You are on page 1of 20

LAPORAN PENDAHULUAN

TONSILITIS KRONIS
DI RAUNG THT (TULIP 1A) RSUD ULIN BANJARMASIN

OLEH:
ADI SETIAWAN, S.KEP
NIM : 14.NS.021

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SARI MULIA BANJARMASIN


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
2014

LEMBAR PENGESAHAN

NAMA MAHASISWA : ADI SETIAWAN, S.KEP


NPM

: 14.NS.021

JUDUL LP

: TONSILITIS KRONIS

BANJARMASIN, 13 OKTOER 2014

PRESEPTOR AKADEMIK

PRESEPTOR KLINIK

...............................................

..................................................

LAPORAN PENDAHULUAN
.PERITONITIS

A. DEFINISI
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian
dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa
yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil laringeal (adenoid), tonsil
palatina (tonsila faucial), tonsila lingual (tonsila pangkal lidah), tonsil tuba
Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlachs tonsil). Peradangan pada
tonsila palatine biasanya meluas ke adenoid dan tonsil lingual. Penyebaran
infeksi terjadi melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat
terjadi pada semua umur, terutama pada anak
Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau virus,
termasuk strain bakteri streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus
Epstein-Barr, enterovirus, dan virus herpes simplex. Salah satu penyebab
paling sering pada tonsilitis adalah bakteri grup A Streptococcus beta
hemolitik (GABHS), 30% dari tonsilitis anak dan 10% kasus dewasa dan juga
merupakan penyebab radang tenggorokan
Tonsilitis kronik merupakan peradangan pada tonsil yang persisten
yang berpotensi membentuk formasi batu tonsil. Terdapat referensi yang
menghubungkan antara nyeri tenggorokan yang memiliki durasi 3 bulan
dengan kejadian tonsilitis kronik. Tonsilitis kronis merupakan salah satu
penyakit yang paling umum dari daerah oral dan ditemukan terutama di
kelompok usia muda. Kondisi ini karena peradangan kronis pada tonsil. Data
dalam literatur menggambarkan tonsilitis kronis klinis didefinisikan oleh
kehadiran infeksi berulang dan obstruksi saluran napas bagian atas karena
peningkatan volume tonsil. Kondisi ini mungkin memiliki dampak sistemik,
terutama

ketika

dengan

adanya

gejala

seperti

demam

berulang,

odynophagia, sulit menelan, halitosis dan limfadenopati servikal dan


submandibula.
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan yang
menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk,
pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak
adekuat
B. ANATOMIFISIOLOGI
Pharynx terletak dibelakang cavum nasi, mulut, dan larynx.
Bentuknya mirip corong dengan bagian atasnya yang lebar terletak di bawah
cranium dan bagian bawahnya yang sempit dilanjutkan sebagai eosophagus
setinggi vertebra cervicalis enam. Dinding pharynx terdiri atas tiga lapis yaitu

mucosa, fibrosa, dan muscular. Berdasarkan letak, faring dibagi atas tiga
bagian yaitu: nasopharynx, oropharynx, dan laringopharynx.
Nasopharynx terletak dibelakang rongga hidung, di atas palatum
molle. Nasopharynx mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding
posterior, dandinding lateral. Bagian atap dibentuk oleh corpus ossis
sphenoidalis dan pars basilaris ossis occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid
yang disebut tonsila pharyngeal, yang terdapat didalam submucosa. Bagian
dasar dibentuk oleh permukaan atas palatum molle yang miring. Dinding
anterior dibentuk oleh aperture nasalis posterior, dipisahkan oleh pinggir
posterior septum nasi. Dinding posterior membentuk permukaan miring yang
berhubungan dengan atap. Dinding ini ditunjang oleh arcus anterior atlantis.
Dinding lateral pada tiap-tipa sisi mempunyai muara tuba auditiva ke faring.
Kumpulan jaringan limfoid di dalam submukosa di belakang muara tuba
auditiva disebut tonsila tubaria.

