You are on page 1of 9

Diagnosis Banding

Pada awal perjalanan penyakit diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus, atau infeksi
parasit seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis, demam chikungunya, leptospirosis
dan malaria.
Idiopatic Trombositopenia Purpurae sulit dibedakan dengan DHF derajad II oleh karena
ditemukan demam disertai dengan perdarahan dibawah kulit.
Komplikasi
Encepalopati Dengue
Kelainan ginjal berupa gagal ginjal akut apabila terjadi pada fase terminal sebagai akibat dari
syok yang tidak teratasi dengan baik.
Udem paru
Dengue Shock Syndrome (DSS)
Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang utama, yang
berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat mengalami
syok dan sembuh kembali segera dalam 28 jam. Pada penderita SSD dengan tensi tak terukur dan
tekanan nadi <20 mmHg segera berikan cairan kristaloid sebanyak 20 ml/kg BB/jam selama 30
menit, bila syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kg BB.
Penggantian Volume Plasma Segera
Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat 20 ml/kg BB. Tetesan diberikan
secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai
BB ideal dan umur 10 mm/kg BB/jam, bila tidak ada perbaikan pemberian cairan kristaloid
ditambah cairan koloid. Apabila syok belum teratasi setelah 60 menit beri cairan kristaloid
dengan tetesan 10 ml/kg BB/jam bila tidak ada perbaikan stop pemberian kristaloid dan beri
cairan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg BB/jam. Pada umumnya pemberian koloid
tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal pemberian koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak
diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dan koloid syok
masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga sudah terjadi perdarahan; maka
dianjurkan pemberian tranfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap > tinggi, maka berikan
darah volume kecil (10 ml/kg BB/jam) dapat diulang sampai 30 ml/kg BB/24 jam. Setelah
keadaan klinis membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dan kadar
hematokrit.

Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume Plasma


Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membain dan kadar
hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam dan kemudian
disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-28 jam. Pemasangan CVP
yang ada kadangkala pada pasien SSD berat, saat ini tidak dianjurkan lagi.
Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun, dibandingkan nilai Ht
sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaan sirkulasi
membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam syok teratasi. Apabila
cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari
ekatravaskuler (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian cairan rumatan),
maka akan menyebabkan hipervolema dengan akibat edema paru dan gagal jantung. Penurunan
hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi
disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda vital
baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.
Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 lt/menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok. Dianjurkan
pemberian oksigen dnegan mempergunakan masker tetapi harus diingat pula pada anak
seringkali menjadi semakin gelisah apabila dipasang masker oksigen.
Monitoring
Tanda vital kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk menilai
hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah :
-

Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau lebih sering,
sampai syok dapat teratasi.
Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis pasien stabil.
Jumlah dan frekuensi diuresis.

Terapi Cairan Pada Demam


Berdarah Dengue
Posted on 09/06/2011 | Tinggalkan komentar

Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap
menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori
A dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001

yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat
DBD, khususnya pada anak. 1-3 Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada
tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk,
provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar
1,01% (2007).4-5 Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip
utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian cairan pengganti.6
Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan
pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif
dan efisien. Berbagai faktor kependudukan berpengaruh pada peningkatan dan
penyebaran kasus DBD,
antara lain:
1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi,
2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali,
3. Tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan
4. Peningkatan sarana transportasi.4
Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama kontrol vektor
nyamuk) harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi yang optimal pada
penderita DBD, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat
penyakit ini. Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip
utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian cairan pengganti. 6
Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan
pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif
dan efisien
Definisi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD.7

