You are on page 1of 40

Case Report Secsion

PARKINSON DISEASE

Oleh:
Nama

: Rizka Aganda Fajrum

No BP

: 0910312084
Preseptor:

dr. Meiti Frida, SpS(K)


dr. Hendra Permana, SpS(K)

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUD DR M DJAMIL
PADANG
2015

BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
1.1.

Pendahuluan(1)
Penyakit parkinson pertama kali diuraikan dalam sebuah monograf oleh

James Parkinson seorang dokter di London, pada tahun 1817, yang menyatakan
bahwa penyakit tersebut memiliki gejala yang khas, yaitu shaking hand (tremor),
kekakuan, dan gangguan cara berjalan (gait difficulty). Pada tahun 1817, dalam
tulisannya yang berupa buku kecil An essay on the shaking palsy, James
Parkinson untuk pertama kalinya mendeskripsikan gejala gejala klinik dari suatu
sindrom, yang pada nantinya sindrom tersebut dinamakan sesuai dengan namanya
sendiri. Pada saat itu dia berhasil mengidentifikasi 6 (enam) kasus, dimana 3
diantara kasus tersebut diperiksa sendiri olehnya, dan 3 lainnya hanya melalui
observasi di kota London. James Parkinson sendiri menggunakan istilah paralisis
agitans, yang oleh Charcot pada abad ke 19 menjulukinya sebagai maladie de
Parkinson atau Parkinsons Disease (PD). Charcot juga berhasil mengenali
bentuk non-tremor dari PD dan secara benar mengemukakan bahwa kelambanan
gerakan harus dibedakan dari kelemahan atau pengurangan kekuatan otot..
Lebih dari 100 tahun kemudian (1919), setelah deskripsi yang dikemukakan oleh
Parkinson, sebelum diketahui bahwa pasien dengan PD kehilangan sel-sel di
substansia nigra, dan 140 tahun (1957) sebelum dopamine diketemukan sebagai
putative neurotransmitter oleh Carlsson dan koleganya di Lund, Swedia.
Penemuan oleh Ehringer dan Hornykiewicz pada tahun 1960 yang menyatakan
bahwa konsentrasi dopamine menurun secara tajam di striatum pasien dengan PD.
Hal tersebut merintiskan jalan pada dilakukannya percobaan pertama penggunaan
levodopa pada pasien dengan PD. Penggunaan levodopa tersebut kemudian
mengantarkan Carlsson mendapatkan Nobel Prize in Medicine pada tahun 2000
Kemampuan levodopa secara injeksi dalam memperbaiki akinesia pada
pasien dengan PD, untuk pertama kali didemonstrasikan pada tahun 1961
kemudian diikuti oleh pengembangan levodopa dalam bentuk oral di tahun
tahun berikutnya. Baru-baru ini ditemukan keterlibatan faktor mutasi genetik,
akumulasi protein dan fosforilasi protein, peningkatan stress oksidatif, disfungsi
1

mitokondria, inflamasi dan mekanisme patogenik lainnya telah berhasil


diidentifikasi sebagai faktor kontribusi dalam kematian sel dopaminergik dan nondopaminergik dalam otak pasien dengan PD.
1.2.

Definisi
Parkinson Disease (PD) merupakan suatu kelainan neurologi yang bersifat

kronik progresif, ditandai dengan adanya kelainan dari segi fungsi motorik dan
non-motorik dalam berbagai derajat (kronik progresif movement disorder). Secara
neuropatologi Parkinson disease ditandai oleh berkurangnya neuromelanin yang
mengandung neuron dopaminergik di substansia nigra pars kompakta, dengan
terdapatnya eosinofil, intracytoplasmik, inklusi protein, yang disebut sebagai
Lewy bodies. Sel-sel yang masih ada akan tampak menciut dan bervakuola.(1,2)
Dalam sejarah terdahulu, Parkinson disease (PD) didefinisikan sebagai
kelainan neurologi yang diyakini lebih mengenai fungsi motorik. Namun pada
saat ini, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, PD lebih dikaitkan pada
terdapatnya defisit fungsi kognitif, dimana demensia merupakan defisit kognitif
yang paling sering dijumpai.(2)
Hingga saat ini diagnosis dari PD didasarkan pada kriteria klinik, karena
belum adanya test definitif dalam menegakkan diagnosis PD. Resting tremor,
bradikinesia, rigidity, dan postural instability secara umum merupakan tandatanda pokok dari PD dan merupakan suatu disfungsi motorik. Adanya tanda
tanda spesifik tersebut diatas merupakan hal yang dapat membedakan PD dengan
parkinsonian disorder (parkinsonism). Kriteria klinik lain pada PD termasuk
gejala motorik sekunder; seperti hypomimia, disartria, disfagia, sialorhoea,
mikrografia, shuffling gait, festination, freezing. distonia, glabela reflek. Gejala
non-motorik; disfungsi otonom, defisit kognitif dan neurobehavioral, gangguan
tidur, abnormalitas dari fungsi sensorik seperti anosmia, parestesia dan nyeri (1,2)
Ketiadaan resting tremor, sikap/cara berjalan yang terganggu, instabilitas
postural,

demensia,

halusinasi

dan

adanya

gangguan

fungsi

otonom,

oftalmoparesis, ataxia dan gejala atypical lainnya, disertai respon terhadap


levodopa yang tidak baik dan tidak memuaskan, memberi kesan diagnosis lain
diluar PD. Pengertian secara cermat, tepat dan luas dalam terhadap manifestasi

klinis PD merupakan hal yang mendasar dalam menegakkan diagnosis. Mutasi


genetik atau variannya, abnormalitas dalam neuroimaging dan tes lainnya
merupakan

biomarker

potensial

dalam

mengembangkan

diagnosis

dan

mengidentifikasi resiko yang dialami pasien.(1)


Medikasi yang ada saat ini, hanya mengobati gejala yang timbul dan gagal
untuk menghentikan kematian sel-sel neuron dopaminergik. Halangan terbesar
dalam pengembangan terapi neuroprotektif adalah keterbatasan dalam memahami
proses penyakit yang berperan dalam kematian neuron dopaminergik. Sementara
etiologi dari kematian neuron dopaminergik masih sukar untuk dipahami.
Kombinasi dari kerentanan genetic dan faktor lingkungan, tampaknya memiliki
peranan yang penting.(2)
1.3.

Epidemiologi(3)
Parkinson disease tersebar luas diseluruh dunia, dapat mengenai seluruh

ras, baik pria maupun wanita dalam perbandingan yang hampir sama, dan
kecenderungan penyakit pada pria. Prevalensi meningkat secara tajam pada
kisaran usia 65 hingga 90 tahun; kurang lebih 0,3% dari seluruh populasi dan 3%
manusia dengan usia diatas 65 tahun terkena Parkinson disease. 5-10% pasien PD,
memiliki gejala pada usia kurang dari 40 tahun (varietas ini diklasifikasikan
sebagai young-onset Parkinsons disease atau PD yang terjadi pada usia muda).
Insidensi terendah terdapat pada populasi Asia dan kulit hitam Afrika.
Sedangkan insidensi tertinggi didapatkan pada kaum kulit putih. Kulit hitam
Afrika memiliki insidensi yang lebih rendah dibandingkan kulit hitam Amerika;
meskipun demikian prevalensi terdapatnya Lewy bodies dalam jaringan otak ras
Nigeria, tampak sama dengan populasi ras kulit putih Amerika. Pola ini
memberikan kecenderungan bahwa perkembangan Parkinsons disease adalah
global dan menyeluruh, namun faktor lingkungan memiliki peranan penting dalam
menimbulkan penyakit ini. Secara umum lingkungan pedesaan -walaupun tidak
selalu- memiliki keterkaitan tersendiri terhadap peningkatan resiko terjadinya PD.
1.4.

Etiologi dan Patogenesis

Penyebab penyakit parkinson belum diketahui. Terdapat berbagai dugaan


diantaranya infeksi virus yang non konvensional (belum diketahui) dan reaksi
abnormal terhadap virus yang sudah umum. Namun dari penelitian eksperimental
faktor lingkungan memiliki peranan penting terjadinya penyakit parkinson.
Resiko parkinson meningkat pada pemaparan pestisida (paraquat, organoklorin,
karbamat), pemaparan pada logam (timbal dengan besi, besi dengan tembaga).
Berbagai macam usaha telah dilakukan untuk mengungkap etiologi PD,
sejak pertamakali penyakit ini ditemukan di tahun 1817. Hingga saat ini, pengaruh
faktor herediter masih merupakan kontroversi. Bagaimanapun, mutasi genetik
menurut hukum Mendel dalam PD menegaskan peranan genetik dalam
perkembangan penyakit ini. Beberapa lokus genetik telah dapat diidentifikasi,
diantaranya PARK 1, 2, 6, 7 dan 8, dan lokus genetik tersebut memiliki dasar
pathogenesis penyakit.(3)
Banyak fakta yang menyatakan tentang keberadaan disfungsi mitokondria
dan kerusakan metabolism oksidatif dalam pathogenesis Parkinson disease.
Keracunan MPTP (1 methyl, 4 phenyl, 12,3,6 tetrahydropyridine) dimana MPP+
sebagai toksik metabolitnya, pestisida dan limbah industri ataupun racun
lingkungan lainnya, menyebabkan inhibisi terhadap komplek I (NADHubiquinone oxidoreduktase) rantai electron-transport mitokrondria, dan hal
tersebut memiliki peranan penting terhadap kegagalan dan kematian sel. Pada PD,
terdapat penurunan sebanyak 30-40% dalam aktivitas komplek I di substansia
nigra pars kompakta. Seperti halnya kelainan yang terjadi pada jaringan lain,
kelainan di substansia nigra pars kompakta ini menyebabkan adanya kegagalan
produksi energi, sehingga mendorong terjadinya apoptosis sel.(3)
Dalam keadaan normal, terdapat sebuah regulasi yang ketat dalam
produksi dan pembuangan beberapa oxidant yang dihasilkan dari metabolism sel
neuron. Termasuk didalamnya hydrogen peroksida, superoksida, radikal
peroksida, nitric oxide, dan hidroksi radikal. Molekul-molekul ini bereaksi dengan
asam nukleat, protein, lemak dan molekul lainnya sehingga terjadilah perubahan
struktur

molekul

yang

mengakibatkan

kerusakan

sel.

