya. Pemberian kemampuan pendengaran dilakukan dengan berbagai cara yaitu dengan Amplikasi (Pengerasan suara), Auditory training (Latihan mendengar), dan latihan wicara. Lalu melakukan latihan penggerakan organ bicara (oral motor exercise), melatih anak dengan cara membaca bahasa bibir (lip reading), latihan penempatan articulator dan melakukan berbagai terapi kearah yang akan dicapai sehubungan dengan gejala dan berhubungan dengan nilai bahasa dan bicara. Anak yang mengalami gangguan pendengaran sebaiknya di lakukan latihan-latihan mendengar dan latihan wicara pada ahli terapi wicara. Selain dilakukannya terapai, anak sebaiknya di sekolahkan di sekolsh-sekolah khusus bagi anak berkebutuhan khusus untuk menunjang bakat dan minat anak tersebut di masa yang akan datang. Peran serta keluarga dan lingkunganpun sedikit banyak membantu proses perehabilitasian pada anak tersebut agar anak tersebut dapat berkembang secara cepat dan memiliki kemampuan seperti layaknya anak normal seperti lazimnya.
Bab III Penutup
Kesimpulan Tuna rungu dan tuna wicara adalah suatu bagian yang saling berkaitan. Tuna rungu akan mengakibatkan tuna wicara apabila tidak ada bahasa yang dikuasai sebelumnya sehingga anak yang mengalami tuna rungu identik dengan tuna wicara. Tuna rungu pun belum tentu bisa dipastikan tuna wicara karena ketunarunguan dialami ketika anak sudah mengenal bahasa dan apat disosiasikan sehingga ia bisa menerapkan , memahami dan mengaplikasikan setiap kata yang telah ia miliki dengan kata-kata baru yang belum sempat ia miliki. Anak yang menderita ketunarunguan memliliki postur tubuh normal dan memiliki intelegensi seperti anak-anak normal lainya namun memiliki kekurangan pada pendengarannya dan kosa kata yang dia miliki cukup kurang anak yang menderita ketunarunguan mengalami keterlambatan bahasa, sehingga sering menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi sehingga kurang bahkan tidak tanggap jika diajak untuk berkomunikasi, dan memiliki ucapan kata yang tidak jelas dan cenderung sengau. Tuna rungu dapat dibantu dengan menghadirkan kepadanya ahli-ahli yang menjadi ruang lingkup ketunarunguan seperti audiologist, speech-language pathologist, pendidik khusus tuna rungu dan tuna wicara, guru, speech therapist, physico therapist, dan semua orang yang berada dilingkungannya karena hal itu cukup berpengaruh. Strategi pendidikan yang cocok bagi penyandang tuna rungu dan tuna wicara antaralain melalui membaca isyarat, membaca gerak bibir, verbalisasi oleh lawan bicara dan strategi tertulis. Karena anak yang mengalami kekurangan biasanya kurang percaya diri, sehingga mengalami keterlambatan bicarasehingga cenderung mengasingkan diri dan diasingkan oleh orang disekitarnya dan keluarganya. Sebaiknya anak yang mengalami kekurangan diajak bergabung dan bersosialisasi agar memudahakan kondianak untuk beradaptasi, dan tidak merasa minder dengan kekurangan yang dimilikinya sehingga faktor lingkungan cukup berpengaruh dalam optimalisasi pada anak yang mengalami kekurangan pada pendengarannya.