Professional Documents
Culture Documents
STATUS PENDERITA
: 312278
I. ANAMNESIS
a. Identitas Pasien
Nama
: Tn. D
Jenis kelamin
: Laki laki
Umur
: 3 tahun 11 bulan
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Alamat
Nama Ayah
: Tn.N
Umur
: 30 tahun
Pekerjaan
: Wiraswasta
Pendidikan
: SMA
Nama Ibu
: Ny.L
Umur
: 29 tahun
Pekerjaan
Pendidikan
: SMA
b. Riwayat Penyakit
Keluhan Utama :
Kejang
Keluhan Tambahan :
Demam dan BAB cair
: ASI
2 9 bulan
: Susu formula
9 12 bulan
1 tahun
Kesan
Riwayat Imunisasi :
BCG
DPT
Campak
Hepatitis
Polio
Kesan
B. Pemeriksaan Fisik
a. Status Present
Keadaan umum
Kesadaran
: Compos mentis
Suhu
: 38,2C
Frekuensi nadi
: 100x/menit
Frekuensi nafas
: 28x/ menit
Berat Badan
: 20 kg
Panjang badan
: 105 cm
Status gizi
: BB/U = z score 0 sd +2
TB/U = z score 0 sd+2
BB/TB = z score +2
Kesan
b. Status generalis
Kelainan Mukosa Kulit / Subkutan yang Menyeluruh
Pucat
Sianosis
Ikterus
Oedem
Turgor
: Normal
Pembesaran KGB
KEPALA
Muka
: Normal
Rambut
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
LEHER
Leher
Trachea
KGB
: Pembesaran (-)
THORAKS
Bentuk
: Simetris
Retraksi suprasternal
: Tidak ada
Retraksi substernal
: Tidak ada
Retraksi intercostal
: Tidak ada
Retraksi subcostal
: Tidak ada
JANTUNG
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
: BJ I dan BJ II normal
PARU
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Sonor
Auskultasi
: Vesikuler
ABDOMEN
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Timpani
Auskultasi
c. Status Neorologis
a)Motorik :koordinasi baik
b) Sensorik: normal
Penilaian
Gerak
Kekuatan otot
Tonus
klonus
Atropi
c) Reflek Fisiologis
Superior ka/ki
Normal/normal
5/5
Normotonus/normotonus
-/Eutropi/eutropi
Inferior ka/ki
Normal/normal
5/5
Normotonus/normotonus
-/Eutropi/eutropi
Reflek Patologi : Babinski -/-, Chaddock -/-, Gordon -/-, Gonda -/-,
Oppenheim -/-
: Normal
: Normal
: Normal
D. Pemeriksaan Penunjang
Darah lengkap tanggal 12 Mei 2014
Hemoglobin : 11,7 (normal)
Hematokit
: 34% (normal)
LED
: 36 (meningkat)
Leukosit
: 8300
Trombosit
: 257.000
E. Resume
Pasien LK umur 3 tahun 11 bulan dengan BB: 20 kg dan PB 105 cm,
mengeluhkan BAB cair 2 hari SMRS sebanyak 1/4 gelas berukuran 250cc sebanyak
4-5x/hari, BAB cair berwarna kuning, tidak terdapat darah dan lendir. Setelah itu, 1
hari SMRS anak mengalami demam dan sudah diberikan obat penurun panas namun
demam tidak turun dan semakin meningkat. Setelah kurang lebih 10 jam demam,
pasien mengalami kejang 1x kurang lebih 10 menit bersifat umum, saat kejang pasien
dibawa ke puskesmas dan langsung dirujuk ke RSAM. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan keadaan umum pasien dalam kondisi sakit sedang dan kesadaran kompos
mentis. Suhu : 38,2oC, RR : 28x/menit, nadi : 100x/menit Pada pemeriksaan jantung
dan paru tidak ditemukan kelainan dan pada pemeriksaan abdomen tidak teraba hepar
dan lien dan abdomen dalam keadaan normal. Pada pemeriksaan rangsang meningeal
tidak menunjukkan keadaan positif. Lalu hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan
Prognosis
Quo ad Vitam
:Dubia ad bonam
