You are on page 1of 23

PERTANIAN ORGANIK DAN EFEK GAS RUMAH KACA

Sulandjari, Mei 2014

Perkembangan sistem peranian saat ini didominasi oeh sistem pertanian


dengan input luar yang tinggi membawa dampak negatif dilingkungan ekosstem
pertanian dengan input luar yang tinggi membawa dampak negatif di lingkungan
ekosistem pertanian maupun di luar ekosistem peranian. Dampak di dalam
eosistem pertanian td: a) meningkanya degradasi lahan (fisisk, kimia , biologis), b)
berurangnya keanekaragaman haytai serta d) gangguan kesehatan masyarakat
sebagai akibat dari pencemaran lingkungan. Sedangkan dampak yang terjadi diluar
ekosistem pertanian adalah : a) meningkatnya gangguan kesehaan masyarakay
konsumen karena pencemaran baan-bahan pangan yang diproduksi di dalam
ekosisitem pertanian b) terjadi ketdakadilan ekonomi karena adanya praktek
monopoli dalam penyediaan sarana produksi peranian C) ketimpangan sosial antar
petani dan komunitas di luar petani.
Menngkatnya dampak kerusakan lingkungan akibat praktek pertanian
dengan hight eksternal input (input luar yang tinggi) seperti penggunaan pestisida
dan pupuk anorganik, membawa kesadaran baru bagi segenap pihak yang
berkepentingan dengan pengembangan pertanian baik petani, pakar di bidang
pertanian, pelaku ekonomi, masyarakat umum serta pengambil kebijakan baik
lokal maupun kebijakan negara untuk kembali menyusun strategi baru dalam
menanggulangi dapak negatif, meskipun masih terdapat keragaan pada tingkat
kesadaran. Slah satu wujud kesadaran tersebut adalah munculnya perenacanaan
agroekosistem yag kembali pada sistem pertanian organik.
1

Istilah pertanian organik telah menghimpun seluruh imajinasi petani


bersama-sama

konsumen

yang

secara

serius

dan

bertanggung

jawab

menghindarkan bahan kimia (pestisida dan herbisisda) dan pupuk kimia yang
bersifat metacuni lingkungan dengan tujuan memperoleh kondisi lingkungan yang
sehat. Mereka juga berusaha untuk menghasilkan produksi tanaman yang
berkelanjutan

dengan

cara

memperbaiki

kesuburan

tanah

menggunakan

sumberdaya alami seperti mendaur ulang limbah pertanian. Dengan dengan


demikian pertanian organik organik merupakan sutu gerakan kembali ke alam
(Sutanto,2002).
Prnsip utama pertanian organik adalah penggunaan input luar yang erndah
yang berlawanan dengan penggunaan input luar yang tinggi. Berdsarkan prinsip
tersebut, maka berkembang berbagai istilah sperti
a. Prospek pertanian Organik Di Indonesia
Memasuki abad 21, masyarakat dunia mulai sadar bahaya yang ditimbulkan oleh
pemakaian bahan kimia sintetis dalam pertanian. Orang semakin arif dalam
memilih bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan. Gaya
hidup sehat dengan slogan Back to Nature telah menjadi trend baru
meninggalkan pola hidup lama yang menggunakan bahan kimia non alami, seperti
pupuk, pestisida kimia sintetis dan hormon tumbuh dalam produksi pertanian.
Pangan yang sehat dan bergizi tinggi dapat diproduksi dengan metode baru yang
dikenal dengan pertanian organik.

Pertanian organik adalah teknik budidaya pertanian yang mengandalkan bahanbahan alami tanpa menggunakan bahan-bahan kimia sintetis. Tujuan utama
pertanian organik adalah menyediakan produk-produk pertanian, terutama bahan
pangan yang aman bagi kesehatan produsen dan konsumennya serta tidak merusak
lingkungan. Gaya hidup sehat demikian telah melembaga secara internasional
yang mensyaratkan jaminan bahwa produk pertanian harus beratribut aman
dikonsumsi (food safety attributes), kandungan nutrisi tinggi (nutritional
attributes) dan ramah lingkungan (eco-labelling attributes). Preferensi konsumen
seperti ini menyebabkan permintaan produk pertanian organik dunia meningkat
pesat.
Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya hayati tropika yang unik, kelimpahan
sinar matahari, air dan tanah, serta budaya masyarakat yang menghormati alam,
potensi pertanian organik sangat besar. Pasar produk pertanian organik dunia
meningkat 20% per tahun, oleh karena itu pengembangan budidaya pertanian
organik perlu diprioritaskan pada tanaman bernilai ekonomis tinggi untuk
memenuhi kebutuhan pasar domestik dan ekspor.
b. Peluang Pertanian Organik di Indonesia
Luas lahan yang tersedia untuk pertanian organik di Indonesia sangat besar.
Dari 75,5 juta ha lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian, baru sekitar
25,7 juta ha yang telah diolah untuk sawah dan perkebunan (BPS, 2000). Pertanian
organik menuntut agar lahan yang digunakan tidak atau belum tercemar oleh
bahan kimia dan mempunyai aksesibilitas yang baik. Kualitas dan luasan menjadi

