You are on page 1of 24

LAPORAN PENDAHULUAN

PERITONITIS
DI RAUNG BEDAH UMUM RSUD ULIN BANJARMASIN

OLEH:
ADI SETIAWAN, S.KEP
NIM : 14.NS.021

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SARI MULIA BANJARMASIN


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
2014

LEMBAR PENGESAHAN

NAMA MAHASISWA : ADI SETIAWAN, S.KEP


NPM

: 14.NS.021

JUDUL LP

: LAPORAN PENDAHULUAN PERITONITIS

BANJARMASIN, 08 SEPTEMER 2014

--------------------------------------------------

.................................................
PRESEPTOR AKADEMIK

PRESEPTOR KLINIK

...............................................

..................................................

LAPORAN PENDAHULUAN
.PERITONITIS
A. DEFINISI
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada
selaput organ perut (peritonieum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih
yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi
peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan
patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan
suatu kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterisemia atau
sepsis.
Peradangan
yang sering

terjadi

abdomen (misalnya

peritoneum
akibat

merupakan

penyebaran

apendisitis,

komplikasi

infeksi

salpingitis,

dari

berbahaya
organ-organ

perforasi

ulkus

gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi


kimiawi, ataudari luka tembus abdomen. Pada keadaan normal, peritoneum
resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi kecil-kecilan); kontaminasi
yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan
adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor
yang memudahkan terjadinya peritonitis
Keputusan untuk melakukan

tindakan

bedah

harus

segera

diambil karena setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang


berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan
penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada
data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada
selaput organ perut (peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan
jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam.
Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan
patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan
suatu kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau
sepsis. Akut peritonitis sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi
viskus (secondary peritonitis). Apabila tidak ditemukan sumber infeksi pada
intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary peritonitis. (Fauci et al,
2008)
B. ANATOMIFISIOLOGI
Peritoneum merupakan membran yang terdiri dari satu lapis sel
mesothel yang dipisah dari jaringan ikat vaskuler dibawahnya oleh
membrane basalis. Ia membentuk kantong tertutup dimana visera dapat
bergerak bebas didalamnya. Peritoneum meliputi rongga abdomen sebagai

peritoneum parietalis dan melekuk ke organ sebagai peritoneum viseralis


(Marshall, 2003).

Luas permukaannya mendekati luas permukaan tubuh yang pada


orang

dewasa

mencapai

1,7m2.

Ia

berfungsi

sebagai

membrane

semipermeabel untuk difusi 2 arah untuk cairan dan partikel. Luas


permukaan untuk difusi seluas 1m2 (Heemken, 1997).
Pada rongga peritoneum dewasa sehat terdapat 100cc cairan
peritoneal yang mengandung protein 3 g/dl. Sebagian besar berupa albumin.
Jumlah sel normal adalah 33/mm3 yang terdiri dari 45% makrofag, 45% sel T,
8% sisanya terdiri dari NK, sel B, eosinofil, dan sel mast serta sekretnya
terutama prostasiklin dan PGE2. Bila terjadi peradangan jumlah PMN dapat
meningkat sampai > 3000/mm3 (Marshall, 2003).
Dalam keadaan normal, 1/3 cairan dalam peritoneum di drainase
melalui limfe diafragma sedang sisanya melalui peritoneum parietalis
(Evans, 2001). Relaksasi diafragma menimbulkan tekanan negatif sehingga
cairan dan partikel termasuk bakteri akan tersedot ke stomata yaitu celah di
mesothel difragma yang berhubungan dengan lacuna limfe untuk bergerak le
limfe substernal. Kontraksi diafragma menutup stomata dan mendorong limfe
ke mediastinum (Hau, 2003).
Oleh karena itu, sangat

