You are on page 1of 13

PENAKSIRAN RISIKO RELATIF DALAM PEMETAAN PENYAKIT DBD DI

KOTA BANDUNG MENGGUNAKAN METODE LOCAL ESTIMATOR


Fani Rahmadhayani, I Gede Mindra Jaya, M.Si, Bertho Tantular, M.Si
Jurusan Statistika, Universitas Padjadjaran
email : fanirahmadhayani@gmail.com
ABSTRAK
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular yang
disebabkan oleh infeksi virus dengue dari nyamuk Aedes aegypti. Bandung merupakan salah
satu kota besar di Provinsi Jawa Barat yang jumlah kasus DBD masih cukup tinggi hingga
2013 (IR :231,4 per 100.000). Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi peningkatan
jumlah kasus DBD, namun jumlah kasus DBD selalu meningkat setiap tahunnya. Pemetaan
risiko relatif penyakit berguna untuk mengetahui penyebaran geografis daerah-daerah yang
memiliki risiko tinggi untuk menjadi daerah endemik terjangkit DBD dan akan menjadi
bahan referensi kebijakan bagi Dinas Kesehatan Kota Bandung. Pemetaan umumnya
didasarkan pada Incidence Rate (IR) yang tidak memperhitungkan perbedaan ukuran populasi
di setiap daerah. Sehingga diperlukan sebuah standardisasi dari ukuran populasi yang dikenal
dengan Standardized Morbidity Ratio (SMR). Penggunaan SMR kurang tepat digunakan
pada daerah dengan ukuran populasi kecil karena akan menghasilkan varians yang besar.
Penelitian ini bertujuan menggunakan metode Local Estimator yang merupakan pemulusan
dari SMR dan memperhatikan aspek spasial dalam pemetaan penyakit DBD. Metode ini
merupakan pengembangan dari metode Empirical Bayes dimana parameter prior diperoleh
dari rata-rata risiko relatif daerah yang berbatasan. Data yang digunakan adalah data kasus
DBD Kota Bandung tahun 2013. Berdasarkan hasil perhitungan, Buah Batu merupakan
kecamatan dengan risiko tertinggi, sedangkan kecamatan Bojongloa Kaler merupakan
kecamatan dengan risiko terendah untuk terjangkit penyakit DBD di Kota Bandung.
Kata kunci: Pemetaan penyakit, risiko relatif, SMR, Empirical Bayes, Local Estimator.

I.

PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular yang banyak

ditemukan di daerah endemis terutama daerah tropis dan subtropis. Penyebaran virus DBD di
Indonesia sebagai daerah tropis telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 44 tahun
terakhir. DBD juga termasuk ke dalam jenis penyakit menular yang menjadi fenomena di
Kota Bandung. Beberapa program dan strategi telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota
Bandung seperti program sosialisasi penanganan, pembinaan kader di setiap daerah dan
pengasapan (fogging) tetapi jumlah penderita DBD selalu meningkat. Upaya pencegahan dan

penanggulangan penyebaran infeksi virus DBD dapat dilakukan dengan mengetahui terlebih
dahulu tingkat insidensi penyebaran penyakit DBD di setiap daerah. Tingkat insidensi pada
penyebaran penyakit DBD tersebut dapat diketahui dengan melakukan pemetaan Incidence
Rate (IR). Pemetaan IR sangat bermanfaat untuk mengetahui penyebaran geografis daerah
yang memiliki risiko tinggi terjangkit DBD. Penggunaan IR kurang tepat digunakan pada
ukuran populasi antardaerah yang berbeda-beda, karena nilai IR yang dihasilkan tidak dapat
menyajikan perbandingan keadaan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Untuk itu,
diperlukan perhitungan yang melibatkan nilai harapan jumlah kasus yang terjadi disetiap
daerah yang distandarkan, disebut dengan Standardized Mortality Ratio (SMR). SMR
merupakan ukuran rasio antara banyaknya kejadian penyakit dengan nilai harapannya. Nilai
harapan diperoleh dari perkalian jumlah populasi yang berisiko dengan peluang terjadinya
satu kasus (Clayton and Kaldor, 1987).
Penaksiran dengan SMR menjadi tidak handal jika digunakan dalam menaksir daerah
yang memiliki nilai harapan beragam, yang menyebabkan penyebaran geografis penyakit
menjadi menyimpang karena varians secara keseluruhan dari SMR akan besar dengan nilai
harapannya kecil (Rao, 2003). Pendekatan baru dalam memetakan daerah dengan
menggunakan metode pemulusan SMR yaitu Empirical Bayes (EB). Penyebaran infeksi virus
DBD Kota Bandung yang berhubungan secara spasial dari 30 kecamatan perlu dipetakan
menggunakan