DBD adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue.
Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut
1. Demam tidak terdiferensiasi
2. Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama 2-7 hari,
ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri retroorbital,
mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan [petekie atau uji bendung
positif], leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan
pasien yang sudah dikonfirmasi menderita demam dengue/ DBD pada lokasi
dan waktu yang sama.
3. DBD (dengan atau tanpa renjatan)
Patogenesis
Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue adalah
hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan
hipotesis immune enhancement.
Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte, 1977 , sebagai akibat
infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik
pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan
menghasilkan titer tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi
limfosit juga menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue.Hal ini
mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi
sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti
dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan
dalam rongga serosa.9,10
Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak langsung
bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko
berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi herterolog yang telah ada
akan mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang
berikatan dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai
tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan
keadaan hipovolemia dan syok.9,10
Diagnosis

Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini
terpenuhi:2,5,9
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendungpositif;
petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis
kelamin.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:2,5,9
1. Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet.
2. Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdarahan
lain.
3. Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan
nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut
kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
4. Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah
trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai
gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai
pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai
mulai hari ke 3 demam.5 Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau

kecurigaan terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis


(PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan
adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin. Untuk membuktikan etiologi DBD,
dapat dilakukan uji diagnostic melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi
atau biologi molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai
bakuemas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga
laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 12 minggu), serta biaya yang
relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode
diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse
transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan
hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi
pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat
menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan yang saat ini banyak
digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti
dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai
minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai
terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai
hari ke 2.11 Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah
pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu
antigen nonstructural protein 1(NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel
yang terinfeksi virus Dengue. Masih terdapat perbedaan dalam berbagai literatur
mengenai berapa lama antigen NS1 dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan
mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi
sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau sampai
hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode
ELISA juga dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan
100%). Oleh karena berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan
deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer.11 Pemeriksaan
radiologis (foto toraks PA tegak lateral dekubitus kanan) dapat dilakukan untuk
melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan pada keadaan
perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks.Asites dan
efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.5,9
Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan
ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan
memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian
terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara
klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia
pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari
ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang

interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap


dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup
atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta
terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai. Terapi
nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang
berat) dan pemberian makanan dengan kandung-an gizi yang cukup, lunak dan tidak
mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi
simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis
untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi
nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran
cerna bagaian atas (lambung/duodenum).
Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD dewasa
mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5
kategori, sebagai berikut:
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok .
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat .
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa.
Adadua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada
penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan kedua
adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan
adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik
kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun koloid dapat diberikan.
WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DBD karena
dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebihmurah. Jenis
cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain
memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi,
tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.13 Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif.
Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah
edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi.12,13
Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah.
Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan menyebabkan efek
penambahan volume vascular hanya dalam waktu yang singkat sebelum

didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular) dengan


perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5
ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam ruang
interstisial. 14 Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan
penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi
yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan
bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik.15,16 Dibandingkan cairan kristaloid,
cairan koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu: pada jumlah volume yang sama
akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan
bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini,
diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik
terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan dengan
penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar.
Namun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi
yang rendah (contoh: hetastarch).15,16 Penelitian cairan koloid diban-dingkan
kristaloid pada sindrom renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter
stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding
pada kedua jenis cairan.17,18 Sebuah penelitian lain yang menilai efektivitas dan
keamanan penggunaan koloid pada penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2
di Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi. Jumlah cairan yang
diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran plasma yang terjadi serta
seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1
dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk mengganti
cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien
dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam;
sedangkan pada kebocoran plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan
sebanyak 1500-3000 ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD
dengan hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun
demikian, pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah
hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah jumlahcairan awal yang diberikan
sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu dilakukan
adalah kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan
kondisi hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau
tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil secara
bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil (lihat protokol
pada gambar 6 dan 7). Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara
adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin
dan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan
internal.
Kesimpulan

