You are on page 1of 39

I.

STATUS PENDERITA

Nomor Rekam Medik

: 312278

Tanggal dan Pukul Masuk RSAM

: 11 Mei 2014 / 17.00 WIB

I. ANAMNESIS
a. Identitas Pasien
Nama

: Tn. D

Jenis kelamin

: Laki laki

Umur

: 3 tahun 11 bulan

Agama

: Islam

Suku

: Jawa

Alamat

: Jl. Wolter Monginsidi, Bandarlampung

Nama Ayah

: Tn.N

Umur

: 30 tahun

Pekerjaan

: Wiraswasta

Pendidikan

: SMA

Nama Ibu

: Ny.L

Umur

: 29 tahun

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Pendidikan

: SMA

b. Riwayat Penyakit
Keluhan Utama :
Kejang
Keluhan Tambahan :
Demam dan BAB cair

Riwayat Perjalanan Penyakit :


Pasien datang dengan keluhan BAB cair 2 hari SMRS sebanyak 1/4 gelas berukuran
250cc sebanyak 4-5x/hari, BAB cair berwarna kuning, tidak terdapat darah dan
lendir. Setelah itu, 1 hari SMRS anak rmengalami demam dan sudah diberikan obat
penurun panas namun demam tidak turun dan semakin meningkat. Setelah kurang
lebih 10 jam demam, pasien mengalami kejang 1x kurang lebih 10 menit bersifat
umum dengan mata mendelik keatas dan tangan serta kaki menekuk berulang. Setelah
kejang anak tertidur beberapa saat, kemudian anak sadar dan dapat minum air. Tidak
terdapat mual dan muntah dan juga tidak ada batuk dan pilek. Pasien mengalami
penurunan nafsu makan, hanya makan sedikit-sedikit dan terkadang dimuntahkan.
Saat kejang anak dibawa berobat ke puskesmas, saat di puskesmas anak langsung
dirujuk ke RSAM.
Penyakit yang pernah diderita anak :
Pasien mempunyai riwayat BAB cair dan pernah dirawat pada usia 1 tahun
Riwayar kejang sebelumnya tidak ada
Riwayat Keluarga :
Riwayat kejang dalam keluarga disangkal
Riwayat Penyakit Kehamilan :
Selama hamil ibu tidak memiliki riwayat demam ataupun menderita penyakit lainnya.
Riwayat Persalinan :
Persalinan dilakukan saat cukup bulan, dan secara spontan dengan bantuan dokter.
Menurut ibu, bayi menangis kuat saat dilahirkan dan badan bayi tidak biru.
Riwayat Makanan :
0 2 bulan

: ASI

2 9 bulan

: Susu formula

9 12 bulan

: bubur dan makanan keluarga yang dihaluskan

1 tahun

: Mulai makan nasi

Kesan

: kualitas: Anak tidak memiliki riwayat makan yang sesuai


Kuantitas: cukup karena waktu makan pada anak tidak
dibatasi

Riwayat Imunisasi :
BCG

: 1x, pada usia 1-3 bulan

DPT

: 3x, pada usia 2,4,6 bulan

Campak

: 1x, pada usia 9 bulan

Hepatitis

: 4x, pada usia 0, 2,4,6 bulan

Polio

: 4x, pada usia 1,2,3,4 bulan

Kesan

: anak mendapat imunisasi dasar lengkap sesuai umur

B. Pemeriksaan Fisik
a. Status Present
Keadaan umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Compos mentis

Suhu

: 38,2C

Frekuensi nadi

: 100x/menit

Frekuensi nafas

: 28x/ menit

Berat Badan

: 20 kg

Panjang badan

: 105 cm

Status gizi

: BB/U = z score 0 sd +2
TB/U = z score 0 sd+2
BB/TB = z score +2

Kesan

: Status gizi baik

b. Status generalis
Kelainan Mukosa Kulit / Subkutan yang Menyeluruh
Pucat

Sianosis

Ikterus

Oedem

Turgor

: Normal

Pembesaran KGB

: Tidak terdapat pembesaran

KEPALA
Muka

: Normal

Rambut

: Tumbuh Normal, warna hitam

Ubun ubun Besar

: Tertutup, tidak cekung

Mata

: Konjungtiva tidak anemis, tidak ikterik, tidak cowong

Telinga

: Simetris, tidak ada infeksi, tidak ada sekret

Hidung

: Septum Deviasi (-), sekret (-), nch (-)

Mulut

: Bibir kering (-), faring hiperemis (-), lidah kotor (-)

LEHER
Leher

: Massa (-), tanda infeksi (-),

Trachea

: Deviasi trakea (-), tanda infeksi (-), massa (-),

KGB

: Pembesaran (-)

THORAKS
Bentuk

: Simetris

Retraksi suprasternal

: Tidak ada

Retraksi substernal

: Tidak ada

Retraksi intercostal

: Tidak ada

Retraksi subcostal

: Tidak ada

JANTUNG
Inspeksi

: Ictus cordis tidak terlihat, tanda infeksi (-), massa (-)

Palpasi

: Ictus cordis tidak teraba,

Perkusi

: Batas jantung normal

Auskultasi

: BJ I dan BJ II normal

PARU
Inspeksi

: pernapasan simetris, massa (-)

Palpasi

: Vokal fremitus simetris, NT (-)

Perkusi

: Sonor

Auskultasi

: Vesikuler

ABDOMEN
Inspeksi

: Datar dan lemas, massa (-)

Palpasi

: Hepar dan lien tidak teraba

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: Bising usus normal

c. Status Neorologis
a)Motorik :koordinasi baik
b) Sensorik: normal
Penilaian
Gerak
Kekuatan otot
Tonus
klonus
Atropi
c) Reflek Fisiologis

Superior ka/ki
Normal/normal
5/5
Normotonus/normotonus
-/Eutropi/eutropi

Inferior ka/ki
Normal/normal
5/5
Normotonus/normotonus
-/Eutropi/eutropi

: Patella +/+, Achilles +/+, Bisep +/+, Trisep +/+

Reflek Patologi : Babinski -/-, Chaddock -/-, Gordon -/-, Gonda -/-,
Oppenheim -/-

d) Tanda Rangsang Meningeal


Kaku Kuduk (-)
Brudzinski II (-)
Brudzinki I (-)
Kernig's sign (-)
e) Otonom
Miksi
Defekasi
Salivasi

: Normal
: Normal
: Normal

D. Pemeriksaan Penunjang
Darah lengkap tanggal 12 Mei 2014
Hemoglobin : 11,7 (normal)
Hematokit

: 34% (normal)

LED

: 36 (meningkat)

