You are on page 1of 14

HAMBATAN DALAM SISTEM PEMBANGUNAN PERKOTAAN

Abstrak
. Dalam makalah ini dipaparkan mengenai pembangunan yang berkelanjutan, dimana
terwujudnya pembangunan berkelanjutan merupakan dambaan tiap kawasan atau kota
dalam melaksanakan pembangunannya sebab dengan terwujudnya pembangunan
berkelanjutan berarti telah menjamin kesejahteraan kehidupan untuk generasi sekarang dan
generasi yang akan datang dalam segala dimensi kehidupan. Dengan melihat kondisi seperti
sekarang ini, dimana ketersediaan lahan semakin terbatas maka dibutuhkan para perencana
kota yang dapat mengatasi masalah kompleks perkotaan yang menghambat terwujudnya
pembangunan yang berkelanjutan. Dalam makalah ini juga dibahas mengenai berbagai
macam masalah perkotaan yang menghambat pembangunan yang berkelanjutan yang sangat
terlihat jelas yaitu masalah urbanisasi yang tidak terkendali yang mengakibatkan
meningkatnya angka kemiskinan sehingga mempengaruhi secara langsung kondisi
lingkungan dan kondisi keamanan perkotaan. Sehinnga dibutuhkan keahlian dari perencana
kota yang dapat membuat perencanaan yang disatu pihak dapat memecahkan masalah
urbanisai dan dilain pihak memperkaya fungsi kota dengan menata ruang perkotaan yang
berdaya guna memenuhi segala macam aktivitas perkotaan. Dalam makalah ini juga
terdapat contoh kasus yang meperlihatkan kondisi pembangunan yang tidak berkelanjutan di
Kecamatan Tambora kotamadya Jakarta Barat. Contoh kasus ini menunjukkan tingkat
kemiskinan yang signifikan yang berakibat pada banyaknya muncul permukiman kumuh yang
dapat mengganggu keindahan kota serta mengakibatkan pencemaran lingkungan.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan suatu bangsa hanya dapat dicapai dengan melaksanakan pembangunan di
segala bidang. Pembangunan merupakan proses pengolahan sumber daya alam dan
pendayagunaan sumber daya manusia dengan memanfaatkan teknologi. Dalam pola
pembangunan tersebut, perlu memperhatikan fungsi sumber daya alam dan sumber daya
manusia, agar dapat terus-menerus menunjang kegiatan atau proses pembangunan yang
berkelanjutan. Pengertian pembangunan berkelanjutan itu sendiri adalah perubahan positif
sosial ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi dan sosial dimana masyarakat
bergantung padanya. Keberhasilan penerapannya memerlukan kebijakan, perencanaan dan
proses pembelajaran sosial yang terpadu, viabilitas politiknya tergantung pada dukungan
penuh masyarakat melalui pemerintahannya, kelembagaan sosialnya, dan kegiatan dunia
usahanya. Proses pembangunan terutama bertujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat
baik secara spiritual maupun material. Definisi ini menunjukan bahwa adanya suatu
pembangunan karena suatu kebutuhan, dan masalah. Adanya keinginan untuk memenuhi
kebutuhan tersebut adalah suatu harapan. Sedangkan jika harapan tersebut tidak tercapai
berarti, hal itu adalah masalah. Dengan demikian pembangunan mempunyai hubungan yang
erat dengan masalah. Karena titik tolak pembangunan dimulai dari tindakan mengurangi
masalah tersebut dengan tujuan memenuhi kebutuhan dan meningkatkan untuk mencapai
suatu tingkatan yang layak. Pembangunan yang tidak bertitik tolak dari masalah berarti ada
indikasi kesalahan konsep dan model pembangunan tersebut berorientasi pada penyelesaian
masalah sebagai penyebab akar masalah bukan akar masalahnya. Hal ini menyebabkan
peningkatan laju pembangunan lama untuk mencapai suatu pertumbuhan pembangunan yang
merakyat. Model pembangunan yang merakyat berarti berangkat dari masyarakat.
Pembangunan dalam konteks Negara selalu ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup
dan kesejahteraan masyarakat kearah yang lebih baik yang merata. Pembangunan bukan
hanya berarti penekanan pada akselerasi dan peningkatan pendapatan perkapita sebagai
indeks dari pembangunan saja, akan tetapi pembangunan merupakan suatu proses multi
dimensi yang meliputi pola reorganisasi dan pembaharuan seluruh sistem dan aktifitas
ekonomi dan sosial dalam mensejahterakan kehidupan warga masyarakat.
Bagi manusia, pembangunan tidak hanya dalam konteks pemenuhan kebutuhan yang
berkaitan dengan aspek sosial ekonomi tetapi juga haruslah melihat aspek keadilan terhadap
lingkungan. Lingkungan bagi ummat manusia adalah salah satu modal dasar dalam

