You are on page 1of 10

KISAH 1

Stefanus Andityo G1A011032


Kasus 1
Saya punya saudara bernama SA. SA berusia 20 tahun saat ia pergi ke dokter
karena keluhan BAB berdarah. Keluhan sudah dirasakan sejak 4 minggu lalu.
Setahun yang lalu, SA memiliki keluhan serupa dan sembuh setelah pengobatan
medikamentosa dan perubahan gaya hidup. Kali ini, dokter merujuk ke dokter
bedah. Setelah dokter X selesai memeriksa, saudara saya didiagnosis terkena polip
rekti dan harus sesegera mungkin ditindak operasi. Kala itu, saudara saya sangat
takut dan tidak berani mengambil tindakan tersebut. Kemudian, selama ini SA
menggunakan obat simptomatis suppositoria ani untuk mengurangi gejalanya.
Setelah habis, SA mencoba ke dokter, namun dokter yang berbeda. Saat itu,
dokter Y mendiagnosis penyakit tersebut hanyalah hemoroid interna grade 1, dan
tidak mengharuskan saudara saya untuk operasi.

Kasus 2
Tetangga saya, Ny. N sudah berkeluarga 2 tahun. Dan terdengar kabar bahwa Ny.
N mulai hamil anak pertama. Namun, 3 minggu terakhir Ny. N terlihat kurus dan
sering batuk batuk saat kumpul arisan. Ny. N juga mengakui sudah 2 minggu
mengalami batuk yang tak kunjung sembuh. Oleh karena itu, Ny. N diajak periksa
oleh ibu saya ke Puskesmas terdekat. Ibu saya mendengar kabar dari perbincangan
dokter dan Ny. N bahwa Ny. N mengidap TB. Diketahui bahwa obat TB berupa
Fixed Drug Combination yang tiap komposisinya memiliki efek samping yang
berbahaya untuk janin terutama pada trimester 1.

Kasus 3
Saya waktu itu pernah diajak ke RS untuk menjenguk anak tetangga saya yang
sedang sakit. Seusai menjenguk, kami pulang. Saat berjalan pulang, kami melihat
sekilas ada ibu-ibu yang marah-marah di koridor rumah sakit karena tidak terima
bahwa anaknya tidak bisa dirawat karena sesuatu yang alasannya tidak jelas
diketahui oleh kami karena kami sedang hanya lewat dan mengamati sekilas. Dan
ibu itu langsung pergi dan mencoba mencari rumah sakit lain.

KISAH 2
Puti Hasana Kasih G1A011034
Seorang remaja laki-laki berusia 20 tahun diantar oleh temannya ke IGD salah
satu RSU pada malam hari dengan keluhan nyeri hebat perut kanan bawah dan
pasien dalam keadaan lemah. Dokter jaga IGD saat itu melakukan pemeriksaan
fisik dan menyampaikan kepada pasien bahwa ia menderita appendisitis akut dan
menyuruh pasien malam itu juga di rawat inap di IGD. Setelah menyampaikan itu
dokternya langsung pergi begitu saja tanpa menjelaskan apa-apa lagi, membuat
pasien dan temannya bingung harus bagaimana. Akhirnya pasien memutuskan
untuk di rawat inap di IGD dan dipasangkan infus oleh perawat tanpa penjelasan
apa-apa. Selama malam itu pasien hanya dipasangkan infus dan tidak ada dokter
maupun perawat yang mendatangi pasien tersebut untuk memantau kondisinya.
Pasien tersebut hanya dibiarkan berbaring di ruang rawat inap sampai keesokan
harinya. Keesokan harinya pasien tersebut semakin lemah dan mengeluhkan rasa
sakit yang sangat tidak tertahankan. Akhirnya dokter jaga IGD mengkonsultasikan
pasien tersebut kepada dokter spesialis, dan setelah diperiksa lebih lanjut ternyata
pasien tersebut telah mengalami perforasi appendix dan terjadi peritonitis. Pasien
tersebut kaget dan marah-marah karena selama di inapkan dia merasa
diterlantarkan sehingga kondisinya semakin memburuk. Akhirnya keluarga pasien
menolak untuk menjalani operasi di RS tersebut dan memutuskan untuk
memindahkan pasien ke rumah sakit lain.