Gambar 1. Pembagian Pharinx


Oropharynx disebut juga mesopharynx, dengan batas atasnya adalah
palatum mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis, kedepan adalah
rongga mulut, sedangkan kebelakang adalah vertebra servikal.
Oropharynx mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding
posterior, dan dinding lateral. Bagian atap dibentuk oleh permukaan bawah
palatum molle dan isthmus pharygeus. Kumpulan kecil jaringan limfoid
terdapat di dalam submukosa permukaan bawah palatum molle. Bagian
dasar dibentuk oleh sepertiga posterior lidah dan celah antara lidah dan
permukaan anterior epiglotis. Membrana mukosa yang meliputi sepertiga
posterior lidah berbentuk irregular, yang disebabkan oleh adanya jaringan
limfoid dibawahnya, yang disebut tonsil linguae. Membrana mukosa melipat
dari lidah menuju ke epiglotis. Pada garis tengah terdapat elevasi, yang
disebut plica glosso epiglotica mediana, dan dua plica glosso epiglotica

lateralis. Lekukan kanan dan kiri plica glosso epiglotica mediana disebut
vallecula.7
Dinding anterior terbuka ke dalam rongga mulut melalui isthmus
oropharynx

(isthmus

faucium).

Dibawah

isthmus

ini

terdapat

pars

pharyngeus linguae. Dinding posterior disokong oleh corpos vertebra


cervicalis kedua dan bagian atas corpus vertebra cervicalis ketiga. Pada
kedua sisi dinding lateral terdapat arcus palate glossus dengan tonsila
palatina diantaranya.
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior
pharynx, tonsil palatina, fossa tonsila serta arcus pharynx anterior dan
posterior, uvula, tonsila lingual dan foramen sekum.
Fossa tonsilaris adalah sebuah recessus berbentuk segitiga pada
dinding lateral oropharynx diantara arcus palatoglossus di depan dan arcus
palatopharyngeus dibelakang. Fossa ini ditempati oleh tonsila palatina.
Batas lateralnya adalah m.konstriktor pharynx superior. Pada batas
atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang
dinamakan fossa supra tonsila. Fossa ini berisi jaringan ikat jarang dan
biasanya merupakan tempat nanah memecah keluar bila terjadi abses.
Fossa tonsila diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia
bukopharynx, dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan merupakan kapsul
yang sebenarnya.

Gambar 2. Struktur pada Oropharynx


Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang
oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat tiga macam tonsil
yaitu tonsila faringeal (adenoid), tonsil palatina dan tonsila lingual yang
ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil
palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak didalam fossa tonsil. Pada
kutub atas tonsil sering kali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa
kantong pharynx yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada
dasar lidah.

Tonsil faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa dinding lateral


rongga mulut. Di depan tonsil, arkus faring anterior disusun oleh otot
palatoglosus, dan dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh otot
palatofaringeus.
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai
celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa
yang juga meliputi kriptus. Didalam kriptus biasanya ditemukan leukosit,
limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan lateral
tonsil melekat pada fasia pharynx yang sering juga disebut kapsul tonsil.
Kapsul ini tidak melekat erat pada otot pharynx, sehingga mudah dilakukan
diseksi pada tonsilektomi.

Gambar 3. Cincin Waldeyer


Tonsil mendapat darah dari arteri palatina minor, arteri palatine
asendens, cabang tonsil arteri maksila eksterna, arteri pharynx asendens
dan arteri lingualis dorsal. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi
menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotica. Di garis tengah, di sebelah
anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang
terbentuk

oleh

papilla

sirkum

valata.

