You are on page 1of 10

KEBIJAKAN DNR (Do Not Resuscitation) PADA PASIEN TRAUMA DADA

Posted on December 6, 2013


A. Latar Belakang
Trauma merupakan salah satu kasus yang paling banyak terjadi dan paling sering menyebabkan
kematian. Bahkan trauma menjadi pencetus meningkatnya angka kematian pada orang dewasa.
Penyebab trauma ini juga semakin kompleks seiring berkembangnya teknologi dan industri,
mulai dari yang paling sederhana seperti luka tusuk, kecelakaan kendaraan bermotor dengan
kecepatan tinggi yang dapat berupa trauma tumpul atau trauma penetrasi, kecelakaan pesawat
terbang di ketinggian beberapa kilometer dari permukaan laut, hingga pada trauma balistik
karena trauma senjata mesin yang canggih yang pada akhirnya bisa menyebabkan cardiac arrest.
Hal ini menimbulkan masalah kesehatan, terutama kondisi kegawat daruratan yang semakin
rumit, sehingga membutuhkan pendekatan multidisipliner yang berorientasi pada manajemen
trauma.
World Health Organization (WHO) memprediksi akan terjadi peningkatan angka kematian
sebesar 40% yang disebabkan oleh kasus trauma di dunia antara tahun 2002 sampai 2030. Kasus
kecelakaan lalu lintas juga diperkirakan meningkat drastis dari 1,2 juta di tahun 2002 menjadi 1,9
juta di tahun 2020 (Sebastian V. Demyttenaere, 2009). Seiring dengan meningkatnya angka
kejadian ini tentu saja angka kematian dan kecacatan semakin meningkat yang pada akhirnya
akan meningkat pula angka ketergantungan.
Demikian halnya pada negara-negara berkembang, khususnya di Indonesia, dengan
disediakannya kendaraan murah bagi masyarakat maka akan semakin menambah kepadatan lalu
lintas yang tentunya resiko terjadinya kecelakaan lalu lintas juga semakin meningkat. Fenomena
ini akan sangat merugikan jika tidak diikuti dengan kebijakan yang tepat dari pemerintah. Untuk
itulah manajemen trauma di Indonesia juga harus di tingkatkan seiring dengan meningkatnya
kasus trauma yang ada.
Manajemen cardiac arrest pada trauma dada khususnya kasus tamponade jantung (Cardiac
Tamponade), dan kasus herniasi otak (Cerebral herniation) yang berefek pada terjadinya gagal
napas karena penekanan pada pons cerebri. Pada kasus-kasus seperti ini seringkali menimbulkan
masalah dilema dalam memberikan pertolongan berupa tindakan resusitasi jantung paru (CPR)
untuk membantu mempertahankan kehidupan pasien. Tim medis kesulitan untuk menentukan
tindakan yang tepat bagi pasien denganCardiac tamponade atau Cerebral herniation yang berat
dan mengalami cardiac arrest. Karena disatu sisi pasien membutuhkan tindakan resusitasi
(CPR), tetapi prognosis pasien yang buruk meskipun telah diusahakan untuk dilakukan tindakan
resusitasi (CPR). Disinilah dibutuhkan pengambilan keputusan yang tepat dari rescuer atau tim
medis yang menangani. Namun tim medis sering mengalami kendala dalam menentukan
keputusan tindakan, karena belum ada pedoman yang baku untuk penatalaksanaan kasus ini

apakah dilakukan resusitasi atau diberikan label Do Not Resuscitation yang berarti pasien
dianggap sudah tidak mungkin untuk diberikan pertolongan sehingga tidak perlu mendapatkan
tindakan resusitasi. Jadi bagaimana sikap kita jika menghadapi kondisi seperti ini?