Leukosit

: 8300

Trombosit

: 257.000

E. Resume
Pasien LK umur 3 tahun 11 bulan dengan BB: 20 kg dan PB 105 cm,
mengeluhkan BAB cair 2 hari SMRS sebanyak 1/4 gelas berukuran 250cc sebanyak
4-5x/hari, BAB cair berwarna kuning, tidak terdapat darah dan lendir. Setelah itu, 1
hari SMRS anak mengalami demam dan sudah diberikan obat penurun panas namun
demam tidak turun dan semakin meningkat. Setelah kurang lebih 10 jam demam,
pasien mengalami kejang 1x kurang lebih 10 menit bersifat umum, saat kejang pasien
dibawa ke puskesmas dan langsung dirujuk ke RSAM. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan keadaan umum pasien dalam kondisi sakit sedang dan kesadaran kompos
mentis. Suhu : 38,2oC, RR : 28x/menit, nadi : 100x/menit Pada pemeriksaan jantung
dan paru tidak ditemukan kelainan dan pada pemeriksaan abdomen tidak teraba hepar
dan lien dan abdomen dalam keadaan normal. Pada pemeriksaan rangsang meningeal
tidak menunjukkan keadaan positif. Lalu hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan

kadar LED : 36mm/jam yang artinya mengalami peningkatan sedangkan leukosit :


8300/ul yang artinya dalam jumlah yang normal.
Diagnosis Kerja
Kejang demam sederhana dengan diare akut tanpa dehidrasi
Penatalaksanaan UGD
-

IVFD RL gtt X/menit


Paracetamol 3d.d cth II
Lacto B saIh 3x1
Inj Diazepam 5mg IV (Jika Kejang)

Prognosis
Quo ad Vitam

:Dubia ad bonam

Quo ad Fungtionam

:Dubia ad bonam

Quo ad Sanationam

:Dubia ad bonam

Follow Up anak tanggal 9 Maret 14 Maret 2014


Tanggal dan jam
12 Mei 2014

Perjalanan Penyakit
Instruks dokter ruangan
S/ demam (+), kejang (-), P/
BAB cair 5x/hr

- IVFD RL gtt XII

O/ Pemeriksaan fisik :
Pasien gerak aktif, mata
tidak cekung, ubun-ubun
menutup,

turgor

kulit

(makro)
- Oralit

200cc

setiap

habis BAB
- Zinc sulfat 20 mg
- PCT syr 3xcth2

normal, urin normal.


T

38,0oC,

120x/menit,

HR=
RR=

28x/menit, TD= 100/60


mmHg,
A/Febris e.c. Diare akut

13 Mei 2014

tanpa dehidrasi
S/ demam (-), BAB cair 4x P/
O/ Pemeriksaan fisik :

- Kaen3b : RL = 1:1 XII

Pasien gerak aktif, mata


tidak cekung, ubun-ubun
menutup,

turgor

kulit

normal, urin normal.


T

gtt
- Oralit setiap habis BAB
- Zinc sulfat 20 mg
- PCT syr 3xcth2 (bila
demam)

37,9oC,

HR=

127x/menit,

RR=

25x/menit
A/diare

akut

tanpa

dehidrasi
Hasil lab :
LED 36 mm/jam
Trombosit : 257.000/ul
14 Maret 2014

Leukosit : 8300/ul
S/ demam (-), anemis (-),
kejang (-), BAB cair 2x/hr
O/ Pemeriksaan fisik :
Pasien gerak aktif, mata
tidak cekung, ubun-ubun
menutup,

turgor

kulit

P/
- Kaen3b : RL = 1:1 XII
gtt
- Oralit setiap habis BAB
- Zinc sulfat 20 mg
- PCT syr 3xcth2 (bila
demam)

normal, urin normal. T =


37,0oC, HR= 124x/menit,
RR= 24x/menit
A/diare

akut

tanpa

dehidrasi

15 Maret 2014

S/ demam (-), kejang (-),


BAB cair 1x/hr
O/ Pemeriksaan fisik :

P/
- RL XII gtt
- Oralit setiap habis BAB
- Zinc sulfat 20 mg

Pasien gerak aktif, mata


tidak cekung, ubun-ubun
menutup,

turgor

kulit

normal, urin normal.


T = 36,8oC, HR=
124x/menit,

RR=

25x/menit
A/diare

akut

tanpa

dehidrasi
16 Maret 2014

S/ demam (-), BAB cair (-)


O/ Pemeriksaan fisik :

P/
- Zinc sulfat 20 mg
- Cefadroxil syr 3ddcth1

Pasien gerak aktif, mata


tidak cekung, ubun-ubun
menutup,

turgor

KET : Pulang

kulit

normal, urin normal. Tidak


terdapat

tanda-tanda

dehidrasi.
T

36,4oC,

114x/menit,

HR=
RR=

25x/menit
Bising usus normal
Hasil lab :
LED 60 mm/jam
Leukosit 8200/ul
Trombosit 362000/ul

Edukasi pulang :
-

Walaupun kejang demam mengkhawatirkan, hal ini tidak menyebabkan


kerusakan otak, dan kemungkinan menyebabkan epilepsi dan kejang tanpa

demam sangat kecil.


Jika kejang terjadi lagi, tempatkan anak dengan posisi miring, jangan
memasukkan apapun di antara gigi pasien. Jika kejang tidak berhenti setelah

10 menit, anak sebaiknya dibawa ke fasilitas kesehatan terdekat (Hirtz, 1997).


Untuk zinc diberikan minimal 10 hari walaupun BAB cair tidak sebanyak
pada awal penyakit

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. KEJANG DEMAM
A. Definisi

Kejang Demam (FC) ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 38 C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Kejang terjadi ketika fungsi otak tidak normal sehingga menyebabkan terjadi
perubahan gerakan, perhatian, dan kesadaran. Kejang demam tidak disertai infeksi
susunan saraf pusat (SSP) atau berupa gangguan elektrolit akut, terjadi pada anak
diatas usia 1 bulan dan tidak ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya. Kejang
disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang

10

demam.Terjadi pada 2 - 4% anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun. Insiden tertinggi


terjadi pada usia 18 bulan (Behrman et al, 2004; Christopher et al., 2011).
Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 15 tahun mengalami
kejang didahului demam, ada kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi
yang kebetulan terjadi bersama demam.
Klasifikasi :

Kejang Demam Sederhana (Simple febrile convulsion)

Kejang Demam Kompleks (Complex febrile convulsion)

Kejang demam sederhana.


Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan
berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan
fokal.Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.Kejang demam sederhana
merupakan 80% diantara seluruh kejang demam.
Kejang demam kompleks.
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini :
1. Kejang lama >15 menit.
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam(Behrman et al, 2004).

Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang
lama terjadi pada 8% kejang demam (Pusponegoro dkk, 2006). Berdasarkan
bagian otak yang mengalami kejang, kejang dapat dibedakan berdasarkan
banyaknya bagian otak yang terkena.

