Professional Documents
Culture Documents
apakah dilakukan resusitasi atau diberikan label Do Not Resuscitation yang berarti pasien
dianggap sudah tidak mungkin untuk diberikan pertolongan sehingga tidak perlu mendapatkan
tindakan resusitasi. Jadi bagaimana sikap kita jika menghadapi kondisi seperti ini?
1. B. Tinjauan Pustaka
DO NOT RESUSCITATION (DNR), sebuah perintah jangan dilakukan Resusitasi, adalah pesan
untuk tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum untuk tidak mencoba melakukan atau
memberikan tindakan pertolongan berupa CPR (cardiopulmonary resuscitation) atau Resusitasi
Jantung Paru (RJP) jika terjadi permasalahan darurat pada jantung pasien atau terjadinya henti
napas pada pasien. Perintah ini ditulis atas permintaan pasien atau keluarga tetapi harus ditanda
tangani dan diputuskan melalui konsultasi pada dokter yang berwenang. DNR merupakan salah
satu keputusan yang paling sulit, hal ini menimbulkan masalah dilema etika yang menyangkut
perawat ataupun dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang terlibat. Apakah akan mengikuti
sebuah perintah jangan dilakukan resusitasi atau tidak? Bagaimana tindakan anda sebagai
perawat yang telah mahir untuk melakukan CPR mengetahui jika tiba-tiba pasien mengalami
henti jantung. Sebagai seorang perawat yang memiliki rasa carepastinya anda tidak akan
membiarkan pasien mati dengan begitu saja, tetapi masalahnya jika kita mengikuti kata hati dan
melakukan CPR pada pasien tersebut, kita justru bisa dituntut oleh keluarga pasien tersebut
karena keluarga telah membuat keputusan untuk tidak dilakukan tindakan resusitasi. Ini adalah
sebuah dilema yang terjadi di dalam profesi kesehatan. Masalah seperti ini juga sering muncul
pada pasien yang menderita penyakit kronis dan terminal, pasien dengan kontra indikasi CPR
ataupun pasien yang telah diputuskan oleh keluarga untuk dilakukan euthanasia.
DNR ini belum familiar di Indonesia. Dan di rumah sakit rumah sakit belum ada standart
operasional prosedur yang tetap tentang pemberian label pada pasien DNR. Namun keputusan
DNR ini sebenarnya sudah ada dan sering kita jumpai tetapi belum disampaikan secara jelas oleh
keluarga atau pihak yang bertanggung jawab atas perawatan pasien, hanya secara tersirat
misalkan saya sudah ikhlas. Jika kita telaah lebih dalam sebenarnya kata ini adalah suatu
pernyataan putus asa dari anggota keluarga terhadap kondisi pasien dan keluarga sudah siap jika
sewaktu-waktu pasien dinyatakan meninggal oleh dokter atau tim medis yang menangani pasien
tersebut. Ada beberapa keluarga pasien dengan penyakit-penyakit terminal yang pernah di rawat
di ICU meminta perawat dan tenaga kesehatan lain untuk tidak melakukan resusitasi. Jadi
sebenarnya status klien yang DNR di Indonesia sudah ada, namun belum terdokumentasi secara
legal saja.
diperlakukan dengan cara yang sama tanpa perkecualian. Label DNR hanya memiliki makna
bahwa jika pasien meninggal (berhenti bernapas, atau jantung berhenti berdetak) tim medis tidak
akan melakukan CPR/RJP. Jadi DNR tidak berarti pemberian obat pada pasien dihentikan begitu
saja, pasien tetap mendapatkan obat dan tindakan perawatan sesuai dengan kebutuhan pasien.
Namun terkadang dokter dan perawat akan berhenti fokus pada pengobatan, dan mulai fokus
pada tindakan pendampingan dan pemenuhan kebutuhan dasar pasien saja jika prognosis pasien
sudah sangat memburuk. Tindakan ini biasa disebut sebagai perawatan Paliatif.
Hal ini didukung hasil penelitian dari Van der Heide, dkk yang menuliskan bahwa di 6 negara
maju di dataran eropa angka permohonan tindakan DNR meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini
dipengaruhi oleh kebudayaan dan kehidupan setempat yang masyarakatnya mudah bangkit dan
tidak terlalu memikirkan masa lalu. Sehingga ketika dokter memberikan vonis prognosis pasien
memburuk, maka keluarga segera mengambil tindakan untuk berdiskusi dan mempertimbangkan
permohonan untuk dilakukan tindakan do not resuscitation. Inilah salah satu yang melatar
belakangi mengapa angka usia lanjut di negara maju cenderung lebih rendah daripada negara
berkembang lainnya.
Sebuah penelitian tentang dokumentasi permohonan DNR yang dilakukan oleh Zhukovsky dkk
pada tahun 2009 yang berjudul Wide Variation in Content of Inpatient do-not-resuscitation order
form used at National Cancer Institut, menyimpulkan bahwa masih banyak terjadi perbedaan
pembuatan atau pengisian form permohonan tindakan DNR oleh perawat yang bertugas di rumah
sakit kanker di Amerika. Hal ini yang harusnya menjadi perhatian WHO agar segera dibentuk,
ataupun dirumuskan form DNR yang bisa dipertanggungjawabkan dan memiliki kekuatan
hukum yang jelas. Sehingga jika sewaktu-waktu surat keterangan permohonan DNR ini
diperlukan untuk bukti dalam persidangan, dapat digunakan sebagai bukti yang kuat dan valid.
