You are on page 1of 18

HARMONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERHADAP

ANAK LUAR KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI


NOMOR 46/PUU-VIII/2010
Aditya Nugroho Pradana 1, Istislam 2, Ulfa Azizah3
Program Studi Magister Kenotariatan,
Pasca Sarjana Fakultas Hukum,
Universitas Brawijaya Malang
AditNP@gmail.com
Abstrak
Pasca adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang
mengubah hubungan keperdataan anak luar kawin dengan ayah biologisnya
menimbulkan suatu problematika tersendiri. Hal ini disebabkan masih belum
adanya harmonisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur secara
komperehensif mengenai anak luar kawin sehingga dipandang masih
menimbulkan ketidakpastian hukum maupun ketidakadilan bagi anak luar kawin.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami serta menganalisis putusan Mahkamah
Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tersebut telah memenuhi prinsip-prinsip
perlindungan hukum terhadap anak serta memahami dan menganalisis
harmonisasi peraturan perundang-undangan terhadap anak luar kawin pasca
Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010. Metode penelitian
yang digunakan dalam penulisan jurnal ini adalah penelitian normatif dengan
pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus.
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti berkesimpulan bahwa Bahwa putusan
Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang amar putusannya
mengabulkan uji materiil terhadap pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan
secara filosofis dan teoritis telah memenuhi konsistensi prinsip-prinsip hukum
mengenai perlindungan anak dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia, serta
harmonisasi hukum peraturan perundang-undangan pasca putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut terhadap serangkaian peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai anak mutlak untuk dilakukan secara komperehensif agar
pelaksanaan dan pengaturan hukum mengenai pemenuhan dan perlindungan hak
konstitusional anak luar kawin dapat dijalankan secara optimal di masa yang akan
datang.

Mahasiswa, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya


Malang.
2
Pembimbing Utama, Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.
3
Pembimbing Pendamping, Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.

Kata kunci: Harmonisasi peraturan perundang-undangan, Anak luar kawin,


Putusan Mahkamah Konstitusi.
Abstrac
After Constitution Court Decision Number 46/PUU-VIII/2010 exist which
changed the civil relationship of children who born out of wedlock with their
biological father makes a separate problems. This matter is caused by there is no
harmonisation of law and regulation which circumstantial arranged concerning to
children who born out of wedlock so that still generate uncertainty of law and
unjustice for children who born out of wedlock.This research aim to comprehend
and also analyse Constitution Court Decision Number 46/PUU-VIII/2010 wether
have fulfilled principles protection of law of child and also comprehend and
analyse law and regulation to children born out of wedlock after Constitution
Court Decision No. 46/PUU-VIII/2010 take effect. The research method which
used in this journal is research of normative legal research with legislation
approach, conceptual approach and case approach. Based on writers reseach,
conclude that Constitution Court Decision Number 46/PUU-VIII/2010
philosophicly and theoretical have fulfilled the consistency law concerning
protection of child seen from human rights viewpoint and also harmonisation of
law and regulation after of Constitution Court Decision No. 46/PUU-VIII/2010
take effect with refer to law and regulation which arranging to child absolute to
be conducted circumstantial with a purpose to execution and arrangement of law
concerning accomplishment and protection of constitutional rights of children
born out of wedlock can be run in an optimal in the future.
Keywords: Harmonisation of regulation, Children born out of wedlock,
Constitution Court Decision.
A. PENDAHULUAN

Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di antara


makhluk yang lainnya yang dibekali dengan nafsu, akal, dan hati nurani. Tuhan
menciptakan manusia secara berpasang-pasangan agar dalam hidupnya mereka
dapat saling melengkapi, mengimbangi, dan menyempurnakan. Manusia juga
diciptakan dengan berbagai kebutuhan di dalam hidupnya. Contohnya saja
kebutuhan biologis dan kebutuhan untuk berinteraksi dengan manusia lainnya.
Interaksi tersebut tidak hanya terwujud dalam suatu komunitas masyarakat, namun
juga akan terwujud dengan lebih intensif dan harmonis apabila ia memiliki sebuah
keluarga.
Sebuah keluarga hanya dapat terbentuk melalui perkawinan. Para sarjana
hukum, antara lain Asser, Scholten, dan Wiarda memberikan definisi perkawinan
2