pembangunan. Lingkungan sehat, bersih, lestari, secara tidak langsung akan mempengaruhi
keberlanjutan produktifitas manusia di masa yang akan datang. Artinya, dalam konteks
tersebut selain keberlanjutan dari sisi ekonomi dan sosial, maka diperlukan juga
keberlanjutan pada sisi ekologis.
Sinergi tiga aspek tersebut yaitu, ekonomi, sosial dan budaya didalam pembangunan
disebut dengan Pembangunan Berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah satu cara
pandang mengenai kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam kerangka
peningkatan kesejahteraan, kualitas kehidupan dan lingkungan umat manusia tanpa
mengurangi akses dan kesempatan kepada generasi yang akan datang untuk menikmati dan
memafaatkannya.
Menurut Brundtland Report dari PBB 1987, pembangunan berkelanjutan adalah
proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dan sebagainya) yang berprinsip
memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa
depan. Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris,sustainable
development. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan
kebutuhan pembangunanekonomi dan keadilan sosial.
Ada dua makna gagasan yang terkandung didalam cara pandang pembangunan
berkelanjutan yaitu : gagasan kebutuhan, yaitu kebutuhan esensial untuk memberlanjutkan
kehidupan manusia dan gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan
oerganiasi social terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari
depan.
Pembangunan
berkelanjutan
juga
mensyaratkan
adanya
pemeliharaan
keanekaragaman. Pemeliharaan keanekaragaman hayati untuk memastikan bahwa sumber
daya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa datang. Yang tak
kalah pentingnya adalah pengakuan dan perawatan keanekaragaman budaya yang akan
mendorong perlakuan yang merata terhadap tradisi berbagai masyarakat dapat lebih
dimengerti oleh masyarakat.
Namun, tentunya masih saja ada hambatan dalam mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan itu sendiri. Hambatan dalam pembangunan perkotaan berkelanjutan
diantaranya diantaranya masalah internal dan eksternal perkotaan. Dalam
pembahasan/makalah ini dibahas mengenai hambatan dalam pembangunan berkelanjutan
khususnya masalah internal perkotaan sebagai sistemnya dan sebagai subsistemnya dibatasi

pada pada 3 masalah yaitu masalah kemiskinan di perkotaan, masalah kualitas lingkungan
hidup perkotaan dan masalah keamanan dan ketertiban kota.
B. Rumusan Masalah
Dari pembahasan diatas, maka yang menjadi rumusan masalah pada penulisan
makalah ini adalah :
1. Apa yang menjadi masalah internal perkotaan.
2 . Bagaimana masalah kemiskinan di perkotaan.
3. Bagaimana masalah kualitas lingkungan hidup perkotaan.
4. Bagaimana masalah keamanan dan ketertiban kota.
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengidentifikasi masalah internal perkotaan
2. Untuk mengidentifikasi kemiskinan di perkotaan
3. Untuk mengidentifikasi kualitas lingkungan hidup perkotaan
4. Untuk mengidentifikasi keamanan dan ketertiban kota
1. Kegunaan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.
2.
3.
4.

Untuk mengetahui masalah internal perkotaan.


Untuk mengetahui kemiskinan di perkotaan.
Untuk mengetahui kualitas lingkungan hidup perkotaan.
Untuk mengetahui keamanan dan ketertiban kota.

BAB II
PEMBAHASAN
Permasalahan pembangunan berkelanjutan sekarang telah merupakan komitmen
setiap orang, sadar atau tidak sadar, yang bergelut di bidang pembangunan. Permasalahan
pembangunan berkelanjutan juga tak dapat diabaikan dalam perkembangan berbagai ilmu
pengetahuan dan tekonologi, termasuk ilmu perencanaan kota. Perencanaan kota bertujuan
menyelesaikan atau mengatasi permasalahan kota melalui penyediaan ruang untuk semua
kegiatan masyarakat yang kompleks, baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.
Ini berarti tujuan kegiatan perencanaan kota, yang menghasilkan kebijakan rencana kota,
yaitu kebijakan yang menjadi pedoman utama pembangunan kota, adalah untuk mencapai
proses pembangunan yang berkelanjutan.
Konsep pembangunan berkelanjutan diperkenalkan sebagai hasil debat antara
pendukung pembangunan dan pendukung lingkungan. Konsep pembangunan yang
berkelanjutan ini terus berkembang. Pada tahun 1987, Edward B. Barbier mengusulkan
bahwa pembangunan berkelanjutan harus dilihat sebagai interaksi antara tiga system : sistem
biologis dan sumber daya, sistem ekonomi dan sistem sosial. Selain itu, dalam menjelaskan
konsep pembangunan berkelanjutan ini, Budimanta membandingkan perkembangan kota
Jakarta dengan kota-kota lain di Asia, yaitu Bangkok, Singapura, Tokyo yang memiliki
kualitas pembangunan yang berkelanjutan yaitu cara berpikir yang integrative, perspektif
jangka panjang mempertimbangkan keanekaragaman dan distribusi keadilan social ekonomi.
(Arif Budimanta Dalam Bunga Rampai, 2005: 375-377)
Beberapa pemikir dibidang perencanaan dan perancangan kota, serta lingkungan
buatan di perkotaan, berpendapat bahwa untuk mencapai proses pembangunan berkelanjutan,
perlu perencanaan dan perancangan yang bersifat ekologis dan berlandaskan etika nonantroposentris. Etika lingkungan non-antroposentris memandang manusia sebagai anggota
komunitas hidup di dunia, seperti juga mahluk hidup lainnya, seperti juga semua mahluk
hidup lainnya. Sejak paruh abad ke-20, berkembang etika lingkungan non-antroposentris
sebagai salah satu akibat terjadinya krisis-krisis lingkungan. Etika lingkungan nonantroposentris itu terbagi atas beberapa aliran, seperti biosentris, bioregionalisme,
ekofeminisme dan sebagainya
Proses pembangunan berkelanjutan di perkotaan dapat diketahui dengan melakukan
evaluasi terhadap kondisi kawasan-kawasan di kota tersebut, proses-proses yang terjadi di
dalam masyarakat dan antara masyarakat dan lingkungannya. Evaluasi itu dapat dilakukan
dengan beberapa cara. Salah satu cara adalah evaluasi berdasarkan kriteria pembangunan

