You are on page 1of 4

KASUS

Seorang anak Joni 6 tahun datang ke praktik dokter umum bersama ibunya dengan
keluhan keram perut disertai diare 2 hari yang lalu. Joni merasa penuh pada perutnya.
Sebelumnya, di kantin sekolah, Joni merasa haus. Kemudian Joni membeli yoghurt. Lalu Joni
merasa perutnya sakit. Joni menganggap bahwa hal tersebut adalah rasa lapar, oleh karena itu
kemudian Joni jajan burger mayones di kantin dan kemudian keluhan bertambah parah disertai
diare.
Setelah itu anak Joni diperiksa kultur fesesnya. Tidak ditemukan adanya bakteri. Anak
Joni diakui ibunya tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan tertentu atau kondisi
lingkungan tertentu.
Anak Joni juga pernah memiliki riwayat muntah dan diare pada 14 hari yang lalu,
Berdasarkan pemeriksaan kultur feses, anak Joni didiagnosis terinfeksi bakteri dan kemudian
diberikan terapi antibiotik. Diare anak Joni diakui ibunya bertambah parah dengan
mengkonsumsi susu formula yang dibelinya di Betamart dan disarankan untuk tidak
mengkonsumsi susu tersebut terlebih dahulu. Kemudian diare anak Joni semakin baik setelah 7
hari.

Hasil Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum

: Tampak sakit, kompos mentis

Tanda Vital

: TD

: 100/70 mmHg

RR : 22 x/menit
Nadi : 115x/menit
Suhu : 36,7oC
Pemeriksaan Status Lokalis
Kepala

: Mata

: Konjungtiva anemis (-)


Pupil isokor, 2 mm Refleks cahaya +/+

Hidung
Leher

: NCH (-)

: Tidak ada pembesaran kelenjar

Thoraks
Paru

: DBN

Jantung

: DBN

Abdomen

: Terlihat pembesaran, teraba lunak, perkusi sonor, terdengar suara bising


usus (+) meningkat, tes undulasi (-), nyeri epigastirium (-)

Ekstremitas

: Akral teraba hangat

Hasil Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Darah Rutin

: Eritrosit 5 juta/ul, leukosit 12.000 ul/dl, hematokrit 51%

Pemeriksaan Lain lain

: Albumin 3,5 gr/dl, SGOT 13 U/l, SGPT 20U/l

Pemeriksaan Feces

: Mikroorganisme (-), pH = 3

PATOFISIOLOGI INTOLERANSI MAKANAN


Intoleransi makanan merupakan ketidakmampuan tubuh untuk mencerna zat makanan
tertentu karena defisiensi enzim tertentu, misalnya pada intoleransi laktosa. Intoleransi laktosa
terjadi akibat adanya defisiensi enzim lactase yang terdapat di usus halus (enterosit). Defisiensi
laktase ini bisa bersifat congenital, primer, dan sekunder. Defisiensi laktase kongenital biasanya
jarang terjadi karena adanya lactase yang cukup untuk mencerna laktosa dengan baik (McBean et
al., 1998) .
Intoleransi primer merupakan intoleransi karbohidrat yang sering terjadi pada semua
kelompok usia, biasanya pada masa pubertas. Sebagian laktosa yang tidak tercerna, tersisa di
lambung dan bertindak secara osmotic menarik air ke usus halus. Bakteri kolon memfermentasi
laktosa yang tidak tercerna dan menghasilkan asam lemak rantai pendek, karbon dioksida, dan
gas methane (Rusynyk, 2001).
Defisiensi lactase sekunder merupakan kondisi transien yang terjadi secara sekunder
akibat adanya infeksi bacterial ataupun viral yang menyebabkan kerusakan mukosa epitel
lambung yang merupakan tempat lactase normal bekerja secara aktif. Hal ini biasanya terjadi
pada kasus gastroenteritis, diare berat, giardiasis, atau AIDS yang biasanya berakhir pada
kerusakan vili dan akan menurunkan aktivitas enzim lactase. Antibiotik dan obat-obat lainnya
juga dapat mengakibatkan kerusakan sel epitel. Aktivitas regular lactase akan kembali aktif
apabila sel epitel sudah mengalami perbaikan. Aktivitas flora normal kolon juga berperan dalam
proses adaptasi untuk mencerna beberapa produk di usus halus seperti laktulosa. Ingesti laktulosa
akan menyebabkan penurunan pH, sehingga akan menyebabkan peningkatan ekskresi hydrogen.
Peningkatan kapasitas fermentasi tersebut akan menyebabkan symptom dari intoleransi laktosa
menjadi berkurang (Inman-Felton, 1999 ; Zhong et al. 2004).
Molekul laktosa yang tidak tercerna dan produk dari digesti laktosa oleh bakteri akan
menyebabkan symptom seperti diare, kembung, dan distensi abdomen yang akan menyebabkan
rasa nyeri dan tidak nyaman pada perut, dan terjadi flatulensi. Namun, simptom gastrointestinal
yang persisten dapat mengindikasikan adanya kelainan lain (Sibley, 2004).

PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis dari intoleransi laktosa akibat defisiensi lactase ditegakkan berdasarkan satu
atau lebih dari beberapa patokan berikut (Vesa et al., 2000):
1. Menggali anamnesis pasien selengkapnya terutama terkait riwayat gejala gastrointestinal
yang mungkin muncul setelah mengkonsumsi makanan tertentu
2. Melihat respon dari percobaan empiris pengurangan makanan tertentu atau menghindari
makanan tertentu yang diduga terkait pada munculnya symptom pada pasien
3. Mengukur kadar hydrogen abnormal dengan menggunakan breath test
4. Abnormalitas pada tes toleransi glukosa
5. Penurunan pH sampel feses atau menjadi keadaan asam
6. Biopsi usus halus untuk menilai langsung aktivitas enzim lactase

REFERENSI
Inman-Felton, A. E.. 1999. Overview of lactose maldigestion (lactose nonpersistence). J Am Diet
Assoc; 99 (4): 481-489.
McBean, L. D., Miller G. D.. 1998. Allaying fears and fallacies about lactose intolerance. J Am
Diet Assoc ; 98(6): 671-676.
Rusynyk, R.A.. 2001. Lactose intolerance. J Am Osteopath Assoc; 101 (Suppl 1): 10S-12.
Sibley, E.. 2004. Genetic variation & lactose intolerance: detection methods and clinical
implications. Am J Pharmacogenomics ; 4 (4) : 239-245.
Vesa, T. H., Marteau P., Korpela R.. 2000. Lactose intolerance. J Am Coll Nutr; 19 (suppl 2):
165S-175S
Zhong, Y., Priebe M. G., Vonk R. J.. 2004. The role of colonic microbiota in lactose intolerance.
Dig Dis Sci ; 49 (1): 78-83.

You might also like