You are on page 1of 11

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

Oleh:
Karina Anindya Prameswari Sembiring Meliala
110120130508

Diajukan untuk memenuhi nilai Mata Kuliah Hukum Pidana Internasional

Dosen:
Prof. Dr. H. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M.
Nella Sumika Putri, S.H., M.H.
Widati Wulandari, S.H., M.Crim.

PROGRAM MAGISTER (S2) ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJAJARAN
BANDUNG
2014

BAB I
SEJARAH HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
Era Abad 16 Masehi
Pada era Kerajaan Romawi dibawah Kaisar Justinianus, dimana dengan
kekuatan

undang-undang,

Justinianus

telah

memberikan

dukungan

perdamaian ke seluruh Kerajaan Romawi termasuk jajahanya. Peraturan


tentang perang diperjelas dan harus dilandaskan pada sebab yang layak dan
benar, diumumkan sesuai dengan aturan kebiasaan yang berlaku dan
dilaksanakan dengan cara cara yang benar. Pengaturan pengaturan tersebut
berasal dari pengajaran hukum yang diberikan oleh ahli- ahli hukum seperti
Cicero dan St Augustine. Mereka yang melakukan tindakan pelanggaran atas
hukum kebiasaan dan hukum Tuhan dari suatu bangsa disebut dan dikenal
kemudian sebagai kejahatan internasional
Era Pasca Perang Salib
Perkembangan tindak pidana internasional setelah perang salib diawali
dengan munculnya tindakan pembajakan di laut, yang dipandang sebagai
musuh semua bangsa karena telah merusak hubungan perdagangan antar
bangsa yang dianggap sangat penting pada masa itu, namun demikian
perang tetap merupakan tindakan yang dipandang tidak layak dan masih
dipersoalkan terutama dikalangan para ahli hukum dari berbagai bangsa yang
sudah maju pada masa itu.
Era Francisco de Vittoria 1480-1546
Era penjajahan disertai dengan penyebarluasan agama Kristen dengan caracara kekerasan dan kekejaman telah berkecamuk terutama yang telah
dilakukan oleh Kerajaan Spanyol terhadap penduduk pribumi Indian, pada
masa itu munculah seorang professor theologia, Francisco de Vittoria yang
memperingatkan kerajaan bahwa ancaman perang dan peperangan tidak
dapat dibenakan dengan alasan perbedaan agama, perluasan kerajaan dan
kemenangan yang bersifat pribadi sekalipun dengan alasan untuk self
defence, maka kerugian atau kekerasan sedapat-dapatnya diperkecil,

Pandangan dari Vittoria ini dapat dikatakan sebagai tonggak sejarah bagi
perkembangan hukum hukum pidana internasional pada masa yang akan
dating
Era Abad 16-18 ,pakar hukum Alberto Gentili, Francisco Suares, Samuel
Pufendorf dan Emerich de vattel dan Era Hugo de Groot, 1625
Perkembangan pesat tentang masalah perang di dalam sejarah hukum
internasional terjadi pada abad 16-18 ketika penulis-penulis terkenal seperti,
Alberto Gentili, Francisco Suarez, Samuel dan Emerich de Vattel telah
membahas dan mencari dasar-dasar hukum suatu peperangan. Namun
seorang tokoh yang terkenal pada masa itu adalah seorang ahli hukum
Belanda, Hugo Grotius yang telah menulis dan menerbitkan sebuah treatise
the Law of War and Peace in The Tree Books pada tahun 1625.

Pasal 227 Diktat Verssailles tidak dipatuhi


Perjanjian Versailes yang mengakhiri Perang Dunia I, ternyata dalam praktek
hukum Internasional tedak berhasil melaksanakan ketentuan pasal 227 yang
menetapkan antara lain penuntutan dan penjatuhan pidana atas pelaku
kejahatan perang.
Era 1920
Pada masa ini telah tampak adanya upaya pembentukan mahkamah pidana
internasional terutama setelah terbentuknya liga bangsa-bangsa, upaya ini
berasal dari sejumlah ahli hukum terkemuka antara lain Vespasien Pella,
Megalos Ciloyanni dan Rafael. Dukungan atas upaya tersebut juga
berdatangan dari perkumpulan masyarakat international.
Liga Bangsa-Bangsa, 1927
Liga bangsa-bangsa telah membuka era baru dalam sejarah hukum pidana
internasional dengan menetapkan bahwa perang agresi atau a war of
aggression merupakan internasional crime, bahkan pernyataan LBB tersebut
merupakan awal dari penyusunan kodifikasi dalam bidang hukum pidana
internasional. Namun demikian pada saat itu pembentukan suatu Mahkamah