berkelanjutan. kriteria pembangunan berkelanjutan di perkotaan dirumuskan berdasarkan


pemikiran-pemikiran yang berkembang seperti diuraikan diatas, dan pemahaman bahwa
kemiskinan dan kerusakan lingkungan adalah ancaman utama pembangunan berkelanjutan.
Kemiskinan serta kerusakan lingkungan hidup merupakan ancaman utama bagi proses
pembangunan berkelanjutan dengan melihat tujuan dari pembangunan berkelanjutan yaitu
mencapai masyarakat sejahtera (masyarakat berkelanjutan) dalam lingkungan hidup yang
berkelanjutan. (Madrim Djody Gondokusumo dalam Bunga Rampai, 2005: 405)
Berikut dibahas mengenai tiga sub sistem masalah internal perkotaan yang merupakan
hambatan dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan yaitu masalah kemiskinan di
perkotaan, masalah kualitas lingkungan hidup perkotaan dan masalah keamanan dan
ketertiban perkotaan.
A. Masalah Kemiskinan di Perkotaan
Kemiskinan merupakan salah satu contoh ketidakadilan yang dialami suatu kelompok
(masyarakat pra sejahtera), dan terdapat di mana-mana, baik di Negara maju maupun di
Negara-negara yang sedang berkembang. Ketidakadilan itu terlihat dari tidak terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan mereka untuk bertahan hidup dalam kesehatan yang baik, sulitnya
mendapat akses ke pelayanan publik (sanitasi sehat, air bersih, pengelolaan sampah ) rumah
sehat, RTH, pelayanan pendidikan dan sebagainya. Ketidakadilan juga terlihat dari tidak
adanya akses kepemilikan hak atas tanah yang mereka huni. Sebagai akibat itu semua, sulit
bagi mereka untuk mendapat akses ke pekerjaan yang baik dan stabil. Ketidakadilan itu
menyebabkan masyarakat miskin tetap miskin dan mengancam proses pembangunan yang
berkelanjutan. Kerusakan lingkungan, kondisi permukiman buruk atau kumuh dalam suatu
kawasan memperlihatkan bahwa kawasan tersebut sedang dalam proses tidak berkelanjutan.
(Madrim Djody Gondokusumo dalam Bunga Rampai, 2005: 410)
Saat ini masalah kemiskinan perkotaan merupakan masalah mendesak yang banyak
dihadapi kota-kota di Indonesia. Yang paling mudah dan terlihat jelas dari wajah kemiskinan
perkotaan ini adalah kondisi jutaan penduduk yang tinggal di permukiman kumuh dan liar.
Kondisi kekumuhan ini menunjukkan seriusnya permasalahan sosial ekonomi, poltik, dan
lingkungan yang bermuara pada kondisi kemiskinan. Pengertian kemiskinan sendiri
bermakna multi-dimensi dari mulai rendahnya pendapatan, kekurangan gizi dan nutrisi, tidak
layaknya tempat tinggal, ketidakamanan, kurangnya penghargaan social, dan lain-lain.
Masalah lain yaitu, adanya urbanisasi. Urbanisasi hampir terjadi dimanapun diseluruh
dunia disebabkan oleh perkembangan ekonomi dan daya tarik perkotaan yang kadang
menjebak bagi mereka yang tidak mampu bersaing sehingga menjadi terpinggirkan. Di