Quo ad Fungtionam
:Dubia ad bonam
Quo ad Sanationam
:Dubia ad bonam
Perjalanan Penyakit
Instruks dokter ruangan
S/ demam (+), kejang (-), P/
BAB cair 5x/hr
O/ Pemeriksaan fisik :
Pasien gerak aktif, mata
tidak cekung, ubun-ubun
menutup,
turgor
kulit
(makro)
- Oralit
200cc
setiap
habis BAB
- Zinc sulfat 20 mg
- PCT syr 3xcth2
38,0oC,
120x/menit,
HR=
RR=
13 Mei 2014
tanpa dehidrasi
S/ demam (-), BAB cair 4x P/
O/ Pemeriksaan fisik :
turgor
kulit
gtt
- Oralit setiap habis BAB
- Zinc sulfat 20 mg
- PCT syr 3xcth2 (bila
demam)
37,9oC,
HR=
127x/menit,
RR=
25x/menit
A/diare
akut
tanpa
dehidrasi
Hasil lab :
LED 36 mm/jam
Trombosit : 257.000/ul
14 Maret 2014
Leukosit : 8300/ul
S/ demam (-), anemis (-),
kejang (-), BAB cair 2x/hr
O/ Pemeriksaan fisik :
Pasien gerak aktif, mata
tidak cekung, ubun-ubun
menutup,
turgor
kulit
P/
- Kaen3b : RL = 1:1 XII
gtt
- Oralit setiap habis BAB
- Zinc sulfat 20 mg
- PCT syr 3xcth2 (bila
demam)
akut
tanpa
dehidrasi
15 Maret 2014
P/
- RL XII gtt
- Oralit setiap habis BAB
- Zinc sulfat 20 mg
turgor
kulit
RR=
25x/menit
A/diare
akut
tanpa
dehidrasi
16 Maret 2014
P/
- Zinc sulfat 20 mg
- Cefadroxil syr 3ddcth1
turgor
KET : Pulang
kulit
tanda-tanda
dehidrasi.
T
36,4oC,
114x/menit,
HR=
RR=
25x/menit
Bising usus normal
Hasil lab :
LED 60 mm/jam
Leukosit 8200/ul
Trombosit 362000/ul
Edukasi pulang :
-
I. KEJANG DEMAM
A. Definisi
Kejang Demam (FC) ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 38 C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Kejang terjadi ketika fungsi otak tidak normal sehingga menyebabkan terjadi
perubahan gerakan, perhatian, dan kesadaran. Kejang demam tidak disertai infeksi
susunan saraf pusat (SSP) atau berupa gangguan elektrolit akut, terjadi pada anak
diatas usia 1 bulan dan tidak ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya. Kejang
disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang
10
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang
lama terjadi pada 8% kejang demam (Pusponegoro dkk, 2006). Berdasarkan
bagian otak yang mengalami kejang, kejang dapat dibedakan berdasarkan
banyaknya bagian otak yang terkena.
11
Kejang parsial adalah kejang yang hanya terjadi pada satu bagian otak dan pada
satu bagian tubuh. Kejang parsial sederhana memiliki pergerakan motorik yang
terlokalisir pada satu bagian tubuh. Anak dengan kejang ini biasanya akan tetap
bangun dan sadar. Kejang parsial komplek ditandai dengan aktivitas motorik ulangan
yang dilakukan oleh pasien, misalnya bertepuk tangan saat kejang. Setelah kejang,
anak mengalami kebingungan dan tidak mengetahui apa yang terjadi (Christopher et
al., 2011).
Kejang umum terjadi pada hampir seluruh otak. Kejang ini dibagi menjadi
konvulsif dan nonkonvulsif. Kejang konvulsif ditandai dengan hentakan otot
beberapa saat lalu diikuti dengan mengantuk. anak biasanya mengantuk dan tidak
ingat peristiwa kejang yang dialaminya. Kejang tonik terjadi karena kontraksi otot
dan rigiditas, ditandai dengan hentakan otot yang berulang. Kejang umum kadang
juga disertai dengan mata mendelik ke atas. (Christopher et al., 2011).