Beberapa

fakta

mengemukakan bahwa pada PD, terdapat kelebihan oksigen reaktif dan


peningkatan stress oksidatif. Adanya peningkatan zat besi yang terdeteksi pada

substansia nigra asien dengan PD meyakinkan pentingnya peranan stress oksidatif


dalam pathogenesis PD. Menariknya, peningkatan zat besi dan berkurangnya
aktivitas komplek I tidak ditemukan dalam otak pasien dengan Lewy body
disease, yang kemudian memberi kesan bahwa telah terjadi perubahan sekunder
lainnya dalam jaringan tersebut.(3)
Metabolime dopamine endogen ternyata juga menyebabkan peningkatan
produksi racun yang mempertinggi terjadinya stress oksidatif pada pasien dengan
PD. Kemungkinan ini pada akhirnya menimbulkan kecemasan tersendiri terhadap
terapi dengan levodopa, yang pada akhirnya levodopa ini akan dikonversi menjadi
dopamine, yang pada mekanisme lebih lanjut akan mempercepat kematian sel
neuron dalam pars kompakta substansia nigra. Tentu saja, argument ini merupakan
salah satu penyebab penundaan pemakaian levodopa pada pasien PD. Walaupun
bukti nyata dari berbagai penelitian mengenai efek toksik levodopa masih
diperdebatkan dan obsevasi klinik terhadap manusia tanpa PD, namun diberi
terapi dengan levodopa, tidak menampakkan timbulnya toksisitas. Pengembangan
percobaan penyakit Parkinson melalui penggunaan MPTP terhadap makhluk
primata menciptakan pandangan terbaru dalam suatu strategi terapi. Pada binatang
percobaan pada akhirnya berkembang suatu sindroma Parkinson tipikal, yang
ditandai dengan hilangnya sel dopaminergik di substansia nigra dan ditemukanny
aktivitas spontan yang abnormal (gerakan involunter abnormal) serta respon
abnormal sensorimotor dari neuron di basal ganglia. Dasar dari penelitian tersebut
dihubungkan oleh adanya defisiensi dopamine yang menyebabkan peningkatan
aktivitas

inhibisi

terhadap

-aminobutyric

acid

(GABA)-penggunaannya

(GABAergic) di nucleus basal ganglia, segment dalam globus pallidus, dan pars
retikulata substansia nigra. Peningkatan aksi dari 2 struktur terakhir di atas
setidaknya dapat dibangkitkan melalui 2 mekanisme; pengurangan inhibisi
GABAergik secara langsung berasal dari striatum (nucleus caudatus dan putamen)
dan eksitasi yang berlebihan melalui mekanisme tidak langsung, yang terdiri dari
2 hubungan neuron penghambat, pertama dari striatum ke segmen externa globus
pallidus dan kedua berasal dari segmen nucleus subtalamicus. Nucleus
subtalamicus membangkitkan segment internal globus pallidus dan pars retikulata
substansia nigra melalui neurotransmitter glutamate. (3)

1.5.

Klasifikasi
Parkinson berdasarkan gejala, dapat dibagi atas 3 bagian besar :

1. Primer atau paralisis agitans


Bentuk sindrom parkinson yang kronis yang paling sering dijumpai yang
disebut juga paralisi agitans. Kira-kira 7-8 kasus parkinson termasuk jenis ini
2. Sekunder atau simptomatis
Penyebabnya belum diketahui. Beragam kelainan atau penyakit dapat
menyebabkan sindrom parkinson adiantaranya arteriosklerosis, anoksia, obatobatan, zat toksik, penyakit infeksi diotak.
3. Parkinson plus
Gejala parkinson hanya merupakan sebagian dari gambaran penyakit
keseluruhan.
1.6.

Patofisiologi
Dua hipotesis yang disebut juga sebagai mekanisme degenerasi neuronal

ada penyakit Parkinson ialah: hipotesis radikal bebas dan hipotesis neurotoksin
1.

Hipotesis radikal bebas


Diduga bahwa oksidasi enzimatik dari dopamine dapat merusak neuron

nigrotriatal, karena proses ini menghasilkan hidrogren peroksid dan radikal oksi
lainnya. Walaupun ada mekanisme pelindung untuk mencegah kerusakan dari
stress oksidatif, namun pada usia lanjut mungkin mekanisme ini gagal.
2.

Hipotesis neurotoksin
Diduga satu atau lebih macam zat neurotoksik berperan pada proses

neurodegenerasi pada Parkinson. Pandangan saat ini menekankan pentingnya


ganglia basal dalam menyusun rencana neurofisiologi yang dibutuhkan dalam
melakukan gerakan, dan bagian yang diperankan oleh serebelum ialah
mengevaluasi informasi yang didapat sebagai umpan balik mengenai pelaksanaan
gerakan. Ganglia basal tugas primernya adalah mengumpulkan program untuk
gerakan, sedangkan serebelum memonitor dan melakukan pembetulan kesalahan
yang terjadi seaktu program gerakan diimplementasikan. Salah satu gambaran dari
gangguan ekstrapiramidal adalah gerakan involunter. Dasar patologinya
mencakup lesi di ganglia basalis (kaudatus, putamen, palidum, nukleus
subtalamus) dan batang otak (substansia nigra, nukleus rubra, lokus seruleus).

Secara sederhana , penyakit atau kelainan sistem motorik dapat dibagi sebagai
berikut:
1. Piramidal: kelumpuhan disertai reflek tendon yang meningkat dan reflek
superfisial yang abnormal
2. Ekstrapiramidal: didomonasi oleh adanya gerakan-gerakan involunter
3. Serebelar: ataksia alaupun sensasi propioseptif normal sering disertai
nistagmus
4. Neuromuskuler: kelumpuhan sering disertai atrofi otot dan reflek tendon yang
menurun
Pada penyakit Parkinson terjadi degenerasi sel-sel neuron yang meliputi
berbagai inti subkortikal termasuk di antaranya substansia nigra, area ventral
tegmental, nukleus basalis, hipotalamus, pedunkulus pontin, nukleus raphe dorsal,
locus cereleus, nucleus central pontine dan ganglia otonomik. Beratnya kerusakan
struktur ini bervariasi. Pada otopsi didapatkan kehilangan sel substansia nigra dan
lokus cereleus bervariasi antara 50% - 85%, sedangkan pada nukleus raphe dorsal
berkisar antara 0% - 45%, dan pada nukleus ganglia basalis antara 32 % - 87 %.
Inti-inti subkortikal ini merupakan sumber utama neurotransmiter. Terlibatnya
struktur ini mengakibatkan berkurangnya dopamin di nukleus kaudatus
(berkurang sampai 75%), putamen (berkurang sampai 90%), hipotalamus
(berkurang sampai 90%). Norepinefrin berkurang 43% di lokus sereleus, 52% di
substansia nigra, 68% di hipotalamus posterior. Serotonin berkurang 40% di
nukleus kaudatus dan hipokampus, 40% di lobus frontalis dan 30% di lobus
temporalis, serta 50% di ganglia basalis. Selain itu juga terjadi pengurangan
nuropeptid spesifik seperti met-enkephalin, leu-enkephalin, substansi P dan
bombesin.
Perubahan neurotransmiter dan neuropeptid menyebabkan perubahan
neurofisiologik yang berhubungan dengan perubahan suasana perasaan. Sistem
transmiter yang terlibat ini menengahi proses reward, mekanisme motivasi, dan
respons terhadap stres. Sistem dopamin berperan dalam proses reward dan
reinforcement. Febiger mengemukakan hipotesis bahwa abnormalitas sistem
neurotransmiter

pada

penyakit

Parkinson

akan

mengurangi

keefektifan

mekanisme reward dan menyebabkan anhedonia, kehilangan motivasi dan apatis.

Sedang Taylor menekankan pentingnya peranan sistem dopamin forebrain dalam


fungsi-fungsi tingkah laku terhadap pengharapan dan antisipasi. Sistem ini
berperan dalam motivasi dan dorongan untuk berbuat, sehingga disfungsi ini akan
mengakibatkan ketergantungan yang berlebihan terhadap lingkungan dengan
berkurangnya keinginan melakukan aktivitas, menurunnya perasaan kemampuan
untuk mengontrol diri. Berkurangnya perasaan kemampuan untuk mengontrol diri
sendiri dapat bermanifestasi sebagai perasaan tidak berguna dan kehilangan harga
diri. Ketergantungan terhadap lingkungan dan ketidakmampuan melakukan
aktivitas akan menimbulkan perasaan tidak berdaya dan putus asa. Sistem
serotonergik berperan dalam regulasi suasana perasaan, regulasi bangun tidur,
aktivitas agresi dan seksual. Disfungsi sistem ini akan menyebabkan gangguan
pola tidur, kehilangan nafsu makan, berkurangnya libido, dan menurunnya
kemampuan konsentrasi. Penggabungan disfungsi semua unsur yang tersebut di
atas merupakan gambaran dari sindrom klasik depresi.
Adanya penurunan kadar dopamin akibat terjadinya kematian neuron di
pars kompakta substansia nigra sebesar 40-50% dan disertai adanya inklusi
sitoplasmik eosinofilik (lewy bodies) secara umum dinyatakan sebagai mekanisme
yang mendasari penyakit parkinson. Degenerasi neuron yang mengandung
neuromelanin di dalam batang otak khususnya substansia nigra yang terlihat lebih
pucat merupakan lesi primer pada penyakit parkinson. Dalam kondisi fisiologis,
pelepasan dopamin dari ujung saraf nigrostriatum akan menstimulus reseptor D1
(eksitatorik) dan reseptor D2 (inhibitorik) yang berada di dendrit output neuron
striatum. Output dari stimulus tersebut disalurkan ke globus palidus segmen
interna atau substansia nigra pars retikularis melalui jalur direk reseptor D1, dan
jalur indrek reseptor D2. Apabila output tersebut seimbang, maka kelainan
gerakan tidak akan terjadi. Pada penyakit parkinson, tidak ada stimulus terhadap
reseptor tersebut. Penyakit parkinson belum akan muncul sampai neuron
dopaminergik rusak 50%, dan atau terjadi penurunan kadar dopamin sekitar 80%.
Reseptor D1 yang eksitatorik tidak terstimulus, sehingga jalur direk dengan
neurotransmitter GABA (inhibitorik) tidak teraktifasi, dan akibat reseptor D2 yang
tidak terstimulus, jalur indirek dari putamen ke globus palidus segmen eksterna
yang GABAnergik tidak ada yang menghambat, sehingga terjadi peningkatan