risiko

relatif

yang

ditaksir

dengan

metode

yang

memperhatikan

ketergantungan spasial antardaerah. Manfaat yang diharapkan setelah melakukan penelitian


ini adalah dengan menaksir risiko relatif, diperoleh peta penyebaran penyakit yang
menggambarkan daerah berisiko terjangkit DBD di Kota Bandung. Peta penyebaran tersebut
dapat membantu Dinas Kesehatan untuk menentukan daerah berisiko tinggi terjangkit DBD
sehingga menjadi bahan referensi dalam penyusunan kebijakan, anggaran dana dan
penanggulangan atau pencegahan penyakit menular di Kota Bandung.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Pemetaan Penyakit
Pemetaan merupakan salah satu metode untuk menggambarkan distribusi geografis

suatu penyakit di suatu daerah. Pemetaan penyakit berguna untuk mengetahui penyebaran
penyakit dan risiko relatif terjadinya suatu penyakit tertentu. Pemetaan tersebut menunjukkan
ukuran incidence atau prevalence suatu penyakit pada sebuah populasi (Pringle, 1995).

2.2

Risiko Relatif (RR)


Risiko relatif didefinisikan sebagai perbandingan jumlah kasus pada suatu daerah

tertentu terhadap banyaknya populasi yang berisiko pada daerah tersebut (Pringle, 1995).
Analisis Incidence Rate (IR) merupakan salah satu bentuk risiko relatif. IR adalah ukuran
epidemiologi untuk mengukur tingkat kejadian kasus suatu penyakit pada jangka waktu
tertentu (Last, 2001). Pemetaaan risiko relatif yang umumnya menggunakan Incidence Rate
kurang tepat digunakan pada daerah yang memiliki ukuran populasi yang berbeda antara satu
daerah dengan daerah lainnya karena tidak dapat menyajikan perbandingan keadaan
antardaerah.

2.3

Standardized Mortality Ratio (SMR)


SMR merupakan penaksir risiko relatif dengan menggunakan metode Maximum

Likelihood yang bersifat tak bias. Misalkan yi merupakan banyaknya kasus DBD pada daerah
i (i=1,2,...,r) yang mengikuti distribusi Poisson dengan parameter ei i dengan ei
merupakan nilai harapan banyaknya kasus pada daerah i dan i merupakan risiko relatif pada
daerah i yang nilainya belum diketahui.

yi
ei

var( )

(2.1)

i
ei

Nilai harapan terjadinya kasus pada daerah i diperoleh dari perkalian banyaknya populasi
pada daerah i dengan peluang terjadinya satu kasus (Clayton and Kaldor, 1987). Rumus
umum untuk menentukan nilai harapan adalah sebagai berikut :
r
r

ei ni . p ni yi / ni
i 1
i 1

(2.2)

Ukuran SMR tidak selalu tepat digunakan dalam pemetaan penyakit terutama ketika
terdapat perbedaan ukuran populasi antardaerah. Varians dari SMR yang diperoleh dari i / ei
akan besar untuk daerah dengan populasi kecil (harapan kecil) sedangkan kecil untuk daerah
dengan populasi besar (harapan besar), sehingga taksiran SMR secara keseluruhan
menghasilkan varians yang besar (Meza, 2003).