1. B. Tinjauan Pustaka
DO NOT RESUSCITATION (DNR), sebuah perintah jangan dilakukan Resusitasi, adalah pesan
untuk tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum untuk tidak mencoba melakukan atau
memberikan tindakan pertolongan berupa CPR (cardiopulmonary resuscitation) atau Resusitasi
Jantung Paru (RJP) jika terjadi permasalahan darurat pada jantung pasien atau terjadinya henti
napas pada pasien. Perintah ini ditulis atas permintaan pasien atau keluarga tetapi harus ditanda
tangani dan diputuskan melalui konsultasi pada dokter yang berwenang. DNR merupakan salah
satu keputusan yang paling sulit, hal ini menimbulkan masalah dilema etika yang menyangkut
perawat ataupun dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang terlibat. Apakah akan mengikuti
sebuah perintah jangan dilakukan resusitasi atau tidak? Bagaimana tindakan anda sebagai
perawat yang telah mahir untuk melakukan CPR mengetahui jika tiba-tiba pasien mengalami
henti jantung. Sebagai seorang perawat yang memiliki rasa carepastinya anda tidak akan
membiarkan pasien mati dengan begitu saja, tetapi masalahnya jika kita mengikuti kata hati dan
melakukan CPR pada pasien tersebut, kita justru bisa dituntut oleh keluarga pasien tersebut
karena keluarga telah membuat keputusan untuk tidak dilakukan tindakan resusitasi. Ini adalah
sebuah dilema yang terjadi di dalam profesi kesehatan. Masalah seperti ini juga sering muncul
pada pasien yang menderita penyakit kronis dan terminal, pasien dengan kontra indikasi CPR
ataupun pasien yang telah diputuskan oleh keluarga untuk dilakukan euthanasia.
DNR ini belum familiar di Indonesia. Dan di rumah sakit rumah sakit belum ada standart
operasional prosedur yang tetap tentang pemberian label pada pasien DNR. Namun keputusan
DNR ini sebenarnya sudah ada dan sering kita jumpai tetapi belum disampaikan secara jelas oleh
keluarga atau pihak yang bertanggung jawab atas perawatan pasien, hanya secara tersirat
misalkan saya sudah ikhlas. Jika kita telaah lebih dalam sebenarnya kata ini adalah suatu
pernyataan putus asa dari anggota keluarga terhadap kondisi pasien dan keluarga sudah siap jika
sewaktu-waktu pasien dinyatakan meninggal oleh dokter atau tim medis yang menangani pasien
tersebut. Ada beberapa keluarga pasien dengan penyakit-penyakit terminal yang pernah di rawat
di ICU meminta perawat dan tenaga kesehatan lain untuk tidak melakukan resusitasi. Jadi
sebenarnya status klien yang DNR di Indonesia sudah ada, namun belum terdokumentasi secara
legal saja.

Bagaimana Perawatan DNR?


Pasien DNR biasanya sudah diberikan label atau tanda untuk tidak dilakukan resusitasi. Label ini
biasa terdapat pada bajuatau tempat tidur pasien, di ruang perawatan ataupun di pintu masuk
ruang perawatan bila pasien dirawat dalam satu kamar tersendiri. Pemberian tindakan perawatan
dan tindakan medis pada pasien DNR tidak berbeda dengan pasien pada umumnya, tetap sesuai
dengan advice dan kebutuhan pasien tanpa mengurangi kualitasnya. Pasien juga masih

diperlakukan dengan cara yang sama tanpa perkecualian. Label DNR hanya memiliki makna
bahwa jika pasien meninggal (berhenti bernapas, atau jantung berhenti berdetak) tim medis tidak
akan melakukan CPR/RJP. Jadi DNR tidak berarti pemberian obat pada pasien dihentikan begitu
saja, pasien tetap mendapatkan obat dan tindakan perawatan sesuai dengan kebutuhan pasien.
Namun terkadang dokter dan perawat akan berhenti fokus pada pengobatan, dan mulai fokus
pada tindakan pendampingan dan pemenuhan kebutuhan dasar pasien saja jika prognosis pasien
sudah sangat memburuk. Tindakan ini biasa disebut sebagai perawatan Paliatif.