aktifitas inhibitorik terhadap globus palidus segmen eksterna. Fungsi inhibisi dari
neuron GABAnergik globus palidus segmen eksterna ke nukleus subtalamus
melemah, dan kegiatan neuron subtalamikus meningkat akibat adanya inhibisi.
Terjadinya peningkatan output nukleus subtalamikus ke globus palidus segmen
interna/ substansia nigra pars retikularis melalui neuron glutaminergik yang
bersifat eksitatorik menyebabkan terjadinya peningkatan kegiatan neuron di
globus palidus. Keadaan ini diperkuat oleh adanya kelemahan fungsi inhibitorik
dari jaras direk, sehingga output ganglia basalis ke talamus menjadi berlebihan.
Saraf aferen globus palidus segmen interna ke talamus merupakan GABAnergik
sehingga aktivitas talamus tertekan, yang berakibat stimulus talamus ke korteks
melalui neuron glutamanergik menurun, sehingga output korteks motorik ke
neuron motorik medulla spinalis melemah, dan terjadi hipokinesia.

Gambar 1 Neuropathology of Parkinsons Disease

1.7.

Manifestasi Klinis
Hingga saat ini, terdapat beberapa skala penilaian untuk menilai dan

mengevaluasi adanya disfungsi motorik pada pasien penyakit Parkinson. Namun


sebagian besar dari skala penilaian tersebut, tidak memiliki hasil yang valid dan
tidak sepenuhnya dapat dipercaya. Skala menurut Hoehn dan Yahr merupakan
skala penilaian yang paling sering digunakan untuk menggambarkan progresifitas
penyakit. Skala ini mempunyai range mulai stadium 0 (tidak tampak tanda-tanda
9

penyakit) hingga stadium 5 (tinggal di kursi roda wheelchair bound atau hanya
bisa berbaring di tempat tidur dan memerlukan asisten untuk beraktivitas).
UPDRS (The Unified Parkinsons Disease Rating Scale) sejauh ini merupakan
skala terbaik yang dikembangkan penggunaannya untuk memperkirakan dan
menilai gangguan dan kecacatan yang mungkin timbul.(1)
Adapun gejala klinik yang sering timbul pada penyakit Parkinson,
diantaranya:
1.

Bradikinesia(1,5)
Bradikinesia berarti kelambanan dalam pergerakan dan merupakan manifestasi
klinik penyakit Parkinson yang karakteristik, meskipun bradikinesia juga
dapat dijumpai pada penyakit lain, termasuk depresi. Bradikinesia merupakan
hal yang patognomonik, yang menunjukkan kerusakan pada basal ganglia,
yang meliputi kesulitan dalam merencanakan dan menyelenggarakan gerakan,
memulai gerakan dan kesulitan dalam melaksanakan gerakan secara simultan.
Manifestasi awal sering diawali dengan kelambanan dalam melakukan
aktifitas sehari-hari (ADL)dan perlambatan pergerakan serta respon time yang
menurun. Hal ini termasuk kesulitan dalam melakukan gerak motorik halus
seperti membuka kancing baju, dan menggunakan perkakas. Manifestasi lain
bradikinesia adalah hilangnya pergerakan dan langkah spontan, air liur yang
menetes dikarenakan gangguan menelan, monotonic dan hipofonik disartria,
kehilangan ekspresi wajah (hipomimia) dan penurunan kedipan mata,
pengurangan ayunan tangan sehingga cara berjalan tidak lagi melenggang.
Bradikinesia merupakan gejala dari penyakit Parkinson yang paling mudah
untuk dikenali, dan mungkin terlihat jelas walaupun belum dilakukan
pemeriksaan neurologis. Pada bradikinesia juga dapat ditemukan gejala
tambahan seperti gerakan cepat, berulang, pergerakan tangan bergantian
(ketukan jari, menggenggan-genggam tangan, pronasi-supinasi tangan). Serta
ketukan tumit tidak hanya lambat tetapi juga amplitudo yang melemah.
Seperti halnya yang tampak dalam gejala parkinsonian yang lain, bradikinesia
bergantung pada keadaan emosional pasien. Sebagai contoh, pasien yang
sedang diam dan dalam keadaan tidak tertekan mungkin akan dapat
melakukan suatu pergerakan yang cepat seperti menangkap bola (atau

10

mungkin dapat berlari jika seseorang meneriakkan kebakaran). Fenomena


ini (kinesia paradoxica) menunjukkan bahwa pasien dengan penyakit
Parkinson memiliki fungsi motorik yang utuh dan tidak terganggu, namun
memiliki kesulitan dalam memulai gerakan tanpa pencetus dari luar, seperti
suara keras, musik keras, atau isyarat visual yang meminta penderita untuk
melintasi rintangan.
Meskipun patofisiologi dari bradikinesia masih belum dapat digambarkan
dengan baik, gejala ini tetap menjadi gejala utama yang mengemukakan kaitan
penyakit dengan tingkat defisiensi dopamine. Hal ini didukung dengan
dilakukannya observasi terhadap penurunan jumlah neuron di substansia nigra
pada pasien usia tua dengan gejala parkinsonism yang akhirnya di diagnose
sebagai penyakit Parkinson. Disamping itu, positron emission tomografi pada
pasien dengan penyakit Parkinson menunjukkan penurunan pengambilan Ffluorodopa di striatum dan accumbens-caudate komplek yang proporsional
(berbanding lurus) dengan derajat keparahan bradikinesia. Secara hipotesa
dikatakan bahwa bradikinesia merupakan gangguan pada aktifitas normal
korteks motorik yang disebabkan karena penurunan dopamine. Studi
fungsional neuroimaging juga memperlihatkan adanya gangguan penerimaan
pada sistem kortikal dan subkortikal yang meregulasi parameter pergerakan
(misalnya; kecepatan). Sebaliknya, penerimaan dari berbagai area premotor
seperti kontrol visuomotor meningkat. Secara anatomi, defisit yang terjadi
berlokasi di putamen dan globus pallidus, yang menyebabkan penurunan
produksi

tenaga

otot

dalam

permulaan

gerakan.

Analisis

melalui

elektromiografi menunjukkan bahwa pasien dengan bradikinesia tidak dapat


menyediakan tenaga yang cukup untuk memulai suatu gerakan dan
mempertahankan kecepatan gerakan tersebut. Karena pasien dengan penyakit
Parkinson memiliki penurunan dalam aktifitas elektromiografi, maka mereka
memerlukan pencetus agonis multipel untuk menyelesaikan serangkaian
pergerakan.
2.

Tremor (1,5)
Tremor saat istirahat Rest tremor merupakan gejala tersering dan mudah
dikenali pada penyakit Parkinson. Tremor bersifat unilateral, dengan frekuensi

11

antara 4 sampai 6 Hz, dan hampir selalu terdapat di extremitas distal. Tremor
pada tangan digambarkan sebagai gerakan supinasi-pronasi (pill-rolling)
yang menyebar dari satu tangan ke tangan yang lain. Resting tremor pada
pasien penyakit Parkinson juga dapat mengenai bibir, dagu, rahang dan
tungkai. Namun,tidak seperti tremor pada umumnya, tremor pada penyakit
Parkinson jarang mengenai leher atau kepala dan suara. Karakteristik resting
tremor adalah, tremor akan menghilang ketika penderita melakukan gerakan,
juga selama tidur. Beberapa pasien mengatakan adanya internal tremor yang
tidak dikaitkan dengan tremor yang terlihat. Beberapa pasien dengan penyakit
Parkinson memiliki riwayat tremor postural, yang dapat diidentikkan dengan
tremor essential, selama beberapa tahun atau dekade sebelum onset
parkinsonian tremor atau gejala lain penyakit Parkinson timbul. Beberapa
pasien penyakit Parkinson juga memiliki postural tremor yang dirasa lebih
utama dan lebih mengganggu dibandingkan resting tremor dan mungkin
merupakan manifestasi awal penyakit. Parkinson dengan adanya postural
tremor (re-emergent tremor), berbeda dari tremor essential dimana tremor
menghilang

setelah

pasien

membentangkan

tangannya

dalam

posisi

horizontal. Karena re-emergent tremor terjadi dalam frekuensi yang sama


seperti halnya resting tremor, dan juga memiliki respon terhadap terapi dengan
obat-obatan dopaminergik, maka re-emergent tremor dapat dianggap sebagai
varian dari resting tremor. Ada beberapa petunjuk dalam mendiagnosa tremor
essential pada pasien dengan penyakit Parkinson. Termasuk didalamnya
adalah anamnesa mengenai lamanya tremor terjadi, riwayat keluarga dengan
tremor, tremor pada region kepala dan suara, dan tremor yang tidak berhenti
dengan dilakukannya pembentangan kedua tangan di depan tubuh ke arah
horizontal, ada tidaknya rasa gemetar saat menulis dan memilin, juga adanya
tremor yang bertambah dengan konsumsi alcohol dan beta bloker. Dalam
perjalan penyakit Parkinson, keberadaan resting tremor bervariasi pada setiap
pasien. Dalam salah satu studi, Hughes dan koleganya melaporkan bahwa
69% pasien penyakit Parkinson memiliki resting tremor saat onset penyakit
dan 75% pasien penyakit Parkinson baru memiliki tremor pada perjalanan
penyakit. Tremor juga dilaporkan tidak dijumpai pada 9% pasien penyakit

12

Parkinson tahap kronik. Sedangkan dilaporkan bahwa hanya 11% pasien


penyakit Parkinson yang sama sekali tidak memiliki tremor. Studi patologi
klinik mengatakan bahwa terjadi degenerasi pada neuron di daerah otak
tengah, pada pasien penyakit Parkinson dengan gejala tremor.
3.

