You are on page 1of 17

Hana Yuniko Gandasari

PDU A 2013
04011281320025

1. Bagaimana klasifikasi demam ?

Demam septik
Pada demam ini, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada
malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari.

Demam hektik
Pada demam ini, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada
malam hari dan turun kembali ke tingkat yang normal pada pagi hari .

Demam remiten
Pada demam ini, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai
suhu normal

Demam intermiten
Pada demam ini, suhu badan turun ke tingkat yang normal selama beberapa jam
dalam satu hari.

Demam Kontinyu
Pada demam ini, terdapat variasi suhu sepanjang hari yang tidak berbeda lebih
dari satu derajat.

Demam Siklik
Pada demam ini, kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh
periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan
suhu seperti semula.

2. Bagaimana mekanisme mual, nafsu makan menurun, nyeri perut, konstipasi, dan nafas
bau?

Mekanisme mual
Mual biasanya terkait dengan penurunan motilitas lambung dan
peningkatan tonus di usus kecil, selain itu sering terjadi pembalikan gerak
peristaltik di usus kecil proksimal. Sensai mual disebabkan oleh satu atau lebih
dari empat sistem yaitu :
-

Aferen visceeral dari saluran pencernaan (vagus atau saraf


simpatis) sinyal-sinyal ini menginformasikan atak mengenai kondisi
seperti distensi gastrointestinal dan iritasi mukosa.

Aferen visceeral dari luar saluran pencernaan sinyal dari saluran


empedu, peritoneum, hati dan berbagai organ lain. Implus ke pusat
muntah menjelaskan bagaimana, misalnya, batu di saluran empedu
dapat menyebabkan muntah.

Aferen dari pusat extramedulla di otak (sistem vestibular)


rangsangan psikis tertentu ( bau atau rasa takut) dan trauma otak dapat
menyebabkan muntah

Kemoreseptor trigger zone di area postrema (medulla) dasar


ventrikel keempat, atau pusat-pusat yang lebih tinggi di sistem saraf
pusat (SSP)

Mekanisme nafsu makan menurun


Penurunan nafsu makan merupakan akibat dari kerjasama IL-1 dan TNF. (Sebagai respon terhadap rangsangan pirogenik, maka monosit, makrofag, dan
sel-sel Kupffer mengeluarkan suatu zat kimia yang dikenal sebagai pirogen
endogen

IL-1(interleukin 1),

TNF (Tumor

Necrosis

Factor ),

IL-6

(interleukin 6), dan INF). Keduanya akan meningkatkan ekspresi leptin oleh sel
adiposa. Peningkatan leptin dalam sirkulasi menyebabkan negatif feedback ke
hipothalamus ventromedial yang berakibat pada penurunan intake makanan
(Luheshi et al., 2000).

Mekanisme nyeri perut

Bakteri Salmonella typhi, Salmonella paratyphi masuk ke saluran cerna. Sebagian


masuk usus halus. Di ileum terminalis membentuk limfoid plaque payeri.
Sebagian bakteri tersebut hidup dan menetap, sehingga menyebabkan perdarahan
dan perforasi. Hal tersebut yang menyebabkan terjadinya peritonitis sehingga
menyebabkan nyeri perut saat ditekan.

Mekanisme nafas bau


Terjadi karena gangguan saluran pernafasan akibat infeksi salmonella.

Mekanisme konstipasi
Proses normal defekasi diawali dengan teregangnya dinding rektum. Regangan
tersebut menimbulkan refleks relaksasi dari sfingter anus interna yang akan
direspon dengan kontraksi sfingter anus eksterna. Saat proses defekasi, sfingter
anus eksterna dan muskulus puborektalis mengadakan relaksasi sedemikian rupa
sehingga sudut antara kanal anus dan rektum terbuka, membentuk jalan lurus bagi
tinja untuk keluar melalui
anus. Kemudian dengan mengedan, yaitu meningkatnya tekanan abdomen dan
kontraksi rektum, akan mendorong tinja keluar melalui anus. Pada posisi jongkok,
sudut antara anus dan rektum ini akan menjadi lurus akibat fleksi maksimal dari
paha. Hal ini akan memudahkan proses defekasi dan tidak memerlukan tenaga
mengedan yang kuat. Pada posisi duduk, sudut antara anus dan rektum ini
menjadi tidak cukup lurus sehingga membutuhkan tenaga mengedan yang lebih
kuat. Akibat semakin kuat tenaga mengedan yang dibutuhkan, lama - kelamaan
dapat menimbulkan kerusakan pada daerah rektoanal yang dapat menimbulkan
konstipasi dan hemorrhoid.

3. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan keadaan spesifik? (kepala, thorax, jantung,


abdomen)
I.

Kepala
a. Rhagaden
Keadaan dimana terdapatnya fisura, retakan atau jaringan parut berbentuk
garis yang halus pada kulit, seperti yang ditemukan di sekitar mulut atau
daerah lain dengan kulit yang banyak bergerak.

b. Coated tongue
Suatu keadaan dimana permukaan lidah terlihat berwarna putih atau
berwarna lain, yang merupakan tumpukan dari debris, sisa makanan dan
mikroorganisme yang terdapat pada permukaan dorsal lidah.

II.

Thorax
a. Paru-paru dalam batas normal
Paru-paru Doni normal.

III.

Jantung
a. HR : 92x/menit
Heart rate normal adalah 60-100x/ menit. Heart rate pada Doni termasuk
normal.

IV.

Abdomen
datar, lemas, nyeri tekan epigastrium, bising usus menurun, hepar, lien tidak
teraba, Ekstremitas dalam batas normal.

4. Apa saja pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis?

1.Hematologi
2. Urinalis
Protein: bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam)
Leukosit dan eritrosit normal; bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit.

3. Kimia Klinik
Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan sampai
hepatitis Akut.

4. Imunorologi

Pemeriksaan serologi widal

Pemeriksaan Elisa Salmonella typhi

5.

TubexRTF

Mikrobiologi
Diagnosis pasti penyakit demam tifoid yaitu dengan melekukan isolasi bakteri

Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B dan Salmonella


paratyphi C dari spesimen yang berasal dari darah, feses, dan urin penderita demam tifoid
6. Biologi molekular.
PCR (Polymerase Chain Reaction) Metode ini mulai banyak dipergunakan. Pada
cara ini di lakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian diidentifikasi dengan DNA
probe yang spesifik.
7. Pemeriksaan IgM dipstik tes
Uji serologis dengan pemeriksaan IgM dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen lipopolisakarida (LPS) Salmonella
typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella
typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti- human immobilized sebagai reagen
kontrol

LEARNING ISSUE
DEMAM TIFOID
PATOFISIOLOGI
1. Proses perjalanan
Penyakit S. typhi masuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar. Sebagian
kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus(mansjoer, 2000)
Setelah mencapai usus, Salmonella typhosa menembus ileum ditangkapoleh sel mononuklear,
disusul bakteriemi I. Setelah berkembang biak di RES, terjadilah bakteriemi II, Interaksi
Salmonella dengan makrofag memunculkan mediator- mediator. Lokal (patch of payer) terjadi
hiperplasi, nekrosis dan ulkus. Sistemik timbul gejala panas, instabilitas vaskuler, inisiasi sistem
beku darah, depresi sumsum tulang dll.
Imunulogi.Humoral lokal, di usus diproduksi IgA sekretorik yang berfungsi mencegah
melekatnya salmonella pada mukosa usus.Humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk
memudahkan fagositosis Salmonella oleh makrofag. Seluler berfungsi untuk membunuh
Salmonalla intraseluler .
Bakteri Salmonella typhy (S typhi) dan Salmonella paratyphi (Sparatyphi) masuk kedalam tubuh
manusia melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh bakteri tersebut.
Sebagian bakteri dimusnahkan di lambung oleh asam lambung. Sebagian lolos masuk ke dalam
usus halus dan selanjunya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus
halus kurang baik maka bakteri akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya kelamina propia.
Dilamina propia bakteri berkembang biak dan difgosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh
makrofak, kemudian bakteri yang hidup dan berkembang biak di dalam makrofak di bawa ke
Plague peyeri ileum distal selanjutnya ke kelenjar getah bening. Kemudin melalui duktus
torasikus bakteri yang di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan
bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar keseluruh organ retukuloendotelial tubuh
terutama organ hati dan limpa. Di organ-organ ini bakteri meninggalkan sel-fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi

sehingga mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan di sertai tanda dan gejala
penyakit infeksi sistemik, Didalam hati kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak bersama cairan empedu diekresikan secara intermittent kedalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menebus
usus, proses yang sam terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivitas dan hiperaktif
maka saat fagositosis.kuman salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator imflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi imflamasi sistemik seperti : demam, malaise,
myalgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental dan koagulasi.

ETIOLOGI
Organisme yang berasal dari genus Salmonella adalah agen penyebab bermacam-macam
infeksi, mulai dari gastroenteritis yang ringan sampai dengan demam tifoid yang berat disertai
bakteriemia. Kuman Salmonella ini berbentuk batang, tidak berspora, pada pewarnaan gram
bersifat negatif, ukuran 1-3.5 um x 0.5-0.8 um, besar koloni rata-rata 2-4 mm, mempunyai flagel
peritrikh kecuali Salmonella pullorum dan Salmonella gallinarum.
Kuman ini tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob, pada suhu 15-410 C dan
pH pertumbuhan 6-8. Bakteri ini mudah tumbuh pada pembenihan biasa, tetapi hampir tidak
pernah meragikan laktosa dan sukrosa. Salmonella resisten terhadap zat-zat kimia tertentu yang
menghambat bakteri enterik lainnya. Kuman mati pada suhu 560 C juga pada keadaan kering.
Dalam air bisa tahan selama 4 minggu.

EPIDEMIOLOGI
Demam typhoid masih merupakan masalah kesehatan sedang berkembang. Besarnya
angka kasus demam typhoid di dunia ini sangat sukar di tentukan sebabab penyakit ini di kenal
mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya sangat luas. Di perkirakan angka kejadian dari
150/100.000/tahuan di Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun di Asia. Umur di Indonesia (
daerah endemis ) di laporkan antara 3 smpai 19 tahun mencapai 91% kasus. Angka yang kurang
lebih sama juga di laporkan dari Amerika Selatan.

Salmonella Typhi dapat hidup dalam tubuh manusia ( manusia sebagai natural reservoir).
Manusia yang terinfeksi Salmonella Typhi dapat mengeksresikanya melalui sekret saluran nafas,
urin dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella Typhi yang berada di luar
tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada di dalam air, es, debu atau
kotoran yang kering maupun pada pakian. Akan tetapi Salmonella Typhi hanya dapat hidup
kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah di matikan dengan klorinasi dan pasteurisasi
0 (temperatur 63 C ).
Terjadinya penularan Salmonella Typhi sebagian besar melalui minuman atau makanan
yang tercemar oleh mikroorganisme yang berasal dari penderita atau pembawa mikroorganisme
biasanya keluar bersama- sama dengan tinja ( melalui rute oral fekal, jalur oro, fenal ).
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam
bakteremia ke pada bayinya, pernah di laporkan pula transmisi oro fekal dari seorang ibu
pembawa mikrooranisme pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber
mikroorganisme berasal dari labolatorium peneliti.