penting

menjamin

berlangsungnya

pernapasan spontan yang baik agar clearance bakteri peritoneum dapat


berlangsung (Evans, 2001). Dalam keadaan normal, peritoneum dapat

mengadakan fibrinolisis dan mencegah terjadinya perlekatan. Peritoneum


menangani infeksi dengan 3 cara:
1. Absorbsi cepat bakteri melalui stomata diafragma
Pompa diafragma akan menarik cairan dan partikel termasuk bakteri
kearah stomata. Oleh karena itu bila terdapat infeksi di peritoneum
bagian bawah, bakteri yang turut dalam aliran dapat bersarang di bagian
atas dan dapat menimbulkan sindroma Fitz-Hugh-Curtis, yaitu nyeri perut
atas yang disebabkan perihepatitis yang menyertai infeksi tuba falopii
(Evans, 2001).
Peritonitis menyebabkan pergeseran cepat cairan intravaskuler dan
intersisiel ke rongga peritoneum, sehingga dapat terjadi hipovolemia.
Empedu, asam lambung, dan enzim pancreas memperbesar pergeseran
cairan ini (Heemken, 1997).
2. Penghancuran bakteri oleh sel imun
Bakteri atau produknya akan mengaktivasi sel mesothel, netrofil,
makrofag, sel mast, dan limfosit untuk menimbulkan reaksi inflamasi
(Iwagaki, 1997).
Selain melepas mediator inflamasi ia dapat mengadakan degranulasi
zat vasoaktif yang mengandung histamine dan prostaglandin. Histamine
dan prostaglandin yang dilepas sel mast dan makrofag menyebabkan
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh peritoneum
sehingga

menimbulkan

eksudasi

cairan

kaya

komplemen,

immunoglobulin, faktor pembekuan, dan fibrin (Marshall, 2003).


Sudah diketahui bahwa untuk penyembuhan jaringan diperlukan
respon

mediator

kesembuhan

pro-inflamasi

dimana

mulai

di

daerah

timbul

sakit

mediator

sampai

anti-inflamasi

terjadi
yang

menghentikan proses pro-inflamasi. Keadaan ini menunjukkan adanya


keseimbangan fungsi antara respon pro- dan anti-inflamasi. Tetapi pada
keadaan tertentu dapat terjadi ketidakseimbangan dimana salah satu
yaitu: pro-inflamasi atau anti-inflamasi atau bahkan keduanya sekaligus
meningkat hebat diluar kebutuhan penderita. Dalam keadaan ini kedua
mediator yang bertentangan dapat menimbulkan kerusakan organ hebat
sehingga terjadi kegagalan organ (Marshall, 2003).
3. Lokalisasi infeksi sebagai abses
Pada peningkatan permeabilitas venula terjadi eksudasi cairan kaya
protein

yang

mengandung

fibrinogen.

Sel

rusak

mengeluarkan

tromboplastin yang mengubah protrombin menjadi thrombin dan


fibrinogen

menjadi

fibrin.

Fibrin

akan

menangkap

bakteri

dan

memprosesnya hingga terbentuk abses. Hal ini dimaksud untuk


menghentikan penyebaran bakteri dalam peritoneum dan mencegah
masuknya ke sistemik. Dalam keadaan normal fibrin dapat dihancurkan

antifibrinolitik, tetapi pada inflamasi mekanisme ini tak berfungsi (Evans,


2001).
C. ETIOLOGI
Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk:
1. Peritonitis primer (Spontaneus)
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang
langsung dari rongga peritoneum. Penyebab paling sering dari peritonitis
primer adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit
hepar kronis. Kira-kira 10-30% pasien dengan sirosis hepatis dengan
ascites akan berkembang menjadi peritonitis bakterial.
2. Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi
appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi
kolon (paling sering kolon sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus, kanker
serta strangulasi usus halus (Brian,2011).
Regio Asal Penyebab
Boerhaave syndrome, Malignancy, Trauma (mostly
Esophagus
penetrating), Iatrogenic*
Peptic ulcer perforation, Malignancy (eg, adenocarcinoma,,
Stomach lymphoma, gastrointestinal stromal tumor), Trauma (mostly
penetrating), Iatrogenic*
Peptic ulcer perforation, Trauma (blunt and penetrating),
Duodenum
Iatrogenic*
Cholecystitis, Stone perforation from gallbladder (ie, gallstone
Biliary tract ileus) or common duct, Malignancy, Choledochal cyst (rare),
Trauma (mostly penetrating), Iatrogenic*
Pancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones), Trauma (blunt and
Pancreas
penetrating), Iatrogenic*
Ischemic bowel, Incarcerated hernia (internal and external),
Small
Closed loop obstruction, Crohn disease, Malignancy (rare),
bowel
Meckel, diverticulum, Trauma (mostly penetrating)
3.Large
Ischemic bowel, Diverticulitis, Malignancy, Ulcerative colitis and
bowel and Crohn disease, Appendicitis, Colonic volvulus, Trauma (mostly
appendix penetrating), Iatrogenic
Uterus,
Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis, tubosalpinx,
ovarian, abscess, ovarian cyst), Malignancy (rare), Trauma
and ovaries (uncommon)
Peritonitis tertier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman,
dan

