You are on page 1of 69

HAMBATAN BELAJAR ANAK TUNARUNGU

Anak tunarungu di dalam mengaktualisasikan potensi


yang dimilikinya seringkali
dihadapkan kepada berbagai masalah dalam kehidupann
ya. Anak tunarungu adalah
seseorang yang mengalami hambatan atau keterbatasan
dalam kemampuan mendengar,
dari keterbatasannya itu seringkali mempengaruhi ke
hidupannya secara kompleks baik
sebagai mahluk pribadi maupun sebagai mahluk sosial
. Dikatakan kompleks karena
ketunarunguan membawa dampak terhadap perkembangan
bicara dan bahasa,
kecerdasan, emosi, maupun perkembangan pribadi dan
sosialnya.
Meadow (1976), Myklebust (1953) menyatakan bahwa,
yang ditimbulkan
karena hilangnya kemampuan mendengar (tunarungu) ad
alah terhambatnya komunikasi
dengan dan diantara kaum tunarungu serta lingkungan
nya. Lebih berat lagi apabila
seseorang mengalami ketunarunguan sejak lahir, ia t
idak akan mengembangkan
kemampuan berbahasanya secara spontan, sehingga dal
am usaha untuk bermasyarakat
akan timbul berbagai permasalahan seperti aspek sos
ial, emosional dan mental.
Lebih rinci, Boothroyd (1980) menyatakan ketunarun
guan sebagai kelainan
primer yang bersifat motoris (fisik), dapat mengaki
batkan terjadinya kelainan sekunder
(dampak) pada berbagai aspek kehidupan dan perkemba
ngan Anak Tunarungu, yaitu
dalam kemampuan berbahasa dan berkomunikasi, fungsi
sosial, emosi, kognitif, dan
sebagainya. Selain berbagai dampak tersebut di atas
, ketunarunguan akan berdampak
juga terhadap proses perkembangan pendidikan (prose
s belajar) dan lebih jauh lagi
adalah kurangnya peluang atau sempitnya kesempatan
dalam mencari pekerjaan.
Berkaitan dengan bagaimana Anak Tunarungu mempers
epsi lingkungan di luar
dirinya sebagai bagian dari proses belajar, Myklebu
st (1963), mengemukakan suatu
konsep tentang
sensory deprivation
atau kehilangan/kemiskinan penginderaan. Melalui
kelima indera seseorang memperoleh informasi mengen
ai segala perubahan yang terjadi
dalam lingkungannya, sehingga ia dapat mengatur kes
eimbangan antara kebutuhan diri
dengan keadaan di luar. Ke lima indera bekerjasama
dalam arti bahwa walaupun yang
dirangsang hanya salah satu indera, pengalaman peng
inderaan melalui indera tersebut
akan memperoleh makna berdasarkan pengalaman yang t
elah diperoleh sebelumnya
melalui indera-indera lainnya. Berkaitan dengan keb
erfungsian dan integritas
penginderaan tersebut di atas, Saunders (1960) menj
elaskan bahwa jika salah satu indera
tidak berfungsi akan terjadi distorsi dalam mempero
leh informasi dari luar, ada sesuatu
yang hilang atau kurang lengkap dalam keseluruhan d
unia penghayatan/persepsi
seseorang. Sehingga masalahnya bukan hanya terletak
pada berkurangnya daya
pendengaran melainkan perubahan dalam keseluruhan s
truktur penghayatan yang
meliputi suatu kesadaran dan pemahaman tentang bend
a, kejadian, serta orang dalam
lingkungannya bahkan termasuk dirinya.
Selanjutnya Myklebust mengemukakan bahwa dari keli
ma indera manusia,
pendengaran dan penglihatan merupakan indera yang p
aling canggih dan digolongkan
sebagai indera jarak jauh (
distance sense
), berbeda dengan ketiga indera lainnya yaitu
perabaan, pengecap, dan pencium yang dinamakan inde
ra jarak dekat (
near sense
). Pada
orang tunarungu yang tergolong Tuli (
Deaf
), maka indera penglihatan yang akan
mengambil peran terpenting, baru kemudian indera pe
raba, pencium dan pengecap.
Sedangkan bagi mereka yang masih memiliki banyak si
sa pendengaran (
Hard of
Hearing
) di samping indera penglihatan, pendengaran masih
berperan, kemudian indera
lainnya.
Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka ketunar
unguan sebagai suatu kelainan
atau gangguan (
impairment
) pada organ pendengaran, dapat mengakibatkan terja
dinya
suatu ketidakmampuan/kekurangmampuan dalam fungsi p
endengaran (
hearing disability
)
dan kemudian bila tidak ditangani menjadi suatu ken
dala atau hambatan (
handicap
)
dalam berbagai aspek kehidupan seseorang seperti bi
dang komunikasi dan bahasa,
kognitif dan intelektual, serta sosial emosi (Meado
w, 1980). Keadaan ini dapat
menyebabkan Anak Tunarungu mengalami hambatan dalam
belajar dan kurang dapat
mengambil manfaat dari kesempatan pendidikan yang s
ecara lazim tersedia bagi anak
pada umumnya karena mereka kurang dapat memenuhi ke
butuhannya yang khusus,
sehingga mereka tidak dapat berkembang secara optim
al. Akibatnya mereka akan tumbuh
menjadi manusia dewasa yang kurang mandiri, kurang
memiliki kemampuan memadai
dalam menghadapi berbagai tantangan hidup.
Berdasarkan uraian/pengantar di atas, maka hambata
n yang dialami anak
tunarungu, terutama hambatan belajar tidak akan lep
as dari dampak ketunarunguan,
yaitu:
1.
Hambatan Penguasaan Bahasa dan Komunikasi
Ketunarunguan tidak hanya mengakibatkan tidak berke
mbangnya kemampuan
berbicara, lebih dari itu dampak paling besar adala
h terjadinya kemiskinan bahasa (Van
Uden, 1977; Meadow, 1980). Leigh (1994), memperjela
s bahwa dampak ketunarunguan
adalah kemiskinan dalam penguasaan bahasa secara ke
seluruhan. Artinya tanpa
pendidikan khusus, terlebih bagi Anak Tunarungu ber
at, mereka tidak akan mengenal
lambang bahasa atau nama guna mewakili suatu benda,
kegiatan, peristiwa dan perasaan
serta tidak akan (sulit) memahami aturan atau siste
m bahasa yang berlaku dan digunakan
oleh lingkungannya. Oleh karena itu dari berbagai d
ampak yang ada akan menimbulkan
hambatan yang kompleks dan saling mempengaruhi satu
sama lain.
Lebih lanjut Leigh (1994) mengemukakan bahwa masala
h utama kaum tunarungu
bukan terletak pada tidak dikuasainya suatu sarana
komunikasi lisan melainkan akibat hal
tersebut terhadap perkembangan kemampuan berbahasan
ya secara keseluruhan yaitu
mereka tidak atau kurang mampu dalam memahami lamba
ng dan aturan bahasa. Secara
lebih spesifik, mereka tidak mengenal atau mengerti
lambang/kode atau nama yang
digunakan lingkungan guna mewakili benda-benda, per
istiwa kegiatan, dan perasaan
serta tidak memahami aturan/system/tata bahasa. Kea
daan ini terutama diderita anak
tunarungu yang mengalami ketulian sejak lahir atau
usia dini (tuli pra bahasa).
Van Uden (1997) menjelaskan proses penguasaan bahas
a seseorang (pendengaran
normal) sejak lahir sampai menguasai bahasa adalah
sebagai berikut:
-
tahap prelingual (pra bahasa) sejak lahir sampai us
ia 1,6 tahun merupakan masa
sebelum kemampuan berbahasa berkembang, walaupun an
ak menggunakan
tanda-tanda (signal) tertentu seperti menangis, men
unjuk dan mulai memahami
lambang yang digunakan lingkungan sekitar, namun me
reka sendiri belum
mengembangkan suatu sistem lambang.
-
Tahap interlingual (antar-bahasa) merupakan masa an
tara, dimana anak mulai
mengembangkan suatu sistem lambang yang sebagian su
dah sama dengan sistem
lambang yang digunakan lingkungannya namun untuk se
bagian masih berbeda.
-
Tahap postlingual (purna-bahasa), sejak usia 3 tahu
n anak akan makin memahami
dan menerapkan secara tepat aturan bahasa sebagaima
na berlaku di
lingkungannya sehingga sewaktu berusia 4 tahun samp
ai akhir memasuki tahap
purna bahasa.
Untuk anak tunarungu yang seusia dengan anak normal
meskipun sudah dididik
dengan baik sejak usia dini, proses penguasaan baha
sanya mengalami perbedaan
mencolok. Anak dengar pada usia 4 tahun sudah memas
uki tahap penguasaan bahasa
sedangkan bagi anak tuli hal itu baru dicapai pada
usia 12 tahun.
2.
Hambatan dalam Perkembangan Kognitif dan Daya Pikir
Inteligensi anak tunarungu secara potensial pada um
umnya sama dengan anak
normal, tetapi secara fungsional perkembangannya di
pengaruhi oleh tingkat kemampuan
berbahasa (Myklebust, 1964, dalam Moores, 1982:148)
. Keterbatasan informasi dan
kurangnya daya abstraksi anak akibat ketunarunguan
menghambat proses pencapaian
pengetahuan yang lebih luas, dengan demikian perkem
bangan inteligensi secara
fungsional juga terhambat. Hal ini mengakibatkan an
ak tunarungu kadang-kadang
menampakkan keterlambatan dalam belajar dan menampa
kkan keterbelakangan mental.
Cruickshank yang dikutip Siregar (1981:6) mengataka
n bahwa: anak-anak
tunarungu sering memperlihatkan keterlambatan dalam
belajar dan kadang tampak
terbelakang. Keadaan ini tidak hanya disebabkan ole
h derajat gangguan pendengaran
yang dialami anak, tetapi juga tergantung pada pote
nsi kecerdasan yang dimiliki,
rangsangan mental, serta dorongan dari lingkungan l
uar yang memberikan kesempatan
bagi anak untuk mengembangkan kecerdasan itu.
Pendapat lain yang mendukung pernyataan di atas ada
lah pernyataan Rittenhouse
yang dikutip Hallahan & Kauffman, (1998:285) adalah
sebagai berikut: ... karena anak
tunarungu berprestasi sangat jauh di bawah rata-rat
a kelas sekolahnya, terutama di kelas
yang agak tinggi, ada kecenderungan atau anggapan b
ahwa mereka secara kognitif
kemampuannya kurang. Kesulitan akademik yang dihada
pi anak tunarungu bukanlah
karena masalah kognitif yang kurang, akan tetapi se
benarnya kesulitan dalam bahasa dan
pendidiklah yang belum memaksimalkan kelebihan kogn
itif anak tunarungu.
Keterlambatan atau prestasi rendah kaum tunarungu d
alam mengerjakan tugas
dimana dituntut penalaran dengan bahasa bukan berar
ti potensi kecerdasan atau
inteligensi mereka rendah. Bila kesulitan dalam pen
yampaian instruksi pada tes
kecerdasan dapat diatasi dan perangkat tes yang dig
unakan bersifat non verbal yaitu tidak
menuntut kemampuan berbahasa lisan maka kaum tunaru
ngu menunjukkan penyebaran
angka kecerdasan yang normal artinya sebagian besar
diantara mereka akan berada pada
taraf rata-rata (Myklebust, 1964; Furth, 1966).
Pendapat lain diungkapkan Pintner (Moores, 1982:154
) yang menyatakan bahwa
anak tunarungu jauh tertinggal dibandingkan anak
normal dan anak tunarungu itu
inferior (rendah) inteligensinya. Sementara Mykleb
ust (1953), menyatakan bahwa anak-
anak tunarungu secara umum tidaklah inferior inteli
gensinya, bahwa sekalipun anak
tunarungu secara kuantitatif (Skor IQ-nya) sama den
gan anak normal, akan tetapi secara
kualitatif mereka belum tentu sama. Lebih lanjut ia
mengatakan, aspek kualitatif dari
fungsi perceptual dan konseptual dan penalaran anak
tunarungu tampaknya berbeda.
Myklebust menyimpulkan bahwa anak tunarungu sulit u
ntuk melakukan fungsi yang
sama luas serta keabstrakannya bila dibandingkan d
engan anak normal. Anak tunarungu
dianggap lebih konkrit dan kurang abstrak bila diba
ndingkan anak normal (Moores, 1982:
154-155).
Helen Keller sebagai penyandang tunanetra dan tunar
ungu, menggambarkan
kondisi ketunarunguan, sebagai berikut: ...ketulian
merupakan bencana yang lebih besar
(daripada kebutaan) karena berarti kehilangan rangs
angan yang paling vital bagi
seseorang yaitu suara manusia yang membawa bahasa,
yang dapat
menggugah/merangsang pikiran dan menempatkan kita d
alam jajaran manusia
intelektual..
Pendapat tersebut didasarkan kepada pengalaman prib
adi tentang hubungan antara
pikiran dan bahasa, yang kemudian dipertegas oleh b
erbagai ahli. Bahasa merupakan
sistem lambang yang digunakan untuk berkomunikasi,
sehingga antara pikiran dan
bahasa lebih bersifat timbal balik serta interaktif
, artinya perkembangan kognitif dapat
mempengaruhi penguasaan bahasa dan bahasa dapat mem
pengaruhi kognisi. Meskipun
tidak semua pikiran secara global akan mempengaruhi
keseluruhan aspek bahasa dan
sebaliknya (Cromer, 1988). Ada aspek pikiran terten
tu yang berkembang secara bebas
dari bahasa, namun beberapa aspek lainnya sangat di
pengaruhi bahasa.
Kemiskinan bahasa dan terbatasnya pengalaman pada a
nak tunarungu akan
menghambat perkembangan kemampuan mereka untuk berp
ikir logis. Sedangkan
kemampuan anak tunarungu pada tahap awal, yaitu tah
ap sensorimotor, tidak
menunjukkan perbedaan yang berarti dengan anak deng
ar yang seusia (Paul & Jackson,
1994). Meskipun begitu Oleron (1953); Marschark (19
88) dalam Bunawan (2000:17)
menyatakan bahwa bahasalah merupakan faktor yang la
ngsung dapat memberi pengaruh
terhadap perkembangan kognitif karena bahasa akan m
empermudah anak dalam
memahami konsep-konsep. Hasil penelitian menunjukka
n bahwa anak tunarungu yang
berhasil mencapai tahap kognitif operasional konkri
t memiliki kemampuan tata bahasa
(Dolman, 1983) dan kemampuan baca tulis yang lebih
baik (Parasnis & Long, 1979).
Sedangkan pada tahap formal, penampilan anak tunaru
ngu menunjukkan terlalu banyak
variabilitas sehingga tidak diperoleh gambaran yang
jelas tentang kemampuan mereka.
Sampai pada tahapan akhir dari perkembangan kogniti
f, yaitu operasional formal, anak
tunarungu akan jauh ketinggalan dibandingkan anak m
endengar yang seusia, yaitu
menunjukkan keterlambatan 2 sampai 4 tahun.
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa dalam meng
erjakan tugas
(berdasarkan tahapan perkembangan kognitif Piaget),
anak tunarungu (tuli) dapat
menunjukkan kesamaan prestasi dengan anak mendengar
bila tugas-tugas itu menuntut
perhatian visual dan persepsi seperti misalnya seri
asi. Namun bila tugas-tugas itu
menuntut perhatian visual dan persepsi (seperti pad
a tugas konservasi) maka
ketergantungan pada persepsi visual akan mengakibat
kan kurangnya konseptualisasi.
Apalagi dalam tahap operasional konkrit dan formal
menuntut daya abstraksi dan
penalaran yang memerlukan kemampuan bahasa yang mem
adai, prestasi mereka akan
makin memprihatinkan.
Implikasinya adalah dengan mengadakan perubahan dal
am petunjuk tugas,
memberikan lebih banyak keterangan daripada yang di
lakukan terhadap anak mendengar,
penampilan anak tunarungu dapat diperbaiki dalam ar
ti memperkecil perbedaannya
dengan prestasi anak mendengar. Maka Furth menyimpu
lkan bahwa keterlambatan anak
tunarungu dalam bidang kognitif lebih disebabkan ku
rangnya pengalaman dalam dunia
nyata dan bahwa hal ini secara tidak langsung merup
akan akibat kemiskinan bahasanya
yang membatasi mereka dalam kesempatan mengembangka
n interaksi dan dengan
demikian membatasi pengalamannya pula.
3.
Hambatan Emosi dan Penyesuaian Sosial
Keterbatasan dalam berkomunikasi sering menimbulkan
kesulitan sosial dan
perilaku. Meadow (1987) yang dikutip Hallahan & Kau
ffman, (1991:71) menyatakan
bahwa: :inventarisasi kepribadian dengan konsisten
menunjukkan bahwa anak-anak
tunarungu mempunyai lebih banyak masalah penyesuaia
n daripada anak-anak normal.
Jika anak-anak tunarungu yang tanpa masalah-masalah
nyata atau serius diteliti, mereka
menunjukkan kekhasan akan kekakuan, egosentrik, tan
pa control dalam diri, impulsive
dan keras kepala.
Hambatan belajar yang dihadapi anak tunarungu seba
gai dampak terhambatnya
perkembangan emosi dan penyesuaian social tidak aka
n terlepas dari keberfungsian
kedua aspek tersebut yang saling berhubungan. Fungs
i emosi diartikan sebagai persepsi
seseorang tentang dirinya, dan fungsi sosial adalah
sebagai persepsi tentang hubungan
dirinya dengan orang lain dalam situasi sosial (Boo
throyd, 1982). Selanjutnya dikatakan
bahwa pendengaran memegang peran yang signifikan da
lam perkembangan awal emosi-
sosial namun bukan esensial. Sedangkan pada tahap p
erkembangan yang lebih lanjut
bahasalah yang memegang peran berarti dan esensial.
Dalam berbagai teori tentang perkembangan kepriba
dian dan sosial ditekankan
pada pengalaman seseorang semasa kecil akan memberi
pengaruh dalam membentuk
perilaku dan penyesuaian diri dalam hidup dikemudia
n hari. Deadon (1976) menunjuk
pada dua situasi yang akan dialami anak tuli pra ba
hasa pada umumnya semasa kecilnya
yaitu pertama terhalangnya komunikasi antara anak d
an orangtua mereka, dan kedua
adalah reaksi orangtua setelah menerima kepastian t
entang diagnosa ketulian anak.
Sejalan dengan itu Van Uden (1971) menambahkan bahw
a ketulian dapat menyebabkan
suatu keadaan terasing atau terisolasi bagi penderi
tanya. Berdasarkan pengalaman
ternyata bahwa keluarga yang mempunyai anak tunarun
gu mengalami banyak kesukaran
untuk melibatkan anak dalam keadaan dan kejadian se
hari-hari agar mereka mengetahui
tentang apa yang terjadi di lingkungannya. Sering t
erjadi bahwa karena kemiskinannya
dalam bidang komunikasi, maka anak tunarungu kurang
dapat memaknai situasi dan
kondisi lingkungan di luar dirinya secara utuh dan
total yang akan dapat memperkaya
khasanah pengalaman lahiriah dan batiniahnya. Denga
n kata lain keadaan ini tentu
mengakibatkan suatu kekurangan dalam keseluruhan pe
ngalaman anak yang pada
hakikatnya merupakan dasar dari perkembangan perasa
an, sikap sosial dan kepribadian.
Jadi dapat diasumsikan bahwa ketulian mengubah peng
alaman seseorang dan
menyebabkan suatu keterasingan, suatu distansi dan
kontak yang berkurang dengan
keadaan sekelilingnya sehari-hari.
Beberapa sifat dan ciri sebagai konsekuensi dan dam
pak terhambatnya
perkembangan emosi dan sosial anak tunarungu menuru
t Van Uden (1971) dan Meadow
(1976, 1980) adalah:
* Sifat egosentris yang lebih besar daripada anak m
endengar. Karena dunia penghayatan
mereka lebih sempit, maka anak tuli akan lebih tera
rah kepada diri sendiri, sehingga
mereka sukar menempatkan diri pada cara berpikir da
n perasaan orang lain, dan kurang
menyadari/peduli efek perilakunya terhadap orang la
in. Dalam tindakannya dikuasai
perasaan dan pikirannya secara berlebihan, sukar me
nyesuaikan diri.
Bahasa merupakan suatu faktor yang penting dalam pe
rkembangan kontak dan interaksi
sosial. Bahasa merupakan alat utama untuk mengkrist
alisasikan dan menstruktur
pengalaman. Jadi kemampuan bahasa yang terbatas aka
n membatasi pula kemampuan
untuk mengintegrasikan pengalaman dan akan memperku
at sifat egosentris ini.
* Memiliki sifat impulsive, yaitu tindakannya tidak
didasarkan pada perencanaan yang
jelas dan matang, serta tanpa mengantisipasi akibat
yang mungkin ditimbulkan oleh
perbuatannya. Apa yang mereka inginkan biasanya per
lu segera dipenuhi. Adalah sukar
bagi mereka untuk merencanakan atau menunda suatu p
emuasan kebutuhan dalam jangka
panjang. Dalam membuat rencana jangka panjang diper
lukan kemampuan untuk
memikirkan atau membayangkan berbagai kemungkinan d
i masa datang berdasarkan
masa kini. Justru dalam hal inilah mereka kekuranga
n karena kurang mempunyai konsep
tentang relasi/hubungan.
* Sifat kaku, menunjuk pada sikap kaku atau kurang
luwes dalam memandang dunia dan
tugas-tugas. Hal ini disebabkan oleh sempitnya bida
ng penghayatan dan berpikir sebagai
akibat ketulian dan kemiskinan bahasa. Pikiran dan
perasaan mereka terbatas pada hal-hal
konkret saja. Menurut Meadow (1980) hal ini dapat m
enyebabkan suatu ketidakmampuan
untuk mengubah suatu tuntutan sesuai perubahan situ
asi atau kejadian. Erat kaitannya
dengan sifat ini adalah kesulitan dalam mendapatkan
pengertian tentang hubungan sebab
akibat baik dalam lingkungan fisik maupun social da
n kesulitan dalam memahami alasan
atau sebab dari suatu kejadian.
* Sifat lekas marah atau tersinggung
Karena kemiskinan bahasanya, anak tunarungu tidak d
apat menjelaskan atau
mengekspresikan keinginanya dengan baik dan sebalik
nya kurang dapat memahami apa
yang dikatakan orang lain. Keadaan ini dapat menyeb
abkan kekecewaan, ketegangan,
dan frustrasi yang diekspresikan secara aktif dan a
gresif tetapi kadang dapat diungkapkan
dengan sikap malu-malu, ragu-ragu dan menarik diri.
Kedua sikap yang berlawanan ini
banyak bergantung dari reaksi orangtua/pendidik ter
hadap kemampuan anak sehingga
terbentuknya konsep diri yang negatif pada anak, pa
da akhirnya dapat menghambat
proses kegiatan belajar di kelas. Meadow (1980) men
jelaskan bahwa pembentukan
konsep diri terjadi sejalan dengan perkembangan soc
ial seorang anak. Berdasarkan reaksi
atau sikap orang lain dalam lingkungannya terhadap
diri dan tindakannya akan terbentuk
pandangan terhadap diri sendiri.
Apabila kita menginginkan anak tunarungu dapat ber
kembang bicara dan
bahasanya, maka kita harus senantiasa berkomunikasi
dengan mereka dalam berbagai
kesempatan atau keadaan. Yang harus kita lakukan ad
alah melihat dan mengembangkan
terlebih dahulu hal-hal penting yang menjadi dasar
untuk berkomunikasi pada anak
tunarungu, seperti: (prinsip-prinsip belajar)
a.
sikat keterarahwajahan
bagi anaktunarungu sumber informasi datangnya sebag
ian besar secara visual atau
penglihatan, dan sebagian kecil melalui pendengaran
atau auditoris.
Keterarahwajahan yang baik merupakan dasar utama un
tuk membaca ujaran atau
untuk menangkap ungkapan orang lain, sehingga anak
dapat memahami bicara
orang disekitarnya.
b.
Sikap Keterarahsuaraan
Keterarahsuaraan adalah sikap untuk selalu memperha
tikan suara atau bunyi yang
terjadi di sekelilingnya dan perlu dikembangkan pad
a ATR agar sisa pendengaran
yang masih dimilikinya dapat dimanfaatkan guna memp
erlancar interaksinya
dengan lingkungan di luar dirinya.
c.
Tanggap terhadap apa yang ingin dikatakan anak
Pada saat bermain atau melakukan kegiatan tentu ban
yak yang ingin diungkapkan
anak, namun karena tidak mempunyai bahasa maka anak
akan menggunakan
berbagai cara untuk mengungkapkan dirinya seperti:
gerak-gerik tingkah laku,
suara bermakna, senyuman, tangisan, mimic, isyarat
tangan dan kata-kata yang
jelas. Bila pada situasi tertentu ATR menggunakan s
alah satu bentuk ungkapan
seperti di atas, maka sebaiknya kita segera tanggap
apa yang diamatinya lalu kita
mencoba menguhubungkan dengan apa yang ingin dia ka
takana sehinga kita
dapat membahasakannya dengan tepat.
d.
Penggunaan dorongan Imitasi
Dasar berbahasa bukanlah sekedar memberikan atau me
nanmkan perbendaharaan
pada anak, tetapi terutama menciptakan situasi yang
membangkitkan minat anak
untuk berkomunikasi. Semua hal yang ingin dikatakan
anak sesegera mungkin
diberi bahasanya dalam suasana perrcakapan.