B. Etiologi
Penyebab kejang demam hingga kini masih belum diketahui
dengan pasti. Ada beberapa faktor yang mungkin berperan dalam
menyebabkan kejang demam,yaitu:
1. Demamnya sendiri
2. Efek produk toksik daripada mikroorganisme (kuman dan virus)
terhadap otak
3. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi
4. Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit
5. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan atau yang
tidak diketahui atau ensefalopati toksik sepintas
12
Demam
yang
disebabkan
oleh
imunisasi
juga
dapat
kejang
demam, 66(22,2%)
penderita
tidak
media
akut
Jumlah penderita
100
(radang
liang 91
telinga tengah)
Enteritis/gastroenteritis
(radang
22
disertai
44
saluran cerna)
Enteritis/gastroenteritis
dehidrasi
17
38
Bronkopeneumonia
(radang
paru
12
Morbili (campak)
13
66
Tidak diketahui
Pernah dilaporkan bahwa infeksi tertentu lebih sering di-sertai KD
daripada infeksi lainnya.
Sekitar 4,8% - 45% penderita gastroenteritis oteh kuman Shigella
mengaiami KD dibanding gastroenteritis oieh kuman penyebab lainnya di
mana angka kejadian KD hanya sekitar 1%,
C. Patofisiologi
Meskipun mekanisme pasti terjadinya kejang tidak diketahui, beberapa faktor
fisiologis dianggap bertanggung jawab atas berkembangnya suatu kejang .
Untuk mempertahankan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu energi
yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk memetabolisme otak yang
terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan
dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem
kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi
dipecah menjadi CO2 dan air.
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah
lipid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron
dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion
natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl -). Akibatnya kosentrasi
K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ menjadi rendah sedangkan di luar sel
neuron terjadi keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di
dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial
membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan petensial membran ini
diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan
sel.
Keseimbangan petensial membran ini dapat diubah oleh adanya:
1.
2.
3.
Perubahan dari patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam, kenaikan 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat sampai 20%. Jadi
pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari
membran sel neuron, dan dalam waktu yang singkat dapat terjadi difusi ion kalium
listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh
sel maupun ke membran tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut
neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang
berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seorang anak menderita
kejang pada kenaikan suhu tubuh tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang
rendah, kejang sudah dapat terjadi pada suhu 38oC, sedangkan pada anak dengan
ambang kejang yang tinggi, kejang baru dapat terjadi pada suhu 40oC atau lebih.
Pada kejang yang berlangsung lama biasanya disertai terjadinya apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet sedangkan
otot pernafasan tidak efisien sehingga tidak sempat bernafas yang akhirnya terjadi
hipoksemia, hiperkapnea, hipoglikemia, laktat asidosis disebabkan metabolisme
anaerob, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh
yang semakin meningkat oleh karena meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya
menyebabkan metabolisme otot meningkat.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah mengakibatkan hipoksia
sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul oedem otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron.
Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam lebih
sering
terjadi
pada
ambang
kejang
yang
rendah
sehingga
di
dalam
15
Anamnesis:
Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu sebelum /saat
kejang, frekuensi, interval, pasca kejang, penyebab demam diluar susunan
saraf pusat.
Pemeriksaan Fisik :
Pemeriksaan Penunjang :
1. Pemeriksaan laboratorium
Dilakukan sesuai indikasi untuk mencari penyebab kejang demam atau keadaan lain
misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan dapat meliputi: darah
perifer lengkap, gula darah, elektrolit, serum kalsium, fosfor, magnesium, ureum,
kreatinin, urinalisis, biakan darah, urin, feses.
2. Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebro spinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6% 6,7%.
16
Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis
meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal
dianjurkan pada:
a. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan.
b. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan.
c. Bayi >18 bulan tidak rutin (jika dicurigai menderita meningitis).
Pungsi lumbal juga dipertimbangkan dilakukan apabila terdapat tanda kaku kuduk,
kernig, dan brudzinki yang positif. Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak
perlu dilakukan pungsi lumbal.(Bauman and Kao, 2013; Duffner et al., 2011)
Prognosis :
Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah
dilaporkan.Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada anak
yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan
neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus
dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal.
Kemungkinan mengalami kematian
Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Kemungkinan berulangnya kejang demam
Kejang demam akan berulang kembali pada sebgaian kasus. Faktor resiko
berulangnya kejang demam adalah:
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga.