2.4

Metode Bayes
Metode bayes merupakan metode pemulusan untuk menaksir risiko relatif yang

memperhitungkan variasi antardaerah. Penggunaan metode bayes dalam penaksiran


parameter adalah dengan cara menggabungkan informasi dari sampel y dan informasi awal
yang telah tersedia sebelumnya dari parameter yang biasa disebut sebagai informasi prior.
Informasi awal dan informasi dari sampel kemudian dikombinasikan sehingga membentuk
sebuah distribusi posterior yang merupakan dasar dari taksiran risiko relatif (Gelman. et
al.,2000). Permasalahan utama dalam metode bayes adalah menetukan distribusi prior dari
parameter karena distribusi prior tidak selamanya diketahui dari data.

2.5

Metode Empirical Bayes (EB)

2.5.1 Global Shrinkage Estimator (GSE)


Salah satu metode penaksiran risiko relatif dengan menggunakan metode Empirical
Bayes adalah metode Global Shrinkage Estimator. Global Shrinkage Estimator merupakan
penaksiran dengan metode pemulusan pada nilai SMR yang menyusut terhadap rata-rata
daerah keseluruhan. Nilai risiko relatif yang ditaksir menggunakan SMR akan tereduksi
terhadap nilai risiko relatif secara keseluruhan (Marshall, 1991). Metode ini tidak
mempertimbangkan ketergantungan spasial dari kejadian yang terjadi antardaerah.

2.5.2 Local Estimator


Local Estimator merupakan salah satu metode pemetaan penyakit yang mengasumsikan
daerah yang berdekatan memiliki ketergantungan spasial dan similaritas tingkat penyakit
(Marshall, 1991). Salah satu cara untuk memperoleh similaritas tingkat penyakit antardaerah
adalah dengan mendefinisikan daerah lain yang berbatasan dengan daerah ke-i (i=1,2,...,r).
Jika daerah yang berbatasan dengan daerah ke-i dilambangkan dengan m( i ) maka nilai m( i )
ditaksir dengan menghitung rata-rata risiko relatif daerah yang berbatasan dan akan
digunakan untuk taksiran prior i . Kelebihan metode Local Estimator adalah menggunakan
daerah yang berbatasan menjadi taksiran prior i. Namun, pendekatan Local Estimator
bergantung pada daerah yang dipilih sehingga memperlihatkan subjektif peneliti (Marshall,
1991).

III. METODE PENELITIAN


3.1

Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Analisis deskriptif penyakit DBD tahun 2013 di 30 kecamatan Kota Bandung
2. Penentuan daerah yang berbatasan di setiap daerah i (i= 1,2,....,r)
3. Penaksiran risiko relatif menggunakan metode Local Estimator
4. Pembuatan peta sebaran
5. Analisis pola penyebaran kejadian DBD tahun 2013
6. Kesimpulan

3.2

Analisis Spasial
Menurut Rosli et al. (2010), analisis spasial digunakan untuk mendeteksi dan mengukur

pola kejadian penyakit yang dapat memberikan wawasan epidemiologi penyakit. Dalam
analisis spasial terdapat tiga analisis yang dapat dilakukan yaitu menentukan autokorelasi
spasial yang terjadi dalam ruang unit, menentukan pola kejadian penyakit dan membuat
pemetaan penyakit. Autokorelasi Spasial adalah korelasi antara variabel dengan dirinya
sendiri berdasarkan ruang atau dapat juga diartikan suatu kemiripan dari objek di dalam suatu
ruang (jarak, waktu, wilayah).
Adanya autokorelasi spasial mengindentifikasikan bahwa jumlah kasus DBD pada
daerah tertentu terkait oleh jumlah kasus DBD pada daerah lain yang letaknya berdekatan
(Arrowiyah dan Sutikno, 2010).

3.3.1 Indeks Moran


Indeks Moran merupakan teknik dalam analisis spasial untuk menghitung hubungan
spasial yang terjadi dalam ruang unit. Jika terdapat pola sistematik di dalam penyebaran
sebuah variabel maka terdapat autokorelasi spasial, yang artinya bahwa jumlah kasus pada
daerah tertentu terkait oleh jumlah kasus tersebut pada daerah lain yang letaknya berdekatan
(berbatasan) (Rheni. et al.,2011). Indeks Moran dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:

r i 1 j 1 wij ( xi x )( x j x )
W i 1 ( xi x ) 2

(3.1)