Tempat

ini

kadang-kadang

menunjukkan penjalaran duktus tiroglossus dan secara klinik merupakan


tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) dan kista duktus
tiroglosus.
Vena-vena menembus m.constrictor pharyngeus superior dan
bergabung dengan vena palatine eksterna, vena pharyngealis, atau vena
facialis. Aliran limfe pembuluh-pembuluh limfe bergabung dengan nodi
lymphoidei profundi. Nodus yang terpenting dari kelompok ini adalah nodus
jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan belakang angulus mandibulae.
Laryngopharynx terletak di belakang aditus larynges dan permukaan
posterior larynx, dan terbentang dari pinggir atas epiglottis sampai dengan
pinggir bawah cartilage cricoidea. Laryngopharynx mempunyai dinding

anterior, posterior dan lateral. Dinding anterior dibentuk oleh aditus laryngis
dan membrane mukosa yang meliputi permukaan posterior larynx. Dinding
posterior disokong oleh corpus vertebra cervicalis ketiga, keempat, kelima,
dan keenam. Dinding lateral disokong oleh cartilage thyroidea dan
membrane thyrohyoidea. Sebuah alur kecil tetapi penting pada membrana,
disebut fossa piriformis, terletak di kanan dan kiri aditus larynges.
C. ETIOLOGI
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya
secara aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung
kemudian nasofaring terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu
melalui mulut masuk bersama makanan. Etiologi penyakit ini dapat
disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan
kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase
resolusi tidak sempurna.
Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil,
termasuk bakteri aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada
penderita

tonsilitis

kronis

jenis

kuman

yang

paling

sering

adalah

Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA). Streptokokus grup A adalah


flora normal pada orofaring dan nasofaring. Namun dapat menjadi pathogen
infeksius yang memerlukan pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat
disebabkan

Haemophilus

influenzae,

Staphylococcus

aureus,

S.

Pneumoniae dan Morexella catarrhalis.


Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan
tenggorok didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering
Tonsilofaringitis

Kronis

yaitu

Staphylococcus

aureus,

Streptokokus

Streptokokus

alfa

beta

kemudian

hemolitikus

diikuti

grup

A,

Staphylococcus epidermidis dan kuman gram negatif berupa Enterobakter,


Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E. coli.
Infeksi virus biasanya ringan dan dapat

tidak

memerlukan

pengobatan yang khusus karena dapat ditangani sendiri oleh ketahanan


tubuh. Penyebab penting dari infeksi virus adalah adenovirus, influenza A,
dan herpes simpleks (pada remaja). Selain itu infeksi virus juga termasuk
infeksi dengan coxackievirus A, yang menyebabkan timbulnya vesikel dan
ulserasi pada tonsil. Epstein-Barr yang menyebabkan infeksi mononukleosis,
dapat

menyebabkan

pembesaran

tonsil

secara

cepat

sehingga

mengakibatkan obstruksi jalan napas yang akut.


Infeksi jamur seperti Candida sp tidak jarang terjadi khususnya di
kalangan bayi atau pada anak-anak dengan immunocompromised.
D. PATOFISIOLOGI

Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana


kuman menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil
menyebabkan pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman
sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi
pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi)
dan suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya
pada saat keadaan umum tubuh menurun. Bila epitel terkikis maka jaringan
limfoid superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan radang dengan
infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Karena proses radang berulang yang
timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid diganti oleh jaringan
parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara
klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga
menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan
jaringan di sekitar fossa tonsilaris. Pada anak disertai dengan pembesaran
kelenjar limfa submadibularis.
Karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jarinagn
limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti
dengan jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti
melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus.proses ini meluas
sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan
dengan jaringan disekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai
dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula
E. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah
nyeri tenggorokan yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran
cerna dan saluran napas. Gejala-gejala konstitusi dapat ditemukan seperti
demam, namun tidak mencolok.
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang
tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Terasa ada
yang mengganjal di tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan napas yang
berbau. Pada tonsillitis kronik juga sering disertai halitosis dan pembesaran
nodul servikal. Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara
menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik berupa (a)
pembesaran tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya,
kripta melebar di atasnya tertutup oleh eksudat yang purulent. (b) tonsil tetap
kecil, bisanya mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam dalam tonsil
bed dengan bagian tepinya hiperemis, kripta melebar dan diatasnya tampak
eksudat yang purulent.

