You are on page 1of 12

I.

TINNITUS
A. Definisi
Tinnitus adalah suatu gangguan pendengaran dengan keluhan perasaan mendengar bunyi tanpa
rangsangan bunyi dari luar. Keluhannya bisa berupa bunyi mendenging, menderu, mendesis, atau
berbagai macam bunyi lainnya. Gejalanya bisa timbul terus menrus atau hilang timbul.(Putri
Amalia dalam artikel Gangguan Pendengaran Tinnitus.FK Universitas Islam Indonesia)
Tinnitus merupakan gangguan pendengaran dengan keluhan selalu mendengar bunyi, namun
tanpa ada rangsangan bunyi dari luar. Sumber bunyi tersebut berasal dari tubuh penderita itu
sendiri, meski demikian tinnitus hanya merupakan gejala, bukan penyakit, sehingga harus di
ketahui penyebabnya.(dr. Antonius HW SpTHT dalam artikel Suara Keras Sebabkan Telinga
Mendenging . Indopos Online)

B. Etiologi
Penyebab terjadinya tinnitus sangat beragam, beberapa penyebabnya anatara lain:

a Kotoran yang ada di lubang telinga, yang apabila sudah di bersihkan rasa berdenging
akan hilang
b Infeksi telinga tengah dan telinga dalam
c Gangguan darah
d Tekanan darah yang tinggi atau rendah, dimana hal tersebut merangsang saraf
pendengaran
e Penyakit menieres Syndrome, dimana tekanan cairan dalam rumah siput meningkat,
menyebabkan pendengaran menurun, vertigo, dan tinnitus
f Keracunan obat
g Penggunaan obat golongan aspirin ,dsb.