DIAGNOSIS
Diagnosis di tegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan gastrointestinal
dan mungkin di sertai perubahan dan gangguan kesadaran dengan kriteria ini maka seorang
klinis dapat membuat diagnosis tersangka demam typhoid. Diagnosis pasti di tegakkan melalui
isolasi ( Salmonella Typhi ) dari darah. Pada dua minggu pertama sakit, kemungkinan
mengisolasi ( Salmonella Typhi ) dari dalam darah pasien lebih besar dari pada minggu
berikutnya. Biakan spesimen yang beasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas
tertinggi, hasil positif di dapat pada 90% kasus. Akan tetapi prosedur ini sangat invasif sehingga
tidak di gunakan dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat di lakukan biakan
spesimen empedu yang di ambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik.
Pemeriksaan demam typhoid ada beberapa jenis yaitu untuk mendeteksi atibodi (
Salmonella Typhi ) dalam serum antigen tehadap Salmonella Typhi dalam darah, serum, urin dan
DNA ( Salmonella Typhi ) dalam darah dan faeses polymerase chain reaction telah di gunakan
untuk memperbanyak gen salmonella sel. Typhoid secara spesifik pada darah pasien dan hasil

dapat di peroleh hanya dalam beberapa jam. Metode ini spesifik dan lebih sensitif di banding
dengan biakan darah.

PATOGENESIS
Masa inkubasi demam tifoid kurang lebih 14 hari. Masuknya kuman Salmonella typhi (S.
typhi) dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan
yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman ini akan dimusnahkan dalam lambung, sebagian
lagi lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral
mukosa usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina
propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke
plague peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya
melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi
darah dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organorgan ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteriemia
yang kedua kalinya dengan disertai tanda- tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular gangguan mental, dan koagulasi.
Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan.
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague peyeri yang
sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding
usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus,
dan dapat mengakibatkan perforasi.

Peranan endotoksin dalam patogenesis demam tifoid telah dipelajari secara mendalam.
Pernah dicoba pemberian suntikan endotoksin 0.5 mcg pada sukarelawan-sukarelawan, dalam
waktu enam puluh menit mereka menjadi sakit kepala, dingin, rasa tak enak pada perut.
Bakteriolisis yang dilakukan oleh system retikuloendotelialium merupakan upaya pertahanan
tubuh di dalam pembasmian kuman. Akibat bakteriolisis maka dibebaskan suatu zat endotoksin,
yaitu suatu lipopolisakarida (LPS), yang akan merangsang pelepasan pirogen endogen dari
leukosit, sel-sel limpa, dan sel-sel kuppfer hati, makrofag, sel polimorfonuklear dan monosit.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi
seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan, dan gangguan organik lainnya.

KOMPLIKASI
Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok.
Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5
ml/kgBB/jam.
a. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga namun
dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh
nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke
seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai
syok.
Komplikasi Ekstraintestinal
1. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis), miokarditis,
trombosis dan tromboflebitis.

2. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi intravaskuler


diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
3. Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis Komplikasi hepar dan kandung
kemih : hepatitis dan kolelitiasis
4. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis Komplikasi tulang :
osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis
5. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer,
psikosis, dan sindrom katatonia.
PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu : Istirahat dan
perawatan, diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif), dan pemberian medikamentosa.
Istirahat yang berupa tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Sedangkan diet dan terapi penunjang merupakan hal yang cukup penting dalam
proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan
keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi
lama. Tata laksana medikamentosa demam tifoid dapat berupa pemberian antibiotik, antipiretik,
dan steroid. Obat antimikroba yang sering diberikan adalah kloramfenikol, tiamfenikol,
kotrimoksazol, sefalosporin generasi ketiga, ampisilin, dan amoksisilin.
Kloramfenikol merupakan obat pilihan utama untuk mengobati demam tifoid.
Kloramfenikol mempunyai ketersediaan biologik 80% pada pemberian iv. Waktu paruh
plasmanya 3 jam pada bayi baru lahir, dan bila terjadi sirosis hepatis diperpanjang sampai
dengan 6 jam. Dosis yang diberikan secara per oral pada dewasa adalah 20-30(40) mg/kg/hari.
Pada anak berumur 6-12 tahun membutuhkan dosis 40-50 mg/kg/hari. Pada anak berumur 1-3
tahun membutuhkan dosis 50-100 mg/kg/hari. Pada pemberian secara intravena membutuhkan
40-80 mg/kg/hari untuk dewasa, 50-80 mg/kg/hari untuk anak berumur 7-12 tahun, dan 50-100
mg/kg/hari untuk anak berumur 2-6 tahun. Bentuk yang tersedia di masyarakat berupa kapsul
250 mg, 500 mg, suspensi 125 mg/5 ml, sirup 125 ml/5ml, serbuk injeksi 1 g/vail. Penyuntikan
intramuskular tidak dianjurkan oleh karena hirolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat
suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman obat ini dapat menurunkan demam rata- rata 7,2 hari.