pertimbangan dalam pemilihan lahan. Lahan yang belum tercemar adalah lahan
yang belum diusahakan, tetapi secara umum lahan demikian kurang subur. Lahan
yang subur umumnya telah diusahakan secara intensif dengan menggunakan bahan
pupuk dan pestisida kimia. Menggunakan lahan seperti ini memerlukan masa
konversi cukup lama, yaitu sekitar 2 tahun.
Volume produk pertanian organik mencapai 5-7% dari total produk pertanian yang
diperdagangkan di pasar internasional. Sebagian besar disuplay oleh negara-negara
maju seperti Australia, Amerika dan Eropa. Di Asia, pasar produk pertanian
organik lebih banyak didominasi oleh negara-negara timur jauh seperti Jepang,
Taiwan dan Korea.
Potensi pasar produk pertanian organik di dalam negeri sangat kecil, hanya
terbatas pada masyarakat menengah ke atas. Berbagai kendala yang dihadapi
antara lain: 1) belum ada insentif harga yang memadai untuk produsen produk
pertanian organik, 2) perlu investasi mahal pada awal pengembangan karena harus
memilih lahan yang benar-benar steril dari bahan agrokimia, 3) belum ada
kepastian pasar, sehingga petani enggan memproduksi komoditas tersebut.
Areal tanam pertanian organik, Australia dan Oceania mempunyai lahan terluas
yaitu sekitar 7,7 juta ha. Eropa, Amerika Latin dan Amerika Utara masing-masing
sekitar 4,2 juta; 3,7 juta dan 1,3 juta hektar. Areal tanam komoditas pertanian
organik di Asia dan Afrika masih relatif rendah yaitu sekitar 0,09 juta dan 0,06 juta
hektar (Tabel 1). Sayuran, kopi dan teh mendominasi pasar produk pertanian
organik internasional di samping produk peternakan.

Tabel 1. Areal tanam pertanian organik masing-masing wilayah di dunia, 2002


No

Wilayah
Australia dan Oceania

Areal Tanam (juta ha)


7,70

1
Eropa

4,20

Amerika Latin

3,70

Amerika Utara

1,30

Asia

0,09

Afrika

0,06

2
3
4
5
6
Sumber: IFOAM, 2002; PC-TAS, 2002.
Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk bersaing di pasar internasional
walaupun secara bertahap. Hal ini karena berbagai keunggulan komparatif antara
lain : 1) masih banyak sumberdaya lahan yang dapat dibuka untuk
mengembangkan sistem pertanian organik, 2) teknologi untuk mendukung
pertanian organik sudah cukup tersedia seperti pembuatan kompos, tanam tanpa
olah tanah, pestisida hayati dan lain-lain.
Pengembangan selanjutnya pertanian organik di Indonesia harus ditujukan untuk
memenuhi permintaan pasar global. Oleh sebab itu komoditas-komoditas eksotik
seperti sayuran dan perkebunan seperti kopi dan teh yang memiliki potensi ekspor
cukup cerah perlu segera dikembangkan. Produk kopi misalnya, Indonesia

merupakan pengekspor terbesar kedua setelah Brasil, tetapi di pasar internasional


kopi Indonesia tidak memiliki merek dagang.
Pengembangan pertanian organik di Indonesia belum memerlukan struktur
kelembagaan baru, karena sistem ini hampir sama halnya dengan pertanian intensif
seperti saat ini. Kelembagaan petani seperti kelompok tani, koperasi, asosiasi atau
korporasi masih sangat relevan. Namun yang paling penting lembaga tani tersebut
harus dapat memperkuat posisi tawar petani.
c. Pertanian Organik Modern
Beberapa tahun terakhir, pertanian organik modern masuk dalam sistem
pertanian Indonesia secara sporadis dan kecil-kecilan. Pertanian organik modern
berkembang memproduksi bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan sistem
produksi yang ramah lingkungan. Tetapi secara umum konsep pertanian organik
modern belum banyak dikenal dan masih banyak dipertanyakan. Penekanan
sementara ini lebih kepada meninggalkan pemakaian pestisida sintetis. Dengan
makin berkembangnya pengetahuan dan teknologi kesehatan, lingkungan hidup,
mikrobiologi, kimia, molekuler biologi, biokimia dan lain-lain, pertanian organik
terus berkembang.
Dalam sistem pertanian organik modern diperlukan standar mutu dan ini
diberlakukan oleh negara-negara pengimpor dengan sangat ketat. Sering satu
produk pertanian organik harus dikembalikan ke negara pengekspor termasuk ke
Indonesia karena masih ditemukan kandungan residu pestisida maupun bahan
kimia lainnya.
6

Banyaknya produk-produk yang mengklaim sebagai produk pertanian


organik yang tidak disertifikasi membuat keraguan di pihak konsumen. Sertifikasi
produk pertanian organik dapat dibagi menjadi dua kriteria yaitu:
a) Sertifikasi Lokal untuk pangsa pasar dalam negeri. Kegiatan pertanian ini masih
mentoleransi penggunaan pupuk kimia sintetis dalam jumlah yang minimal atau
Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA), namun sudah sangat
membatasi penggunaan pestisida sintetis. Pengendalian OPT dengan menggunakan
biopestisida, varietas toleran, maupun agensia hayati. Tim untuk merumuskan
sertifikasi nasional sudah dibentuk oleh Departemen Pertanian dengan melibatkan
perguruan tinggi dan pihak-pihak lain yang terkait.
b) Sertifikasi Internasional untuk pangsa ekspor dan kalangan tertentu di dalam
negeri, seperti misalnya sertifikasi yang dikeluarkan oleh SKAL ataupun IFOAM.
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara lain masa konversi lahan, tempat
penyimpanan produk organik, bibit, pupuk dan pestisida serta pengolahan hasilnya
harus memenuhi persyaratan tertentu sebagai produk pertanian organik.
Beberapa komoditas prospektif yang dapat dikembangkan dengan sistem
pertanian organik di Indonesia antara lain tanaman pangan, hortikultura,
perkebunan, tanaman rempah dan obat, serta peternakan, (Tabel 2). Menghadapi
era perdagangan bebas pada tahun 2010 mendatang diharapkan pertanian organik
Indonesia sudah dapat mengekspor produknya ke pasar internasional
Komoditas yang layak dikembangkan dengan sistem pertanian organik