B. Patofisiologi
B.1. Tinnitus Subyektif
Penyakit atau gangguan pada telinga merupakan sebab yang paling banyak sebagai
etiologi tinnitus subyektif, yang kemudian disebut sebagai otologic disorder atau gangguan
otologik. Sebagian besar tinnitus sebyektif disebabkan oleh hilangnya kemampuan pendengaran
(hearing loss), baik sensorineural ataupun konduktif. Gangguan pendengaran yang paling sering
menyebabkan tinnitus subyektif adalah NIHL (noise induced hearing loss) karena adanya
sumber suara eksternal yang terlalu kuat impedansinya (Crummer & Hassan, 2004).
Sumber suara yang terlalu keras dapat menyebabkan tinnitus subyektif dikarenakan oleh
impedansi yang terlalu kuat. Suara dengan impedansi diatas 85 dB akan membuat stereosilia
pada organon corti terdefleksi secara lebih kuat atau sudutnya menjadi lebih tajam, hal ini akan
direspon oleh pusat pendengaran dengan suara berdenging, jika sumber suara tersebut berhenti
maka stereosilia akan mengalami pemulihan ke posisi semula dalam beberapa menit atau
beberapa jam. Namun jika impedansi terlalu tinggi atau suara yang didengar berulang-ulang
(continous exposure) maka akan mengakibatkan kerusakan sel rambut dan stereosilia, yang
kemudian akan mengakibatkan ketulian (hearing loss) ataupun tinnitus kronis dikarenakan oleh
adanya hiperpolaritas dan hiperaktivitas sel rambut yang berakibat adanya impuls terus-menerus
kepa ganglion saraf pendengaran (Folmer et. al., 2004).
Menieres syndrome dengan adanya keadaan hidrops pada labirintus membranaseous
dikaranakan cairan endolimphe yang berlebih, tinnitus yang terjadi pada penyakit ini ditandai
dengan adanya episode tinnitus berdenging dan tinnitus suara bergemuruh (Crummer & Hassan,
2004).
Neoplasma berupa acoustic neuroma juga dapat menyebabkan terjadinya tinnitus
subyektif. Neoplasma ini berasal dari sel schwann yang tumbuh dan menyelimuti percabangan
NC VIII (Nervus Oktavus) yaitu n. vestibularis sehingga terjadi kerusakan sel-sel saraf bahkan
demyelinasi pada saraf tersebut Crummer & Hassan, 2004).
Tinnitus yang diakibatkan oleh obat-obatan digolongkan dalam tinnitus ototoksik.
Ototoksisitas yang terjadi akibat dari penggunaan obat-obatan tertentu sebagaimana telah dibahas
sebelumnya akan mempengaruhi sel-sel rambut pada organon corti, NC VIII, ataupun saraf-saraf
penghubung antara cochlea dengan system nervosa central (Crummer & Hassan, 2004).
Gangguan neurologis ataupun trauma leher dan kepala juga dapat menyebabkan adanya
tinnitus subyektif, namun demikian patofisiologi ataupun mekanisme terjadinya tinnitus karena
hal ini belum jelas (Crummer & Hassan, 2004).
Penelitian-penelitian yang dilakukan didapatkan karakteristik penderita tinnitus obyektif
yang memiliki gangguan metabolisme antara lain menderita hypothyroidism, hyperthyroidism,
anemia, avitaminosa B
12
, atau defisiensi Zinc (Zn). Disamping itu penderita tinnitus rata-rata
menunjukkan perubahan sikap dan gangguan psikologis walaupun sebetulnya depresi merupakan
salah satu etiologi dari tinnitus subyektif (psikogenik). Gangguan tidur, deperesi, dan gangguan
konsentrasi lebih banyak ditemukan pada penderita tinnitus subyektif dibandingkan dengan yang
tidak mengalami gangguan psikologis (Crummer & Hassan, 2004).
B.2. Tinnitus Obyektif
Tinnitus obyektif banyak disebabkan oleh adanya abonormalitas vascular yang mengenai
fistula arteriovenosa congenital, shunt arteriovenosa, glomus jugularis, aliran darah yang terlalu
cepat pada arteri carotis (high-riding carotid) stapedial artery persisten, kompresi saraf-saraf
pendengaran oleh arteri, ataupun dikarenakan oleh adanya kelainan mekanis seperti adanya
palatal myoclonus, gangguan temporo mandibular joint, kekauan muscullus stapedius pada
telinga tengah (Folmer et. al., 2004).
Kelainan pada tuba auditiva (patulous Eustachian tube) akan menyebabkan terdengarnya
suara bergemuruh terutama pada saat bernafas karena kelainan muara tuba pada nasofaring.
Biasanya penderita tinnitus dengan keadaan ini akan menderita penurunan berat badan, dan
mendengar suaranya sendiri saat berbicara atau autophony. Tinnitus dapat hilang jika dilakukan
valsava maneuver atau saat penderita tidur terlentang dengan kepala dalam keadaan bebas atau
tergantung melebihi tempat tidurnya (Crummer & Hassan, 2004).
B.2.a. Pulsatile Tinnitus
Tinnitus pulsatil banyak diderita oleh pasien dengan turbulensi aliran arteri ataupun aliran
darah yang cepat pada pembuluh darah. Penyakit jantung yang berhubungan dengan
arteriosklerosis dan penuaan meningkatkan prevalensii tinnitus pulsatil, adanya stenosis arteri
juga banyak ditemukan pada penderita dengan tinnitus jenis ini. Stenosis artery intracranial dapat
menyebabkan turbulensi aliran darah pada bagian stenosis dan bagian distal dari stenosis
(Gambar 12). Sementara itu stenosis arteri carotis merupakan tempat yang umum ditemukan,
padahal arteri carotis tempatnya berdekatan dengan bagian proximal cochlea. Sehingga melalui
tulang getarab turbulensi aliran darah mempengaruhi cochlea dan menyebabkan tinnitus
obyektif. Pasien dengan thyrotoksikosis dan atrial fibrilasi juga dapat menderita tinnitus pulsatill
(Lockwood et.al., 2002)..