Gambar 4. Tonsillitis kronik


Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan
mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak
permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat
dibagi menjadi:
T0 : Tonsil masuk di dalam fossa
T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

Gambar 5. Rasio Perbandingan Tonsil Dengan Orofaring

Gambar 6. (A) Tonsillar hypertrophy grade-I tonsils. (B) Grade-II tonsils.


(C) Grade-IIItonsils. (D) Grade-IV tonsils (kissing tonsils)
F. FAKTOR PREDISPISISI

Sejauh ini belum ada penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor


genetik maupun lingkungan yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko
penyakit Tonsilitis Kronis. Pada penelitian yang bertujuan mengestimasi
konstribusi efek faktor genetik dan lingkungan secara relatif penelitiannya
mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat bukti adanya keterlibatan faktor
genetik sebagai faktor predisposisi penyakit Tonsilitis Kronis.
Beberapa Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik yaitu:
1. Rangsangan menahun (kronik) rokok dan beberapa jenis
2.
3.
4.
5.

makanan
Higiene mulut yang buruk
Pengaruh cuaca
Kelelahan fisik
Pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita
Tonsilitis Kronis:
Mikrobiologi
Penatalaksanaan

dengan

antimikroba

sering

gagal

untuk

mengeradikasi kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada


tonsil.

Kegagalan

mengeradikasi

organisme

patogen

disebabkan

ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika yang


inadekuat (Hammouda et al, 2009). Gold standard pemeriksaan tonsil adalah
kultur dari dalam tonsil. Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40
penderita

Tonsilitis

Kronis

yang

dilakukan

tonsilektomi,

didapatkan

kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil


untuk menentukan diagnosis yang akurat terhadap flora bakteri Tonsilitis
Kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid. Kuman terbayak yang
ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti Staflokokus aureus.
Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey
terhadap 480 spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis
Kronis dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga
kriteria histopatologi yaitu ditemukan ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya
Ugras abses dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal tersebut
ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas menegakkan
diagnosa Tonsilitis Kronis.
H. PROGNOSIS
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat
dan pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat
membuat penderita Tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk
mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi
penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami

perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat
menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya,
infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasuskasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti
demam rematik atau pneumonia.
I.

KOMPLIKASI
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah
sekitarnya berupa rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara
percontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen
dan dapat timbul endocarditis, artritis, myositis, nefritis, uvetis iridosiklitis,
dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkulosis.
Beberapa literature menyebutkan komplikasi tonsillitis kronis antara
lain:
1.

Abses peritonsil.
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan
sekitarnya. Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil
dan otot-otot yang mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi
pada penderita dengan serangan berulang. Gejala penderita adalah
malaise yang bermakna, odinofagi yang berat dan trismus. Diagnosa
dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses.

Gambar. Abses peritonsil


2.

Abses parafaring.
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar
angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral
faring sehingga menonjol kearah medial. Abses dapat dievakuasi melalui
insisi servikal.

3.

Abses intratonsilar.
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil.
Biasanya diikuti dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut.
Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat
membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian

antibiotika dan drainase abses jika diperlukan; selanjutnya dilakukan


tonsilektomi.
4.

Tonsilolith (kalkulus tonsil).


Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade
oleh sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium
kemudian tersimpan yang memicu terbentuknya batu. Batu tersebut
dapat membesar secara bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi
dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah
rasa tidak nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal ini didiagnosa
dengan

mudah

dengan

melakukan

palpasi

atau

ditemukannya

permukaan yang tidak rata pada perabaan.


5.