Untuk menghindari reaksi Jarisch-Herxheimer pada pengobatan demam tifoid dengan


kloramfenikol, dosisnya adalah sebagai berikut: hari ke 1 : 1g, hari ke 2 : 2 g, hari ke 3: 3 g, hari
kemudian diteruskan 3 g sampai dengan suhu badan normal. Beberapa efek samping yang
mungkin timbul pada pemberian kloramfenikol adalah mual, muntah, mencret, mulut kering,
stomatitis, pruritus ani, penghambatan eritropoiesis, Gray-Syndrom pada bayi baru lahir, anemia
hemolitik, exanthema, urticaria, demam, gatal-gatal, anafilaksis, dan terkadang Syndrom
Stevens-Johnson. Reaksi interaksi kloramfenikol dengan paracetamol akan memperpanjang
waktu paruh plasma dari kloramfenikol. Interaksinya dengan obat sitostatika akan meningkatkan
resiko suatu kerusakan sumsum tulang.
Tiamfenikol memiliki dosis dan keefektifan yang hampir sama dengan kloramfenikol,
akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol untuk orang dewasa adalah 500 mg tiap
8 jam, dan untuk anak 30-50 mg/kg/hari yang dibagi menjadi 4 kali pemberian sehari. Bentuk
yang tersedia di masyarakat berupa kapsul 500 mg. Beberapa efek samping yang mungkin timbul
pada pemberian kloramfenikol adalah mual, muntah, diare, depresi sumsum tulang yang bersifat
reversibel, neuritis optis dan perifer, serta dapat menyebabkan Gray baby sindrom. Interaksi
tiamfenikol dengan rifampisin dan fenobarbiton akan mempercepat metabolisme tiamfenikol.
Dengan tiamfenikol demam pada demam tifoid dapat turun setelah 5-6 hari.
Kotrimoksazol adalah kombinasi dua obat antibiotik, yaitu trimetroprim dan
sulfametoksazol. Kombinasi obat ini juga dikenal sebagai TMP/SMX, dan beredar di masyarakat
dengan beberapa nama merek dagang misalnya Bactrim. Obat ini mempunyai ketersediaan
biologik 100%. Waktu paruh plasmanya 11 jam. Dosis untuk pemberian per oral pada orang
dewasa dan anak adalah trimetroprim 320 mg/hari, sufametoksazol 1600 mg/hari. Pada anak
umur 6 tahun trimetroprim 160 mg/hari, sufametoksazol 800 mg/hari. Pada pemberian intravena
paling baik diberikan secara infus singkat dalam pemberian 8-12 jam. Beberapa efek samping
yang mungkin timbul adalah sakit, thromboplebitis, mual, muntah, sakit perut, mencret, ulserasi
esofagus, leukopenia, thrombopenia, anemia megaloblastik, peninggian kreatinin serum,
eksantema, urtikaria, gatal, demam, dan reaksi hipersensitifitas akibat kandungan Natriumdisulfit
dalam cairan infus. Interaksi kotrimoksazol degan antasida menurunkan resorbsi sulfonamid.
Pada pemberiaan yang bersamaan dengan diuretika thiazid akan meningkatkan insiden

thrombopenia, terutama pada pasien usia tua.


