You are on page 1of 8

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Parvo merupakan salah satu penyakit yang dapat mematikan jika menginfeksi
anjing muda. Penyakit ini disebabkan oleh Canine Parvovirus dari family
Parvoviridae yang memiliki dua subfamili yaitu Parvovirinae dan Densovirinae.
Virus ini merupakan virus DNA rantai tunggal berukuran kecil dan tidak memiliki
amplop (Decaro dan Buonavoglia 2012; Lin et al. 2014) Parvovirus dapat
menginfeksi vertebrata dan serangga., Parvovirus yang menyerang vertebrata
khususnya anjing adalah Parvovirus tipe-2 (CPV-2). Wabah Canine Parvovirus tipe-2
(CPV-2) pertama kali terjadi pada akhir tahun 1970-an, dan wabah terebut menyebar
ke anjing dan peternakan anjing di seluruh dunia (Decaro 2012). Virus ini diduga
merupakan mutasi dari virus feline parvovirus (FPV) atau virus Mink Enteritis
(MEV). Pada pertengahan tahun 1980an, CPV-2 digantikan oleh varian baru yaitu
CPV-2a dan CPV-2b yang pada saat ini banyak ditemukan pada anjing. Perbedaan
varian CPV-2a dan CPV-2b terletak pada susunan asam amino pada posisi 426 di
protein VP2.
Canine parvovirus sering menginfeksi pada anjing muda, dikarenakan anjing
muda hanya mengadalkan maternal antibodi yang tidak mencukupi untuk melawan
infeksi parvovirus (Seandow 2003), dan CPV-2 merupakan virus yang berkembang
biak pada sel yang aktif mengalami pembelahan. Hal ini menunjukkan bahwa
predisposisi parvovirus lebih banyak terjadi pada hewan muda dibandingkan hewan
yang umurnya tua, walaupun tidak menutup kemungkinan hewan tua juga bisa
terkena, namun dengan gejala klinis yang tidak terlalu parah. Anjing dewasa yang
berada di luar rumah juga memungkinkan untuk membentuk imunitas dengan
paparan konstan dari lingkungan (Crowford 2010).
Infeksi Canine parvovirus dapat menyebar melalui kontak langsung dengan
anjing yang terinfeksi, dan tidak langsung melalui feses, urin, dan saliva (Afshar
1981). Gejala klinis yang timbul dari infeksi parvovirus pada masa inkubasi 3-7 hari
adalah anoreksia, depresi, muntah, diare berlendir atau berdarah, dehidrasi, demam,

dan imunitas yang menurun. Pada pemeriksaan lab darah juga ditemukan leukopenia
konstan (Nicola and Canio 2012)
.
Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah mengenai parvo pada anjing adalah untuk
memperdalam pengetahuan mahasiswa PPDH mengenai gejala klinis,mekanisme
penularan, mendalami patogenesa,dan mengetahui terapi apa yang harus digunakan
jika kelak menemukan kasus ini di lapangan.

PEMBAHASAN

Canine Parvovirus
Parvovirus merupakan virus DNA rantai tunggal berukuran kecil dan tidak
berkapsul. Parvo berasal dari bahasa latin yaitu parvus yang berarti kecil. Rata-rata
genom parvovirus berukaran 5000 nukleotida dan memiliki diameter 18-28 nm
(Sendow 2003). Canine parvovirus tipe 2 (CPV-2) merupakan tipe parvovirus yang
menyerang anjing. Canine parvovirus dapat diklasifikasikan ke dalam genus
parvovirus, famili parvoviridae ordo parvovirales. Canine parvovirus berkerabat
dekat dengan panleukopenia virus (FPV) dan mink enteritis virus (MEV) (Hong
2007). Canine parvovirus merupakan penyakit yang cukup berbahaya dan sangat
menular pada anjing. CPV-2 merupakan virus yang berkembang biak pada sel yang
aktif mengalami pembelahan. Oleh karena itu virus ini akan menyerang jaringan yang
aktif memperbanyak sel seperti usus, sumsum tulang dan jaringan lymphoid (Cavalli
2008). Hal ini menunjukkan bahwa predisposisi parvovirus lebih banyak terjadi pada
hewan muda dibandingkan hewan yang umurnya tua,

walaupun tidak menutup

kemungkinan hewan tua juga bisa terkena.


CPV-2 memiliki periode inkubasi berkisar 3-8 hari. Sedangkan penyebaran
virus terjadi 3 hari sebelum gejala klinis muncul. Prognosa dari penyakit ini kurang
baik, jika tidak ditangani dengan cepat kematian pada anjing akan terjadi dalam
waktu 24 jam sejak gejala klinis mulai terlihat. Anjing yang terinfeksi CPV-2 akan

mengeluarkan lebih dari 1 juta partikel virus melalui feses, selama periode akut dan
8-10 hari sesudah itu (Cavalli 2008).
CPV-2 merupakan virus yang resisten terhadap inaktivasi. Virus masih
bersifat infeksius di feses selama lebih dari 5 bulan pada kondisi lingkungan yang
sesuai. Pembersihan dengan sabun atau detergen tidak akan dapat menginaktifkan
virus tersebut.