1. Tanaman Pangan Padi


2. Hortikultura Sayuran: brokoli, kubis merah, petsai, caisin, cho putih, kubis
tunas, bayam daun, labu siyam, oyong dan baligo. Buah: nangka, durian,
salak, mangga, jeruk dan manggis.
3. Perkebunan Kelapa, pala, jambu mete, cengkeh, lada, vanili dan kopi.
4. Rempah dan obat Jahe, kunyit, temulawak, dan temu-temuan lainnya.
5. Peternakan Susu, telur dan daging

GAS RUMAH KACA DAN PRODUKTIVITAS PERTANIAN


Gas rumah kaca adalah gas-gas yang ada di atmosfer yang menyebabkan
efek rumah kaca. Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami di lingkungan,
tetapi dapat juga timbul akibat aktifitas manusia. Gas rumah kaca yang paling
banyak adalah uap air yang mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut,
danau dan sungai. Karbondioksida adalah gas terbanyak kedua. Ia timbul dari
berbagai proses alami seperti: letusan vulkanik; pernafasan hewan dan manusia
(yang menghirup oksigen dan menghembuskan karbondioksida); dan pembakaran
material organik (seperti tumbuhan). Karbondioksida dapat berkurang karena
terserap oleh lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam proses
fotosintesis. Fotosintesis memecah karbondioksida dan melepaskan oksigen ke
atmosfer serta mengambil atom karbonnya.
Uap air adalah gas rumah kaca yang timbul secara alami dan
bertanggungjawab terhadap sebagian besar dari efek rumah kaca. Konsentrasi uap
air berfluktuasi secara regional, dan aktifitas manusia tidak secara langsung
mempengaruhi konsentrasi uap air kecuali pada skala lokal.

Dalam model iklim, meningkatnya temperatur atmosfer yang disebabkan


efek rumah kaca akibat gas-gas antropogenik akan menyebabkan meningkatnya
kandungan uap air di troposfer, dengan kelembapan relatif yang agak konstan.
Meningkatnya konsentrasi uap air mengakibatkan meningkatnya efek rumah kaca;
yang

mengakibatkan

meningkatnya

temperatur;

dan

kembali

semakin

meningkatkan jumlah uap air di atmosfer. Keadaan ini terus berkelanjutan sampai
mencapai titik ekuilibrium (kesetimbangan). Oleh karena itu, uap air berperan
sebagai umpan balik positif terhadap aksi yang dilakukan manusia yang
melepaskan gas-gas rumah kaca seperti CO2.
Gas-gas rumah kaca yang dihasilkan oleh kegiatan manusia (antropogenik)
yang penting adalah CO2 , kloroflurokarbon (CFC), CH4, N2O, dan ozon
(Mathias, 1996; Mathias and Bohn, 1996, Soemarwoto, 2001, Boer, 2002).
Diantara gas-gas tersebut, maka CO2 merupakan gas rumah kaca terpenting
karena kadarnya yang tertinggi. Menurut penelitian Intergovernmental Panel on
Climate Change, emisi CO2 antropogenik total adalah 7,1 Giga ton (Gt) karbon
per tahun, dimana 5,5 Gt berasal dari pembakaran bahan bakar fosil dan produksi
semen, dan 1,6 Gt dari perubahan tata guna lahan. Sumbangan Indonesia pada
emisi CO2 sedunia adalah sekitar 1,3%, dan sumbangan ini terus meningkat
karena meningkatnya konsumsi energi, menyusutnya luas lahan hutan, dan
kebakaran hutan. Kadar CO2 dalam atmosfer pelan-pelan naik, dari 280 ppmv
dalam periode praindustri yaitu sebelum tahun 1750, menjadi 358 ppmv pada
tahun 1994 (Soemarwoto, 2001 ).
A. SUMBER SUMBER GAS RUMAH KACA
Gas rumah kaca dari emisi antropogenik berasal dari beberapa sumber.
Untuk memahami emisi carbon dioksida yang penting bagi gas rumah kaca perlu
memahami siklus karbon.
Siklus carbon menggambarkan pergerakan carbon dari atmosfer ke
permukaan bumi. Di permukaan bumi, carbon disimpan dalam biomass pada

setiap organisme. Carbon dioksida juga larut dalam air permukaan, hal ini juga
terjadi pada laut. Carbon dioksida terkumpul sebagai carbon ketika tanaman
tumbuh, dan carbon dioksida terkumpul sebagai carbon dalam jaringan tubuh
tanaman. Contoh: sebuah tanaman kira-kira kira-kira mengandung carbon
sebanyak 50% dari berat. Ketika hewan memakan tanaman, carbon tertransfer dari
biomass tanaman menjadi biomass pada hewan. Ketika tanaman atau hewan mati,
mereka akan terurai dimana kombinasi antara carbon dengan oksigen akan
membentuk carbon dioksida, dimana CO2 akan kembali ke atmosfer, CO2 diserap
pada tumbuhan baru berkembang.
Aktivitas antropogenik, seperti pembakaran bahan bakar atau hutan
mempengaruhi keseimbangan siklus karbon, dan menyebabkan bertambahnya CO 2
di atmosfer. Bahan bakar fosil, seperti minyak bumi, batu bara dan gas alam
berasal dari sisa fosil tanaman pada zaman pra sejarah. Bahan bakar tersebut
menggambarkan kandungan karbon, dan pembakarannya mningkatkan kandungan
CO2 diatmosfer. Begitupula ketika hutan di tebangi, tak terkecuali kandungan
carbon yang terdapat pada produk kayu (furniture, kertas dll) akhirnya terbagi-bagi
dan carbon dilepaskan ke atmosfer sebagai CO2. Kurang lebih 50% dari biomass
pada tanaman menjadi kandungan dalam kayu atau produknya, perusakan hutan
berupa penebangan dan pembakaran, maka semua carbon berubah menjadi CO2
dan efek rumah kaca semakin nyata. Ketika hutan ditanami kembali, CO 2
diambil/dimanfaatkan kembali dari atmosfer. Implikasi ini merupakan tantangan
yang signifikan bagi lingkungan dalam penggunaan bahan bakar biomass.
Contohnya: jika

membakar ethanol (yang dihasilkan oleh kayu atau sawah)

daripada bensin, ini akan mereduksi secara signifikan emisi CO 2. Walaupun


pembakaran bahan bakar melepaskan CO2, pembakaran bensin menggambarkan
pelepasan

kandungan

karbon.