tuna wicara dan tunarungu


TUNA WICARA DAN TUNA RUNGU
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Dosen pengampu : Renie Tri Herdiani, M. Pd







Oleh :
Kelompok III : 1. Deni
Purwati
2. Eka Alendah
3. Friska Rahma A
4. Gema Gilang
5. Lita Desyana Fasin
6. Titin Mukminatin
7. Toto Riyanto
8. Toto Sugiarto
Kelas : III D


BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL
2012
KATA PENGANTAR

Seiring alunan kata Alhamdulillah, segala puji syukur semata-mata hanya untuk Allah
SWT. Yang telah melimpahkan karunia, taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga
penulis dapat merampungkan makalah ini. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah
atas junjungan Nabi besar Muhammad SAW. Pembawa risalah kebenaran bagi seluruh umat
di alam ini.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya makalah ini berkat dorongan dan arahan dan
menyampaikan ucapan terimakasih kepada :
1. Renie Tri Herdiani, M. Pd
2. Teman-teman mahasiswa yang telah membantu memberikan sumbang saran penulisan
makalah ini.



Terlalu banyak yang penulis peroleh dari mereka. Untuk itu, semoga amal dan kebaikan
Ibu dan rekan-rekan mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis juga menyadari sepenuhnya
bahwa kemampuan yang ada pada penulis sangat tebatas. Untuk itu, dengan segala
kerendahan hati, penulis mohon kepada pembaca untuk memberikan saran dan kritik yang
membangun demi kebaikan penulisan makalah selanjutnya.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.





ii




DAFTAR ISI


JUDUL ....................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Tuna rungu dan tuna wicara .................................... 3
B. klasifikasi tuna rungu ................................................................ 6
C. Karakteristik tuna wicara dan tuna rungu ................................ 9
D. Terapi Terpadu untuk anak tuna rungu .................................... 12
E Perkembangan pendidikan tunarungu dan tuna wicara .............15
F. Peranan orang tua Dalam Pendidikan Anak Tunarungu ..........19
G. Penyebab Terjadinya Tunarungu ......................................................21
H. Cara Pencegahan Terjadinya Tunarungu ..........................................22
I. Analisis Kasus ....................................................................................23
J. Layanan Yang Diperlukan..................................................................30
K. Implementasi Model Pembelajaran Anak Tunarungu ......................32
L. Kurikulum Pendidikan Khusus Anak Tunarungu .............................36
M. Alat Pendidikan Khusus ...................................................................39
N. Bimbingan dan Konseling bagi Anak Tunarungu .............................41

BAB III PENUTUP
1 Simpulan 44
DAFTAR PUSTAKA






BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia memiliki tiga sifat penting sifat atau tritunggal yaitu mampu mendengar,
mampu berfikir sebagai manusia, dan mampu bercakap-cakap. Ketiga fungsi itu mempunyai
hubungan yang sangat erat. Fungsi pendengaran tergolong yang paling tua dan
mempengaruhi fungsi berfikir, sedangkan fungsi berfikir itu sendiri melatih dan
mempergunakan fungsi berbicara sebagai alat untuk menyatakan kepada dunia luar apa yang
tersembunyi dalam alam pikirannya.
Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian terpenting dari
perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak. Kehilangan pendengaran yang ringan
atau parsial saja dapat mempengaruhi kemampuan anak untuk berbicara dan memahami
bahasa. Bagi anak-anak, pendengaran dan kemampuan berbahasa adalah alat yang sangat
penting untuk belajar, bermain dan membangun kemampuan sosial. Anak belajar untuk
berkomunikasi dengan meniru suara yang mereka dengar. Jika mereka memiliki gangguan
pendengaran yang tidak diketahui sebelumnya dan tidak ditangani, informasi untuk
perkembangan bahasa dari lingkungan mereka akan terbuang sia-sia. Hal ini akan
mengakibatkan lambatnya perkembangan kemampuan verbal serta menimbulkan masalah
soaial dan akademik.

1

Tuna rungu wicara biasanya terjadi yang diawali dengan tuna rungu(gangguan
pendengaran) pada awal anak tersebut lahir, baik dapatan ataupun kongenital. Selanjutnya
tuna rungu ini, anak dengan tuna rungu ini disertai dengangangguan keterbelakangan mental,
gangguan emosional, gangguan bahasa atau bicara(tuna wicara). Gangguan pendengaran
dibedakan antara tuli sebagian (hearing impaired) dan tuli total (deaf). Tuli sebagian (hearing
impaired) adalah keadaan fungsi pendengaran berkurang namun masih dapat dimanfaatkan
untuk berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat bantu dengar, sedangkan tuli total (deaf)
adalah keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian terganggunya sehinggatidak dapat
berkomunikasi sekalipun mendapat perkerasan bunyi (amplikasi). Tuna rungu adalah
individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran permanen maupun temporer (tidak
permanen).
B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan tuna rungu dan tuna wicara?
2. Bagaimana sistem dan implementasi pendidikan tuna wicara dan tuna rungu?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui maksud dari tuna rungu dan tuna wicara,
2. Untuk mengetahui sistem dan implememntasi pendidikan tuna wicara dan tuna rungu.


2


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tunarungu dan Tunawicara
Menurut Pernamari Somad dan Tati Herawati (1996, hal. 27) menyatakan bahwa
Tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan
mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya
sebagaian atau seluruh alat pendenganran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat
pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak terhadap kehidupan
secara kompleks.
Sedangkan menurut Sardjono (1997, hal. 7) mengatakan bahwa: Anak tunarungu
adalah anak yang kehilangan pendengaran sebelum belajar bicara atau kehilangan
pendengaran demikian anak sudah mulai belajar bicara karena suatu gangguan pendengaran,
suara dan bahasa seolah-olah hilang.
Sedangkan sebagian tunawicara adalah mereka yang menderita tuna rungu sejak
bayi/lahir, yang karenanya tidak dapat menangkap pembicaraan orang lain, sehingga tak
mampu mengembangkan kemampuan bicaranya meskipun tak mengalami ganguan pada alat
suaranya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa anak penyandang tunarungu dan tunawicara adalah
anak yang kehilangan kemampuan untuk mendengar baik sebagian maupun seluruhnya yang
mengakibatkan tidak mampu untuk menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupannya
sehari-hari dan juga tidak mampu mengembangkan kemampuan bicaranya.