Keterangan

I : Indeks Moran

r : banyak kecamatan di Kota Bandung


xi : jumlah penderita demam berdarah pada daerah i

x j : jumlah penderita demam berdarah pada daerah j

x : rata-rata dari jumlah penderita demam berdarah


wij : elemen pada bobot matriks antara daerah i dan j

W : jumlah dari semua nilai sel pada bobot matriks


Matriks pembobot spasial dapat ditentukan menggunakan berbagai metode. Salah satu
metode penentuan matriks pembobot spasial adalah Queen Contiguity (persinggungan sisisudut). Matriks pembobot ( wij ) berukuran rxr dengan setiap elemen matriks menggambarkan
ukuran kedekatan antara pengamatan i dan j (Arrowiyah dan Sutikno, 2010). Elemen matriks
didefinisikan satu untuk wilayah yang bersisian (common side) atau titik sudutnya (common
vertex) bertemu dengan daerah yang menjadi perhatian. Sedangkan daerah lainnya
didefinisikan elemen matriks pembobot sebesar nol.

3.3

Metode Empirical Bayes (EB)


Metode EB merupakan pendekatan metode bayes untuk menaksir parameter prior. EB

hanya memerlukan asumsi dan sifat dari distribusi prior yang diperoleh dari data pengamatan
(Pringle, 1995). Dengan kata lain metode EB menggunakan data pengamatan untuk menaksir
parameter prior.

3.4.1 Global Shrinkage Estimator (GSE)


Misalkan suatu daerah dibagi menjadi beberapa daerah n sebanyak i (i = 1,2,...,r) dan yi
adalah banyaknya kasus terjadi di daerah i. yi mengikuti distribusi Poisson dengan rata-rata

eii dengan ei adalah nilai harapan banyaknya kasus pada daerah i, i adalah tingkat
risiko relatif pada daerah ke i. Jika i memiliki distribusi prior dengan rata-rata mi E (i )
dan varians Ai var (i ) . Menurut Effron dan Morris (1973), shrinkage factor dari xi adalah

(1 Bi ) dan Bi

mi ei
dengan mi dan Ai adalah penaksir bayes terbaik bagi i dalam
Ai mi ei

mereduksi total MSE. Penaksir linear bayes terbaik dengan metode Global Shrinkage
Estimator sebagai berikut :

i mi Ci ( xi mi )
Dengan Ci 1 Bi

(3.2)

Ai
var (i )

Ai mi / ei varx ( x i )

Beberapa penyederhanaan dari Model (3.2) diperlukan karena ada dua penaksir yang
digunakan dalam sebuah persamaan. Dengan m dan A diganti oleh taksiran m dan A , Global
Shrinkage Estimator pada Persamaan (3.2) menjadi :

i m Ci ( xi m)
Dan

(3.3)

s2 m / e
Ci 2
s m / e m / ei

Nilai taksiran memungkinkan bernilai negatif jika s 2 m / e sehingga nilai varians

A 0 . Ketika s 2 m / e dan nilai A 0 mengakibatkan nilai Ci 0 dan nilai taksiran

i m .
3.4.2 Local Estimator
Penggunaan metode Local Estimator dalam menaksir parameter dilakukan oleh
Marshall (1991) pada kasus tingkat kematian bayi dibawah usia lima tahun di Aukcland,
Selandia Baru. Beberapa penyakit menular perlu dipertimbangkan bahwa daerah-daerah yang
berdekatan memiliki kesamaan tingkat penyakit. Local Estimator memperhatikan
ketergantungan spasial dan similaritas penyakit antardaerah tersebut. Berbeda dengan metode
Empirical Bayes pada Shrinkage Estimator, Local Estimator menggunakan daerah yang
berbatasan sebagai taksiran rata-rata awal pada distribusi prior. Untuk memperoleh rata-rata
distribusi prior i daerah yang berbatasan harus didefinisikan terlebih dahulu. Untuk
menggunakan metode Local Estimator dapat diperoleh dengan mengganti i pada Persamaan
(3.3) dengan (i ) sehingga :

(i ) m(i ) C(i ) ( xi m(i ) )


