Professional Documents
Culture Documents
MIKO S. GINTING
AMALIA PURI HANDAYANI
AMIRA WAWORUNTU
FAJRI NURSYAMSI
TIM PENULIS
MIKO S. GINTING
AMALIA PURI HANDAYANI
AMIRA WAWORUNTU
ERYANTO NUGROHO
FAJRI NURSYAMSI
GIRI AHMAD TAUFIK
GITA PUTRI DAMAYANA
M. NUR SHOLIKIN
RACHMAD MAULANA FIRMANSYAH
RONALD ROFIANDRI
SITI MARYAM RODJA
PENYUNTING
MIKO S. GINTING
AMALIA PURI HANDAYANI
AMIRA WAWORUNTU
FAJRI NURSYAMSI
Miko S. Ginting
Amalia Puri Handayani
Amira Waworuntu
Eryanto Nugroho
Fajri Nursyamsi
Giri Ahmad Taufik
Gita Putri Damayana
M. Nur Sholikin
Rachmad Maulana Firmansyah
Ronald Rofiandri
Siti Maryam Rodja
TIM PENYUNTING
Miko S. Ginting
Amalia Puri Handayani
Amira Waworuntu
Fajri Nursyamsi
DESAIN SAMPUL DAN ISI
Ardi Yunanto
PENERBIT
I. Ginting, Miko S.
vi
KATA
PENGANTAR
adalah tahun menjelang tahun politik. Ini adalah suatu periode menarik
di babak-babak akhir masa jabatan para wakil rakyat. Ini adalah periode di
mana wakil rakyat masih punya cukup waktu untuk fokus melaksanakan
fungsinya sebelum disibukkan oleh berbagai agenda politik praktis untuk
menjaga kursinya masing-masing.
Tahun ini merupakan tahun ke-10 bagi kami di Pusat Studi Hukum
dan Kebijakan Indonesia (PSHK) untuk menuliskan catatan tahunan
kami mengenai kinerja legislasi DPR. Upaya ini akan terus kami lakukan
dengan niat untuk terus berkontribusi bagi perbaikan lembaga perwakilan
di Indonesia. Tentunya, seiring berjalannya waktu, kami juga akan terus
berusaha memperbaiki berbagai kekurangan yang ada dalam catatancatatan yang kami buat.
Perlu kita akui bahwa sudah ada perbaikan di sana-sini, di antara
setumpukan masalah legislasi yang terus saja berulang. Capaian perbaikan
perlu kita lihat sebagai penambah semangat dan rujukan, sementara
berbagai masalah yang ada perlu kita lihat sebagai peluang perbaikan.
Tahun 2014 ini kita akan menyambut 560 anggota DPR periode
20142019. Sekitar 60% wajah baru, dengan 40% penghuni lama.
Pastinya masih ada banyak tantangan, tetapi peluang perbaikan bukanlah
viii
nihil. Kami berharap, buku catatan ini bisa menjadi rujukan bagi berbagai
perbaikan ke depan.
Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Miko Susanto Ginting
sebagai koordinator dalam penulisan catatan ini. Ucapan yang sama kami
sampaikan pada segenap Tim Penulis, Tim Penyunting, dan semua pihak
yang telah menyediakan waktu, pikiran, dan tenaga demi mewujudkan
catatan ini.
Perbaikan kinerja legislasi di Indonesia tidak bisa lepas dari dukungan
publik. Semoga hadirnya buku ini dapat mengilhami berbagai umpan balik
positif demi perbaikan fungsi legislasi di lembaga perwakilan kita.
Eryanto Nugroho
Direktur Eksekutif
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
PENGANTAR
PENULIS
KAMI MENULIS CATATAN INI KARENA RESAH. Ketika banyak yang bilang
PENGANTAR PENULIS
xi
data yang belum kunjung diperoleh hingga peluncuran catatan ini. Kedua,
kami sengaja mempersiapkan catatan ini untuk menyambut pergantian
masa jabatan DPR 20092014. Harapannya, Catatan Kinerja Legislasi
DPR 2013: Capaian Menjelang Tahun Politik ini dapat menjadi bekal bagi
anggota maupun calon anggota legislatif (DPR) periode 20142019
dalam meningkatkan kinerja legislasinya.
Kami sadar catatan ini penting karena DPR adalah milik kita bersama.
Tidak hanya PSHK yang memiliki tanggung jawab dalam pemantauan
dan pemberian catatan perbaikan. Ada harapan besar agar masyarakat
dapat bersama-sama turut terlibat dalam memberikan dorongan sehingga
kinerja DPR semakin baik. Undang-undang yang telah disahkan akan
mengatur, atau bahkan pada titik ekstrem, akan bertentangan dengan hak
warga negara. Kita semua terikat, jangan hanya diam.
Wacana legislasi yang semakin akrab diperbincangkan adalah tujuan
besar dari catatan ini, terutama di ruang-ruang perbincangan masyarakat.
Semoga Catatan Kinerja Legislasi DPR 2013: Capaian Menjelang Tahun
Politik ini dapat menjadi pemicu tercapainya mimpi besar tersebut.
Daftar Isi
vii
KATA PENGANTAR
PENGANTAR PENULIS
ix
BAB I
CAPAIAN YANG TAK KUNJUNG TUNTAS
Penyajian Catatan: dari Sini ke Sana 5
Capaian Kuantitas Legislasi DPR 2013 6
BAB II
MENAKAR KUALITAS LEGISLASI
Kategori Proses 22
Kategori Substansi 26
BAB III
MENGURAI UNDANG-UNDANG
21
31
xiv
BAB IV
POLITIK NOMOR URUT LEGISLASI
Politik Legislasi 113
Arah dan Kebijakan Legislasi 2013 117
Peran Pemerintah yang Semakin Kuat 121
Dampak Bagi Anggaran Negara 122
Sanksi yang Tetap Berat 124
Pengaruh Perjanjian Internasional 125
Pihak yang Mengusulkan 126
Keterlibatan DPD 126
Keterlibatan Publik 127
Pembentukan Lembaga Baru 129
Waktu Pembahasan 130
113
xv
BAB V
AKHIR CATATAN
LAMPIRAN 2
143
149
152
TENTANG PSHK
162
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN 1
135
BAB I
Rachmad Maulana Firmansyah dkk, Catatan Kinerja DPR 2012: Fondasi Tahun
Politik, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2013. Catatan
ini dapat diunduh melalui pshk.or.id, http://pshk.or.id/site/?q=id/content/
catatan-kinerja-dpr-2012-fondasi-tahun-politik-0.
Sebagai catatan, terdapat juga undang-undang yang disahkan pada 2013 tetapi
sebelum masa sidang III DPR pada 15 Januari 2013, yaitu UU No. 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro yang disahkan pada 8 Januari 2013. Pembahasan
mengenai undang-undang ini sudah disajikan pada catatan kinerja legislasi oleh
PSHK tahun sebelumnya. Lihat Rachmad Maulana Firmansyah dkk, Catatan Kinerja
DPR 2012: Fondasi Tahun Politik, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia,
Jakarta, 2013. Catatan ini dapat diunduh melalui pshk.or.id, http://pshk.or.id/
site/?q=id/content/catatan-kinerja-dpr-2012-fondasi-tahun-politik-0.
Catatan ini kami susun layaknya perjalanan yang singgah di lima tempat.
Awalnya, kita singgah di tempat pertamayang sedang Anda baca.
Bab pertama ini menyajikan ruang lingkup catatan dan juga gambaran
umum kinerja legislasi DPR selama 2013. Dalam hal ini, sajian cenderung
menyasar pada capaian legislasi yang dilihat dari kacamata kuantitas.
Pada bab kedua, Anda akan menemukan kerangka pemikiran yang
PSHK gunakan dalam menganalisis kualitas undang-undang. Rangkaian
pertanyaan yang menjadi dasar penilaian terpampang sekaligus diintegrasikan dengan apa yang sudah PSHK hasilkan sebelumnya, baik catatan
kinerja legislasi maupun hasil riset lainnya, yang juga saling berkaitan
erat. Metode penilaian ini sudah digunakan sejak awal kami meluncurkan
catatan kinerja legislasi DPR, yaitu sejak 2002. Tentu saja, karena
diskursus legislasi berkembang dengan pesatnya, kami juga melakukan
banyak pengembangan, termasuk menggabungkan dengan metode perancangan peraturan yang kami susun dalam Draftology.7
Tempat singgah selanjutnya adalah bab ketiga. Inilah bab yang akan
mengantarkan Anda pada hasil analisis PSHK terhadap capaian legislasi
3
4
5
6
7
Rizky Argama dkk, Berharap pada 560: Catatan Kinerja DPR 20092010, Pusat
Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2011.
Ibid, hal. 11.
Fajri Nursyamsi dkk, Catatan Kinerja DPR 20102011: Legislasi: Aspirasi atau
Transaksi?, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2012.
Rachmad Maulana Firmansyah dkk, Fondasi Tahun Politik, Loc.cit.
Erni Setyowati dkk, Draftology, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia,
Jakarta, 2011.
DPR 2013. Spesifik kami memberikan pandangan terhadap undangundang per undang-undang yang masuk dalam kategori undang-undang
nonkumulatif terbuka.8 Hal ini didasarkan pada karakteristik undangundang nonkumulatif terbuka yang substansial. Jadi, sebanyak 12 (dua
belas) undang-undang dibongkar dengan kerangka pemikiran yang
sudah dipaparkan pada bab sebelumnya.
Setelah analisis per undang-undang, kami melihat kecenderungan
atau isu utama yang tergambar dari capaian legislasi DPR selama 2013.
Inilah tempat singgah selanjutnya, bab empat. Penelusuran terhadap
politik legislasi yang diusung pada 2013 diangkat dalam bab ini. Selain
itu, terdapat topik atau tren yang dominan muncul yang dilihat dari proses
pembahasan dan juga substansi undang-undang itu sendiri. Kemudian,
pembahasan itu membawa PSHK dalam simpulan: gambaran besar yang
terlihat dari semua kecenderungan yang ada. Dan, itu dapat dilihat pada
bab lima. Dengan demikian, Anda telah sampai pada ujung catatan PSHK.
Selamat beperjalanan.
CAPAIAN KUANTITAS LEGISLASI DPR 2013
Pasal 23 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan hanya memberikan kategorisasi undang-undang kumulatif terbuka,
yaitu pengesahan perjanjian internasional tertentu, akibat putusan Mahkamah
Konstitusi, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pembentukan, pemekaran,
dan penggabungan daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota, dan penetapan/
pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Dengan demikian,
secara a contrario, undang-undang non-kumulatif terbuka adalah undang-undang
diluar kategori yang disebut diatas.
Rachmad Maulana Firmansyah, Fondasi Tahun Politik, Op. cit, hlm. 139.
KUMULATIF TERBUKA
10
12
NON-KUMULATIF TERBUKA
BARU
LUNCURAN
10
NOMOR
TENTANG
9 TAHUN 2013
17 TAHUN 2013
ORGANISASI KEMASYARAKATAN
18 TAHUN 2013
19 TAHUN 2013
20 TAHUN 2013
PENDIDIKAN KEDOKTERAN
21 TAHUN 2013
KEANTARIKSAAN
24 TAHUN 2013
1 TAHUN 2014
2 TAHUN 2014
3 TAHUN 2014
PERINDUSTRIAN
5 TAHUN 2014
6 TAHUN 2014
DESA
NOMOR
10 TAHUN 2013
TENTANG
PENGESAHAN ROTTERDAM CONVENTION ON THE PRIOR
INFORMED CONSENT PROCEDURE FOR CERTAIN HAZARDOUS
CHEMICALS AND PESTICIDES IN INTERNATIONAL TRADE
11 TAHUN 2013
12 TAHUN 2013
13 TAHUN 2013
14 TAHUN 2013
16 TAHUN 2013
22 TAHUN 2013
23 TAHUN 2013
4 TAHUN 2014
(SEBELUM
DIBATALKAN)
10
BARU
77%
DPR
50%
PEMERINTAH
50%
11
I
II
III
I
I
I II
IV
IV
I V SI IX SI X SI X
II
I II
I IV
IV
US
IS MIS MIS MIS MIS MIS MIS MIS
MI OMI OMI ANS
M
KO KO KO KO
KO
K
P
KO KO KO KO
K
Dari sisi kuantitas, produktivitas alat kelengkapan DPR yang paling tinggi
dalam menyelesaikan undang-undang non-kumulatif terbuka pada 2013
ditempati oleh Panitia Khusus (Pansus). Terdapat 4 (empat) undangundang yang berhasil disahkan. Sementara, Komisi IV menempati urutan
kedua dengan 3 (tiga) undang-undang. Komisi II yang berhasil menyelesaikan 2 (dua) undang-undang menempati peringkat ketiga. Lalu,
Komisi VI, VII, dan X dapat menyelesaikan masing-masing 1 (satu)
undang-undang.
B. CAPAIAN DALAM KELOMPOK ISU
12
INFORMASI DAN
TEKNOLOGI
PEMEKARAN
WILAYAH
5%
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
18%
5%
PENGELOLAAN SDA 5%
KELEMBAGAAN NEGARA 4%
POLITIK 4%
APBN
14%
INDUSTRI DAN
PERDAGANGAN
9%
KEWILAYAHAN
PETERNAKAN
DAN PERTANIAN
9%
9%
HUKUM
9%
REFORMASI
BIROKRASI
9%
NO
KELOMPOK
JUMLAH
PEMEKARAN WILAYAH
APBN
KEWILAYAHAN
REFORMASI BIROKRASI
HUKUM
POLITIK
KELEMBAGAAN NEGARA
10
PENGELOLAAN SDA
11
12
13
Dari diagram di atas dapat diketahui bahwa 22 (dua puluh dua) undangundang yang dihasilkan, baik nonkumulatif terbuka maupun kumulatif
terbuka, pada 2013 tersebar pada 12 (dua belas) kelompok isu yang berbeda.