KISAH 3
Rachman Fadhillah G1A011035
Pada awal Oktober 2014, ramai dibahas mengenai suatu klinik di salah satu
kota besar di Indonesia yang melakukan penipuan terhadap pasiennya. Klinik ini
melakukan promosi pemeriksaan USG engan biaya yang murah. Namun setiap
pasien yang diperiksa didiagnosis mengalami penyakit kista, mioma bahkan
kanker serviks.

Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien ditawarkan untuk

melakukan terapi beberapa kali dengan biaya mencapai jutaan rupiah, bahkan
pasien juga diberitahu dan disesak untuk melakukan operasi. Hal ini
menyebabkan pasien harus mengeluarkan uang mencapai puluhan juta rupiah.
Kejadian tersebut terjadi pada beberapa pasien lainnya juga.

KISAH 4
Susanti G1A011036
Nenekku yang Malang
Nenek saya usia 85 tahun, bernama nyonya Y. Beliau memang sejak lama
mengkonsumsi obat tidur dari sejak beliau masih berusia 50 tahunan. Setiap kali
beliau tidak dapat tidur, keesokan harinya pasti akan mengalami diare karena
stress tidak dapat istirahat semalaman. Beliau juga menderita anemia serta
kencing batu, akibat dari kebiasaan beliau yang jarang sekali mengkonsumsi
sayuran dan minum air putih. Setiap hari beliau hanya meminum air gula dan teh.
Makanan yang dikonsumsi hanya nasi dengan tahu tempe, begitu setiap harinya.
Kebiasaan ini yang akhirnya timbul ketika beliau usia sudah memasuki 85 tahun.
Beliau jatuh pingsan karena Hb-nya yang teramat rendah sehingga dokter
menyarankan beliau untuk transfuse darah. Setelah sedikit pulih, efek samping
dari obat tidurnya membuat mata kiri beliau sedikit menonjol keluar. Ayah saya
membawa beliau ke dokter mata di suatu kota yang jauh dari rumah beliau. Ketika
beliau diperiksakan matanya oleh dokter R, beliau agak kesusahan dalam
memahami perintah dokter R. mungkin karena faktor usia beliau yang sudah tua
dan baru saja kritis akibat anemia. Tapi yang dilakukan dokter bukan
mengarahkan beliau, malah mengatakan pada ayah saya dihadapan nenek saya
yang salah itu bukan mata ibu anda, tapi sepertinya memang obat beliau sudah
tidak berfungsi setelah dokter R berkata seperti itu, dokter R juga tidak
memberikan obat apa-apa pada nenek saya. Seketika ayah saya tersinggung dan
menuntun nenek saya keluar dari ruangan, merasa betapa tidak dihargainya beliau.

KISAH 5
Mumtaz Maulana Hidayat G1A011037
Saya ingin menceritakan tentang kasus yang terjadi di lingkungan sekitar
saya. Kasus ini amat berhubungan pada kasus diskusi 2 tentang pasien, dokter dan
hubungan terapeutik. Kisah ini bersetting di rumah kos tempat saya tinggal untuk
berkuliah. Subjeknya adalah bapak kos saya sebagai sang pasien, ibu kos saya
sebagai orang yang merawat bapak di rumah, dan sang dokter pribadi bapak kos
saya, sebut saja dokter H. Kisah ini mungkin dapat saya ringkas saja. Bermula
dari bapak kos saya yang terkena berbagai komplikasi dari penyakit stroke yang
dideritanya. Di usianya yang baru menginjak sekitar 60 tahun, bapak kos saya
seringkali mengeluh kesemutan, gatal, sering lapar, sering sesak, sering demam,
sering pusing dan sulit tidur. Gejala-gejala metabolik tadi tampaknya diperparah
oleh penyakit diabetes mellitus yang dideritanya.
Gaya hidup masa lalunya yang suka makan apa saja yang dia sukai, masih
dibawa sampai sekarang. Hal-hal itulah yang membuat kondisinya makin lama
makin memburuk.
Gejala-gejala yang muncul terus menerus jelas mengganggu dirinya, sehingga
mendorong sang istri alias ibu kos untuk memeriksakan bapak ke berbagai klinik,
sampai akhirnya menemukan seorang dokter H. Dokter ini bisa disebut sebagai
dokter pribadi bapak kos, karena begitu intensnya hubungan terapeutik antara
dokter ini dan keluarga ibu kos. Awalnya baik-baik saja, namun saya mendapati
bahwa ada yang sedikit janggal pada pengobatan dr.H. bapak kos menerima
begitu banyak obat dari dr.H, yang jika saya hitung bisa sampai 6-7 jenis obat,
bahkan lebih !! Mulai dari obat mual, obat tidur, anti histamin, NSAID, dsb.
Saya sebagai mahasiswa kedokteran seringkali ditanyai oleh bapak dan ibu
kos mengenai penyakitnya dan apa efek-efek obat yang diberikan dr.H tersebut.
Pada saat ditanya, ingin saya katakan bahwa apa yang didapatkan bapak kos itu
agaknya berlebihan. Obat-obatan yang sangat banyak dan diminum dalam jangka
panjang jelas dapat memperparah gangguan multiorgannya terutama fungsi hepar
dan ginjal. Namun, sebagai teman sejawat, ingin rasanya saya tidak menjelekjelekkan pilihan terapi dr.H sebagai teman sejawat saya. Akhirnya, sampai saat
ini, saya memilih untuk lebih banyak diam dan tidak mengomentari pilihan terapi