Rigidity(1,5)
Rigiditas ditandai dengan adanya peningkatan tahanan otot, biasanya disertai
oleh adanya cogwhell phenomenon yang secara khusus dihubungkan
dengan adanya tremor, terdapat melalui pergerakan pasif extremitas baik flexi,
extensi atau rotasi sendi. Rigiditas dapat terjadi di tubuh bagian proximal
maupun bagian distal. Foments maneuver merupakan manuver yang biasa
digunakan untuk memeriksa adanya rigiditas. Keistimewaan manuver ini
dapat mendeteksi rigiditas yang masih ringan. Rigiditas dapat disertai dengan
nyeri, dan nyeri pada bahu adalah satu hal yang tersering yang merupakan
manifestasi dini penyakit Parkinson. Meskipun seringkali terjadi misdiagnosis,
sebagai arthritis, bursitis atau cedera pada otot-otot rotator cuff. Sebuah
prospektif studi yang dilakukan pada 6038 orang (usia rata-rata 68,5 tahun),
dimana tidak terdapat demensia ataupun gejalan Parkinsonism, ditemukan
adanya kekakuan, tremor dan ketidakseimbangan yang diasosiasikan dengan
peningkatan resiko terjadinya penyakit Parkinson. Melalui penelitian dengan
kohort, dengan follow up selama 5,8 tahun, ditegakkan diagnosis 56 kasus
penyakit Parkinson.

4.

Freezing(1,5)
Freezing yang juga berarti motor block, merupakan suatu bentuk akinesia
(hilang pergerakan) dan merupakan gejala disabilitas paling penting pada
penyakit Parkinson. Meskipun freezing merupakan gejala klinik yang khas,
gejala ini tidak selalu terdapat pada pasien dengan PD. Gejala ini lebih sering
terdapat pada laki-laki dibandingkan pada wanita dan frekuensi lebih sedikit
pada pasien dengan gejala utama berupa tremor. Freezing paling sering
mengenai tungkai saat berjalan, tetapi lengan dan kelopak mata juga dapat
terkena. Manifestasi klinik dapat terjadi secara mendadak dan bersifat
sementara (biasanya kurang dari 10 detik), sehingga dapat terjadi kesulitan
dalam berjalan. Dalam hal ini mungkin meliputi kesulitan untuk memulai

13

berjalan atau terjadi secara tiba-tiba saat sedang berjalan melintasi jalanan
yang padat dan ramai. Freezing merupakan sebab tersering terjadinya trauma.
Episode freezing tampak lebih parah pada fenomena OFF, yang managejala
ini dapat diredakan melalui terapi dengan levodopa. Faktor resiko
berkembangnya freezing termasuk; ada tidaknya rigiditas, bradikinesia,
instabilitas postural dan lamanya pasien tersebut mengidap penyakit
Parkinson. Tremor yang terjadi saat onset penyakit, dihubungkan dengan
peningkatan resiko terjadinya freezing. Freezing yang terdapat terutama pada
fenomena ON, tidak selalu memberikan respon dengan pemberian obat-obat
dopaminergik, tetapi pasien dengan pemberian selefiline memiliki resiko yang
lebih rendah. Penyuntikkan toksin Botulinum, walaupun efektif untuk
bermacam-macam

gejala

Parkinsonian,

seperti

tremor,

distonia

dan

sialorrhoea, namun secara konsisten masih belum efektif untuk terapi terhadap
freezing.

Gambar 2 Manifestasi Klinis Pasien Parkinson

Abnormalitas motorik lainnya pada penyakit Parkinson mungkin


menunjukkan beberapa gejala motorik sekunder, yang dapat berpengaruh terhadap
kegiatan mereka saat di rumah, kantor, ataupun saat mengendarai mobil. Karena
kerusakan pada lobus frontal yang menghalangi terjadinya mekanisme inhibisi,
beberapa pasien menunjukkan adanya reflex primitive. Pada satu penelitian pada
14

pasien penyakit Parkinson, ditemukan 80,5%dari 41 pasien memiliki reflex


primitive glabella. Gejala ini cukup sensitive (83,3%) mengindikasikan adanya
Parkinsonian, namun tidak spesifik (47,5%) untuk penyakit Parkinson. Dalam
penelitian ini juga didapatkan peningkatan sebanyak 34,1% terhadap reflex
palmomental. Gejala ini tidaklah sensitive (33.3%) namun lebih spesifik (90%)
dibandingkan reflex glabella. Namun begitu, refleks-refleks primitive ini tidak
dapat dibedakan diantara 3 jenis kerusakan Parkinsonian (penyakit Parkinson,
PSP-progresif supranuclear palsy, MSA-multiple systems atrophy). Gangguan
pada bulbar ditandai oleh adanya disartria, hipofonia, disfagia dan sialorea, yang
dalam pengamatan terhadap pasien penyakit Parkinson, dirasa lebih mengganggu
dibandingkan gejal-gejala utamanya. Gejala-gejala ini disangkakan memiliki
kaitan dengan orofacial-laryngeal bradikinesia dan rigiditas. Kesulitan dalam
berbicara pada pasien penyakit Parkinson ditandai oleh monotonus, bicara yang
lembut, kesulitan dalam menemukan kata-kata yang dikenal dengan tip-of-thetongue phenomenon. Speech terapi seperti Lee Silverman Voice Treatment,
mempunyai penekanan dan upaya yang kuat dalam meningkatkan volume dan
kualitas berbicara, dan mungkin dapat meringankan gejala disartria. Disfagia
biasanya disebabkan oleh ketidakmampuan untuk memulai reflex menelan atau
disebabkan oleh pemanjangan pergerakan laring maupun esophagus. Disfagia
sering kali merupakan gejala subklinik, terutama pada fase awal perjalanan
penyakit. Penyakit Parkinson yang dikaitkan dengan adanya gejala air liur yang
menetes merupakan manifestasi dari adanya penurunan dalam fungsi menelan.
Beberapa kelainan dalam neuro-ophtalmological mungkin dapat dijumpai pada
pasien dengan penyakit Parkinson. Termasuk di dalamnya, frekuensi kedipan
mata, iritasi permukaan ocular, halusinasi visual, blepharospasm dan penurunan
daya konvergensi. Derajat abnormalitas dalam neuro-ophtalmological, dikaitkan
dengan progresifitas penyakit. Terapi dengan obat-obat dopaminergik, secara
umum meningkatkan perubahan ini, namun dalam salah satu penelitian
dikemukakan

bahwa

tidak

terdapat

perbedaan

dalam

kelainan

neuro-

ophtalmological antara periode ON dan OFF pada pasien penyakit Parkinson.


Abnormalitas lain bidang neuro-ophtalmological termasuk apraxia dalam
membuka mata, oculogyric crises dan keterbatasan dalam memandang keatas.

15

Gangguan respirasi pada pasien dengan penyakit Parkinson dapat merupakan


suatu kelainan yang restriktif maupun obstruktif. Komplikasi ini sangat penting
dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas; pneumonia merupakan faktor
prediksi dalam mortalitas pasien yang membutuhkan perawatan dirumah.
Gangguan respirasi bentuk obstruktif mungkin dikaitkan dengan adanya rigiditas,
arthrosis servikal atau pergerakan yang terbatas pada leher, sedangkan gangguan
respirasi bentuk restriktif mungkin dikaitkan dengan adanya rigiditas pada dinding
dada. (1,5)
Gejala non-motorik pada penyakit parkinson yaitu berupa kegagalan
fungsi otonom. Meskipun secara tipikal sering dihubungkan dengan MSA.
Gejalanya antara lain; hipotensi ortostastik, disfungsi dalam sekresi keringat,
disfungsi proses miksi dan disfungsi ereksi. (1)
Gangguan neuropsikiatrik dapat mengganggu sama halnya seperti gejala
motorik.

Studi

yang

dilakukan

oleh Sydney

Multicenter

of

Parkinson

Disease menunjukkan bahwa 84% pasien mengalami penurunan fungsi kognitif


yang setelah diikuti selama 15 tahun, 48% diantaranya memenuhi criteria
diagnosis untuk demensia. Prospektif studi lainnya menunjukkan bahwa pasien
penyakit Parkinson memiliki resiko enam kali lipat lebih besar untuk terjadinya
demensia dikemudian hari. Penyakit Parkinson yang dihubungkan dengan
terjadinya demensia juga dihubungkan komorbiditas neuropsikiatri. Diantara537
pasien, depresi (58%), apatis (54%), anxietas (49%) dan halusinasi (44%)
merupakan hal yang tersering dilaporkan. Sehubungan dengan disfungsi afektif
dan kognitif, banyak pasien dengan penyakit Parkinson dilaporkan memiliki
tingkah laku obsesif-kompulsif dan impulsive. Gejala tingkah laku ini terkadang
merupakan gejala hedonistic homeostatic dysregulation. Disfungsi kognitif dan
tingkah laku pada pasien penyakit Parkinson, belum dapat dimengerti
sepenuhnya.
Meskipun gangguan tidur (misalnya; tidur yang berlebihan, serangan
tidur) untuk sebagian besar dianggap berasal dari efek terapi farmakologis,
beberapa klinikus saat ini percaya bahwa hal ini merupakan satu bagian integral
dari penyakit Parkinson. Hal ini didukung oleh adanya suatu observasi yang
menunjukkan adanya rapid eye movement (REM) dalam gangguan tidur, yang

16

terdapat setidaknya pada 1/3 (sepertiga) pasien dengan penyakit Parkinson.