Kista tonsilar.
Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran
kekuningan diatas tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala.
Dapat dengan mudah didrainasi.

6.

Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonephritis.


Dalam penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi
meningkat pada 43% penderita Glomerulonefritis dan 33% diantaranya
mendapatkan kuman Streptokokus beta hemolitikus pada swab tonsil
yang merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan faring. Hasil ini
megindikasikan

kemungkinan

infeksi

terjadinya penyakit Glomerulonefritis.

tonsil

menjadi

patogenesa

J. J

K. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan

untuk

tonsillitis

kronik

terdiri

atas

terapi

medikamentosa dan operatif.


1. Medikamentosa
Terapi ini ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur
atau obat isap, pemberian antibiotic, pembersihan kripta tonsil dengan
alat irigasi gigi atau oral. Pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian
antibiotika yang bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis Cephaleksin
ditambah

metronidazole,

klindamisin

(terutama

jika

disebabkan

mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam klavulanat (jika


2.

bukan disebabkan mononukleosis).


Operatif
Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil
(tonsilektomi). Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal.
Dengan tindakan tonsilektomi. Pada penelitian Khasanov et al
mengenai prevalensi dan pencegahan keluarga dengan Tonsilitis Kronis
didapatkan data bahwa sebanyak 84 ibu-ibu usia reproduktif yang
dengan diagnosa Tonsilitis Kronis, sebanyak 36 dari penderita
mendapatkan penatalaksanaan tonsilektomi.
Penelitian yang dilakukan di Skotlandia dengan menggunakan
kuisioner terhadap 15.788 penduduk mendapatkan data sebanyak 4.646
diantaranya memiliki gejala Tonsilitis, dari jumlah itu sebanyak 1.782
(38,4%) penderita mendapat penanganan dari dokter umum dan 98
(2,1%) penderita dirujuk ke rumah sakit.
Indikasi Tonsilektomi
Cochrane review (2004) melaporkan

bahwa

efektivitas

tonsilektomi belum dievaluasi secara formal. Tonsilektomi dilakukan


secara luas untuk pengobatan Tonsilitis akut atau kronik, tetapi tidak ada
bukti ilmiah randomized controlled trials untuk panduan klinisi dalam
memformulasikan indikasi bedah untuk anak dan dewasa. Tidak
ditemukan studi Randomized Controlled Trial (RCT) yang mengkaji
efektivitas tonsilektomi pada dewasa. Pada anak ditemukan 5 studi RCT
(Mawson 1967; McKee 1963; Roydhouse 1970; Paradise 1984;
Paradise 1992), tetapi yang diikutkan dalam review hanya 2 studi
(Paradise 1984; Paradise 1992) sedang 3 studi lain tidak memenuhi
kriteria. Studi pertama oleh Paradise (1984), dilakukan pada anak yang
dengan infeksi tenggorok berat. Dari studi ini tidak dapat dibuat
kesimpulan

yang

tegas

tentang

tonsilektomi

karena

adanya

keterbatasan metodologi yaitu adanya perbedaan kelompok operasi


dengan kelompok kontrol.
Dalam hal riwayat episode infeksi sebelum mengikuti studi
(kelompok operasi meliputi anak dengan penyakit yang lebih berat) dan