B.2.b. Non-pulsatile Tinnitus
Tinnitus jenis ini jarang ditemukan, sementara itu tinnitus obyektif juga merupakan kasus
yang jarang, sehingga dapat dikatakan bahwa kasus non-pulsatil tinnitus adalah sangat jarang
ditemukan. Penyebab terjadinya tinnitus jenis ini sebagaimana telah dijelaskan pada sub-bab
etiologi sebelumnya. Tinnitus jenis ini juga sering berhubungan dengan kontraksi periodik
abnormal pada otot-otot faring, mulut, dan wajah bagian bawah, sehingga akan mempengaruhi
kerja tuba auditiva (Lockwood et. al., 2002).
C. Pendekatan Diagnosis Klinis untuk Tinnitus
Mengingat penanganan terhadap tinnitus adalah meletakkan dasar pemikiran bahwa
penyakit tersebut adalah gejala dari sebuah penyakit lain yang menyebabkanya, maka dalam
melakukan diagnostik digunakan pendekatan klinis, supaya dapat dibedakan tinnitus menurut
etiologinya (Waddel, 2004; Lockwood et. al., 2002).
Membedakan secara garis besar jenis tinnitus yang diderita dan penilaian secara
menyeluruh terhadap riwayat tinnitus serta penyakit lain merupakan suatu hal yang harus diteliti.
Evaluasi terhadap keluhan tinnitus meliputii (Crummer & Hassan, 2004) :
a. Riwayat tinnitus
Evaluasi tinnitus pada pasien diawali dengan mempelajari keseluruhan riwayat tinnitus semenjak
pertama kali muncul (seperti tertera pada Tabel 5). Evaluasi tinnitus berdasar riwayat tinnitus
meliputi penilaian:
i. Onset
Jika tinnitus berkembang seiring dengan penurunan kemampuan mendengar atau penderita
adalah usia lanjut maka Presbiakusis bias menjadi penyebabnya.
ii. Lokasi
Tinnitus unilateral bias disebabkan oleh adanya impaksi serumen, otitis eksterna, dan otitis
media. Sedangkan tinnitus unilateral denganunilateral tuli sensorik merupakan pertanda adanya
neuroma akustik.
iii. Bentuk tinnitus (Pattern)
Tinnitus terus-menerus berhubungan dengan ketulian. Tinnitus yang episodic kemungkinan
Menieres syndrome. Tinnitus pulsatil kemungkinan berasal dari kelainan vascular.
iv. Karakteristik
Tinnitus dengan suara rendah dan bergemuruh suspek Menieres syndrome. Sedangkan tinnitus
dengan frekuensi tinggi berhubungan dengan tuli sensorik.
v. Keterhubungan dengan keluhan vertigo dan penurunan kemampuan pendengaran
Ada hubungan kuat dengan Menieres syndrome.
vi. Paparan obat-obatan ototoksik
Kemungkinan disebabkan oleh adanya Noise Induced atau medication-induced Hearing Loss.
vii. Perubahan keluhan dan faktor eksaserbasi
Tinnitus dengan patulous Eustachian tube mengurang dengan berbaring atau melakukan valsava
maneuver.
viii. Kelainan Metabolisme
Hiperlipidemi, gangguan tiroid, defisiensi Vitamin B
12
, anemia, bias menjadi penyebab tinnitus.
ix. Lainya
Signifikansi keluhan penderita terhadap kualitas hidup sehari-harinya menjadi pedoman
manajemen tinnitus.

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan secara komprehensif pada telinga meliputi kanalis akustikus eksternus,
serumen, membrane timpani, ataupun kemungkinan adanya infeksi. Auskultasi pada leher,
periaurikularis, orbita dan mastoid juga harus dilakukan. Uji pendengaran menggunakan garpu
tala (Weber dan Rinne) juga seharusnya dilakukan (Crummer & Hassan, 2004).