Gangguan tidur REM, saat ini telah dianggap sebagai pre-parkinsonian state, yang
ditandai dengan peningkatan mimpi buruk; seperti bicara dalam tidur, berteriak,
menyumpah, memukul, menendang dan hal lainnya yang melibatkan aktifitas
motorik. Insomnia, juga terdapat (dengan prevalensi > 50%) dalam frekuensi yang
berbeda-beda di setiap pasien. (1,5)
Gejala sensorik seperti disfungsi olfaktorik, nyeri, parestesi, akathisia,
nyeri daerah mulut dan nyeri pada regio genitalia merupakan gangguan terbanyak
namun sekaligus sering tidak dikenali sebagai gejala Parkinsonian. Dalam salah
satu studi ditemukan bahwa disfungsi system olfaktori (hiposmia) mungkin
merupakan tanda dini dari penyakit Parkinson, hal ini dikorelasikan dengan
meningkatnya resiko sebanyak 10% terhadap terjadinya penyakit dalam 2 tahun
kemudian. Telah didalilkan bahwa disfungsi olfaktori dihubungkan dengan
hilangnya neuron di area kortikomedial amigdala, atau hilangnya neuron
dopaminergik di bulbus olfaktorius. (1,5)
1.8.

Diagnosa
Kriteria Diagnostik oleh UK Parkinsons Disease Society Brain Bank(1)

Step 1
- Bradikinesia
- Setidaknya 1 dari criteria di
bawah ini :
- Rigiditas
- Resting tremor 4-6 Hz
- Instabilitas postural yang
tidak disebabkan oleh
gangguan primer visual,
vestibular,
cerebellar
ataupun
gangguan
proprioseptif

Step 2
Singkirkan penyebab
Parkinsonism

lain

Step 3
Setidaknya tiga dari faktor
pendukung di bawah ini :
- Onset unilateral
- Resting tremor
- Kerusakan progresif
- Asimetris primer persisten
sejak onset
- Respon sempurna (70100%) dengan levodopa
- Chorea (diskinesia) berat
diakibatkan penggunaan
levodopa
- Respons
terhadap
levodopa dalam 5 tahun
atau lebih
- Terdapat gejala klinis
selama 10 tahun atau lebih

Kriteria Diagnostik Berdasar National Institute of Neurological Disorders


and Stroke (NINDS) (1)
Grup A
(Gejala khas

Grup B
(Kriteria diagnosis alternative)

17

penyakit
Parkinson)
Resting
tremor
Bradikinesia
Rigiditas
Onset
asimetris

Manifestasi klinis yang tidak biasa di awal penyakit


Instabilitas postural dalam 3 tahun pertama setelah timbulnya gejala
Freezing fenomena dalam 3 tahun pertama
Halusinasi yang tidak terkait dengan pengobatan dalam 3 tahun
pertama
Demensia yang mendahului gejala motorik atau terdapat pada tahun
pertama
Supranuclear gaze palsy
Disautomonia simptomatik yang tidak terkait medikasi
Adanya kondisi yang dapat menimbulkan gejala parkinsonism (lesi
otak fokal atau penggunaan obat-obatab neuroleptika dalam 6 bulan
terakhir)

Berikut kriteria Hughes untuk mendiagnosis parkinson:


1. Possible:
-

Setidaknya 2 dari 4 kriteria grup A dijumpai

Tidak terdapat salah satu criteria dalam grup B

Respons terhadap levodopa ataupun dopamine agonis yang sangat lamban

2. Probable:
- Ditemukan setidaknya 3 dari 4 kriteria grup A
-

Tidak terdapat salah satu criteria dalam grup B

Respons terhadap levodopa ataupun dopamine agonis yang lamban

3. Definite: seluruh kriteria yang menunjang Parkinson telah dijumpai dan


konfirmasi histopatologi saat dilakukannya otopsi.
Untuk kepentingan klinis diperlukan adanya penetapan berat ringannya
penyakit, dalam hal ini digunakan stadium klinis berdasarkan Hoen and Yahr,
yaitu:
1. Stadium 1: gejala dan tanda pada satu sisi, terdapat gejala yang ringan,
terdapat gejala yang mengganggu tapi tidak menimbulkan kecacatan, biasanya
terdapat tremor pada satu anggota gerak, gejala yang timbul dapat dikenali
orang terdekat.
2. Stadium 2: terdapat gejala bilateral, terdapat kecacatan minimal, sikap dan
atau cara berjalan terganggu.
3. Stadium 3: gerak tubuh nyata melambat, keseimbangan mulai terganggu saat
berjalan, berdiri, disfungsi umum sedang.

18

4. Stadium 4: terdapat gejala yang berat, masih dapat berjalan hanya untuk jarak
tertentu, rigiditas dan bradikinensia, tidak mampu berdiri sendiri, namun
tremor dapat berkurang dibandingkan stadium sebelumnya
5. Stadium 5: stadium kathetik, kecacatan total, tidak mampu berdiri dan berjalan
meskipun dibantu.
1.9.

Pemeriksaan
Hanya sedikit saja pemeriksaan penunjang lain dibutuhkan setelah

evaluasi klinik yang lengkap. Pada tiap kunjungan perlu diperoleh :


1. Tekanan darah yang di ukur dalam keadaan berbaring dan berdiri untuk
mendeteksi hipotensi ortostatik, yang dapat pula diperberat oleh medikasi.
2. Menilai respon terhadap stres, penderita tampaknya dapat berespon baik
terhadap pengobatan sampai ia mengalami stres ringan. Penderita disuruh
melakukan tugas sederhana, seperti dengan tangan diekstensikan dan disuruh
dengan cepat membuka dan menutup jari-jari disatu sisi dan pada waktu yang
bersamaan disuruh menghitung surut dimulai dari angka seratus. Stres ringan
ini biasanya telah cukup menimbulkan peningkatan tremor dan rigiditas pada
ekstremitas lainnya bila penderita belum berespon baik terhadap medikasi.
3. Mencatat dan mengikuti kemampuan fungsional, penderita disuruh menulis
nama dan tanggal di atas kertas dan menulis kalimat sederhana dan
mengambarkan lingkaran-lingkaran konsentris dengan tangan kiri dan kanan.
Kertas ini disimpan untuk perbandingan waktu follow up berikutnya.
4. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan EEG dapat menunjukkan perlambatan yang progresif dengan
memburuknya penyakit. CT-scan otak menunjukkan atrofi kortikal difus
dengan melebarnya sulsi dan hidrosefalus eks vakuo pada kasus lanjut.
1.10.

Tatalaksana

1.10.1. Penatalaksanaan Farmakologis


Dengan ditegakkannya diagnosis penyakit Parkinson, tidaklah sematamata memulai terapi dengan pemberian obat-obatan. Terapi farmakologis
dibenarkan jika pasien telah merasa terganggu dengan gejala-gejala yang ada, atau

19

jika mulai timbul kecacatan; keinginan dan pilihan pasien merupakan hal yang
mendasar dalam membuat keputusan untuk dimulainya terapi farmakologis. Jika
pasien membutuhkan terapi untuk mengatasi gejala motorik, maka obat paling
tepat yang digunakan untuk memulai terapi adalah levodopa, agonis dopamine,
antikolinergik, amantadine dan selektif monoamine oxidase B (MAO-B)
inhibitors. Kecuali untuk dilakukannya perbandingan pada individu dengan
pemakaian agonis dopamine dan levodopa, dalam hal ini tidak terdapat perbedaan
yang kuat mengenai keunggulan 2 obat tersebut, namun pengalaman secara klinik
menunjukkan

bahwa

obat-obat

dopaminergik

lebih

poten

dibandingkan

antikolinergik, amantadine dan selektif monoamine oxidase B (MAO-B)


inhibitors. Dengan adanya alasan inilah obat-obat dopaminergik digunakan
sebagai terapi inisial. Guidelines dari the American Academy of Neurology dan
evidence-based menurutMovement Disorder Society menyatakan bahwa terapi
inisial dengan menggunakan levodopa atau agonis dopamine, memiliki alasan
yang dapat diterima.(5)
Adapun obat-obat yang digunakan untuk penyakit Parkinson diantaranya:
1. Levodopa
Levodopa merupakan precursor dopamine, diyakini merupakan obat
antiparkinsonian yang paling efektif. Dalam percobaan yang membandingkan
efektifitas levodopa dan agonis domain, yang dilakukan secara random,
menunjukkan peningkatan ADL dan motorik sebanyak 40-50% dengan
penggunaan levodopa. Levodopa dalam penggunaannya dikombinasikan dengan
peripheral decarboxylase inhibitor seperti carbidopa, untuk mengurangi terjadinya
dekarboksilasi levodopa, sebelum mencapai otak. Tersedia dalam bentuk
immediate-release

dan

controlled-release.

Carbidopa

plus

levodopa

dikombinasikan dengan catechol O-methyltransferase inhibitor, entacapone,


merupakan satu preparat lain, yang di produksi untuk menciptakan suatu prolong
aksi, dengan mencegah terjadinya metilasi. Banyak alasan yang mendasari
terjadinya kegagalan terapi dengan menggunakan levodopa, termasuk di
dalamnya; penggunaan yang tidak sesuai index respons seperti tremor, dosis yang
tidak adekuat, durasi terapi yang tidak adekuat, dan interaksi obat (mis;
penggunaan levodopa bersamaan dengan metoclopramide, atau risperidone).