status sosial ekonomi (kelompok nonoperasi memiliki status sosial


ekonomi yang lebih tinggi) serta kelompok tonsilektomi dan tonsiloadenoidektomi dilaporkan sebagai satu kelompok operasi. Disamping
itu, studi ini meliputi hanya anak dengan infeksi tenggorok berat, pada
pemantauan, banyak kelompok kontrol yang memiliki episode infeksi
sedikit dan biasanya ringan. Studi kedua oleh Paradise (1992) meliputi
anak dengan infeksi sedang tidak dapat dievaluasi karena saat review
dilakukan tidak ada data yang lebih detil dari desain dan bagaimana
penelitian ini dilakukan (hasil penelitian baru dalam bentuk abstrak).
Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran
napas, indikasi tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi
absolut). Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan non
emergency dan perlunya batasan usia pada keadaan ini masih menjadi
perdebatan.Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak
menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi. Indikasi absolut: a)
Hiperplasia tonsil yang menyebabkan gangguan tidur (sleep apneu)
yang terkait dengan cor pulmonal. b) curiga keganasan (hipertropi tonsil
yang unilateral). c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam (yang
memerlukan tonsilektomi Quincy). d) perdarahan tonsil yang persisten
dan rekuren. Indikasi Relatif: a) Tonsillitis akut yang berulang (Terjadi 3
episode atau lebih infeksi tonsil per tahun). b) abses peritonsilar. c).
tonsillitis kronik dengan sakit tenggorkan yang persisten, halitosis, atau
adenitis cervical. d). sulit menelan. e). tonsillolithiasis. f). gangguan pada
orofacial atau gigi (mengakibatkan saluran bagian atas sempit). g).
Carrier streptococcus tidak berespon terhadap terapi). h). otitis media
recuren atau kronik.
Adapun indikasi

tonsilektomi

menurut

The

American

of

Otolaryngology-head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium


1995 adalah:
a. Serangan tonsillitis lebih dari 3x pertahun walaupun telah mendapat
terapi yang adekuat
b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofacial
c. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan
jalan napas, sleepapneu, gangguan menelan, gangguan berbicara
dan cor pulmonale.
d. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang
tidak berhasil hilang dengam pengobatan
e. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
f. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptokokus
beta hemolitikus
g. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan

h. Otitis media efusa/otitis media supuratif


Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai kontraindikasi,
namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan
dengan tetap memperhitungkan imbang manfaat dan risiko. Keadaan
tersebut yakni: gangguan perdarahan, risiko anestesi yang besar atau
penyakit berat, anemia, dan infeksi akut yang berat.
Persiapan Pasien Tonsilektomi
Ketika dicapai keputusan untuk melakukan tonsilektomi harus
disadari bahwa mungkin tindakan ini merupakan prosedur pembedahan
yang pertama kali bagi pasien. Riwayat penyakit yang komplit dan
pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan dengan perhatian khusus
terhadap

adanya

gangguan

yang

bersifat

diturunkan

terutama

kecenderungan terjadinya pendarahan. Disamping itu riwayat saudara


pasien yang mungkin mengalami kesulitan dengan anastesi umum
sebaiknya

diketahui

untuk

menyingkirkan

kemungkinan

adanya

hipertermia maligna. Pemeriksaan Lab seperti waktu tromboplastin


parsial, waktu protrombin, jumlah trombosit, pemeriksaan hitung darah
komplit dan urinalisa sebaiknya dilakukan. Selain itu pemeriksaan
antistreptolisin titer O (ASO) dilakukan untuk mengetahui tingkat infeksi
serta sebagai salah satu indikasi tonsilektomi. Antisteptolisin meningkat
pada minggu pertama dan mencapai puncaknya pada minggu ketiga
sampai keenam setelah infeksi. Pemeriksaan dikatakan positif bila
konsentrasi ASO dalam serum darah lebih dari 200 IU/ml. Selain itu
pemeriksaan ragiologi dada dan elektrokardiogram sebaiknya dilakukan
sebelum pembedahan.
Teknik Operasi Tonsilektomi
Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah
dilakukan pada abad 1 Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan
menggunakan jari tangan. Di Indonesia teknik tonsilektomi yang
terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.9, 21
a. Diseksi: Dikerjakan dengan menggunakan Boyle-Davis mouth gag,
tonsil dijepit dengan forsep dan ditarik ke tengah, lalu dibuat insisi
pada membran mukus. Dilakukan diseksi dengan disektor tonsil atau
gunting

sampai

mencapai

pole

bawah

dilanjutkan

dengan

menggunakan senar untuk menggangkat tonsil.