Saat

pembakaran

ethanol

dari

tanaman

mempresentasikan siklus karbon. Walaupun hutan alam yang dewasa terdiri dari
biomass yang lebih banyak per acre dibandingkan dengan hutan yang baru

10

ditanami. Konversi dari hutan alam dewasa menjadi energy plantation


disimpulkan dapat meningkatkan CO2 di atmosfer.
Penanaman hutan baru dapat mereduksi CO2 di atmosfer. Proses ini disebut
dengan proses berkelanjutan dari carbon.
Methane (CH4) dihasilkan dari berbagai sumber alamiah dan antropogenik.
Sumber alamiah termasuk wetlands, dan areal lainnya, dimana pembusukan bahan
organik terjadi secara anaerob. Sumber antropogenik termasuk dari hewan yang
mema,mah biak, emisi dari batubara dan minyak serta sumur gas alam.
Peningkatan konsentrasi gas methan di atmosfer memungkinkan terjadinya
perubahan kimia atmosfer.
Nitrogen oksigen (N2O) berasal dari pembakaran bahan bakar fosil dan
biomass, selain itu dihasilkan pula dari penyubur tanah.
Sumber

chloroflourcarbons

(CFCs)

dan

ozon

depletion

dibahas

sebelumnya. Berkaitan dengan CFCs dan ozon, yang termasuk sumber


penghasilnya adalah refigerator, AC dan pembuatan foam dan solvent.
B. PENGARUH GAS RUMAH KACA TERHADAP TEMPERATUR
GLOBAL
Gas-gas rumah kaca sangat efisien dalam menyerap sinar panas gelombang
panjang. Gas-gas tersebut bersifat seperti kaca pada rumah kaca, yakni transparen
terhadap sinar matahari yang bergelombang pendek, sehingga sampai ke
permukaan bumi, tetapi tidak transparen terhadap sinar panas yang dipantulkan
oleh permukaan bumi. Gas rumah kaca menyerap sinar panas, sehingga sinar
gelombang panjang tersebut terperangkap dalam atmosfer. Akibatnya suhu
atmosfer naik, sehingga terjadilah efek rumah kaca. Dengan demikian semakin
tinggi konsentrasi gas rumah kaca, maka semakin tinggi pula Kenaikkan suhu
atmosfer, dan semakin tinggi efek rumah kacanya. Sejak akhir abad ke-19 suhu
permukaan global naik berkisar antara 0,3 C sampai 0,6 C, namun pada 40 tahun
terakhir peningkatannya menurun dari 0,2 0c sampai dengan 0,3 0C.

11

Gas rumah kaca bermanfaat untuk meningkatkan suhu permukaan bumi


sehingga bumi menjadi lebih dapat dihuni, sebab jika tanpa gas rumah kaca sama
sekali, maka suhu permukaan bumi akan menjadi sekitar 30 C lebih rendah dari
pada suhu atmosfer sekarang inj, sehingga membuat manusia tidak dapat hidup.
Tingkat emisi gas rumah kaca cenderung meningkat dari waktu ke waktu akibat
meningkatnya aktivitas manusia setelah era industri. Apabila laju peningkatan
emisi gas rumah kaca inj tidak diturunkan maka dikhawatirkan dalam waktu
seratus tahun mendatang, konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer akan meningkat
dua kalj lipat dari konsentrasi saat ini. Hal ini dapat meningkatkan suhu udara
global sampai 6,5 C. Peningkatan suhu global sebesar ini akan menyebabkan
terganggunya kondisi iklim global dan aktivitas biologis di muka bumi (Boer,
2002).
Hal ini dirasakan sulit untuk menyimpulkan data temperatur yang tercatat
pada stasiun metereologi sejak abad ke 19. Alasannya adalah bahwa stasiun
pemantau cuaca berlokasi di sekitar bumi bagian utara yang sebagian besar adalah
laut. Sejak efek dari global warming dirasakan pada beberapa lokasi, sehingga
dirasakan sangat penting untuk memasang alat pengukur suhu dibeberapa tempat.
Badan meteorologi di kota-kota mempublikasikan peningkatan radiasi suhu di
wilayah urban. Sebagai indikator dalan efek rumah kaca adalah peningkatan suhu
pada daerah urban. Berdasarkan hasil konsensus bersama, menyatakan bahwa
pemanasan sekitar 0,5oC disebabkan oleh emisi CO2 pada 100 tahun yang lalu,
sehingga dirasakan sangat berpengaruh terhadap efek global warming.
Model tentang iklim sering digunakan untuk memprediksi implikasi dari
emisi gas rumah kaca. Prediksi ditekankan pada pemanasan akibat akumulasi
emisi CO2 di atmosfer (dikenal dengan CO2-fertilizer effect). Carbon dilepaskan ke
atmosfer baik didarat maupun di laut , dimana hal ini dapat meningkatkan efek
rumah kaca dan berdampak pada global warming. Walaupun demikian para ahli
belum mengetahui secara pasti role dari pelepasan carbon. Ada satu asumsi yang
menyatakan bahwa efek terus menerus dan emisi CO2 dapat merusak terhadap