20

Percobaan dengan levodopa harus digunakan selama 3 bulan, dengan peningkatan


dosis bertahap, setidaknya 1000 mg per hari (bentuk immediate-release) atau
sampai dosis limitasi yang menampakkan efek merugikan sebelum pasien tidak
memiliki respon lagi terhadap pengobatan dengan levodopa. Karena kegagalan
terapi terhadap dosis terapi levodopa hanya dicapai sebanyak kurang dari 10%
pasien yang secara patologi terbukti menderita penyakit Parkinson, maka
kegagalan yang timbul diduga merupakan suatu kemungkinan dari adanya
kerusakan lain yang mengindikasikan tidak adanya terapi farmakologis ataupun
terapi pembedahan yang menguntungkan. Banyak dokter yang menunda
pengobatan simptomatis dengan levodopa sampai memang dibutuhkan. Bila
gejala masih ringan, tidak menganggu sebaiknya levodopa jangan dimulai. Hal ini
mengingat bahwa efektifitas berkaitan dengan lama waktu pemakaiannnya. Bila
sudah beberapa bulan atau tahun sering timbul komplikasi misalnya gejala on-off.
Mendadak penderita beberapa saat imobile, gerakan seolah membeku, jadi
berhenti. Disamping itu, didapatkan juga berbagai komplikasi lain apakah gejala
sudah mengganggu kegiatan sehari-hari, kehidupan dirumah, dikantor dan efek
psikologis. Levodopa melintasi sawar darah otak dan memasuki sistem saraf
pusat. Disini levodopa mengalami perubahan enzimatis menjadi dopamin.
Dopamin mengambat aktivitas neuron ganglia basal. Neuron ini juga dipengaruhi
oleh aktivitas eksitasi dan sistem kolinergik. Jadi berkurangnya inhibisi sistem
dopaminergik pada nigrostrtial dapat diatasi oleh meningkatnya julah dopamin
dan keseimbangan antara inhibisi dopaminergik dan eksitasi kolinergik
dipulihkan. Efek samping : nausea, muntah, distres abdominal, hipotensi postural,
aritmia jantung, diskinesia, abnormalitas laboratorium.(5)
2. Inhibitor dopa dekarboksilasi
Digunakan untuk mencegah agar levodopa tidak diubah menjadi dopamin
diluar otak, maka levodopa dikombinasikan dengan inhibitor enzim dopa
dekarboksilase (benzerazide) yaitu enzim yang mengkonversi levodopa menjadi
dopamin.
3. Agonis Dopamin
Meskipun agonis dopamine kurang efektif dibandingkan dengan levodopa,
obat-obatan ini merupakan obat first-line alternative dalam terapi penyakit

21

Parkinson. Bermacam-macam agonis dopamine memiliki efektifitas yang hampir


mirip. Salah satu keuntungan yang potensial dari obat ini dibandingkan dengan
levodopa ialah rendahnya resiko untuk terjadinya diskinesia dan fluktuasi fungsi
motorik sebagai efek terapi, dalam 1 hingga 5 tahun pengobatan, khususnya pada
pasien yang mendapatkan agonis dopamine sebagai pengobatan tunggal. Namun
bagaimanapun, sering dibutuhkan penggunaan kombinasi dari agonis dopamine
dan levodopa selama beberapa tahun setelah diagnosis ditegakkan, untuk
mengontrol gejala-gejala lanjutan. Agonis dopamine dihindari pemakaiannya pada
pasien dengan demensia, karena kecenderungan obat ini dalam menimbulkan
halusinasi. Obat-obat agonis dopamine yang lama dikenal, seperti bromokriptine
dan pergolide, merupakan derivate ergot yang jarang menimbulkan fibrosis
retroperitoneal, pleural dan pericardial. Bromokriptin adalah agonis dopamin, obat
yang langsung menstimulasi reseptor dopamin, diciptakan untuk mengatasi
beberapa kekurangan levodapa. Sementara itu, efek samping bromokriptin sama
dengan efek samping levodopa. Obat ini diindikasikan bila terapi dengan
levodopa atau karbidopa tidak atau kurang berhasil atau bila terdapat diskinesia
atau fenimen on-off. Dosis bromokroptin ialah dimulai dengan 2,5 mg sehari,
ditingkatkan menjadi 2x2,5 mg dan kemudian dapat ditingkatkan sampai 40-45
sehari bergantung respon. Dosis sampai 200mg sehari pernah digunakan. Barubaru ini dilaporkan mengenai hubungan antara penggunaan pergolide dengan
terjadinya penebalan dan disfungsi katup-katup jantung. Hasil echocardiografi
pada pasien dengan penggunaan pergolide jangka panjang menunjukkan adanya
penyakit restriktif valvular dengan resiko 2 sampai 4 kali lipat lebih besar
dibandingkan pasien penyakit Parkinson yang tidak mendapat terapi dengan
pergolide. Dengan adanya peristiwa ini, agonis dopamine tidak diberikan yang
berasal dari derivate ergot; seperti pramipexole dan ropinirole. (5)
4. Obat-obatan Lainnya
Secara umum, antikolinergik tidak digunakan sebagai pengobatan dalam
penyakit Parkinson, dikarenakan efeknya yang merugikan. Obat antikolinergik
menghambat sistem kolinergik di ganglia basal. Sistem kolinergik secara normal
diinhibisi mengakibatkan aktivitas yang berlebihan pada sistem kolinergik. Pada
penderita penyakit parkinson yang ringan dengan gangguan ringan obat

22

antikolinergik paling efektif. Obat antikolinergik triheksifenidil, benztropin dan


biperiden. Mulut kering, konstipasi dan retensio urin merupakan komplikasi yang
sering dijumpai pada pengguna obat antikolinergik. Namun begitu, obat-obatan
golongan ini kadang ditambahkan jika gejala tremor dirasa sangat mengganggu
dan tidak responsive dengan pengobatan lain, meskipun sesungguhnya, fakta di
lapangan menunjukkan kekurang-efektifan obat ini dalam mengurangi tremor.
Obat golongan antikolinergik merupakan kontraindikasi pada pasien dengan
demensia dan biasanya dihindari penggunaannya pada pasien yang berusia lebih
dari 70 tahun.
Obat lainnya yaitu Amantadin yang berfungsi membebaskan sisa dopamin dari
simpanan presinaptik di jalur nigrostrial. Obat ini ajuvan yang berguna yang dapat
memberikan perbaikan lebih lanjut pada penderita yang tidak dapat mentoleransi
dosis levodopa atau bromokriptin yang tinggi. Obat ini dalam bentuk kapsul
100mg. Dosisnya ialah 2x100mg. Efek samping di ekstremitas bawah, insomnia,
mimpi buruk, jarang dijumpai hipotensi postural, retensio urin, gagal jantung.
Selegiline (suatu inhibitor MAO jenis B) yaitu inhibitor MAO yang diduga
berguna pada penyakit parkinson karena neurotransminsi dopamin dapat
ditingkatkan dengan mencegah perusakannya. Baik dikombinasikan dengan
levodopa. Dosisnya 10 mg sehari.
MAO inhibitor dan amantadine memiliki beberapa efek yang merugikan dan
membutuhkan peningkatan titrasi sedikit demi sedikit untuk mencapai dosis
terapetik. Namun karena efek dari obat-obatan ini cenderung lemah, maka obat ini
tidak digunakan sebagai obat tunggal dalam pengobatan.(5)
1.10.2. Penatalaksanaan Non-Farmakologis
Dukungan dan edukasi merupakan hal sangat kritis saat seorang pasien
didiagnosia sebagai penderita penyakit Parkinson. Pasien harus mengerti bahwa
penyakit Parkinson merupakan penyakit kronik progresif, dengan tingkat
progresifitas yang berbeda-beda pada setiap orang, dan telah banyak pendekatan
yang dilakukan untuk memperingan gejala. Adanya group pendukung yang
berisikan pasien penderita Parkinson tahap lanjut, akan lebih membantu penderita
yang baru saja didiagnosa sebagai penderita penyakit Parkinson. Pasien harus
diberikan nasehat mengenai latihan, termasuk stretching, strengthening, fitness

23

kardiovaskular, dan latihan keseimbangan, walaupun hanya dalam waktu singkat.


Studi jangka pendek menyatakan bahwa hal ini dapat meningkatkan kemampuan
penderita dalam melakukan aktifitas sehari-hari, kecepatan berjalan dan
keseimbangan(5)
Selain itu, pada penderita parkinson juga dapat diberikan terapi fisik.
Sebagian besar penderita parkinson akan merasakan efek positif dari terapi fisik.
Terapi ini dapat dilakukan dirumah dengan diberikan petunjuk dan latihan yang
dicontohkan diklinik terapi fisik. Program terapi fisik pada penyakit Parkinson
merupakan program jangka panjang dan jenis terapi disesuaikan dengan
perkembangan atau perburukan penyakit, misalnya perubahan pada rigiditas,
tremor dan hambatan lainnya. Latihan fisik yang teratur, termasuk yoga, taichi,
ataupun tari dapat bermanfaat dalam menjaga dan meningkatkan mobilitas,
fleksibilitas, keseimbangan, dan range of motion. Latihan dasar selalu dianjurkan,
seperti membawa tas, memakai dasi, mengunyah keras, dan memindahkan
makanan di dalam mulut.
1.10.3. Terapi Pembedahan
Operasi untuk penderita Parkinson jarang dilakukan sejak ditemukannya
levodopa. Operasi dilakukan pada pasien dengan Parkinson yang sudah parah di
mana terapi dengan obat tidak mencukupi. Operasi dilakukan thalatotomi dan
stimulasi thalamik. Thalamotomy dan thalamic stimulationdeep brains timulation
(DBS) dengan implantasi elektodadapat merupakan terapi yang mujarab dalam
mengatasi tremor pada penyakit Parkinson, ketika sudah tidak ada lagi respon
dengan pengobatan non-surgikal. Pallidotomy, pallidal deep brain stimulation
dapat mengatasi gejala-gejala penyakit Parkinson pada pasien yang responnya
terhadap medikasi antiparkinsonism mengalami komplikasi dengan adanya
fluktuasi fungsi motorik yang memburuk dan diskinesia. Karena indikasi dari
terapi surgical pada tahap dini penyakit tidak ditemui dan karena tindakan yang
cukup beresiko serta membutuhkan biaya yang mahal, maka terapi pembedahan
ini tidak mempunyai peran pada awal penyakit Parkinson (5)
1.10.4. Deep Brain Stimulation (DBS)
Pada tahun 1987, diperkenalkan pengobatan dengan cara memasukkan
elektroda yang memancarkan impuls listrik frekuensi tinggi terus-menerus ke