1. C. Analisa dan Pembahasan


Berdasarkan studi jurnal dari American Heart Association (AHA), menyatakan bahwaCardiac
Arrest yang terjadi pada kasus trauma secara umum pada dasarnya sama dengan manajemen
pada kasus trauma pada umumnya yaitu dimulai dari manajemenairway, breathing,
dan circulation (AHA, 2010). Dengan penyebab cardiac arrest yang harus diperhatikan sebagai
bahan pertimbangan untuk menentukan tindakan yang tepat. Meskipun resusitasi (CPR) lebih
prioritas dilakukan pada korban trauma yang mengalami syok atau nadi yang lemah, trauma lain
yang mungkin terjadi pada korban juga harus tetap diperhatikan karena tindakan yang tepat
secara keseluruhan diharapkan dapat menyelamatkan nyawa korban.
Ketika terjadi trauma multi sistem atau trauma juga yang mengenai kepala dan leher, kestabilan
tulang cervikal juga harus diperhatikan. Jaw thrust harus dilakukan untuk meminimalisir resiko
terjepitnya nervus pernafasan pada saat membuka jalan napas. Jika terjadi distress napas atau
perdarahan di sekitar wajah korban, maka harus dilakukan pemberian bantuan napas dengan
menggunakan Non-rebreathing mask atauBag Valve Mask (BVM). Hentikan perdarahan dengan
memberikan balut tekan, dan saat korban mengalami gagal napas yang berlanjut pada cardiac
arrest, berikan rescue breathing dan tindakan resusitasi bila memungkinkan (AHA, 2010). Hal ini
dapat kita simpulkan bahwa pada pasien yang memiliki kemungkinan hidup sangat kecilpun
tetap kita berikan bantuan hidup dasar, meskipun pada akhirnya pasien akan meninggal.
Pernyataan ini juga didukung tulisan Gordon dkk yang dipublikasikan pada The Lancettahun
1995 yang berjudul Decision and Care at The end of life. Gordon menyatakan bahwa sebenarnya
tindakan DNR itu tetap berfokus pada proses penyembuhan, perawatan, pemenuhan kebutuhan
dasar, dan bimbingan atau persiapan menghadapi kematian seperti pasien pada umunya. Hanya
saja yang membedakan adalah tindakan yang diberikan saat pasien mengelami henti napas atau
henti jantung. Pasien tidak perlu dilakukan resusitasi, hanya dibantu atau dibimbing saja untuk
mencapai kematian yang damai.
Sebuah hasil review literatur oleh Mc Cormik dan Andrew J tahun 2011 yang dipublikasikan
pada jurnal Social Work tentang hak untuk meninggal dengan tenang dan budaya yang melatar
belakanginya. Disini dibahas bahwa kebudayaan setempat sangat berpengaruh terhadap proses
pengambilan keputusan oleh tim medis maupun oleh keluarga untuk memutuskan DNR pada
pasien. Di negara barat pengambilan keputusan seperti ini sering kali melalui pertimbangan yang
matang dan telah melewati proses konsultasi pada dokter atau tim medis yang merawat pasien.
Sehingga nantinya tidak akan ada penyesalan atau rasa bersalah dari keluarga maupun dari tim
medis yang merawat pasien. Berbeda sekali dengan di Indonesia, sampai saat ini belum diatur
secara tegas dan jelas tentang prosedur pengambilan keputusan tindakan DNR. Meskipun
beberapa rumah sakit telah membuat form permintaan DNR, tetapi form ini belum bisa
menjamin legalitas tindakan DNR yang diberikan pada pasien. Dikarenakan belum adanya
patokan yang jelas dan kapan tindakan DNR itu bisa diberikan pada pasien yang kontra indikasi
dilakukan CPR.