Dengan C(i )

s(i ) 2 m(i ) / e(i )


s(i ) 2 m(i ) / e(i ) m(i ) / e(i )

(3.4)

Keterangan
xi : Nilai taksiran SMR

e( i ) : Nilai harapan banyaknya kasus DBD dari semua daerah yang berbatasan dengan
daerah ke-i
m(i )

yj

ej

(j = 1,2,...,p) : Rata-rata risiko relatif dari semua daerah yang berbatasan

dengan daerah ke-i (i=1,2,...,r).

s(2i ) j e( j ) ( xi m(i ) )2 / j e j : Varians sampel yang diberi bobot pada daerah ke-i.
p

e(i )

e
j 1

rj

( j)

: Rata-rata nilai harapan banyaknya kasus dari semua daerah yang berbatasan

dengan daerah ke-i. dengan rj adalah jumlah daerah yang berbatasan di setiap daerah
ke-i

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


Data yang digunakan adalah data sekunder kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) dan
jumlah penduduk di 30 kecamatan yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Bandung.
Berikut akan disajikan peta geografis Kota Bandung untuk lebih memperjelas letak wilayah
dari masing-masing kecamatan yang diberi simbol dengan angka sebagai berikut :

Gambar 4.1 Peta Geografis Kota Bandung

Jumlah kasus DBD pada tahun 2013 di Kota Bandung mencapai 5736 kasus dan
jumlah penduduk yang tercatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung adalah
sebanyak 2.478.445 jiwa.
Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Data Penelitian

Kasus DBD
Penduduk

Total
5736

Minimum
48

Maksimum
540

Rata-rata
191.2

Simpangan Baku
93.92

2478445

24591

148200

82614.83

33622.58

5736

56.91

342.99

191.2

77.81

Nilai Harapan

Jumlah kasus DBD paling sedikit terjadi sebanyak 48 kasus pada kecamatan Cinambo.
Jumlah kasus yang paling banyak terjadi yaitu 540 kasus pada kecamatan Buah Batu. Ratarata jumlah kasus DBD pada setiap kecamatan di Kota Bandung pada tahun 2013 adalah
sebanyak 191 kasus dengan simpangan baku sebesar 93,92. Pemetaan geografis dari jumlah
kasus, Incidence Rate dan SMR pada 30 kecamatan di Kota Bandung dapat dilihat dari
gambar dibawah ini :

Gambar 4.2 Peta Geografis Jumlah Kasus dan Incidence Rate (IR) DBD 2013

Gambar 4.2 menunjukkan variasi kejadian DBD pada masing-masing kecamatan yang
ada di Kota Bandung pada tahun 2013. Perbedaan jumlah kasus dapat dibedakan dari gradasi
warna. Tingginya kasus DBD di suatu daerah tidak menjamin bahwa daerah tersebut dalam
kategori risiko sangat tinggi berdasarkan IR, karena perhitungan IR didasarkan pada jumlah
populasi tiap daerah yang berbeda. Gambar di atas menunjukkan bahwa kecamatan Babakan
Ciparay yang merupakan daerah dengan ukuran populasi tertinggi termasuk pada kategori
daerah dengan risiko sangat rendah walaupun jumlah kasus DBD kecamatan Babakan
Ciparay hampir sama dengan daerah Cibeunying Kidul yang termasuk daerah berisiko
sedang. Dengan menggunakan peta geografis Kota Bandung (Gambar 4.1) diperoleh daerah
yang berbatasan di setiap kecamatan.

4.1

Taksiran Risiko Relatif (RR)


Hasil penaksiran menggunakan metode Local Estimator disajikan dalam tabel sebagai