3


Tuna wicara merupakan gangguan verbal pada seseorang sehingga mengalami
kesulitan dalam berkomunikasi melalui suara. Tuna wicara sering dikaitkan dengan tuna
rungu. Van Uden (1971) menyatakan bahwa penyandang tuna rungu bukan saja tuna rungu
tetapi juga tuna bahasa. Sedangkan Leigh (1994) mengemukakan bahwa terhadap anak tuna
rungu, orang akan langsung berpikir tentang ketidakmampuan mereka dalam berkomunikasi
secara lisan (berbicara), padahal masalah utamanya bukan pada ketidakmampuan dalam
berbicara melainkan pada akibat dari keadaan ketunarunguan tersebut terhadap
perkembangan bahasa. Pendapat Van Uden yang menyatakan bahwa penyandang tuna rungu
juga pasti tuna bahasa, berlawanan dengan pendapat Morag Clark, seorang International
Consultant in Natural Auditory Oral Education for children who are hearing impaired. Clark
(2007) menyatakan bahwa apabila anak-anak dengan gangguan pendengaran diberi alat bantu
dengar yang tepat sehingga dapat baik maka kualitas bicara mereka sangat mengagumkan.
Andreas Dwijosumarto dalam seminar ketuna runguan di bandung (19 juni 1988)
mengemukakan bahwa tuna rungu adalah suatu kehilangan pendengaran yang mengakibatkan
seseorang tidak dapat menangkap berbagai perangsang, terutama indra pendengaran.
Menurut batasan dari Sri Moerdiani (1987: 27) dalam buku psikologi anak luar biasa
bahwa anak tuna rungu adalah mereka yang menaglami gangguan pendengaran sedemikian
rupa sehingga tidak mempunyai fungsi praktis dan tujuan komunikasi dengan orang lain dan
lingkungan sekitarnya.



4



Adapun Moh Amin dalam buku Ortopedagogik umum mengemukakan bahwa anak
tuna rungu adalah mereka yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan
mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh
organ pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembanganya sehingga
memerlukan bimbingan pendidikan khusus. (1991: 1).
Ahli lainnya memberikan batasan mengenai tunarungu ditinjau dari segi medis dan
pedagogis sebagai berikut : Tunarungu berarti kekurangan atau kehilangan kemampuan
mendengar yang disebabkan oleh kerusakan seluruh alat pendengaran yang mengakibatkan
hambatan dalam perkembangan bahasa sehingga memerlukan bimbingan dan pelayanan
khusus. ( Salim, 1984 : 8).
Orang tuli adalah seseorang yang mengalami ketidakmampuan untuk mendengar
sehingga tidak dapat mengembangkan, biasanya pada tingkat 70 dB ISO atau lebih besar
sehinga menghalangi untuk mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengaranya sendiri
tanpa mengunakan alat bantu dengar. Seseorang dikatakan kurang mendengar adalah ketidak
mampuan untuk mendengar sehingga tidak dapat mengembangkan, bisanya pada tingkat 35
sampai 69 Db ISO tetapi tidak menghalangi untuk mengerti pembicaraan orang lain melalui
pendengaranya sendiri tanpa atau menggunakan alat bantu dengar.
Atau dengan menggunakan bahasa lain, bahwa anak tuna rungu adalah anak yang
mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang diakibatkan oleh
kerusakan atau tidak berfungsinya indra pendengaran sehingga mengalami hambatan dalam
perkembanganya. Dengan demikian anak tuna rungu memerlukan pendidikan secara khusus
untuk mencapai kehidupa lahir batin yang layak.

5


B. Klasifikasi Tunarungu
Ketunarunguan dapat diklasifikasikan berdasarkan empat hal, yaitu tingkat kehilangan
pendengaran, saat terjadinya ketunarunguan, letak gangguan pendengaran secaraanatomis,
serta etiologis.
1. Berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran yang diperoleh melalui tes dengan
menggunakan audiometer ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Tunarungu ringan (mild hearing loss)
b) Tunarungu sedang (moderate hearing loss)
c) Tunarungu agak berat (moderately csevere hearing loss)
d) Tunarungu berat (severe hearing loss)
e) Tunarungu berat sekali (profound hearing loss)
2. Berdasarkan saat terjadinya ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
a) Ketunarunguan prabahasa (prelingual deafness), yaitu kehilangan pendengaran yang terjadi
sebelum kemampuan bicara da bahsa berkembang.
b) Ketunarunguan pascabahasa (post lingual deafness), yaitu kehilangan pendengaran yang
terjadi beberapa tahun setelah kemampuan bicara dan bahasa berkembang.





6





3. Berdasarkan letak gangguan pendengaran secara anatomis, ketunarunguan dapat
diklasifasikan sebagai berikut.
a) Tunarungu tipe konduktif, yaitu kehilangan pendengaran yang disebabkan oleh terjadinya
kerusakan pada telinga bagian luar dan tengah, yang berfungsi sebagai alat konduksi atau
pengantar getaran suara menuju telinga bagian dalam.
b) Tunarungu tipe sensorineural, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh terjadinya kerusakan
pada telinga dalam serta saraf pendengaran (nervus chochlearis).
c) Tunarungu tipe campuran yang merupakan gabungan tipe konduktif dan sensorineural,
artinya kerusakan terjadi pada telinga luar/tengah dengan telinga dalam/saraf pendengaran.
4. Berdasarkan etiologi atau asal usul ketunarunguan diklasifikasikan sebagai berikut.
a) Tunarungu endogen, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh faktor genetik (keturunan)
b) Tunarungu eksogen, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh factor nongenetik (bukan
keturunan).
Tuna rungu diklasifikasikan berdasarkan tingkat gangguan pendengaran, yaitu
gangguan pendengaran sangat ringan(27-40dB), gangguan pendengaran ringan(41-55 dB),
gangguan pendengaran sedang(56-70 dB), gangguan pendengaran berat(71-90 dB), gangguan
pendengaran ekstrem/tuli(diatas 91 dB).



7




Klasifikasi ketunarunguan sangat bervariasi menurut BOOThroyd. Klasifiksi dan
karakteristik ketunarunguan diantaranya didsarkan pada:
Kelompok I : Kehilangan 15-30 dB: mild hearing losses atau ketunarunguan ringan; daya
tangkap suara cakapan manusia normal.
Kelompok II : kehilangan 31-60 dB: moderate hearing losses atau ketunarunguan sedang;
daya tangkap terhadap cakapan manusia hanya sebagian.
Kelompok III : kehilangan 61-90 dB: severve hearing losses atau ketunarunguan berat; daya
tangkap terhadap cakapan suara manusia tidak ada.
Kelompok IV : kehilangan 91-120 dB: profound hearing losses atau ketunarunguan sangat
berat; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali.
Kelompok V : kehilangan lebih ari 120 dB: total hearing losses atau ketunarunguan total;
daya tangkap terhadap suara manusia tidak ada sama sekali.
Uden (1977) mebagi klasifikasi ketunarunguan menjadi tiga, yakni berdasarkan saat
terjadinya ketunarunguan, berdasarkan tempat keruasakan pada organ pendengaran, dan
berdasarkan pada taraf penguasaan bahasa.





8





C. Karakteristik Tuna Wicara dan Tuna Rungu
Masalah yang utama pada diri seorang tunawicara adalah mengalami
kehilangan/terganggunya fungsi pendengaran (tunarungu) dan atau fungsi bicara
(tunawicara), yang disebabkan karena bawaan lahir, kecelakaan maupun penyakit.
Umumnya anak dengan gangguan dengar/wicara yang disebabkan karena faktor bawaan
(keturunan/genetik) akan berdampak pada kemampuan bicara Walaupun tidak selalu.
Sebaliknya anak yang tidak/kurang dapat bicara umumnya masih dapat menggunakan fungsi
pendengarannya walaupun tidak selalu. Anak dengan gangguan dengar/wicara dikelompokan
sebagai berikut :
a. Ringan (20 30 db)
Umumnya mereka masih dapat berkomunikasi dengan baik, hanya kata-kata tertentu
saja yang tidak dapat mereka dengar langsung, sehingga pemahaman mereka menjadi sedikit
terhambat.
b. Sedang (40 60 db)
Mereka mulai mengalami kesulitan untuk dapat memahami pembicaraan orang lain,
suara yang mampu terdengar adalah suara radio dengan volume maksimal.
c. Berat/parah (di atas 60 db)
Kelompok ini sudah mulai sulit untuk mengikuti pembicaraan orang lain, suara yang
mampu mereka dengar adalah suara yang sama kerasnya dengan jalan pada jam-jam sibuk.
Biasanya kalau masuk dalam kategori ini sudah menggunakan alat bantu dengar,
mengandalkan pada kemampuan membaca gerak bibir, atau bahasa isyarat untuk
berkomunikasi.

9

Hambatan dalam pendengaran pada individu tuna rungu berakibat terjadinya
hambatan dalam berbicara. Sehingga, mereka biasa disebut tuna wicara. Cara berkomunikasi
dengan individu tuna rungu menggunakan bahasa isyarat. Bahasa isyarat melalui abjad jari
telah dipatenkan secara internasional. Untuk komunikasi dengan isyarat bahasa masih
berbeda-beda disetiap negara. Saat ini, beberapa SLB bagian B tengah mengembangkan
komunikasi total, yaitu cara berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa
isyarat,bahasa tubuh. Individu tunarungu cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari
sesuatu yang abstrak.
Karakteristik tunawicara:
a. Berbicara keras dan tidak jelas
b. Suka melihat gerak bibir atau gerak tubuh teman bicaranya
c. Telinga mengeluarkan cairan
d. Menggunakan alat bantu dengar
e. Bibir sumbing
f. Suka melakukan gerakan tubuh
g. Cenderung pendiam
h. Suara sengau
i. Cadel
Berikut ini diuraikan karakteristik anak tunarungu dilihat dari segi intelegensi, bahasa
dan bicara, emosi serta sosial :

10

1. Karakteristik Dalam segi Intelegensi
Pada umumnya anak tunarungu memiliki intelegensi normal atau rata-rata, akan tetapi
karena perkembangan intelegensi sangat dipengaruhi oleh perkembangan bahasa maka anak
tunarungu akan menampakkan intelegensi yang rendah disebabkan oleh kesulitan memahami
bahasa. Rendahnya tingkat prestasi anak tunarungu bukan berasal dari kemampuan
intelektual yang randah, tetapi pada umumnya disebabkan karena intelegensinya tidak
mendapat kesempatan untuk berkembang dengan maksimal. Tidak semua aspek intelegensi
anak tunarungu terhambat, tetapi hanya yang bersifat verbal, misalnya dalam merumuskan
pengertian, menarik kesimpulan dan meramalkan kejadian.
2. Karakteristik Dalam Segi Bahasa dan Bicara
Perkembangan bicara dan bahasa anak tunarungu sampai masa meraban tidak
mengalami hambatan karena meraban merupakan kegiatan alami pernafasan dan pita suara.
Setelah masa meraban perkembangan bahasa dan bicara anak tunarungu terhenti. Pada masa
meniru anak tunarungu terbatas pada peniruan yang sifatnya visual yaitu gerak dan isyarat.
Karena anak tunarungu tidak bisa mendengar bahasa, kemampuan bahasanya tidak akan
berkembang bila ia tidak di didik atau dilatih secara khusus. Karena itu anak tunarungu bicara
dan bahasanya pada awalnya seringkali sukar ditangkap, akan tetapi bila bergaul lebih lama
dengan mereka kita akan terbiasa dengan cara bicara mereka sehingga akan mempermudah
kita dalam memahami maksud bicara anak tunarungu itu.

11


3. Karakteristik Dalam segi Emosi dan Sosial
Ketunarunguan dapat mengakibatkan terasing dari pergaulan sehari-hari, yang berarti
mereka terasing dari pergaulan atau aturan sosial yang berlaku dalam masyarakat dimana ia
hidup / keadaan ini menghambat perkembangan kepribadian anak menuju dewasa. Akibat
dari keterasingan tersebut dapat menimbulkan efek-efek negatif seperti ;
1. Egosentrisme yang melebihi anak normal
2. Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas
3. Ketergantungan terhadap orang lain
4. Perhatian mereka lebih sukar dialihkan
5. Mereka umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana dan tanpa banyak masalah
6. Mereka lebih mudah marah dan cepat tersinggung.
D. Terapi Terpadu untuk Anak Tuna Rungu
Keywords: terapi mendengar / terapi dengar, auditory verbal therapy / terapi auditori
verbal, auditory oral therapy, AVT / TAV, terapi wicara, implan koklea / cochlea implant,
alat bantu dengar / ABD, komunikasi, tunarungu.


12


Prinsip Dasar Terapi Ellen (Terapi terpadu = terapi mendengar + terapi wicara) :
1. Mendengar melalui telinga yang dibantu ABD, bukan karena melihat gerakan tangan atau
gerakan mulut.
2. Keterbatasan si anak dalam merespon pembicaraan kita adalah karena belum mengerti
kata/kalimat yang didengar (keterbatasan kosa kata, karena baru mulai mendengar selama 2
tahun), sehingga perlu dibantu dengan gambar/gerakan tangan. Tetapi bantuan inipun sifatnya
hanya sesaat dalam rangka memasok kata baru, setelah kata tersebut dimengerti, bantuan
visual dihilangkan.
3. Karena itu yang penting adalah memasok kosa kata ke telinga Ellen, tanpa menuntut dia
segera/langsung dapat mengerti apalagi mengucapkan. John Tracy Clinic menuliskan: untuk
dapat mengerti suatu kata si anak harus mendengar 100 kali, untuk dapat mengucapkan ia
harus mendengar 1000 kali. Jadi sejak Ellen memakai ABD kami konsentrasi memasok dan
memasok kata ke telinganya (saat bercakap-cakap normal, maupun saat spesifik mengajarkan
kata-kata baru).
4. Teknik berbicara adalah dengan volume suara normal di dekat telinganya. Hal ini bertujuan
agar suluruh konsonan dapat ditangkap. Bicara pada jarak yang lebih jauh dengan suara keras
(berteriak) menyebabkan yang ditangkap hanya vokal saja.


13


5. Kami telah menerapkan point 1-4 selama 1 tahun dan telah terbukti menunjukkan hasil yang
baik. Pada akhir tahun pertama, dia baru memiliki bahasa reseptif (paham beberapa kata yang
kami ucapkan tanpa dia melihat gerak bibir, tapi dia belum bisa mengucapkannya), lalu
setelah itu mulai muncul kata-kata pertamanya (walau pengucapan tidak sempurna, tetapi
konsisten), dan langsung disusul dengan kata-kata berikutnya. Metode ini biasa disebut
teknik auditory verbal.
6. Kendala yang muncul adalah pengucapan yang masih sangat lemah, karena itulah atas saran
John Tracy Clinic kemudian Ellen dibantu terapi wicara (di suatu RS). Terapis wicara
membantu membentuk pengucapan Ellen dengan teknik terapi wicara terhadap kata-kata
yang sudah dimengerti Ellen tetapi belum bagus pengucapannya. Walaupun hanya 4 bulan
(terpaksa quit karena tidak tertampung jadwal baru mereka yang hanya pagisiang), pola ini
telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Metode auditory verbal + terapi wicara ini
biasa disebut auditory oral. Ini yang kami lanjut-terapkan saat ini (dengan bantuan terapis
wicara di sekolah).
Catatan:
- Penelitian modern menyatakan hampir semua anak tuna rungu masih punya sisa
pendengaran (tidak 100% tuli). Sisa pendengaran ini dapat dioptimalkan dengan bantuan alat
bantu dengar (ABD, walaupun tidak secanggih implan koklea).

14


- Tetapi memakai ABD tidak sama dengan orang memakai kaca mata, yang langsung bisa
melihat dengan lebih jelas. Karena respon atas stimuli visual adalah langsung, sedangkan
respon atas stimuli auditori adalah melalui tahap pemahaman/interpretasi dulu. Untuk
mencapai tahap pemahaman yang penting adalah harus sering mendengar dan mendengar,
dengan pengucapan yang jelas, kalimat pendek, dan jika perlu disertai bantuan visual: gambar
& gerakan tangan (kadang tanpa bantuan akan sulit anak memahami kata-kata baru, mirip
kita nonton film berbahasa asing dimana kita mendengar pemain berbicara cas-cis-cus tanpa
kita menangkap artinya). Tetapi bantuan itu perlahan dihilangkan, sehingga nantinya hanya
akan berkomunikasi secara verbal. (by: mama Ellen, edited by papa Ellen).