b. Guilotin: Tehnik ini sudah banyak ditinggalkan. Hanya dapat
dilakukan bila tonsil dapat digerakkan dan bed tonsil tidak cedera
oleh infeksi berulang.

c. Elektrokauter: Kedua elektrokauter unipolar dan bipolar dapat


digunakan pada tehnik ini. Prosedur ini mengurangi hilangnya
perdarahan namun dapat menyebabkan terjadinya luka bakar.
d. Laser

tonsilektomi:

Diindikasikan

pada

penderita

gangguan

koagulasi. Laser KTP-512 dan CO2 dapat digunakan namun laser


CO2 lebih disukai.tehnik yag dilakukan sama dengan yang dilakukan
pada tehik diseksi.
Komplikasi Tonsilektomi
Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan
trauma akibat alat. Jumlah perdarahan selama pembedahan tergantung
pada keadaan pasien dan faktor operatornya sendiri. Perdarahan
mungkin lebih banyak bila terdapat jaringan parut yang berlebihan atau
adanya infeksi akut seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil. Pada
operator yang lebih berpengalaman dan terampil, kemungkinan terjadi
manipulasi trauma dan kerusakan jaringan lebih sedikit sehingga
perdarahan juga akan sedikit. Perdarahan yang terjadi karena pembuluh
darah kapiler atau vena kecil yang robek umumnya berhenti spontan
atau dibantu dengan tampon tekan. Pendarahan yang tidak berhenti
spontan atau berasal dari pembuluh darah yang lebih besar, dihentikan
dengan pengikatan atau dengan kauterisasi. Bila dengan cara di atas
tidak menolong, maka pada fosa tonsil diletakkan tampon atau gelfoam
kemudian pilar anterior dan pilar posterior dijahit. Bila masih juga gagal,
dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna.
Dari laporan berbagai kepustakaan, umumnya perdarahan yang
terjadi pada cara guillotine lebih sedikit dari cara diseksi. Trauma akibat
alat umumnya berupa kerusakan jaringan di sekitarnya seperti
kerusakan jaringan dinding belakang faring, bibir terjepit, gigi patah atau
dislokasi sendi temporomandibula saat pemasangan alat pembuka
mulut.
Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu
terjadinya yaitu immediate, intermediate dan late complication.
Komplikasi segera (immediate complication) pasca bedah dapat
berupa perdarahan dan komplikasi yang berhubungan dengan anestesi.
Perdarahan segera atau disebut juga perdarahan primer adalah
perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca bedah. Keadaan
ini cukup berbahaya karena pasien masih dipengaruhi obat bius dan
refleks batuk belum sempurna sehingga darah dapat menyumbat jalan
napas menyebabkan asfiksi. Penyebabnya diduga karena hemostasis
yang tidak cermat atau terlepasnya ikatan. perdarahan dan iritasi

mukosa dapat dicegah dengan meletakkan ice collar dan mengkonsumsi


makanan lunak dan minuman dingin.
Pasca bedah, komplikasi yang terjadi kemudian (interme diate
complication) dapat berupa perdarahan sekunder, hematom dan edem
uvula, infeksi, komplikasi paru dan otalgia Perdarahan sekunder adalah
perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pasca bedah. Umumnya terjadi
pada hari ke 5-10. Jarang terjadi dan penyebab tersering adalah infeksi
serta trauma akibat makanan; dapat juga oleh karena ikatan jahitan
yang terlepas, jaringan granulasi yang menutupi fosa tonsil terlalu cepat
terlepas sebelum luka sembuh sehingga pembuluh darah di bawahnya
terbuka dan terjadi perdarahan. Perdarahan hebat jarang terjadi karena
umumnya

berasal

dari

pembuluh

darah

permukaan.

Cara

penanganannya sama dengan perdarahan primer.


