Professional Documents
Culture Documents
PERITONITIS
DI RAUNG BEDAH UMUM RSUD ULIN BANJARMASIN
OLEH:
ADI SETIAWAN, S.KEP
NIM : 14.NS.021
LEMBAR PENGESAHAN
: 14.NS.021
JUDUL LP
--------------------------------------------------
.................................................
PRESEPTOR AKADEMIK
PRESEPTOR KLINIK
...............................................
..................................................
LAPORAN PENDAHULUAN
.PERITONITIS
A. DEFINISI
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada
selaput organ perut (peritonieum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih
yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi
peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan
patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan
suatu kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterisemia atau
sepsis.
Peradangan
yang sering
terjadi
abdomen (misalnya
peritoneum
akibat
merupakan
penyebaran
apendisitis,
komplikasi
infeksi
salpingitis,
dari
berbahaya
organ-organ
perforasi
ulkus
tindakan
bedah
harus
segera
dewasa
mencapai
1,7m2.
Ia
berfungsi
sebagai
membrane
penting
menjamin
berlangsungnya
menimbulkan
eksudasi
cairan
kaya
komplemen,
mediator
kesembuhan
pro-inflamasi
dimana
mulai
di
daerah
timbul
sakit
mediator
sampai
anti-inflamasi
terjadi
yang
yang
mengandung
fibrinogen.
Sel
rusak
mengeluarkan
menjadi
fibrin.
Fibrin
akan
menangkap
bakteri
dan
akibat
tindakan
operasi
sebelumnya
Sedangkan
infeksi
antara perlekatan
fibrinosa,
yang
menempel
menjadi
satu dengan
hipovolemia.
Hipovolemia
bertambah
dengan
adanya
kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan
di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra
abdomen,
membuat
usaha
pernapasan
penuh
menjadi
sulit
dan
usus
yang
meregang
dan
dapat
mengganggu
peningkatan
peristaltik
usus
sebagai
usaha
untuk mengatasi
hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang
tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau
parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah
sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren
dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada
rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis (Fauci et al, 2008).
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang
disebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari
makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam
lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan limfoid
plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi
ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang
lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul
oleh nyeri perut, nyeri tekan, defansmuskuler, dan keadaan umum yang
merosot karena toksemia (Fauci et al, 2008).
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum
yang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis
generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan
peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan
hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan
di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung,
empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut
menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi
bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu
menunjukkan rangsangan peritoneum berupa mengenceran zat asam garam
yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai
kemudian terjadi peritonitis bacteria (Fauci et al, 2008).
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan
lumen apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur
karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalamibendungan,makin lama mukus tersebut
makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat
aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi
mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran
arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi
dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general (Fauci et
al, 2008).
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma
tumpul abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila
mengenai organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang
timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster
yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan
kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi
dibagian
atas,
misalnya
didaerah
lambung
maka
akan
terjadi
yaitu:
lamanya
penyakit,
perluasan
dari
kontaminasi
cavum
peradangan
peritoneum.
Menurunnya
intensitas
dan
normal
sebagai
mekanisme
kompensasi
untuk
c. Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara
usus dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi
intestinal sampai hamper tidak terdengar suara bising usus pada
peritonitis
berat
dengan
ileus.
Adanya
local,
atau
dapat
menjadi
menyebar
seperti
pada
tersebut
atau
menjalar
ke
titik
peradangan
yang
spasme
secara
involunter
sebagai
mekanisme
G. PROGNOSIS
Mortalitas tetap tinggi, 10 % - 40 %, prognosis lebih buruk pada usia
lanjut dan bila peritonitis sudah berlangsung lebih dari 48 jam. Lebih cepat
diambil tindakan, lebih baik prognosisnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi
tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan durasinya,
keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan
kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien
dengan ulkus perforata atau apendisitis, pada usia muda, pada pasien
dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis lebih
awal (Doherty, 2006).
H. KOMPLIKASI
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi
komplikasi lokal dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan
sepsis intraperitoneal, pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir
minggu pertama postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema
generalisata, peningkatan distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan
merupakan indikator adanya infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan
pemeriksaan lebih lanjut misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan kegagalan organ yang multipel yaitu organ
respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem imun (Doherty, 2006
I.
PATHWAY
Bakteri
Masuk saluran
cerna
Peradangan
saluran cerna
Streptokok.