sebagai berikut : Perkawinan adalah suatu persekutuan antara seorang pria


dengan seorang wanita yang diakui oleh negara untuk hidup bersama/ bersekutu
yang kekal.4
Perkawinan dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita yang sepakat
untuk saling mengikatkan diri dalam sebuah ikatan suci dan mempunyai tujuan
yang sama. Tujuan material yang akan diperjuangkan oleh suatu perkawinan
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, sehingga bukan saja
mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai
peranan yang penting.5
Perkawinan di Indonesia sendiri telah diatur dalam peraturan perundangundangan khusus, yaitu Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai tambahan yang dikhususkan bagi
warga negara Indonesia yang beragama Islam. Setelah diundangkannya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan banyak disinggung perihall
masalah kekeluargaan yang berhubungan erat dengan suatu dasar perkawinan
sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1 bahwa:
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut di atas,
dapat disimpulkan tentang arti dan tujuan dari perkawinan. Arti perkawinan yang
dimaksud adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri, sedangkan tujuan perkawinan dimaksud adalah untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan merupakan suatu lembaga sakral, karena harus memperhatikan
norma dan kaidah hidup dalam masyarakat. Perkawinan merupakan sebuah media
yang akan mempersatukan dua insan dalam sebuah rumah tangga dan satu-satunya
ritual pemersatu dua insan yang diakui secara resmi dalam hukum negara maupun
hukum agama.
4

R. Soetojo Prawirohamidjojo & Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga


(Personen en Familie-Recht), Airlangga University Press, Surabaya, 2000, hal. 18.
5
Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan.

Dewasa ini, hubungan seksual pranikah semakin marak terjadi di Indonesia


tanpa mengindahkan norma-norma agama dan hukum. Bahkan tidak jarang ada
yang sampai melahirkan keturunan dari hubungan tersebut. Apabila terjadi
keadaan seperti ini, maka dapat dikatakan bahwa kehadiran seorang anak bukan
merupakan suatu kebahagiaan. Dalam kehidupan sosial, kejadian seperti ini
dianggap sebagai suatu aib bagi keluarganya.
Anak pada hakikatnya merupakan anugerah dan titipan dari Tuhan Yang
Maha Esa. Anak sebagai anggota keluarga mempunyai hak yang perlu dan
seharusnya diperhatikan oleh orang tuanya, perlu mendapatkan bimbingan dan
perawatan. Kewajiban tersebut berlaku terus meskipun perkawinan antara orang
tuanya putus sampai anak kawin atau dapat berdiri sendiri.
Di Indonesia terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang
mengatur khusus tentang anak yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak. Berkaitan dengan perkawinan, anak adalah anak yang
dilahirkan oleh seorang wanita baik anak sah maupun anak diluar perkawinan.
Anak yang lahir dari seorang wanita yang tidak mempunyai suami atau laki-laki
bukan suaminya disebut anak luar kawin. Kehadiran seorang anak luar kawin akan
menjadikan suatu permasalahan baik bagi seorang wanita yang melahirkan
maupun bagi lingkungan masyarakat setempat. Pada umumnya, adanya anak lahir
di luar perkawinan itu akan menimbulkan banyak pertentangan-pertentangan
diantara keluarga maupun di dalam masyarakat. Contohnya saja mengenai
kedudukan hak dan kewajiban anak tersebut.
Fenomena lahirnya anak luar kawin banyak dipengaruhi oleh adanya tren
pergaulan bebas atau perilaku seks pranikah di kalangan remaja. Berdasarkan data
dari beberapa lembaga survei di Indonesia, yang menyebutkan antara lain6 :
1. Data survei tahun 2008 Perkumpulan Keluarga Berencana menyebutkan
bahwa dari 100 remaja SMP dan SMA di Samarinda sebagai responden
didapatkan bahwa 56% sudah berhubungan seks bahkan ada yang terangterangan mengaku berhubungan dengan pekerja seks;
6

D.Y.Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca
Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan (Prestasi Pustakaraya: Jakarta,
2012), hlm. 14-15

2. Data survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia didapatkan data :

32% remaja 14-18 tahun pernah berhubungan seks;

21,2% remaja putri pernah melakukan aborsi;