Gambar 1. Struktur Canine Parvovirus

Gejala Klinis
Menurut Sendow (2003), Canine Parvovirus menyebabkan dua sindrom
khusus pada anjing yaitu myocarditis akut (Canine Parvovirus Myocarditis/CPVM)
dan enteritis hemorraghika (Canine Parvovirus Enteritis/CPVE). Pada sindrom
CPVM, virus parvo dapat mencapai jantung dikarenakan virus menyerang limfosit
dan ikut dalam peradaran darah sehingga mencapai jantung. gejala klinis yang
tampak adalah anjing akan mati mendadak, sebelum itu, anjing juga dapat mengalami
dyspnoe, kolaps, dan berteriak. Kejadian ini hanya menyerang anjing muda berusia 23 minggu, dikarenakan pada umur tersebut sel myocardium sedang aktif membelah.
Pada sindrom CPVE,virus parvo akan menunjukkan tanda-tanda klinis yang tidak
spesifik dan secara luas terdiri dari vomitus (muntah), kemudian diikuti dengan diare
yang profus atau haemorrhagia dalam waktu 24 - 48 jam kemudian (Swango,1983).
Tanda lain adalah depresi, anorexia dan dehidrasi. Dalam keadaan parah, muntahan

berupa cairan berbuih mengandung sejumlah besar isi gastrium. Demam sering pada
anak anjing dengan temperatur 40C - 42C. Feses berbentuk cair/pasta, kelabu
terang atau kuning kelabu dengan bau busuk yang khas, akhirnya berdarah atau
mucus. Pada mulanya, diare hewan berwarna kekuningan dan disertai dengan lendir.
Seiring dengan berjalannya penyakit, diare menjadi berwarna abu-abu dengan bau
yang khas hingga berdarah dan berwarna kehitaman.

Gambar 2. Diare berdarah disertai lender sebagai gejala klinis CPVE

Cara Penularan dan Siklus Hidup


Menurut Sendow (2003), transmisi Canine parvovirus (CPV-2) umumnya
terjadi melalui rute fecal-oral, melalui kontak langsung dengan anjing yang terinfeksi
CPV-2, atau makanan yang telah terkontaminasi CPV-2. CPV-2 dapat diekresikan
melalui feses, air seni, air liur dan dapat melalui muntah. CPV pada feses dapat
terdeteksi selama 10 14 hari. Transmisi penularan CPV dapat terjadi melalui
makanan, piring, tempat tidur dan kandang yang telah terkontaminasi CPV.
Penularan secara vertikal diduga dapat terjadi pada anjing yang sedang bunting.
Selain itu, karena virus dapat bertahan selama berbulan-bulan atau bahkan satu tahun
di dalam tanah dan lingkungan, akan sangat sulit untuk mencegah kontak dengan
virus. Faktor lainnya yang mendukung terinfeksinya CPV-2 adalah imunitas hewan
rendah terhadap CPV-2 karena walaupun sebelumnya telah divaksinasi tetapi
vaksinasi lanjutan sudah lama tidak dilakukan.
Menurut Kapil (2007), CPV-2 menginfeksi anjing lewat oronasal kemudian
virus akan melakukan replikasi di dalam jaringan limfoid dari orofaring dan thymus.
Setelah replikasi virus akan menyebar ke jaringan limfoid, sumsum tulang, kelenjar

dan epitel usus, serta sistem hematopoetik. Viremia terjadi 1 5 hari setelah infeksi.
CPV-2 menghancurkan sel-sel leukosit dan limfosit yang yang sedang aktif
bermitosis dalam peredaran darah sehingga anjing menderita neutropenia dan
limfopenia. Di dalam usus virus berpindah dari epitel germinal ke kelenjar intestinal
menuju ujung-ujung vili usus kecil dan menyebabkan kerusakan vili usus dan
kelenjar intestinal usus. Kerusakan di dalam sel-sel germinal menyebabkan vili usus
menjadi kecil dan memendek. Virus kemudian akan dikeluarkan melalui feses pada
akhirnya.