Dari 12 (dua belas) kelompok itu, isu pemekaran wilayah menjadi paling
dominan; mencapai 18% atau sama dengan 4 (empat) undang-undang.
Lalu, diikuti dengan kelompok isu APBN dengan 3 (tiga) undang-undang
atau sama dengan 14%.
Selain pemekaran wilayah, tidak ada isu khusus yang dominan pada
kinerja legislasi DPR 2013. Temuan itu bisa dimaknai bahwa DPR tidak
memiliki atau tidak memprioritaskan satu kelompok isu tertentu pada
2013. Selain itu, pada capaian undang-undang pada 2013, ada 7 (tujuh)
undang-undang yang merupakan luncuran dari tahun sebelumnya
dalam arti sudah mulai dibahas pada tahun sebelumnya dan dilanjutkan
pada 2013. Dari data itu, bisa dikatakan bahwa pada 2013 lebih condong
digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang ada dibanding
menggagas pembahasan rancangan undang-undang baru.
14
Adapun dominasi undang-undang pemekaran wilayah dapat diidentifikasi karena adanya kebutuhan untuk memperluas kekuasaan. Bisa juga
berdasarkan asumsi untuk mengutip pundi-pundi dukungan bagi anggota
DPR agar terpilih di Pemilu berikutnya. Hal itu bisa dilihat dari minimnya
proses penilaian dan evaluasi sebelum merealisasikan pemekaran suatu
wilayah. Dalam kenyataannya, wilayah yang dimekarkan tidak dapat
dipastikan bisa mandiri secara perekonomian sehingga kesejahteraan
masyarakatnya ragu-ragu untuk dicapai. Namun, yang bisa dipastikan
dalam suatu pemekaran wilayah adalah munculnya jabatan-jabatan politik
baru, yaitu kepala daerah dan DPRD setempat.
Apabila dibandingkan dengan 2008, kondisinya tidak jauh berbeda.
Undang-undang pemekaran wilayah menjadi yang paling dominan kala itu,
bahkan jauh lebih besar dari 2013, yaitu sebesar 44% atau sama dengan 27
(dua puluh tujuh) undang-undang. Selain itu, undang-undang yang terkait
dengan kelembagaan negara menjadi terbanyak kedua, yaitu sebesar 11%
atau sama dengan 7 (tujuh) undang-undang. Selebihnya tidak ada yang
dominan. Tercatat, isu politik, hukum, informasi dan teknologi, industri
dan perdagangan, serta kewilayahan masing-masing menghasilkan 2 (dua)
undang-undang.
Kecenderungan untuk menyelesaikan rancangan undang-undang
yang sudah lama dibahas, yang terjadi pada 2013, pun merupakan
versi ulangan dari 2008. Pada 2008, ada RUU Keterbukaan Informasi
Publik dan RUU Antipornografi yang berhasil disahkan setelah sangat
lama dibahas. Sementara pada 2013, ada RUU Desa, RUU Organisasi
Masyarakat, dan RUU Aparatur Sipil Negara yang disahkan setelah
melalui periode pembahasan yang memakan waktu cukup lama.
Dari gambaran tersebut, dapat dilihat bahwa walaupun tingkat
capaian jauh berbeda, yaitu 76% pada 2008 dan 31% pada 2013, tetapi
karakteristik capaian yang dihasilkan tidak jauh berbeda. Analisis dari
kelompok isu legislasi memperlihatkan bahwa dominasi undang-undang
yang dihasilkan lebih banyak mengakomodasi kebutuhan elit politik
dibandingkan dengan isu kesejahteraan masyarakat.
15
Dari empat tahun DPR 20092014 bekerja, capaian dan target Prolegnas
tidak pernah sama, naik-turun. Namun, ada kesamaan dari keempat waktu
itu, yaitu tidak pernah sekalipun target yang dicanangkan berhasil dituntaskan. Pada 2013, dari target 70 (tujuh puluh) RUU, hanya berhasil
disahkan 12 (dua belas) undang-undang nonkumulatif terbuka. Dengan
demikian, terdapat selisih 58 (lima puluh delapan) RUU.
TARGET DAN CAPAIAN UU NONKUMULATIF TERBUKA 2012-2013
TARGET
CAPAIAN
93
70
69
70
10
12
2012
2013
19
8
2010
2011
16
KUMULATIF
TERBUKA
TARGET
NONKUMULATIF
TERBUKA
81
70
34
12
27
10
2008
2013
17
Pemilu. Pada tahun itu, DPR berhasil menyelesaikan 61 (enam puluh satu)
undang-undang, yang berarti hampir tiga kali lipat dari capaian 2013.
Apabila melihat lebih dalam, 61 (enam puluh satu) undang-undang
yang dihasilkan pada 2008 terdiri dari 27 (dua puluh tujuh) undangundang non-kumulatif terbuka dan 34 (tiga puluh empat) undang-undang
kumulatif terbuka. Target yang direncanakan dalam Prolegnas berjumlah
81 RUU.
Sementara pada 2013, 22 (dua puluh dua) undang-undang yang
dihasilkan, terdiri dari 12 (dua belas) undang-undang nonkumulatif
terbuka dan 10 (sepuluh) undang-undang kumulatif terbuka. Target yang
dicantumkan dalam Prolegnas adalah 70 RUU. Dari data itu, terlihat
bahwa undang-undang yang dihasilkan, baik kumulatif maupun nonkumulatif terbuka pada 2013 jauh lebih sedikit dari 2008.
Catatan PSHK tentang kinerja legislasi DPR 20042009, pada
bagian capaian tahun 2008, menyebutkan bahwa:
Ibarat permainan sepak bola, tahun 2008 merupakan injury time
bagi DPR periode20042009. Sisa waktu yang singkat memaksa
DPR bekerja lebih keras untuk menghasilkan produk legislasi
yang dapat dianggap sebagai prestasi oleh masyarakat.
Apabila melihat dua uraian di atas, sebenarnya kondisi pada 2008 tidak
jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada 2013. Adapun, letak kesa-
18
maannya adalah waktu masa jabatan yang sudah memasuki injury time
dan tahun ketika anggota DPR sudah harus berbagi fokus menghadapi
Pemilu pada tahun depannya.
Namun, bagai pepatah yang menyatakan lain ladang lain belalang,
lain lubuk lain ikannya, ternyata tempat, waktu, dan kondisi yang serupa
tidak menjamin apa yang dihasilkan sama. Temuan itu membuktikan
bahwa masih ada faktor lain yang menentukan kinerja DPR, terutama
dalam memproduksi suatu undang-undang.
Meski bukan satu-satunya, dinamika internal DPR merupakan salah
satu faktor yang menentukan capaian undang-undang. Selain itu, ada pula
faktor lain yang sudah cukup sering dibahas pada catatan PSHK tentang
kinerja legislasi DPR tahun-tahun sebelumnya, seperti beban pekerjaan
dari pelaksanaan fungsi DPR yang lain, terutama fungsi pengawasan.
Sebagai contoh, kasus dinamika di internal DPR yang menghambat pelaksanaan fungsi legislasi selama 2013 adalah Pemilihan Ketua Komisi III
DPR.11
Capaian yang minim tersebut tampaknya juga berbanding terbalik
dengan apa yang disampaikan pimpinan DPR, Marzuki Alie, pada
pembukaan Masa Sidang III DPR 20122013.12 Disampaikan bahwa
dengan banyaknya RUU yang harus diselesaikan pada 2013 menuntut DPR
agar mengoptimalkan waktu agar semua RUU yang menjadi tanggung
11 Pasca-pencopotan Ketua Komisi III DPR, Gede Pasek Suardika, oleh Fraksi
Demokrat pada 18 September 2013, Komisi III DPR terlilit polemik akan pengganti
sang Ketua. Fraksi Demokrat memutuskan kader lain, Ruhut Sitompul, sebagai
Ketua Komisi III menggantikan Gede Pasek Suardika. Namun keputusan itu tidak
disepakati oleh anggota Komisi III lainnya, bahkan ada yang sampai mengancam
akan keluar dari Komisi III, apabila keputusan itu tetap dipertahankan. Polemik
siapa pengganti sang Ketua lama berlanjut, sampai beberapa kali unsur pimpinan
DPR harus turun tangan memimpin rapat untuk menyelesaikan permasalahan.
Polemik itu terus berjalan sampai mengganggu agenda-agenda kegiatan Komisi III,
termasuk pelaksanaan fungsi legislasi. Polemik berakhir ketika Fraksi Demokrat
akhirnya menunjuk Pieter Zulkif li untuk duduk sebagai Ketua Komisi III. Sampai
akhirnya Pieter dikukuhkan sebagai Ketua Komisi III DPR pada 8 Oktober 2013.
12 Lihat DPR dan Pemerintah tetapkan 70 RUU Prioritas Tahun 2013 http://www.dpr.
go.id/parlementaria/magazine/m-99-2013.pdf.
19
jawab DPR dapat terselesaikan dengan baik. Dalam Masa Sidang III ini,
Dewan menargetkan 60% alokasi waktu diperuntukkan bagi kegiatan
legislasi dan 40% bagi kegiatan anggaran dan pengawasan. Di tahun 2013
inilah, sangat kita harapkan bahwa kinerja di bidang legislasi benar-benar
tertangani dengan baik, mengingat tahun depan adalah tahun pelaksanaan
pemilu. Hal ini juga untuk menjawab kritik masyarakat terhadap kinerja
dewan, terutama pada bidang legislasi, jelas Marzuki Alie.
BAB II
MENAKAR
KUALITAS LEGISLASI
13 Svein Eng, Legislative Inflation and the Quality of Law, dalam Legisprudence: A New
Theoretical Approach to Legislation, Luc Wintgens (Ed), Oxford-Portland Oregon,
Hart Publishing, 2002, hlm. 67.
14 Erni Setyowati dkk, Bobot Berkurang, Janji Masih Terutang: Catatan PSHK tentang
Kualitas Legislasi 2006, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2007,
hlm. 47.
22
Pada bagian ini, yang ingin kami hadirkan adalah kerangka konsepsional dalam melakukan analisis terhadap undang-undang yang dihasilkan
oleh DPR bersama-sama dengan Pemerintah. Undang-undang yang
dimaksud adalah undang-undang dengan kategori nonkumulatif terbuka
karena karakteristiknya yang substantif. Kami mengajukan 2 (dua)
kategori utama dalam melakukan penilaian terhadap kualitas legislasi.
Satu adalah proses, satunya lagi adalah substansi. Dari sisi proses, kami
bermaksud mengupas bagaimana undang-undang itu dibahas. Sementara
itu, melalui pendalaman terhadap substansi, kami menyajikan apa isi dari
satu per satu undang-undang. Kedua hal ituproses dan substansi
saling terkait dan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Substansi
yang baik cenderung dilahirkan dari proses yang baik pula.
KATEGORI PROSES
Berikut adalah beberapa poin kunci yang kami susun untuk menilai
pembahasan suatu undang-undang dari sisi proses.
SIAPA YANG MENGUSULKAN
23
24
25
Maksud dari metode pembahasan adalah bagaimana cara suatu undangundang dibahas. Apakah menggunakan metode tertentu? Bagaimana
alur sidang yang disepakati dalam pembahasan? Adakah alat bantu yang
digunakan dalam membahas suatu undang-undang?
Kadang kala, pembahasan suatu rancangan undang-undang melalui
metode konvensional dirasa tidak efektif dan tidak optimal. Untuk itu,
dibutuhkan inovasi tertentu. Belakangan ini, metode yang mulai diadopsi
adalah metode clustering. Prosesnya dimulai dengan melakukan pengelompokan terhadap permasalahan yang ada. Tim Substansi bertugas untuk
membahas hal-hal yang bersifat substansial. Sementara, Tim Sinkronisasi
bertugas untuk membahas hal yang bersifat nonsubstansial, misalnya
redaksional.
DINAMIKA PENGAMBILAN KEPUTUSAN
26
Berikut adalah beberapa pertanyaan kunci yang kami susun untuk menilai
substansi suatu undang-undang.
TUJUAN PENGATURAN DAN MASALAH YANG INGIN DIPECAHKAN
Pada bagian tujuan pengaturan ini, hal yang ingin disasar adalah
diperolehnya pemahaman mengenai latar belakang lahirnya suatu undangundang. Untuk itu, dirumuskan tujuan dan bagaimana suatu rancangan
undang-undang dapat merespons permasalahan yang ada. Kemudian,
apakah permasalahan-permasalahan yang ada terpecahkan melalui
pembentukan undang-undang itu.
Menurut Robert J. Martineau dan Michael B. Salerno, perancang
menentukan apakah tujuan dari peraturan itu dapat dicapai, apa saja yang
menjadi tantangan dan batasan dalam pencapaiannya, dan pendekatan
apakah yang sebaiknya digunakan dalam mencapai tujuan itu.17
SIAPA-SIAPA SAJA YANG AKAN DIATUR
17 Robert J. Martineau dan Michael B. Salerno, Legal, Legislative, and Rule Drafting in
Plain English, Thomson/West, 2005, hlm. 17.
18 Lihat Ann Seidman dan Robert B. Seidman, Boston University Law Review,
ILTAM: Drafting Evidence-Based Legislation for Democratic Social Change,
Cambridge University Press, Cambridge, 2004, hlm. 451.