12

fungsi pelepasan carbon. Untuk saat ini kapasitas pelepasan sampai dengan
penyerapan karbon tidak diketahui.
Aktivitas antropogenik yang lain mungkin dapat meningkatkan efek dari
global warming. Emisi dari partikulat, seperti aerosol sulfate (aerosol adalah
partikulat yang sangat halus dari dari pada partikulat suspended di atmosfer).
dapat menghalangi sinar matahari, dimana ini sangat berdampak pada pendinginan
permukaan.
Keraguan tentang pendapat yang berkaitan dengan waktu pemanasan dan
emisi carbon masih merupakan pertentangan. Kemungkinan peningkatan suhu
dimulai sejak tahun 1940-an.
Salah satu studi tentang global warming dilakukan oleh National Research
Councils Board of Atmosferic Science and Climete, dimana memprediksi
(berdasarkan peningkatan duakali lipat CO2 di atmosfer) pemanasan mencapai
(1,5-4,5) oC (NAS, 1991). Schneider (1991) cit Sukowati 2002 memperdalam
tentang prediksi perubahan iklim global dan predikasi keberadaannya. Schneider
percaya bahwa prediksi global sangat kuat tetapi bagaimana terjadinya perubahan
akan terdistribusi secara regional.
Studi lanjut oleh Wigley dan Rapier mengadopsi dugaan efek pemanasan.
Mereka memprediksi pemanasan dari tahun 1990 sampai 2100 dengan
peningkatan CO2 di atmosfer duakalinya akan meningkatkan suhu antara (1,73,8)oC. Prediksi ini berada diantara prediksi yang dilakukan oleh National
Research Council, tetapi batas bawahnya lebih tinggi. Perbedaan utama dari ke
dua studi ini adalah dalam studi yang dilakukan oleh Wigley dan Rapier
menghitung juga total carbon yang bergabung dengan CO 2 fertilization dari
tanaman

sedangkan dalam penelitian

National Research Council

tidak

memasukkannya. Hal ini menjelaskan bahwa begitu banyak konsentrasi CO 2 yang


tidak terdeteksi jumlahnya (Sukowati,2002).
C.DAMPAK KEGIATAN PERTANIAN TERHADAP GAS RUMAH KACA

13

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang cukup besar


kontribusinya terhadap tingkat emisi gas rumah kaca, berada pada posisi ketiga
setelah sektor kehutanan dan sektor energi. Sumber emisi gas rumah kaca dari
sektor pertanian berasal dari bergai sumber yaitu dari temak ruminansia, tanah
pertanian, pembakaran sisa-sisa tanaman dan sawah. Sumbangan emisi gas rumah
kaca terbesar sektor pertanian berasal dari padi sawah dan ternak, sedangkan dari
tanah dan pembakaran sisa tanaman adalah kecil (Boer, 2002).
Proses fermentasi yang berlangsung di dalam lambung ternak ruminansia
seperti sapi, kerbau, kuda, kambing, domba akan menghasilkan gas metan. Gas
metan juga akan dihasilkan melalui proses dekomposisi kotoran ternak yang
berlangsung secara anaerobik. Selain metan, nitrogen yang dikeluarkan dari ekresi
ternak (baik yang di dalam urin maupun di dalam kotoran) melalui proses
denitrifikasi akan menghasilkan gas N2O.
N2O diproduksi secara alami oleh tanah melalui nitrifikasi dan denitrifikasi
oleh mikrobia. Aktifitas manusia dalam pengelolaan lahan yang dapat
meningkatkan ketersediaan nitrogen tanah (misalnya pemupukan nitrogen dan
bahan organik) untuk proses nitrifikasi dan denitrifikasi akan berakibat
meningkatnya emisi gas N2O baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pembakaran biomass seperti alang-alang dan sisa-sisa tanaman semusim
seperti jerami padi secara langsumg akan menghasilkan gas CO2. Namun karena
ilalang ataupun tanaman semusim akan tumbuh kembali dengan cepat, maka CO2
yang dilepaskan ini akan diserap kembali sehingga emisi CO2 dari proses
pembakaran biomass sisa-sisa tanaman semusim atau alang-alang diasumsikan
no1. Selain gas CO2 pembakaran biomass ini akan menghasilkan gas rumah kaca
lainnya seperti CH4, N20, NOx, dan CO.
Tanaman padi juga melepaskan gas CH4 melalui dekomposisi bahan organik yang
berlangsung secara anaerobik akibat adanya penggenangan air. Dari sawah juga
akan dihasilkan emisi gas rumah kaca lainnya dalam jumlah yang sangat kecil

14

sehingga seringkali tidak diperhitungkan dalam inventarisasi gas rumah kaca.


Sektor kehutanan merupakan sektor yang tingkat emisi gas rumah kaca terbesar
yaitu sekitar 64% kemudian diikuti oleh sektor energi, pertanian, limbah dan
industri. Bila ditinjau dari jenis gas rumah kaca yang dominan maka sumber CO2
terbesar ialah dari sektor kehutanan sedangkan sumber CH4 dan N2O terbesar
ialah dari sektor pertanian (Boer, 2002).
Untuk sektor pertanian, sawah merupakan sumber emisi gas rumah kaca
terbesar, kemudian diikuti oleh perternakan, emisi gas rumah kaca dari tanah dan
dari pembakaran biomass(sisa pertanian). Diantara tiga gas rumah kaca utama,
metan merupakan jenis gas rumah kaca utama yang diemisikan oleh sektor ini.
Total emisi metan tahun 1994 dari sektor ini sekitar 3.2 Tg, sebagaian besar dari
padi sawah (71%) dan peternakan (29%).
D. PENGARUH GAS RUMAH KACA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN
PRODUKTIVITAS TANAMAN
Variabel menonjol yang diperkirakan akan sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan produktivitas tanaman pangan akibat terjadinya peningkatan
kadar CO2 adalah bumi yang memanas. Berdasarkan pengamatan obyektif di
lapangan, diperkirakan akan lebih rendah dibanding permodelan iklim yang lemah
dan kasar menggunakan komputer. Berdasarkan permodelan komputer, muka bumi
rata-rata akan memanas sebesar 1,5-4,5OC jika kadar CO2 meningkat duakali.
Secara keseluruhan iklim akan memanas 3 kali 1,5OC pada akhir abad nanti, dan
pemanasaan terbesar terjadi dikutub, dan lebih rendah dikhatulistiwa.
Kedua, kenaikan suhu dapat diperkirakan dan akan berpengaruh terhadap
pola hujan. Untuk kebanyakan tanaman pangan dan serat dan beberapa spesies lain
perubahan dalam ketersediaan air memiliki akibat yang lebih besar dibanding
kenaikan suhu. Permodelan iklim secara regional telah dimodelkan dalam tingkat
yang lebih kurang meyakinkan dibanding model untuk iklim global.