akibat

tindakan

operasi

sebelumnya

Sedangkan

infeksi

intraabdomen biasanya dibagi menjadi generalized (peritonitis) dan


localized (abses intra abdomen).
D. PATOFISIOLOGI
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah
keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di

antara perlekatan

fibrinosa,

yang

menempel

menjadi

satu dengan

permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya


menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita
fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus (Fauci et al, 2008).
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan
membrane mengalamikebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara
cepat dan agresif, maka dapatmenimbulkan kematian sel. Pelepasan
berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon
hiperinflamatorius, sehingga membawa keperkembangan selanjutnya dari
kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi
dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga
ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini
segera gagal begitu terjadi hipovolemia (Fauci et al, 2008).
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah
kapiler organ-organ tersebutmeninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga
peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra
peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal
menyebabkan

hipovolemia.

Hipovolemia

bertambah

dengan

adanya

kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan
di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra
abdomen,

membuat

usaha

pernapasan

penuh

menjadi

sulit

dan

menimbulkan penurunan perfusi (Fauci et al, 2008).


Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan
peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum.
Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang
sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang.
Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi,
syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara
lengkung-lengkung

usus

yang

meregang

dan

dapat

mengganggu

pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus (Fauci et al,


2008).
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat
menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka
terjadi

peningkatan

peristaltik

usus

sebagai

usaha

untuk mengatasi

hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang
tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau
parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah
sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren

dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada
rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis (Fauci et al, 2008).
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang
disebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari
makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam
lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan limfoid
plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi
ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang
lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul
oleh nyeri perut, nyeri tekan, defansmuskuler, dan keadaan umum yang
merosot karena toksemia (Fauci et al, 2008).
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum
yang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis
generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan
peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan
hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan
di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung,
empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut
menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi
bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu
menunjukkan rangsangan peritoneum berupa mengenceran zat asam garam
yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai
kemudian terjadi peritonitis bacteria (Fauci et al, 2008).
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan
lumen apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur
karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalamibendungan,makin lama mukus tersebut
makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat
aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi
mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran
arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi
dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general (Fauci et
al, 2008).
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma
tumpul abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila
mengenai organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang
timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster

yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan
kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi
dibagian

atas,

misalnya

didaerah

lambung

maka

akan

terjadi

perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis


hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi
gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak
baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan
peritoneum (Fauci et al, 2008).
E. MANIFESTASI KLINIK
Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran
di dalam rongga abdomen. Bertanya gejala berhubungan dengan beberapa
faktor

yaitu:

lamanya

penyakit,

perluasan

dari

kontaminasi

cavum

peritoneum dan kemampuan tubuh untuk melawan, usia serta tingkat


kesehatan penderita secara umum (Cole et al,1970).
Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang
berasal dari awal peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik.
Penemuan lokal meliputi nyeri abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding
abdomen, distensi, adanya udara bebas pada cavum peritoneum dan
menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi dari peritoneum
parietalis dan menyebabkan ileus. Penemuan sistemik meliputi demam,
menggigil, takikardi, berkeringat, takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria,
disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok (Doherty, 2006).
1. Gejala
a. Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hamper selalu ada pada
peritonitis. Nyeri biasanya dating dengan onset yang tiba-tiba, hebat
dan pada penderita dengan perforasi nyerinya didapatkan pada
seluruh bagian abdomen (Doherty, 2006).
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus,
tidak ada henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan
berbagai gerakan. Nyeri biasanya lebih terasa pada daerah dimana
terjadi

peradangan

peritoneum.