27
Soal yang ingin dipastikan dalam hal ini adalah materi muatan dari
undang-undang tidak boleh bertentangan dengan pasal maupun prinsip
dalam UUD NRI 1945. Ketidaksesuaian itu akan berujung pada pengujian
konstitusional di Mahkamah Konstitusi. Selain itu, harus ada keselarasan
antara prinsip yang ada dalam satu undang-undang dan prinsip yang ada
dalam undang-undang lain. Batu uji berikutnya adalah apakah prinsip
dalam undang-undang itu sejalan atau bertentangan prinsip-prinsip yang
diakui secara universal, misalnya hak kebebasan berserikat, asas praduga
tidak bersalah, nondiskriminasi, transparansi, dan sebagainya.
PENGARUHNYA TERHADAP HAM, PEMBERANTASAN
KORUPSI, LINGKUNGAN, KESETARAAN GENDER, DAN LAIN-LAIN
28
PENDELEGASIAN WEWENANG
Sanksi seakan bagian yang tidak bisa tidak dicantumkan dalam undangundang. Padahal, tidak selalu demikian. Sanksi pun bukan melulu soal
sanksi pidana, ada jenis lain seperti sanksi administratif dan perdata. Hal
pertama yang perlu ditelusuri adalah penentuan subjek yang diancam suatu
sanksi. Setelah itu, perlu melihat apa perbuatan apa yang diancam dengan
sanksi tersebut. Berat-rendahnya sanksi yang diterapkan merupakan
bagian berikutnya. Lalu, perlu diperhatikan sistem perumusan dari sanksi
tersebut.
Pada bagian ini, juga sangat penting untuk melihat kesesuaian
pengaturan sanksi dalam suatu undang-undang dengan peraturan perundang-undangan lain. Apabila ada dua atau lebih pengaturan yang berbeda
tetapi ditujukan pada perbuatan yang sama, itu akan menimbulkan
kekacauan dalam penegakannya. Rangkaian ini diakhiri dengan menjawab
pertanyaan, apakah pengaturan sanksi cukup jelas dan tidak multitafsir?
PENGATURAN PENINJAUAN KEMBALI
Ketentuan monitoring dan evaluasi perlu diperhatikan dalam menganalisis suatu undang-undang. Karena dengan dasar itu, penerapan
undang-undang dalam implementasi dapat dilihat dan diukur efektivi-
29
Pada tahap awal, penelusuran dapat hanya didasarkan pada pemeriksaan teks undang-undang saja. Bagaimana potensi beban, dampak, serta
manfaat dari dihadirkannya suatu undang-undang? Apakah lebih tepat
suatu permasalahan dipecahkan melalui pembentukan undang-undang
atau cara lain? Secara lebih komprehensif, cost and benefit analysis ini cukup
berkembang dan menjadi bagian tersendiri untuk dibahas.
TANTANGAN DALAM IMPLEMENTASI
Pada bagian ini, yang akan dijawab adalah bagaimana ketika undangundang tersebut diterapkan. Apakah terdapat tantangan atau tidak?
Dan, bagaimana undang-undang itu menyelesaikannya? Sisi efektivitas
dari pelaksanaan undang-undang diteropong berdasarkan pengaturan
normatifnya. Kualitas peraturan kerap didekatkan dengan efektivitas
dan efisiensi, tapi juga seharusnya ditakar dari kemampuannya untuk
diimplementasikan.19
STRUKTUR PENGATURAN UNDANG-UNDANG
30
BAB III
MENGURAI
UNDANG-UNDANG
tentang
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme. Ini
berkaitan dengan kestabilan perekonomian nasional yang sudah baik. Saat
ini, seluruh negara yang tergabung dalam G-20 sudah memiliki aturan itu,
kecuali Indonesia dan Turki. Aturan itu sendiri diwajibkan oleh Financial
Action Task Force (FATF). Kalau tidak, menurut dunia, Indonesia masuk
dalam negara noncooperative jurisdiction. Terlebih ketika Indonesia akan
di-review pada 2013, ujar Agus Martowardjojo, Menteri Keuangan.21
Pertimbangan terhadap citra Indonesia di dunia Internasional cukup
mewarnai terbitnya UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Pendanaan Tindak Pidana Terorisme (UU Pemberantasan
Pendanaan Terorisme). FATF yang populer dengan 9 Rekomendasi
Khususnya 22 , mensyaratkan agar semua negara memidanakan pendanaan
INDONESIA PATUT MERAMPUNGKAN PEMBAHASAN RUU
32
teroris, tindakan teroris, dan organisasi teroris. Tidak cukup hanya dengan
memidanakan pencucian uang, tetapi juga mengkriminalisasi pendanaan
terorisme sebagai tindak pidana yang terpisah.23
Ini bukan hal baru, melainkan aturan lebih lanjut dari aturan
yang sudah ada. Indonesia sebelumnya telah meratifikasi International
Convention for the Supression of the Financing of Terrorism dengan UU
No. 6 Tahun 2006. Sementara untuk tindak pidana terorisme pokoknya,
telah diterbitkan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme.24 Kesan desakan internasional sangat gamblang. Meski
demikian, amunisi untuk memberantas terorisme semakin lengkap.
Pemberantasan tindak pidana terorisme tentu saja merupakan hal
yang penting dan menjadi perhatian bersama. Salah satu kunci keberhasilannya adalah memutus aliran dana kegiatan itu. 25 Untuk itu, aturan
pencegahan dan pemberantasan pendanaan tindak pidana terorisme pun
harus ada. Namun, bagaimana cara pengaturannya juga merupakan hal
yang tak bisa luput untuk diperbincangkan.
Sama Tapi Tak Serupa
Ada dua perhatian utama terkait dengan substansi undang-undang ini.
Terutama apabila disandingkan dengan UU No. 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU
TPPU). Ada kesamaan dan ada perbedaan.
33
34
Begitu juga dengan definisi terduga. Konsep itu jelas tidak memiliki
referensi apapun dalam hukum acara pidana di Indonesia, termasuk
dalam undang-undang ini. 30 Bukan semata ketiadaan rujukan. Konsep
terduga merupakan pintu masuk bagi kesewenang-wenangan dalam proses
penegakan hukum. Dan, sudah jelas ini bertentangan dengan asas praduga
tidak bersalah; asas universal sebagai turunan konsepsi negara hukum.
Tidak cukup sampai di situ, melalui BAB VII undang-undang ini,
diperkenalkan pengaturan Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris.
Pengaturan ini memberi peran yang begitu besar kepada Kepala Kepolisian
RI (Kapolri) untuk menyusun daftar tersebut. Permohonan diajukan dan
ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta. Tidak ditemukan batasan yang
jelas; alasan pencantuman seseorang atau korporasi dalam daftar itu. 31
Tak heran, pengaturannya masih sebatas prosedural pengajuan, bukan
pemeriksaan materi yang substansial.
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang menetapkan
daftar itu diposisikan bagai lembaga stempel administrasi semata. Tidak
ditemukan adanya kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap daftar
yang diajukan. 32 Bagi orang atau korporasi yang dicantumkan dalam
daftar, mekanisme upaya perlawanan secara hukum hanya dimungkinkan
pada tindakan pemblokiran, bukan pada pencantuman pada daftar terduga
itu.
Meski demikian, untuk tindakan pemblokiran ini, ada angin segar
yang diberi. Gugatan terhadap tindakan pemblokiran, berdasarkan daftar
terduga, ditempuh melalui gugatan keperdataan. 33 Hal ini memberikan
30 Lihat UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pada konsep Hukum
Acara Pidana Indonesia, hanya terdapat status tersangka, terdakwa, dan terpidana
dengan batasan dan pengertian yang jelas. Konsep terduga ini masuk dalam DIM
Fraksi Golkar. Awalnya hanya sekadar melakukan klarifikasi tanpa mengusulkan
perubahan.
31 Pihak yang dapat dicantumkan dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris
adalah orang atau korporasi. Lihat Pasal 27 ayat (1) UU No. 9 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Pendanaan Terorisme.
32 Pasal 28 ayat (3) UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Pendanaan Terorisme.
33 Pasal 29 ayat (5) UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
35
34
35
Pendanaan Terorisme.
Pasal 108 ayat (3) Tata Tertib DPR.
Pasal 108 ayat (4) Tata Tertib DPR.
36
37
38
39
40
41
SESUDAH
ORGANISASI
MASYARAKAT SIPIL
(OMS/CSO)
TIDAK
BERBADAN
HUKUM
YAYASAN
ORMAS
PERKUMPULAN
ORMAS
TIDAK
BERBADAN
HUKUM
YAYASAN
PERKUMPULAN
42
43
44
45
46
Pasal tersebut sangat mengekang kebebasan masyarakat dalam memanfaatkan hasil hutan untuk keperluan sendiri. Ketentuan yang akan sangat
mengekang dan berpotensi mengkriminalkan masyarakat adalah adanya
mekanisme izin dari pejabat yang berwenang. Mekanisme izin akan
mempersulit masyarakat adat dalam memenuhi kebutuhan pribadinya,
apalagi jika izin dikenakan terhadap hasil hutan yang selama ini mereka
manfaatkan secara bebas. Apabila tidak mendapatkan izin, masyarakat
akan dengan mudah dianggap melanggar hukum.
Satu lagi pasal yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat dalam
penerapannya adalah Pasal 26 UU Pemberantasan Perusakan Hutan. Pasal
itu mengatur bahwa:
Pasal 26
Setiap orang dilarang merusak, memindahkan, atau menghilangkan pal
batas luar kawasan hutan, batas fungsi kawasan hutan, atau batas kawasan
hutan yang berimpit dengan batas negara yang mengakibatkan perubahan
bentuk dan/atau luasan kawasan hutan.
Pasal itu yang selama ini menjadi permasalahan di lapangan. Sebelum ada
judicial review terhadap istilah kawasan hutan oleh MK, penentuan wilayah
yang termasuk dalam kawasan hutan dilakukan dengan cara penunjukan
yang tidak berdasar. Selain itu, mekanisme dalam menentukan kawasan
hutan dilakukan sepihak oleh Pemerintah atau Kementerian Kehutanan.
Realitas itu menyebabkan masyarakat tidak puas atau tidak sepakat dengan
47
Dalam pasal itu, terlihat bahwa sanksi yang diancamkan tidak hanya
sanksi pidana saja, tapi juga sanksi denda. Kedua ketentuan sanksi itu
48
49
50
51
52
53
54
terkesan hanya menjadi iming-iming. Beberapa hal di atas, juga sedikitbanyaknya belum mampu menjawab kebutuhan riil petani seperti
ketersediaan lahan dan pupuk.47 Apa benar demikian?
Salah satunya adalah dalam hal jaminan luasan lahan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 58 UU Petani. Selain terdapat jaminan kemudahan
untuk memperoleh tanah negara, Pemerintah juga memfasilitasi pinjaman
modal untuk memiliki dan memperluas kepemilikan lahan pertanian.
Di sinilah letak kontraproduktifnya. Kemudahan untuk memperoleh
lahan pertanian itu diberikan dalam bentuk hak sewa, izin pengusahaan,
izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan.48 Jelas, bahwa kata yang tepat
sebenarnya bukan memberikan dan memperoleh. Masalah penguasaan
terhadap lahan yang sebetulnya menjadi pangkal permasalahan petani
disasar secara tidak tepat melalui hak menyewa dari Pemerintah.49
Masalah permodalan bagi petani lain lagi ceritanya. Pasal 66
UU Petani menyatakan bahwa Pemerintah berkewajiban memfasilitasi pembiayaan dan permodalan usaha tani. 50 Anggarannya bersumber
dari APBN dan APBD. Namun, tidak dirinci bagaimana petani dapat
memperoleh modal dan biaya itu. Justru yang dirinci adalah pembiayaan
dan permodalan bagi usaha tani dilakukan melalui BUMN atau BUMD
bidang perbankan dan bank swasta. Nantinya dibentuk satu unit khusus
yang menangani hal itu. Semakin terlihat bahwa lembaga pembiayaan dan
permodalan yang dimaksud melalui skema pinjaman perbankan. Kata-kata
yang digunakan adalah kredit dengan prosedur mudah dan persyaratan
lunak.
Tidak kalah menarik adalah asuransi pertanian. Setiap petani difasilitasi menjadi peserta asuransi pertanian oleh Pemerintah. Badan yang
47 http://nasional.kontan.co.id/news/uu-perlindungan-petani-akan-digugat-ke-mk,
diakses pada 3 Maret 2014.
48 Pasal 58 dan 59 UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan
Petani.
49 http://www.kpa.or.id/?p=2997, diakses pada 3 Maret 2014.
50 Pasal 66 UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
55
56
perlindungan petani. Pelaku usaha merupakan salah satu unsur yang akan
ada dalam kepengurusan Dewan ini. Jika demikian, bukankah peluang
moral hazard yang akan timbul sangat besar? Kewajiban berorganisasi
dalam wadah tunggal dan pembentukan Dewan antara pengusaha dan
Pemerintah membuat kita bertanya: apa betul petani yang kelak akan
diuntungkan dengan adanya undang-undang ini?
Proses Pembahasan
Inisiatif penyusunan UU Petani ini dimulai sejak Surat Presiden (Surpres)
No. 59 Tahun 2011 disampaikan kepada DPR pada 29 November 2011.
Dalam surat itu, disebutkan mitra kerja DPR dalam pembahasan undangundang ini adalah Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Menteri Pertanian. UU Petani ini
pun menjadi usul inisiatif Komisi IV DPR.