E. Perkembangan pendidikan Tunarungu dan Tunawicara
Salah satu literatur tertua mengenai tunarungu dan tunawicara tercatat pada abad
kelima SM, dalam Plato Cratylus, di mana Socrates berkata: "Jika kami tidak memiliki suara
atau lidah, dan ingin mengungkapkan hal-hal yang satu sama lain, tidak akan kami mencoba
untuk membuat tanda-tanda dengan menggerakkan tangan, kepala, dan seluruh tubuh kita,
seperti orang bodoh lakukan saat ini ? Disini tampak bahwa orang yang disebut Socrates
sebagai orang bodoh adalah sekelompok orang yang tidak bersuara dan tidak berlidah.
Terdapat juga literatur pada abad ke-2 Yudea, rekaman dalam traktat Mishnah Gittin
menyatakan bahwa untuk tujuan transaksi komersial "Seorang tuli-bisu dapat mengadakan
percakapan melalui suatu gerakan tertentu.

15

Di masa yang lebih modern, yaitu pada tahun 1620, Juan Pablo Bonet menerbitkan
Reduccin de las letras y arte para ensear a hablar mudos los (Pengurangan huruf dan
seni untuk mengajar orang bisu untuk berbicara') di Madrid. Sejumlah esai modern pertama
Fonetik dan Logopedia, kemudian menetapkan metode pendidikan oral bagi penyandang
tunarungu dengan cara penggunaan tanda-tanda manual, dalam bentuk alfabet manual untuk
memperbaiki komunikasi dari penyandang tunarungu dan tunawicara. Terinpirasi dari bahasa
tanda-tanda Bonet ini, Charles-Michel de l'pe kemudian menerbitkan alfabet manualnya di
abad ke-18, yang sampai kini terus bertahan di Perancis dan Amerika Utara. Ini merupakan
masa-masa awal berkembangnya pendidikan khusus penyandang tunarungu dan
tunawicara.
Pada 1755, Abb de l'pe mendirikan sekolah pertama untuk anak-anak penyandang
tunarungu dan tunawicara di Paris. Salah satu lulusannya yang juga berperan dalam
pengembangan pendidikan ini Laurent Clerc. Clerc melakukan migrasi ke Amerika Serikat
bersama Thomas Hopkins Gallaudet untuk mendirikan Sekolah Amerika untuk Tuli di
Hartford, Connecticut, pada tahun 1817. Perjuangan ini diteruskan oleh Edward Miner
Gallaudet (putra T.H Gallaudet) yang mendirikan sekolah untuk penyandang tunarungu pada
tahun 1857 di Washington, DC. Pada tahun 1864 sekolah ini menjadi National Deaf-Mute
College. Universitas ini kemudian disebut Gallaudet University, dan masih merupakan
universitas seni liberal hanya untuk orang-orang tunarungu dan tunawicara di dunia.



16


Di Indonesia sendiri, pendirian lembaga pendidikan yang menangani Anak Tunarungu
(ATR) baru dirintis oleh C.M.Roelfsma Wesselink, di Bandung pada tahun 1933. 5 tahun
kemudian, di Wonosobo didirikan lembaga pendidikan oleh Misi Katolik yang hanya
menerima siswisiswi tuna rungu yang terkenal pula dengan metode oralnya. Lalu pada tahun
1953 didirikan sekolah lain di kota yang sama oleh Misi Bruder Charitas yang khusus
mendidik siswa putra. Dimulai tahun 1970-an mulai berkembang berbagai versi perangkat
isyarat dalam menerapkan komunikasi pada penyandang tunarungu di Indonesia. Baru tahun
1933 , Balitbang Dikbud, Dekdikbut mulai menyusun kamus baku bahasa isyarat. Dan pada
tahun yang sama Direktorat Pendidikan Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan
Menengah, Depdikbud mengambil keputusan membakukan suatu Sistem Isyarat Nasional,
yang kemudian lebih dikenal dengan istilah Sistem Isyarat Bahasa Indonesia.
Menurut sejarah pendidikan anak tunarungu dimulai setelah adanya perkembangan
dan pengalaman terhadap kemampuan-kemampuan anak tunarungu. Kemampuan tersebut
meliputi berbagai bidang, antara lain ; mampu dilatih mengeluarkan suara/bicara walaupun
tidak dapat mendengar suara orang lain maupun suaranya sendiri, serta mampu
berkomunikasi dengan masyarakat umumnya walaupun hanya menggunakan isyarat dan
kadang-kadang disertai suara.




17



1. Perkembangan anak tunarungu di luar negeri
Berdasarkan pengalaman-pengalaman dan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam
memberikan layanan pendidikan dinegara-negara maju khususnya di amerika serikat dan
eropa barat, ternyata penyandang tunarungu dapat hidup wajar seperti halnya anggota
masyarakat lainnya, asal saja mereka dipersiapkan sebaik-baiknya yaitu diupayakan
pengembangan kemampuan seoptimal mungkin sesuai dengan kondisinya. Hambatan utama
anak tunarungu adalah kurang lancarnya berkomunikasi dengan orang lain yang diakibatkan
oleh tidak berfungsinya pendengaran secara baik.
Orang pertama yang menaruh perhatian terhadap pendidikan anak tunarungu adalah St.
Yohannes of Baverly yang hidup pada akhir abad ke tujuh sampai abad kedelapan. Pada abad
pertengahan itu menjadi lebih intensif karena pada zaman itu perhatian terhadap kemanusian
lebih besar.
2. Perkembangan pendidikan anak tunarungu di indonesia
Pendidikan anak tunarungu diindonesia mulai dirintis pada tahun 1930 dibandung oleh
Ny. Roelfsma Wesselink ( istri dokter THT ) dengan mendirikan sekolah anak tunarungu,
yang kemudian dikelola oleh perkumpulan penyelenggaraan pengajaran bagi anak Tuli Bisu
di indonesia yang berkedudukan di Bandung. Kepala sekolah pertama adalah D.W. Bluenink
berkebangsaan Belanda. Sekolah anak tunarungu yang kedua didirikan di wonosoba oleh
Broeder-Broeder Charitas pada tahun 1938 yang mempunyai hubungan dengan sekolah bagi
anak tunarungu dinegeri belanda, yakni St. Micliects gestel.

18

Setelah indonesia merdeka, khususnya setelah tahun tujuh puluhan, perkembangan
pendidikan anak tunarungu semakin berarti meskipun jumlah sekolah belum memadai, tetapi
sudar tersebar di kota-kota besar di indonesia. Sejak Pelita III dan awal Pelita IV pemerintah
mendirikan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) sebanyak 200 buah, yang prioritas didirikan
dikota-kota yang belum memiliki SLB.

F. Peranan Orang Tua Dalam Pendidikan Anak Tunarungu
Masa-masa yang paling kritis dalam kehidupan orang tua adalah ketika mereka harus
mengakui bahwa anaknya berkelainan. Keadaan tersebut akan menimbulkan bermacam-
macam reaksi. Beberapa diantaranya akan berusaha menghindarkan diri dari kenyataan ini,
seperti dengan menyembunyikan anak tersebut. Selain itu ada juga yang berhati mulia
menghadapi kenyataan tersebut bahkan sekaligus memikirkan masa depan anaknya yang
berkelainan. Penting untuk disadari bahwa penerimaan yang secepatnya dari orang tua
terhadap anaknya serta membuat rencana untuk masa depan anaknya adalah merupakan suatu
kebajikan untuk kebahagiaan anak itu sendiri maupun bagi orang tua/keluarganya sendiri.



19



Sikap positif yang dituntut dari orang tua adalah sikap menerima sebagaimana adanya
yaitu sikap yang bijaksana yang mencerminkan ketulusan terhadap kehendak ilahi, sehingga
dapat membahagiakan anak tunarungu. Sikap menerima berarti adanya pengakuan terhadap
eksistensi anak tunarungu sebagai mahkluk tuhan dan anggota keluarga yang sederajat dan
berhak memperoleh kasih sayang seperti halnya anak yang lain.
Pendidikan kepada anak tunarungu hendaknya didasarkan pada aspek penerimaan
yang tulus atas kondisi kelainannya. Pendidikan pertama-tama adalah merupakan tanggung
jawab orang tuanya. Pendidikan dan latihan harus diberikan kepada anak tunarungu sedini
mungkin untuk menghindari / mengurangi kemungkinan terjadi kelainan tambahan, seperti
tunawicara atau bisu.
Agar dapat mendidik dan melatih anak tunarungu sebaik-baiknya, orang tua dituntut
memiliki berbagai pengetahuan dan keterampilan antara lain :
- Pengetahuan tentang jenis dan tingkat ketunarunguan
- Pengetahuan tentang karakteristik anak tunarungu
- Pengetahuan tentang cara-cara mendidik anak tunarungu yang meliputi segi-segi teori
maupun praktek.


20



- Pengetahuan tentang cara mamilih, menggunakan, serta merawat alat bantu dengar.
- Pengetahuan dan keterampilan tentang cara berkomunikasi dengan anak tunarungu agar
kemampuan berbicara dan berbahasanya makin berkembang.

G. Penyebab Terjadinya Tunarungu
a. Penyebab Tunarungu Tipe Konduktif:
1) Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga luar yang dapat disebabkan antara lain oleh:
tidak terbentuknya lubang telinga bagian luar (atresia meatus akustikus externus), dan
terjadinya peradangan pada lubang telinga luar (otitis externa).
2) Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga tengah, yang dapat disebabkan antara lain
oleh hal-hal berikut:
Ruda Paksa, yaitu adanya tekanan/benturan yang keras pada telinga seperti karena jatuh
tabrakan, tertusuk, dan sebagainya.
Terjadinya peradangan/inpeksi pada telinga tengah (otitis media).

21

Otosclerosis, yaitu terjadinya pertumbuhan tulang pada kaki tulang stapes.
Tympanisclerosis, yaitu adanya lapisan kalsium/zat kapur pada gendang dengar (membran
timpani) dan tulang pendengaran.
Anomali congenital dari tulang pendengaran atau tidak terbentuknya tulang pendengaran
yang dibawa sejak lahir.
Disfungsi tuba eustaschius (saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan
rongga mulut), akibat alergi atau tumor pada nasopharynx.
3) Penyebab Terjadinya Tunarungu Tipe Sensorineural
Disebabkan oleh faktor genetik (keturunan),
Disebabkan oleh faktor non genetik antara lain:
- Rubena (Campak Jerman)
- Ketidaksesuaian antara darah ibu dan anak.
- Meningitis (radang selaput otak )
- Trauma akustik.

H. Cara Pencegahan Terjadinya Tunarungu
1) Pada saat sebelum nikah (pra nikah) antara lain: menghindari pernikahan sedarah atau
pernikahan dengan saudara dekat; melakukan pemeriksaan darah; dan melakukan konseling
genetika.

22

2) Upaya yang dapat dilakukan pada waktu hamil,antara lain: menjaga kesehatan dan
memeriksakan kehamilan secara teratur; mengkonsumsi gizi yang baik/seimbang; tidak
meminum obat sembarangan; dan melakukan imunisasi tetanus.
3) Upaya yang dapat dilakukan pada saat melahirkan, antara lain: tidak menggunakan alat
penyedot dan apabila Ibu tersebut terkena virus herpes simplek pada daerah vaginanya,maka
kelahiran harus melalui operasi caesar.
4) Upaya yang dapat dilakukan pada masa setelah lahir antara lain: melakukan imunisasi dasar
serta imunisasi rubela yang sangat penting, terutama bagi wanita; mencegah sakit influenza
yang terlalu lama (terutama pada anak); dan menjaga telinga dari kebisingan.

I. Analisis Kasus
Kasus 1
Cerita Shafa: Tuna Rungu Jangan Menjadi Hambatan
Shafa, adalah seorang anak yang merupakan inspirator untuk anak-anak lain agar tidak
menyerah dengan ketidak normalan pada pendengaran. Berikut merupakan penuturannya.


23



Namaku Shafa Husnul Khatimah, aku lahir di Bandung tanggal 20 Juni 1991. Aku
adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Aku dilahirkan dengan keadaan normal, aku cucu
pertama dari keluarga ibuku, aku sangat disayang dan diperhatikan oleh keluarga besar ibuku.
Ibu dan keluargaku bercerita bahwa aku adalah anak yang sangat lucu dan menggemaskan.
Ketika aku bayi sampai usiaku 20 bulan tidak ada yang dikhawatirkan terhadap diriku sebab
aku tumbuh dengan sangat wajar, namun pamanku sedikit takut dengan pendengaranku,
karena setiap mereka memanggil namaku, tak penah sekalipun aku menoleh, sehingga
pamanku menyarankan kepada ibuku untuk memeriksakan pendengaranku, ketika itu ibuku
marah besar karena menurut beliau tidak ada masalah dengan pendengaranku. Namun
akhirnya ibuku ikut juga saran paman untuk memeriksakan pendengaranku.
Aku diperiksa oleh dokter THT namun dokter tidak yakin apakah aku tuli atau tidak,
untuk meyakinkan apakah aku punya masalah pada pendengaranku akhirnya aku periksa
BERA (test pendengaran dengan peralatan computer). Setelah selesai pemeriksaan dan
mendapatkan hasilnya betapa terkejutnya keluargaku karena dokter menyatakan bahwa aku
termasuk anak tuna rungu berat, ini semua dilihat dari hasil tes BERA yang menunjukkan
bahwa untuk telinga kanan tidak tembus ambang 110 Db (Decibel) - kekerasan suara yang
terdengar diatas 110 Db - , dan telinga kiri mencapai 110 db.


24



Setelah mendapatkan hasil tes BERA tersebut keluarga besarku mencari solusi untuk
pengobatanku baik melalui dokter sampai ke alternatif, karena mereka beranggapan bahwa
kita harus berusaha dan berdoa semaksimal mungkin karena Allah akan memberikan hasil
sesuai dengan usaha dan doa kita.
Saat aku memasuki bangku sekolah, aku masuk TK umum di Cimahi ketika usiaku 4
tahun. Aku belum bisa bicara seperti teman-teman yang lain, namun aku tidak berkecil hati
sebab aku terus belajar dan mengikuti terapi bicara, namun orang tuaku kasihan melihatku
yang sering kali dibicarakan oleh teman-temanku. Akhirnya aku dipindahkan ke sekolah
khusus anak tuna rungu di Jakarta. Padahal ketika itu banyak sekali hal-hal yang dikorbankan
termasuk karir ayahku dimana ayahku harus cari kerja baru di Jakarta, padahal karir ayahku
saat itu cukup bagus, namun demi aku mereka rela memulai dari awal lagi. Di samping itu
juga aku sangat sedih harus berpisah dengan ibu Dewi Tirtatawati, beliau adalah salah satu
orang yang sangat berharga bagiku, karena tanpa beliau aku belum tentu bisa berbicara
seperti sekarang ini. Ibu Dewi adalah guru terapi bicaraku, dia sangat sabar dan sayang
kepadaku, aku terapi setiap hari dari hari Senin sampai Jumat, di rumah sakit Hasan Sadikin
Bandung.
Ketika kami pindah ke Jakarta aku dimasukkan ke sekolah SLB-B Santi Rama,
namun aku hanya bisa sekolah di sana 2 minggu sebab ibuku melihat aku tidak cocok sekolah
di sana. Akhirnya aku dipindahkan lagi ke TK umum Mutiara Indonesia cabang Kayu
Putih,selama 2 tahun.