15

Perubahan yang diperkirakan, jika terjadi dalam pola hujan dan suhu
dengan kadar CO2 yang tinggi akan menguntungkan produksi tanaman pangan
beririgasi. Pertambahan areal pertanian beririgasi di Amerika terjadi di delta
misisipi dan dataran utara. Hal serupa terjadi di India, China dan Rusia bagian
selatan. Di USA, area tanam jagung dan gandum musim dingin akan bergeser ke
utara dan akan digantikan sorgum dan padi-padian.
Ketiga, pemanasan global mempengaruhi variabel yang berpengaruh
terhadap produktifitas pertanian. Hal ini akan sangat penting bagi pertanian yang
terkait zona suhu, baik bagi pertambahan maupun intensitas masa tanam atau
satuan tingkat pertumbuhan. Perhatian petani akan tertuju pada perbedaan
musiman dan antar tahun pada curah hujan, salju, lama musim tanam, dan beda
suhu dalam hari-hari yang berpengaruh pada tahap pertumbuhan. Stabilitas dan
keandalan produksi adalah sama pentingnya dengan besaran jumlah produksi itu
sendiri.
Keprihatinan akan perubahan iklim dimasa depan dan perubahan yang
lebih besar lagi akan diimbangi dengan penelitian mengenai manfaat peningkatan
CO2 bagi fotosintesis dan berkurangnya kebutuhan tanaman akan air, dan tetap
meningkatnya hasil. Selama 70 tahuan, perubahan cuaca, mencerminkan bahwa
hasil tanam di USA, Rusia, India, China, Argentina, Canada dan Australia,
memungkinkan negara dengan cuaca baik dapat menjaga keamanan pangan negara
dari cuaca yang buruk. Kekeringan secara menyeluruh di dunia hampir tak pernah
terjadi saat ini.
Walau ada kepastian bahwa pertanian dunia dapat mengantisipasi
perubahan iklim, perubahan itu akan menambah masalah yang harus ditangani
dalam dasa warsa kedepan. Masalah lain adalah Kelangkaan air dan kualitas air,
tanah yang menjadi gersang, pengadaan energi dari bahan bakar fosil serta
kelangsungan praktek pertanian yang sekarang ada. Beberapa praktek yang
membahayakan kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan harus diubah
bersamaan dengan tingkat produksi yang aman dan dapat diandalkan juga harus

16

terus ditingkatkan. Prakiraan terjadinya perubahan iklim membuat penelitian


pertanian yang komprehensif menjadi sangat penting dalam menghadapi
perubahan itu secara efektif.
Penelitian mengenai perubahan iklim, akan melengkapi usaha peningkatan
produktivitas tanaman, yang dipengaruhi oleh tekanan lingkungan, yang kini
tengah dilakukan melalui rekayasa genetik, perlakuan kimiawi dan pola
pengolahan. Ini akan memberi dua manfaat sekaligus, baik sebagai pelindung
mengahadapi perubahan jangka pendek lingkungan, seperti kemarau dan juga
membantu menghadapi perubahan iklim dalam jangka panjang, dan untuk
mengkapitalisasi sumberdaya hayati bagi peningkatan produksi.
Pandangan yang berbeda mengenai pemanasan global yang memiliki bobot
ilmiah yang baik muncul, mendukung penelitian yang telah dilakukan sebelumnya,
sekarang telah disimpulkan oleh beberapa ilmuwan bahwa model prakiraan iklim
yang dibuat merupakan penyederhanaan yang sangat simplistis dari proses
atmosfir dan lautan yang sangat kompleks. Dan tak dapat dibuktikan bahwa
pengeluaran gas rumah kaca akan berpengaruh signifikan terhadap iklim dunia,
sebab-sebab pemanasan global juga lebih tidak dapat lagi dipastikan.
1. Pengaruh Biologis Langsung:
a. Pertumbuhan Tanaman dalam rumah Kaca
Penelitian mengenai manfaat pengayaan CO2 dimulai abad lalu. Awal
1888, manfaat pemupukan dengan CO2 telah dilakukan pada tanaman di dalam
rumah kaca di Jerman, dan beberapa tahun kemudian di Inggris, serta 80 tahun
yang lalu di USA. Hasil yang menguntungkan pertama kali dilaporkan terjadi pada
tanaman pangan seperti letuce, tomat, mentimun, dan kemudian bunga dan
tanaman hias.
Banyak catatan dan pernyataan yang disusun mengenai pertumbuhan
tanaman yang berada dalam lingkungan yang dikontrol dan diberi pengayaan CO2.
Wittwer dan Robb membuat catatan menyeluruh mengenai data-data sebelumnya