97% penyebab remaja melakukan seks terinspirasi dari internet

Data survei tersebut mengindikasikan bahwa persoalan sosial dan perilaku


seks bebas di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Pengaruh informasi melalui
media internet yang tidak dapat dibendung serta ketidakpahaman remaja dampak
yang diakibatkan yang akan ditimbulkan akibat seks bebas memicu tingginya
tingkat kelahiran anak luar kawin.
Dalam Undang-Undang Perkawinan, ketentuan tentang anak luar kawin
diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, yaitu:
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya akan mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
Berdasarkan pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa anak yang lahir
di luar perkawinan sah antara ayah dan ibunya hanya akan mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya saja, termasuk dalam hal waris. Anak luar kawin hanya
akan mendapatkan hak waris dari ibunya dan keluarga ibunya. Sedangkan dengan
ayahnya, anak luar kawin tidak berhak mewaris. Pada dasarnya, pewarisan adalah
langkah-langkah penerusan dan pengoperan harta peninggalan baik yang berwujud
maupun tidak berwujud dari seorang pewaris kepada ahli warisnya.
Dari segi administrasi pencatatan kelahiran, anak yang lahir di luar kawin
hanya akan dicatat sebagai anak dari si ibu tanpa mencantumkan siapa yang
menjadi ayahnya. Hal ini sebagai konsekuensi bunyi dari pasal 43 (1) UndangUndang Perkawinan. Hal inilah yang akan menjadi pokok persoalan dengan
bagaimana kelangsungan hidup si anak di masa yang akan datang atau setelah
beranjak dewasa.
Berkaitan dengan kedudukan anak luar kawin, pada pertengahan bulan
Februari lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan bersejarah dengan
menyatakan anak luar kawin juga mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah
biologisnya. Mahkamah Konstitusi RI dengan putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010
tanggal 17 Februari 2012 berkaitan dengan permohonan uji materiil terhadap
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan Hj.

Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya
Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai anak almarhum
Moerdiono, yang merupakan mantan Menteri Sekretaris Negara di era Presiden
Soeharto dengan bunyi putusan: "Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan ini
harus dibaca, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memunculkan pro dan kontra di
dalam masyarakat. Pendukung atau yang pro terhadap putusan ini mempunyai
pendapat bahwa sejak adanya putusan tersebut maka anak luar kawin diharapkan
mendapat keadilan dalam hal keperdataan dari bapak biologisnya. Sedangkan bagi
yang kontra berpendapat bahwa putusan ini dipandang mendukung ataupun
melegalkan perbuatan zina.7
Bertolak dari adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut timbul suatu
pertanyaan yaitu apakah putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final and
binding tersebut sudah konsisten terhadap prinsip-prinsip perlindungan anak
khususnya yang ketentuan yang mengatura anak luar kawin karena hanya Pasal 43
ayat 1 Undang-Undang Perkawinan saja yang harus mengalami suatu perubahan
secara tekstual, mengingat apabila berbicara mengenai pengaturan mengenai anak
pada umumnya tidak hanya diatur di Undang-Undang Perkawinan saja namun
juga di Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak dan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Di dalam kedua
Undang-Undang tersebut tidak ada ketentuan pasal ataupun penjelasan yang
menyatakan bahwa anak luar kawin telah dilindungi hak-haknya, sehingga hal ini
dipandang dapat menimbulkan suatu ketidakpastian hukum dan ketidakadilan
terhadap pengaturan dan perlindungan hukum bagi anak luar kawin.
Selain itu dengan adanya putusan ini juga berimplikasi pada adanya
perubahan status maupun kedudukan anak luar kawin, perubahan status maupun
7

LBM Lirboyo, Kontrovesi Putusan MK Tentang Anak Luar Nikah (online),


http://lbm.lirboyo.net/kontrovesi-putusan-mk-tentang-anak-di-luar-nikah/,diakses
tanggal
13
Februari 2013

kedudukan yang dimaksud di sini merupakan status yang ada dalam


kependudukan maupun kewarganegaraan apabila sang bapak merupakan Warga
Negara Asing. Sehingga Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan maupun Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan juga harus ada suatu perubahan. Karena di dalam
kedua Undang-Undang tersebut terdapat beberapa pasal yang mengatur mengenai
anak luar kawin.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam
penulisan jurnal ini adalah :
1. Apakah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 telah
memenuhi prinsip-prinsip perlindungan hukum terhadap anak?
2. Bagaimanakah harmonisasi peraturan perundang-undangan terhadap
anak luar kawin pasca Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi No.
46/PUU-VIII/2010?
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. untuk mengetahui dan menganalisis putusan Mahkamah Konstitusi No.
46/PUU-VIII/2010

tersebut

telah

memenuhi

prinsip-prinsip

perlindungan hukum terhadap anak


2. Memahami dan menganalisis harmonisasi peraturan perundangundangan terhadap anak luar kawin pasca Putusan Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010.
B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif (Normatif Legal Research