17
18
19
lanjutkan dengan
cairan
serebrospinal
dilakukan
untuk
1. Profilaksis intermiten
Untuk mencegah terulangnya kejang kembali dikemudian hari, penderita
yang menderita kejang demam sederhana diberikan diazepam secara oral
untuk profilaksis intermiten dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 3 dosis saat pasien demam. Diazepam dapat juga diberikan secara
intrarectal tiap 8 jam sebanyak 5 mg (BB<10 kg) dan 10 mg (BB>10kg)
setiap pasien menunjukan suhu lebih dari 38,5 C.
20
dan cukup
didalam
darah
penderita
untuk
otak
tetapi
tidak
dapat
mencegah
terjadinya
epilepsi
Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan
Ada riwayat kejang tanpa demam pada orang tua atau saudara
kandung.
4.
Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau
terjadi kejang
multipel dalam satu episode demam.
21
DTP : 6-9 per 100.000 imunisasi. Risiko ini tinggi pada hari imunisasi, dan
menurun setelahnya.
MMR : 25-34 per 100.000 imunisasi. Risiko meningkat pada hari 8-14 setelah
imunisasi.
Kejang demam pasca imunisasi tidak memiliki kecenderungan berulang yang lebih
besar daripada kejang demam pada umumnya. Dan kejang demam pasca imunisasi
kemungkinan besar tidak akan berulang pada imunisasi berikutnya. Jadi kejang
demam bukan merupakan kontra indikasi imunisasi.
F. Prognosis
Dengan penangulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam
baik dan tidak perlu menyebabkan kematian. Dari penelitian yang ada,
frekuensi terulangnya kejang berkisar antara 25% - 50%, yang umumnya
terjadi pada 6 bulan pertama. Apabila melihat pada umur, jenis kelamin,
dan riwayat keluarga, Lennox-Buchthal (1973) mendapatkan:
22
Risiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang
demam tergantung dari faktor:
23
perfringens,
Stafilokokus
aureus,
Campylobacter
aeromonas
1 2.
Astrovirus
2 3.
Balantidium coli,
Trichuris
trichiura,
Cryptosporidium
parvum,
Strongyloides stercoralis
3 4.
motilitas,
botol
susu
terbukti
meningkatkan
risiko
terkena
kurang
gizi/malnutrisi
terutama
anak
gizi
buruk,
penyakit
25
Patofisiologi
Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih patofisiologi/patomekanisme
dibawah ini:
1.
Diare sekretorik
Diare tipe ini disebabkan oleh meningkatnya sekresi air dan elektrolit
dari usus, menurunnya absorpsi. Yang khas pada diare ini yaitu secara
klinis ditemukan diare dengan volume tinja yang banyak sekali. Diare tipe
ini akan tetap berlangsung walaupun dilakukan puasa makan/minum
(Simadibrata, 2006).
2.
Diare osmotik
Diare tipe ini disebabkan meningkatnya tekanan osmotik intralumen
dari
usus
halus
yang
disebabkan
oleh
obat-obat/zat
kimia
yang
absorpsi
mukosa
usus missal
pada
defisiensi
disakaridase,
menyebabkan
absorpsi
yang
abnormal
di
usus
halus.
26
tekanan
hidrostatik
dalam
pembuluh
darah
dan
limfatik
manifestasi
sistemik
bervariasi
tergantung
pada
penyebabnya.
Penderita dengan diare cair mengeluarkan tinja yang mengandung
sejumlah ion natrium, klorida, dan bikarbonat. Kehilangan air dan
elektrolit ini bertambah bila ada muntah dan kehilangan air juga
27
meningkat bila ada panas. Hal ini dapat menyebabkan dehidrasi, asidosis
metabolik, dan hipovolemia. Dehidrasi merupakan keadaan yang paling
berbahaya
karena
dapat
menyebabkan
hipovolemia,
kolaps
Anamnesis
Pasien dengan diare akut datang dengan berbagai gejala klinik
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu tubuh,
frekuensi
denyut
jantung
dan
pernapasan
serta
tekanan
darah.
28
tidaknya air mata, bibir, mukosa mulut dan lidah kering atau basah
(Juffrie, 2010).
Pernapasan yang cepat dan dalam indikasi adanya asidosis metabolik.
Bising usus yang lemah atau tidak ada bila terdapat hipokalemia.
Pemeriksaan ekstremitas perlu karena perfusi dan capillary refill dapat
menentukan derajat dehidrasi yang terjadi (Juffrie, 2010).