b. Pemeriksan Penunjang
Pemeriksaan menggunakan audiometri sebaiknya dilakukan, karena pada umunya keluhan
tinnitus adalah keluhan subyektif penderita dengan hubungan kelainan organ pendengaran adalah
sangat minimal (Crummer & Hassan, 2004).
Pendekatan diagnostik dalam langkah manajemen tinnitus berdasarkan kemungkinan
penyebabnya dapat dilakukan melalui algoritma yang dibuat oleh Crummer & Hassan (2004)
sebagaimana tertera pada gambar (13)
Sedangkan algoritma yang bertitik berat pada riwayat penyakit untuk mengklasifikasikan
jenis keluhan tinnitus, dan langkah-langkah pemeriksaan yang diperlukan untuk melakukan
evaluasi keluhan tinnitus yang diderita pasien mengikuti algoritma yang disampaikan oleh
Lockwood et.al. (2002) tertera pada.
Langkah evaluasi tinnitus dan perencanaan penatalaksanaannya dapat dilakukan dengan
beberapa tahapan sesuai dengan Gambar 15. Algoritma ini diajukan oleh Folmer et.al. (2004)
sebagai acuan untuk melakukan intervensi berdasarkan keluhan tinnitus pada pasien.
F. Penatalaksanaan
Di Amerika FDA (Food and Drug Association) hingga saat ini belum memberikan
persetujuan ataupun pengesahan terhadap obat-obatan yang digunakan untuk menangani tinnitus
(Lockwood et.al., 2002).
Tinnitus banyak berhubungan dengan berbagai penyakit ataupun gangguan pada organ
pendengaran hingga pusat pendengaran, pada tataran inii maka tinnitus sebagai sebuah kelainan
yang muncul sebagai kelainan membutuhkan beberapa penanganan khusus. Tinnitus
menyebabkan adanya keluhan depresi, insomnia, ataupun kecemasan, maka penatalaksanaannya
ditujukan pada terapi psikoterapi untuk mengurangi gangguan tinnitus terhadap kualitas
hidupnya. Accoustic Therapy (terapi akustik) di Amerika merupakan langkah Retraining
Therapy yaitu terapi yang diformulasikan khusus secara individual sesuai riwayat penyakit
pasien berupa menyarankan agar pasien mendengarkan musik yang disukainya pada saat berada
di tempat sepi. Jika pasien memiliki kelainan pendengaran berupa ketulian maka penggunaan
alat pendengaran akan menolong penurunan tinnitus. Hal tersebut enjadi ajuan manajemen atau
penatalaksanaan Tinnitus yang dapat dilakukan selama 1 bulan, 6 bulan, atau 12 bulan
tergantung penyakit atau kelainan yang mendasarinya. Sedangkan sebab-sebab lain berupa
abnormalitas pembuluh darah hingga adanya neoplasma pada otak yang mengakibatkan tinnitus,
maka penatalaksanaannya berada pada penyakit tersebut. Namun pada tuli sensorineural yang
menyebabkan tinnitus kronis merupakan penyakit yang hingga saat ini masih sangat sulit
ditangani, hal ini menuntut adanya penjelasan yang mencukupi kepada penderita tinnitus kronis
dengan penyebab tuli sensorineural (Folmer et.al., 2004).
Penggunaan sediaan agonis reseptor GABA dapat menunjukkan perbaikan pada penderita
dengan tinnitus dalam mekanisme yang masih diteliti (Eggermont & Roberts, 2004).
Teori masking (menutupi), dengan metode noise generator (pembangkitan bunyi) yang
dilakukan dengan menyalakan radio tanpa siaran (hanya desis) ataupun suara fan (kipas angina)
pada saat hendak tidur sehingga tinnitus dikaburkan oleh suara dari luar dapat membuat
penderita lebih baik (Folmer et.al., 2004; Crummer & Hassan, 2004; Lockwood et.al., 2002; The
British Tinnitus Association, 2004).
Pada dasarnya manajemen tinnitus adalah melakukan masking pada penderita sehingga terjadi
perubahan persepsi penderita terhadap keluhan tinnitusnya. Pengobatan terhadap penyakit yang
menyebabkan tinnitus, ataupun factor-faktor yang menjadi etiologi tinnitus perlu dilakukan
untuk mendukung penurunan keluhan tinnitus (Folmer et.al., 2004; Waddel, 2004; Lockwood
et.al., 2002, Eggermont & Roberts, 2004).
D. Gejala
Pendengaran yang terganggu biasanya di tandai dengan mudah marah, pusing, mual dan mudah
lelah. Kemudian pada kasus tinnitus sendiri terdapat gejala berupa telinga berdenging yang dapat
terus menerus terjadi atau bahkan hilang timbul. Denging tersebut dapat terjadi sebagai tinnitus
bernada rendah atau tinggi. Sumber bunyi di ataranya berasal dari denyut nadi, otot-otot dala
rongga tellinga yang berkontraksi, dan juga akibat gangguan saraf pendengaran.
E. Diagnosis
Tinnitus merupakan suatu gejala klinik penyakit telinga, sehingga untuk memberikan
pengobatannya perlu di tegakkan diagnosa yang tepat sesuai dengan penyebab, dan biasanya
memanng cukup sulit untuk di ketahui.
Untuk memastikan diagnosis perlu di tanyakan riwayat terjadinya kebisingan, perlu
pemerikasaan audio-metri nada murni (pure tone audiometry). Pada pemeriksaan nada murni
gamabaran khas berupa takik (notch) pada frekuensi 4kHz. Anamnesis merupakan hal utama dan
terpenting dalam menegakkan diagnosa tinnitus. Hal yang perlu di gali adalah seperti kualitas
dan kauantitas tinnitus, apakah ada gejala lain yangmenyertai, seperti vertigo, gangguan
pendengaran, atau gejala neurologik. Pemeriksaan fisik THT dan otoskopi harus secara rutin di
lakukan, dan juga pemeriksaan penala, audiometri nada murni, audiometri tutur, dan bila perlu
lakkukan ENG.