dokter tersebut. Saya hanya menjelaskan efek, indikasi dan pertanyaan seputar
penyakit dan obat yang bapak kos saya minum jika ditanya. Saya berfikir, terapi
supportif ini mungkin menjadi sebuah kenyamanan bagi bapak kos yang sudah
tidak memilik cita dalam hidupnya. Saya tau ada efek buruk dari polifarmasi yang
bapak terima, tapi sampai saat ini saya berpikir untuk tidak terlalu mencampuri
pilihan hidup bapak dan ibu kos sebagai pasien yang percaya penuh pada dr.H ,
namun tetap siap siaga untuk menjaga dan terus mendoakan bapak dan ibu kos
dari hal-hal yang tidak diinginkan. Tentunya dengan kapasitas dan kompetensi
saya.

KISAH 6
Mayubu Kartika G1A011038
Dokter yang berlaku semena-mena terhadap pasien
Kasus kedua yang saya tulis untuk tugas blok BHL 6 ini masih merupakan
kelanjutan kasus yang pertama. Kasus ini menceritakan tentang sepupu laki-laki
saya yang divonis dokter menderita hidrosefalus dan kanker otak. Dokter telah
menjalankan beberapa kali operasi di sebuah rumah sakit di luar kota dari tempat
tinggalnya. Keadaan ini membuat keluarga harus bolak-balik ke luar kota untuk
berobat. Berbagai upaya telah dilakukan keluarga dan dokter untuk kesembuhan
pasien. Keluarga kami sempat beralih ke beberapa dokter berdasarkan saran
teman-teman ibu pasien. Ibu pasien mencoba saran tersebut sehingga memutuskan
membawa pasein dokter X yang berada di luar kota tersebut. Awalnya ibu pasien
menanggapi dengan biasa saja tentang profil dokter yang tidak ramah. Dokter
tersebut kerap berlaku kasar di depan pasien bahkan hanya untuk menanyakan
keluhan pasien. Selain kurang ramah, dokter tersebut juga kerap memaksakan
tindakan yang akan dilakukan kepada pasien, termasuk pemberian obat yang
terkadang berlebihan sehingga tak jarang dokter ini mematok tarif yang sangat
mahal. Keluarga juga dilema karena pada waktu itu, dokter X ini merupakan salah
satu dokter spesialis yang mampu menangani penyakit tersebut di kota ini karena
spesialis ini masih jarang sehingga mau tidak mau pasien harus berobat ke dokter
tersebut walaupun dengan sikap dokter yang kurang menyenangkan dan biaya
yang lebih mahal. Kasus ini mengajarkan kepada kita hendaknya sebagai dokter
harus memperlakukan pasien kita dengan sebaik mungkin dan jangan berlaku
kasar kepada pasien.

Dokter harus mampu menerapkan prinsip etik kepada

pasien, salah satu contohnya adalah hak otonomi pasien dalam kasus ini. Selain
itu, dokter juga tidak boleh merasa paling mampu untuk memberikan terapi suatu
penyakit sehingga dia merasa bebas meminta insentif setinggi-tinggi kepada
paseinnya.