berikut :
Tabel 4.2 Taksiran Risiko Relatif DBD Metode Local Estimamtor
No

Kecamatan

LE

No

Kecamatan

LE

Gedebage

1.3526

16

Regol

1.1015

Ujungberung

0.9019

17

Bandung Kidul

0.8767

Cinambo

0.9166

18

Astanaanyar

0.9073

Bandung Kulon

0.5428

19

Kiaracondong

0.8679

Andir

0.6769

20

Buah Batu

2.4316

Babakan Ciparay

0.6081

21

Mandala Jati

0.7092

Bojongloa Kaler

0.5201

22

Cibiru

0.9204

Sukajadi

1.2522

23

Bojongloa Kidul

0.5838

Cidadap

1.3476

24

Cibeunying Kaler

0.9527

10

Coblong

0.9288

25

Panyileukan

1.4739

11

Cicendo

0.7937

26

Antapani

0.9522

12

Bandung Wetan

1.2698

27

Lengkong

1.3958

13

Sumur Bandung

1.1763

28

Sukasari

1.4693

14

Batununggal

0.7033

29

Rancasari

1.6933

15

Cibeunying Kidul

0.872

30

Arcamanik

1.4085

Dari tabel di atas terlihat bahwa penaksiran RR dengan metode Local Estimator
menghasilkan nilai taksiran terendah 0.5202 pada kecamatan Bojongloa Kaler dan tertinggi
2.432 pada kecamatan Buah Batu dengan rata-rata nilai taksiran 1.054. Daerah yang memiliki
nilai taksiran risiko relatif yang berbeda adalah kecamatan Buah Batu. Daerah ini memiliki
jumlah kasus tertinggi (540) yang sangat jauh dari nilai harapan terjadinya kasus DBD di
daerah tersebut (220,68). ). Selanjutnya, daerah yang memiliki jumlah penduduk terendah
yaitu kecamatan Cinambo memiliki nilai taksiran risiko relatif yang lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah Babakan Ciparay yang memiliki jumlah penduduk tertinggi. Hal
ini menjelaskan bahwa permasalahan utama dalam penaksiran risiko relatif adalah jumlah
penduduk yang sedikit berakibat pada nilai taksiran yang tinggi. Peta geografis taksiran risiko
relatif menggunakan metode Local Estimator (LE) adalah sebagai berikut :

Gambar 4.5 Peta Risiko Relatif Metode LE Kasus DBD 2013

Gambar 4.5 memperlihatkan peta geografis berdasarkan nilai taksiran risiko relatif
menggunakan metode Local Estimator. Daerah yang termasuk risiko sangat tinggi terjangkit
DBD adalah kecamatan Buah Batu (20), Gedebage (1), Cidadap (9), Panyileukan (25),
Lengkong (27), Sukasari (28), Rancasari (29), Arcamanik (30). Daerah dengan kategori
risiko tinggi terjangkit DBD adalah Regol (16), Sukajadi (8), Coblong (10), Bandung Wetan
(12), Sumur Bandung (13), Cibeunying Kaler (24) dan Antapani (26). Daerah dengan risiko
sedang adalah Ujungberung (2), Cinambo (3), Cibeunying Kidul (15), Bandung Kidul (17),
Astanaanyar (18), Kiaracondong (19) dan Cibiru (22). Beberapa daerah yang termasuk pada
kategori risiko rendah adalah Bandung Kulon (4), Andir (5), Babakan Ciparay (6), Bojongloa
Kaler (7), Mandalajati (21), Cicendo (11),Batununggal (14) dan Bojongloa Kidul (23).
Berdasarkan gambar di atas dapat terlihat bahwa pengelompokan daerah berdasarkan kategori
risiko terjangkitnya DBD Kota Bandung dipengaruhi oleh daerah yang berbatasan.
Kecamatan yang berisiko rendah berbatasan dengan kecamatan yang berisiko rendah dan
sebaliknya. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya efek spasial terhadap banyaknya kasus
DBD. Efek spasial perlu diperhitungkan karena ada kemungkinan interaksi antardaerah
seperti perpindahan penduduk dan mobilitas transportasi yang berubah-ubah setiap waktunya.
Beberapa kecamatan yang berdekatan yang merupakan kelompok daerah yang berisiko
sedang terjangkitnya DBD seperti Batununggal, Bandung Kidul dan Kiaracondong. Namun,
kecamatan ini berdekatan dengan kecamatan Buah Batu yang berisiko tinggi terjangkit DBD
yang memiliki kemungkinan terkena dampak kejadian DBD dari kecamatan Buah Batu.
Berdasarkan analisis ini, perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengkaji beberapa faktor
yang menyebabkan daerah tersebut berisiko tinggi terjangkit DBD. Faktor yang dapat dilihat
seperti efek spasial, pendidikan penduduk, situasi demografis daerah dan lain-lain.