11

Kejang parsial adalah kejang yang hanya terjadi pada satu bagian otak dan pada
satu bagian tubuh. Kejang parsial sederhana memiliki pergerakan motorik yang
terlokalisir pada satu bagian tubuh. Anak dengan kejang ini biasanya akan tetap
bangun dan sadar. Kejang parsial komplek ditandai dengan aktivitas motorik ulangan
yang dilakukan oleh pasien, misalnya bertepuk tangan saat kejang. Setelah kejang,
anak mengalami kebingungan dan tidak mengetahui apa yang terjadi (Christopher et
al., 2011).
Kejang umum terjadi pada hampir seluruh otak. Kejang ini dibagi menjadi
konvulsif dan nonkonvulsif. Kejang konvulsif ditandai dengan hentakan otot
beberapa saat lalu diikuti dengan mengantuk. anak biasanya mengantuk dan tidak
ingat peristiwa kejang yang dialaminya. Kejang tonik terjadi karena kontraksi otot
dan rigiditas, ditandai dengan hentakan otot yang berulang. Kejang umum kadang
juga disertai dengan mata mendelik ke atas. (Christopher et al., 2011).

B. Etiologi
Penyebab kejang demam hingga kini masih belum diketahui
dengan pasti. Ada beberapa faktor yang mungkin berperan dalam
menyebabkan kejang demam,yaitu:
1. Demamnya sendiri
2. Efek produk toksik daripada mikroorganisme (kuman dan virus)
terhadap otak
3. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi
4. Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit
5. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan atau yang
tidak diketahui atau ensefalopati toksik sepintas
12

6. Gabungan semua faktor diatas

Demam

yang

disebabkan

oleh

imunisasi

juga

dapat

memprovokasi kejang demam. Anak yang mengalami kejang setelah


imunisasi selalu terjadi waktu anak sedang demam. Kejang setelah
imunisasi terutama didapatkan setelah imunisasi pertusis (DPT) dan
morbili (campak).
Dari penelitian yang telah dilakukan Prof.Dr.dr.S.M.Lumbantobing
pada 297 penderita

kejang

demam, 66(22,2%)

penderita

tidak

diketahui penyebabnya. Penyebab utama didasarkan atas bagian tubuh


yang terlibat peradangan. Ada penderita yang mengalami kelainan pada
lebih dari satu bagian tubuhnya, misalnya tonsilo-faringitis dan otitis
media akut.

Penyebab demam pada 297 penderita KD


Penyebab demam
Tonsilitis dan/atau faringitis
Otitis

media

akut

Jumlah penderita
100

(radang

liang 91

telinga tengah)
Enteritis/gastroenteritis

(radang

22

disertai

44

saluran cerna)
Enteritis/gastroenteritis
dehidrasi

17

Bronkitis (radang saiuran nafas)

38

Bronkopeneumonia

(radang

paru

dan saluran nafas)

12

Morbili (campak)

Varisela (cacar air)

13

Dengue (demam berdarah)

66

Tidak diketahui
Pernah dilaporkan bahwa infeksi tertentu lebih sering di-sertai KD
daripada infeksi lainnya.
Sekitar 4,8% - 45% penderita gastroenteritis oteh kuman Shigella
mengaiami KD dibanding gastroenteritis oieh kuman penyebab lainnya di
mana angka kejadian KD hanya sekitar 1%,

C. Patofisiologi
Meskipun mekanisme pasti terjadinya kejang tidak diketahui, beberapa faktor
fisiologis dianggap bertanggung jawab atas berkembangnya suatu kejang .
Untuk mempertahankan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu energi
yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk memetabolisme otak yang
terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan
dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem
kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi
dipecah menjadi CO2 dan air.
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah
lipid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron
dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion
natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl -). Akibatnya kosentrasi
K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ menjadi rendah sedangkan di luar sel
neuron terjadi keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di
dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial
membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan petensial membran ini
diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan
sel.
Keseimbangan petensial membran ini dapat diubah oleh adanya:
1.

Perubahan konsentrasi ion diruang ekstraseluler.


14

2.

Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis, kimiawi atau aliran


listrik dari sekitarnya.

3.

Perubahan dari patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam, kenaikan 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat sampai 20%. Jadi
pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari
membran sel neuron, dan dalam waktu yang singkat dapat terjadi difusi ion kalium
listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh
sel maupun ke membran tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut
neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang
berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seorang anak menderita
kejang pada kenaikan suhu tubuh tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang
rendah, kejang sudah dapat terjadi pada suhu 38oC, sedangkan pada anak dengan
ambang kejang yang tinggi, kejang baru dapat terjadi pada suhu 40oC atau lebih.
Pada kejang yang berlangsung lama biasanya disertai terjadinya apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet sedangkan
otot pernafasan tidak efisien sehingga tidak sempat bernafas yang akhirnya terjadi
hipoksemia, hiperkapnea, hipoglikemia, laktat asidosis disebabkan metabolisme
anaerob, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh
yang semakin meningkat oleh karena meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya
menyebabkan metabolisme otot meningkat.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah mengakibatkan hipoksia
sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul oedem otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron.
Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam lebih
sering

terjadi

pada

ambang

kejang

yang

rendah

sehingga

di

dalam

penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita menjadi


kejang.
D. Diagnostik

15

Anamnesis:

Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu sebelum /saat
kejang, frekuensi, interval, pasca kejang, penyebab demam diluar susunan
saraf pusat.

Riwayat perkembangan kejang demam dalam keluarga, epilepsi dalam


keluarga.

Singkirkan penyebab kejang yang lainnya.

Pemeriksaan Fisik :

Kesadaran, suhu tubuh, tanda rangsang meningeal, tanda peningkatan tekanan


intrakranial, tanda infeksi diluar SSP.

Pemeriksaan Penunjang :
1. Pemeriksaan laboratorium
Dilakukan sesuai indikasi untuk mencari penyebab kejang demam atau keadaan lain
misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan dapat meliputi: darah
perifer lengkap, gula darah, elektrolit, serum kalsium, fosfor, magnesium, ureum,
kreatinin, urinalisis, biakan darah, urin, feses.
2. Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebro spinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6% 6,7%.

16

Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis
meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal
dianjurkan pada:
a. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan.
b. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan.
c. Bayi >18 bulan tidak rutin (jika dicurigai menderita meningitis).

Pungsi lumbal juga dipertimbangkan dilakukan apabila terdapat tanda kaku kuduk,
kernig, dan brudzinki yang positif. Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak
perlu dilakukan pungsi lumbal.(Bauman and Kao, 2013; Duffner et al., 2011)
Prognosis :
Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah
dilaporkan.Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada anak
yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan
neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus
dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal.
Kemungkinan mengalami kematian
Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Kemungkinan berulangnya kejang demam
Kejang demam akan berulang kembali pada sebgaian kasus. Faktor resiko
berulangnya kejang demam adalah:
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga.