Demam berdarah dengue tetap menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia.
Dengan mengikuti kriteria WHO 1997, diagnosis klinis dapat segera ditentukan. Di
samping modalitas diagnosis standar untuk menilai infeksi virus Dengue,
antigen nonstructural protein 1 (NS1) Dengue, sedang dikembangkan dan
memberikan prospek yang baik untuk diagnosis yang lebih dini. Terapi cairan pada
DBD diberikan dengan tujuan substitusi kehilangan cairan akibat kebocoran plasma.
Dalam terapi cairan, hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah: jenis cairan,
jumlah serta kecepatan, dan pemantauan baik secara klinis maupun laboratories untuk
menilai respon kecukupan cairan.
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan
yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma
(intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang
intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi
jaringan lebihbaik dan hemodinamik terjaga lebih stabil.
Kepustakaan
1. Gibbons RV, Vaughn DW. Dengue: an escalating problem. BMJ 2002;324:1563-6
2. World Health Organization. Prevention and control of dengue and dengue
haemorrhagic fever: comprihensive guidelines.New Delhi, 2001.p.5-17

You might also like

  • Anastesi Inhalasi
    Anastesi Inhalasi
    Document23 pages
    Anastesi Inhalasi
    Anggri Septyan
    100% (1)
  • Sdsdsds
    Sdsdsds
    Document136 pages
    Sdsdsds
    JesslynAdytiaSoesilo
    No ratings yet
  • Fhgshy
    Fhgshy
    Document2 pages
    Fhgshy
    JesslynAdytiaSoesilo
    No ratings yet
  • Sdsdsds
    Sdsdsds
    Document136 pages
    Sdsdsds
    JesslynAdytiaSoesilo
    No ratings yet
  • Case Yuwono
    Case Yuwono
    Document31 pages
    Case Yuwono
    JesslynAdytiaSoesilo
    No ratings yet
  • Case Ca Mammae
    Case Ca Mammae
    Document31 pages
    Case Ca Mammae
    JesslynAdytiaSoesilo
    No ratings yet
  • Case Ujian Jes
    Case Ujian Jes
    Document9 pages
    Case Ujian Jes
    JesslynAdytiaSoesilo
    No ratings yet
  • ANESTESI REGIONAL
    ANESTESI REGIONAL
    Document30 pages
    ANESTESI REGIONAL
    JesslynAdytiaSoesilo
    No ratings yet
  • Cover Case Bedah
    Cover Case Bedah
    Document2 pages
    Cover Case Bedah
    JesslynAdytiaSoesilo
    No ratings yet
  • Case Ca Mammae
    Case Ca Mammae
    Document31 pages
    Case Ca Mammae
    JesslynAdytiaSoesilo
    No ratings yet
  • Case Ca Mammae
    Case Ca Mammae
    Document31 pages
    Case Ca Mammae
    JesslynAdytiaSoesilo
    No ratings yet
  • Ca Mammae
    Ca Mammae
    Document8 pages
    Ca Mammae
    JesslynAdytiaSoesilo
    No ratings yet
  • Ca Mammae
    Ca Mammae
    Document8 pages
    Ca Mammae
    JesslynAdytiaSoesilo
    No ratings yet
  • Dss
    Dss
    Document14 pages
    Dss
    JesslynAdytiaSoesilo
    No ratings yet
  • Hernia
    Hernia
    Document8 pages
    Hernia
    JesslynAdytiaSoesilo
    No ratings yet
  • Hematemesis Melena
    Hematemesis Melena
    Document11 pages
    Hematemesis Melena
    JesslynAdytiaSoesilo
    No ratings yet
  • BATU EMPEDU
    BATU EMPEDU
    Document171 pages
    BATU EMPEDU
    JesslynAdytiaSoesilo
    No ratings yet
  • Jurnal Glenn
    Jurnal Glenn
    Document23 pages
    Jurnal Glenn
    JesslynAdytiaSoesilo
    No ratings yet
  • Phantom Jesslyn
    Phantom Jesslyn
    Document4 pages
    Phantom Jesslyn
    JesslynAdytiaSoesilo
    No ratings yet
  • Phantom Jesslyn
    Phantom Jesslyn
    Document4 pages
    Phantom Jesslyn
    JesslynAdytiaSoesilo
    No ratings yet