2.
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut umumnya tidak
tinja
baik
makroskopik
maupun
mikroskopik
dapat
29
4) Antibiotik Selektif
5) Nasihat kepada orang tua/pengasuh
0 Oralit
Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah
tangga dengan memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak
tersedia berikan cairan rumah tangga seperti air tajin, kuah sayur, air
matang. Oralit saat ini yang beredar di pasaran sudah oralit yang baru
dengan osmolaritas yang rendah, yang dapat mengurangi rasa mual dan
muntah. Oralit merupakan cairan yang terbaik bagi penderita diare untuk
mengganti cairan yang hilang. Bila penderita tidak bisa minum harus
segera di bawa ke sarana kesehatan untuk mendapat pertolongan cairan
melalui
infus.
Pemberian
oralit
didasarkan
pada
derajat
dehidrasi
1.
2.
30
Umur
di rumah
<12 bulan
50-100ml
1-4 tahun
100-200ml
>5 tahun
200-300ml
800-1000
ml/hari
(4-5
bungkus)
Dewasa
300-400ml
1200-2800 ml/hari
keparahan
diare,
mengurangi
frekuensi
buang
air
besar,
31
b. Umur > 6 bulan : 1 tablet (20 mg) per hari selama 10 hari.
32
4 Pembeian Nasihat
Menurut Kemenkes RI (2011), ibu atau pengasuh yang berhubungan
erat dengan balita harus diberi nasehat tentang:
1. Cara memberikan cairan dan obat di rumah
2. Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila :
a. Diare lebih sering
b. Muntah berulang
c. Sangat haus
d. Makan/minum sedikit
e. Timbul demam
f. Tinja berdarah
g. Tidak membaik dalam 3 hari.
33
34
berlangsung kurang dari 1 minggu. Pada anak dibawah 5 tahun penyebab diare
tersering adalah rotavirus sehingga terapi yang paling penting dilakukan adalah
menambah kekurangan cairan dengan lima lintas diare.
Pada inspeksi abdomen tidak ditemukan adanya massa atau perut kembung.
Perut kembung dan keras adalah gejala dari obstruksi pada usus. Tidak juga
ditemukan adanya tanda-tanda dehidrasi pada anak. Pada tiap anak dengan diare
harus ditanyakan sejak kapan, frekuensi, konsistensi serta tedapat darah atau tidak
(Rahajoe dkk, 2012). Pada anak ini tidak ditemukan adanya darah dan lendir serta
masih terdapat ampas pada BAB.
Untuk menguatkan diagnosis, dilakukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
penunjang pada anak dilakukan dengan pemeriksaan darah lengkap. Hasil penting
pemeriksaan penunjang dapat dilihat dari jumlah leukosit anak yang didapatkan
keesokan harinya.
Keputusan untuk merawat anak dengan kejang demam di rumah sakit
bergantung pada situasi klinis dan keadaan keluarga. Anak sebaiknya berada di rumah
sakit minimal dalam beberapa jam dan di evaluasi ulang. Jika penyebab demam telah
diketahui dan ditatalaksana dengan baik, mereka dapat dipulangkan. Hal ini
tergantung pada follow up pasien. Jika kondisi klinis anak masih tidak stabil, jika
masih mungkin kejang disebabkan meningitis, atau jika orangtua anak tidak terlihat
cukup mandiri, sebaiknya anak dirawat di rumah sakit.
Pemberian diazepam yang dipilih saat kejang adalah bisa melalui iv atau rektal.
Namun, dalam kasus ini ketika pasien dibawa ke puskesmas, tidak diberikan
diazepam awal melalui rektal maupun intravena. Ketika sampai di rumah sakit, anak
sudah tidak kejang namun masih demam. Pada penatalaksanaan awal di UGD, anak
diberikan terapi hanya jika kejang, menurut kami tidak sesuai karena anak masih
demam, maka pada anak juga perlu disiapkan terapi intermitten dimana terapi ini
35
diberikan saat anak masih demam untuk mencegah terjadinya kejang demam dan
untuk pemberiannya harus memenuhi beberapa syarat seperti yang akan dijelaskan
dibawah ini.