17

2. Usia kurang dari 12 bulan.


3. Temperatur yang rendah saat kejang.
4. Cepatnya kejang setelah demam.
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah
80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulang kejang
demam adalah 10% - 15%.Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar
pada tahun pertama (Hasanuddin BAFKU, 2012).
E. Penatalaksanaan

Menurut dr. Dwi P. Widodo, neurolog anak RSUPN Cipto Mangunkusumo


Jakarta, dalam seminar "Kejang Demam pada Anak" beberapa waktu lalu, tindakan
awal yang mesti dilakukan adalah menempatkan anak pada posisi miring dan hangat.
Setelah air menguap, demam akan turun. Tidak perlu memasukkan apa pun di antara
gigi. Jangan memasukkan sendok atau jari ke dalam mulut anak untuk mencegah
lidahnya tergigit. Hal ini tidak ada gunanya, justru berbahaya karena gigi dapat patah
atau jari luka. Miringkan posisi anak sehingga ia tidak tersedak air liurnya. Jangan
mencoba menahan gerakan anak. Turunkan demam dengan membuka baju dan
menyeka anak dengan air sedikit.
Ada 3 hal yang perlu dikerjakan pada penatalaksanaan kejang
demam yaitu:
1. Pengobatan fase akut
2. Mencari dan mengobati penyebab
3. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam
Pengobatan fase akut
Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi
ludah atau muntahan dan diusahakan jalan nafas harus bebas agar

18

oksigenisasi terjamin. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan


darah, suhu, pernafasan, dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi
diturunkan dengan kompres air hangat dan pemberian antipiretik.
Kejang demam terjadi akibat adanya demam, maka tujuan
utama pengobatan adalah mencegah terjadinya peningkatan demam oleh
karena itu pemberian obat obatan antipiretik sanagt diperlukan. Obat
obat yang dapat digunakan sebagai antipiretik adalah asetaminofen 10 15 mg/kgBB/hari setiap 4 6 jam atau ibuprofen 5 10 mg/kgBB/hari
setiap 4 6 jam.
Diazepam adalah obat yang paling cepat menghentikan kejang.
Efek terapeutik diazepam sangat cepat, yaitu antara 30 detik sampai 5
menit dan efek toksik yang serius hampir tidak dijumpai apa bila diberikan
secara perlahan dan dosis tidak melebihi 50 mg persuntikan. Diazepam
dapat

diberikan secara intravena dan intrarectal. Dosis diazepam

intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1-2 mg/menit dengan


dosis maksimal 20 mg. Bila kejang berhenti sebelum diazepam habis,
hentikan penyuntikan, tunggu sebentar dan bila tidak timbul kejang lagi
jarum dicabut.
Pemberian diazepam secara intravena pada anak yang kejang
seringkali menyulitkan, cara pemberian yang mudah, sederhana dan
efektif melalui rektum telah dibuktikan keampuhannya (Knudsen, 1979;
Ismael dkk., 1981; Kaspari dkk., 1981). Pemberian dilakukan pada
anak/bayi dalam posisi miring/ menungging dan dengan rektiol yang
ujungnya diolesi vaselin, dimasukkaniah pipa saluran keluar rektiol ke
rektum sedalam 3 - 5 cm. Kemudian rektiol dipijat hingga kosong betul
dan selanjutnya untuk beberapa menit lubang dubur ditutup dengan cara
merapatkan kedua muskulus gluteus. Dosis diazepam intrarectal yg dapat
digunakan adalah 5 mg (BB<10 kg) atau 10 mg (BB>10 kg). Bila kejang
tidak berhenti dapat diulang selang 5 menit kemudian, bila tidak berhenti
juga berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena
perlahan-lahan 1 mg/kgBB/menit. Setelah pemberian fenitoin, harus

19

dilakukan pembilasan dengan NaCl fisiologis karena fenitoin bersifat basa


dan menyebabkan iritasi vena.
Bila kejang berhenti dengan diazepam,

lanjutkan dengan

fenobarbital yang langsung diberikan setelah kejang berhenti. Dosis awal


untuk bayi 1 bulan 1 tahun 50 mg dan 1 tahun keatas 75 mg secara
intramuscular. Lalu 4 jam kemudian diberikan fenobarbital dosis rumatan.
Untuk 2 hari pertama diberikan dosis 8-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2
dosis, untuk hari-hari berikutnya dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi 2
dosis. Selama keadaan belum membaik, obat diberikan secara suntikan
dan setelah membaik peroral. Harus diperhatikan bahwa dosis total tidak
boleh melebihi 200 mg/hari karena efek sampingnya adalah hipotensi,
penurunan kesadaran, dan depresi pernafasan.
Mencari dan mengobati penyebab
Pemeriksaaan

cairan

serebrospinal

dilakukan

untuk

menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang


demam yang pertama. Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan
pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai sebagai meningitis,
misalnya bila ada gejala meningitis atau bila kejang demam berlangsung
lama.
Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam
Pengobatan ini dibagi atas 2 bagian, yaitu:

1. Profilaksis intermiten
Untuk mencegah terulangnya kejang kembali dikemudian hari, penderita
yang menderita kejang demam sederhana diberikan diazepam secara oral
untuk profilaksis intermiten dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 3 dosis saat pasien demam. Diazepam dapat juga diberikan secara
intrarectal tiap 8 jam sebanyak 5 mg (BB<10 kg) dan 10 mg (BB>10kg)
setiap pasien menunjukan suhu lebih dari 38,5 C.

20

Profilaksis intermiten ini sebaiknya diberikan sampai kemungkinan anak


untuk menderita kejang demam sedarhana sangat kecil, yaitu sampai
sekitar umur 4 tahun.
2. Profilaksis jangka panjang
Profilaksis jangka panjang berguna untuk menjamin terdapatnya dosis
terapeutik yang stabil

dan cukup

didalam

darah

penderita

untuk

mencegah terulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan


kerusakan

otak

tetapi

tidak

dapat

mencegah

terjadinya

epilepsi

dikemudian hari. Profilaksis terus-menerus setiap hari dengan fenobarbital


4-5 mg/ kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang dapat digunakan
adalah asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari. Antikonvulsan
profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir
dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan.
Profilaksis terus-menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria (termasuk
poin 1 atau 2) yaitu:
1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis
atau perkembangan (misalnya serebral palsi atau mikrosefal, retardasi
mental).
2.

Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan

neurologis sementara atau menetap.


3.

Ada riwayat kejang tanpa demam pada orang tua atau saudara

kandung.
4.

Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau

terjadi kejang
multipel dalam satu episode demam.

E. Imunisasi dan kejang demam

21

Walaupun imunisasi dapat menimbulkan demam, namun imunisasi jarang


diikuti kejang demam. Suatu penelitian yang dilakukan memperlihatkan risiko kejang
demam pada beberapa jenis imunisasi sebagai berikut:

DTP : 6-9 per 100.000 imunisasi. Risiko ini tinggi pada hari imunisasi, dan
menurun setelahnya.