Internasional yang dapat menetapkan telah terjadinya pelanggaran atas


kodifikasi tersebut masih belum secara serius diperbincagkan.
Era Pasca Perang Dunia II
Perang Dunia II telah melahirkan berbagai tindak pidana baru yang
merupakan pelanggaran atas perjanjian-perjanjian yang telah ditandatangani
di antara Negara anggota liga bangsa-bangsa. Pelanggaran pelanggaran
tersebut adalah dalam bentuk kekejaman yang tiada taranya serta
pelanggaran atas hukum perang yang tiada bandingnya oleh pihak tentara
jerman dan sekutunya, kejadian-kejadian itu telah memperkuat kehendak untk
mengajukan kembali gagasan pembentukan suatu Mahkamah Pidana
Internasional. Profesor Lauterpacht dan Hans Kelsen yang menegaskan
bahwa pembentukan mahkamah itu sangat penti untuk mengadili penjahat
perang dan sekaligus membawa akibat penting terhadap perbaikan perbaikan
di dalam hubungan internasional.
Nuremberg Trial 1946 (Nazi Jerman)
Jerman dibawah kepemimpinan Adolf Hitler memulai kancah perang dunia
kedua dengan menganeksasi Polandia pada September 1939, tepatnya
dikota Danzig litzkrieg, pada Tahun 1940, Hitle rmenaklukkan Denmark,
Norwegia, Belanda, Belgia dan Perancis. Tahun tersebut merupakan tahun
kemenagan NaziJerman. Dalam waktu yang bersamaan dengan perang
dunia kedua, bahkan jauh sebelumnya, Hitle rtelah melakukan genosida
terhadap bangsa Yahudi hamper diseluruh daratan Eropa.
Genosida yang dilakukan oleh Nazi Jerman selanjutnya dikenal dengan istilah
holocaust. Secara harafiah holocaust berart ideskripsi genosida yang
dilakukan terhadap kelompok-kelompok minoritas diEropa dan Afrika Utara
selama perang dunia kedua oleh Nazi Jerman
PBB Menetapkan perbuatan-perbuatan sebagai delicta juris gentium
Pada tahun 1947 masalah pembentukan Mahkamah Pidana Internasional
diserahkan kepada Internasioanal law Commision, yang terdiri dari kelompok
ahli hukum terkemuka dari seluruh Negara , yang dibentuk oleh PBB dan
bertugas menyusun suatu kodifikasi hukum internasional, bertitik tolak dari

pengalaman-pengalaman sebagai akibat peperangan, maka masayarakat


internasional melalui PBB telah sepakat dan menempatkan kejahatankejahatan yang dilakaukan semasa peperangan sebagai kejahatan yang
mengancam dan merugikan serta merusak tatanan kehidupan masyarakat
internasional, kejahatan-kejahatan itu antara lain agresi, kejahatan perang,
pembasmian etnis tertentu, pembajakan laut dll.
Resolusi PBB, 21 November 1947
Bahwa sampai dengan awal abad ke-20 hukum pidana internasional belum
memasyarakat dikalangan pakar-pakar hukum di Negara yang menganut
system hukum common law.
Pengakuan secara internasional terhadap pentingnya internasional criminal
law pertama kali terjadi melalui resolusi yang diajukan oleh Sidang Umum
Perserikatan

bangsa-bangsa

tanggal

21

November

1947,

resolusi

menghendaki dibentuknya suatu panitia kodifikasi hukum internasional.


Era Tokyo Trial 1948
Tanggal 23 Desember 1948, berdasarkan keputusan pengadilan internasional
di Tokyo, Jepang, tujuh orang pemimpin negara ini pada era Perang Dunia II,
menjalani hukuman mati. Pengadilan di Jepang ini merupakan lanjutan dari
pengadilan Nurenberg Jerman yang dilakukan untuk mengadili para penjahat
perang. Sebanyak 25 orang pejabat Jepang diadili dan 18 di antaranya
dijatuhi hukuman penjara. Hideki Toyo, Perdana Menteri Jepang pada era PD
II adalah pejabat tertinggi yang diadili di pengadilan internasional Jepang itu
dan dijatuhi hukuman mati.
Tuduhan yang dinisbatkan kepada para pejabat dan perwira Jepang tersebut
adalah, membunuh, menyiksa tawanan yang sakit dan tawanan sipil,
menjalankan kerja paksa, merampok barang-barang milik umum dan pribadi,
menghancurkan kota-kota dan pedesaan tanpa alasan militer, melakukan
pembunuhan massal, pemerkosaan, dan kejahatan barbarisme lainnya
terhadap warga sipil di negara- negara yang diduduki Jepang selama PD II.