Indonesia perkembangan ini cepat sekali sejak tahun 70-an, sebelum itu urbanisasi juga sudah
berjalan tapi lebih lambat dan terbatas. Daya tarik kota sebagai pusat mata pencaharian yang
membengkak ini sering dibarengi dan diperbesar oleh kemunduran ekonomi diluar kota.
menyebabkan mereka para pendatang yang tidak memiliki keterampilan dan kemampuan
untuk bersaing di perkotaan memaksa mereka untuk terpinggirkan sehingga menjadi warga
miskin di perkotaan, sebagai pengangguran.(Soefaat, 1999: 43)
Krisis ekonomi meningkatkan angka kemiskinan absolut di daerah perkotaan.
Penduduk perkotaan yang berada di bawah garis kemiskinan meningkat secara signifikan
sejak terjadinya krisis ekonomi yang terjadi pada awal tahun 1997. Sebenarnya pemerintah
telah berusaha untuk mengentaskan atau mengurangi kemiskinan dengan berbagai
programnya. Namun demikian, tampaknya dalam kurun waktu 10-15 tahun mendatang ini,
kemiskinan masih tetap merupakan masalah penting sehingga perlu ditangani secara
bersama-sama terutama dikawasan perkotaan. (Gita Chandrika Dalam Bunga Rampai, 2005 :
7). Selain itu, dibutuhkan kebijakan yang tegas dari pemerintah Indonesia dalam melihat
masalah ini. Dalam kondisi seperti ini kita dapat belajar pada Negara tetangga kita Malaysia,
dalam menetapkan strategi jangka pendeknya. Deputi perdana menteri Malaysia, Datuk
Anwar Ibrahim, telah menginstruksikan kepada Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian
untuk menghentikan import sayur-sayuran dan buah-buahan. Bersamaan dengan itu, beliau
menginstruksikan agar masyarakat mau memberdayakan sumber daya lahan yang tersedia
untuk menanam sayur-sayuran, paling tidak untuk mencukupi kebutuhan sendiri. Upaya
praktis ini tentu saja tidak dapat secara makro memperbaiki kondisi ekonomi kita, namun
paling tidak sejumlah devisa dapat dihemat dan lapangan kerja pertanian dapat digairahkan
kembali. Apalagi, seringnya nilai tukar rupiah merosot terhadap nila dollar AS menimbulkan
kenaikan harga berbagai jenis barang, termasuk harga-harga kebutuhan pokok yang
dampaknya menyentuh segenap lapisan masyarakat. Pada dasarnya hal ini tidak akan terjadi
apabila semua kebutuhan pokok tersebut dapat dicukupi oleh kita sendiri. Sebenarnya bukan
hal yang tidak mungkin melakukannya, mengingat bangsa Indonesia merupakan Negara yang
kaya akan sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati. Hanya saja hingga ssat ini
pengelolaan sumberdaya tersebut belum optimal. Kebutuhan bahan pokok sebenarnya
mampu kita penuhi, mengingat produk-produk bahan pokok tersebut berasal atau bersumber
dari sumber daya hayati. Kebutuhan masyarakat, baik pangan, sandang, maupun papan,
semuanya merupakan produk olahan yang menggunakan bahan dasar sumber daya hayati.
Kekayaan keanekaragaman hayati yang kita miliki hingga saat ini belum
dimnafaatkan secara optimal. Seharusnya dengan kekayaan hayati tersebut, kebutuhan kita
akan barang-barang, khususnya yang berdasar sumber daya hayati, dapat kita penuhi sendiri.
Swasembada bahan pokok seharusnya dapat kita lakukan. Swasembada bahan pangan yang
kita lakukan masih mengalami hambatan sebab meskipun Negara kita hidup dalam pola

agraris, tetapi ketergantungan terhadap agro-industri, baik hulu maupun hilir dapat
dilepaskan.
Sebagai contoh, dalam pengadaan beras, melalui pancausaha tani pemerintah
mengharuskan petani menggunakan varietas benih unggul padi, yang awalnya yang diperoleh
dari IRRI (Iinternasional Rice Research Institut). Padahal, seperti kita ketahui pada jenis
tersebut tidak dapat tumbuh tanpa dipupuk dan diberi pestisida. Hal tersebut mengakibatkan
petani sangat tergantung pada indutri pupuk dan pestisida, padahal tidak ada satu pun industri
yang bahan bakunya tidak tergantung impor. Sehingga begitu dollar AS naik, harganya pun
ikut naik, dan dampak sampai kepada sektor pertanian. Yang menjadi kunci permasalahan
adalah mengapa pasokan hulu dan hilir tidak dikembangkan secara mandiri di tingkat lokal
dan nasional.
Ketergantungan petani terhadap bibit tersebut menyebabkan petani tidak menjadi
orang bebas. Oleh karena itu, untuk kembali memperdayakan petani, maka kekuasaan atas
bibit harus dikembalikan kepada mereka. Mereka diberikan peluang untuk membudidayakan
bibit-bibit lokal yang sudah ada. Bila hal ini dilakukan, ketergantungan petani dari jaringan
internasional industri bibit akan hilang dan memunculkan kekuatan lokal.
Krisis ekonomi yang menyebabkan naiknya harga kebutuhan bahan pokok telah
menimbulkan berbagai kerusuhan. Kerusuhan ini bahkan telah menembus sampai kawasan
pedesaan atau kawasan pinggiran kota. Hal ini disebabkan desa telah kehilangan daya tahan
menghadapi krisis. Kultur agraris yang menjadi basis pertahanan ekonomi desa telah hilang
maupun ditinggalkan, diganti dengan pola modern yang tergantung pada industri. Sementara
industri yang diharapkan mampu menopang sektor pertanian, kondisinya sangat rentang dan
keropos, karena ketergantungannya pada bahan baku impor.
Kebijakan tegas untuk meninggalkan kultur agraris, karena ada pandangan bahwa
pola pertanian yang ada selama ini tidak memberikan nilai tambah, sangatlah naif. Nilai
tambah yang dimaksud dalam konteks tersebut adalah yang bisa memberikan konstribusi
devisa, bukan dalam pengertian mampu memberikan daya hidup pada komunitas desa.
Bahkan kecenderungannya adalah mengubah kawasan pedesaan yang mampu mandiri
berbasis pertanian keanekaragaman hayati, sebagai ajang konversi, menjadi kawasan industri
dan kawasan permukiman perkotaan.
Ketahanan kita akan kebutuhan bahan pokok sangatlah kurang, karena investasi yang
ada selama ini bukan untuk pembangunan industri yang berbasis sumber daya alam hayati
(agroindustry). Tempe, yang merupakan makanan Indonesia sejak dahulu kala, ternyata kita
belum mampu menjadi produsen bahan baku kedelainya hingga kini. Kedelai hingga kini