MMR : 25-34 per 100.000 imunisasi. Risiko meningkat pada hari 8-14 setelah
imunisasi.
Kejang demam pasca imunisasi tidak memiliki kecenderungan berulang yang lebih
besar daripada kejang demam pada umumnya. Dan kejang demam pasca imunisasi
kemungkinan besar tidak akan berulang pada imunisasi berikutnya. Jadi kejang
demam bukan merupakan kontra indikasi imunisasi.
F. Prognosis
Dengan penangulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam
baik dan tidak perlu menyebabkan kematian. Dari penelitian yang ada,
frekuensi terulangnya kejang berkisar antara 25% - 50%, yang umumnya
terjadi pada 6 bulan pertama. Apabila melihat pada umur, jenis kelamin,
dan riwayat keluarga, Lennox-Buchthal (1973) mendapatkan:

Pada anak berumur kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada


wanita 50% dan pria 33%.

Pada anak berumur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat


keluarga

adanya kejang, terulangnya kejang adalah 50%, sedang pada tanpa


riwayat kejang 25%.
Angka kejadian epilepsi berbeda-beda, tergantung dari cara penelitian,
misalnya Lumbantobing pada penelitiannya mendapatkan 6%, sedangkan
Living-ston mendapatkan dari golongan kejang demam sederhana hanya
2,9% yang menjadi epilepsi dan dari golongan epilepsi yang diprovokasi
oleh demam temyata 97% yang menjadi epilepsi.

22

Risiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang
demam tergantung dari faktor:

1. Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga.


2. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak
menderita kejang demam.

3. Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal.

G. Edukasi pada orang tua


Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua.Pada saat
kejang sebagian orang tua menganggap bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan
ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya :
1. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis yang
baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang.
3. memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
4. pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat
adanya efek samping obat (Christopher et al., 2011)

II. DIARE AKUT


Definisi

23

Diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih


lunak atau lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam
24 jam. Sementara untuk bayi dan anak-anak, diare didefinisikan sebagai
pengeluaran tinja >10 g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata pengeluaran tinja
normal bayi sebesar 5-10 g/kg/ 24 jam (Juffrie dkk., 2010).
Menurut Simadibrata (2006) diare adalah buang air besar (defekasi)
dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat),
kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau
200 ml/24 jam.
Sedangkan menurut Boyle (2000), diare adalah keluarnya tinja air dan
elektrolit yang hebat. Pada bayi, volume tinja lebih dari 15 g/kg/24 jam
disebut diare. Pada umur 3 tahun, yang volume tinjanya sudah sama
dengan orang dewasa, volume >200 g/kg/24 jam disebut diare. Frekuensi
dan konsistensi bukan merupakan indikator untuk volume tinja.
Etiologi
Menurut World Gastroenterology Organization global guidelines 2005,
etiologi diare akut dibagi atas empat penyebab:
0

1. Bakteri : Shigella, Salmonella, E. Coli, Gol. Vibrio, Bacillus cereus,


Clostridium

perfringens,

Stafilokokus

aureus,

Campylobacter

aeromonas
1 2.

Virus : Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus, Coronavirus,

Astrovirus
2 3.

Parasit : Protozoa, Entamoeba histolytica, Giardia lamblia,

Balantidium coli,

Trichuris

trichiura,

Cryptosporidium

parvum,

Strongyloides stercoralis
3 4.

Non infeksi : malabsorpsi, keracunan makanan, alergi, gangguan

motilitas,

imunodefisiensi, kesulitan makan, dll.

Cara penularan dan faktor resiko


24

Cara penularan diare melalui cara faecal-oral yaitu melalui makanan


atau minuman yang tercemar kuman atau kontak langsung tangan
penderita atau tidak langsung melalui lalat ( melalui 5F = faeces, flies,
food, fluid, finger).
Faktor risiko terjadinya diare adalah:
0 A Faktor perilaku
1 B. Faktor lingkungan
C. Faktor perilaku antara lain:
1. Tidak memberikan Air Susu Ibu/ASI (ASI eksklusif), memberikan
Makanan Pendamping/MP ASI terlalu dini akan mempercepat bayi
kontak terhadap kuman
2. Menggunakan

botol

susu

terbukti

meningkatkan

risiko

terkena

penyakit diare karena sangat sulit untuk membersihkan botol susu


3. Tidak menerapkan Kebiasaaan Cuci Tangan pakai sabun sebelum
memberi ASI/makan, setelah Buang Air Besar (BAB), dan setelah
membersihkan BAB anak
1.

Penyimpanan makanan yang tidak higienis


D. Faktor lingkungan antara lain:

1. Ketersediaan air bersih yang tidak memadai, kurangnya ketersediaan


Mandi Cuci Kakus (MCK)
2. Kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk
Disamping faktor risiko tersebut diatas ada beberapa faktor dari
penderita yang dapat meningkatkan kecenderungan untuk diare antara
lain:

kurang

gizi/malnutrisi

terutama

anak

gizi

buruk,

penyakit

imunodefisiensi/imunosupresi dan penderita campak (Kemenkes RI, 2011).

25

Patofisiologi
Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih patofisiologi/patomekanisme
dibawah ini:
1.

Diare sekretorik
Diare tipe ini disebabkan oleh meningkatnya sekresi air dan elektrolit

dari usus, menurunnya absorpsi. Yang khas pada diare ini yaitu secara
klinis ditemukan diare dengan volume tinja yang banyak sekali. Diare tipe
ini akan tetap berlangsung walaupun dilakukan puasa makan/minum
(Simadibrata, 2006).
2.

Diare osmotik
Diare tipe ini disebabkan meningkatnya tekanan osmotik intralumen

dari

usus

halus

yang

disebabkan

oleh

obat-obat/zat

kimia

yang

hiperosmotik (antara lain MgSO4, Mg(OH)2), malabsorpsi umum dan defek


dalam

absorpsi

mukosa

usus missal

pada

defisiensi

disakaridase,

malabsorpsi glukosa/galaktosa (Simadibrata, 2006).


0 Malabsorpsi asam empedu dan lemak
Diare tipe ini didapatkan pada gangguan pembentukan/produksi micelle
empedu dan penyakit-penyakit saluran bilier dan hati (Simadibrata,
2006).
1 Defek sistem pertukaran anion/transport elektrolit aktif di enterosit
Diare tipe ini disebabkan adanya hambatan mekanisme transport aktif
NA+K+ATPase di enterosit dan absorpsi Na+ dan air yang abnormal
(Simadibrata, 2006).
2 Motilitas dan waktu transit usus yang abnormal
Diare tipe ini disebabkan hipermotilitas dan iregularitas motilitas usus
sehingga

menyebabkan

absorpsi

yang

abnormal

di

usus

halus.