25


Alhamdulilah ketika aku bersekolah di sana aku punya banyak teman, karena mereka
sangat peduli dan mau berteman denganku, walaupun aku belum lancar bicara tapi mereka
mau mengerti dan memahamiku. Setelah itu aku pindah lagi ke Cimahi untuk masuk SD. Di
Cimahi aku masuk sekolah SD umum yaitu SDN 2 Cimahi. Aku masuk SD berumur 7 tahun.
Alhamdulillah aku bisa mengikuti pelajaran dengan baik dan bicaraku pun semakin baik juga
sebab aku tetap terapi bicara terus sampai usiaku 7 tahun.
Ketika aku baru masuk SD sampai kelas 4 aku sering dihina teman-temanku, mereka
bilang aku si kuping robot sebab di telingaku ada alat bantu dengar, tapi aku tak
menghiraukan mereka yang penting aku tidak merugikan mereka dan tidak membalasnya.
Alhamdulillah setelah kelas 5 teman-temanku tidak lagi menghinaku. Aku di sekolah tidak
minder. Aku berpikir, aku seperti ini adalah kehendak Allah. Aku, orang tuaku dan keluarga
besarku tidak ingin aku dikasihani, sehingga aku diperlakukan sama seperti yang lain. Aku di
sekolah memang tidak dapat ranking 5 besar tapi nilaiku cukup bagus terbukti dengan nilai
UPMPku sehingga aku bisa masuk SMPN 1 Cimahi.yang menurut orang-orang SMPN
favorit yang sangat bagus dan berat untuk bisa masuk ke sana.
Ketika aku duduk di kelas 1 SMP, aku memutuskan untuk menggunakan kerudung.
Alhamdulillah aku punya banyak teman. Teman-temanku tidak menyangka kalau aku adalah
anak tuna rungu, bahkan guru-guru juga. Ibuku selalu bercerita kepada guru-guru BP,
padahal aku tidak ada masalah dengan pelajaran di sekolah, kecuali setiap ada pelajaran
mendengar (listening), aku sangat susah untuk mengikuti. Alhamdulillah pada pelajaran lain
aku dapat menerima dengan cukup baik.

26

Sekarang aku kelas 3 SMP, aku pernah ikut olimpiade matematika se-kota Cimahi
ketika kelas 2 SMP, alhamdulillah aku dapat peringkat 3 ketika tes tertulis. Ketika SD aku
juga sering juara lomba Sempoa Aritmatika dan Mewarnai. Aku juga belajar drum sampai
sekarang sebab setelah aku belajar drum aku bisa belajar alat musik lain seperti gitar,
keyboard, recorder. Sebelum aku belajar drum aku tidak bisa belajar alat musik apapun dan
entah kenapa setelah aku belajar drum aku bisa belajar alat musik yang lain. Mungkin di
drum aku belajar ketukan sehingga aku sedikit tahu tentang alat musik yang ditentukan
dengan tempo (ketukan). Aku juga tidak malu kalau tampil main drum dan aku pernah tampil
ketika kota Cimahi berulang tahun. Orang-orang yang tidak tahu tentang keadaanku mereka
tidak menyangka bahwa aku anak tuna rungu berat sebab aku bisa bicara seperti anak normal.
Namun, memang aku sering tidak bisa mendengar kalau orang bicara pelan walaupun aku
sudah pakai Alat Bantu Dengar.
Aku dan keluargaku ingin sekali berbagi kepada semua orang yang memiliki anak
tuna rungu, sebab orang sering beranggapan kalau anak tuna rungu itu tidak bisa berbicara
dengan lancar. Aku ingin tunjukkan bahwa yang tuna rungu bisa berbicara dengan lancar dan
baik sebagaimana orang normal. Kami ingin menginformasikannya kepada semua orang.


27



Kasus II
Epi merupakan seorang anak yang tinggal di daerah desa Padang Alai, Kecamatan V
Koto Timur, Kabupaten Padang Pariaman. Epi awalnya dibesarkan oleh orang tua
kandungnya sendiri. Orang tua kandungnya merupakan tuna wicara yang berprofesi sebagai
petani. Orang tua Epi membesarkannya dengan penuh kasih sayang, meskipun serba
kekurangan. Namun sayang sekali, dikarenakan orang tuanya tuna wicara, maka Epi pun
berangsur-angsur tidak dapat berbicara. Padahal menurut bidan yang mengurus
persalinannya, pada saat ia dilahirkan hingga umur beberapa bulan, ia masih bisa menangis
seperti anak normal pada umumnya. Epi tinggal di daerah terpencil sehingga sangat jarang
berkomunikasi dengan orang lain. Uniknya, Epi dapat meniru suara gonggongan anjing. Ini
dikarenakan orang tuanya memelihara seekor anjing. Suara anjing tersebut sering didengar
oleh Epi dan ditirunya. Jadi meskipun Epi tidak bisa berbicara, ia masih bisa meniru suara-
suara yang ia dengar disekelilingnya. Saat ini, Epi diasuh oleh saudara ibunya. Meskipun
telah diajarkan mengucapkan kata-kata oleh orang tua angkatnya, ternyata Epi tetap tidak
dapat berbicara. Ia hanya bisa meniru bunyi-bunyian yang pernah didengarnya dahulu
sewaktu masih dibesarkan oleh otang tua kandungnya. Kenyataan inilah yang membuat
penulis tertarik untuk menganalisis pemerolehan bahasa pertamanya selama dibesarkan oleh
orang tua yang tua wicara. Pemerolehan bahasa pertama pada anak tergantung pada bunyi-
bunyian atau kata-kata yang mereka dengar pada masa-masa awal mereka tumbuh. Sejauh
mana mereka bisa meniru, membunyikan, dan mengucapkan suatu kata tergantung dari
bahasa ibu yang mereka dapatkan.

28

Karenanya jika mereka tidak mendapatkan bunyi-bunyian untuk ditiru, maka alat
ucap mereka menjadi tidak berfungsi. Ini disebabkan karena mereka tidak mengoptimalkan
penggunaan alat ucap mereka.
Hal ini yang terjadi pada Epi. Selama dibesarkan oleh orang tuanya yang tuna wicara,
Epi tidak pernah mendengar bunyi-bunyian atau kata-kata yang dapat ia tiru untuk kemudian
diucapkan. Padahal, pada awalnya Epi mamapu bersuara seperti anak-anak pada umumnya.
Ia mampu menangis seperti pada umumnya. Namun, setelah berumur beberapa bulan hingga
umur 4 tahun, ia tidak pernah mendengar kata-kata dari orang tuanya. Sehingga ia pun tidak
bisa berbicara. Epi hanya bisa membunyikan bunyi-bunyian tertentu, dimana bunyi-bunyi
tidak pernah ia dapatkan dari kedua orang tuanya. Bunyi-bunyian yang ia dengungkan pun
tidak jelas maknanya dan tidak berupa kata-kata, hanya berupa lenguhan-lenguhan singkat.
Epi mengalami masa-masa pertumbuhan yang tidak seperti biasa dialami oleh anak-
anak pada umumnya. Ia tidak pernah mengalami masa-masa membabel, holofrasa, dan dua
kata seperti yang biasa dialami anak-anak pada umumnya. Ia tidak pernah berusaha
menggunakan alat ucapnya untuk mengucapkan suatu kata, ini dikarenakan tak ada kata-kata
yang bisa ia tiru.
Dengan demikian jelas sudah. Terdapat hubungan antara cara mendidik orang tua
dengan pemerolehan bahasa pertama anak. Seorang anak apabila tidak mendapatkan kata-
kata untuk ia tiru pada masa-masa ia seharusnya meniru sebuah kata, maka alat ucapnya tidak
akan berfungsi lagi.

29

J. Layanan Yang Diperlukan
a. Sistem Layanan Pendidikan Tunarungu
b. Anak yang mendengar, semasa usia balita, akan secara spontan menemukan bermacam-
macam lambang; baik lambang untuk benda, berbagai kegiatan, maupun segala perasaan
orang, serta menemukan aturan tata bahasa yang dipakai oleh ibunya. Lambang bahasa serta
aturan tata bahasa yang telah ditemukan tersebut kemudian diterapkan secara tepat dalam
percakapan sehari-hari tanpa mengetahui istilah tata bahasa bakunya. A.van Uden; seorang
tokoh pendidikan anak tunarungu dari Belanda; mengatakan bahwa anak tunarungu yang
ditangani secara dini, dalam arti sejak bayi diajak dan dilatih untuk berkomunikasi seperti
bayi yang mendengar, akan terhindar dari ketertinggalan perkembangan bahasa-nya yang
amat jauh dari anak dengar seusianya. Maka A. van Uden kemudian mengembangkan suatu
metode atau model pengajaran bahasa untuk anak tunarungu yang menggunakan dasar
tahapan perkembangan bahasa pada anak dengar.




30




c. Permasalannya adalah bahwa akibat ketunarunguan anak tidak hanya tidak dapat mendengar/
terganggu pendengarannya, tetapi juga tidak berbahasa, artinya tidak dapat berkomunikasi
secara wajar (secara oral/lisan). Menurut kenyataan, tidak semua anak tunarungu berhasil
dididik untuk menungkapkan bahasanya dengan cara yang lazim dipakai orang dengar, yaitu
secara oral. Dari sinilah muncul pemikiran untuk mencarikan berbagai cara berkomunikasi, di
samping mencarikan metode untuk pengajaran bahasanya. Kebanyakan guru SLB-B tidak
menyadari perbedaan antara kedua hal tersebut. Ada empat Aliran dalam Media Komunikasi
dalam pembelajaran yakni (1) Aliran Oral : ada yang secara murni + membaca ujaran, ada
juga secara oral + aural (memanfaatkan sisa pendengarannya). (2) Aliran Manual : Ada juga
dengan isyarat/gesti saja. Ada pula yang dengan isyarat baku + abjad jari/SIBI (3) Aliran
Campuran : secara oral + salah satu media lain atau semua media lain dalam Komunikasi
Total, (4) Aliran Auditory Verbal/AVT : mengandalkan kemampuan dengar saja tanpa
membaca ujaran. Sedangkan pendekatan pemerolehan / pengajaran bahasa bagi siswa
tunarungu meliputi , pertama aliran Konstruktif/Struktural/gramatikal : yaitu pengajaran
bahasa secara Formal, kedua aliran Natural yaitu pengajaran bahasa secara informal dengan
pendekatan percakapan atau menggunakan bahasa ibu. Pada pertengahan abad 20 ini muncul
sebuah metode pengajaran bahasa yang menggabungkan antara pendekatan Informal dengan
Formal menjadi Semi Formal, yang terkenal dengan Metode Maternal Reflektif atau Metode
Pengajaran Bahasa Ibu yang Reflektif. Dengan Metode Maternal Reflektif kita akan
membawa anak tunarungu dari keadaan tak berbahasa hingga menguasai bahasa seperti yang
dipakai oleh lingkungannya.
30

d. Metode Maternal Reflektif tersebut dalam pelaksanaannya ditunjang dengan pelaksanaan
Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama, yang terdiri dari : Bina Wicara, Bina Persepsi
Bunyi dan Irama Musik maupun Bahasa serta Bina Isyarat, secara terprogram , kontinyu dan
berkesinambungan. Bagaimana Bina Wicara, BPBI, Bina Isayarat tersebut dilaksanakan di
SLB B ?
e. Penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa Tunarungu yang Ideal
f. Mengubah peran guru dari pendidik yang spesialis ke generalis, pendekatan interdisipliner
dengan meningkatkan kelenturan dalam menggunakan pendekatan/metode pembelajaran bagi
tunarungu.
g. Perlunya pengkaderan pengurus yayasan, kepala sekolah, baik sebagai manager maupun
leader yang memahami atau menguasai bidang keahliannya dalam pendidikan tunarungu,
sehingga terampil mengelola sistem pendidikan tunarungu.
h. Dalam kegiatan belajar mengajar, menggunakan Kurikulum Lintas Bahasa, dengan
pendekatan metode pemerolehan bahasa dan sistem komunikasi tunarungu yang tepat
(metode pemerolehan bahasa yang ditawarkan Metode Maternal Reflektif).
i. Terlaksananya layanan deteksi dan intervensi dini, dengan memberikan layanan Bina
Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama secara terprogram, terarah, kontinyu dan
berkesinambungan.
j. Pemanfaatan sisa pendengaran dengan mengoptimalkan alat bantu dengar secara benar,
meliputi : pemilihan, pemanfaatan dalam rehabilitasi dan habilitasinya, serta sistem
perawatanya.

31

k. Strategi optimalisasi semua komponen sekolah ; guru, orangtua/masyarakat, lingkungan dan
sarana prasarana dalam pelayanan pendidikan siswa tunarungu secara berkualitas.

K. Implementasi Model Pembelajaran Anak Tunarungu di Kelas Inklusi
Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi tidaklah mudah. Sebelum menempatkan
anak tunarungu di kelas inklusi, sebaiknya persyaratan dibawah ini dapat dipenuhi, yaitu:
1. Anak tunarungu harus memiliki bahasa yang cukup. Artinya sebelum anak tunarungu
dimasukan dalam kelas inklusi terlebih dahulu harus memiliki bahasa yang dapat
menjembatani pembelajaran yang dilakukan dikelas inklusi dan mampu
berkomunikasi dengan baik. Hal ini sangat diperlukan agar anak tunarungu mampu
mengikuti pembelajaran dengan anak regular lainnya tanpa harus menjadi penonton di
dalam kelas. Tanpa bahasa yang cukup anak tunarungu hanya sebagai hiasan di kelas
inklusi tanpa bisa mencerna dan memahami pembelajaran yang diberikan oleh guru.
2. Sekolah yang di dalamnya menyertakan anak berkebutuhan khusus harus memiliki
guru pendamping yang berlatarbelakang PLB, lebih baik lagi jika guru pendamping
tersebut berlatarbelakang dari sekolah luar biasa dengan bidang kajian yang sama
dengan anak berkebutuhan khusus yang ada di kelas inklusi.
3. Guru regular hendaknya memahami karakteristik anak tunarungu serta sedapat
mungkin mampu berempati terhadap anak tunarungu agar pembelajaran yang
diberikan dapat dipahami dengan mudah.

32

4. Guru regular mampu menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran bagi anak tunarungu
seperti prinsip keterarah wajahan, keterarah suaraan, prinsip intersubyektivitas dan
prinsip kekonkritan.
5. Lingkungan di sekolah inklusi harus kondusif dan dapat menerima keberadaan anak
berkebutuhan khusus.
6. Sarana dan prasarana yang mendukung bagi anak berkebutuhan khusus.
Jika persyaratan diatas telah dipenuhi, maka selanjutnya pembelajaran di kelas inklusi
bagi anak tunarungu dapat dilakukan. Pembelajaran tunarungu yang paling utama dan
terutama adalah pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa ini diperoleh melalui percakapan.
Untuk mencapai kepada pembelajaran yang bermakna bagi tunarungu dibutuhkan pendekatan
khusus yaitu metode maternal reflektif (MMR).
Pembelajaran bagi tunarungu berbeda dari pembelajaran yang ada pada umumnya.
Hal ini dikarenakan tunarungu tidak dapat menerima informasi melalui pendengarannya dan
untuk itu maka diperlukan adanya visualisasi untuk lebih memudahkan tunarungu menyerap
informasi.
Melalui metode maternal reflektif ini tunarungu diolah bahasanya. Mulai dari
mengeluarkan suara, mengucapkan kata dengan benar sesuai dengan artikulasinya, hingga
tunarungu mampu berkomunikasi dengan menggunakan beberapa kalimat yang baik dan
benar.Secara garis besar, kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ini terdiri atas
kegiatan percakapan, termasuk di dalamnya menyimak, membaca dan menulis yang dikemas
secara terpadu dan utuh. Dengan ini anak memahami dan dapat menemukan sendiri kaidah-
kaidah percakapan.

33
1. Kegiatan Percakapan
Kegiatan percakapan menjadi ciri utama dalam menggunakan metode maternal reflektif,
karena penyampaian materi ajar semua bidang studi dilakukan melalui percakapan. Dalam
metode ini dikenal dua jenis percakapan, yaitu percakapan dari hati ke hati atau conversation
form heart to heart dan percakapan linguistik atau linguistic conversation (Uden, 1977).
Percakapan dari hati ke hati merupakan percakapan yang spontan, fleksibel untuk
mengembangkan empati anak. Ungkapan yang dimaksud anak melalui kata-kata atau suara
yang kurang jelas, gesti atau gerakan-gerakan lainnya dan isyarat ditangkap oleh guru
(seizing method) dan dibahasakan sesuai dengan maksudnya kemudian meminta anak untuk
mengucapkannya kembali (play a double part). Namun dalam kegiatan ini guru tetap
menjaga lajunya percakapan dan pertukaran yang terjadi di antara anggota yang bercakap
(anak dengan anak atau anak dengan guru) misalnya berupa persetujuan, penyangkalan,
imbauan, atau komentar atau pertanyaan untuk memperjelas pesan komunikasi.