Pembahasan dilakukan dengan menggunakan Daftar Inventarisasi
Masalah (DIM) sebanyak 518 nomor DIM. Pembahasan pada tingkat
Rapat Kerja dilaksanakan pada 21 dan 26 November 2012 serta 4 Juli 2013.
Pembahasan pada tingkat Panitia Kerja dimulai sejak 30 Januari sampai
dengan 1 Juni 2013. Rapat Tim Perumus/Tim Kecil dilaksanakan pada
2022 Mei 2013. Sementara, rapat Tim Sinkronisasi dilaksanakan pada
2628 Juni 2013. Lalu, 4 Juli 2013, rapat kerja antara Komisi IV DPR dan
Pemerintah menyetujui judul dan substansi undang-undang yang sudah
dibahas oleh Panitia Kerja selama kurang lebih 18 (delapan belas) bulan
tersebut. Kesepakatan itu berlanjut untuk dibawa dalam pembicaraan
tingkat II atau forum persetujuan yang dilaksanakan pada 9 Juli 2013.
Dalam proses penyusunannya, tercatat telah dilakukan Rapat
Dengan Pendapat Umum (RDPU); antara lain dengan Tenaga Harian
Lepas-Tenaga Bantu Buruh Pertanian (THL-TBPP). Namun, dokumentasi RDPU dengan pihak lainnya tidak disebutkan secara spesifik dalam
Laporan Akhir UU ini ketika disampaikan pada Rapat Paripurna DPR 9
Juli 2013.
57
58
menjadi suatu hak dasar dari setiap warga negara. Di Indonesia, dalam
Pasal 28 H ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa, Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan. Dengan akses yang sulit dalam mendapat memperoleh
pelayanan kesehatan, berarti negara belum mampu memenuhi hak dasar
warga negaranya.
Tingginya biaya pelayanan dan tidak meratanya keberadaan dokter
tidak terlepas dari kondisi pendidikan kedokteran saat ini. Ada berbagai
tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan kedokteran
saat ini. Pertama, mutu pendidikan masih rendah dan kualitas bervariasi
antara penyelenggara pendidikan kedokteran satu dengan yang lainnya.
Kedua, tenaga pengajar dari penyelenggaran pendidikan kedokteran masih
kurang.
Ketiga, penyelenggaraan pendidikan kedokteran spesialis bervariasi
dan biayanya dibebankan kepada peserta didik, selain ada pula pungutan
lain. Keempat, sistem pendidikan yang tidak terintegrasi. Kelima, belum
adanya pengaturan mengenai rumah sakit pendidikan. Dan, keenam,
peluang penerimaan kecil dibandingkan dengan permintaan dari
masyarakat yang cenderung terus meningkat. Akibatnya, ada mekanisme
pasar yang tidak terkontrol, yang menyebabkan biaya pendidikan tinggi,
sehingga biaya kesehatan yang dibebankan oleh dokter pascalulus juga
tinggi. 53
Sebagai gambaran dari biaya pendidikan kedokteran yang tinggi
adalah biaya studi Fakultas Kedokteran di Universitas Gajah Mada yang
meliputi sumbangan peningkatan mutu akademik (SPMA), yang dibayar
sekali selama pendidikan dengan nilai bervariasi bergantung Prodi
(Program Studi) dan penghasilan orangtua, sebesar Rp10.000.000
Rp100.000.000. Sementara itu, untuk Sumbangan Penyelenggaraan
Pendidikan (SPP) dan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) sebesar Rp2
53 Naskah Akademik RUU tentang Pendidikan Kedokteran, 2011, hlm. 35.
59
60
61
62
mengatur sampai pendanaan rumah sakit pendidikan. Dalam menganalisis hal itu, perlu dipahami bahwa pengaturan satu pasal dengan pasal yang
lain dalam satu undang-undang yang sama adalah berkaitan. Pasal 22 dan
23 UU Rumah Sakit memang tidak mengatur mengenai pendanaan, tetapi
pengaturan itu ada pada Pasal 48 ayat (1) yang mengatur bahwa:
Pembiayaan Rumah Sakit dapat bersumber dari penerimaan Rumah Sakit,
anggaran Pemerintah, subsidi Pemerintah, anggaran Pemerintah Daerah,
subsidi Pemerintah Daerah atau sumber lain yang tidak mengikat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Makna rumah sakit dalam Pasal 48 ayat (1) dapat dipersamakan dengan
rumah sakit pendidikan karena rumah sakit pendidikan juga merupakan
jenis dari rumah sakit, yang diatur dalam Pasal 22. Untuk pengaturan lebih
lanjut mengenai pembiayaan rumah sakit pendidikan, dalam Pasal 48 ayat
(2) disebutkan bahwa pengaturannya diatur lebih lanjut dalam peraturan
pemerintah.
Urgensi ketiga dalam pembentukan UU Pendidikan Kedokteran
adalah penetapan kurikulum kedokteran dan pendanaannya. Dalam UU
Sistem Pendidikan Nasional, pengaturan mengenai kurikulum ada pada
Bab tersendiri, yaitu Bab X. Dalam Bab itu, diatur mengenai pengaturan
kurikulum secara umum dan pada ayat terakhir disebutkan bahwa
ketentuan lebih lanjut diatur dalam peraturan pemerintah. Oleh karena
itu, urgensi itu seharusnya tidak masuk dalam undang-undang, tetapi
masuk dalam peraturan pemerintah.
Senada dengan urgensi lainnya, urgensi terakhir dari UU Pendidikan
Kedokteran juga seharusnya diatur dalam peraturan pemerintah; bukan
diatur dalam undang-undang. Urgensi terakhir itu adalah pengaturan
khusus mengenai dosen pendidik yang tidak ditemukan di UU Sistem
Pendidikan Nasional. Bab XI UU Sistem Pendidikan Nasional mengatur
perihal Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Bab itu mengatur secara
umum mengenai pendidik, termasuk dosen sebagai tenaga pendidik dalam
63
64
Salah satu bentuk Rapat Dengar Pendapat umum yang dilaksanakan oleh DPR adalah di Surabaya, Panja Komisi X itu mengadakan
RDPU tentang RUU Pendidikan Kedokteran dengan mengundang
Ikatan Dokter Indonesia Provinsi Jatim, Direktur Rumah Sakit
Penyelenggara Pendidikan Kedokteran, Konsil Kedokteran Indonesia,
Kolegium Kedokteran Indonesia, Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia,
BEM Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, dan BEM Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Airlangga. Dalam waktu yang sama, Panja
Komisi X juga menurunkan dua tim yang berbeda untuk melaksanakan
RDPU, yaitu ke Provinsi Sumatera Selatan, yang dipimpin Ketua Komisi
X DPR, H. Mahyuddin dan ke Provinsi Sumatera Utara, yang dipimpin
Wakil Ketua Komisi X H. Asman Abnur. 57
Walaupun membuka kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi, dinamika pembahasan RUU Pendidikan Kedokteran juga diwarnai
dengan adanya aksi protes dari stakeholders terkait, yaitu IDI. Dalam
suatu kesempatan, IDI mengutarakan keluar dari tim Pemerintah dalam
pembahasan RUU Pendidikan Kedokteran bersama Panja Komisi X.
Pernyataan keluar itu dilayangkan karena IDI menganggap Pemerintah
tidak serius dalam menerima masukan dari mereka dan lebih menerima
masukan dari DPR.
Selain menyatakan keluar, IDI juga mengancam akan melakukan
judicial review atas UU Pendidikan Kedokteran apabila tidak ada
perubahan sampai kelak disahkan. Prijo Sidipratomo, Ketua umum PB
IDI, menyatakan bahwa awalnya IDI mendukung pembahasan RUU
Pendidikan Kedokteran karena dasarnya mulia, yaitu keprihatinan akan
biaya pendidikan kedokteran yang mahal. Namun, setelah IDI mengikuti
pembahasan RUU ini selama setahun, perubahan isinya menyimpang
dari tujuan semula. Salah satunya, RUU itu tidak secara tegas menyatakan
65
66
saan dapat menjadi sarana penghubung antara satu wilayah dan wilayah
lain. Pengembangan telekomunikasi, pemantauan cuaca, satelit siaran
langsung, mitigasi bencana, dan pelayanan navigasi adalah sedikit dari
beberapa hal yang bergantung pada pemanfaatan keantariksaan.63
Sebelum undang-undang ini dibentuk, pengembangan dunia keantariksaan mengacu pada beberapa perjanjian internasional. Memang,
dunia internasional, baik saat itu maupun sekarang, sangat bergeliat
dengan keantariksaan. Perlombaan Amerika Serikat (Apollo) dengan Uni
Soviet (Sputnik) menegaskannya. Salah satu ketentuan internasional yang
dijadikan acuan utama secara universal adalah Outer Space Treaty 1967.64
Ketentuan ini telah diratifikasi dengan UU No. 16 Tahun 2002.
Di satu sisi, lahirnya undang-undang ini patut diapresiasi. Di sisi
lain, pertanyaan mengapa baru sekarang undang-undang ini dibentuk
selalu mengikuti. Ada kecurigaan kita rabun melihat peluang besar untuk
dipetik dan diramu. Keberpihakan terhadap pengembangan keantariksaan
menjadi tanda tanya. Bagaimana tidak? Selama ini, belum ada undangundang khusus yang mengatur tata laksana keantariksaan. Kalaupun
ada, tersebar dalam undang-undang lain, seperti UU No. 36 Tahun 1999
tentang Telekomunikasi dan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Bahkan, LAPAN sebagai ujung tombak pengembangan keantariksaan pun
dibentuk hanya dengan Keputusan Presiden.65
pada 6 0 LU- 110 LS dan 910 BT -1410 BT memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan negara lain. Posisi geografis yang mendekati 0 0 mengurangi biaya
peluncuran dan memberikan keuntungan ekonomi yang signifikan. Ibid, hal 13. Hal
senada juga disampaikan oleh Fraksi Demokrat. Lihat Pandangan Mini Fraksi Atas
RUU Keantariksaan.
63 Ibid, hlm. 14.
64 Nomenklatur resmi dari perjanjian internasional ini adalah Treaty on Principles
Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space, Including
the Moon and Other Celestial Bodies. Perjanjian internasional tersebut dapat dilihat di
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Keantariksaan, hlm. 912.
65 Beberapa Keputusan Presiden (Keppres) itu adalah No. 18 Tahun 1974, Keppres No.
33 Tahun 1988, Keppres No. 24 Tahun 1994, Keppres No. 132 Tahun 1998, Keppres
No. 166 Tahun 2000, Keppres, 62 Tahun 2001, Keppres No. 178 Tahun 2000,
Keppres No. 60 Tahun 2001, dan terakhir Keppres No. 103 Tahun 2001.
67
68
69
korporasi. Selain itu, besaran dan tata cara pengenaan denda administratif
dilakukan melalui peraturan pemerintah sehingga batasannya pun tak
jelas.
Pasal 94
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara sebagaian atau seluruh kegiatan;
c. denda administratif;
d. pembongkaran bangunan;
e. pencabutan izin;
f. pembubaran korporasi atau badan hukum;
g. larangan menduduki suatu jabatan; dan/atau
h. pencabutan hak.
Sanksi pidana yang paling ringan adalah 6 (enam) bulan dan yang
terberat adalah 20 (dua puluh) tahun penjara. Sanksi dengan lama 20 (dua
puluh) tahun ini yang perlu menjadi sorotan. Soalnya, Pasal 12 KUHP
menyatakan bahwa pidana penjara paling pendek satu hari dan paling lama
lima belas tahun berturut-turut.69 Pidana penjara 20 (dua puluh) tahun
hanya boleh dijatuhkan dalam hal hakim boleh memilih antara pidana
mati, pidana seumur hidup, dan penjara selama waktu tertentu.70 Untuk
ketentuan terakhir ini, diberikan melalui putusan hakim, bukan pada
perumusan tindak pidana dalam undang-undang.
Dalam UU Keantariksaan, denda paling ringan yang dapat
dijatuhkan adalah Rp500.000.000 (lima ratus juta) rupiah, sedangkan
yang paling tinggi adalah Rp5.000.000.000 (lima triliun) rupiah.
Bahkan, untuk perbuatan tertentu, sanksi pidana denda terhadap
korporasi dapat dijatuhkan 3 (tiga) kali lebih berat dari orang perorangan.
69
70
70
71
tanggapan itu akan dimasukkan dalam catatan rapat tanpa ada perubahan
substansi lagi.
Proses pembahasan undang-undang ini cukup singkat. Mulai dari
diturunkannya Surat Presiden pada 11 April 2012 hingga berhasil disahkan
pada 13 September 2012. Tak lebih dari lima bulan. Terlepas dari itu, tak
ada salahnya mengucapkan selamat datang babak baru Keantariksaan
Indonesia!
72
73
Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik juga diatur mengenai hak atas kewarganegaraan. Perjanjian internasional yang juga menjamin pemenuhan hak
atas kewarganegaraan adalah Konvensi Hak Anak, yang mengatur dalam
Pasal 7, bahwa anak akan didaftarkan segera setelah kelahiran dan berhak
memperoleh kewarganegaraan.
Dalam Pasal 4 Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik
dinyatakan bahwa pengakuan seseorang sebagai subjek hukum termasuk
jenis non-derogable rights atau hak yang tidak bisa dihilangkan atau
disimpangi. Oleh karena itu, pemenuhannya tidak boleh dikurangi oleh
negara dalam kondisi apapun, meski dalam kondisi darurat sekalipun.
Enam Bulan Langsung Pengesahan
UU Administrasi Kependudukan hanya memerlukan enam bulan untuk
dibahas bersama oleh DPR dan Pemerintah, lalu disahkan. Jangka waktu
itu tergolong cepat, di tengah undang-undang lain yang membutuhkan
waktu hingga satu sampai dua tahun untuk merampungkannya.