Pendekatan penelitian yang digunakan oleh peneliti ialah pendekatan perundangundangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan
pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan
oleh peneliti dengan maksud untuk mencari dasar hukum dan kandungan filosofis
suatu perundang-undangan serta untuk mempelajari adakah konsistensi dan
kesesuaian ketentuan-ketentuan yang ada dalam suatu undang-undang atau antara
suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya yang dalam penelitian ini
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan anak luar kawin. Pendekatan

konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang


berkembang di dalam ilmu hukum, sehingga peneliti akan menemukan ide-ide
yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asasasas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.8 Pendekatan kasus bertujuan
untuk mempelajari penerapan norma atau kaidah hukum yang diberlakukan dalam
praktik hukum9, terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana
yang dapat dilihat dari yurisprudensi terhadap perkara yang menjadi fokus
penelitian. Adapun perkara yang menjadi fokus dari penelitian ini adalah perkara
pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal
43 ayat (1) yang akhirnya diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan nomor
46/PUU-VIII/2010.
Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini adalah dengan bahan
hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan, bahan hukum
sekunder yang terdiri dari buku teks, jurnal hukum, kamus hukum, hasil penelitian
hukum, serta dokumen penunjang lainnya dan bahan hukum tersier khususnya
yang berkaitan dengan Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Terhadap
Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010.
Bahan-bahan hukum yang telah terkumpul, diolah secara sistematis dengan
cara mengaitkan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang
lainnya serta didukung dengan bahan hukum lainnya. Selanjutnya, akan penelitit
uraikan, deskripsikan, dan analisis sedemikian rupa dengan menggunakan Metode
konstruksi hukum merupakan salah satu bentuk penemuan hukum yang biasa
digunakan oleh hakim pada saat ia dihadapkan pada kekosongan hukum (rechts
vacuum) atau kekosongan undang-undang (wet vacuum),10 sehingga dapat menjawab
bentuk harmonisasi yang tepat terhadap peraturan perundang-undangan terkait
dengan anak luar kawin megingat bahwa pasca putusan Mahkamah Konstitusi

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Kencana Prenada Media Group:


Jakarta, 2009). hal. 95.
9
Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Bayumedia
Publishing: Surabaya, 2005), hal. 321.
10

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum


Progresif, (Sinar Grafika: Jakarta, 2011), hal. 74
8

aspek pengaturan perlindungan hukum terhadap anak luar kawin belum diatur
secara komprehensif dalam sistem hukum positif di Indonesia.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Konsistensi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010


Terhadap Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Anak
Secara filosofis manusia merupakan mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
dengan segala kesempurnaan serta dibekali dengan akal dan nurani untuk
mengetahui berbagai kehidupan yang ada di alam semesta. Makna dari adanya
kelahiran manusia melalui proses perkawinan antara seorang laki-laki dan
perempuan tiada lain dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan regenerasi
kehidupan yang berkelanjutan, oleh karenanya sakralitas dari suatu perkawinan
merupakan usaha untuk membina keluarga yang bahagia dan sejahtera serta
mencegah adanya dampak penyimpangan seksual jikalau perkawinan dilakukan
oleh sesama jenis kelamin maupun imbas degradasi moral jika hubungan seksual
tidak diabsahkan melalui suatu lembaga perkawinan yang dijalankan menurut
kaidah agama dan kepercayaan.
Kehadiran seorang anak dalam suatu lembaga perkawinan yang sah tentunya
akan memberikan berkah kebahagian dalam bahtera rumah tangga. Namun
demikian dalam realitas empiris masyarakat Indonesia praktek-praktek pergaulan
bebas maupun kemajuan teknologi telah mempengaruhi perilaku masyarakat untuk
melakukan perbuatan hubungan seks diluar nikah. Dampak negatif dari adanya
perilaku tersebut jelas akan menimbulkan adanya kelahiran di luar perkawinan.
Para kelompok agamawan dan para pejuang Hak asasi manusia tentu berbeda
pandangan dalam memahami kondisi tersebut. Jikalau dari kelompok agamawan
sebagai contoh MUI mengeluarkan fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya. Yang dalam
redakturnya menegaskan bahwa anak hasil hubungan zina, atau di luar pernikahan
yang sah itu tidak mempunyai hubungan nasab, waris, nafaqoh dengan laki-laki
yang menyebabkan kelahirannya.
Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan situasi dan kondisi
yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi

positif. Ini berarti dilindunginya anak untuk memperoleh dan mempertahankan


haknya untuk hidup, mempunyai kelangsungan hidup, bertumbuh kembang dan
perlindungan dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya sendiri atau bersama para
pelindungnya.
Atas dasar itulah maka mendapatkan perlindungan merupakan hak dari
setiap anak, dan diwujudkannya perlindungan bagi anak berarti terwujudnya
keadilan dalam suatu masyarakat. Asumsi ini diperkuat dengan pendapat Age,
yang telah mengemukakan dengan tepat bahwa melindungi anak pada hakekatnya
melindungi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara di masa depan. Dari
ungkapan tersebut nampak betapa pentingnya upaya perlindungan anak demi
kelangsungan masa depan sebuah komunitas, baik komunitas yang terkecil yaitu
keluarga, maupun komunitas yang terbesar yaitu negara. Artinya, dengan
mengupayakan perlindungan bagi anak komunitas-komunitas tersebut tidak hanya
telah menegakkan hak-hak anak, tapi juga sekaligus menanam investasi untuk
kehidupan mereka di masa yang akan datang. Di sini, dapat dikatakan telah terjadi
simbiosis mutualisme antara keduanya11.
Pasal 3 Undang-Undang no 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak
menentukan bahwa anak yang tidak mempunyai orangtua berhak memperoleh
asuhan oleh negara atau orang atau badan. Berdasarkan ketentuan ini, dapat
diketahui bahwa anak yang tidak mempunyai orangtua dapat diasuh oleh wali
melalui perwalian, oleh orangtua angkat melalui pengangkatan anak (adopsi) dan
dapat diasuh di panti asuhan yang dikelola oleh pihak swasta maupun pemerintah.
Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai
macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai
bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam
melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya, khususnya dari kesalahan
penerapan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan terhadap dirinya.
Perlindungan anak dalam hal ini disebut perlindungan hukum/yuridis (legal
protection)12.

11

Muhammad Joni, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif


Konvensi Hak Anak, (Citra Aditya Bakti: Bandung, 1999), hlm. 30
12
Ibid, hlm. 2
10

Konvensi Hak Anak merupakan bagian integral instrumen hak asasi yang
berlaku secara universal. Konvensi Hak Anak memuat secara rinci hak-hak asasi
manusia bagi setiap anak, yang meliputi hak kelangsungan hidup (survival), hak
untuk bertumbuh kembang (development), hak untuk memperoleh perlindungan
(protection) dan hak untuk terlibat dan ikut (participation).13 Konvensi Hak Anak
memilik empat prinsip umum yang menggambarkan lebih jauh hak-hak asasi yang
disebutkan di atas. Keempat prinsip umum tersebut adalah :
1. Non diskriminasi; artinya bahwa semua hak yang terkandung dan
diakui dalam Konvensi Hak Anak harus diberlakukan kepada setiap
anak tanpa adanya pembedaan atas dasar apapun;
2. Yang terbaik bagi anak (best interest of child); yaitu bahwa semua
tindakan yang dijalankan oleh para penyandang kewajiban (yaitu
semua instansi pemerintah baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif,
juga pihak swasta dan masyarakat secara keseluruhan) harus menjadi
kepentingan yang terbaik bagi si anak sebagai pertimbangan
utamanya;
3. Hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan (right to life,
survival and development); berarti bahwa seluruh pihak harus
mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas
kehidupan, dan oleh karenanya harus juga menjamin semaksimal
mungkin kelangsungan hidup dan perkembangan anak tersebut baik
dari sisi fisik maupun mental; dan
4. Penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the
child); berarti bahwa pendapat anak, khususnya jika menyangkut halhal yang mempengaruhi kehidupnannya, harus diperhatikan dalam
setiap pengambilan keputusan. Ini juga berarti bahwa anak bukanlah
obyek yang dapat diperlakukannya sesukanya saja.14
Dalam rumusan hukum internasional mengenai perlindungan anak
sebagaimana dipaparkan dalam mukadimah Konvensi tentang Hak-Hak Anak,
13

HM Abdi Koro, Perlindungan Anak Di Bawah Umur Dalam Perkawinan


Usia Muda dan Perkawinan Siri (PT. Alumni: Bandung, 2012), hlm 70
14
Ibid., hlm 71
11