34



Membaca dan menulis penyandang tunarungu dikembangkan melalui percakapan. Pada
awalnya perilaku berbahasa mereka berada pada taraf pengungkapan diri melalui gesti atau
gerakan-gerakan lainnya, isyarat, dan suara-suara yang kurang jelas maknanya yang
kemudian dibahasakan oleh guru melalui seizing method dan play a double part. Anak
menerima masukan bahasa tersebut melalui membaca ujaran dan atau melalui pemanfaatan
sisa pendengarannya. Ungkapan-ungkapan bahasa yang belum ditangkap secara sempurna
dari diucapkannya dalam kegiatan percakapan itu dituliskan atau divisualkan dalan bentuk
tulisan yang kemudian dibacanya.
Bacaan visualisasi hasil percakapan dipahami anak secara global intutif karena apa yang
ditulisi dan dibacanya merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca
merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca permulaan pada anak tunarungu
menurut MMR merupakan membaca ideo visual. Pengenalan bunyi fonem (vokalisasi dan
konsonan) diberikan menyatu dalam kata dan pengucapannya sehingga lebih bermakna yang
pada akhirnya anak mengenal huruf, kata, cara pengucapan, dan cara penulisannya. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa perkembangan kemampuan berbahasa anak berlangsung
secara serempak.


35



Pelaksanaan pembelajaran di kelas inklusi bagi guru reguler hendaknya mengikuti teknik
atau kaidah-kaidah guru sekolah luar biasa dalam membelajarkan anak tunarungu, prinsip-
prinsip MMR harus dipahami oleh guru reguler, sehingga sekalipun di dalam kelas regular
anak tunarungu tetap dilibatkan dalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung.
Kemampuan guru dalam melibatkan anak tunarungu dalam proses pembelajaran memang
tidak semudah membelajarkan anak-anak yang mendengar, dikarenakan setiap kata yang
diucapkan oleh guru harus dimengerti dan dipahami anak terlebih dahulu sebelum masuk ke
dalam substansi materi yang akan diberikan.
Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi haruslah benar-benar terprogram dan selalu
berbasis pada pengembangan bahasa anak yang dilakukan secara berkesinambungan, karena
tanpa bahasa yang dikuasai anak tunarungu, maka pembelajaran di kelas inklusi tidak akan
bermanfaat.
L. Kurikulum Pendidikan Khusus Anak Tunarungu
Ketunarunguan yang berdampak kepada kemiskinan bahasa dan hambatan dalam
berkomunikasi, dianggap menyulitkan orang lain termasuk dalam layanan pendidikannya.
Hal ini dapat dibuktikan terutama di Indonesia, hingga kini layanan pendidikan bagi anak
tunarungu sebagian besar bersifat segregatif, yaitu pelayanan pendidikan bagi anak-anak
dengan kebutuhan khusus yang terpisah dari satuan pendidikan pada umumnya. Wujud dari
pendidikan segregatif ini adalah yang lazim dikenal Sekolah Khusus (SKh).

36
Sistem segregatif ini baik, jika hanya untuk kepentingan pembelajaran, namun jika
sampai kepada layanan pendidikan, segregatif tentu saja akan merugikan anak. Mereka akan
kehilangan haknya untuk belajar, bersosialisasi dan berkomunikasi dengan teman sebayanya
yang mendengar. Sistem pendidikan segregatif (SKh) sangat tidak membantu perkembangan
sosialitas peserta didik. Sehingga tetap sulit bagi anak khusus, khususnya anak tunarungu
yang sudah tamat dari SKh untuk dapat diterima sebagai anggota masyarakat. Hal ini
merupakan akibat dari adanya penyederhanaan strategi pembelajaran yang tidak
memperhitungkan bahwa pergaulan antar peserta didik dalam komunitasnya merupakan
bentuk proses pembelajaran natural yang seharusnya tidak boleh diabaikan.
Berdasarkan karakteristik anak tunarungu, khususnya miskinnya bahasa yang
disebabkan karena ketunarunguannya yang berakibat ia tidak mengalami masa pemerolehan
bahasa seperti halnya anak dengar lainnya, maka dalam pengembangan kurikulum untuk anak
tunarungu harus dilandasi pada kompetensi berbahasa dan komunikasi yang selanjutnya dapat
diimplementasikan dalam pengajaran bahasa yang menggunakan pendekatan percakapan.
Disinilah nampak metode ini sejalan dengan konsep Language Across the Curricullum atau
kurikulum lintas bahasa, yang memiliki filosofi bahwa tujuan kurikulum akan dapat dicapai
dahulu jika didahului dengan keterampilan dan penguasaan bahasa yang tinggi.


37


Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari Language Across the Curricullum itu
adalah sebuah metode pembelajaran yang senantiasa disajikan melalui konteks kebahasaan
melalui percakapan, yang tahapannya dari mulai penguasaan bahasa, aturan bahasa, hingga
ke pengetahuan umum.Untuk itu perlu dikembangkan satu model kurikulum bagi anak
dengan gangguan pendengaran yang berbasiskan Kompetensi Berbahasa dan Komunikasi
untuk menuju kecakapan hidup.
Kurikulum yang berlaku di pendidikan khusus untuk anak tunarungu masih
menggunakan Kurikulum 1994, sedangkan wacana yang berkembang sekarang ini kurikulum
yang berbasis kompetensi sehingga mengarah pada skill dan keterampilan masing-masing
peserta didik sesuai dengan kekhususannya. Secara proporsional kurikulum pada SMPKh
menitikberatkan pada program keterampilan 42% dan SMAKh menitikberatkan pada
program keterampilan 62%. Pelaksanaannya di lapangan sangat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan di mana sekolah tersebut berada dan hal ini pun masih harus disesuaikan dengan
keberadaan situasi dan kondisi lingkungan daerah masing-masing. Sebagai contoh:
1. Sekolah yang berada di lingkungan pantai, maka kurikulum muatan lokalnya antara lain
pengolahan hasil laut, atau keterampilan yang menunjang perangkat nelayan, misalnya
merajut jaring, jala dan sebagainya;
2. Sedangkan untuk sekolah yang berada pada daerah pegunungan atau dataran rendah dapat
menerapkan keterampilan pertanian, perikanan darat, keterampilan menganyam dan
sebagainya.

38
3. Sekolah yang berada di perkotaan dapat menerapkan keterampilan otomotif, percetakan,
sablon, mengukir atau membatik.



M. Alat Pendidikan Khusus
Berhubung dengan ketulian yang dideritanya, maka sangat diperlukan alat-alat
bantu khusus meningkatkan potensinya, yang masih dapat diperbaiki dan
dikembangkan terutama masalah komunikasi baik dengan menggunakan bahasa lisan
maupun tulisan.
Kebutuhan minimal alat kebutuhan khusus di Sekolah Luar Biasa untuk anak-
anak tunarungu antara lain:
1) Audiometer
Yaitu alat penelitian yang dapat mengukur segala aspek dari pendengaran seseorang.
Dengan audiometer dapat dibuat sebuah audigram yang dapat memberitahukan angka dari
sisa pendengaran anak.
2) Alat bantu mendengar (hearing aid)
Dengan mempergunakan alat bantu dengar (hearing aid) perorangan dan alat bantu
dengan (group hearing aid) kelompok, anak-anak tunarungu diberikan latihan mendengar.
Latihan-latihan tersebut dapat diberikan secara individual atau secara kelompok.


39


3) Cermin
Untuk memberikan cantoh-contoh ucapan dengan artikulasi yang baik diperlukan
sebuah cermin. Dengan bantuan cermin kita dapat menyadarkan anak terhadap posisi bicara
yang kurang tepat. Dengan bantuan cermin kita dapat mengucapkan beberapa contoh
konsonan, vokal dan kata-kata atau kalimat dengan baik.
4) Alat bantu wicara (speech trainer)
Speech trainer ialah sebuah alat elektronik terdiri dari amplifaer, head phone dan
mickrophone. Gunanya untuk memberikan latihan bicara individual. Bagi yang masih
mempunyai sisa pendengaran cukup banyak akan sangat membantu pembentukan ucapannya.
Bagi yang sisa pendengarannya sedikit akan membantu dalam pembentukan suara dan irama.
Alat Peraga
Untuk memperkaya perbendaharaan bahasa anak hendaknya jangan dilupakan alat-
alat peraga tradisional seperti:
1) Miniatur binatang-binatang
2) Miniatur manusia
3) Gambar-gambar yang relevan
4) Buku perpustakaan yang bergambar
5) Alat-alat permainan anak.

40

Sesuai dengan kemampuan anak tunarungu dalam kurikulum lebih diutamakan mata
pelajaran keterampilan yang menuju kearah irama. Untuk itu diperlukan alat-alat
keterampilan untuk pria dan atau wanita antara lain sebagai berikut :
1) Alat pertukangan
2) Alat pertanian
3) Alat perbengkelan
4) Alat tenun
5) Alat masak memasak
6) Alat jahit menjahit
7) Alat salon kecantikan
8) Alat potong rambut (barber shop)
9) Komputer
N. Bimbingan dan Konseling bagi Anak Tunarungu
Masalah-masalah bimbingan anak tunarungu bukan karena anak memiliki kelainan (
tunarungu ) tetapi karena ia seorang anak yang sedang berkembang. Agar dapat memberikan
layanan kepada anak tunarungu secara tepat dalam merencanakan dan menentukan masa
depannya, dan agar mereka dapat memiliki kehidupan yang layak sehingga dapat mensupport
diri sendiri maupun keluarganya, maka pendidikan bagi anak tunarungu perlu dilengkapi
dengan program bimbingan yang jelas dan terarah sesuai dengan kebutuhan anak.

41
Untuk lebih jelasnya apa yang dimaksud dengan bimbingan anak tunarungu dan jenis
bimbingan apa yang diperlukannya, perhatikan baik-baik uraian berikut ini :
1. Pengertian Bimbingan Anak Tunarungu
Bimbingan terhadap anak tunarungu merupakan suatu usaha mempersiapkan anak
tunarungu agar dapat mencapai kondisi yang optimal dalam proses pendidikan serta mampu
menghadapi tuntutan yang datang dari masyarakat. Tujuan utam bimbingan adalah untuk
mengembangkan potensi setiap anak tunarungu sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Usaha ini berkaitan erat dengan pengembangan kemampuan fisik, psikologis, kestabilan
emosi serta kemampuan pribadi.
2. Bimbingan Komunikasi kepada Anak Tunarungu
Bimbingan komunikasi kepada anak tunarungu bertujuan membuka dan memperlancar
komunikasi mereka, hal ini merupakan langkah utama dalam melaksanakan pendidikan
mereka, sehingga akan memperlancar pencapaian tujuan bimbingan yang akan dilakukan
secara serempak dilingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Bimbingan yang perlu
diberikan ialah :
- Bimbingan dilingkungan keluarga
- Bimbingan dilingkungan sekolah
- Bimbingan dilingkungan masyarakat.

42


3. Bimbingan Pribadi kepada Anak Tunarungu
Bimbingan pribadi kepada anak tunarungu bertujuan agar mereka dapat mengenal
dirinya, menyadari kemampuan serta kekurangannya, dan akhirnya mereka diharapkan
mempunyai sikap positif terhadap keadaan dirinya, mempunyai kemauan untuk belajar dan
bekerja, tidak merasa rendah diri, serta memiliki kestabilan emosi.
Bimbingan pribadi diberikan kepada seseorang yang mempunyai masalah pribadi dengan
harapan agar ia mampu mengatasi masalahnya. Masalah pribadi dapat bersumber dari dirinya
sendiri, lingkungan, keluarganya, dan juga dapat bersumber dari masyarakat sekitarnya.
4. Bimbingan Pekerjaan kepada Anak Tunarungu
Bimbingan pekerjaan kepada anak tunarungu bertujuan agar anak tunarungu pada
akhirnya mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya dan yang cocok dengan
kepribadiannya, agar mereka merasa mantap dalam pekerjaan dan menikmati kebahagiaan
dalam hidupnya.
Langkah pertama dalam bimbingan pekerjaan kepada anak tunarungu adalah
menganalisis kepribadian, bakat dan minat mereka. Kegiatan itu perlu untuk mengarahkan
dan menentukan langkah selanjutnya, sehingga dapat memberikan masukan berharga kepada
pembimbing dalam memilih dan melatih pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan anak.
Pemilihan pekerjaan bagi anak yang tidak sesuai akan merusak perkembangan jiwa anak.

43


BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
1. anak penyandang tunarungu dan tunawicara adalah anak yang kehilangan kemampuan
untuk mendengar baik sebagaian maupun seluruhnya yang mengakibatkan tidak
mampu untuk menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupannya sehari-hari
dan juga tidak mampu mengembangkan kemampuan bicaranya.
2. Masalah yang utama pada diri seorang tunawicara adalah mengalami
kehilangan/terganggunya fungsi pendengaran (tunarungu) dan atau fungsi bicara
(tunawicara), yang disebabkan karena bawaan lahir, kecelakaan maupun penyakit.
3. Masa-masa yang paling kritis dalam kehidupan orang tua adalah ketika mereka harus
mengakui bahwa anaknya berkelainan.
4. Ketunarunguan yang berdampak kepada kemiskinan bahasa dan hambatan dalam
berkomunikasi, dianggap menyulitkan orang lain termasuk dalam layanan
pendidikannya.
5. Masalah-masalah bimbingan anak tunarungu bukan karena anak memiliki kelainan (
tunarungu ) tetapi karena ia seorang anak yang sedang berkembang.


44


DAFTAR PUSTAKA

http : www. //Terapi Terpadu untuk Anak Tuna Rungu. Com
http: www.// Ortopedagogik anak tuna rungu. com
http://www. sejarah-berkembangnya-kependidikan.html
http: //www. Pendidikan anak tuna rungu.com
www.google.com
Bunawan, Lani dan C. Susila Yuwati (2000), Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu, Yayasan
Santi Rama, Jakarta
Departemen Pendidikan Nasional (2000), Pengajaran Bina Persepsi Bunyi dan Irama untuk
Anak Tunarungu, Jakarta
Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004), Pedoman Pendidikan Terpadu/Inklusi Alat
Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus, Dirjen Dikdasmen, Depdiknas, Jakarta
Gatty (1994), Mengajarkan Wicara kepad anak-anak Tunarungu, Alih bahasa Hartotanojo,
Yayasan Karya Bakti, Wonosobo
Nugroho Bambang (2004), Pentingnya Intervensi Dini Secara Edukatif Bagi Anak
Tunarungu, Makalah Pelatihan Teknis Tunarungu, Jakarta
Satmoko Budi Santoso (2010), Sekolah Alternatif, Diva press, Jogjakarta
Observasi pada Anak Tuna Rungu dan Tuna Wicara
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Orthopedagogik
Dosen Pengampu oleh Ninik Nurhidayah, A.md,OT.,S.pd



Disusun Oleh :


Ridwan Sanjaya P 27229011074
Magdalena Yuniati P 27229011051







POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA
JURUSAN TERAPI WICARA
TA 2011/2012



Kata Pengantar


Puji syukur atas segala berkat serta karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dilimpahkan kepada
kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini. Tugas ini mengulas tentang mata kuliah
Orthopedagogik yang di dalamnya terdapat hasil observasi dan pembahasan.

Tugas ini disusun untuk tugas dari mata kuliah Orthopedagogik. Kami menyadari tanpa
adanya bantuan dari berbagai pihak, tugas ini tidak dapat terselesaikan dengan baik. Untuk itu kami
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Ibu Ninik Nurhidayah, A.Md, OT.,S.pd selaku dosen mata kuliah Orthopedagogik.
2. Teman-teman satu jurusan khususnya tingkat satu dalam membantu pengumpulan bahan
tugas.
3. Kedua orangtua kami atas dukungan yang telah diberikan dan semangat dan motivasi dari
mereka sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
4. Kepada semua pihak yang telah membantu kami yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.