Undang-undang yang mengatur 31 (tiga puluh satu) poin perubahan
ini mulai diusulkan oleh Pemerintah kepada DPR pada 10 Mei 2013
melalui Surat Presiden RI Nomor R-16/Pres/05/2013. Proses pembahasan
memasuki tahap pengambilan keputusan di pembicaraan tingkat I
pada 4 Juli 2013. Fraksi-fraksi di Komisi II dan Pemerintah bersepakat
untuk menyetujui RUU Administrasi Kependudukan diteruskan ke
tahap berikutnya. Namun, Menteri Dalam Negeri kemudian memohon
penundaan dengan alasan masih ada beberapa hal yang masih perlu
dikonsultasikan dan dikomunikasikan oleh Pemerintah secara internal.75
Rapat Panitia Kerja (Panja) kembali digelar pada 20 November 2013.
Dalam rapat itu, disepakati bahwa pembahasan akan dilaporkan pada
Pengambilan Keputusan Tingkat I/Rapat Kerja pada 21 November
74
75
76
77
78
79
80 Lebih lengkapnya ada 14 (empat belas) pasal yang dinyatakan bertentangan dengan
UUD NR I 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Lihat Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010.
80
81
82
83
84
96 Pasal 20 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil.
97 Pasal 21 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil.
98 Pasal 22 UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil.
85
86
87
104 Tetapkan Ketua dan Wakil Ketua Pansus RUU Jabatan Notaris, www.tempo.co,
http://www.tempo.co/read/news/2012/06/24/140412504/Tetapkan-Ketua-danWakil-Ketua-Pansus-RUU-Jabatan-Notaris, diakses pada 24 Juni 2012.
88
DIM yang substantif, Panitia Kerja lah yang beraksi. Mekanisme ini juga
awalnya mendukung harapan Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso, agar
Pansus dapat selesai sesuai dengan tenggat waktu yang sudah ditentukan,
yaitu dua kali masa sidang.105 Tetapi yang terjadi, justru memakan waktu
tiga kali lipatnya.
Pembahasan 18 (delapan belas) kluster dengan 72 (tujuh puluh dua)
nomor DIM itu dilakukan bersamaan dengan konsultasi untuk mendapatkan masukan. RDPU dengan berbagai pihak pun tak luput dilakukan,
seperti Kepolisian, Kejaksaan, Badan Pertanahan Nasional, Himpunan
Konsultan Hukum Pasar Modal, Perhimpunan Bank Swasta Nasional,
Ikatan Notaris Indonesia, Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Ikatan
Pejabat Lelang Indonesia, Majelis Pengawas Pusat Real Estate Indonesia,
Ikatan Hakim Indonesia, dan para pakar kenotariatan dari berbagai universitas. Pastinya, kegiatan itu memakan waktu yang cukup banyak. Belum
lagi kalau melihat pengelompokan isu yang begitu detil. Di antaranya:
kewenangan notaris dalam membuat akta pertanahan, pengangkatan
notaris, usia cakap melakukan perbuatan hukum, bahasa akta, jangka
waktu pengambilan sumpah, pemberhentian sementara notaris, cuti
notaris, dan kewenangan Majelis Pengawas.
Perubahan dengan Dasar Evaluasi
Pembahasan undang-undang ini didorong oleh evaluasi terhadap undangundang sebelumnya yang masih menimbulkan permasalahan sehingga
tidak efektif dalam impelementasinya. Hal ini patut diapresiasi karena
ada mekanisme monitoring dan evaluasi yang berjalan, terlepas dari
disebutkan atau tidak dalam undang-undang tersebut.
Dalam naskah akademik, disebutkan beberapa masalah yang muncul
dalam pelaksanaan undang-undang sebelumnya, adalah (i)keberadaan
Notaris Pengganti Khusus; (ii)magang calon notaris; (iii)usia pensiun
notaris dan kaitannya dengan perpanjangan usia pensiun; (iv)kewenangan
105 Ibid.
89
90
91
92
93
94
107 Thee Kian Wie, Policies For Private Sector Development in Indonesia, Asian
Development Bank Institute Working Paper, 2006.
95
Dalam
penjelasannya,
Sekretaris
Jenderal
Kementerian
Perindustrian, Ansari Bukhari, menyebutkan bahwa kebijakan makro
perindustrian dengan adanya UU Perindustrian ini nantinya akan
terpusat di Kementerian Perindustrian; sementara kebijakan teknis
akan diserahkan pada Kementerian terkait.108 Pernyataan itu diperkuat
oleh Harris Munandar, Kepala Pusat Pengkajian dan Iklim Usaha
Kementerian Perindustrian, kelak UU Perindustrian ini akan menempatkan Kementerian sebagai pemegang otoritas penuh dalam kebijakan
perindustrian. Otoritas penuh ini penting untuk memacu pertumbuhan,
perkembangan, dan daya saing industri dalam negeri menjadi lebih
kompetitif.109
Dukungan Daya Saing Melalui Lembaga Baru
Terdapat beberapa pasal dalam UU Perindustrian ini yang masih menimbulkan pertanyaan, antara lain:
Pasal 86
(1) Produk dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 wajib
digunakan oleh:
a. lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian,
dan satuan kerja perangkat daerah dalam pengadaan barang/jasa
apabila sumber pembiayaannya berasal dari anggaran pendapatan dan
belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, termasuk
pinjaman atau hibah dari dalam negeri atau luar negeri; dan
b. badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha
swasta dalam pengadaan barang/jasa yang pembiayaannya berasal
dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan
dan belanja daerah dan/atau pekerjaannya dilakukan
108 Kontan, Ibarat Raja Dengan Kekuasaan Besar, 612 Januari 2014.
109 Ibid.
96
melalui pola kerja sama antara Pemerintah dengan badan usaha swasta
dan/atau mengusahakan sumber daya yang dikuasai negara.
97
Pasal 44
(1) Pemerintah memfasilitasi ketersediaan pembiayaan yang kompetitif
untuk pembangunan Industri.
(2) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal
dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan usaha, dan/atau orang
perseorangan.
(3) Pembiayaan yang berasal dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diberikan kepada
Perusahaan Industri yang berbentuk badan usaha milik negara dan
badan usaha milik daerah.
Pasal 48
(1) Dalam rangka pembiayaan kegiatan Industri, dapat dibentuk lembaga
pembiayaan pembangunan Industri.
(2) Lembaga pembiayaan pembangunan Industri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berfungsi sebagai lembaga pembiayaan investasi di bidang
Industri.
(3) Pembentukan lembaga pembiayaan pembangunan Industri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Undang-Undang.
98
99
yang terdiri dari pakar terkait di bidang Industri yang berasal dari unsur
pemerintah, asosiasi Industri, akademisi, dan/atau masyarakat.
Pasal 114
(1) Pelaksanaan tugas Komite Industri Nasional didukung oleh Kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan urusan pemerintahan di
bidang Perindustrian.
(2) Biaya yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan tugas Komite Industri
Nasional dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara.
Apabila komite ini, misalnya, diketuai oleh Menteri atau pejabat dari
Kementerian Perindustrian serta dalam komite tersebut duduk industrialis
sektor otomotif dan garmen, bukankah mungkin saja Menteri kemudian
mengeluarkan kebijakan berupa insentif bagi industri otomotif dan
garmen? Bagaimanakah proses pengambilan keputusan, analisis yang akan
dibuat, dan konsultasi publik yang akan dilakukan dalam komite tersebut?
Apakah bisa dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya? Menurut kami,
ketimbang membentuk komite yang dengan potensi benturan kepentingan
tinggi seperti ini, seharusnya Komite bisa dibentuk dengan keanggotaaan
independen dan bertugas memberikan pertimbangan serta masukan
terhadap kebijakan Pemerintah.111
Perjalanan Atas Penantian Tiga Dasawarsa
Jika ditilik, UU Perindustrian merupakan pengaturan baru setelah 30
tahun. Sebelumnya, ada UU No. 5 Tahun 1984 dengan judul yang sama.
Undang-undang itu dianggap sudah tidak cocok lagi dengan perubahan
paradigma pembangunan, sebagaimana dicantumkan dalam poin b bagian
Menimbang. Meski disahkan pada 2013, mengingat waktu pengesahan
yang sudah di penghujung tahun, pengundangan UU Perindustrian
mendapatkan nomor 3 untuk tahun 2014 dalam Berita Negara.
111 Contohnya misalnya Productivity Commission di Australia. Berikut adalah
tautannya http://www.pc.gov.au/.
100
112 Mengenai siapa-siapa saja pihak yang dilibatkan dalam proses pembahasan
UU Perindustrian ini, tidak dapat kami jabarkan secara spesifik. Selain tidak
dicantumkan dalam dokumen-dokumen pembahasan, kami juga tidak memiliki
dokumen yang dimaksud secara lengkap hingga hari ini.
101
102
114 Pendapat Akhir Pemerintah Pada Rapat Paripurna Pengambilan Keputusan Tingkat
II Terhadap Rancangan Undang-Undang Tentang Aparatur Sipil Negara Jakarta, 19
Desember 2013.
103
104
105
begitu saja? Ini bukan pembahasan sedikit orang karena tenaga honorer
jumlahnya tinggi. Maka itu, muncul pertanyaan akan penghapusan tenaga
honorer yang digantikan dengan PPPK. Apakah ini merupakan bentuk
pelarian tanggung jawab Pemerintah dari kewajiban terhadap tenaga
honorer yang sudah ada?
Kini, PPPK hanya bisa diisi di posisi-posisi yang strategis berdasarkan
kompetensi, kualifikasi, dan kebutuhan. PNS tak lagi bisa menarik orang
dengan kontrak kerja semaunya. Perlu ada pengumuman lowongan,
pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi, dan pengangkatan.
Ketika lolos seleksi, PPPK terikat kontrak selama satu tahun dan dapat
diperpanjang.
Tentu saja, banyak peraturan pelaksana yang diamanatkan dalam
undang-undang ini. UU ASN meninggalkan rangkaian daftar peraturan
pelaksana berupa 19 (sembilan belas) Peraturan Pemerintah, 1 (satu)
Peraturan Menteri, 4 (empat) Peraturan Presiden, dan 1 (satu) Peraturan
KASN. Jadi, total ada 25 peraturan pelaksana yang menjadi pekerjaan
rumah Pemerintah. Dan, itu harus ditetapkan paling lama dua tahun,
terhitung sejak undang-undang ini diundangkan.
Tanpa mengindahkan pekerjaan rumah yang sudah banyak, di jarak
yang berdekatan, Pemerintah ingin mengajukan RUU lain. Undangundang itu masih terkait dengan reformasi birokrasi, yaitu RUU tentang
Administrasi Pemerintahan dan RUU tentang Sistem Pengawasan Internal
Pemerintah.117
Siapa pihak yang paling diuntungkan dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang
Desa (UU Desa)? Aparat desa. Memang, undang-undang ini dilandasi
117 Pendapat Akhir Pemerintah pada Rapat Paripurna, Op.cit.
106
pikiran bahwa desa merupakan bagian penting untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Isu utama yang diusung adalah pemerataan. Namun,
ada isu sampingan yang tercipta. Kita lihat pasal berikut.
Pasal 66
(1) Kepala Desa dan perangkat Desa memperoleh penghasilan tetap setiap
bulan.
(2) [..]
(3) Selain penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala
Desa dan perangkat Desa menerima tunjangan yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
(4) Selain penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala
Desa dan perangkat Desa memperoleh jaminan kesehatan dan dapat
memperoleh penerimaan lainnya yang sah.
107
108
Pengakuan juga terjadi terhadap adat khusus dari suatu desa. Namun,
tampaknya hanya berbatas pada tradisi-tradisi yang sifatnya seremonial
kultural. Misalnya, pengakuan terhadap pranata khusus, tradisi-tradisi
khusus, dan penyatuan wilayah desa berdasarkan genealogis masyarakat
yang sama. Salah satu isu penting dan sering luput adalah persoalan konflik
antara hukum negara dan hukum adat desa, terutama dalam pengelolaan
sumber-sumber daya alam. Pengaturan yang ada mendudukkan hukum
negara di atas hukum adat. Cara itu misalnya dilakukan dengan menggunakan frase tidak mengganggu Negara Kesatuan Republik Indonesia atau
bertentangan ketentuan peraturan perundang-undangan.119 Sebenarnya,
masih dimungkinkan untuk mendefinisikan pengakuan hak-hak desa adat
dalam pengelolaan sumber daya alamnya secara operasional. Apalagi,
pengaturan itu mengutamakan kaitannya kearifan lokal dengan penjagaan
fungsi kelestarian lingkungan.
Soal struktur khusus suatu desa atau terminologi lain, seperti Nagari
di Sumatra Barat, sangat mencuat ketika pembahasan undang-undang ini.
Beberapa pihak, terutama pemangku adat Nagari, sampai menyatakan
bahwa UU Desa menghancurkan Nagari.120 Pangkal soalnya adalah
definisi desa dalam UU Desa yang tidak mengakomodasi struktur khusus
seperti Nagari. Satu Nagari yang terdiri dari 10 (sepuluh) desa dianggap
disamakan dengan satu desa dalam UU Desa.
Selain itu, undang-undang ini masih menyisakan berbagai
pertanyaan. Salah satunya adalah mengenai aset desa. Bagaimana
mekanisme penetapan aset desa? Bagaimana jika ada perbenturan dengan
aset desa adat? UU Desa menyatakan bahwa aset desa adalah barang milik
desa yang berasal dari kekayaan desa, dibeli atau diperoleh atas beban
APBDes atau perolehan lainnya yang sah. Pengusaannya diserahkan
kepada kepala desa. Namun, penambahaan atau pelepasannya mesti
109
melalui mekanisme Musyawarah Desa. Begitu juga dalam hal pembangunan kawasan perdesaan, harus melalui Musyawarah Desa.