Pada pengamatan pasca tonsilektomi, pada hari ke dua uvula
mengalami edem. Nekrosis uvula jarang terjadi, dan bila dijumpai
biasanya akibat kerusakan bilateral pembuluh darah yang mendarahi
uvula. Meskipun jarang terjadi, komplikasi infeksi melalui bakteremia
dapat mengenai organ-organ lain seperti ginjal dan sendi atau mungkin
dapat terjadi endokarditis. Gejala otalgia biasanya merupakan nyeri alih
dari fosa tonsil, tetapi kadangkadang merupakan gejala otitis media akut karena penjalaran
infeksi melalui tuba Eustachius. Abses parafaring akibat tonsilektomi
mungkin terjadi, karena secara anatomik fosa tonsil berhubungan
dengan ruang parafaring. Dengan kemajuan teknik anestesi, komplikasi
paru jarang terjadi dan ini biasanya akibat aspirasi darah atau potongan
jaringan tonsil.
Late complication pasca tonsilektomi dapat berupa jaringan parut
di palatum mole. Bila berat, gerakan palatum terbatas dan menimbulkan
rinolalia. Komplikasi lain adalah adanya sisa jaringan tonsil. Bila sedikit
umumnya tidak menimbulkan gejala, tetapi bila cukup banyak dapat
mengakibatkan tonsilitis akut atau abses peritonsil.
Komplikasi tonsilektomi dapat berupa:
Immediate and Delayed Hemorrhage
Postoperative Airway Compromise: Jarang

terjadi,

biasanya

disebabkan oleh terlepasnya bekuan-bekuan, terlepasnya jaringan


adenotonsillar, post operasi edema oropharingeal, atau hematom
retropharyngeal.
Dehidrasi
Pulmonary Edema: Disebabkan oleh pembebasan secara tiba-tiba
jalan napas yang obstruksi karena hipertropi adenotonsillar yang
lama, mengakibatkan penurunan mendadak tekanan intratoracal,

peningkatan volume darah paru, dan peningkatan tekanan hidrostatik


yang dapat terjadi segera atau beberapa jam setelah pembebasan
jalan napas.
Nasopharyngeal Stenosis: komplikasi yang jarang dari jaringan parut
Eustachian Tube Dysfunction
Aspiration Pneumonia: jarang terjadi, biasanya akibat aspirasi dari
bekuan darah

DAFTAR PUSTAKA
Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-25.
Udayan KS. Tonsillitis and peritonsillar Abscess. [online]. 2011.[cited, 2012 Jan 18).
Available from URL: http://emedicine.medscape.com/
Medical Disbility Advisor. Tonsillitis and Adenoiditis. [online]. 2011.[cited, 2012 Jan
18).

Available

from

URL:

http://www.mdguidelines.com/tonsillitis-and-

adenoiditis/
John PC, William CS. Tonsillitis and Adenoid Infection. [online].2011 .[cited, 2012
Jan 17). Available from: URL: http://www.medicinenet.com
Richard SS. Pharinx. In: Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.
Jakarta: ECG, 2006. p795-801.
Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta:
ECG, 1997. p263-340
Amalia, Nina. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP H. Adam Malik
Medan Tahun 2009. 2011.pdf
Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy.
In: Head&Neck Surgery-Otolaryngology, 4th edition. 2006.
Empowering Otolaryngologist. Tonsillitis. In: American Academy of OtolaryngologyHead & Neck Surgery. Pdf.
Hatmansjah. Tonsilektomi. In: Cermin Dunia Kedokteran vol 89. [online].1993.[cited,
2012 Jan 25]. Available from: URL: http://www. cerminduniakedokteran .com
Harrison SE, Osborne E, Lee S. Home Care After Tonsillectomy and Adenoidectomy.
In: Missisipi Ear, Nose, & Throat Surgical Associates 601. pdf.
Lalwani AK. Management of Adenotonsillar Disease: Introduction. In: Current
Otolaryngology 2nd ed. McGraw-Hill:2007.

You might also like