Dalam penyusunan tugas ini terdapat banyak kekurangan. Untuk itu kami mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak yang berhubungan dengan penulisan tugas ini.
Sehingga dengan adanya saran dan kritik tersebut dapat dijadikan bahan perbaikan lebih lanjut.



Akhir kata, kami berharap semoga tugas ini dapat berguna bagi para pembaca, khususnya
kami dan Politeknik Kesehatan Surakarta.



Surakarta, 02 November 2010





Penulis





























Daftar Isi


Kata Pengantar... ii
Daftar Isi........ iv
Bab I Pendahuluan 1
Latar Belakang .............................................................................................. 1
Pembatasan Masalah . 2
Bab II Laporan Klien. 5
Identitas Umum Klien ... 5
Riwayat Sebelum Kelahiran.. 6
Riwayat Kelahiran 6
Riwayat Setelah Kelahiran 7
Tanda-tanda dan Gejala. 7
Riwayat Terapi atau Pendidikan ... 8
Bab III Kajian Teori . 9
Faktor-faktor Penyebab Tuna Rungu 9
Klasifikasi Penyandang Tuna Rungu 10
Mendeteksi Ketunarunguan .. 12
Faktor-faktor Penyebab Tuna Wicara ... 13
Pengaruh Kemampuan Berkomunikasi Pada Penyandang Tuna Wicara Dan Tuna Rungu
... 13
Pendekatan Pengajaran Alternatif Bagi Penyandang Tuna Rungu Dan Tuna Wicara
... 15

Bab III Penutup . 20
Kesimpulan ... 20
Daftar Pustaka ... 22








Bab I Pendahuluan

Latar Belakang
Masyarakat seakan acuh pada keadaan orang yang memiliki kekurangan didalam dirinya.
Banyak orang yang merasa dikucilkan dan merasa dirinya tidak di anggap di dalam masyarakat.
Masyarakat yang cenderung individualistis dan selalu mementingkan diri sendiri mengakibatkan
terjadinya para penyandang catat mengalami perasaan yang di kucilkan.
Menurut Departemen Sosial (Depsos) pada tahun 2002 . Anak yang mengalami cacat di
Indonesia berjumlah 358.738 jiwa . yang didalamnya terdiri dari tuna daksa (35.8 %), tuna netra
(17%), tuna rungu wicara (14.27%), tuna grahita (12.15%), dan sisanya kurang dari 7% adalah
penyandang cacat lain.
Sedangkan, Menurut data WHO , anak yang memiliki cacat atau kekurangan pada setiap
Negara adalah sejumlah 10% dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penyandang cacat sesuai
sensus tahun 1978 di Indonesia berjumlah 1.793.118 jiwa, atau mencapai (3.1%) dari jumlah
penduduk. Lalu pada tahun 2004 dapat diketahui jumlah penyandang cacat sesuai hasil Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Sosenas) di Indonesia adalah 6.047.008 jiwa, yang terdiri dari tuna netra
1.749.981 jiwa (29%), tuna daksa 1.652.741 jiwa (27%), eks penderita penyakit kronis 1.282.881 jiwa
(21%), tuna grahita 777.761 jiwa (12.8%), dan tuna rungu wicara mencapai angka 602.784 (9.9%).
Angka 602.784 jiwa tuna rungu wicara cukup mencengangkan bagi masyarakat awam
apalagi kita yang berperan sebagai terapis wicara kelak. Perbandingan antara terapis wicara di
Indonesia yang berjumlah kurang dari 600 orang pada tahun 2011 ini dan penyandang tuna rungu
wicara yang mencapai 602.784 jiwa dan mungkin lebih. Kasus tuna rungu wicara merupakan
masalah yang sering di jumpai di masyarakat. Mungkin warga yang mengalami tuna rungu dan tuna
wicara ada di sekitar kita. Namun, kita sering tidak tanggap akan masyarakat yang mengalami
kekurangan dalam segi pendengaran dan bicaranya sehingga kita tidak tahu akan keberadaan orang
yang mengalami gangguan tersebut. Pengetahuan tentang gangguan pendengaran dan gangguan
wicara perlu diperhatikan pada anak, karena itu semua saling berkaitan dalam proses
berkomunikasi. Keadaan pada anak yang mengalami gangguan pada pendengarannya akan
mempengaruhi pada proses bicara dimasa dewasa anak.

Pembatasan Masalah

Proses mendengar merupakan proses penerimaan impuls makna dari setiap kata-kata yang
terdengar. Apabila anak mengalami gangguan pendengaran, maka kosa kata yang dimiliki sedikit dan
anak tidak bisa berkomunikasi seperti anak-anak biasa seusianya. Karena sangat minim sekali impuls
suara masuk. Sehingga dapat disimpulkan bahwa proses mendengar mempengaruhi proses bahasa
dan sangat berpengaruh pada komunikasi. Proses mendengar sangat mempengaruhi pembentukan
bunyi bahasa, karena proses berbicara dimulai dari mendengarkan lalu dilanjutkan ke sistem pada
otak sehingga kita dapat mengerti dan dapat menyampaikan makna yang diungkapkan. Proses
berbicara melalui proses fonasi, respirasi, artikulasi, resonansi (Point Of Articulation, Manner Of
Artikulation), dan pada keharmonisan motorik yaitu pada setiap kesiapan penggunaan bagian
organis, motoris, fisiologis dalam persiapan produksi bunyi.
Menurut Pernamari Somad dan Tati Herawati (1996, hal. 27) menyatakan bahwa Tuna
rungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik
sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagaian atau seluruh alat
pendengaran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendegarannya dalam kehidupan sehari-
hari yang membawa dampak terhadap kehidupan secara kompleks.
Sedangkan menurut Sardjono (1997, hal. 7) mengatakan bahwa: Anak tuna rungu adalah
anak yang kehilangan pendengaran sebelum belajar bicara atau kehilangan pendengaran demikian
anak sudah mulai belajar bicara karena suatu gangguan pendengaran, suara dan bahasa seolah-olah
hilang.
Lebih lanjut, Moories (1991) menjabarkan bahwa, A deaf person is ones hearing disabled
to an extend usually 70 dB ISO or greater that precludes the understanding of speech through the
ear alone, with or without the use of hearing disabled to an extend (usually 35-69 dB ISO) that make
difficult but he does the understanding a speech through the ear alone, without or with a hearing
aid.
Sedangkan sebagian tuna wicara adalah mereka yang menderita tuna rungu sejak bayi/lahir,
yang karenanya tidak dapat menangkap pembicaraan orang lain, sehingga tak mampu
mengembangkan kemampuan bicaranya meskipun tak mengalami ganguan pada alat suaranya.
Begitu juga seperti observasi yang telah kami lakukan pada klien kami yang mengalami gangguan
pendengaran dan otomatis ia juga mengalami mengalami gangguan pada bicaranya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa anak penyandang tuna rungu dan tuna wicara adalah anak
yang kehilangan kemampuan untuk mendengar baik sebagaian maupun seluruhnya yang
mengakibatkan tidak mampu untuk menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-
hari dan juga tidak mampu mengembangkan kemampuan bicaranya.












Bab II
Laporan Klien

Identitas Umum Klien
Nama klien yang kami Erfan Apritriyanto, ia merupakan anak yang aktif dan bersemangat
layaknya anak-anak lainnya. Ia sering di panggil dengan Erfan. Ia lahir tigabelas tahun lalu di kota
Surakarta, tepatnya pada 28 April 1998 . Ia merupakan buah hati dari pasangan Hasto Mulyadi dan
Sartini. Mereka memlikiki empat orang anak, yang pertama telah lulus sekolah dan sekarang telah
bekerja namanya adalah Bayu, yang kedua sedang meneruskan sekolahnya di SMK seni di Kota
Surakarta namanya adalah Asep Dwiyanto, yang ke tiga merupakan klien kami ini yang bernama
Erfan Apritryanto dan yang terakhir adalah Syifa yang berusia masih balita dan sekarang mengenyam
pendidikan di Taman Kanak-Kanak di sekitar rumahnya.
Klien kami kali merupakan anak yang riang dan mudah berbaur dengan orang lain. Namun,
apabila ia baru saja mengenal orang yang belum di kenalnya, ia cenderung untuk diam dan berkesan
tidak menunjukan bahwa ia memiliki gangguan pada pendengarannya dan dengan pasti juga
gangguan dari cara ia berkomunikasi. Ia sering berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat, bahasa
tulis karena ia di sekolahkan di SLB-B YRT RW dan sekarang ia duduk di kelas 6 SD di institusi
tersebut. Ia kadang berangkat sekolah menggunakan sepedanya walaupun dengan jarak yang cukup
jauh. Namun, kadang-kadang ia di antarkan oleh kedua kakaknya. Klien kami merupakan klien yang
mandiri dan bisa melakukan segala aktifitasnya sendiri. Klien kami merupakan pribadi yang selalu
aktif dan mudah di ajak, mudah pula bersosialisasi dengan orang yang sebaya dengannya atau yang
lebih dewasa dengannya atau yang lebih muda. Tapi tidak semua anak yang memiliki kebutuhan
khusus mudah untuk berbaur dengan lingkungannya. Kadang anak yang memiliki kebutuhan khusus
cenderung malu dan minder pada orang lain yang baru maupun yang telah lama ia kenal , tetapi
sangat berlainan dengan anak ini ketika saya pernah tinggal dirumahnya.
Riwayat Sebelum Kelahiran
Berdasar pada ujaran orangtua klien, anak mereka dalam kondisi yang baik-baik saja ketika
masih di dalam kandungan ibunya. Kondisi ibu dan janin dalam keadaan sehat. Tidak ada gejala-
gejala yang menunjukan secara pasti tentang keadaan anak mereka saat ini sebelum kelahiran.
Riwayat Kelahiran
Pada proses kelahiran, keadaan anak lahir secara normal seperti pada anak-anak normal
lainnya. Tetapi ketika mulai menginjak usia satu tahun, orangtua mulai merasakan akan adanya
keadaan tersebut. Anak mereka tidak merespon bunyi-bunyi suara ketika dilakukan pemanggilan
atau dengan cara lain untuk mengetahui keadaan pendengaran anak. Namun, hasilnya anak mereka
mengalami gangguan pada pendengarannya.


Riwayat Setelah Kelahiran
Ketika orangtua tahu bahwa anak mereka mengalami gangguan pendengaran, maka mereka
segera bertindak cepat untuk melarikan anak mereka ke dokter spesialis THT untuk memeriksaan
keberadaan pendengarannya. Menurut dokter tersebut, anak mereka hanya memiliki daun telinga
saja. Organ-organ pendengaran pendukung pada bagian dalam tidak ada. Tetapi Keadaan anak pada
saat ini tidak ada riwayat penyakit pada klien yang berhubungan dengan keadaanya sekarang. Anak
dalam kondisi yang sehat dan tampak seperti anak normal seusianya, namun ia memiliki gangguan
pada pendengarannya yang mempengaruhi pada proses perolehan bahasa, sehingga menggangu
fungsi bicaranya walaupun semua organ bicaranya dalam keadaan normal.
Tanda-Tanda dan Gejala
Tanda-tanda pada klien antara lain terjadinya pendengaran dan bicara yang terganggu
sehingga susah untuk berkomunikasi, sehingga di dalam berkomunikasi klien bisa menggunakan
tulisan agar bisa dimengerti oleh lawan bicaranya. Namun kondisi fisik dan mental pada klien sama
seperti anak anak seusianya yang tidak ada kelainan pada dirinya, bahkan klien pandai sekali
menggunakan telpon seluler untuk berkomunikasi seperti SMS dan klien pandai menggunakan
jejaring sosial seperti Facebook. Namun apabila ia berusaha untuk mengucapkan sesuatu, ia
cenderung seperti teriakan-teriakan dan sengau.


Riwayat Terapi atau Pendidikan
Klien pernah mengunjungi Dokter-dokter spesialis, Asrama tuna rungu, terapis wicara,
Pengobatan alternatif dan sekarang klien sedang mengenyam pendidikan di SLB B di YRT RW dan
sekarang duduk di kelas 6. Karena orangtua mereka merasakan lebih baik memberikan pendidikan
untuk anak mereka daripada memberikan terapi-terapi khusus bagi anak mereka, karena sudah
bertahun-tahun mereka melakukan terapi pada anak mereka, namun tidak menunjukan perubahan
yang signifikan pada anak mereka setelah sekian lama melakukan terapi.











Bab III Kajian Teori

Faktor-faktor Penyebab Tuna Rungu
Menurut Sardjono (1997, hal. 10-20) menjelaskan faktor-faktor penyebab ketunarunguan
anak, yaitu sebagai berikut:
Faktor-faktor sebelum anak dilahirkan (Pre Natal). Faktor-faktor penyebab ketunarunguan
ketika anak belum dilahirkan diantaranya karena faktor keturunan (Hereditas), cacat air atau yang
biasa disebut campak (Rubella, Geuman measles), terjadinya keracunan darah (Toxaemia),
penggunaan obat-obatan yang melampaui batas seperti penggunaan pilkina dalam jumlah yang
besar, kekurangan oksigen (Hipoxia), dan terjadi karena kelainan pada organ pendengaran sejak
lahir.
Faktor-faktor saat anak dilahirkan (Natal). Faktor-faktor penyebab ketunarunguan pada
saat anak dilahirkan diantaranya karena faktor Rheus (Rh) ibu dan anak yang sejenis, anak yang lahir
sebelum waktunya (pre mature), anak lahir menggunakan alat bantu tang (forcep), dan proses
kelahiran yang terlalu lama dapat mengakibatkan anak menjadi tuna rungu.
Faktor-faktor sesudah anak dilahirkan (Past Natal). Faktor-faktor penyebab ketunarunguan
ketika anak sudah dilahirkan diantaranya karena terjadinya infeksi pada bagian-bagian organ
pendengarannya, peradangan pada selaput otak (Meningitis), tuna rungu perseptif yang bersifat
keturunan, dan Otitis media yang kronis dapat mengakibatkan terjadinya ketunarunguan.