UU Desa memberikan keleluasaan akan penataan desa. Apakah yang
dimaksud dengan penataan desa? Pembentukan, penghapusan, penggabungan, perubahan status, dan penetapan desa. Pengajuannya melalui
Rancangan Perda yang dibuat oleh Bupati/Walikota. Kemudian, Gubernur
mengevaluasinya, seperti yang tertera dalam pasal ini.
Pasal 15
(1) Rancangan Peraturan Daerah tentang pembentukan, penghapusan,
penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan
atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
yang telah mendapatkan persetujuan bersama Bupati/Walikota dengan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diajukan kepada Gubernur.
(2) Gubernur melakukan evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang
pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status
Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berdasarkan urgensi, kepentingan nasional,
kepentingan daerah, kepentingan masyarakat Desa, dan/atau peraturan
perundang-undangan.
110
kabupaten sebagai daerah otonom. Ada peran lebih yang diberikan kepada
gubernur yang notabenenya merupakan kepanjangan tangan pemerintah
pusat.
Pasal 16 ayat (5)
Dalam hal Bupati/Walikota tidak menetapkan Rancangan Peraturan
Daerah yang telah disetujui oleh Gubernur, Rancangan Peraturan Daerah
tersebut dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari setelah tanggal persetujuan Gubernur dinyatakan berlaku dengan sendirinya.
121 Laporan Ketua Panitia Khusus RUU tentang Desa pada Rapat Paripurna DPR R I
pada 18 Desember 2013.
111
RUU Desa ini juga disiarkan melalui radio-radio dan disiarkan hingga
desa-desa oleh Parade Nusantara.
Pun sudah masuk daftar catatan baik, ada yang masih bisa
membuatnya makin apik. Keterlibatan masyarakat belum terlihat dalam
pengawasan dan evaluasi penyelenggaraaan desa dalam undang-undang
tersebut. Karena dipilih langsung, pelaporan juga langsung diberikan
kepada Badan Permusyarawatan Desa. Memang, masyarakat berhak tahu
secara tertulis. Namun, ruang untuk pengawasan publik mesti harus selalu
terbuka. Biar semua awas akan peluang sejahtera.
UU tersebut menyisakan tanya. Partisipasi publik yang patut diberi
acungan juga terasa begitu kebetulan dengan pengesahannya yang dekat
dengan pesta demokrasi 2014. Apalagi, pada hari pengesahannya, semua
nama anggota Pansus diumumkan, diikuti daerah pemilihannya.
BAB IV
POLITIK
NOMOR URUT
LEGISLASI
telah dilakukan analisis terhadap Undangundang per Undang-undang Nonkumulatif Terbuka yang berhasil
disahkan pada 2013. Meski begitu, pembahasan dengan cara membahas
satu per satu undang-undang tentu tidak dapat menyajikan gambaran dan
wacana besar capaian legislasi selama 2013 secara utuh dan menyeluruh.
Terutama mengenai arah, sasaran, serta kebijakan yang hendak dituju oleh
pembentuk undang-undang sebagai aktor utama dalam legislasi. Arah,
sasaran, dan kebijakan ini yang disebut dengan politik legislasi.
Pada bab inilah, dibahas gambaran besar politik legislasi dari semua
undang-undang nonkumulatif terbuka yang berhasil disahkan pada 2013.
Untuk itu, pada bagian awal bab ini, dibahas terlebih dahulu mengenai apa
yang dimaksud dengan politik legislasi. Bagaimana kedudukannya dalam
keseluruhan sistem hukum? Bagaimana pula tujuan dan ruang lingkupnya?
Serta apa kegunaan praksisnya dalam catatan kinerja legislasi DPR ini?
Setelah pembongkaran terhadap politik legislasi dan dihubungkan dengan
undang-undang capaian pada 2013, pembahasan selanjutnya menyusur
topik-topik yang dominan muncul dalam setiap atau sebagian besar
undang-undang.
PADA BAGIAN SEBELUMNYA,
POLITIK LEGISLASI
114
Dalam hukum, kita juga berhadapan dengan persoalan yang serupa, yaitu
dengan keharusan untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan
maupun cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan tersebut.
Semua itu termasuk dalam bidang studi politik hukum.122
Lebih lanjut, beliau menjelaskan beberapa pertanyaan yang timbul
dalam studi politik hukum, yaitu:
1. Tujuan apakah yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada?
Tujuan ini bisa berupa satu tujuan besar yang tunggal, bisa juga dipecahpecah ke dalam tujuan-tujuan yang lebih spesifik menurut bidang, seperti
ekonomi, sosial, yang kemudian masih bisa dipecah-pecah dalam tujuantujuan yang lebih kecil lagi.
2. Cara-cara apakah dan yang manakah yang paling baik untuk bisa dipakai
mencapai tujuan tersebut? Termasuk di dalamnya persoalan pemilihan
antara hukum tertulis atau tidak tertulis, antara sentralisasi dan
desentralisasi.
3. Kapankah waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara-cara
bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan?
4. Dapatkah dirumuskan suatu pola yang mapan yang bisa memutuskan kita
dalam proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan
tersebut? Termasuk di dalamnya proses untuk memperbaharui hukum
secara efisien; dengan perubahan total? Dengan perubahan bagian demi
bagian?123
122 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm.
398399.
123 Ibid.
124 Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1986, hlm. 160.
115
116
Dari delapan sumber tersebut, enam yang disebut pertama telah ditetapkan
sebelumnya atau dengan kata lain merupakan patokan objektif selama tidak
ada amandemen atasnya. Sementara itu, dua yang disebut terakhir berada
di tangan DPR dan Presiden. DPR berwenang memformulasi dua hal, yaitu
Rencana Strategis (Renstra) dan sebagai implementasi fungsi representasi
yang dimilikinya berwenang menangkap aspirasi dan kebutuhan hukum
masyarakat. Presiden, beserta jajaran di bawahnya, menyusun Rencana
128 Rachmad Maulana Firmansyah, Fondasi Tahun Politik, Op.cit, hlm. 128.
129 Pasal 1 angka 9 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
117
Kerja Pemerintah (RKP) yang tak lain merupakan penjabaran spesifik dari
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).130
Dengan karakter yang lebih dinamis dan spesifik, RKP, Renstra DPR,
dan aspirasi masyarakat adalah hal yang menjadi dasar dalam menentukan
politik legislasi pada tahun tertentu. Selain itu, yang juga dijadikan pertimbangan adalah pelaksanaan Prolegnas pada tahun sebelumnya.
ARAH DAN KEBIJAKAN LEGISLASI 2013
118
KELOMPOK
JUMLAH
KELOMPOK
JUMLAH
PERTAHANAN DAN
POLITIK
INFRASTRUKTUR
KELEMBAGAAN NEGARA
KEWILAYAHAN
PENGELOLAAN SDA
REFORMASI BIROKRASI
PENDIDIKAN DAN
KEAMANAN
KEBUDAYAAN
HUKUM DAN HAM
13
INFORMASI DAN
TEKNOLOGI
PETERNAKAN DAN
AGAMA
PERTANIAN
KESEHATAN
10
PERTANAHAN
KEUANGAN
PEMILIHAN UMUM
INDUSTRI DAN
PERDAGANGAN
119
120
INFORMASI DAN
TEKNOLOGI
PEMEKARAN
WILAYAH
5%
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
18%
5%
PENGELOLAAN SDA 5%
KELEMBAGAAN NEGARA 4%
POLITIK 4%
APBN
14%
INDUSTRI DAN
PERDAGANGAN
9%
KEWILAYAHAN
PETERNAKAN
DAN PERTANIAN
9%
9%
HUKUM
9%
REFORMASI
BIROKRASI
9%
NO
KELOMPOK
JUMLAH
PEMEKARAN WILAYAH
APBN
KEWILAYAHAN
REFORMASI BIROKRASI
HUKUM
POLITIK
KELEMBAGAAN NEGARA
10
PENGELOLAAN SDA
11
12
121
122
123
top) secara bertahap. Ini belum termasuk beban anggaran yang dikeluarkan mengikuti pembentukan desa-desa baru.
Selain itu, pada UU Petani, potensi adanya dampak terhadap
anggaran negara juga cukup besar. Pasal 55 ayat (1) UU Petani menyatakan
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban memberikan jaminan
ketersediaan lahan pertanian. Selain itu, menurut Pasal 37 UU Petani,
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban melindungi usaha tani
dalam bentuk asuransi pertanian. Sumber pembiayaan preminya berasal
dari APBN dan APBD. Dalam Naskah Akademik UU Petani, sudah
dilakukan perhitungan. Sekitar Rp16 triliun harus dialokasikan negara
secara serentak di seluruh Indonesia. Ini dengan asumsi premi yang akan
dibayarkan sebesar Rp500.000 per sekali musim tanam. Perlu dicatat,
kalkulasi ini dilakukan pada 2009, yang apabila dibandingkan dengan
kondisi hari ini mungkin saja jumlahnya bertambah besar.
Sumber pendanaan kegiatan keantariksaan, sesuai yang tertulis
pada Pasal 89 UU Keantariksaan, berasal dari APBN, hibah, swasta, dan
kerja sama internasional. Hal ini juga dipastikan mempengaruhi anggaran
negara, mengingat penyelenggaraan keantariksaan bukanlah sesuatu
yang mudah dan murah. Begitu juga dengan kewajiban Pemerintah untuk
mengembangkan penelitian, tata laksana, dan kelembagaan keantariksaan.
Pada UU Administrasi Kependudukan hanya dicantumkan secara
umum bahwa pendanaan penyelenggaraan program dan kegiatan administrasi kependudukan dianggarkan dalam APBN. Begitu juga dengan UU
Ormas, yang menyatakan bahwa sumber keuangan Ormas berasal dari
APBN atau APBD. Pendanaan Pendidikan Kedokteran menjadi tanggung
jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah dan telah dialokasikan pula
dalam APBN dan APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
UU ASN juga memberi dampak yang signifikan pada APBN.
Pembiayaan mutasi Pegawai Negeri Sipil (PNS), pembentukan dan operasional Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), dan gaji PNS Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah dibebankan pada APBN dan APBD. Selain
itu, pada UU Administrasi Kependudukan dan UU ASN, potensi dampak
124
125
126
131 Rachmad Maulana Firmansyah, Tahun Fondasi Politik, Op. cit, hlm. 146147.
127
128
129
130
Terakhir adalah lembaga baru yang dilahirkan dari UU ASN, yaitu KASN.
Salah satu tugasnya adalah untuk melakukan pengawasan dan evaluasi
terhadap pelaksanaan tugas aparatur sipil negara.
Catatan yang patut diperhatikan terkait pembentukan lembaga
baru adalah pembentukan KASN. Seperti yang sudah dijelaskan dalam
bab sebelumnya, pembentukannya diamanatkan melalui undang-undang
tersendiri di luar UU ASN.
WAKTU PEMBAHASAN
Waktu sering kali menjadi isu utama dalam melakukan penilaian undangundang. Cepat atau lambatnya proses pembahasan seakan-akan menjadi
patokan kualitas kinerja DPR. Tentu alat ukurnya sudah ada. Pasal 141
Tata Tertib DPR sudah menetapkan jangka waktu maksimal 3 (tiga) kali
masa sidang (kira-kira sembilan bulan) untuk proses pembahasan. Apabila
merujuk pada Bab III, kita bisa melihat sebuah tren yang mengarah
kepada proses pembahasan yang memakan waktu cukup lama. Sebagai
catatan, dalam menghitung lamanya waktu pembahasan, perhitungan
yang dilakukan oleh PSHK adalah mulai dari titik penandatanganan Surat
Presiden (Surpres).
Dari 12 (dua belas) undang-undang yang dikaji, 8 (delapan)
diantaranya termasuk yang memakan waktu cukup lama dalam proses
pembahasan. UU Keantariksaan, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme, dan UU
Administrasi Kependudukan bahkan melebihi batas waktu pembahasan
yang sudah ditetapkan.
Alasan pun beragam, dari karena ramainya pelibatan pihak eksternal,
adanya pembentukan lembaga baru hingga hambatan secara internal. Pada
UU Pendidikan Kedokteran, misalnya; DIM dibahas ulang secara internal
oleh Pemerintah.
Perlu diangkat sejumlah anomali yang terjadi saat pembahasan
undang-undang pada 2013. Salah satunya, UU Keantariksaan. Walau
prosesnya cepat, ternyata alasan di baliknya adalah Panitia Kerja (Panja)
131
132
133
PENDELEGASIAN KEWENANGAN
Undang-undang telah disahkan. Langkah selanjutnya adalah pembentukan peraturan pelaksana, yang akan mengatur hal-hal teknis dan detil.
Tanpanya, hal-hal yang diatur dalam undang-undang seakan berdiam saja
tanpa ada penggerak. Dan, kalaupun bergerak, potensi benturan antarpelaksana undang-undang dalam implementasi akan terbuka lebar.
Semakin banyak sebuah undang-undang mengamanatkan pembentukan peraturan pelaksana, semakin banyak pekerjaan rumah yang
harus segera diselesaikan oleh lembaga perancang peraturannya. Pada
2013, terdata sebanyak 5 (lima) jenis peraturan pelaksana ditambah satu
kategori tambahan. Mereka adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan
Menteri, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota. Kategori tambahan yang kami maksud adalah
peraturan lain-lain yang spesifik tertera dalam undang-undang tertentu,
yaitu Peraturan Lembaga dalam UU Keantariksaan dan UU ASN serta
Peraturan Bersama Kepala Desa dalam UU Desa.