Hal ini didukung hasil penelitian dari Van der Heide, dkk yang menuliskan bahwa di 6 negara
maju di dataran eropa angka permohonan tindakan DNR meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini
dipengaruhi oleh kebudayaan dan kehidupan setempat yang masyarakatnya mudah bangkit dan
tidak terlalu memikirkan masa lalu. Sehingga ketika dokter memberikan vonis prognosis pasien
memburuk, maka keluarga segera mengambil tindakan untuk berdiskusi dan mempertimbangkan
permohonan untuk dilakukan tindakan do not resuscitation. Inilah salah satu yang melatar
belakangi mengapa angka usia lanjut di negara maju cenderung lebih rendah daripada negara
berkembang lainnya.
Sebuah penelitian tentang dokumentasi permohonan DNR yang dilakukan oleh Zhukovsky dkk
pada tahun 2009 yang berjudul Wide Variation in Content of Inpatient do-not-resuscitation order
form used at National Cancer Institut, menyimpulkan bahwa masih banyak terjadi perbedaan
pembuatan atau pengisian form permohonan tindakan DNR oleh perawat yang bertugas di rumah
sakit kanker di Amerika. Hal ini yang harusnya menjadi perhatian WHO agar segera dibentuk,
ataupun dirumuskan form DNR yang bisa dipertanggungjawabkan dan memiliki kekuatan
hukum yang jelas. Sehingga jika sewaktu-waktu surat keterangan permohonan DNR ini
diperlukan untuk bukti dalam persidangan, dapat digunakan sebagai bukti yang kuat dan valid.
Seharusnya di Indonesia juga demikian bahkan di seluruh dunia perlu dilakukan konferensi atau
pertemuan semacam ini untuk membahas dan menetapkan form permohonan DNR yang valid
dan konsisten.
Kejadian do not resuscitation di Belanda sebagian besar dilakukan hanya oleh pertimbangan satu
pihak, antara keluarga dengan dokter yang khusus menangani keluarga tersebut. Hal ini dapat
kita lihat dari hasil penelitian yang dilakukan Onwuteaka dkk, di Belanda pada tahun 2003 yang
berjudul Euthanasia and other end of life decision in Netherland, dan dipublikasikan di
jurnal The Lancet. Kejadian do not resuscitation ini dilakukan tanpa melalui pertimbangan dari
konsultan atau dokter yang lebih ahli dalam bidangnya. Sebagian sudah melakukan konsultasi
dengan dokter ahli, dan menolak untuk memberikan label DNR namun keluarga tetap bersikeras
untuk diberikan label DNR pada pasien. Sehingga dokter keluarga yang akhirnya memberanikan
diri untuk memberikan label DNR pada pasien. Kejadian semacam ini harusnya ada petunjuk
baku tentang bagaimana menghargai hak untuk hidup pada seseorang. Jadi dibuat sebuah
pedoman baku kapan DNR harus diberikan pada pasien dan kapan pasien tidak boleh diberikan
label DNR. Dan agar pedoman ini diakui oleh keluarga ataupun masyarakat, pedoman ini harus
dilindungi oleh undang-undang atau peraturan yang berlaku di masing-masing negara.
Sebuah upaya nyata permohonan do not resuscitation pada pasien di Canada, yang melalui
proses persidangan dan pengambilan keputusan yang melibatkan banyak pihak ahli terkait
dengan penyakit yang diderita pasien. Dituliskan dalam The Lancet oleh Wayne Kondro pada
tahun 1998 yang berjudul Do-not-resuscitate order lifted in Canada. Dalam tulisannya Wayne
Kondro menjelaskan bahwa proses pengambilan keputusan DNR yang dilakukan pada sebuah

pengadilan di Canada sangatlah bagus. Karena prosespengambilan keputusan melibatkan banyak