Klasifikasi Penyandang Tuna Rungu
Menurut Sardjono (1997, hal. 21) mengklasifikasikan ketunarunguan sebagai berikut :
Berdasarkan bagian alat pendengaran. Klasifikasi ketunarunguan berdasar pada bagian alat
pendengarannya yang rusak dapat dijelaskan kembali menjadi tiga bagian , yaitu tuna rungu
konduktif, tuna rungu perseptif, dan gejala tuna rungu campuran (kombinasi ketunarunguan
konduktif dan perseptif).
Berdasarkan kelainan pendengaran. Kelainan jenis ini terbagi atas tiga jenis yaitu kelainan
pendengaran conductive lasses, sensory neural or perceptive losses, dan central deafness.
Berdasarkan gradasi atau tingkatan. Kelainan jenis ini di bagi lagi menjadi enam bagian
pada etiologis, anatomi dan fisiologis ukuran nada . Tuna rungu sangat ringan (0-25 dB), tuna rungu
rimgan (30-40dB),tuna rungu sedang (40-60 dB), tuna rungu berat (60-70 dB), tuli berat (70 dB dan
lebih parah ), dan pada tingkatan paling akut atau total deafness (tuli total).
Berdasarkan kemampuan mengerti bahasa. Kelainan ini berdasarkan pada kemampuan
mengerti bahasa dan bicara yaitu 10-20 dB (normal) tidak ada hubungan dengan gangguan bicara
dan bahasa. 20-35 dB (mild hearing impairment) tidak ada hubungan dengan gangguan bahasa. Tapi
mungkin perkembangan bahasa menjadi terlambat. 35-55 dB (mild to moderate hearing
impairment) ada beberapa kesulitan artikulasi, perkembangan kata mungkin tidak sempurna. 55-70
dB (moderate hearing impairment) artikulasi dan suara tidak baik dan perbendaharaan kata mungkin
tidak sempurna. 70-90 dB (severe hearing loss) artikulasi dan kualitas suara tidak baik. Kalimat dan
aspek-aspek bahasa tidak sempurna. 90 dB atau lebih (severe to profound hearing impairment) ritme
bicara, suara dan artikulasi tidak baik, bicara dan bahasa harus dikembangkan secara intensif dan
seksama. 100 dB atau lebih (profound hearing impairment) sangat perlu bantuan tentang
keberadaan pendengarannya, tapi tidak perlu bantuan pengembangan bicara melalui pendengaran.
Menurut Uden (1997) dalam Murni Winarsih (2007, hal. 26) kita dapat membagi klasifikasi
ketunarunguan menjadi tiga bagian yaitu :
Berdasarkan saat terjadinya. Klasifikasi ini berdasarkan saat terjadinya ketunarunguan,
diantaranya terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu ketunarunguan bawaan dan ketunarunguan
setelah lahir.
Yang dimaksud dengan ketunarunguan bawaan adalah keadaan ketunarungguan disandang
ketika anak lahir sudah menyandang tuna rungu dan indera pendengarannya sudah tidak berfungsi
lagi. Sedangkan ketunarunguan setelah lahir artinya terjadi ketunarunguan setelah anak lahir dan
diakibatkan oleh kecelakaan atau oleh suuatu penyakit.
Berdasarkan tempat kerusakan. Klasifikasi ini terbagi kembali menjadi dua , yaitu kerusakan
pada telinga luar dan telinga tengah atau yang sering disebut bagian konduktif yang mengakibatkan
menjadi tuli konduksi, dan yang kedua adalah pada bagian telinga dalam yang menyerang pada
bagian sensori neural yang mengakibatkan kerusakan pendengaran pada bagian persepsinya atau
yang sering disebut tuli sensoris.
Berdasarkan taraf penguasaan bahasa. Kalsifikasi ini membagi ketunarunguan menjadi dua,
yaitu tuna rungu pra bahasa dan purna bahasa. Ketunarunguan pra bahasa adalah ketunarunguan
yang terjadi pada mereka yang mengalami tuna rungu ketika belum terkuasainya bahasa. Sedangkan
tuli purna bahasa adalah ketunarunguan yang terjadi setelah mereka mengenal bahasa dan telah
menguasainya dan telah menerapkannya dalam kehidupannya yang berlaku dilingkungannya.
Mendeteksi Ketunarunguan
Sardjono (2000, hal. 48) juga menjelaskan ada beberapa cara untuk mendeteksi terjadinya
kelainan pendengaran seseorang. Ada pun tes-tes yang diberikan untuk mengetahui kelainan
tersebut antara lain :
Tes bisik (Whisper test). Tes ini dilakukan dengan dilakukan di tempat yang tenag , jarak
anak dan pemeriksa antara 5 atau 6 meter , memeriksa dahulu telinga bagian kanan lalu telinga
dihadapkan ke arah pemeriksa dan pemeriksa membisikan kata-kata yang harus diterima anak.
Tes detik jam. Tes ini dilakukan dengan cara mendengarkan detik jam tangan dan
menghitung jarak dimana anak tersebut tidak bisa mendengar detik jam tersebut, dilakukan secara
bergantian pada kedua telinga secara bergantian lalu membandingkan dengan pemeriksa
(pendengaran pemeriksa harus normal).
Tes suara. Tes ini dilakukan apabila tidak bisa dilakukannya pengetesan pendengaran
dengan melakukan tes pertama dan kedua. Tes ini dilakukan dengan cara memanggil anak itu dari
belakang atau membunyikan sesuatu dari arah belakang anak , seperti suara bel, suara pecahan
piring dan lain lain.
Tes mendengar suara. Tes ini dilakukan dengan cara pemeriksaan bunyi binatang seperti
kambing, ayam, sapi, harimau dan lain lain. Dan kemudian anak diharuskan untuk menyebutkan
nama nama binatang tersebut.

Faktor-faktor Penyebab Tuna Wicara
Faktor yang bisa menyebabkan tuna wicara diantaranya karena tekanan darah yang terlalu
tinggi (Hipertensi), faktor genetik atau keturunan dari orangtua, keracunan makanan, penyakit
Tetanus Neonatorum yang menyerang bayi pada saat bayi baru lahir, biasanya karena pertolongan
persalinan yang tidak memadai, dan penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan bagian atas
(Difteri).
Pengaruh Kemampuan Berkomunikasi Pada Penyandang Tuna Wicara Dan Tuna Rungu
Menurut Edja Sajaah dan Darjo Sukarja (1995, hal. 48), Pada umunya pendengaran anak
tuna rungu berpengaruh terhadap kemapuan berbahasanya, antara lain: Miskin dalam kosakata,
sulit mengartikan ungkapan-ungkapan yang mengandung kiasan, sulit mengartikan kata- kata
abstrak kurang menguasai irama dengan gaya bahasa.
Dari ketunarunguan terjadi hambatan pada anak dalam pendidikannya, yaitu: Pertama,
konsekuensi akibat gangguan pendengaran atau tuna rugu tersebut bahwa penderitaannya akan
mengalami kesulitan dalam menerima segala macam rangsang atau peristiwa bunyi yang ada di
sekitrnya. Kedua, akibat kesulitan menerima rangsang bunyi, konsekuensinya penderita tuna rungu
akan mengalami kesulitan pula dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang terdapat di
sekitarnya. (Mohammad Efendi, 2006, hal. 72).
Dari uraian di atas, maka kehilangan pendengaran bagi seseorang sama halnya mereka telah
kehilangan sesuatu yang berarti, sebab pendengaran merupakan kunci utama pembuka tabir untuk
dapat meniti tugas perkembanganya secara optimal. Atas dasar itulah anak tuna rungu yang belum
terdidik dengan baik, tampak pada dirinya seperti terbelakang, walaupun hal itu sebenarnya masih
semu, serta tampak tidak komunikatif.
Memperhatikan keterbatasan kemampuan anak tuna rungu dari aspek kemampuan bahasa
dan bicaranya, maka sejak awal masuk sekolah pengembangan kemampuan bahasa dan bicara
menjadi skala prioritas program pendidikannya. Pendekatan yang lazim digunakan untuk
mengembangkan kemampuan bahasa dan bicara anak tuna rungu, yaitu oral dan isyarat. Selama ini
pendekatan yang digunakan dalam pendidikan secara kontroversial, sebab masing-masing institusi
punya dasar filosofi yang berbeda.
Menurut Sunaryo Kartadinata (1996, hal. 80), dampak tuna rungu wicara sehubungan
dengan karakteristik anak tuna rungu yaitu: miskin dalam kosakata, sulit memahami kata-kata
abstrak, sulit mengartikan kata-kata yang mengandung kiasan, adanya gangguan bicara maka hal ini
merupakan sumber masalah pokok bagi anak tuna rungu wicara.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kehilangan pendengaran bagi seseorang
sama halnya mereka telah kehilangan sesuatu yang berarti, sebab pendengaran merupakan kunci
utama pembuka tabir untuk dapat meniti tugas perkembangan secara optimal. Usaha yang mungkin
akan mendorong anak tuna rungu dapat bersekolah dengan cepat adalah mengikuti pendidikan
pada sekolah normal dan disediakan program-program khusus bila mereka tidak mampu
mempelajari bahan pelajaran seperti anak normal.
Pendekatan Pengajaran Alternatif Bagi Penyandang Tuna Rungu Dan Tuna Wicara
Menurut Smith (2009, hal. 283), terdapat tiga dasar pendekatan pengajaran alternatif bagi
siswa dengan penyandang tuna rungu dan tuna wicara.
Metode manual. Metode manual terdisir dua komponen dasar, yaitu bahasa isyarat (sign
language) dan finger spelling.
Bahasa isyarat. Sistem Isyarat Bahasa Indonesia yang dibakukan merupakan salah satu
media yang membantu komunikasi sesama tuna rungu dan tuna wicara ataupun komunikasi tuna
rungu dan tuna wicara di dalam masyarakat yang lebih luas. Wujudnya adalah tatanan yang
sistematis bagi seperangkat isyarat jari, tangan, dan berbagai gerak untuk melambangkan kosa kata
bahasa Indonesia.
Isyarat yang dikembangkan di indonesia secara umum mengikuti tata/aturan isyarat
sebagaimana yang telah dikemukakan mengenai aspek linguistik bahasa isyarat. Berikut adalah
contoh bahasa isyarat.





Gambar 1. Bahasa isyarat
Keterangan : Bahasa Isyarat yang bermakna I Love You
http://bahansekolahminggu.files.wordpress.com/2010/07/i-love-you.jpg

Abjad Jari (Finger Spelling/Finger Alphabet). Secara harafiah, abjad jari merupakan usaha
untuk menggambarkan alpabet secara manual dengan menggunakan satu tangan. Berikut adalah
contoh abjad jari:








Gambar 2. Abjad jari
Keterangan: Abjad jari dari A-Z
http://2.bp.blogspot.com/_fAaDsRA3wzg/TCwcw-
t067I/AAAAAAAAAE0/BE4JT6lFbD0/s320/bahasa+isyarat.png

Abjad jari adalah isyarat yang dibentuk dengan jari-jari tangan (tangan kanan atau tangan
kiri) untuk mengeja huruf atau angka. Bentuk isyarat bagi huruf dan angka di dalam SIBI serupa
dengan International Manual Alphabet. Abjad jari digunakan untuk mengisyaratkan nama diri,
mengisyaratkan singkatan atau akromin , dan mengisyaratkan kata yang belum ada isyaratnya.
Metode oral. Pendekatan oral menekankan pada pembimbingan ucapan dan pembacaan
ucapan. Para pendidik kebutuhan khusus yang setuju dengan metode ini memandang bahwa
ketergantungan pada bahasa isyarat dan abjad jari membuat eksklusi penyandang tuna rungu dan
tuna wicara. Kurangnya orang yang tertarik untuk menggunakan dan memahami komunikasi
manusia juga seakan-akan mebatasi mereka yang menggunakan metode ini sebagai alat utama
komunikasinya.
Metode oral membantu siswa untuk lebih memahami ucapan orang lain. Siswa akan dilatih
untuk memperhatikan gerak bibir, posisi bibir, serta gigi agar dapat memahami apa yang sedang
diucapkan. Penyandang tuna rungu juga diajari cara membaca isyarat-isyarat seperti ekspresi wajah
yang akan memudahkan mereka berkomunikasi.
Metode komunikasi total. Metode komunikasi total ada penggabungan kedua metode
sebelumnya. Metode ini dipopulerkan oleh lembaga Maryland School for the Deaf. Lembaga ini
membuat gerakan dengan menghapuskan perbedaan teoritis dan metodologis antara pendekatan
oral dan manual.
Komunikasi total memuat spektrum model bahasa yang lengkap, membedakan
gerakan/mimic tubuh anak, bahasa isyarat yang formal, belajar berbicara, membaca ucapan, abjad
jari, serta belajar membaca dan menulis. Dengan komunikasi total, anak tuna rungu dan tuna wicara
memiliki kesempatan untuk mengembangkan dirinya.
Lebih lanjut, Bastable (1997) juga memberikan pendapat yang sama. Menurutnya, strategi
pendidikan yang cocok bagi penyandang tuna rungu dan tuna wicara antaralain melalui membaca
isyarat, membaca gerak bibir, verbalisasi oleh lawan bicara dan strategi tertulis.
Dari dua pandangan tersebut dapat dilihat bahwa dalam strategi pembelajaran untuk anak
tuna rungu. Keberhasilannya dipengaruhi oleh keahlian, kerjasama, keluarga, teman, dan tim ahli.
Dalam hal ini orangtua menjadi dasar, sekali mereka memutuskan anak mereka untuk mulai belajar
mendengar dan dan berbicara, maka mereka menjadi ketua dalam proyek tersebut. Secara umum,
rekan-rekan yang dapat membantu orangtua dalam hal ini seperti Audiologist, speech-language
pathologist, pendidik khusus tuna rungu dan tuna wicara, guru, terapi wicara, fisio terapi dan
lingkungannya.
Untuk mengatasi masalah tuna rungu dan tuna wicara bagi Terapis Wicara antara lain
dengan melakukan melakukan Assessment (observasi) pada anak agar mengetahui secara pasti
tentang gangguan yang dimiliki. Lalu melakukan Diagnosa atau penentuan gangguan yang dimiliki
berdasar hasil observasi. Lalu melakukan prognosis atau perbandingan terhadap bahasa, bicara,
irama, kelancaran suara dan menelan. Lalu mulai masuk pada proses terapi yang akan dilakukan dan
telah melakukan berbagai persiapan organis, fisiologis, neurologis, psikologis dan environtment pada
anak yang mengalami gangguan pada pendengarannya, lalu melakukan habilitasi pendengaran atau
memberikan fungsi pendengaran yang seharusnya dimiliki seseorang, khususnya pada bayi atau
pada anak yang belum memiliki pengalaman atau kemampuan mendengar sebelumnya.
Pemberian kemampuan pendengaran dilakukan dengan berbagai cara yaitu dengan
Amplikasi (Pengerasan suara), Auditory training (Latihan mendengar), dan latihan wicara. Lalu
melakukan latihan penggerakan organ bicara (oral motor exercise), melatih anak dengan cara
membaca bahasa bibir (lip reading), latihan penempatan articulator dan melakukan berbagai terapi
kearah yang akan dicapai sehubungan dengan gejala dan berhubungan dengan nilai bahasa dan
bicara.
Anak yang mengalami gangguan pendengaran sebaiknya di lakukan latihan-latihan
mendengar dan latihan wicara pada ahli terapi wicara. Selain dilakukannya terapai, anak sebaiknya
di sekolahkan di sekolsh-sekolah khusus bagi anak berkebutuhan khusus untuk menunjang bakat dan
minat anak tersebut di masa yang akan datang. Peran serta keluarga dan lingkunganpun sedikit
banyak membantu proses perehabilitasian pada anak tersebut agar anak tersebut dapat
berkembang secara cepat dan memiliki kemampuan seperti layaknya anak normal seperti lazimnya.









Bab III Penutup

Kesimpulan
Tuna rungu dan tuna wicara adalah suatu bagian yang saling berkaitan. Tuna rungu akan
mengakibatkan tuna wicara apabila tidak ada bahasa yang dikuasai sebelumnya sehingga anak yang
mengalami tuna rungu identik dengan tuna wicara. Tuna rungu pun belum tentu bisa dipastikan tuna
wicara karena ketunarunguan dialami ketika anak sudah mengenal bahasa dan apat disosiasikan
sehingga ia bisa menerapkan , memahami dan mengaplikasikan setiap kata yang telah ia miliki
dengan kata-kata baru yang belum sempat ia miliki.
Anak yang menderita ketunarunguan memliliki postur tubuh normal dan memiliki
intelegensi seperti anak-anak normal lainya namun memiliki kekurangan pada pendengarannya dan
kosa kata yang dia miliki cukup kurang anak yang menderita ketunarunguan mengalami
keterlambatan bahasa, sehingga sering menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi sehingga
kurang bahkan tidak tanggap jika diajak untuk berkomunikasi, dan memiliki ucapan kata yang tidak
jelas dan cenderung sengau.
Tuna rungu dapat dibantu dengan menghadirkan kepadanya ahli-ahli yang menjadi ruang
lingkup ketunarunguan seperti audiologist, speech-language pathologist, pendidik khusus tuna
rungu dan tuna wicara, guru, speech therapist, physico therapist, dan semua orang yang berada
dilingkungannya karena hal itu cukup berpengaruh. Strategi pendidikan yang cocok bagi penyandang
tuna rungu dan tuna wicara antaralain melalui membaca isyarat, membaca gerak bibir, verbalisasi
oleh lawan bicara dan strategi tertulis.
Karena anak yang mengalami kekurangan biasanya kurang percaya diri, sehingga mengalami
keterlambatan bicarasehingga cenderung mengasingkan diri dan diasingkan oleh orang disekitarnya
dan keluarganya. Sebaiknya anak yang mengalami kekurangan diajak bergabung dan bersosialisasi
agar memudahakan kondianak untuk beradaptasi, dan tidak merasa minder dengan kekurangan
yang dimilikinya sehingga faktor lingkungan cukup berpengaruh dalam optimalisasi pada anak yang
mengalami kekurangan pada pendengarannya.

You might also like