17

dan ditambah hasil penelitiannya sendiri bahwa tanaman tomat mencapai usia
dewasa dan hasil produksi yang menguntungkan dalam rumah kaca yang
diperkaya CO2. Sementara Strain dan Cure menyusun Bibliographi literature
mengenai pengayaan CO2 dan efeknya terhadap lingkungan dan tanaman yang
lengkap. Kimball dkk. pada tahun 1983, 1985 dan 1996 mengumpulkan 770
penelitian mengenai hasil tanaman dalam rumah kaca dengan pengayaan CO2, dan
terbukti hasil tanaman tersebut meningkat 32%.
Pada tahun 1982 diselenggarakan Konferensi Internasional yang bertujuan
mengidentifikasi makalah yang terkait dengan pengaruh biologis langsung dari
pengaruh peningkatan CO2 pada produktifitas tanaman, sebagai sesuatu yang tak
terpisahkan dengan efisiensi photositensis, efisiensi penggunaan air, Penyerapan
Nitrogen biologis terkait dengan sumberdaya iklim seperti cahaya, suhu dan
kelembaban. Fokus makalah ini dibuat dengan mengacu kepada tindak konferensi
tersebut. Dokumentasi yang lebih lengkap mengenai efek langsung CO2 terhadap
produkstifitas tanaman diterbitkan Departemen Energi USA pada Tahun 19851987 secara berseri, makalah Wittwer tahun 1985 dan 1992. Itu semua dilengkapi
oleh materi yang diedit oleh Enoch dan Kimball pada 1968 mengenai Pengayaan
Karbondioksida Pada Tanaman Rumah Kaca meliputi status dan sumber CO2,
physiologi, hasil daan ekonomi. Juga telah dilakukan riset selama 35 tahun oleh
sebuah grup dalam Komisi Tanaman Terlindung pada International Society for
Holticultural Science, yang membuktikan bahwa pengayaan CO2 menambah hasil
sebesar 12-13 %, dibanding pada kadar atmosfir biasa sebesar 335 ppm.
Pengaruh paling mencolok dari pengayaan tersebut dalah efisiensi fotosintesis dan
Penggunaan Air yang lebih efisien.
b. Efisiensi Fotosintesis
Hanya sedikit keraguan bahwa kadar CO2 dalam atmosfir adalah kurang
optimal bagi fototosintesis ketika faktor lain yang berpengaruh terhadap tanaman
(cahaya, air, suhu dan unsur hara) mencukupi. Fotosintesa Netto adalah jumlah

18

fotosintesa brutto minus fotorespirasi, dan fotorespirasi setidaknya memiliki


besaran mengubah 50% karbohidrat hasil fotosintesa kembali menjadi CO2,
dengan peningkatan CO2 fotorespirasi diperkirakan akan menurun. Peningkatan
Biomassa terbukti terjadi ketika dilakukan pengayaan CO2. Ini tak selalu muncul
dari fotosintesa netto. Kadar CO2 yang tinggi memicu penggunaan air yang efisian
dalam tanaman C4 seperti jagung. Peningkatan efisiensi air ini merangsang
pertumbuhan tanaman.
Dampak langsung yang dapat dijejaki dari peningkatan CO2 adalah
peningkatan tingkat fotosintesa daun dan kanopi. Peningkatan fotosintesis akan
meningkat sampai kadar CO2 mendekati 1000 ppm. Hasil paling pasti adalah
tanaman tumbuh cepat dan lebih besar. Ada perbedaan antara spesies. Spesies C3
lebih peka terhadap peningkatan kadar CO2 dibanding C4. Terjadi juga
pertambahan luas dan tebal daun, berat per luas, tinggi tunas, percabangan, bibit
dan jumlah dan berat buah. Ukuran Tubuh meningkat seiring rasio akar-batang.
Rasio C:N bertambah. Lebih dari itu semua hasil panen meningkat. Terutama pada
Kentang, Ubi Jalar, Kedelai. Dengan meningkatnya kadar CO2 menjadi dua kali
sekarang secara global, hasil pertanian diperkirakan akan meningkat sampai 32%
dari sekarang. Perkiraan sementara saat ini sekitar 5%-10% dari kenaikan
produksi pertanian adalah akibat kenaikan kadar CO2. Manfaat pengayaan CO2
terhadap pertumbuhan dan produktifitas tanaman saat ini telah dikenal telah
dikenal luas. Banyak pengujian yang dilakukan dalam lingkungan terkontrol
secara penuh atau sebagian, terhadap beberapa tanaman komersial (padi, Jagung,
gandum, kedelai, kapas, kentang, tomat, ubi jalar, dan beberapa tanaman hutan),
yang membuktikannya.
c. Efisiensi Penggunaan Air
Kebutuhan utama tanaman yang lainnya adalah air, baik secara kualitas
maupun kuantitas. Air kini telah menjadi permasalahan penting bagi lima negara
dengan jumlah penduduk terbesar di dunia (China, India, USA, Sovyet,

19

Indonesia). Juga tentu dinegara-negara temur tengah, afrika utara dan sub sahara.
Satu faktor penting yang berpengaruh terhadap produksi tanaman namun masih
merupakan misteri adalah pola musim kering yang terjadi. Kekeringan adalah hal
yang paling ditakuti oleh para petani diberbagai negara produsen pangan.
Kebutuhan akan air menjadi semakin penting dan kritis, di USA, 8085 %
konsumsi air bersih adalah untuk pertanian. Sepertiga persediaan tanaman pangan
sekarang tumbuh padi 18% lahan beririgasi.
Aspek penting dari peningkatan kadar CO2 dalam atmosfir adalah
kecenderungan tanaman untuk menutup sebagian dari stomata pada daunnya.
Dengan tertutupnya stomata ini penguapan air akan menjadi perkurang, dan
dengan itu berarti efisiensi penggunaan air meningkat. Kekurangan air adalah
faktor pembatas utama dari produktifitas tanaman. Bukti yang selama ini
dikumpulkan menunjukan bahwa peningkatan CO2 di atmosfir meningkatkan
efisiensi penggunaan air. Hal ini adalah penemuan yang penting bagi bidang
pertanian dan juga bagi ekologi. Implikasi dari hal itu bermacam-macam, salah
satunya adalah peningkatan daya tahan terhadap kekeringan dan berkurangnya
kebutuhan air untuk pertanian.
Efek langsung dari kadar CO2 dalam atmosfir terhadap fotosintesis
tanaman C4 adalah meningkatkan efisiensi air dalam fotosintesa. Dan pada
tanaman C4 dan C3 mengurangi membukanya stomata, hal ini ditunjukan oleh
Roger et al. pada tanaman kedelai. Tanaman dengan cara fotosintesa C3 mendapat
keuntungan dengan 3 cara. Pertama meluasnya ukuran daun, kedua peningkatan
tingkat fotosintesis perunit luas daun, dan terakhir efisiensi penggunaan air.
d. Produksi Tanaman Pangan Beririgasi
Perubahan yang telah diperkirakan mengenai penguapan dan suhu akibat
efek rumah kaca dan pemanasan global sepertinya akan menguntungkan lahan
pertanian beririgasi. Di USA, luas areal pertanian beririgasi akan meluas sampai
dataran utara dan delta Missisipi, hal ini juga berlaku untuk Cina, India dan negara