pihak, dari keluarga pasien yang mengajukan permohonan DNR, dokter spesialis yang
menangani pasien, sampai psikiater dan juga aktivis kemanusiaan yang saling mengajukan
pendapat dalam forum sidang. Sehingga keputusan yang diambil oleh hakim, merupakan
keputusan terbaik yang telah melalui proses diskusi dan pertimbangan yang matang. Dan
keputusan ini memiliki kekuatan hukum yang kuat. Jika suatu saat dokter yang memutuskan
memberi label DNR pada pasien di mintai keterangan oleh pihak pengadilan atau pihak terkait
lainnya dia bisa memberikan keterangan yang valid dan memiliki kekuatan hukum. Seharusnya
hal semacam ini juga diterapkan di berbagai negara di seluruh dunia, khusunya di Indonesia yang
notabene masyarakatnya suka mencari-cari permasalahan di bidang kesehatan untuk diangkat ke
pengadilan. Jika proses seperti ini diterapkan di Indonesia saya yakin dokter ataupun tim medis
yang memutuskan pemberian label DNR pada pasien akan dengan tegas dan yakin untuk
melakukan tindakan tersebut.

1. D. Kesimpulan
Dari berbagai hasil review literatur dan tinjauan pustaka diatas, dapat kita simpulkan bahwa
sebenarnya permohonan tindakan DNR sudah sangat sering kita jumpai, hanya saja masih secara
tersirat disampaikan oleh keluarga pasien khususnya di Indonesia. Hal ini disebabkan karena
belum jelasnya peraturan ataupun hukum yang mengatur tentang tindakan ini sehingga keluarga
ataupun tim medis masih takut untuk menjelaskan pada keluarga pasien dan sering secara
sepihak memutuskan tindakan DNR pada pasien. Dilihat dari beberapa permasalahan di atas,
solusi yang bisa dilakukan adalah dengan pembuatan undang-undang atau peraturan yang tegas
tentang tindakan DNR pada pasien dengan prognosis yang buruk. Selain itu tim medis atau
badan kolegium juga menetapkan format dan pedoman yang baku kapan tim medis boleh
memberikan keputusan DNR dan bagaimana prosedur yang harus dilakukan mulai dari
permohonan diajukan sampai konsultasi pada dokter ahli dan didukung dengan kekuatan hukum
yang ada di masing-masing negara. Jika telah ada pedoman yang baku seperti ini, saya yakin
tindakan dokter atau tim medis dalam mengambil keputusan NDR tidak akan terkendala oleh
masalah-masalah etis dan juga masalah pidana ataupun tuntutan dari keluarga/orang terdekat
pasien.

1.

E.

Referensi

AHA. (2010). Cardiac Arrest in Special Situations: 2010 American Heart Association Guideline
for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.Circulation, 122, 844845.
AHA. (2010). Executive Summary: 2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 122, 646.
Cormic, M. (2011). Self dtermination, The Right to Die and Culture. Social Work, 56(2), 119128.
Demetriades. (2009). Asessment and Management of Trauma.
fromhttp://www.surgery.usc.edu/divisions/trauma/
Gordon, M. (1995). Decisions and Care at The end-of-life. The Lancet, 346(8968), 163-166.
Heide, V. d. (2003). End-of-life Decision making in six European Countries. The Lancet,
362(9381), 345-350.
Jacker, N. S. (1994). Ethical Decision at The end-of-life. The Gerontologist, 34(6), 850-851.
Kondro, W. (1998). Do-not-resuscitate order lifted in Canada. The Lancet, 352(9141), 1689.
Philipsen, O. (2003). Euthanasia and other end-of-life decisions in Netherland. The Lancet,
362(9381), 395-399.
Sebastian V. Demyttenaere, C. N., Alice Nganwa, Milton Mutto, Ronald Lett, Tarek Razek.
(2009). Injury in Kampala, Uganda 6 years ago. Canadian Journal of Surgery, 52(5), 146-150.
WHO. (2004). Guideline for Essential Trauma Care.
Zhukovsky. (2009). Wide Variation in Content of Inpatient do-not-resuscitate order forms used at
National Cancer Institute Supportive Care in Cancer, 17(2), 109-115.

You might also like