26

Penyebabnya antara lain: diabetes mellitus, pasca vagotomi, hipertiroid


(Simadibrata, 2006).
3 Gangguan permeabilitas usus
Diare tipe ini disebabkan permeabilitas usus yang abnormal disebabkan
adanya kelainan morfologi membran epitel spesifik pada usus halus
(Simadibrata, 2006).
4 Diare inflamasi
Proses inflamasi di usus halus dan kolon menyebabkan diare pada
beberapa keadaan. Akibat kehilangan sel epitel dan kerusakan tight
junction,

tekanan

hidrostatik

dalam

pembuluh

darah

dan

limfatik

menyebabkan air, elektrolit, mukus, protein dan seringkali sel darah


merah dan sel darah putih menumpuk dalam lumen. Biasanya diare
akibat inflamasi ini berhubungan dengan tipe diare lain seperti diare
osmotik dan diare sekretorik (Juffrie, 2010).
5 Diare infeksi
Infeksi oleh bakteri merupakan penyebab tersering dari diare. Dari
sudut kelainan usus, diare oleh bakteri dibagi atas non-invasif dan invasif
(merusak mukosa). Bakteri non-invasif menyebabkan diare karena toksin
yang disekresikan oleh bakteri tersebut (Simadibrata, 2006).
Manifestasi Klinis
Infeksi usus menimbulkan gejala gastrointestinal serta gejala lainnya
bila terjadi komplikasi ekstra intestinal termasuk manifestasi neurologik.
Gejala gastrointestinal bisa berupa diare, kram perut, dan muntah.
Sedangkan

manifestasi

sistemik

bervariasi

tergantung

pada

penyebabnya.
Penderita dengan diare cair mengeluarkan tinja yang mengandung
sejumlah ion natrium, klorida, dan bikarbonat. Kehilangan air dan
elektrolit ini bertambah bila ada muntah dan kehilangan air juga
27

meningkat bila ada panas. Hal ini dapat menyebabkan dehidrasi, asidosis
metabolik, dan hipovolemia. Dehidrasi merupakan keadaan yang paling
berbahaya

karena

dapat

menyebabkan

hipovolemia,

kolaps

kardiovaskuler dan kematian bila tidak diobati dengan tepat. Dehidrasi


yang terjadi menurut tonisitas plasma dapat berupa dehidrasi isotonik,
dehidrasi hipertonik (hipernatremik) atau dehidrasi hipotonik. Menurut
derajat dehidrasinya bisa tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi
sedang atau dehidrasi berat (Juffrie, 2010).
Diangnosis
3.

Anamnesis
Pasien dengan diare akut datang dengan berbagai gejala klinik

tergantung penyebab penyakit dasarnya. Keluhan diarenya berlangsung


kurang dari 15 hari. Diare karena penyakit usus halus biasanya berjumlah
banyak, diare air, dan sering berhubungan dengan malabsorpsi dan
dehidrasi sering didapatkan. Diare karena kelainan kolon seringkali
berhubungan dengan tinja berjumlah kecil tetapi sering, bercampur darah
dan ada sensasi ingin ke belakang. Pasien dengan diare akut infektif
datang dengan keluhan khas, yaitu mual, muntah, nyeri abdomen,
demam, dan tinja yang sering, malabsorptif, atau berdarah tergantung
bakteri patogen yang spesifik. Secara umum, pathogen usus halus tidak
invasif, dan patogen ileokolon lebih mengarah ke invasif. Muntah yang
mulai beberapa jam dari masuknya makanan mengarahkan kita pada
keracunan makanan karena toksin yang dihasilkan (Simadibrata, 2006).
1.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu tubuh,

frekuensi

denyut

jantung

dan

pernapasan

serta

tekanan

darah.

Selanjutnya perlu dicari tanda-tanda utama dehidrasi: kesadaran, rasa


haus, dan turgor kulit abdomen dan tanda-tanda tambahan lainnya: ubunubun besar cekung atau tidak, mata: cowong atau tidak, ada atau

28

tidaknya air mata, bibir, mukosa mulut dan lidah kering atau basah
(Juffrie, 2010).
Pernapasan yang cepat dan dalam indikasi adanya asidosis metabolik.
Bising usus yang lemah atau tidak ada bila terdapat hipokalemia.
Pemeriksaan ekstremitas perlu karena perfusi dan capillary refill dapat
menentukan derajat dehidrasi yang terjadi (Juffrie, 2010).
2.

Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut umumnya tidak

diperlukan, Hanya pada keadaan tertentu mungkin diperlukan, misalnya


penyebab dasarnya tidak diketahui atau ada sebab-sebab lain selain diare
akut atau pada penderita dengan dehidrasi berat (Juffrie, 2010).
Pemeriksaan

tinja

baik

makroskopik

maupun

mikroskopik

dapat

dilakukan untuk menentukan diagnosa yang pasti. Secara makroskopik


harus diperhatikan bentuk, warna tinja, ada tidaknya darah, lender, pus,
lemak, dan lain-lain. Pemeriksaan mikroskopik melihat ada tidaknya
leukosit, eritrosit, telur cacing, parasit, bakteri, dan lain-lain (Hadi, 2002).
Penatalaksanaan
Menurut Kemenkes RI (2011), prinsip tatalaksana diare pada balita
adalah LINTAS DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare), yang didukung oleh
Ikatan Dokter Anak Indonesia dengan rekomendasi WHO. Rehidrasi bukan
satu-satunya cara untuk mengatasi diare tetapi memperbaiki kondisi usus
serta mempercepat penyembuhan/menghentikan diare dan mencegah
anak kekurangan gizi akibat diare juga menjadi cara untuk mengobati
diare. Adapun program LINTAS DIARE yaitu:
1) Rehidrasi menggunakan Oralit osmolalitas rendah
2) Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut
3) Teruskan pemberian ASI dan Makanan

29

4) Antibiotik Selektif
5) Nasihat kepada orang tua/pengasuh

0 Oralit
Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah
tangga dengan memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak
tersedia berikan cairan rumah tangga seperti air tajin, kuah sayur, air
matang. Oralit saat ini yang beredar di pasaran sudah oralit yang baru
dengan osmolaritas yang rendah, yang dapat mengurangi rasa mual dan
muntah. Oralit merupakan cairan yang terbaik bagi penderita diare untuk
mengganti cairan yang hilang. Bila penderita tidak bisa minum harus
segera di bawa ke sarana kesehatan untuk mendapat pertolongan cairan
melalui

infus.

Pemberian

oralit

didasarkan

pada

derajat

dehidrasi

(Kemenkes RI, 2011).


1.

Diare tanpa dehidrasi


Umur < 1 tahun : - gelas setiap kali anak mencret
Umur 1 - 4 tahun : - 1 gelas setiap kali anak mencret
Umur diatas 5 Tahun : 1 - 1 gelas setiap kali anak mencret

1.

Diare dengan dehidrasi ringan sedang


Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/ kg bb dan
selanjutnya diteruskan dengan pemberian oralit seperti diare tanpa
dehidrasi.

2.