BAB II
PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA INTERNANSIONAL
Masyarakat Internasional yang bergabung dalam wadah Perserikatan
bangsa-bangsa mengakui bahwa perkembangan tindak pidana lintas batas
territorial tersebut semakin mempertinggi tingkat kesulitan kerja sama antar
negara dalam pencegahan dan pemberantasanya, terutama jika dalam tindak
pidana tersebut melibatkan warga negara asing, hal ini disebabkan oleh
karena

pertanggung

jawaban

Suatu

negara

dalam

hukum

pidana

internasional belum terkoodifikasi dalam satu instrument hukum tersendiri,


pengaturanya masih berdasarkan prinsif prinsip perjanjian internasional
internasional dan kebiasaan kebiasaan internasional.
Berdasarkan hal tersebut pada tahun 1980 Komisi hukum internasional
PBB telah membuat suatu draf hukum pidana internasional yang di sebut Draf
articles yang sampai sekarang ini masih dalam proses munuju suatu Undangundang Hukum Pidana Internasional yang akan terkoodifikasi.
Hal terpenting dalam Draf articles tersebut adalah konsep pertangung
jawaban suatu negara akan suatu tindak pidana internasional, dan batasanbatasan hal yang bagai mana suatu perbuatan melawan hukum dapat di
kategorikan sebagai tindak pidana internasional, yang mencakup 4 perbuatan
yaitu :
1. Pelanggaran perdamaian dan keamanan
2. Hak menentukan nasib sendiri suatu bangsa
3. Hak asasi manusia.
4.

Pelanggaran

berat

terhadap

perlindungan

dan

pelestarian

lingkungan hidup.
Beberapa bentuk perbuatan melawan hukum internasional yang dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana internasional sebagai mana di atur dalam
draf

articles

sebenarnya

telah

terjadi

dalam

kehidupan

masyarakat

internasional, dan sudah ada bentuk sanksi dan lembaga yang melaksanakan
sanksinya. Kususnya pelanggaran pelanggaran di bidang keamanan dan
perdamaian dunia.
Sebagai pelanggaran berat terhadap perdamaian dan keamanan dunia
adalah perang agresi yang dilakukan oleh angkatan perang jerman dengan

ideology nazinya serta perang agresiyang di lakukan oleh tentara jepang dan
italia dengan ideology fasisnya.
Penerapan sanksi oleh masyarakat internasional tehadap perang
agresi yang di lakukan oleh jerman, italia dan jepang adalah dengan
memerangi ke 3 negara itu oleh tentara sekutu yang melahirkan perang dunia
ke II.
Sanksi Internasional juga pernah di terapkan terhadap korea utara
yang di maksut untuk menghentikan dan menghukum kore utara atas
penyerbuan terhadap korea selatan yang dibantu oleh tentara republic cina,
tindakan korea utara tersebut merupakan pelanggaran terhadap perdamaian
dan keamanan dunia, untuk hal tersebut, pasukan keamana PBB memerangi
korea utara sebagai bentuk perwujutan sanksi internasional.
Kasus irak dengan kuait, yaitu kasus invasi tentara irak pada tanggal 2
agustus 1980 yang menguasai tempat-tempat strategis di wilayah kuait, dan
menyatakan kuwait sebagai propinsi ke 19 .Dewan keamana PBB dengan
suara bulat segera menyerukan penarikan mundur pasukan irak dari wilayah
territorial Kuwait. Dan mengambil tindakan kekerasan tanpa senjata, maupun
tindakan kekerasan dengan menggunakan kekuatan senjata, kemudian pada
tgl 6 agustus 1980 memberikan sanksi perdagangan dan pengiriman barang,
dewan keamanan berupaya terus untuk mengembalikan kedaulatan ,
kemerdekaan dan integritas territorial Kuwait melalui beberapa resolusi yang
intinya menuntut irak segera menarik pasukanya tanpa syarat dari Kuwait.
Karena irak telah mengabaikan keputusan dewan keamanan untuk menarik
diri dari Kuwait, pada tanggal 29 November 1980, dewan keamanan
menjatuhkan sanksi militer berupa serangan laut , udara dan darat.
Menurut Bassiouni, hukum pidana internasional adalah cabang ilmu
hukum baru yang memiliki aspek (pidana) nasional dan aspek hukum
internasional, kedua aspek hukum tersebut bersifat komplementer satu sama
lain.
Perkembangan hukum pidana internasional mengakui asal usul yang
berasal dari 3 (tiga) sumber, yaitu pertama, ia berasal dari sejarah hukum
internasional itu sendiri dengan ditetapkannya pembajakn di laut (piracy)
sebagai kejahatan yang mengancam umat manusia (hostis humanis generis)