KISAH 7
Sendyka Rinduwastuty G1A011039
Pada saat saya berusia 20 tahun, saya mengalami kecelakaan di Purwokerto.
Setelah itu, saya dibawa ke Rumah Sakit X untuk dilakukan penanganan. Pada
saat itu, saya belum tahu apa yang terjadi pada saya. Setelahnya saat di Rumah
Sakit X, saya masuk ke ruang IGD. Di ruang IGD, saya tidak diperiksa oleh
dokter, hanya didatangi oleh beberapa dokter muda dan hanya dilihat. Setelah itu,
tanpa informed consent, saya hanya dibidai dan diberi infus saja, tidak diberi
analgesik atau obat-obatan yang lain, yang memberikan pun adalah dokter
mudanya, dokternya belum nampak seorang pun yang memeriksa saya. Setelah itu
saya dibiarkan sampai sekitar 3 jam. Dokter mudanya pun hanya mengatakan,
Sepertinya patah tulang, Dek. tanpa ada pemeriksaan lanjutan. Setelah 3 jam
saya dirontgen saja. Lalu, atas dasar keputusan Ibu Kost saya selaku penanggung
jawab sementara yang melihat keadaan saya, akhirnya saya dirujuk ke Rumah
Sakit O untuk mendapatkan pelayanan yang lebih prima.

KISAH 8
Annisa Kapti Hanawi G1A011040
Beberapa bulan yang lalu saya membaca berita elektronik mengenai Klinik MH
yang disinyalir melakukan kelalaian (malpraktik) dan tidak memiliki izin praktik.
Dokter yang praktik di Klinik MH adalah dokter umum. Pasien Ny.X datang
dengan keluhan keputihan. Ny.X menjalani anamnesis, pemeriksaan fisik, lalu
pasien menjalani pemeriksaan laboratorium untuk menunjang diagnosis. Anehnya
hasil lab tersebut keluar dalam waktu hanya setengah jam. Setelah hasil lab
keluar, dokter mendiagnosis pasien mengalami kanker serviks. Dokter
menawarkan untuk menjalani terapi cairan (cairan dimasukan iv seperti infus).
Terapi dilakukan 1 kali sehari selama 4 hari. Jadi pasien harus kembali ke klinik
tersebut selama 4 hari. Harga paket terapi itu adalah 1,6 juta rupiah. Pasien
kondisi ingin memiliki anak lagi, dokter mengatakan jika tidak segera ditangani
dapat menyebabkan kemandulan. Mendengar pernyataan dokter tersebut Ny.X
merasa takut dan memutuskan menjalani terapi tersebut. Ny.X yang saat itu

sedang membawa uang cash langsung membayar keseluruhan biaya terapi


tersebut. Setelah mendapat terapi cairan pertama untuk hari itu pasien menjalani
USG, dokter menyatakan kanker serviks sudah parah sehingga harus dilakukan
tindakan operasi. Biaya operasi tersebut 3 juta rupiah. Pasien menghubungi
suaminya melalui telepon bertanya haruskah dia menjalani operasi tersebut saat
itu juga. Suaminya mencegah istrinya dan menyarankan jangan langsung percaya
pada diagnosis dokter tersebut yang dibuat secepat kilat. Akhirnya pada hari
selanjutnya Ny.X datang ke dokter lain untuk mencari second oppinion. Dokter
lain menyatakan Ny.X sebenarnya hanya mengalami keputihan karena kondisi
area kewanitaan yang terlalu lembab bukan kanker serviks. Akhirnya dokter
memberikan terapi untuk keputihan tersebut. Klinik MH yang ternyata semakin
banyak yang mengeluhkan sebenarnya tidak memiliki izin praktik yang jelas.
Cerita ini mengindikasikan adanya tindakan penipuan. Jika dokter yang praktik di
klinik MH benar dokter yang memiliki STR berarti dia telah melanggar etik
karena overdiagnosis dan memberikan terapi atas seuatu yang bukan
kompetensinya serta terapi yang diberikan pun bukan terapi berdasarkan evidence
based medicine.

KISAH 9
Ageng Bella Dinata G1A011041
Tuan x berusia 80 tahun didiagnosa menderita kanker paru bilateral invasif
dengan efusi pleura dan metastasis ke tulang beberapa hari setelah ia datang ke
rumah sakit. Dokter memberikan diagnosa dan menjelaskan kemungkinan masa
hidup Tuan x sekitar 6-12 bulan lagi kepada keluarganya. Dokter tidak
merekomendasikan untuk dioperasi karena kondisi Tuan x sudah berada di tahap
akhir kanker yang dideritanya. Atas permintaan keluarga dokter merahasiakan
kondisi Tuan x dan meresepkan kemoterapi meskipun kemungkinan berhasilnya
sangat kecil. Tuan x menjadi khawatir karena setiap orang yang diajak bicara
tidak mau berkata jujur dan mengalihkan pembicaraan.

You might also like