Diare dengan dehidrasi berat


Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera dirujuk ke
Puskesmas untuk di infus. (Kemenkes RI, 2011)

30

Umur

Jumlah oralit yangJumlah oralit yang disediakan


diberikan tiap BAB

di rumah

<12 bulan

50-100ml

400 ml/hari (2 bungkus)

1-4 tahun

100-200ml

600-800 ml/hari (3-4 bungkus)

>5 tahun

200-300ml

800-1000

ml/hari

(4-5

bungkus)
Dewasa

300-400ml

1200-2800 ml/hari

Untuk anak dibawah umur 2 tahun cairan harus diberikan dengan


sendok dengan cara 1 sendok setiap 1 sampai 2 menit. Pemberian dengan
botol tidak boleh dilakukan. Anak yang lebih besar dapat minum langsung
dari gelas. Bila terjadi muntah hentikan dulu selama 10 menit kemudian
mulai lagi perlahan-lahan misalnya 1 sendok setiap 2-3 menit. Pemberian
cairan ini dilanjutkan sampai dengan diare berhenti (Juffrie, 2010).
1 Zinc
Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam tubuh.
Zinc dapat menghambat enzim INOS (Inducible Nitric Oxide Synthase),
dimana ekskresi enzim ini meningkat selama diare dan mengakibatkan
hipersekresi epitel usus. Zinc juga berperan dalam epitelisasi dinding usus
yang mengalami kerusakan morfologi dan fungsi selama kejadian diare
(Kemenkes RI, 2011).
Pemberian Zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan
tingkat

keparahan

diare,

mengurangi

frekuensi

buang

air

besar,

mengurangi volume tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian diare


pada 3 bulan berikutnya. Berdasarkan bukti ini semua anak diare harus
diberi Zinc segera saat anak mengalami diare.
Dosis pemberian Zinc pada balita:
a. Umur < 6 bulan : tablet (10 mg) per hari selama 10 hari

31

b. Umur > 6 bulan : 1 tablet (20 mg) per hari selama 10 hari.

Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah berhenti.


Cara pemberian tablet zinc : Larutkan tablet dalam 1 sendok makan air
matang atau ASI, sesudah larut berikan pada anak diare (Kemenkes RI,
2011).
2 Pembeian ASI/makanan
Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi
pada penderita terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta
mencegah berkurangnya berat badan. Anak yang masih minum ASI harus
lebih sering di beri ASI. Anak yang minum susu formula juga diberikan
lebih sering dari biasanya. Anak usia 6 bulan atau lebih termasuk bayi
yang telah mendapatkan makanan padat harus diberikan makanan yang
mudah dicerna dan diberikan sedikit lebih sedikit dan lebih sering. Setelah
diare berhenti, pemberian makanan ekstra diteruskan selama 2 minggu
untuk membantu pemulihan berat badan (Kemenkes RI, 2011).
3 Pemberian antibiotik hanya atas indikasi
Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian
diare pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya
bermanfaat pada penderita diare dengan darah (sebagian besar karena
shigellosis), suspek kolera (Kemenkes RI, 2011).
Obat-obatan anti diare juga tidak boleh diberikan pada anak yang
menderita diare karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti muntah tidak
dianjurkan kecuali muntah berat. Obat-obatan ini tidak mencegah
dehidrasi ataupun meningkatkan status gizi anak, bahkan sebagian besar
menimbulkan efek samping yang berbahaya dan bisa berakibat fatal.
Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh parasit
(amuba, giardia) (Kemenkes RI, 2011).

32

4 Pembeian Nasihat
Menurut Kemenkes RI (2011), ibu atau pengasuh yang berhubungan
erat dengan balita harus diberi nasehat tentang:
1. Cara memberikan cairan dan obat di rumah
2. Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila :
a. Diare lebih sering
b. Muntah berulang
c. Sangat haus
d. Makan/minum sedikit
e. Timbul demam
f. Tinja berdarah
g. Tidak membaik dalam 3 hari.

33

III. ANALISIS KASUS


Pada kasus ini, anak adalah bayi laki-laki usia 3 tahun 11 bulan dengan
keluhan demam tinggi setelah itu anak mengalami kejang yang berlangsung selama
10 menit Kejang pada anak ini bersifat umum, kejang tidak berulang dalam waktu 24
jam.
Pada kasus ini, anak mendapat diagnosis kerja kejang demam sederhana sudah
tepat karena dilihat dari gejala klinis dan diperkuat dengan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yang dilakukan. Adapun gejala klinik untuk kejang demam
sederhana antara lain (Pusponegoro dkk, 2006):
Kejang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (Suhu rectal >38oC)
Berusia 6 bulan-5 tahun
Kejang berlangsung singkat <15 menit
Kejang bersifat umum
Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam
Kejang pada anak ini timbul didasari oleh adanya riwayat demam. Karena itu
sangat penting untuk mengetahui penyebab demam pada pasien. Demam yang
muncul pada pasien, kemungkinan besar berhubungan dengan infeksi. Untuk
mengidentifikasi penyebab dari BAB cair tersebut perlu dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis, diketahui bahwa BAB cair terjadi 2 hari sebelum pasien
mengalami demam dan kejang kejang, yang artinya awitan bersifat akut. Awitan
bersifat akut merupakan salah satu tanda dan gejala dari diare akut. Tidak didapatkan
darah dan lendir pada BAB sehingga tidak perlu diberikan antibiotik. Untuk diagnosis
diare akut dalam kasus ini sesuai menurut definisi Juffrie M.,dkk (2011), bahwa diare
akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih drai 3 kali perhari, disertai
perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang

34

berlangsung kurang dari 1 minggu. Pada anak dibawah 5 tahun penyebab diare
tersering adalah rotavirus sehingga terapi yang paling penting dilakukan adalah
menambah kekurangan cairan dengan lima lintas diare.
Pada inspeksi abdomen tidak ditemukan adanya massa atau perut kembung.
Perut kembung dan keras adalah gejala dari obstruksi pada usus. Tidak juga
ditemukan adanya tanda-tanda dehidrasi pada anak. Pada tiap anak dengan diare
harus ditanyakan sejak kapan, frekuensi, konsistensi serta tedapat darah atau tidak
(Rahajoe dkk, 2012). Pada anak ini tidak ditemukan adanya darah dan lendir serta
masih terdapat ampas pada BAB.
Untuk menguatkan diagnosis, dilakukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
penunjang pada anak dilakukan dengan pemeriksaan darah lengkap. Hasil penting
pemeriksaan penunjang dapat dilihat dari jumlah leukosit anak yang didapatkan
keesokan harinya.
Keputusan untuk merawat anak dengan kejang demam di rumah sakit
bergantung pada situasi klinis dan keadaan keluarga. Anak sebaiknya berada di rumah
sakit minimal dalam beberapa jam dan di evaluasi ulang. Jika penyebab demam telah
diketahui dan ditatalaksana dengan baik, mereka dapat dipulangkan. Hal ini
tergantung pada follow up pasien. Jika kondisi klinis anak masih tidak stabil, jika
masih mungkin kejang disebabkan meningitis, atau jika orangtua anak tidak terlihat
cukup mandiri, sebaiknya anak dirawat di rumah sakit.
Pemberian diazepam yang dipilih saat kejang adalah bisa melalui iv atau rektal.
Namun, dalam kasus ini ketika pasien dibawa ke puskesmas, tidak diberikan
diazepam awal melalui rektal maupun intravena. Ketika sampai di rumah sakit, anak
sudah tidak kejang namun masih demam. Pada penatalaksanaan awal di UGD, anak
diberikan terapi hanya jika kejang, menurut kami tidak sesuai karena anak masih
demam, maka pada anak juga perlu disiapkan terapi intermitten dimana terapi ini