karena mengahncurkan arus lalu lintas perdagangan bahan sandang dan


pangan ke berbagai penjuru dunia. Kejahatan pembajakan merupakan
kejahatan pertama dalam sejarah hukum internasional yang diterima dan
diberlakukan prinsip jurisdiksi universal.
Sumber kedua berasal dari praktik berkembang dalam implementasi
hukum internasional (kebiasaan hukum internasional) yang dimulai dengan
proses pembentukan peradilan Nuremberg (1946) dan Peradilan Yugoslavia
(1992) dan untuk Rwanda (1993). Pembentukan Adhoc Tribunal terbaru telah
dilaksanakan untuk peradilan kejahatan genosida di Darfur (2006) dan untuk
peradilan genosida di Kamboja (2007).
Perkembangan baru yang dihasilkan dari pembentukan pengadilan
militer Nuremberg adalah munculnya prinsip hukum internasinoal baru dalam
menghadapi pelanggaran Hak Asasii Manusia yang berat (gross-violation of
human rights). Prinsip tersebut kemudia dikenal dengan prinsip Nuremberg.
Sejak lahirnya prinsip terebut, hukum internasional dalam urusan pencegahan
dan pemberantasan kejahatan internasional mengakui individu adalah subjek
hukum yang dapat diminta pertanggungjawaban pidana (criminal liable).
Prinsip Nuremberg merupakan solusi hukum untuk menghindari atau menolak
tanggung jawab pidana suatu Negara dalam peristiwa pelanggaran HAM
berat.
Sumber ketiga berasal dari perkembangan Hak Asasi Manusia.
PErkembangan sumber ketiga ini menggunakan prinsip non retroaktif dalam
proses beracara tidak berlaku mutlak, terbukti dengan dibentuknya Adhoc
Tribunal untuk memeriksa dan mengadili kasus kejahatan dalam yurisdiksi
ICC.
Pembentukan peradilan Nuremberg dan Tokyo telah memberikan
kontribusi penting dalam perkembangan hukum pidana internasional, baik
terhadap hukum pidana materil maupun dalam perkembangan hukum pidana
formil. Kontribusi penting dalam perkembangan hukum pidana materil yang
diterimaya konsep pertanggungjawaban pidana individual dalm hukum
internasional, dan konsep pertanggungjawaban komandan dan bawahan
yang tidak mengenal impunitas (non-impunity principle). Sedangkan dalam
hukum

pidana

formil,

ynag

diterimanya

prinsip

komplementaritas

(complementary principle) dalam hal pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah

Pidana INternasional ke dalam yursidiksi hukum nasional dengan segala


persyaratan-persyaratan yang melekat kepada prinsip tersebut.
Kontribusi kedua dalam hukum pidana formil adalah diakuinya prinsip
non-retroaktif untuk peradilan kasus kejahatan yurisdiksi ICC diperbolehkan
dengan pembentukan Mahkamah Adhoc seperti di bekas Yugoslavia,
Rwanda,

Darfur,

dihapuskannya

Kamboja,dan

asas

statute

of

Sierra

Leone.