masih harus diimpor. Semuanya itu disebabkan kita belum pernah mengadakan penelitian
bioteknologi, yang dapat mendukung pola agraris yang kita miliki agar efisien. Penelitian
yang ada selama ini bukan membumi, tetapi menuju ke langit. Untuk itu, dalam rangka
peningkatan ketahanan akan kebutuhan bahan pokok, diperlukan upaya pembangunan daerah
yang berbasis keanekaragaman hayati setempat.(Sugandi, 2007: 46-50)
Penelitian penelitian terbaru menunjukkan bahwa kemiskinan tidaklah statis. Orang
miskin bukanlah orang yang pasif. Ia adalah manajer seperangkat asset yang ada di seputar
diri dan lingkungannya. Keadaan ini terjadi pada orang yang miskin yang hidup di Negara
yang tidak menerapkan sistem Negara kesejahteraan (welfare state). Sistem yang dapat
melindungi warganya menghadapi kondisi-kondisi yang memburuk yang mampu ditangani
oleh dirinya sendiri. Kelangsungan hidup individu dalam situasi seringkali tergantung pada
keluarga yang secara bersama-sama dengan jaringan sosial membantu para anggotanya
dengan pemberian bantuan keuangan, tempat tinggal dan bantuan-bantuan mendesak lainnya.
Pendekatan kemiskinan yang berkembang selama ini perlu dilengkapi dengan konsep
keberfungsian sosial yang lebih bermatra demorasi-sosial ketimbang neoliberalisme. Rebounding atau pelurusan kembali makna keberfungsian sosial ini akan lebih
memperjelas analisis mengenai bagaimana orang miskin mengatasi kemiskinannya, serta
bagaimana struktur rumah tangga, keluarga kekerabatan, dan jaringan sosial mempengaruhi
kehidupan orang miskin. Paradigma baru lebih menekankan pada apa yang dimiliki si
miskin ketimbang apa yang tidak dimiliki si miskin . (Suharto, 2005 : 148)
Pada akhirnya kebijakan pengurangan kemiskinan yang selama ini yaitu
pendekatan top-down dalam perencanaan kebijakan yang sekarang dilakukan, yaitu
pemerintah dan para pakar menganggap dirinya yang paling mengetahui tentang prosesproses yang terjadi dimasyarakat, perlu diganti dengan pendekatan bottom-up, yaitu
melibatkan partisipasi masyarakat melalui dialog-dialog yang demokratis, menghargai
perbedaan-perbedaan, keadilan dan kesetaraan jender. Ilmu pengetahuan modern
antroposentris sebagai dasar perencanaan kebijakan publik untuk mengelola kehidupan
masyarakat dan lingkungan perlu diganti dengan ilmu pengetahuan yang bersifat nonantroposentris, menghargai etika dan nilai-nilai yang ada di masyarakat dan di lingkungan
alam. (Madrim Djody Gondokusumo Dalam Bunga Rampai, 2005 : 418)
B. Masalah Kualitas Lingkungan Hidup Perkotaan
Pembangunan pada hakikatnya adalah perubahan lingkungan, yaitu mengurangi
resiko lingkungan atau dan memperbesar manfaat lingkungan. Sejak berabad tahun yang lalu
nenek moyang kita telah merubah hutan menjadi daerah pemukiman dan pertanian.