Seharusnya di Indonesia juga demikian bahkan di seluruh dunia perlu dilakukan konferensi atau
pertemuan semacam ini untuk membahas dan menetapkan form permohonan DNR yang valid
dan konsisten.
Kejadian do not resuscitation di Belanda sebagian besar dilakukan hanya oleh pertimbangan satu
pihak, antara keluarga dengan dokter yang khusus menangani keluarga tersebut. Hal ini dapat
kita lihat dari hasil penelitian yang dilakukan Onwuteaka dkk, di Belanda pada tahun 2003 yang
berjudul Euthanasia and other end of life decision in Netherland, dan dipublikasikan di
jurnal The Lancet. Kejadian do not resuscitation ini dilakukan tanpa melalui pertimbangan dari
konsultan atau dokter yang lebih ahli dalam bidangnya. Sebagian sudah melakukan konsultasi
dengan dokter ahli, dan menolak untuk memberikan label DNR namun keluarga tetap bersikeras
untuk diberikan label DNR pada pasien. Sehingga dokter keluarga yang akhirnya memberanikan
diri untuk memberikan label DNR pada pasien. Kejadian semacam ini harusnya ada petunjuk
baku tentang bagaimana menghargai hak untuk hidup pada seseorang. Jadi dibuat sebuah
pedoman baku kapan DNR harus diberikan pada pasien dan kapan pasien tidak boleh diberikan
label DNR. Dan agar pedoman ini diakui oleh keluarga ataupun masyarakat, pedoman ini harus
dilindungi oleh undang-undang atau peraturan yang berlaku di masing-masing negara.
Sebuah upaya nyata permohonan do not resuscitation pada pasien di Canada, yang melalui
proses persidangan dan pengambilan keputusan yang melibatkan banyak pihak ahli terkait
dengan penyakit yang diderita pasien. Dituliskan dalam The Lancet oleh Wayne Kondro pada
tahun 1998 yang berjudul Do-not-resuscitate order lifted in Canada. Dalam tulisannya Wayne
Kondro menjelaskan bahwa proses pengambilan keputusan DNR yang dilakukan pada sebuah
1. D. Kesimpulan
Dari berbagai hasil review literatur dan tinjauan pustaka diatas, dapat kita simpulkan bahwa
sebenarnya permohonan tindakan DNR sudah sangat sering kita jumpai, hanya saja masih secara
tersirat disampaikan oleh keluarga pasien khususnya di Indonesia. Hal ini disebabkan karena
belum jelasnya peraturan ataupun hukum yang mengatur tentang tindakan ini sehingga keluarga
ataupun tim medis masih takut untuk menjelaskan pada keluarga pasien dan sering secara
sepihak memutuskan tindakan DNR pada pasien. Dilihat dari beberapa permasalahan di atas,
solusi yang bisa dilakukan adalah dengan pembuatan undang-undang atau peraturan yang tegas
tentang tindakan DNR pada pasien dengan prognosis yang buruk. Selain itu tim medis atau
badan kolegium juga menetapkan format dan pedoman yang baku kapan tim medis boleh
memberikan keputusan DNR dan bagaimana prosedur yang harus dilakukan mulai dari
permohonan diajukan sampai konsultasi pada dokter ahli dan didukung dengan kekuatan hukum
yang ada di masing-masing negara. Jika telah ada pedoman yang baku seperti ini, saya yakin
tindakan dokter atau tim medis dalam mengambil keputusan NDR tidak akan terkendala oleh
masalah-masalah etis dan juga masalah pidana ataupun tuntutan dari keluarga/orang terdekat
pasien.
1.
E.
Referensi
AHA. (2010). Cardiac Arrest in Special Situations: 2010 American Heart Association Guideline
for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.Circulation, 122, 844845.
AHA. (2010). Executive Summary: 2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 122, 646.
Cormic, M. (2011). Self dtermination, The Right to Die and Culture. Social Work, 56(2), 119128.
Demetriades. (2009). Asessment and Management of Trauma.
fromhttp://www.surgery.usc.edu/divisions/trauma/
Gordon, M. (1995). Decisions and Care at The end-of-life. The Lancet, 346(8968), 163-166.
Heide, V. d. (2003). End-of-life Decision making in six European Countries. The Lancet,
362(9381), 345-350.
Jacker, N. S. (1994). Ethical Decision at The end-of-life. The Gerontologist, 34(6), 850-851.
Kondro, W. (1998). Do-not-resuscitate order lifted in Canada. The Lancet, 352(9141), 1689.
Philipsen, O. (2003). Euthanasia and other end-of-life decisions in Netherland. The Lancet,
362(9381), 395-399.
Sebastian V. Demyttenaere, C. N., Alice Nganwa, Milton Mutto, Ronald Lett, Tarek Razek.
(2009). Injury in Kampala, Uganda 6 years ago. Canadian Journal of Surgery, 52(5), 146-150.
WHO. (2004). Guideline for Essential Trauma Care.
Zhukovsky. (2009). Wide Variation in Content of Inpatient do-not-resuscitate order forms used at
National Cancer Institute Supportive Care in Cancer, 17(2), 109-115.