20

lain. Dimana lingkungan lebih lembab dan diperuntukkan untuk tanaman bijibijian dan kacang-kacangan. Kecenderungan ini telah terjadi di USA, China, dan
India. Jagung dan Gandum kini bergeser mendekati daerah yang dingin dan lebih
lembab. Produksi Sorgum dan padi-padian akan menggeser posisi areal gandum
dan jagung tersebut. Diharapkan juga, dimasa mendatang model dari atmosfir dan
iklim akan lebih berkembang dan melengakapi dari apa yang sekarang telah
dikembangkan, sehingga sensitivitas tanaman terhadap perubahan iklim lebih
dapat diketahui.
2. Pertumbuhan dan Produkstifitas Tanaman: Kemampuan Adaptasi terhadap
Sumberdaya Iklim di Bumi
Banyak tanaman pangan mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim. Di
bumi padi, ubikayu, ubijalar dan jagung dapat tumbuh dimana saja kelembaban
dan suhu sesuai. Jagung mampu tumbuh di areal yang beraneka ragam
kelembaban, suhu, dan ketinggian dibumi ini. Areal produksinya di USA telah
meluas ke utara sampai 800 km selam lima puluh tahun ini. Kedelai dan Kacang
tanah dapat tumbuh di daerah tropik sampai lintang 450 LU dan 400 LS. Gandum
musim dingin yang lebih produktif dari gandum musim semi areal tanamnya telah
meluas keutara sejauh 360 km. Ditambah dengan kemampuan rekayasa genetik
yang kita miliki perluasan areal tanam akan semakin mungkin dan cepat
terealisasi.
Diperkirakan penggandaan kadar CO2 akan meningkatkan produktivitas
tanaman di Amerika Utara, hal serupa juga terjadi di Sovyet, Eropa dan propinsi
bagian utara China. Tanaman hortikultura dapat berkembang bebearapa musim
diseluruh negara bagian USA. Tanaman seperti Tebu dan Kapas semakin meluas
areal tanamnya dengan dimanfaatkannya mulsa dan pelindung plastik. Pemanasan
global akan lebih menguntungkan dibanding dengan kembalinya era es

21

sebagaimana diprediksi beberapa dekade yang lalu. Terlebih dimana produksi


tanaman pangan terpusat di Lintang 300 LU sampai 500 LS.
Perubahan iklim secara drastis dan ekstrem sebagaimana yang selama ini
dipublikasikan adalah hal yang sangat berlebihan. Pemanasan secara perlahan
mungkin menguntungkan, karena memungkinkan penanaman tumbuhan tropis
seperti mangga, pepaya, nanas dan pisang , dinegara bagian selatan USA.
3. Prakiraan Regional: Pola Iklim dan Respons Tanaman
Sejak 1850, kadar CO2 dalam atmosfir telah meningkat sebesar 25 %
akibat pembakaran bahan bakar fosil dan penggundulan hutan tak ada yang
menentangnya. Kadar gas rumah kaca selain CO2 juga telah meningkat melebih
prosentase CO2 dan dengan efek pemanas yang setara CO2. Namun terdapat
kontrovesi mengenai kapan pemanasan global pertama kali muncul, juga terdapat
kontroversi mengenai besaran perubahan suhu yang terjadi, jika terjadi pada masa
yang akan datang. Perkiraan yang ada berkisar antara minus 1,50C sampai 60C.
Prakiraan iklim dan cuaca regional dengan sebaran variabel seperti awan,
kelembaban, dan angin lebih tidak pasti lagi.
Efek langsung dari meningkatnya CO2, berdampak positif terhadap
tumbuhan,

sebagaimana

dibahas

diatas,

namun

bila

terjadi kekeringan

sebagaimana ramalan hasil permodelan iklim yang sekarang, hasil pertanian tak
dapat dipastikan. Namun secara garis besar dampak yang terjadi masih dapat kita
kendalikan. Tindakan dari petani, ilmuwan dan kebijkan pemerintah lebih
diperlukan dibandingkan dengan perubahan pola hidup kita.
Prakiraan pengaruh CO2 terhadap iklim menimbulkan banyak spekulasi,
dan beberapa riset telah dimulai untuk meneliti dampaknya terhadap hubungan
hama dan tanaman dan strategi perlindungan tanaman. Gulma, Serangga,
nematoda dan wabah berdampak sangat merugikan bagi pertanian. Perubahan
Iklim yang mungkin akan berdampak pada hubungan tumbuhan hasil panen
hama, dan ekosistem lain. Peningkatan kandungan karbohidrat dan akumulasi

22

nitrogen akan berpengaruh terhadap pola makan serangga, ini telah ditunjukan
dalam beberapa eksperimen. Pengendalian hama memasuki era baru, dengan
pengintegrasian penanganan hama.

23

You might also like