Perubahan hutan menjadi sawah merupakan usaha untuk memanfaatkan lahan untuk
produksi bahan makanan dibawah kondisi curah hujan yang tinggi dan juga untuk
mengurangi resiko erosi di daerah pegunungan. Hingga sekarang pencetakan sawah masih
berjalan terus. Dengan perubahan hutan atau tata guna lahan lain menjadi sawah berubahlah
pula keseimbangan lingkungan.
Jadi jelaslah keserasian bukanlah suatu hal yang kekal, melainkan berubah-ubah
menurut umur orang atau golongan, tempat dan waktu. Karena itu melestarikan keserasian
bertentangan dengan hakekat hidup yang menginginkan perubahan. Melestarikan keserasian
akan berarti meniadakan kebutuhan dasar untuk dapat memilih. Karena itu akan berarti
menurunkan mutu lingkungan dan dengan itu mutu hidup.
Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan pada hakekatnya tidak bisa
dilepaskan dari pembangunan manusia itu sendiri. Manusia merupakan subjek sekaligus
objek pembangunan. Manusia berada pada posisi sentral sahingga pelaksanaan pembangunan
dan hasil-hasilya tidak boleh mengabaikan dimensi manusianya. Untuk dapat melakukan hal
tersebut, diperlukan pendekatan pembangunan yang menitikberatkan pada segi manusia.
Pembangunan dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup manusia. Di lain
pihak, pembangunan yang makin meningkat akan memberikan dampak negatif, berupa resiko
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, yang mengakibatkan rusaknya struktur dan
fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan. Kerusakan ini pada akhirnya
akan menjadi beban yang malah menurunkan mutu hidup manusia, sehingga apa yang
menjadi tujuan pembangunan akan sia-sia.
Terpeliharanya keberlanjutan fungsi lingkungan hidup merupakan kepentingan
manusia, sehingga menuntut tanggung jawab dan perannya untuk memelihara dan
meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Keberlanjutan
pembangunan harus memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya alam, sumber
daya manusia, serta pengembangan sumber daya buatan, dan menjadi sarana untuk mencapai
keberlanjutan pembangunan, serta menjadi jaminan bagi kesejahteraan serta mutu hidup
generasi masa kini dan generasi mendatang.
Permasalahan ketersediaan tanah di perkotaan sebagai lahan hijau sangat terbatas.
Selain harga tanah yang mahal, juga kurangnya penghargaan bagi pemilik tanah terlantar
untuk dimanfaatkan sebagai lahan terbuka hijau. Penggunaan ruang terbuka hijau mulanya
diawali dengan tumbuhnya perumahan liar yang semakin luas dan sulit dikendalikan, yang
selanjutnya menimbulkan terbentuknya kawasan kumuh. Apalagi para penghuni tersebut
dikenakan pajak tidak resmi sehingga mereka merasakan seolah mendapatkan legalitas untuk
tinggal di tempat tersebut. Begitu juga, disisi lain factor urbanisasi, khususnya golongan

berpendapat rendah dan kurangnya tingkat pendidikan, mendorong mereka untuk menduduki
lahan ruang terbuka hijau. Seperti pemanfaatan tepian tepian bantaran sungai dan tepian jalur
kereta api sebagai tempat tinggal. (Soemarwoto, 1983 : 60-61)
Secara sistem, ruang terbuka hijau kota pada dasarnya adalah bagian dari kota yang
tidak terbangun, yang berfungsi menunjang kenyamanan, kesejahteraan, penigkatan kualitas
lingkungan, dan pelestarian alam, umumnya terdiri dari ruang pergerakan linear atau koridor
dan ruang pulau atau oasis (Spreigen 1965). Perencanaan ruang terbuka hijau secara tepat
mampu mampu berperan dalam menigkatkan kualitas atmosfer kota, penyegaran udara,
menurunkan suhu kota, menyapu debu permukaan kota, menurunkan kadar polusi udara dan
meredam kebisingan. Penelitian Embleton (1963) menyatakan bahwa 1 hektar ruang terbuka
hijau dapat meredam suara pada 7 db per 30 meter jarak dari sumber suara pada frekuensi
kurang dari 1000 CPS , atau penelitian Carpenter (1975) dapat meredam kebisingan 25-80 %.
Kualitas udara bersih merupakan factor luar yang sangat berpengaruh. Karena itu, keberadaan
ruang terbuka hijau kota merupakan eksternalitas ekonomis, bukan disekonomis. Artinya,
ruang terbuka hijau akan menyebabkan seseorang atau beberapa individu menjadi lebih sehat
dan baik. Dengan demikian, ada kemauan untuk menerima ruang terbuka hijau dari
peningkatan aktivitas lain yang menguntungkan. Oleh karena itu, perencanaan ruang terbuka
hijau kota merupakan manfaat sosial yang terdiri dari surplus konsumen sekaligus juga
merupakan surplus produsen, sehingga umumnya kesejahteraan (kesehatan) penduduk kota
meningkat akibat lingkungan yang sehat.
Pelaku-pelaku yang terlibat dalam pengelolaan ruang terbuka hijau kota terdiri atas
sebagai berikut :
a. Pemerintah
Kewajiban pemerintah kota, dalam hal ini instansi/lembaga dinas pertamanan, dan
dinas kehutanan adalah mengadakan dan menyelenggrakan pembangunan secara adil untuk
meningkatkan kehidupan masyarakat kota, termasuk di dalamnya bidang keamanan,
kenyaman, dan keserasian. Apabila hal ini dikaitkan dengan jenis ruang terbuka hijau yang
ada maka ruang terbuka hijau yang harus disediakan oleh pemerintah adalah ruang terbuka
hijau koridor yang meliputi: jalur hijau kota dan jalur hijau jalan; ruang terbuka hijau
produktif yang meliputi kawasan pertanian kota, perairan/tambak; ruang terbuka hijau
konservasi yang meliputi kawasan cagar alam dan hutan kota; ruang terbuka hijau lingkungan
yang meliputi kawasan taman lingkungan dan bangunan, serta permakaman, perkantoran dan
kebun binatang