Stapilokok
eksternal
Masuk kae ginjal
Perdangan ginjal
Cedera perforasi
saluran cerna
Benda asing,
dialysis, tumor
Keluarnya enzim
pancreas, asam
lambung,
empedu
Porte de entre
benda asing,
bakteri
Masuk ke rongga
peritoneum
PERITONITIS
Fase
penyembuhan
Perlekatan
fibrosa
Merangsang
aktivitas
parasimpatik
Absorpsi
menurun
Obstruksi usus
Diare
Refluk makan ke
atas
Mual, muntah,
anoreksia
Intake inadekuat
Perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan
Kekurangan
volume cairan
dan elektrolit
Merangsang
pusat nyeri di
talamus
nyeri
Perangsangan
pirogen di
hipotalamus
hipertermi
J. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan
elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik
(Doherty, 2006).
1. Penanganan Preoperatif
a. Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh
pada
membran
peritoneum
lebih
besar
karena
kemudian
akan
dikeluarkan
lewat
kuman
harus
diberikan
lebih
dulu,
selama
dan
setelah
sama
baiknya
jika
memberikan
cephalosporin
cukup
diperlukan,
karena
pada
peritonitis
terjadi
alveolar
yang
dapat
ditandai
dengan
meningkatnya
PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang ditandai
dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang cepat
dan dangkal (Schwartz et al, 1989).
d. Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik
Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari
abdomen, mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting
dilakukan
untuk
mengontrol
sumber
dari
kontaminasi
dan
bersamalavage.
tidak
Terlebih
ada
efek
lagi,
tambahan
lavage
pada
dengan
pemberian
menggunakan
karena
kelompok
obat
ini
menghambat
kerja
dari
luar
yang
dapat
menyebabkan
kontaminasi.
Drainase
Drainase
diindikasikan
untuk
peradangan
massa
Pengananan Postoperatif
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien
yang tidak stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas
hemodinamik untuk perfusi organ-organ vital., dan mungkin dibutuhkan
agen inotropik disamping pemberian cairan. Antibiotik diberikan selama
10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang
baik ditandai dengan produksi urin yang normal, penurunan demam dan
leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum membaik. Tingkat
kesembuhan
bervariasi
tergantung
pada
durasi
dan
keparahan
1. KEPERAWATAN
NO
1
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kreteria Hasil
NOC:
Intervensi
NIC:
- Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
- Pasang mayo bila perlu
- Lakukan fisioterapi dada jika perlu
- Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
- Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
- Berikan bronkodilator :
..
.
- Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
- Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
Monitor respirasi dan status O2
- Bersihkan mulut, hidung dan secret
Trakea
- Pertahankan jalan nafas yang paten
- Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi
- Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
- Monitor vital sign
- Informasikan pada pasien dan keluarga tentang tehnik
relaksasi untuk memperbaiki pola nafas.
- Ajarkan bagaimana batuk efektif
- Monitor pola nafas
NOC:
NIC :
- Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
- Pasang mayo bila perlu
- Lakukan fisioterapi dada jika perlu
Toleransi aktivitas
- Ketidakseimb angan antara suplei oksigen
- Kaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan
Konservasi eneergi
dengan kebutuhan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan - Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat
- Gaya hidup yang dipertahankan.
selama . Pasien bertoleransi terhadap - Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi
DS:
secara berlebihan
K. DAFTAR PUSTAKA
Brian, J. 2011, Peritonitis and Abdominal Sepsis. Diakses pada 8 septemer
2012.http://emedicine.medscape.com/article/180234overview#aw2aab6b2b4aa
Cole et al. 1970. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition. AppeltonCentury Corp, Hal 784-795
Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis &
Treatment 12ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Evans, HL. 2001. Tertiary Peritonitis (Recurrent Diffuse or Localized Disease)
is not An Independent Predictor of Mortality in Surgical Patients with
Intra Abdominal Infection. Surgical Infection (Larchmt); 2(4) : 255-63
Fauci et al, 2008, Harrisons Principal Of Internal Medicine Volume 1,
McGraw Hill, Peritonitis halaman 808-810, 1916-1917
Hau, T. 2003. Peritoneal Defense Mechanisms. Turk J Med Sci; 33: 131-4
Heemken, R. 1997. Peritonitis: Pathophydiology and Local Defense
Mechanisms. Hepatogastroenterology; Jul-Aug; 44(16): 927-36
Iwagaki, H. 1997. Clinical Value of Cytokine Antagonists in Infectious
Complications. Res CommunMol Pathol Pharmacol; Apr: 96(1): 25-34
Marshall, JC. 2003. Intensive Care Management of Intra Abdominal Infection.
Critical Care Medicine; 31(8) : 2228-37
Schwartz et al. 1989. Priciple of Surgery 5th Edition. Singapore: Mc.Graw-Hill,
Hal 1459-1467