F. Pencegahan
Pencegahan terhadap tinnitus adalah sebagai berikut:
a. Hindari suara-suara yang bising, jangan terlalu sering mendengarkan suara bising
(misalnya diskotik, konser musik, walkman, loudspeaker, telpon genggam)
b. Batasi pemakaian walkman, jangan mendengar dengan volume amat maksimal
c. Gunakan pelindung telinga jika berada di tempat bising.
d. Makanlah makanan yang sehat dan rendah garam
e. Minumlah vitamin yang berguna bagi saraf untuk melakukan perbaikan, ex: ginkogiloba,
vit A
G. Pengobatan
Pada umumnya pengobatan gejala tinnitus dibagi dalam 4 cara, yaitu :
1. lektrofisiologik, yaitu memberi stimulus elektroakustik (rangsangan bunyi) dengan
intensitas suara yang lebih keras dari tinnitusnya, dapat dengan alat bantu dengar atau
tinnitus masker.
2. Psikologik, yaitu dengan memberikan konsultasi psikologik untuk meyakinkan pasien
bahwa penyakitnya tidakmembahayakan dan bisa disembuhkan, serta mengajarkan
relaksasi dengan bunyi yang harus didengarnya setiap saat.
3. Terapi medikametosa, sampai saat ini belum ada kesepakatan yang jelas diantaranya
untuk meningkatkan aliran darah koklea, transquilizer, antidepresan sedatif, neurotonik,
vitamin dan mineral.
4. Tindakan bedah, dilakukan pada tumor akustik neuroma. Namun, sedapat mungkin
tindakan ini menjadi pilihan terakhir, apabila gangguan denging yang diderita benar-
benar parah.
Pasien juga di berikan obat penenang atau obat tidur, untuk membantu memenuhi
kebutuhan istirahat, karena penderita tinnitus biasanya tidurnya sangat terganggu oleh
tinnitus itu sendiri, sehingga perlu di tangani, juga perlu di jelaskan bahwa gangguat
tersebut sulit di tanangi, sehingga pasien di anjurkan untuk beradaptasi dengan keadaan
tersebut, karena penggunaan obat penenang juga tidak terlalu baik dan hanya dapat di
gunakan dalam waktu singkat.