limitation

bagi

Kontribusi
penuntutan

ketiga,
terhadap

pelanggaran HAM berat. Kontribusi keempat, yaitu penerapan asas non-bis in


idem bersifat terbatas.
Konsep pertanggngjawaban pidana individual dalam penerapan hukum
internasional merupakan terobosna besar dalam hukum internasional yang
selama ini hanya mengakui Negara dan Organisasi Internasional sebagai
subjek hukum internasional. Prinsip baru ini telah mellektakan dasar-dasar
pertanggungjawaban pidana dalam hukum internasional yang menempatkan
seorang individu sebagai subjek hukum internasional dalam kasus-kasus
kejahatan internasional atau disebut ratione personae par excellence dari
hukum pidana internasional.
KEberadaan

hukum

pidana

internasional

menghubungakn

dua

kepentingan yaitu hukum internasional dan kepentingan hukum nasional,


sehingga keduanya merupakan pasangan disiplin ilmu yang serasi dan saling
melengkapi.
Sebagai contoh, kasus ekstradisi Hendra Rahardja merupakan upaya
penegakan hukum pidana nasional (locus delicti di Indonesia, Hendra
Rahardja warga Negara Indonesia, kerugian diderita pemerintah Indonesia)
ke dalam hukum unternasional (hubungan antara pemerintah Indonesia dan
pemerintah Australia).
Proses peradilan tersebut diakui oleh resolusi perserikatan bangsabangsa menjadi suatu bagian dari aplikasi prinsip-prinsip hukum pidana
internasional. Dan memiliki arti penting yang khusus dalam perkembangan
hukum internasional yaitu mengakui bahwa yang menjadi subyek hukum
pidana internasional adalah individu dan negara, sedangkan arti penting
dalam perkembangan hukum Pidana nasional adalah di kesampingkanya
asas legalitas atau asas undang-undang tidak berlaku surut, dan di
kesampingkan alasan atas perintah atasan, hal ini menunjukkan bahwa asas-

asas atau prinsip-prinsip yang di anut dala hukum pidana nasional dalam halhal tertentu dapat di batasi oleh praktek hukum pidana internasional.
Perkembangan kualias tindak pidana atau kejahatan menunjukkan
bahwa batas-batas territorial antara suatu negara dengan negara lain baik
dalam satu kawasan atau berbeda kawasan semakin menghilang, pada saat
ini hampir dapat di pastikan bahwa semua jenis atau bentuk kejahatan tidak
dapat di pandang sebagai yuridiksi kriminal suatu negara, akan tetapi sering
di klaim sebagai yuridiksi lebih dari satu negara, yang dapat menimbulkan
konflik yuridiksi yang sangat menggangu terhadap hubungan internasional
antar negara yang berkepentingan dalam kasus tindak pidana tertentu yang
bersifat lintas batas territorial.

BAB III
KESIMPULAN
Pembahasan mengenai aspek hukum dan hukum internasional di
dalam kerangka pemikiran tentang hukum pidana internasional di dasarkan
pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
(1) Hukum pidana internasional sebagai sub-disiplin miliki dua sumber
hukum yaitu hokum yang berasal dari hukum pidana nasional dan hukum
internasional.
(2) Kedua sumber tersebut telah membentuk kepribadian ganda ini
tidak harus dipertantangkan, tetapi justru harus harus saling mengisi dan
melengkapi didalam menghadapi masalah kejahatan internasional.
(3) Salah satu perwujudan nyata dari suatu interaksi antara hukum
nasional dan hukum internasional terdapat pada lingkup pembahasan hokum
pidana internasional dengan objek studi tindak pidana yang bersifat transional
internasional.
(4)

Pembahasan

aspek

hukum

pidana

nasional

dan

hukum

internasional dalam lingkup hukum pidana internasional akan memberikan


landasan berpijak bagi analisis kritis di dalam membahas konsepsi dan
karaktereristik dari suatu tidak pidana internasional.
Lahirnya bebrapa Konvensi internasional yang menetapkan tindak
pidana tertentu sebagai tindak pidana internasional mengandung makna
dimulainya perjuangan untuk menegakkan hak dan kewajiban negara peserta
konvensi atas isi ketentuan yang dituangkan didalam konvensi internasional
tersebut.

Salah

diperkenankan

satu
adanya

kewajiban
reservation)

Negara

peserta

khususnya

bagi

(sekalipun
Indonesia

masih
ialah

memasukannya hasil konvensi dimaksud kedalam lingkungan nasional dalam


arti antara lain melaksanakan ritifikasi terlabih dahulu atas hasil konvensi,
sebelum di tuangkan dalam bentuk suatu undang-undang ksususnya
mengenai objek yang menjadi pembahasan di dalam konvensi tersebut.

You might also like