Menurunnya

intensitas

dan

penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi dari proses


peradangan, ketika intensitasnya bertambah meningkat diserta
dengan perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari
peritonitis (Schwartz et al, 1989).
b. Anoreksia, mual, muntah dan demam
Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat
diikuti dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan
badan terasa seperti demam sering diikuti dengan menggigil yang

hilang timbul. Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar 38OC


sampai 40 OC (Schwartz et al, 1989).
c. Facies Hipocrates
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini
termasuk ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata
cowong, kedua telinga menjadi dingin, dan muka yang tampak
pucat (Cole et al,1970).
Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates
biasanya berada pada stadium pre terminal. Hal ini ditandai dengan
posisi mereka berbaring dengan lutut di fleksikan dan respirasi
interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat menyebabkan
nyeri pada abdomen (Schwartz et al, 1989).
Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan
tingkat kematian yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih
awal diagnosis dan perawatan yang lebih baik, angka kematian dapat
lebih banyak berkurang (Cole et al,1970).
d. Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua
factor. Pertama akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum
peritoneum atau ke lumen dari intestinal. Yang kedua dikarenakan
terjadinya sepsis generalisata(Cole et al,1970).
Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan
kuman gram negative diman dapat menyebabkan terjadinya tahap
yang menyerupai syok. Mekanisme dari fenomena ini belum jelas,
akan tetapi dari penelitian diketahui bahwa efek dari endotoksin pada
binatang dapat memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala yang mirip
seperti gambaran yang terlihat pada manusia (Cole et al,1970).
2. Tanda
a. Tanda Vital
Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau
komplikasi yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis
metabolic dapat dilihat dari frekuensi pernafasan yang lebih cepat
daripada

normal

sebagai

mekanisme

kompensasi

untuk

mengembalikan ke keadaan normal. Takikardi, berkurangnya volume


nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat menandakan
adanya syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera diketahui
dan pemeriksaan yang lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian
tertentu mendapat perhatian khusus untuk mencegah keadaan yang
lebih buruk (Schwartz et al, 1989).
b. Inspeksi

Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya


distensi dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi
abdomen tidak menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika
penderita diperiksa pada awal dari perjalanan penyakit, karena dalam
2-3 hari baru terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi
akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan distensi
abdomen terjadi akibat ileus paralitik (Cole et al,1970).

c. Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara
usus dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi
intestinal sampai hamper tidak terdengar suara bising usus pada
peritonitis

berat

dengan

ileus.

Adanya

suara borborygmi dan

peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop lebih baik daripada suara


perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada
abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus
yang mengalami strangulasi (Cole et al,1970).
d. Perkusi
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman
pemeriksa. Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya
perforasi intestinal, hal ini menandakan adanya udara bebas dalam
cavum peritoneum yang berasal dari intestinal yang mengalami
perforasi. Biasanya ini merupakan tanda awal dari peritonitis (Cole et
al,1970).
Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga,
udara akan menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah
diafragma, sehingga akan ditemukan pekak hepar yang menghilang
(Schwartz et al, 1989).
e. Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen
pada kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan
palpasi daerah yang kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah
pada daerah yang dicurigai terdapat nyeri tekan. Ini terutama

dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat langsung pada


daerah yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak berguna.
Kelompok orang dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada
wanita yang sudah sering melahirkan banyak anak dan orang yang
sudah tua, sulit untuk menilai adanya kekakuan atau spasme dari otot
dinding abdomen. Penemuan yang paling penting adalah adanya
nyeri tekan yang menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut
nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan spasme
otot abdomen secara involunter. Orang yang cemas atau yang mudah
dirangsang mungkin cukup gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal
tersebut dapat dilakukan dengan mengalihkan perhatiannya. Nyeri
tekan lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh suatu proses
inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan
perforasi

local,

atau

dapat

menjadi

menyebar

seperti

pada

pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya terlokalisir pada


daerah

tersebut

atau

menjalar

ke

titik

peradangan

yang

maksimal (Cole et al,1970).


Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut
melakukan

spasme

secara

involunter

sebagai

mekanisme

pertahanan. Pada peritonitis, reflek spasme otot menjadi sangat berat


seperti papan (Schwartz et al, 1989).
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara
riwayat penyakit dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana
dilakukan adalah termasuk hitung sel darah dan urinalisis. Pada kasus
peritonitis hitung sel darah putih biasanya lebih dari 20.000/mm3, kecuali
pada penderita yang sangat tua atau seseorang yang sebelumnya
terdapat infeksi dan tubuh tidak dapat mengerahkan mekanisme
pertahanannya (Cole et al,1970).
Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan
didominasi oleh polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya
peradangan, meskipun jumlah leukosit tidak menunjukkan peningkatan
yang nyata (Schwartz et al, 1989).
Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes
2.

fungsi hepar dan ginjal dapat dilakukan (Doherty, 2006).


Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya
mencakup foto thorak PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada
foto thorak dapat memperlihatkan proses pengisian udara di lobus

inferior yang menunjukkan proses intraabdomen. Dengan menggunakan


foto polos thorak difragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau
keduanya akibat adanya udara bebas dalam cavum peritoneum
daripada dengan menggunakan foto polos abdomen (Cole et al,1970).
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus
halus dan usus besar mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat
pada kasus perforasi. Foto polos abdomen paling tidak dilakukan
dengan dua posisi, yaitu posisi berdiri/tegak lurus atau lateral decubitus
atau keduanya. Foto harus dilihat ada tidaknya udara bebas. Gas harus
dievaluasi dengan memperhatikan pola, lokasi dan jumlah udara di usus
besar dan usus halus (Cole et al,1970).

G. PROGNOSIS
Mortalitas tetap tinggi, 10 % - 40 %, prognosis lebih buruk pada usia
lanjut dan bila peritonitis sudah berlangsung lebih dari 48 jam. Lebih cepat
diambil tindakan, lebih baik prognosisnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi
tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan durasinya,
keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan
kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien
dengan ulkus perforata atau apendisitis, pada usia muda, pada pasien
dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis lebih
awal (Doherty, 2006).
H. KOMPLIKASI
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi
komplikasi lokal dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan
sepsis intraperitoneal, pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir
minggu pertama postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema
generalisata, peningkatan distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan
merupakan indikator adanya infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan
pemeriksaan lebih lanjut misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan kegagalan organ yang multipel yaitu organ
respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem imun (Doherty, 2006

I.

PATHWAY

Bakteri

Masuk saluran
cerna
Peradangan
saluran cerna

Streptokok.
Stapilokok
eksternal
Masuk kae ginjal
Perdangan ginjal

Cedera perforasi
saluran cerna

Benda asing,
dialysis, tumor

Keluarnya enzim
pancreas, asam
lambung,
empedu

Porte de entre
benda asing,
bakteri

Masuk ke rongga
peritoneum
PERITONITIS

Fase
penyembuhan
Perlekatan
fibrosa

Merangsang
aktivitas
parasimpatik
Absorpsi
menurun

Obstruksi usus
Diare
Refluk makan ke
atas
Mual, muntah,
anoreksia
Intake inadekuat

Perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan

Kekurangan
volume cairan
dan elektrolit

Merangsang
pusat nyeri di
talamus
nyeri

Perangsangan
pirogen di
hipotalamus
hipertermi

J. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan
elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik
(Doherty, 2006).
1. Penanganan Preoperatif
a. Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh

pada

membran

peritoneum

menyebabkan perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum


peritoneum dan ruang intersisial (Schwartz et al, 1989).
Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui
intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap
baik dan status hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan
terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC
(Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan
koloid harus diberikan untuk mengganti cairan yang hilang (Doherty,
2006)
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan
cairan intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan
kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah
yang

lebih

besar

karena

kemudian

akan

dikeluarkan

lewat

ginjal (Schwartz et al, 1989).


Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari
jaringan dan ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi (Doherty,
2006).
b. Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi
bakteri aerob yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan
Streptococcus, sedangkan bakteri anaerob yang tersering adalah
Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan
penting dalam terpai peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris
harus dapat melawan kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi
peritoneum (Schwartz et al, 1989).
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan
hasil kultur dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji
sensitivitas jika masih terdapat tanda infeksi. Jika penderita baik
secara klinis yang

ditandai dengan penurunan demam dan

menurunnya hitung sel darah putih, perubahan antibiotik harus


dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil dari uji
sensitivitas (Cole et al,1970).
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi
seperti: (1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari
peritonitis trauma atau nontrauma, (3) ada tidaknya

kuman

oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai


antibiotik

harus

diberikan

lebih

dulu,

selama

dan

setelah

operasi (Schwartz et al, 1989).


Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram
harus segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika
dipertahankan dalam dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari
penicillin dan streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri
gram negatif. Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram
streptomycin sehari sampai didapatkan hasil kultur merupakan
regimen terpai yang logis. Pada penderita yang sensitif terhadap
penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral
lebih baik daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi
(Cole et al,1970).
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan
aminoglikosida

sama

baiknya

jika

memberikan

cephalosporin

generasi kedua(Schwartz et al, 1989).


Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk
gram negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme
anaerob (Doherty, 2006).
Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting
daripada pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis
antibiotikal awal yang kurang adekuat berperan dalam kegagalan
terapi. Penggunaan aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati,
karena gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari
peritonitis dan penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu
aktivitas obat dalam sel. Pemberian antibiotik diberikan sampai
penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel darah putih
yang normal (Doherty, 2006).
c. Oksigen dan Ventilator
Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada
peritonitis

cukup

diperlukan,

karena

pada

peritonitis

terjadi

peningkatan dari metabolism tubuh akibat adanya infeksi, adanya


gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika
terdapat kondisi-kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga
ventilasi

alveolar

yang

dapat

ditandai

dengan

meningkatnya

PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang ditandai
dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang cepat
dan dangkal (Schwartz et al, 1989).
d. Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik
Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari
abdomen, mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting

mengurangi jumlah udara pada usus. Pemasangan kateter untuk


mengetahui fungsi dari kandung kemih dan pengeluaran urin. Tanda
vital (temperature, tekanan darah, nadi dan respiration rate) dicatat
paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia preoperative termasuk
serum elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali fosfatase dan
2.

urinalisis (Schwartz et al, 1989).


Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi
biasanya

dilakukan

untuk

mengontrol

sumber

dari

kontaminasi

peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus


dengan anstomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi
yang spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi
berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari cavum peritoneum
seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan
membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri
virulen(Schwartz et al, 1989).
a. Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk
menghilangkan semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi
penyebab utama peritonitis dan mencegah komplikasi lanjut. Kecuali
pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik
operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi
dan menjadi fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang.
Radikal debridement yang rutin dari seluruh permukaan peritoneum
dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit
primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur
apendik atau kandung empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau
drainase (pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan
yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan setelah
memasuki kavum peritoneum (Doherty, 2006).
b. Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3
liter) dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan
fibrin, serta bakteri. Penambahan antiseptik atau antibiotik pada
cairan irigasi tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat memicu
adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan
cecara parenteral akan mencapai level bakterisidal pada cairan
peritoneum

dan

bersamalavage.

tidak
Terlebih

ada

efek

lagi,

tambahan

lavage

pada

dengan

pemberian

menggunakan

aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas dan komplikasi


anestesi

karena

kelompok

obat

ini

menghambat

kerja

dari

neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di


kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat
mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan
membuang permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri
(Doherty, 2006).
c. Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan
peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari
kavum peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan,
karena drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan
udara

luar

yang

dapat

menyebabkan

kontaminasi.

Drainase

profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah pembentukan


abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula.
Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi
lanjutan.

Drainase

diindikasikan

untuk

peradangan

massa

terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi (Doherty, 2006).