Berdasarkan konsensus kejang demam (2006), pemberian obat kejang demam
terbagi menjadi 3: yaitu pengobatan saat kejang, pengobatan rumatan, pengobatan
intermitten. Pada kasus dengan kejang demam sederhana, anak dengan fakor resiko
berupa demam yang melebihi 38,5oC diberikan terapi pengobatan intermitten yaitu
diazepam dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis saat pasien demam atau
intrarectal tiap 8 jam sebanyak 5 mg (BB<10 kg) dan 10 mg (BB>10kg).
Menurut pediatricia (2006), mengenai faktor resiko terjadinya kejang demam
berulang dan harus diberikan terapi intermitten adalah: riwayat kejang demam dalam
keluarga; usia kurang dari 18 bulan; tingginya suhu sebelum kejang demam, makin
kecil resiko berulangnya kejang demam; lamanya demam sebelum kejang, semakin
pendek jarak antara mulainya demam dengan terjadinya kejang, makin besar resiko
berulangnya kejang demam.
Untuk penatalaksanaan awal diare pada kasus ini menurut kami tidak sesuai,
karena pada kasus ini anak hanya diberikan lacto B dan infus RL dengan gtt X
dimana tetesan ini tidak sesuai dengan berat badan anak. Penatalaksanaan diare
menurut panduan WHO yang didukung oleh IDAI, yaitu sesuai dengan rencana terapi
tipe A ( diare tanpa dehidrasi). Mengikuti lima lantas yaitu:
1. rehidrasi oral seperti makanan cair, serta input cairan melalui infus yang
diberikan yaitu infus RL dan kaen3b untuk kebutuhan elektrolit dan cairan
diberikan berdasarkan rumus holiday sugar yaitu dengan BB 20:
1500x20/24x60= 20 tetes,dan diberikan larutan oralit yang pada anak <2
tahun diberikan 50-100 ml dan untuk anak >=2 tahun diberikan
100-200cc
36
2. Pemberian zinc pada anak >6 bulan sebanyak 20 mg/hr selama 10 hari
3. Diet dengan ASI pada <6 bulan dan makanan pada > 6 bulan
4. Antibiotik diberikan hanya pada anak dengan diare berdarah dan kolera, pada
kasus ini tidak perlu diberikan antibiotik, sehingga pada anak tidak perlu
diberikan antibiotik
5. Edukasi kepada orangtua yaitu kembali segera jika demam, tinja berdarah,
diare berulang, makan dan minum sedikit, sangat haus, diare makin sering,
belum membaik selama 3 hari,
Setelah follow up sampai tanggal 16 Mei 2014, anak sudah bebas demam
selama 4 hari dan kejang sudah tidak terjadi lagi sejak masuk rumah sakit, anak juga
sudah tidak mengalami diare lagi, sehingga anak dibolehkan untuk pulang, sebelum
pulang pada anak dilakukan pemeriksaan laboratorium dan didapatkan LED
60mm/jam yang artinya mengalami peningkatan dari sebelumnya tetapi leukosit pada
dalam jumlah normal. Pada pasien ini diberikan antibiotik menurut kami tidak sesuai,
karena indikasi pemberian antibiotik pada anak adalah jika penyakit yang diderita
disebabkan bakteri seperti penyakit ISPA yang tidak sembuh, demam tinggi yang
susah sembuh. Pada anak tidak ditemukan lagi tanda-tanda adanya infeksi oleh
bakteri, karena diare pada anak lebih sering disebabkan oleh rotavirus sehingga tidak
perlu diberikan antibiotik, anak sudah tidak demam tinggi, jumlah leukosit normal.
Dari sini bisa dilihat bahwa pada kasus ini pemberian antibiotik kurang tepat.
Prognosis pada kasus ini dubia ad bonam. Walaupun kejang demam
mengkhawatirkan bagi orangtua, prognosis pada anak cukup baik. Hanya sebagian
kecil yang berkembang menjadi epilepsi atau kejang tanpa demam di kemudian hari.
Tidak ada resiko kerusakan otak, akan tetapi dapat terjadi keterlambatan intelektual
dan motorik sebagai akibat dari kejang demam.
37
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Pediatrics. 2008. Febrile Seizures: Clinical Practice
Guideline for the Long-term Management of the Child With Simple
Febrile Seizures. Pediatrics. 121(6):1281 -1286.
39