Ampisilin dan amoksisilin memiliki kemampuan untuk menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol. Obat ini mempunyai ketersediaan biologik : 60%. Waktu
paruh plasmanya 1.5 jam (bayi baru lahir: 3,5 jam). Dosis untuk pemberian per oral dalam
lambung yang kosong dibagi dalam pemberian setiap 6-8 jam sekitar 1/2 jam sebelum makan.
Untuk orang dewasa 2-8 g/hari, sedangkan pada anak 100-200 mg/kg/hari. Pada pemberiaan
secara intravena paling baik diberikan dengan infus singkat yang dibagi dalam pemberiaan setiap
6-8 jam. Untuk dewasa 2-8 g/hari, sedangkan pada anak 100- 200 mg/kg/hari. Bentuk yang
tersedia di masyarakat berupa kapsul 250 mg, 500 mg; Kaptab 250 mg, 500 mg; Serbuk Inj.250
mg/vial, 500 mg/vial, 1g/vial, 2 g/vial; Sirup 125 mg/5 ml, 250 mg/5 ml; Tablet 250 mg, 500 mg.
Beberapa efek samping yang mungkin muncul adalah sakit, thrombophlebitis, mencret, mual,
muntah, lambung terasa terbakar, sakit epigastrium, iritasi neuromuskular, halusinasi,
neutropenia toksik, anemia hemolitik, eksantema makula, dan beberapa manifestasi alergi.
Interaksinya dengan allopurinol dapat memudahkan munculnya reaksi alergi pada kulit.
Eliminasi ampisilin diperlambat pada pemberian yang bersamaan dengan urikosuria (misal:
probenezid), diuretik, dan obat dengan asam lemah.
Sefalosporin generasi ketiga (Sefuroksin, Moksalaktan, Sefotaksim, dan Seftizoksim)
yang hingga saat ini masih terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson. Antibiotik ini
sebaiknya hanya digunakan untuk pengobatan infeksi berat atau yang tidak dapat diobati dengan
antimikroba lain, sesuai dengan spektrum antibakterinya. Hal ini disebabkan karena selain
harganya mahal juga memiliki potensi antibakteri yang tinggi Dosis yang dianjurkan adalah
antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama 1/2 jam perinfus sekali sehari,
diberikan selama 3 hingga 5 hari.

b. Metode pemeriksaan Salmonella


Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan

Laboratorium

meliputi

pemeriksaan

hematologi,

urinalis,

kimia

klinik,

imunoreologi, mikrobiologi, dan biologi molekular. Pemeriksaan ini ditujukan untuk membantu
menegakkan diagnosis (adakalanya bahkan menjadi penentu diagnosis), menetapkan prognosis,
memantau perjalanan penyakit dan hasil pengobatan serta timbulnya penyulit.
1. Hematologi
Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit perdarahan usus atau
perforasi.
Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi dapat pula normal atau tinggi.
Hitung jenis leukosit: sering neutropenia dengan limfositosis relatif. LED ( Laju Endap Darah ) :
Meningkat Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia).
2. Urinalis
Protein: bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam)
Leukosit dan eritrosit normal; bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit.
3. Kimia Klinik
Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan sampai hepatitis
Akut.
4. Imunorologi
Pemeriksaan serologi widal
Pemeriksaan serologi widal ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (didalam darah)
terhadap antigen kuman Salmonella typhi / paratyphi(reagen). Uji ini merupakan test kuno yang
masih amat popular dan paling sering diminta terutama di negara dimana penyakit ini endemis
seperti di Indonesia. Sebagai uji cepat (rapitd test) hasilnya dapat segera diketahui. Hasil positif
dinyatakan dengan adanya aglutinasi. Karena itu antibodi jenis ini dikenal sebagai Febrile
agglutinin.
Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil positif palsu atau

negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh faktor-faktor, antara lain pernah
mendapatkan vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi
anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor rheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat
disebabkan oleh karena antara lain penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika, waktu
pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk, dan adanya
penyakit imunologik lain.
Diagnosis Demam Tifoid / Paratifoid dinyatakan bila a/titer O = 1/160 , bahkan mungkin sekali
nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit demam tifoid ini endemis di Indonesia.
Titer O meningkat setelah akhir minggu. Melihat hal-hal di atas maka permintaan tes widal ini
pada penderita yang baru menderita demam beberapa hari kurang tepat. Bila hasil reaktif
(positif) maka kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat itu tetapi dari kontak
sebelumnya.
Pemeriksaan Elisa Salmonella typhi
Pemeriksaan Elisa Salmonella typhi paratyphi lgG dan lgM merupakan uji imunologik
yang lebih baru, yang dianggap lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk
mendeteksi Demam Tifoid/ Paratifoid. Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG
terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi Salmonella typhi. Uji ELISA
yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah
double antibody sandwich ELISA. Sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada
sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang.
TubexRTF
Pemeriksaan Anti Salmonella typhi IgM dengan reagen TubexRTF sebagai solusi
pemeriksaan yang sensitif, spesifik, praktis untuk mendeteksi penyebab demam akibat infeksi
bakteri Salmonella typhi Pemeriksaan Anti Salmonella typhi IgM dengan reagen TubexRTF
dilakukan untuk mendeteksi antibody terhadap antigen lipopolisakarida O9 yang sangat spesifik
terhadap bakteri Salmonella typhi.
5. Mikrobiologi

Diagnosis pasti penyakit demam tifoid yaitu dengan melekukan isolasi bakteri
Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B dan Salmonella paratyphi C
dari spesimen yang berasal dari darah, feses, dan urin penderita demam tifoid. Pengambilan
spesimen darah sebaiknya dilakukan pada minggu pertama timbulnya penyakit, karena
kemungkinan untuk positif mencapai 80-90%, khususnya pada pasien yang belum mendapat
terapi antibiotik. Pada minggu ke-3 kemungkinan untuk positif menjadi 20-25% and minggu ke4 hanya 10-15%.
Uji kultur merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam Typhoid/
paratyphoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk Demam Tifoid/
Paratifoid. Sebalikanya jika hasil negati, belum tentu bukan Demam Tifoid/ Paratifoid, karena
hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah darah
terlalu sedikit kurang dari 2mL), darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah
dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan), saat
pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan
sudah mendapat vaksinasi.
Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk
pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7 hari, bila belum ada pertumbuhan koloni
ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah,
kemudian untuk stadium lanjut/ carrierdigunakan urin dan tinja.
6. Biologi molekular.
PCR (Polymerase Chain Reaction) Metode ini mulai banyak dipergunakan. Pada cara ini di
lakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian diidentifikasi dengan DNA probe yang
spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit
(sensitifitas tinggi) serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula. Spesimen yang digunakan dapat
berupa darah, urin, cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi. Kriteria diagnosis yang biasa
digunakan adalah : 1. Biakan darah positif memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid. 2. Biakan tinja positif menyokong diagnosis klinis
demam tifoid. 3. Peningkatan titer uji widal 4 kali lipat selama 23 minggu memastikan
diagnosis demam tifoid. 4. Reaksi widal tunggal dengan titer antibodi Antigen O 1: 320 atau titer

antigen H 1: 640 menyokong diagnosis demam tifoid pada pasien dengan gambaran klinis yang
khas . 5. Pada beberapa pasien, uji widal tetap negatif pada pemeriksaan ulang walaupun biakan
darah positif.
7. Pemeriksaan IgM dipstik tes
Uji serologis dengan pemeriksaan IgM dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi
antibodi IgM spesifik terhadap antigen lipopolisakarida (LPS) Salmonella typhi dengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella typhi sebagai pita
pendeteksi dan antibodi IgM anti- human immobilized sebagai reagen kontrol. Metode ini
mempunyai sensitifitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji
Widal (35.6%).

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31236/4/Chapter%20II.pdf

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/140/jtptunimus-gdl-sitisaodah-6979-3-babii.pdf
http://eprints.undip.ac.id/8069/1/Henry_Sanrtoso.pdf
http://www.scribd.com/doc/67531643/demam-tifoid
http://www.scribd.com/doc/81989821/Anamnesis-Kasus-Demam-Inetrna
http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK%20No.%20364%20ttg%20Pedoman
%20Pengendalian%20Demam%20Tifoid.pdf

You might also like