II. VERTIGO
A. Pengertian
Perkataan vertigo berasal dari bahasa Yunani vertere yang artinya memutar. Pengertian
vertigo adalah : sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau lingkungan sekitarnya,
dapat disertai gejala lain, terutama dari jaringan otonomik akibat gangguan alat
keseimbangan tubuh Vertigo mungkin bukan hanya terdiri dari satu gejala pusing saja,
melainkan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari gejala somatik (nistagmus,
unstable), otonomik (pucat, peluh dingin, mual, muntah) dan pusing. Dari
(http://www.kalbefarma.com).
B. Etiologi
Menurut (Burton, 1990 : 170) yaitu :
1. Lesi vestibular :
o Fisiologik
o Labirinitis
o Menire
o Obat ; misalnya quinine, salisilat.
o Otitis media
o Motion sickness
o Benign post-traumatic positional vertigo
2. Lesi saraf vestibularis
o Neuroma akustik
o Obat ; misalnya streptomycin
o Neuronitis
o vestibular
3. Lesi batang otak, serebelum atau lobus temporal
o Infark atau perdarahan pons
o Insufisiensi vertebro-basilar
o Migraine arteri basilaris
o Sklerosi diseminata
o Tumor
o Siringobulbia
o Epilepsy lobus temporal

Menurut (http://www.kalbefarma.com)
1. Penyakit Sistem Vestibuler Perifer :
Telinga bagian luar : serumen, benda asing.
Telinga bagian tengah: retraksi membran timpani, otitis media purulenta
akuta, otitis media dengan efusi, labirintitis, kolesteatoma, rudapaksa dengan
perdarahan.
Telinga bagian dalam: labirintitis akuta toksika, trauma, serangan vaskular,
alergi, hidrops labirin (morbus Meniere ), mabuk gerakan, vertigo postural.
Nervus VIII. : infeksi, trauma, tumor.
Inti Vestibularis: infeksi, trauma, perdarahan, trombosis arteria serebeli
posterior inferior, tumor, sklerosis multipleks.
2. Penyakit SSP :
Hipoksia Iskemia otak. : Hipertensi kronis, arterios-klerosis, anemia,
hipertensi kardiovaskular, fibrilasi atrium paroksismal, stenosis dan
insufisiensi aorta, sindrom sinus karotis, sinkop, hipotensi ortostatik, blok
jantung.
Infeksi : meningitis, ensefalitis, abses, lues.
Trauma kepala/ labirin.
Tumor.
Migren.
Epilepsi.
3. Kelainan endokrin: hipotiroid, hipoglikemi, hipoparatiroid, tumor medula adrenal,
keadaan menstruasi-hamil-menopause.
4. Kelainan psikiatrik: depresi, neurosa cemas, sindrom hiperventilasi, fobia.
5. Kelainan mata: kelainan proprioseptik.
6. Intoksikasi.

C. Patofisiologi
Vertigo timbul jika terdapat ketidakcocokan informasi aferen yang disampaikan ke pusat
kesadaran. Susunan aferen yang terpenting dalam sistem ini adalah susunan vestibuler
atau keseimbangan, yang secara terus menerus menyampaikan impulsnya ke pusat
keseimbangan. Susunan lain yang berperan ialah sistem optik dan pro-prioseptik, jaras-
jaras yang menghubungkan nuklei vestibularis dengan nuklei N. III, IV dan VI, susunan
vestibuloretikularis, dan vestibulospinalis.
Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor
vestibuler, visual, dan proprioseptik; reseptor vestibuler memberikan kontribusi paling
besar, yaitu lebih dari 50 % disusul kemudian reseptor visual dan yang paling kecil
kontribusinya adalah proprioseptik.
Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat integrasi alat keseimbangan
tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual dan proprioseptik kanan dan kiri akan
diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan wajar, akan diproses lebih
lanjut. Respons yang muncul berupa penyesuaian otot-otot mata dan penggerak tubuh
dalam keadaan bergerak. Di samping itu orang menyadari posisi kepala dan tubuhnya
terhadap lingkungan sekitar. Jika fungsi alat keseimbangan tubuh di perifer atau sentral
dalam kondisi tidak normal/ tidak fisiologis, atau ada rangsang gerakan yang aneh atau
berlebihan, maka proses pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala
vertigo dan gejala otonom; di samping itu, respons penyesuaian otot menjadi tidak
adekuat sehingga muncul gerakan abnormal yang dapat berupa nistagmus, unsteadiness,
ataksia saat berdiri/ berjalan dan gejala lainnya .