35

diberikan saat anak masih demam untuk mencegah terjadinya kejang demam dan
untuk pemberiannya harus memenuhi beberapa syarat seperti yang akan dijelaskan
dibawah ini.
Berdasarkan konsensus kejang demam (2006), pemberian obat kejang demam
terbagi menjadi 3: yaitu pengobatan saat kejang, pengobatan rumatan, pengobatan
intermitten. Pada kasus dengan kejang demam sederhana, anak dengan fakor resiko
berupa demam yang melebihi 38,5oC diberikan terapi pengobatan intermitten yaitu
diazepam dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis saat pasien demam atau
intrarectal tiap 8 jam sebanyak 5 mg (BB<10 kg) dan 10 mg (BB>10kg).
Menurut pediatricia (2006), mengenai faktor resiko terjadinya kejang demam
berulang dan harus diberikan terapi intermitten adalah: riwayat kejang demam dalam
keluarga; usia kurang dari 18 bulan; tingginya suhu sebelum kejang demam, makin
kecil resiko berulangnya kejang demam; lamanya demam sebelum kejang, semakin
pendek jarak antara mulainya demam dengan terjadinya kejang, makin besar resiko
berulangnya kejang demam.
Untuk penatalaksanaan awal diare pada kasus ini menurut kami tidak sesuai,
karena pada kasus ini anak hanya diberikan lacto B dan infus RL dengan gtt X
dimana tetesan ini tidak sesuai dengan berat badan anak. Penatalaksanaan diare
menurut panduan WHO yang didukung oleh IDAI, yaitu sesuai dengan rencana terapi
tipe A ( diare tanpa dehidrasi). Mengikuti lima lantas yaitu:
1. rehidrasi oral seperti makanan cair, serta input cairan melalui infus yang
diberikan yaitu infus RL dan kaen3b untuk kebutuhan elektrolit dan cairan
diberikan berdasarkan rumus holiday sugar yaitu dengan BB 20:
1500x20/24x60= 20 tetes,dan diberikan larutan oralit yang pada anak <2
tahun diberikan 50-100 ml dan untuk anak >=2 tahun diberikan

100-200cc

setiap anak BAB.

36

2. Pemberian zinc pada anak >6 bulan sebanyak 20 mg/hr selama 10 hari
3. Diet dengan ASI pada <6 bulan dan makanan pada > 6 bulan
4. Antibiotik diberikan hanya pada anak dengan diare berdarah dan kolera, pada
kasus ini tidak perlu diberikan antibiotik, sehingga pada anak tidak perlu
diberikan antibiotik
5. Edukasi kepada orangtua yaitu kembali segera jika demam, tinja berdarah,
diare berulang, makan dan minum sedikit, sangat haus, diare makin sering,
belum membaik selama 3 hari,
Setelah follow up sampai tanggal 16 Mei 2014, anak sudah bebas demam
selama 4 hari dan kejang sudah tidak terjadi lagi sejak masuk rumah sakit, anak juga
sudah tidak mengalami diare lagi, sehingga anak dibolehkan untuk pulang, sebelum
pulang pada anak dilakukan pemeriksaan laboratorium dan didapatkan LED
60mm/jam yang artinya mengalami peningkatan dari sebelumnya tetapi leukosit pada
dalam jumlah normal. Pada pasien ini diberikan antibiotik menurut kami tidak sesuai,
karena indikasi pemberian antibiotik pada anak adalah jika penyakit yang diderita
disebabkan bakteri seperti penyakit ISPA yang tidak sembuh, demam tinggi yang
susah sembuh. Pada anak tidak ditemukan lagi tanda-tanda adanya infeksi oleh
bakteri, karena diare pada anak lebih sering disebabkan oleh rotavirus sehingga tidak
perlu diberikan antibiotik, anak sudah tidak demam tinggi, jumlah leukosit normal.
Dari sini bisa dilihat bahwa pada kasus ini pemberian antibiotik kurang tepat.
Prognosis pada kasus ini dubia ad bonam. Walaupun kejang demam
mengkhawatirkan bagi orangtua, prognosis pada anak cukup baik. Hanya sebagian
kecil yang berkembang menjadi epilepsi atau kejang tanpa demam di kemudian hari.
Tidak ada resiko kerusakan otak, akan tetapi dapat terjadi keterlambatan intelektual
dan motorik sebagai akibat dari kejang demam.

37

DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Pediatrics. 2008. Febrile Seizures: Clinical Practice
Guideline for the Long-term Management of the Child With Simple
Febrile Seizures. Pediatrics. 121(6):1281 -1286.

Anonim. 2010. Seizure symptoms and types. Akses 19 Mei 2014.


Bauman RJ,KaoA. 2013. Pediatric Febrile Seizures Workup. Akses 19 Mei 2014.
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Febrile Seizures, Nelson textbook of
Pediatrics, 17th Edition, Philadelphia: WB Saunders company, 2004.
Christopher SL, Westermeyer RR, Plantz SH, Talavera F, Rebecchi T. 2011. Seizures
in Children
Deliana, Melida. 2002. Tatalaksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri. Vol
4:59-62.
Duffner, Berman PH, Bauman FJ, Fisher PG, Green JL, Schneider S. 2011. Febrile
Seizures: Guideline for the Neurodiagnostic Evaluation of the Child With a
Simple Febrile Seizure. 19(2): 1-9
DowshenS.2011.Erythrocyte Sedimentation Rate. Pediatrics in Review. 12(1): 2-7
Hasanuddin, BAFKU. 2012. Kejang demam diagnosis dan tatalaksana. (pediatricunhas.com/praktis-kejang-demam-diagnosis-dan-tatalaksana-3/)
Hirtz, DG. 1997. Febrile Seizure. Pediatrics in Review. 18(1) : 5 -9.
Jufffri M., Soenarto SSY., Oswari H., Arief S., Rosalina I., Mulyani N S. 2011.
Gastroenterologi-hepatologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI
Lumbantobing SM, 2007. Kejang Demam. Jakarta: FKUI. Hlm. 1-39.
38

Mc Phee SJ, Hammer GD. 2010. Patophysiology of Disease An Introduction to


Clinical Medicine. USA : Mc Graw Hill.
Pusponegoro HD, Widodo DP, Ismael S. 2006. Konsensus Penatalaksanaan Kejang
Demam, Unit Kerja Koordinasi Neurologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. 2012. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta
: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Suciningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

39

You might also like