b. Swasta
Peranan swasta sebagai pelaku ekonomi kota, yang bergerak di sektor formal maupun
informal, tidak secara mutlak berkewajiban untuk melaksanakan pengadaan ruang terbuka
hijau kota. Melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu serta pengkajian dari sudut pandang
swasta, dapat disediakan ruang terbuka hijau yag memungkinkan untuk dikelolah oleh
swasta, yaitu ruang terbuka hijau untuk keindahan/estetika; ruang terbuka hijau untuk
rekreasi; ruang terbuka hijau lainnya yang dapat dikomersialkan.
c. Masyarakat Kota
Peran serta masyarakat, baik secrara individual maupun kelembagaan terhadap ruang
terbuka hijau lebih terbatas pada pemanfaatan dan pemeliharaan. Dari segi perencanaan
maupun pengadaannya, peran serta masyarakat sangat kecil sekali. Hal ini disebabkan
keberadaan ruang hijau kota biasanya terbentuk oleh adanya tanah kosong yang belum/tidak
dimanfaatkan. Kelangsungan keberadaannya tidak dapat dijamin, sehubungan dengan sifat
penguasaan tanahnya yang lebih banyak bersifat individu (bukan tanah negara).
d. Media Massa
Media massa, baik media elektronik maupun media cetak, ikut berperan sebagai
pelaku dalam pengelolaan ruang terbuka hijau, khususnya dalam menciptakan opini publik
terhadap pentingnya keberadaan ruang terbuka hijau di perkotaan. Disamping hal tersebut,
fungsi media massa juga bermanfaat untuk ikut mengawasi perkembangan ruang terbuka
hijau. (Sugandy, 2007 : 103-105 )
Indonesia sudah mulai menyadari bahwa untuk mencapai masyarakat perkotaan
masyarakat kehidupan perkotaan yang sejahtera, kualitas lingkungan hidupnya harus baik,
karena akan beperngaruh pada kualitas hidupnya (Quality Of Life).
Masalah yang terkait dengan kualitas lingkungan hidup dan pada akhirnya kualitas
hidup masyarakat kota, meliputi aspek fisik seperti kualitas udara, air, tanah; kondisi
lingkungan perumahannya seperti kekumuhan, kepadatan yang tinggi, lokasi yang tidak
memadai serta kulaitas dan keselamatan bangunannya; aketersediaan saran dan prasarana
serta pelayanan kota lainnya; aspek sosial budaya dan ekonomi seperti kesenjangan dan
ketimpangan kondisi antar golongan atau antar warga, tidak tersedianya wahana atau tempat
untuk menyalurkan kebutuhan-kebutuhan sosial budaya, seperti untuk berinteraksi dan
mengejawantahkan aspirasi-aspirasi sosial budayanya; serta jaminan perlindungan hukum
dan keamanan dalam melaksanakan kehidupannya. Kohesi sosial dan kesetaraan (Equity)
merupakan faktor penting dalam kualitas hidup di perkotaan.