D. Klasifikasi Vertigo
Berdasarkan gejala klinisnya, vertigo dapat dibagi atas beberapa kelompok :
1. Vertigo paroksismal
Yaitu vertigo yang serangannya datang mendadak, berlangsung beberapa menit atau
hari, kemudian menghilang sempurna; tetapi suatu ketika serangan tersebut dapat
muncul lagi. Di antara serangan, penderita sama sekali bebas keluhan.
Vertigo jenis ini dibedakan menjadi :

Yang disertai keluhan telinga :
Termasuk kelompok ini adalah : Morbus Meniere, Arakhnoiditis pontoserebelaris,
Sindrom Lermoyes, Sindrom Cogan, tumor fossa cranii posterior, kelainan gigi/
odontogen.
Yang tanpa disertai keluhan telinga :
Termasuk di sini adalah : Serangan iskemi sepintas arteria vertebrobasilaris,
Epilepsi, Migren ekuivalen, Vertigo pada anak (Vertigo de L'enfance), Labirin
picu (trigger labyrinth).
Yang timbulnya dipengaruhi oleh perubahan posisi :
Termasuk di sini adalah : Vertigo posisional paroksismal laten, Vertigo posisional
paroksismal benigna.

2. Vertigo kronis
Yaitu vertigo yang menetap, keluhannya konstan tanpa (Cermin Dunia Kedokteran
No. 144, 2004: 47) serangan akut, dibedakan menjadi:
Yang disertai keluhan telinga : Otitis media kronika, meningitis Tb, labirintitis
kronis, Lues serebri, lesi labirin akibat bahan ototoksik, tumor serebelopontin.
Tanpa keluhan telinga : Kontusio serebri, ensefalitis pontis, sindrom pasca
komosio, pelagra, siringobulbi, hipoglikemi, sklerosis multipel, kelainan okuler,
intoksikasi obat, kelainan psikis, kelainan kardiovaskuler, kelainan endokrin.
Vertigo yang dipengaruhi posisi : Hipotensi ortostatik, Vertigo servikalis.

3. Vertigo yang serangannya mendadak/akut, kemudian berangsur-angsur mengurang,
dibedakan menjadi :
Disertai keluhan telinga : Trauma labirin, herpes zoster otikus, labirintitis akuta,
perdarahan labirin, neuritis n.VIII, cedera pada auditiva interna/arteria
vestibulokoklearis.
Tanpa keluhan telinga : Neuronitis vestibularis, sindrom arteria vestibularis
anterior, ensefalitis vestibularis, vertigo epidemika, sklerosis multipleks,
hematobulbi, sumbatan arteria serebeli inferior posterior.
Ada pula yang membagi vertigo menjadi :
1. Vertigo Vestibuler: akibat kelainan sistem vestibuler.
2. Vertigo Non Vestibuler: akibat kelainan sistem somatosensorik dan visual.

D. Manifestasi klinik
Perasaan berputar yang kadang-kadang disertai gejala sehubungan dengan reak dan
lembab yaitu mual, muntah, rasa kepala berat, nafsu makan turun, lelah, lidah pucat
dengan selaput putih lengket, nadi lemah, puyeng (dizziness), nyeri kepala,
penglihatan kabur, tinitus, mulut pahit, mata merah, mudah tersinggung, gelisah, lidah
merah dengan selaput tipis.
E. Pemerikasaan Penunjang
1. Pemeriksaan fisik :
Pemeriksaan mata
Pemeriksaan alat keseimbangan tubuh
Pemeriksaan neurologic
Pemeriksaan otologik
Pemeriksaan fisik umum.
3. Pemeriksaan khusus :
ENG
Audiometri dan BAEP
Psikiatrik
4. Pemeriksaan tambahan :
Laboratorium
Radiologik dan Imaging
EEG, EMG, dan EKG.
E. Penatalaksanaan Medis
Terapi menurut (Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004: 48) Terdiri dari :
1. Terapi kausal
2. Terapi simtomatik
3. Terapi rehabilitatif.

You might also like