V.

KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa :
1. Metode Local Estimator merupakan metode penaksiran risiko relatif yang
memperhatikan aspek spasial daerah yang berbatasan dalam penyebaran penyakit
DBD.
2. Pola kejadian penyakit DBD di Kota Bandung sifatnya mengelompok dengan
pengelompokan dipengaruhi oleh daerah yang berbatasan.
3. Kecamatan Buah Batu merupakan kecamatan dengan risiko tertinggi untuk
terjangkit penyakit demam berdarah dengue (DBD) sedangkan kecamatan
Bojongloa Kaler merupakan kecamatan dengan resiko terendah untuk terjangkit
penyakit demam berdarah dengue (DBD) di Kota Bandung.

VI. SARAN
Berdasarkan penelitian ini, saran yang dapat diberikan adalah :
1. Upaya pencegahan dan penanggulangan DBD perlu ditingkatkan terutama pada
kecamatan yang berisiko tinggi terjangkit DBD. Daerah yang berbatasan dengan
daerah yang berisiko tinggi terjangkit DBD perlu juga diperhatikan, misalnya
daerah yang berbatasan dengan kecamatan Buah Batu karena memiliki
kemungkinan terkena dampak kejadian DBD dari kecamatan Buah Batu.
2. Perlu dilakukan analisis lanjutan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan
pengelompokan daerah berisiko DBD di Kota Bandung seperti efek spasial,
pendidikan penduduk, situasi demografis dan lain-lain.
3. Penyebaran penyakit DBD tidak lepas dari faktor risiko yang mempengaruhinya
sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan mempertimbangkan
variabel-variabel penyerta lainnya yang mungkin berpengaruh terhadap penelitian
seperti Angka Bebas Jentik (ABJ), Kepadatan Penduduk dan Pola Curah Hujan.
4. Penggunaan metode LE tidak memberikan penaksiran risiko relatif yang berbeda
secara signifikan dengan SMR jika digunakan pada jumlah kasus yang besar
sehingga diperlukan metode lain untuk menanggulanginya.

VII. DAFTAR PUSTAKA


Arrowiyah dan Sutikno. 2010. Spatial Patern Analysis Kejadian Penyakit Demam Berdarah
Dengue untuk Informasi Early Warning Bencana Di Kota Surabaya. Statistika Fmipa
ITS : Jurnal Penelitian
Clayton, David and John Kaldor. 1987. Empirical Bayes Estimates of Age-standardized
Relative Risks for Use in Disease Mapping. Biometrics 43, 671-681.
Efron, B. and Morris, C. 1973. Steins Estimator and its generalisations- an empirical Bayes
Approach. J. Am.Statist. Ass.,68, 117-130.
Gelman, Andrew B., Carlin, John B., Stern, Hal S., Rubin, Donald B. 2000. Bayesian Data
Analysis. Washington,D.C. : Harvard University Cambridge
Last, John M. 2001. A Dictionary of Epidemiology. New York : Oxford University Press, Inc
Marshall, Roger J. 1991. Mapping Disease and Mortality Rates using Empirical Bayes
Estimators. New Zealand : University of Auckland.
Meza, Jane L. 2003. Empirical Bayes Estimation Smoothing of Relative Risks in Disease
Mapping. Amerika Serikat : University of Nebraska Medical Center.
Pringle, D. G. 1995. Disease Mapping: A Comparative Analysis Of Maximum Likelihood And
Empirical Bayes Estimates Of Disease Risk. Maynooth : St. Patricks College.
Rao, J. N. K. 2003. Small Area Estimation. New Jersey : A John Wiley & Sons, Inc.
Rosli, M.H., Er, A.C., Asmahani A., Mohammad Naim M.R., Harsuzilawati M. (2010).
Spatial mapping of Dengue Incident: A Case Study in Hulu Langat District, Selangor,
Malaysia. Internasional Journal of Human and Social Sciences, Vol. 5:6, pp: 410- 414.

You might also like