Kekumuhan kota disebabkan karena sumber daya yang ada di kota tidak mampu
melayani kebutuhan penduduk kota. Kekumuhan kota bersumber dari kemiskinan kota yang
desebabkan karena kemiskinan warganya dan ketidakmampuan pemerintah kota dalam
memberikan pelayanan yang memadai kepada warga masyarakatnya. Kemiskinan warga
disebabkan karena tidak memiliki akses kepada mata pencaharian yang memadai untuk hidup
layak, serta akses pada modal dan informasi yang terbatas. Kemiskinan ini akan berdampak
pada kemampuan warga untuk membayar pajak yang diperlukan untuk membangun fasilitas
dan infrastruktur di kawasannya.
Permasalahan utama prasarana dan sarana perkotaan (PSP) termasuk perumahan
adalah tidak memadainya suplay dibandingkan dengan kebutuhan. Hal ini menyebabkan
terbatasnya kesempatan masyarakat untuk mendapatkan pelayan PSP yang layak. Akibat dari
keterbatasan suplay dibandingkan dengan kebutuhan, maka masyarakat yang berpenghasilan
rendah justru harus membayar harga mahal untuk memperoleh pelayanan PSP tersebut.
Berkaitan dengan perumahannya, mereka terpaksa menggunakan lahan-lahan secara liar
dengan kualitas perumahan yang jauh dibawah standar. (Gita Chandrika Napitupulu dalam
Bunga rampai, 2005 : 7-8 )
C. Masalah Keamanan dan Ketertiban Perkotaan
Beberapa teror bom yang terjadi di beberapa kota di Indonesia akhir-akhir ini, seperti
di Bali, Jakarta dan lain-lain telah menimbulkan keresahan bagi masyarakat perkotaan dan
mengganggu jalannya perekonomian kota. Selain itu, beberapa kota di Indonesia juga
mengalami penurunan kualitas kehidupan dengan banyaknya terjadi kerusuhan yang
disebabkan oleh konflik antar kelompok masyarakat, seperti di Poso, Palu, Ambon, Banda
Aceh dan sebagainya.
Permasalahan ini diperberat dengan masalah ketertiban di perkotaan Karena tidak
disiplinnya masyarakat perkotaan. Hal ini tercermin dengan jelas antara lain dalam disiplin
berlalu lintas. Saat ini juga semakin sering terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh
masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah,
terutama di kota-kota besar. Hal ini dapat terjadi karena berbagai hal seperti tidak adanya
sosialisasi dari pemerintah, kurangnya pelibatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan,
kurangnya pemahaman akan hak-hak dan tanggung jawab masyarakat dalam pembangunan
kota dan lain sebagainya. Semua hal tersebut diatas sangat berpengaruh pada kinerja
kotanya.( Gita Chandrika Napitupulu dalam Bunga rampai, 2005 : 9-10)
Kemampuan untuk membuat perencanaan yang di satu pihak memecahkan masalah
urbanisasi dan dilain pihak memperkaya fungsi kota merupakan keahlian yang sangat

diharapkan dari para perencana kota pada masa akan datang. Setiap kota, selain berusaha
untuk meningkatkan fungsi-fungsi perkotaan yang bersifat standar, sebaiknya juga
mengembangkan fungsi-fungsi khusus yang kompetitif secara global. Tetapi kedua hal di atas
hanyalah suatu strategi umum dalam menyiasati permasalahan pengembangan kota, dan
sebenarnya baru bisa terlaksana bila beberapa permaslahan pokok dari kota-kota di Indonesia
telah diperbaiki secara substansial. (Santoso, 2006 : 61)
D. Contoh Kasus
Contoh dari hambatan pembangunan yang berkelanjutan akibat kemiskinan dan
kerusakan lingkungan hidup, yaitu yang terjadi di Kecamatan Tambora, kotamadya Jakarta
Barat (melalui penelitian yang dilakukan pada tahun 2002-2003). Kecamatan Tambora adalah
kecamatan yang berkepadatan penduduk tertinggi di DKI Jakarta, yaitu lebih dari 500 orang
per hektar, memiliki permukiman kumuh atau buruk yang sangat luas dan kemiskinan yang
sangat signifikan. Evaluasi yang dilakukan berdasarkan Perhitungan kriteria pembangunan
yang berkelanjutan di perkotaan (3 PRO) terhadap kecamatan itu memperlihatkan bahwa
proses tidak berkelanjutan sedang berlangsung. Hal itu tentunya juga mengancam subsistemsubsistem lain dalam system kota Jakarta, karena komponen-komponen pembentukan yang
membentuk jaringan, subsistem Kecamatan Tambora tersebut diatas, dapat dikelompokkan
dalam tiga dimensi yang saling berinteraksi terus menerus, yaitu dimensi social ekonomi dan
lingkungan.
Kerusakan lingkungan, yang merupakan faktor ekologis sebuah kota, dalam kasus
Kecamatan Tambora, dapat dilihat pada kondisi air, tanah, dan udara yang telah tercemar.
Pencemaran itu disebabkan oleh berbagai sumber didalam dan luar Kota Jakarta, serta
sebagai akibat tidak berfungsinya pengelolaan sampah dan limbah cair kota. Tumpukan
sampah di TPS juga merupakan sumber berkembangnya vektor-vektor penyakit, seperti
kecoa, lalat, nyamuk, tikus, dll.
Kondisi lingkungan pemukiman buruk atau kumuh seperti diuraikan diatas
memperlihatkan bahwa kawasan itu sedang dalam proses yang tidak berkelanjutan.
Kemiskinan dan fungsi-fungsi lingkungan hidup yang telah hilang atau rusak, tercemar, itu
merupakan ancaman terhadap proses pembangunan berkelanjutan. Ancaman itu tidak hanya
terjadi di dalam kawasan atau subsistem Kecamatan Tambora saja, tetapi juga akan
mempengaruhi subsistem-subsistem lain yang membentuk kota Jakarta.

You might also like