Jumlah dari keseluruhan peraturan pelaksana dari undang-undang
nonkumulatif terbuka capaian 2013 berjumlah 153 (seratus lima puluh
tiga) peraturan. Apabila dirata-ratakan, berjumlah 12,75 peraturan
pelaksana per undang-undang. Kami bulatkan angka ini menjadi 13
(tiga belas). Dengan merujuk pada angka ini, tercatat sebanyak 4 (empat)
undang-undang yang mempunyai pekerjaan rumah merealisasikan
peraturan pelaksana yang jumlahnya melebihi rata-rata. Keempat undangundang itu adalah UU Perindustrian (31), UU ASN (25), UU Pendidikan
Kedokteran (19), dan UU Desa (18).
Siapkah pembentuk peraturan yang telah didelegasikan menyelesaikan pekerjaan rumah yang menumpuk? Menurut hemat kami, sudah
selayaknya mereka siap. Pertanyaan selanjutnya adalah kapan mereka dapat
menyelesaikan tugasnya demi kelancaran pelaksanaan undang-undang?
BAB V
AKHIR
CATATAN
dalam pelaksanaan
fungsi legislasi. Capaian kinerja legislasi DPR pada 2013 dapat dikatakan
minim, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Padahal, ini adalah
tahun keempat DPR periode 20092014 menjabat. Kemapanan DPR
dalam merumuskan dan mengesahkan undang-undang seharusnya sudah
semakin mantap.
Salah satu latar yang menjadi konteks dalam tahun legislasi 2013
adalah satu tahun menjelang momentum Pemilu. Catatan kinerja legislasi
yang diluncurkan PSHK pada momentum yang sama sebelumnya menunjukkan DPR sudah siap-siap dalam menghadapi Pemilu. Meski dinaungi
momentum yang sama, capaian legislasi secara kuantitas antara 2008 dan
2013 jauh berbeda. Pada 2008, DPR berhasil mengesahkan 61 (enam puluh
satu) undang-undang yang terdiri dari 34 (tiga puluh empat) undangundang nonkumulatif terbuka dan 27 (dua puluh tujuh) undang-undang
kumulatif terbuka. Sedangkan pada 2013, DPR hanya berhasil mengesahkan 22 (dua puluh dua) undang-undang, yang terdiri dari 12 (dua belas)
undang-undang nonkumulatif terbuka dan 10 (sepuluh) undang-undang
kumulatif terbuka. Dengan demikian, momentum pemilu seharusnya
tidak boleh dijadikan alasan atas rendahnya kinerja dan capaian legislasi
DPR.
Catatan kinerja legislasi DPR dari 20102013 berhasil memperlihatkan gambaran bahwa DPR periode 20092014 memang tidak optimal
DPR KEMBALI MENGULANG CATATAN TIDAK BAIK
136
dalam membahas serta mengesahkan undang-undang. Capaian undangundang nonkumulatif terbuka dari tahun ke tahun memperlihatkan
hal tersebut. Pada 2010, DPR hanya berhasil mengesahkan 8 (delapan)
undang-undang nonkumulatif terbuka dari target 70 (tujuh puluh) RUU.
Tahun berikutnya mengalami peningkatan, yaitu 19 (sembilan belas)
undang-undang nonkumulatif terbuka dari target 93 (sembilan puluh tiga)
RUU. Kemudian pada 2012, capaian turun menjadi 10 (sepuluh) undangundang dari target 69 (enam puluh sembilan) RUU.
Pada 2013, undang-undang nonkumulatif terbuka yang berhasil
disahkan berjumlah 12 (dua belas) undang-undang dari target 70 (tujuh
puluh) RUU. Apabila dihitung dengan menggunakan persentase, jumlah
itu hanya mencapai 17% dari total perencanaan. Masih ada 58 (lima puluh
delapan) RUU nonkumulatif terbuka yang tidak berhasil disahkan. Angka
itu mencapai 83% dari total rencana dalam Prolegnas 2013.
Salah satu penyebab pencapaian yang tidak optimal itu adalah proses
perencanaan yang tidak realistis. Kemudian, itu mengakibatkan capaian
selalu jauh dari target perencanaan. Selain itu, masih ada penetapan
prioritas yang tidak sesuai dengan kriteria yang sudah ditetapkan, mulai
dari argumentasi pendukung dicantumkannya RUU dalam Prolegnas
hingga dokumen kelengkapan RUU, seperti naskah RUU dan naskah
akademik.
Apabila dilihat lebih jauh, sebaian besar capaian undang-undang
nonkumulatif terbuka 2013 justru merupakan luncuran dari tahun
sebelumnya. Hanya ada 2 (dua) undang-undang yang baru tercantum
dalam Prolegnas 2013, yaitu UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme
dan UU Administasi Kependudukan. Hal itu menunjukkan bahwa selama
2013, DPR lebih disibukkan menyelesaikan pekerjaan rumah dari beban
legislasi tahun sebelumnya ketimbang membahas undang-undang baru.
Undang-undang yang berhasil disahkan oleh DPR selama 2013
diwarnai oleh undang-undang yang berkaitan dengan pemekaran wilayah.
Ada 4 (empat) undang-undang pemekaran wilayah yang disahkan atau
sekitar 18% dari total undang-undang yang disahkan pada 2013. Lalu,
137
138
139
140
Isu yang juga muncul adalah beban tugas setelah suatu undangundang disahkan. Pertama, sebagai konsekuensi atas pembentukan
lembaga baru. Terdapat 4 (empat) undang-undang capaian 2013 yang
mengamanatkan pembentukan lembaga baru, yaitu UU Pemberantasan
Perusakan Hutan, UU Notaris, UU Perindustrian, dan UU ASN. Kedua,
melalui pembentukan peraturan pelaksana. Secara keseluruhan, terdapat
153 (seratus lima puluh tiga) peraturan pelaksana yang harus disusun.
Apabila dirata-ratakan, ada 12,75 peraturan pelaksana per undang-undang
yang perlu ditindaklanjuti. Tercatat, 4 (empat) undang-undang yang
mengamanatkan pembentukan peraturan pelaksana melebihi rata-rata,
yaitu UU Perindustrian (31), UU ASN (25), UU Pendidikan Kedokteran
(19), dan UU Desa (18).
Pasal 141 Tata Tertib DPR sudah menetapkan jangka waktu
maksimal pembahasan suatu undang-undang, yaitu 2 (dua) kali ditambah
1 (satu) kali masa sidang atau apabila dikonversi dalam skala waktu
sekitar 9 bulan. Dari titik acuan itu, tercatat 8 (delapan) undang-undang
yang melebihi jangka waktu pembahasan. Meski terdapat tren muncul
inovasi dalam pembahasan undang-undang dengan menggunakan sistem
klustering, ternyata tidak berdampak signifikan terhadap efektivitas
waktu pembahasan. Salah satu sebabnya adalah pembagian kerja belum
dipisahkan secara tegas. Hal yang berkaitan dengan urusan teknis dan
redaksionalyang seharusnya dapat dikerjakan oleh tenaga ahlimasih
dikerjakan oleh anggota DPR.
Berikutnya, hal yang cukup penting untuk diangkat adalah tidak ada
satu pun yang memberikan pengaturan mengenai monitoring dan evaluasi
dari semua undang-undang capaian 2013. Ketentuan ini seharusnya
menjadi kebutuhan bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan
penyempurnaan dari waktu ke waktu agar sesuai dengan konteks kekinian.
Sebelas undang-undang capaian 2013 hanya sebatas memiliki ketentuan
monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan satu atau beberapa fungsi
tertentu dalam undang-undang. Misalnya, pengawasan sistem aparatur
sipil negara diberikan kepada KASN.
DAFTAR PUSTAKA
LITERATUR
Ann Seidman dan Robert B. Seidman, Boston University Law Review, ILTAM: Drafting
Evidence-Based Legislation for Democratic Social Change, Cambridge University Press,
Cambridge, 2004.
Bivitri Susanti dkk, Catatan PSHK tentang Kinerja Legislasi DPR 2005, Pusat Studi Hukum
dan Kebijakan Indonesia, 2006.
Erni Setyowati dkk, Bobot Berkurang, Janji Masih Terutang: Catatan PSHK tentang Kualitas
Legislasi 2006, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2007.
, Draftology, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2011.
Fajri Nursyamsi dkk, Catatan Kinerja DPR 20102011: Legislasi: Aspirasi atau Transaksi?,
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2012.
Heinrich Winter, The Forum Model in Evaluation of Legislation, dalam Legisprudence: A
New Theoretical Approach to Legislation, Luc Wintgens (Ed), Oxford-Portland Oregon,
Hart Publishing, 2002.
Michael Zander, The Law-Making Process (sixth Edition), Legislation the Whitehall
Stage, Cambridge University Press, Cambridge, 2004.
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2012.
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1986.
Rachmad Maulana Firmansyah dkk, Catatan Kinerja DPR 2012: Fondasi Tahun Politik,
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2013.
Rizky Argama dkk, Berharap pada 560: Catatan Kinerja DPR 20092010, Pusat Studi
Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2011.
Robert J. Martineau dan Michael B. Salerno, Legal, Legislative, and Rule Drafting in Plain
English, Thomson/West, 2005.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012.
Svein Eng, Legislative Inflation and the Quality of Law, dalam Legisprudence: A New
Theoretical Approach to Legislation, Luc Wintgens (Ed), Oxford-Portland Oregon, Hart
Publishing, 2002.
Thee Kian Wie, Policies For Private Sector Development in Indonesia, Asian Development
Bank Institute Working Paper, 2006.
144
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang.
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pendanaan Terorisme.
UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.
UU No. 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan.
UU No. 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan.
UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.
UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris.
UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Tata Tertib DPR R I.
PUTUSAN
Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010.
DOKUMEN UNDANG-UNDANG
Naskah Akademik Revisi UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Naskah Akademik RUU Pencegahan dan Pemberantasan Pendanaan Tindak Pidana
Terorisme.
Naskah Akademik RUU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Naskah Akademik RUU tentang Pendidikan Kedokteran
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Keantariksaan
Naskah Akademik RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
DAFTAR PUSTAKA
145
146
MEDIA
Agus Martowardodjo, http://www.tempo.co/read/news/2012/12/12/090447772/
Menkeu-Desak-DPR-Rampungkan-Beleid-Terorisme.
DPR dan Pemerintah tetapkan 70 RUU Prioritas Tahun 2013 http://www.dpr.go.id/
parlementaria/magazine/m-99-2013.pdf.
http://www.fatf-gafi.org/.
http://m.sindoweekly-magz.com/artikel/21/i/26-juli-1-agustus-2012/indonesia/68/
prosedur-siluman-ruu-pesanan.
http://www.tribunnews.com/nasional/2013/07/02/
dinilai-otoriter-muhammadiyah-tolak-ruu-ormas.
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,6-id,43562-lang,id-c,taushiyah.
http://news.detik.com/read/2013/06/24/144316/2282461/10/15-ormas-tolak-pengesahanruu-ormas?nd771104bcj.
http://www.tribunnews.com/nasional/2013/07/02/
tolak-ruu-ormas-ribuan-buruh-demo-di-dpr-ri.
http://news.detik.com/read/2013/07/01/153637/2289130/10/
lipi-tolak-pengesahan-ruu-ormas-ini-alasannya?9922022.
http://www.komnasham.go.id/informasi/images-portfolio-6/
rekam-media/454-komnas-ham-menolak-pengesahan-ruu-ormas.
Tren Menurun, Illegal Logging tetap perlu diwaspadai, http://www.hukumonline.com/
berita/baca/lt4be0007e42e07/mysqli.query.
Nasib Petani dan Pertanian Makin Gelap, http://bisniskeuangan.kompas.com/
read/2013/03/18/10193927/Nasib.Petani.dan.Pertanian.Makin.Gelap.
http://nasional.kontan.co.id/news/uu-perlindungan-petani-akan-digugat-ke-mk.
http://www.kpa.or.id/?p=2997.
IDI: Persebaran Dokter Tidak Merata, http://www.antaranews.com/berita/358420/
idi-persebaran-dokter-tidak-merata.
Uang Kuliah Tunggal, http://edukasi.kompas.com/read/2013/02/20/1521594/Uang.
Kuliah.Tunggal.
Pemerintah Bikin Pusing Panja RUU Dikdok, http://www.jurnalparlemen.com/
view/3771/pemerintah-bikin-pusing-panja-ruu-dikdok.html.
DPR Minta Masukan RUU Pendidikan Kedokteran, http://www.antaranews.com/
berita/302341/dpr-minta-masukan-ruu-pendidikan-kedokteran.
Isi Draf Tidak Menjadi Solusi Mahalnya Biaya Pendidikan, http://edukasi.kompas.com/
read/2012/03/27/02364865/Isi.Draf.Tidak.Menjadi.Solusi.Mahalnya.Biaya.Pendidikan.
http://lapan.go.id/index.php/subblog/pages/2013/15/Sejarah.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51ee46af86fa4/
hasil-investigasi-kecelakaan-antariksa-bukan-alat-bukti.
http://health.kompas.com/read/2012/12/12/15530869/Komisi.VII.Buta.Kami.Studi.