3.

Pengananan Postoperatif
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien
yang tidak stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas
hemodinamik untuk perfusi organ-organ vital., dan mungkin dibutuhkan
agen inotropik disamping pemberian cairan. Antibiotik diberikan selama
10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang
baik ditandai dengan produksi urin yang normal, penurunan demam dan
leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum membaik. Tingkat
kesembuhan

bervariasi

tergantung

pada

durasi

dan

keparahan

peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal


dapat menurunkan resiko infeksi sekunder (Doherty, 2006).

1. KEPERAWATAN
NO
1

Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


Pola Nafas tidak efektif berhubungan dengan:
- Hiperventilasi
- Penurunan energi/kelelahan
- Perusakan/pelemahan muskulo-skeletal
- Kelelahan otot pernafasan
- Hipoventilasi sindrom
- Nyeri
- Kecemasan
- Disfungsi Neuromuskuler
- Obesitas
- Injuri tulang belakang
DS:
- Dyspnea
- Nafas pendek
DO:
- Penurunan tekanan
- inspirasi/ekspirasi
Penurunan pertukaran
udara per menit
- Menggunakan otot pernafasan tambahan
- Orthopnea
- Pernafasan pursed-lip
- Tahap ekspirasi berlangsung sangat lama
- Penurunan kapasitas vital
- Respirasi: < 11 24 x /mnt
Gangguan Pertukaran gas Berhubungan dengan :
ketidak
seimbangan
perfusi
ventilasi
perubahan membran kapiler-alveolar
DS:

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kreteria Hasil
NOC:

Respiratory status : Ventilation

Respiratory status : Airway patency

Vital sign Status


Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama
..pasien
menunjukkan
keefektifan pola nafas, dibuktikan dengan
kriteria hasil:
- Mendemonstrasikan batuk efektif dan
suara nafas yang bersih, tidak ada
sianosis
dan
dyspneu
(mampu
mengeluarkan sputum, mampu bernafas
dg mudah, tidakada pursed lips)
- Menunjukkan
jalan
nafas
yang
paten(klien tidak merasa tercekik, irama
nafas, frekuensi pernafasan dalam
rentang normal, tidak ada suara nafas
abnormal)
- Tanda Tanda vital dalam rentang normal
(tekanan darah, nadi, pernafasan)

Intervensi
NIC:
- Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
- Pasang mayo bila perlu
- Lakukan fisioterapi dada jika perlu
- Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
- Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
- Berikan bronkodilator :
..
.
- Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
- Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
Monitor respirasi dan status O2
- Bersihkan mulut, hidung dan secret
Trakea
- Pertahankan jalan nafas yang paten
- Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi
- Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
- Monitor vital sign
- Informasikan pada pasien dan keluarga tentang tehnik
relaksasi untuk memperbaiki pola nafas.
- Ajarkan bagaimana batuk efektif
- Monitor pola nafas

NOC:

Respiratory Status : Gas exchange

Keseimbangan asam Basa, Elektrolit

Respiratory Status : ventilation

NIC :
- Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
- Pasang mayo bila perlu
- Lakukan fisioterapi dada jika perlu

- sakit kepala ketika bangun


- Dyspnoe
- Gangguan penglihatan
DO:
- Penurunan CO2
- Takikardi
- Hiperkapnia
- Keletihan
- Iritabilitas
- Hypoxia
- Kebingungan
- Sianosis
- warna kulit abnormal (pucat, kehitaman)
- Hipoksemia
- Hiperkarbia
- AGD abnormal
- pH arteri abnormal
- frekuensi dan kedalaman
- nafas abnormal

Vital Sign Status


Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama . Gangguan pertukaran pasien
teratasi dengan kriteria hasi:
- Mendemonstrasikan
peningkatan
ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
- Memelihara kebersihan paru paru dan
bebas
dari
tanda-tanda
distress
pernafasan
- Mendemonstrasikan batuk efektif dan
suara nafas yang bersih, tidak ada
sianosis
dan
dyspneu
(mampu
mengeluarkan sputum, mampu bernafas
dengan mudah, tidak ada pursed lips)
- anda tanda vital dalam rentang normal
- AGD dalam batas normal
- Status neurologis dalam batas normal