Gambar 3. Mekanisme infeksi Canine parvovirus pada usus halus hewan terinfeksi

Diagnosa
Cara mendiagnosa adanya parvovirus dengan: uji Feses yaitu: ELISA, Uji
Hemaglutinasi,

immunofluoroscence,

pewarnaan

immunoperoxiade,

electron

microscopy. Jika pada uji ELISA (-), itu terjadi karena pengujian pada fase yang
terlalu awal, maka lebih baik diulangi. Dapat juga didiagnosa dengan melihat
hematologi dimana akan terlihat terjadinya leukopenia dengan limfopenia (
Neutropenia,

Hipoalbuminemia,

hiponatremia,

hipokalemia,

hipokloremia,

peningkatan ALT). Peningkatan titer serum IgG > 4x normal dalam 7-14 hari pasca

infeksi (Tattersall et al 2005). Infeksi Canine parvovirus juga dapat diidentifikasi dari
gambaran histopatologi. Perubahan histopatologis akibat infeksi canine parvovirus
dapat ditemukan pada organ sumsum tulang yang ditandai dengan hipoplasia eritroid
atau aplasia sel darah merah. Parvovirus menginfeksi prekursor eritroid sehingga
menyebabkan terhentinya produksi sel darah merah sehingga terjadi aplastik anemia
(Kradin 2010). Selain menginfeksi sumsum tulang, parvovirus juga menyebabkan
terjadinya deplesi pada sel limfoid yang mengaktifasi sel T suppresser sehingga
terjadi imunosupresi.

Gambar 4. Biopsi spesimen pada sumsum tulang menunjukkan kurangnya eritroid


dewasa dan bentuk eritroid yang jarang ditemukan adalah giant
pronormoblast (pewarnaan HE) (Kradin 2010).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sendow dan Hamid (2004),


didapatkan hasil berupa adanya kerusakan pada organ usus dimana ditemukan adanya
pendarahan hebat, lumen usus berwarna kehitaman dan bau amis, serta tidak
ditemukan adanya infestasi cacing. Pada organ paru-paru ditemukan adanya lobular
pneumonia dan oedema. Perubahan histopatologi pada usus ditemukan adanya
dilatasi kripta dan sebagian sel basal mengalami nekrosis dan karyoreksis.

Gambar 5. Dilatasi kripta pada duodenum anjing dengan marginasi kromatin sel
epitel basal (Pewarnaan HE, perbesaran 40x10) (Sendow dan Hamid
2004).

Pencegahan dan Pengobatan


Canine parvovirus merupakan penyakit yang membahayakan hingga dapat
menyebabkan kematian apabila tidak ditangani dengan segera. Beberapa pencegahan
yang dapat dilakukan agar hewan kesayangan tidak terinfeksi virus tesebut adalah
dengan melakukan vaksinasi pada umur 6, 9, dan 12 minggu kemudian dilakukan
pengulangan setiap tahunnya. Vaksin canine parvovirus tersedia dalam bentuk live
vaccine (vaksin hidup) dan killed vaccine (vaksin mati). Vaksinasi tersebut harus
dilakukan pada saat hewan dalam keadaan benar-benar sehat agar proses
pembentukan respon imun berjalan dengan baik. Selain itu, waktu pemberian
pengulangan vaksin juga harus diperhatikan karena apabila vaksinasi dilakukan
melewati waktu yang ditentukan antibodi yang terkandung dalam tubuh anjing tidak
cukup untuk melindungi anjing dari serangan canine parvovirus (Sendow dan Hamid
2004). Selain itu tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah memisahkan
hewan yang sakit dan yang sehat agar tidak terjadi penularan. Hewan yang sakit harus
diberikan terapi supportif selama 2 minggu untuk memulihkan kondisi tubuhnya
Pada kejadian Canine parvovirus, pengobatan yang dilakukan dapat bersifat
simptomatis dan supporatif serta dipengaruhi oleh faktor umur. Pengobatan yang

dapat dilakukan apabila anjing sudah terinfeksi parvovirus adalah dengan


memberikan transfusi darah apabila anjing tersebut telah mengalami aplastik anemia
yang parah (Kradin 2010). Selain itu, terapi supporatif yang dapat diberikan untuk
memperbaiki kondisi tubuh yang lemah akibat dehidrasi adalah dengan pemberian
Ringer laktat + dextrose 5% dengan dosis 40 cc/Kg berat badan. Pemberian antibiotik
juga dapat dilakukan untuk menekan sepsis dan bakteri sekunder dengan memberikan
ampisilin 25-50 mg/Kg berat badan dan pemberian Antacid primperan 0.5 mg/kg
berat badan untuk memperbaiki fungsi lambung (Sardjana dan Kusumawati 2004).

Kesimpulan
Canine parvovirus berasal dari famili Parvoviridae, mejadi salah satu virus
yang perlu diperhatikan dalam kesehatan hewan, karena dapat menyebabkan
kematian pada anjing, khususnya anjing muda. Infeksi menyebabkan sindrom
myocarditis atau enteritis, dimana masing-masing memiliki gejala klinis yang
spesifik. Pencegahan dapat dilakukan dengan vaksinasi dan memisahkan hewan yang
terinfeksi dan tidak terinfeksi. Terapi yang dapat digunakan dalam kasus canine
parvovirus dapat dilakukan pengobatan simptomatis sesuai gejala yang muncul, dan
dilakukan terapi cairan.

You might also like