bahwa perlindungan terhadap anak merupakan suatu kebutuhan yang mendesak


mengingat anak karena alasan ketidakdewasaan fisik dan jiwanya, membutuhkan
perlindungan dan pengasuhan khusus termasuk perlindungan hukum yang tepat,
baik sebelum dan juga sesudah kelahiran. Sehingga anak dipandang memiliki
kedudukan khusus di mata hukum. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa
anak adalah manusia dengan segala keterbatasan biologis dan psikisnya belum
mampu memperjuangkan segala sesuatu yang menjadi hak-haknya.
Perihal diatas dimaksudkan bahwa upaya untuk memelihara kelangsungan
hidup anak adalah tanggung jawab orangtua,yang tidak boleh diabaikan. Pasal 45
Undang-Undang no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, menentukan bahwa
orangtua wajib memelihara dan mendidika anak-anak yang belum dewasa sampai
yang bersangkutan dewasa atau dapat berdiri sendiri. Orangtua merupakan yang
pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara
rohani, maupun jasmani maupun sosial.15
Setiap anak yang lahir ke dunia ini baik itu yang di kenal sebagai anak sah,
anak luar kawin, anak zina maupun anak sumbang pada dasarnya mempunyai hak
dan kewajiban sebagai subyek hukum serta mempunyai kedudukan yang sama di
mata hukum, hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 27 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara
bersamaan kedudukannya dalam hukum yang dipertegas dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002 dan juga Konvensi Hak Anak
(Convention on the Rights of the Child) yang menyebutkan bahwa prinsip-prinsip
dasar perlindungan anak antara lain adalah non diskriminasi dan kepentingan
terbaik bagi anak (the best interest of the child).16
Mengenai permohonan pemohon mengenai pengujian Undang-Undang
Nomor 1 tahun1974 tentang perkawinan pada Pasal 43 ayat (1) diterima dalam hal
ini Mahkamah Konstitusi dikabulkan dengan penafsiran pada Pasal tersebut telah
menimbulkan diskriminasi pada perkembangan psikologis anak luar kawin dan
kepastian hukum tentang identitas anak luar kawin. Keputusan Mahkamah
15

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan di


Indonesia, (PT. Refika Aditama: Bandung, 2010), hlm. 1
16
Heru
Susetyo,
Melindungi
Anak
vs
Mencegah
Zina,
http://www.kompasiana.blogspot.com/p/Melindungi-anak-vv-mencegah-zina.html. diakses tanggal
5 April 2013.

12

Konstitusi tersebut membuat terobosan baik dalam hal hukum positif dan hukum
yang hidup dalam perkembangan masyarakat demi terciptanya keadilan bagi
perlakuan anak diluar nikah. Ini yang merupakan salah satu ciri konsep hukum
progresif yang menyatakan bahwa hukum harus peka dengan aspek-aspek lain
diluar lingkup hukum itu sendiri17. Dan hukum harus mampu menciptakan
pertimbangan-pertimbangan hukum diluar konteks hukum positif atau terobosanterobosan guna mewujudkan keadilan sosial.
Letak nilai-nilai progresivisme dalam hal ini pada pertimbanganpertimbangan hakim pada putusan tersebut. Dalam hal ini hakim-hakim
Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian bukan hanya berdasar pada PasalPasal yang tertulis didalam Undang-undang Dasar akan tetapi pertimbanganpertimbangan hukum tersebut juga mengambil dari living law atau hukum yang
hidup didalam masyarakat. Sehingga jika dianalisis dengan teori keadilan maka
putusan tersebut sudah memenuhi unsur keadilan, yakni keadilan korektif yang
menyangkut pembetulan yang salah18, dalam hal ini adalah bunyi dari pasal 43
ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang bertentangan dengan pasal 28 UndangUndang Dasar 1945, yaitu :
Sifat represif dari putusan Mahkamah Konstitusi ini adalah manakala hakim
Konstitusi mengabulkan permohonan dari pemohon yakni Machica Mochtar,
karena sifat represif dari perlindungan hukum mengandung pengertian
perlindungan yang dibuat untuk menyelesaikan suatu sengketa, dan perlindungan
yang dimaksud tentu saja bertujuan untuk melindungi kedudukan ataupun hak-hak
asasi maupun keperdataan dari anak luar kawin hasil hubungan Machica Mochtar
dengan (alm.) Moerdiono.
Dari hasil putusan para hakim di Mahkamah Konstitusi di atas maka jika
ditinjau atau dianalisis dengan menggunakan teori keadilan maupun perlindungan
hukum maka putusan para hakim konstitusi ini sudah tepat dan pro-perlindungan
anak karena putusan ini lahir dengan pertimbangan bahwa hukum harus memberi
perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang
17

Satjipto Raharjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, (Genta


Publishing: Yogyakarta, 2009), hlm. 7
18
Abdul Rachmad Budiono, Pengantar Ilmu Hukum, (Bayumedia Publishing: Malang,
2005), hlm. 22

13

dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan
meskipun keabsahan perkawinannya masih disengketakan terlepas dari adanya
concurring opinion yang dikemukakan oleh hakim Konstitusi Maria Farida.
Gambar
Hubungan Anak Hasil Perkawinan Yang Sah dengan Anak Luar Kawin
Dalam Konsep Perlindungan Anak

Anak Sah
Hasil
Perkawinan

Konsep HAM
SAMA

Non
diskriminasi

Anak Luar
Kawin

Penghargaan
terhadap pendapat
anak (respect for the
views of the child);
Hak hidup,
kelangsungan hidup
dan perkembangan
(right to life,
survival and
development);

Yang terbaik
bagi anak (best
interest of
child);

Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Terhadap Anak Luar Kawin


Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010
Harmonisasi merupakan suatu proses penyerasian dan penyelarasan antar
peraturan perundang-undangan sebagai suatu bagian integral atau sub sistem dari
sistem hukum guna mencapai tujuan hukum19. Harmonisasi hukum mempunyaii
fungsi pencegahan dan fungsi penanggulangan terjadinya disharmonisasi hukum.
Harmonisasi hukum untuk mencegah terjadinya disharmoni hukum dilakukan

19

Setio Sapto Nugroho, Harmonisasi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,


(Dokumentasi Dan Informasi Hukum, Bagian Hukum, Biro Hukum Dan Humas: Jakarta, 2009),
hlm. 4

14

melalui penemuan hukum, penalaran hukum, dan pemberian argumentasi hukum


yang rasional20.
Selain Undang-Undang Perlindungan Anak, sebenarnya sudah ada
beberapa peraturan perundang-undangan lainnya di tingkat nasional yang
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan yang optimal kepada anak,
misalnya ketentuan yang ada dalam Undang-Undang no. 24 tahun 1979 tentang
kesejahteraan anak, dan Undang-Undang no. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak.
Keseluruhan produk hukum yang dimaksudkan untuk menjamin
perlindungan anak tersebut, bagaimanapun, yang terpenting tentunya adalah
penerapannya di lapangan. Tentunya untuk menjamin penegakan hukum
perlindungan anak yang prima, sistem hukum dan isi ketentuan hukum yang
disiapkan haruslah jelas, tegas dan tepat sasaran. Dengan demikian, antara satu
produk hukum dengan produk hukum yang lain, tentunya harus sinkron tidak
bertentangan dan juga tidak menimbulkan kebingungan dalam pemakaiannya.
Apabila produk yang dihasilkan sudah saling bertabrakan atau menimbulkan multi
interpretasi, maka akan timbul keraguan bahwa penegakannya akan optimal dan
memenuhi tujuan yang dicita-citakan. Apabila pembenahan perangkat hukumnya
sudah benar maka tantangannya berikutnya akan ada di lapangan, yaitu pada saat
pemangku kewajiban perlindungan anak, yaitu pemerintah, masyarakat dan
keluarga, berhadapan dengan mereka yang menjadi pemilik hak dalam hal ini
adalah anak.21
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab ataupun subbab sebelumnya bahwa
dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi no. 46/PUU-VIII/2010 ini maka
membawa suatu implikasi perubahan tidak hanya pada pasal yang diuji yakni
pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan namun juga hak-hak keperdataan
yang luas yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan anak
luar kawin

yaitu Undang-Undang Perlindungan

Anak,

Undang-Undang

Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Administrasi Kependudukan dan UndangUndang Kewarganegaraan.


20

Kusnu Goesniadhie S., Harmonisasi Sistem Hukum, (Nasa Media: Surabaya,


2010), hlm. 11
21
H. M. Adi Koro, Op. Cit., hlm 67
15

Pada Undang-Undang Perlindungan Anak maupun Undang-Undang


Kesejahteraan Anak masih belum memuat ketentuan yang mengatur secara
komperenhesif

tentang

anak

luar

kawin

sehingga

dapat

menimbulkan

ketidakadilan maupun kepastian hukum terhadap anak luar kawin.


Selain

itu

dalam

hal

administrasi

kependudukan

masih

terdapat

ketidakselarasan terhadap prinsip perlindungan anak terutama dalam hal


memperoleh pendidikan. Sistim administrasi persyaratan untuk masuk sekolah
adalah harus menyerahkan akta kelahiran, tentu saja hal ini menimbulkan
kesulitan bagi anak luar kawin karena syarat untuk mendapat akta kelahiran
adalah harus ada pernikahan sah antara keduanya. Sehingga apabila anak luar
kawin tersebut tidak dapat menunjukkan akta kelahirannya maka sudah dipastikan
anak tersebut tidak dapat mengenyam pendidikan sebagaimana layaknya anak
hasil dari pernikahan yang sah.
Dalam

Undang-Undang

Kewarganegaraan

masih

terdapat

ketidakharmonisan terutama dalam pasal 5 ayat (1) yang berbunyi :


Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah,
belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin diakui secara sah
oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga
Negara Indonesia
Jika melihat dari bunyi pasal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa anak luar
kawin yang lahir dari perkawinan yang sah dan belum diakui oleh bapaknya maka
belum dapat dikatakan sebagai warga negara Indonesia sehingga menimbulkan
ketidakpastian dalam hal hak-hak konstitusional yang seharusnya diperoleh anak
luar kawin.
Berdasarkan dari hasil analisis di atas maka urgensi harmonisasi peraturan
perundangan-undangan terhadap anak luar kawin menjadi suatu kemutlakan untuk
menciptakan sinergi perlindungan hukum yang komperehensif yang dapat
memberikan kepastian hukum ataupun keadilan bagi anak luar kawin. Jika dilihat
dari sudut pandang teori perlindungan hukum, maka diperlukan suatu
perlindungan hukum yang perventif maupun represif, dalam hal perventif untuk
mencegah terjadinya kasus anak luar kawin maupun represif untuk memberikan
efek jera bagi pelaku ataupun pasangan yang melakukan hubungan seksual di luar
perkawinan yang sah dan represif untuk menyelesaikan suatu sengketa yang

16

terjadi seperti penyelesaian dalam hal pengakuan anak luar kawin karena pada
dasarnya anak dan segala kepentingannya harus dipisahkan dari setiap
persengketaan yang terjadi pada kedua orang tuanya, urusan sah atau tidaknya
perkawinan yang dilakukan oleh orang tuanya, atau bahkan sama sekali tidak ada
perkawinan yang mendahului proses kelahiran si anak, hak dan kedudukan si anak
di mata hukum tidak boleh dirugikan22.
Dalam hal kepastian hukum bagi anak luar kawin maka perlu adanya
ketegasan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dan juga
pelaksanaan di lapangan mengingat indikator adanya kepastian hukum di suatu
negara itu sendiri adalah adanya perundang-undangan yang jelas dan perundangundangan tersebut diterapkan dengan baik oleh hakim maupun petugas hukum
lainnya.23 Untuk itu diperlukan kejelasan terhadap bunyi pasal 43 (1) UndangUndang Perkawinan yang telah mengalami perubahan bunyi akibat putusan
Mahkamah Konstitusi mengenai pelaksanaan teknis dari bunyi pasal 43 (1)
tersebut ataupun peraturan yang lebih konkrit dalam mengatur perlindungan dan
kesejahteraan anak luar kawin yakni dengan memasukkan ketentuan mengenai
anak luar kawin di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak maupun UndangUndang Kesejahteraan Anak. Dalam penambahan pasal yang memuat ketentuan
anak luar kawin di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak maupun
Kesejahteraan harus berdasarkan empat prinsip umum yang terkandung di dalam
Konvensi Hak Anak.
Sementara itu di dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan
harus mengatur tentang indiskriminasi yang terjadi pada anak luar kawin, seperti
kewajiban pencantuman nama ayah pada akta kelahiran sang anak, karena hal
tersebut dapat menimbulkan stigma negatif dan dapat menimbulkan permasalahan
bagi sang anak di kemudian hari khususnya pada saat sang anak ingin
mendapatkan

pendidikan.

Lebih

lanjut

di

dalam

Undang-Undang

Kewarganegaraan ketentuan yang mengatur tentang anak luar kawin sebagaimana


tertulis di dalam pasal 5 (1) maka untuk melindungi anak luar kawin sebagai
bagian dari hak konstitusional warga dibutuhkan penyempurnaan terhadap bunyi
pasal tersebut dapat ditambahkan satu pasal lagi yang berbunyi: Anak Warga
22
23

D.Y. Witanto, Op. Cit., hlm. 245


Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Kanisius: Yogyakarta, 2010), hlm. 118

17

Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18
(delapan belas) tahun atau belum kawin diakui secara sah diakui hak-hak
konstitusionalnya yang meliputi

pelayanan

warga negara

yang tanpa

diskriminatif, prinsip yang terbaik bagi anak, hak hidup, kelangsungan hidup dan
perkembangan, serta penghargaan terhadap anak
D. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis di atas, maka dalam penelitian
ini dapat ditarik beberapa kesimpulan mendasar antara lain :
1. Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang amar
putusannya mengabulkan uji materiil terhadap pasal 43 ayat (1) UndangUndang Perkawinan secara filosofis dan teoritis telah memenuhi
konsistensi prinsip-prinsip hukum mengenai perlindungan anak dilihat dari
sudut pandang hak asasi manusia. Adapun kaidah dasar dari sebagaimana
dimaksud terdiri dari yaitu, non diskriminasi, yang terbaik bagi anak, hak
hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, serta penghargaan terhadap
pendapat anak.
2. Bahwa harmonisasi hukum peraturan perundang-undangan pasca putusan
Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 terhadap serangkaian
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai anak mutlak
untuk dilakukan secara komperehensif agar pelaksanaan dan pengaturan
hukum mengenai pemenuhan dan perlindungan hak konstitusional anak
luar kawin dapat dijalankan secara optimal di masa yang akan datang.

18

You might also like