Keluarkan sekret dengan batuk atau suction


Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
Berikan bronkodilator ;
.
.
Barikan pelembab udara
Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
Monitor respirasi dan status O2
Catat pergerakan dada, amati kesimetrisan, penggunaan
otot tambahan, retraksi otot supraclavicular dan
intercostal
Monitor suara nafas, seperti dengkur
Monitor pola nafas : bradipena, takipenia, kussmaul,
hiperventilasi, cheyne stokes, biot
Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak
adanya ventilasi dan suara tambahan
Monitor TTV, AGD, elektrolit dan ststus mental
Observasi sianosis khususnya membrane mukosa
Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang persiapan
tindakan dan tujuan penggunaan alat tambahan (O2,
Suction, Inhalasi)
Auskultasi bunyi jantung, jumlah, irama dan denyut
jantung

Intoleransi aktivitas Berhubungan dengan :


NOC :
NIC :
- Tirah Baring atau imobilisasi
- Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan

Self Care : ADLs


- Kelemahan menyeluruh
aktivitas

Toleransi aktivitas
- Ketidakseimb angan antara suplei oksigen
- Kaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan
Konservasi eneergi
dengan kebutuhan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan - Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat
- Gaya hidup yang dipertahankan.
selama . Pasien bertoleransi terhadap - Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi
DS:
secara berlebihan

Melaporkan secara verbal adanya kelelahan


atau kelemahan.
- Adanya dyspneu atau ketidaknyamanan saat
beraktivitas
DO :
- Respon abnormal dari tekanan darah atau
nadi terhadap aktifitas
- Perubahan ECG : aritmia, iskemia

aktivitas dengan Kriteria Hasil :


- Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa
disertai peningkatan tekanan darah, nadi
dan RR
- Mampu melakukan aktivitas sehari hari
(ADLs) secara mandiri
- Keseimbangan aktivitas dan istirahat

Monitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas


(takikardi, disritmia, sesak nafas, diaporesis, pucat,
perubahan hemodinamik)
Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi Medik dalam
merencanakan progran terapi yang tepat.
Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu
dilakukan
Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai
dengan kemampuan fisik, psikologi dan social
Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber
yang diperlukan untuk aktivitas yang diinginkan
Bantu untuk mengidentifikasi aktivitas yang disukai
Bantu klien untuk membuat
Bantu
pasien/keluarga
untuk
mengidentifikasi
kekurangan dalam beraktivitas
Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktivitas
Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan
Penguatan
Monitor respon fisik, emosi, social dan spiritual

K. DAFTAR PUSTAKA
Brian, J. 2011, Peritonitis and Abdominal Sepsis. Diakses pada 8 septemer
2012.http://emedicine.medscape.com/article/180234overview#aw2aab6b2b4aa
Cole et al. 1970. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition. AppeltonCentury Corp, Hal 784-795
Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis &
Treatment 12ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Evans, HL. 2001. Tertiary Peritonitis (Recurrent Diffuse or Localized Disease)
is not An Independent Predictor of Mortality in Surgical Patients with
Intra Abdominal Infection. Surgical Infection (Larchmt); 2(4) : 255-63
Fauci et al, 2008, Harrisons Principal Of Internal Medicine Volume 1,
McGraw Hill, Peritonitis halaman 808-810, 1916-1917
Hau, T. 2003. Peritoneal Defense Mechanisms. Turk J Med Sci; 33: 131-4
Heemken, R. 1997. Peritonitis: Pathophydiology and Local Defense
Mechanisms. Hepatogastroenterology; Jul-Aug; 44(16): 927-36
Iwagaki, H. 1997. Clinical Value of Cytokine Antagonists in Infectious
Complications. Res CommunMol Pathol Pharmacol; Apr: 96(1): 25-34
Marshall, JC. 2003. Intensive Care Management of Intra Abdominal Infection.
Critical Care Medicine; 31(8) : 2228-37
Schwartz et al. 1989. Priciple of Surgery 5th Edition. Singapore: Mc.Graw-Hill,
Hal 1459-1467

You might also like