24

dalam otak. Terapi ini disebut deep brain stimulation (DBS). DBS adalah tindakan
minimal invasif yang dioperasikan melalui panduan komputer dengan tingkat
kerusakan

minimal

untuk

mencangkokkan

alat

medis

yang

disebut

neurostimulator untuk menghasilkan stimulasi elektrik pada wilayah target di


dalam otak yang terlibat dalam pengendalian gerakan. Terapi ini memberikan
stimulasi elektrik rendah pada thalamus. Stimulasi ini digerakkan oleh alat medis
implant yang menekan tremor. Terapi ini memberikan kemungkinan penekanan
pada semua gejala dan efek samping, dokter menargetkan wilayah subthalamic
nucleus (STN) dan globus pallidus (GP) sebagai wilayah stimulasi elektris.
Pilihan wilayah target tergantung pada penilaian klinis. DBS kini menawarkan
harapan baru bagi hidup yang lebih baik dengan kemajuan pembedahan terkini
kepada para pasien dengan penyakit parkinson. DBS direkomendasikan bagi
pasien dengan penyakit parkinson tahap lanjut (stadium 3 atau 4) yang masih
memberikan respon terhadap levodopa. Pengendalian parkinson dengan terapi
DBS menunjukkan keberhasilan 90%. Berdasarkan penelitian, sebanyak 8 atau 9
dari 10 orang yang menggunakan terapi DBS mencapai peningkatan kemampuan
untuk melakukan akltivitas normal sehari-hari. Selain terapi obat yang diberikan,
pemberian makanan harus benar-benar diperhatikan, karena kekakuan otot bisa
menyebabkan penderita mengalami kesulitan untuk menelan sehingga bisa terjadi
kekurangan gizi (malnutrisi) pada penderita. Makanan berserat akan membantu
mengurangi ganguan pencernaan yang disebabkan kurangnya aktivitas, cairan dan
beberapa obat.
1.10.5. Terapi Neuroprotektif
Terapi neuroprotektif dapat melindungi neuron dari kematian sel yang
diinduksi progresifitas penyakit. Yang sedang dikembangkan sebagai agen
neuroprotektif adalah apoptotic drugs (CEP 1347 and CTCT346), lazaroids,
bioenergetics, antiglutamatergic agents, dan dopamine receptors. Adapun yang
sering digunakan di klinik adalah monoamine oxidase inhibitors (selegiline and
rasagiline), dopamine agonis, dan complek I mitochondrial fortifier coenzyme
Q10.
1.10.6. Nutrisi

25

Beberapa nutrient telah diuji dalam studi klinik klinik untuk kemudian
digunakan secara luas untuk mengobati pasien Parkinson. Sebagai contoh, LTyrosin yang merupakan suatu perkusor L-dopa mennjukkan efektifitas sekitar
70% dalam mengurangi gejala penyakit ini. Zat besi (Fe), suatu kofaktor penting
dalam biosintesis L-dopa mengurangi 10%- 60% gejala pada penelitian terhadap
110 pasien. THFA, NADH, dan piridoxin yang merupakan koenzim dan perkusor
koenzim dalam biosintesis dopamine menunjukkan efektifitas yang lebih rendah
dibanding L-Tyrosin dan zat besi. Vitamin C dan vitamin E dosis tinggi secara
teori dapat mengurangi kerusakan sel yang terjadi pada pasien Parkinson. Kedua
vitamin tersebut diperlukan dalam aktifitas enzim superoxide dismutase dan
katalase untuk menetralkan anion superoxide yang dapat merusak sel. Belum lama
ini, Koenzim Q10 juga telah digunakan dengan cara kerja yang mirip dengan
vitamin A dan E. MitoQ adalah suatu zat sintesis baru yang memiliki struktur dan
fungsi mirip dengan koenzim Q10.
1.11.

Komplikasi
Pada tahap lanjut dapat terjadi disfagia yang menyebabkan terjadinya

pneumonia aspirasi, dan risiko terjatuh merupakan dua penyebab utama


morbiditas dan mortalitas pada kasus parkinson.
1.12.

Prognosis
Penyakit parkinson tidak dianggap sebagai penyakit yang fatal dengan

sendirinya, tapi terus berkembang dengan waktu. Harapan hidup pasien parkinson
pada umumnya lebih rendah daripada orang yang tidak memiliki penyakit
tersebut. Obat-obatan yang ada sekarang hanya menekan gejala-gejala parkinson,
sedangkan perjalanan penyakit itu belum bisa dihentikan sampai saat ini. Sekali
terkena parkinson, maka penyakit ini akan menemani sepanjang hidupnya. Tanpa
perawatan, gangguan yang terjadi mengalami progress hingga terjadi total
disabilitas, sering disertai dengan ketidakmampuan fungsi otak general, dan dapat
menyebabkan kematian. Dengan perawatan, gangguan pada setiap pasien
berbeda-berbeda. Kebanyakan pasien berespon terhadap medikasi. Perluasan

26

gejala berkurang, dan lamanya gejala terkontrol sangat bervariasi. Efek samping
pengobatan terkadang dapat sangat parah.
Parkinson disease sendiri tidak dianggap sebagai penyakit yang fatal,
tetapi berkembang sejalan dengan waktu. Rata-rata harapan hidup pada pasien
parkinson disease pada umumnya lebih rendah dibandingkan yang tidak
menderita parkinson disease. Pada tahap akhir, parkinson disease dapat
menyebabkan komplikasi seperti tersedak, pneumoni, dan memburuk yang dapat
menyebabkan kematian. Progresifitas gejala pada parkinson disease dapat
berlangsung 20 tahun atau lebih. Namun demikian pada beberapa orang dapat
lebih singkat. Tidak ada cara yang tepat untuk memprediksikan lamanya penyakit
ini pada masing-masing individu. Dengan treatment yang tepat, kebanyakn pasien
parkinson disease dapat hidup produktif beberapa tahun setelah diagnosis.

27

BAB 2
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. A

Jenis kelamin

: Laki-laki

Umur

: 66 tahun

Pekerjaan

: Sudah tidak bekerja (dulu berprofesi sebagai petani)

Agama

: Islam

Alamat

: Sungai Sapih

Tanggal Periksa

: 19 Juni 2015

ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS)
Kedua kaki terasa berat saat berjalan sejak 1 tahun yang lalu,
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Kepala terasa terhimpit batu tiba-tiba saat pasien sedang bertani 3 tahun yang
lalu, beberapa menit kemudian pasien merasa epala pusing berputar, dan
pasien roboh, tidak sadarkan diri.
Lemah bagian tubuh tangan dan kaki sebelah kiri sejak 3 tahun yang lalu.
Pasien mengeluhkan langkah kaki ketika berjalan menjadi kecil dan kedua
kaki terasa berat saat berjalan bicara menjadi lambat sejak 1 tahun yang lalu.
Pasien juga mengeluhkan sulit menahan posisi tubuh sejak 1 tahun yang lalu.
Gemetar pada kedua tangan sejak 1 tahun yang lalu.
Riwayat trauma disangkal.
Gangguan tidur tidak ada.
BAB dan BAK tidak ada kelainan
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pasien sudah pernah dirawat di RSUD dengan stroke 2 tahun yang lalu.
Riwayat hipertensi diketahui sejak 2 tahun yang lalu, kontrol teratur.
28

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Tidak ada keluarga yang menderita penyakit hipertensi, diabetes mellitus, dan
penyakit jantung
RIWAYAT PRIBADI DAN SOSIAL
Pasien dulunya seorang petani, namun sekarang tidak bekerja lagi semenjak
sakit 3 tahun yang lalu.
STATUS GENERALIS
Keadaan umum

: Tampak sakit ringan

Kesadaran

: Composmentis cooperatif

Tekanan darah

: 120/80 mmhg

Nadi

: 76 x/menit

Irama

: teratur

Suhu

: 36,5C

Pernafasan

: 20 x/menit

Bentuk badan

: Asthenikus

Keadaan Gizi

: Cukup

Kulit

: Kuning Langsat

Kuku

: Tidak sianosis

Turgor

: Baik

STATUS INTERNUS
Kulit

: Tidak ditemukan kelainan

KGB
Leher

: Tidak ada pembesaran

Aksila

: Tidak ada pembesaran

Inguinal

: Tidak ada pembesaran

Pemeriksaan

Pemeriksaan Paru
Depan
29

Belakang

Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

Kiri
Kanan
Kiri
Kanan
Kiri
Kanan
Kiri

Kanan

Inspeksi
Palpasi
Perkusi

Simetris saat statis dan dinamis


Simetris saat statis dan dinamis
Sela iga normal, fremitus normal
Sela iga normal, fremitus normal
Sonor di seluruh lapangan paru
Sonor di seluruh lapangan paru
Suara nafas : bronkovesikuler

Simetris saat statis dan dinamis


Simetris saat statis dan dinamis
Sela iga normal, fremitus normal
Sela iga normal, fremitus normal
Sonor di seluruh lapangan paru
Sonor di seluruh lapangan paru
Suara nafas : bronkovesikuler

Wheezing : tidak ada

Wheezing : tidak ada

Ronchi : tidak ada


Suara nafas : bronkovesikuler

Ronchi : tidak ada


Suara nafas : bronkovesikuler

Wheezing : tidak ada

Wheezing : tidak ada

Ronchi : tidak ada

Ronchi : tidak ada

Pemeriksaan Jantung
Ictus cordis tidak teraba
Iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Batas atas: RIC II linea parasternalis sinistra
Batas kanan: RIC V, linea sternalis dextra

Auskultasi

Batas kiri: RIC V, I jari medial linea mid clavikula sinistra


BJ I-II normal, regular, bising tidak ada
Pemeriksaan Abdomen
Distensi tidak ada

Inspeksi
Palpasi
- Dinding perut
- Hati
- Limpa
Perkusi
Auskultasi

Supel
Tidak teraba
Tidak teraba
Tympani
Bising usus (+) normal

Corpus Vertebrae
Inspeksi

: Deformitas tidak ada, gibbus tidak ada, tanda radang tidak

ada

Palpasi

: Nyeri tekan tidak ada, nyeri ketok CVA tidak ada

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
GCS E4 V5 M6 = 15
Tanda Rangsang Meningeal
Kaku kuduk

: tidak ada

Brudzinki I

: tidak ada
30

Brudzinki II

: tidak ada

Kernig

: tidak ada

Saraf kranial
N.I

: Normosmia

N.II

: Tajam penglihatan secara kasar baik


Buta warna tidak ada
Lapang pandang baik
Funduskopi tidak dilakukan

N.III, IV,VI
Sikap bola mata
-

Ptosis

: tidak ada

Strabismus

: tidak ada

Exophtalmus

: tidak ada

Endophtalmus

: tidak ada

Diplopia

: tidak ada

Pergerakan bola mata:


-

lateral kanan

: baik, simetris

lateral kiri

: baik, simetris

atas

: baik, simetris

bawah

: baik, simetris

berputar

: baik, simetris

Pupil:
-

Bentuk

: Bulat, Isokor 3mm/3mm

Reflex cahaya

: Langsung +/+

Reflex cahaya

: Tidak langsung +/+

Reflex akomodasi : +/+

N.V (Motorik)
Membuka mulut : Buka tutup mulut lambat
Gerakan rahang

: lambat

(Sensorik)
Rasa raba

: kanan = kiri
31

Rasa nyeri

: kanan = kiri

(Reflex)
Reflex kornea

: +/+

Reflex maseter

:+

N.VII
Raut wajah

: datar, tidak simetris

Kembung pipi

: Baik

Menyeringai

: Baik

Angkat alis

: Baik

Kerut dahi

: Baik

Sulcus nasolabialis: kiri lebih datar


N.VIII
Test gesek jari

: +/+

Test berbisik

: +/+

Nistagmus

: tidak ada

N.IX, X
Uvula

: Di tengah

Arcus faring

: Simetris

Palatum molle

: Simetris:

Disfoni

: tidak ada

Disfagi

: tidak ada

Batuk

: tidak ada

Mengejan

: tidak ada

Menelan

: tidak ada

N. XI

: Menoleh kanan dan kiri baik

N.XII
Julur lidah
Gerakan lidah

: Deviasi lidah ke ke kiri


: Baik

Tenaga otot lidah : Baik, kanan= kiri

32

Tremor

: Ada

Motorik
Derajat kekuatan otot

:
444

444

444

444

Tonus otot

: Eutoni

Trofi otot

: Eutrofi

Gerakan spontan abnormal


Tetani

: Tidak ada

Kejang

: Tidak ada

Tremor

: Ada

Khorea

: Tidak ada

Atetosis

: Tidak ada

Balismus

: Tidak ada

Diskinesia

: Ada

Miokonik

: Tidak ada

Test koordinasi
Statis
Duduk

: Baik

Berdiri

: Baik

Berjalan

: Baik

Dinamis
Telunjuk hidung

: Baik

Telunjuk telunjuk

: Baik

Tremor intensi

: Tidak ada

Sensibilitas

: kanan = kiri

Reflex Fisiologis
Biseps

: ++/++

Triseps

: ++/++
33

KPR

: ++ / ++

APR

: ++ / ++

Kulit
Telapak kaki

: +/+

Kulit perut

: +

Kremaster

: tidak di lakukan

Anus interna

: tidak di lakukan

Anus externa

: tidak di lakukan

Reflex Patologis
Babbinski

: -/-

Chaddock

: -/-

Oppenheim

: -/-

Gordon

: -/-

Schaeffer

: -/-

Sensibilitas
Exteroseptif
Rasa raba

: kanan = kiri

Rasa nyeri

: kanan = kiri

Proprioseptif
Rasa gerak dan arah

Kanan
Baik

Kiri
Baik

Rasa sikap

Baik

Baik

Vegetatif
Miksi

: Tidak ada kelainan

Defekasi

: Tidak ada kelainan

Salivasi

: Tidak ada kelainan

Sekresi keringat : Tidak ada kelainan


Fungsi luhur
Memori

: Baik
34

Bahasa

: Tidak ada kelainan

Afek dan emosi : Biasa


Kognitif

: Baik

Visuospatial

: Tidak di lakukan

Pemeriksaan Parkinson
Tremor saat istirahat

:+

Rigiditas

:+

Akinesia/bradikinesia

:+

Postural instabiliti

:+

Laseque

:+

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

: Tidak dilakukan

PEMERIKSAAN PENUNJANG

: Tidak dilakukan

DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis

: Sequel Stroke Iskemik


Parkinson disease

Diagnosis Topik

: Substansia nigra

Diagnosis Etiologi

: Degeneratif

Diagnosis Sekunder

: Hipertensi stage I terkontrol obat

TERAPI
1.

Umum
Edukasi kepada pasien
Latihan fisik yang teratur, termasuk yoga, taichi, ataupun tari dapat
bermanfaat dalam menjaga dan meningkatkan mobilitas, fleksibilitas,
keseimbangan, dan range of motion. Latihan dasar selalu dianjurkan,
seperti membawa tas, memakai dasi, mengunyah keras, dan memindahkan
makanan di dalam mulut.

35

2.

Khusus
1) Levodopa dan Inhibitor dopa dekarboksilasi
Madopar (tiap tablet mengandung Levodopa 100 mg dan benserazide
hcl 25 mg). Dosis 2 x 1 tablet.
2) Dopamino-antikolinergik (Pramipexole)
Sifrol ER 1 x 0,375 mg
3) NSAID Aspirin
Aspilet 1 x 80 mg
4) Angiotensin II receptor antagonists
Valsartan 1 x 80 mg
5) Vitamin C
6) Vitamin E
7) Zat Besi

36

DISKUSI
Diagnosis parkinson ditegakkan atas autoanamnesis didapatkan bahwa
pasien mengeluh lemah bagian tubuh tangan dan kaki sebelah kiri sejak 3 tahun
yang lalu, langkah kaki ketika berjalan menjadi kecil dan kedua kaki terasa berat
saat berjalan bicara menjadi lambat sejak 1 tahun yang lalu, sulit menahan posisi
tubuh dilakukan sejak 1 tahun yang lalu, gemetar pada kedua tangan sejak 1 tahun
yang lalu, riwayat trauma disangkal. Pada pasien ini tedapat faktor risiko yaitu
sebelumnya pasien adalah seorang petani, dimana penggunaan pestisida secara
rutin dapat menjadi toksik bagi sel saraf.
Pada pasien ini diberikan obat yang bersifat dopaminergik, diantaranya
safrol dan madopar. Pemberian madopar tablet merupakan obat yang
mengandung 2 bahan aktif yaitu levodopa 100 mg dan benserazide HCl 25 mg.
Obat ini digunakan untuk pasien dengan penyakit Parkinson (kecuali Parkinson
yang disebabkan oleh obat obatan) untuk meningkatkan konsentrasi dopamin di
otak. Penyakit Parkinson merupakan penyakit degeneratif pada otak dimana
terjadi kekurangan substansi kimia penghantar impuls saraf atau yang disebut
sebagai neurotransmitter, dalam hal ini dopamin. Levodopa setelah mencapai otak
dapat dikonversi menjadi dopamin yang selanjutnya dapat menggantikan dopamin
yang hilang/ berkurang pada otak. Akan tetapi, Levodopa juga dikonversi di
bagian tubuh lain yang dapat memicu efek samping seperti mual dan rasa
berdebar debar di dada. Oleh karena itu, benserazide disini berfungsi sebagai
penetralisir efek samping tersebut. Benserazide bekerja dengan cara menghambat
konversi Levodopa di bagian tubuh lain selain otak karena Benserazide tidak
dapat memasuki sawar darah otak. Kombinasi obat ini baik untuk mengatasi
penyakit Parkinson dan meminimalisasi efek samping yang dapat ditimbulkan.
Selain itu juga Pramipexole digunakan untuk mengurangi gejala dari Parkinson
seperti tremor, kekakuan dan gerak yang lambat pada pasien ini.
Untuk obat hipertensi pada pasien diberikan angiotensin II receptor
antagonists, yang berfungsi menjaga pembuluh darah dari penyempitan, yang
mengurangi tekanan darah dan meningkatkan aliran darah, maka diberikan

37

valsartan. Pasien diberikan NSAID golongan aspirin, yaitu Aspilet sebagai efek
anti-inflamasi, analgesik, dan antipiretik untuk menghilangkan nyeri pinggang.
Zat besi (Fe), suatu kofaktor penting dalam biosintesis L-dopa mengurangi
10%- 60% gejala pada penelitian terhadap 110 pasien. Vitamin C dan vitamin E
dosis tinggi secara teori dapat mengurangi kerusakan sel yang terjadi pada pasien
Parkinson. Kedua vitamin tersebut diperlukan dalam aktifitas enzim superoxide
dismutase dan katalase untuk menetralkan anion superoxide yang dapat merusak
sel.
Selain medikamentosa pada pasien ini sebaiknya dilakukan rehabilitasi
medik agar kualitas hidup dapat ditingkatkan. Rehabilitasi medik ini bertujuan
untuk mengatasi abnormalitas gerakan, kecenderungan postur tubuh yang salah,
gejala otonom, gangguan perawatan diri, perubahan psikologi.

38

DAFTAR PUSTAKA
1.

Jankovic J. Parkinsons disease: clinical featutes and


diagnosis. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2008; 79:368-376.

2.

Thomas B, Beal Flint M. Parkinsons disease. Human


Molecular Genetics, 2007, Vol. 16, Review Issue

3.

Siderowf A, Stern M. Update on Parkinson Disease. Annals


of Internal Medicine, 2003;vol.138: 651-9

4.

Lang AE, Lozano AM. Parkinson Disease. The New


England Journal of Medicine, 2000. Vol.339:1130-43

5.

Nutt John G, Wooten G. Frederick. Diagnosis and Initial


Management of Parkinsons Disease. The New England Journal of Medicine,
2005;353:10217.

You might also like