Banding.Antariksa.ke.Brasil.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/11377/print.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt516cd5cba9ef6/kiara-tolak-revisi-uu-pesisir.
http://www.antaranews.com/berita/410078/revisi-uu-pesisir-jamin-akses-masyarakat.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52c67bdd7b25e/
uu-pengelolaan-wilayah-pesisir--kado-terburuk-bagi-nelayan.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt516cd5cba9ef6/kiara-tolak-revisi-uu-pesisir.
Tetapkan Ketua dan Wakil Ketua Pansus RUU Jabatan Notaris,
http://www.tempo.co/read/news/2012/06/24/140412504/
Tetapkan-Ketua-dan-Wakil-Ketua-Pansus-RUU-Jabatan-Notaris.
http://www.dpr.go.id/id/berita/paripurna/2013/des/19/7347/
dpr-setujui-ruu-perindustrian-jadi-uu-.
UU Perindustrian Jamin Pembiayaan Industri, http://www.dpr.go.id/id/berita/
komisi6/2014/jan/22/7445/uu-perindustrian-jamin-pembiayaan-industri.
Pengisian Jabatan Harus Melalui Promosi Terbuka, menpan.go.id, http://menpan.go.id/
berita-terkini/2165-pengisian-jabatan-harus-melalui-promosi-terbuka.
Penetapan Jabatan Tidak Lagi Lihat Ijasah, menpan.go.id, http://menpan.go.id/
berita-terkini/2303-penetapan-jabatan-tidak-lagi-lihat-ijasah.
Diusulkan Formasi PNS 60 Ribu PPPK 40 Ribu, menpan.go.id, http://menpan.go.id/
berita-terkini/2284-diusulkan-formasi-pns-60-ribu-pppk-40-ribu.
http://kpshk.org/artikel/read/2014/02/03/2160/uu-desa-menghancurkan-nagari.kpshk.
Lombok Post, Senin, 16 September 2013.
Harian Umum Nurani Rakyat, 23 Agustus 2013.
Kontan, Ibarat Raja Dengan Kekuasaan Besar, 612 Januari 2014.
147
LAMPIRAN 1
JUDUL RUU
JENIS RUU
1.
PENCEGAHAN DAN
PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA PENDANAAN
TERORISME
NON KUMULATIF
TERBUKA
2.
3.
PENGESAHAN NAGOYA
PROTOCOL ON ACCESS
TO GENETIC RESOURCES
AND THE FAIR AND
EQUITABLE SHARING OF
BENEFITS ARISING FROM
THEIR UTILIZATION TO THE
CONVENTION ON BIOLOGICAL
DIVERSITY (PROTOKOL
NAGOYA TENTANG AKSES
PADA SUMBER DAYA
GENETIK DAN PEMBAGIAN
KEUNTUNGAN YANG ADIL
DAN SEIMBANG YANG TIMBUL
DARI PEMANFAATANNYA
ATAS KONVENSI
KEANEKARAGAMAN HAYATI)
PENGESAHAN ROTTERDAM
CONVENTION ON THE
PRIOR INFORMED CONSENT
PROCEDURE FOR CERTAIN
HAZARDOUS CHEMICALS
AND PESTICIDES IN
INTERNATIONAL TRADE
(KONVENSI ROTTERDAM
TENTANG PROSEDUR
PERSETUJUAN ATAS DASAR
INFORMASI AWAL UNTUK
BAHAN KIMIA DAN PESTISIDA
BERBAHAYA TERTENTU
DALAM PERDAGANGAN
INTERNASIONAL)
WAKTU PENGESAHAN
12 FEBRUARI 2013
KUMULATIF
TERBUKA
11 APRIL 2013
150
NO
JUDUL RUU
4.
PERUBAHAN ATAS UU
NO. 56 TAHUN 2008
TENTANG PEMBENTUKAN
KABUPATEN TAMBRAUW DI
PROVINSI PAPUA BARAT
5.
PEMBENTUKAN KABUPATEN
MOROWALI UTARA DI
PROVINSI SULAWESI TENGAH
6.
PEMBENTUKAN
KABUPATEN KONAWE
KEPULAUAN DI PROVINSI
SULAWESI TENGGARA
7.
PEMBENTUKAN
KABUPATEN MUSI RAWAS
UTARA DI PROVINSI
SUMATERA SELATAN
8.
JENIS RUU
WAKTU PENGESAHAN
KUMULATIF
TERBUKA
12 APRIL 2013
KUMULATIF
TERBUKA
11 JUNI 2013
KUMULATIF
TERBUKA
17 JUNI 2013
ORGANISASI
KEMASYARAKATAN
NON KUMULATIF
TERBUKA
2 JULI 2013
KEANTARIKSAAN
NON KUMULATIF
TERBUKA
9 JULI 2013
PENCEGAHAN DAN
PEMBERANTASAN
PERUSAKAN HUTAN
NON KUMULATIF
TERBUKA
9 JULI 2013
12.
PERLINDUNGAN DAN
PEMBERDAYAAN PETANI
NON KUMULATIF
TERBUKA
9 JULI 2013
13.
PENDIDIKAN KEDOKTERAN
NON KUMULATIF
TERBUKA
11 JULI 2013
14.
PERTANGGUNGJAWABAN
DAN PELAKSANAAN APBN
TAHUN ANGGARAN 2012
KUMULATIF
TERBUKA
3 SEPTEMBER 2013
15.
ABPN TAHUN
ANGGARAN 2014
KUMULATIF
TERBUKA
16.
PERUBAHAN ATAS UU
NO. 23 TAHUN 2006
TENTANG ADMINISTRASI
KEPENDUDUKAN
NON KUMULATIF
TERBUKA
9.
10.
11.
25 OKTOBER 2013
26 NOVEMBER 2013
LAMPIRAN
NO
JUDUL RUU
JENIS RUU
WAKTU PENGESAHAN
17.
NON KUMULATIF
TERBUKA
17 DESEMBER 2013
NON KUMULATIF
TERBUKA
18 DESEMBER 2013
18.
PERUBAHAN ATAS UU
NO. 27 TAHUN 2007
TENTANG PENGELOLAAN
WILAYAH PESISIR DAN
PULAU-PULAU KECIL
19.
DESA
20.
PERINDUSTRIAN
21.
22.
PENETAPAN PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UU
NO. 1 TAHUN 2013 TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UU
NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG
MAHKAMAH KONSTITUSI *
151
NON KUMULATIF
TERBUKA
19 DESEMBER 2013
KUMULATIF
TERBUKA
152
LAMPIRAN 2
PROGRAM LEGISLASI NASIONAL RANCANGAN
UNDANG-UNDANG PRIORITAS TAHUN 2014
NO.
JUDUL RANCANGAN
UNDANG-UNDANG
DRAFT NA
DAN RUU
DISIAPKAN
OLEH
KETERANGAN
1.
RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG
NOMOR 32 TAHUN 2002
TENTANG PENYIARAN.
DPR
2.
RUU TENTANG
PERJANJIAN
INTERNASIONAL
DPR
3.
RUU TENTANG
PEMILIHAN KEPALA
DAERAH
PEMERINTAH
4.
RUU TENTANG
PERTANAHAN
DPR
5.
RUU TENTANG
MAHKAMAH AGUNG
DPR
6.
RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UU NOMOR 16
TAHUN 2004 TENTANG
KEJAKSAAN RI
DPR
7.
RUU TENTANG
KITAB UNDANGUNDANG HUKUM
PIDANA
PEMERINTAH
8.
RUU TENTANG
KITAB UNDANGUNDANG HUKUM
ACARA PIDANA
PEMERINTAH
LAMPIRAN
NO.
JUDUL RANCANGAN
UNDANG-UNDANG
DRAFT NA
DAN RUU
DISIAPKAN
OLEH
KETERANGAN
9.
RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UU NOMOR 18
TAHUN
2009
TENTANG
PETERNAKAN
DAN
KESEHATAN HEWAN
DPR
10.
DPR
11.
RUU TENTANG
PERDAGANGAN
PEMERINTAH
12.
RUU TENTANG
JAMINAN PRODUK
HALAL
DPR
13.
RUU TENTANG
TENAGA KESEHATAN
PEMERINTAH
14.
RUU TENTANG
KEPERAWATAN
DPR
15.
RUU TENTANG
KESEHATAN JIWA
DPR
16.
RUU TENTANG
PENGURUSAN PIUTANG
NEGARA DAN
DAERAH
PEMERINTAH
153
154
NO.
JUDUL RANCANGAN
UNDANG-UNDANG
DRAFT NA
DAN RUU
DISIAPKAN
OLEH
KETERANGAN
17.
RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG
NOMOR 2 TAHUN 1992
TENTANG USAHA
PERASURANSIAN
PEMERINTAH
18.
PEMERINTAH
19.
RUU TENTANG
KEAMANAN NASIONAL
PEMERINTAH
20.
RUU TENTANG
PENGAWASAN
SEDIAAN FARMASI,
ALAT KESEHATAN
DAN PERBEKALAN
KESEHATAN
RUMAH TANGGA
DPR
21.
RUU
TENTANG
PERCEPATAN
PEMBANGUNAN
DAERAH KEPULAUAN
DPR
22.
RUU TENTANG
PERLINDUNGAN
PEKERJA INDONESIA
DI LUAR NEGERI
DPR
23.
RUU TENTANG
PEMERINTAHAN
DAERAH
PEMERINTAH
24.
RUU TENTANG
TABUNGAN
PERUMAHAN RAKYAT
DPR
LAMPIRAN
NO.
JUDUL RANCANGAN
UNDANG-UNDANG
DRAFT NA
DAN RUU
DISIAPKAN
OLEH
KETERANGAN
25.
RUU TENTANG
KEINSINYURAN
DPR
26.
RUU TENTANG
PENGAKUAN DAN
PERLINDUNGAN
HAK-HAK MASYARAKAT
HUKUM ADAT
DPR
27.
RUU TENTANG
KEPALANGMERAHAN
DPR
28.
RUU TENTANG
PERUBAHAN
HARGA RUPIAH
PEMERINTAH
29.
RUU TENTANG
PANAS BUMI
PEMERINTAH
30.
RUU TENTANG
STANDARDISASI
DAN PENILAIAN
KESESUAIAN
PEMERINTAH
31.
RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG
NOMOR 17 TAHUN
2003 TENTANG
KEUANGAN NEGARA
DPR
32.
RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG
NOMOR 18 TAHUN 2003
TENTANG ADVOKAT.
DPR
155
156
NO.
JUDUL RANCANGAN
UNDANG-UNDANG
DRAFT NA
DAN RUU
DISIAPKAN
OLEH
KETERANGAN
33.
RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG
NOMOR 19 TAHUN 2002
TENTANG HAK CIPTA
PEMERINTAH
34.
RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG
NOMOR 27 TAHUN 2009
TENTANG MAJELIS
PERMUSYAWARATAN
RAKYAT, DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT,
DEWAN PERWAKILAN
DAERAH DAN
DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT DAERAH
DPR
35.
RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG
NOMOR 18 TAHUN
1999 TENTANG JASA
KONSTRUKSI
DPR
PROSES
HARMONISASI
DI BALEG
36.
RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG
NOMOR 22 TAHUN
2001 TENTANG MINYAK
DAN GAS BUMI
DPR
PROSES
HARMONISASI
DI BALEG
37.
RUU TENTANG
PENGELOLAAN
IBADAH HAJI
DPR
PROSES
HARMONISASI
DI BALEG
38.
RUU TENTANG
PERLINDUNGAN
PEKERJA RUMAH
TANGGA
DPR
PROSES
HARMONISASI
DI BALEG
LAMPIRAN
NO.
JUDUL RANCANGAN
UNDANG-UNDANG
DRAFT NA
DAN RUU
DISIAPKAN
OLEH
KETERANGAN
39.
DPR
PROSES
HARMONISASI
DI BALEG
40.
DPR
PROSES
HARMONISASI
DI BALEG
41.
DPR
RUU DAN NA
DISIAPKAN OLEH
KOMISI I
42.
RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG
NOMOR 39 TAHUN
1999 TENTANG HAK
ASASI MANUSIA
DPR
RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH KOMISI III
43.
RUU TENTANG
KONSERVASI
TANAH DAN AIR
DPR
RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH KOMISI IV
44.
RUU TENTANG
PENCARIAN DAN
PERTOLONGAN
DPR
RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH KOMISI V
45.
RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG
NOMOR 19 TAHUN 2003
TENTANG BADAN
USAHA MILIK NEGARA
DPR
RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH KOMISI VI
DPR
RUU DAN NA
DISIAPKAN OLEH
KOMISI VIII
DPR
RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH KOMISI X
46.
RUU TENTANG
KESETARAAN GENDER
47.
RUU TENTANG
KEBUDAYAAN
157
158
NO.
JUDUL RANCANGAN
UNDANG-UNDANG
DRAFT NA
DAN RUU
DISIAPKAN
OLEH
KETERANGAN
48.
RUU TENTANG
KAWASAN PARIWISATA
KHUSUS
DPR
RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH KOMISI X
49.
RUU TENTANG
PERUBAHAN KEDUA
ATAS UNDANGUNDANG NOMOR 7
TAHUN 1992 TENTANG
PERBANKAN
DPR
RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH KOMISI XI
50.
RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS UU
NOMOR 24 TAHUN 1999
TENTANG LALULINTAS
DEVISA DAN SISTEM
NILAI TUKAR.
DPR
RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH KOMISI XI
51.
RUU TENTANG
PERTEMBAKAUAN
DPR
RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH BALEG
52.
RUU TENTANG
PENGATURAN
MINUMAN
BERALKOHOL
DPR
RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH BALEG
53.
RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UU NOMOR 15
TAHUN 2006 TENTANG
BADAN PEMERIKSA
KEUANGAN
DPR
RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH BALEG
54.
RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UU NOMOR 5
TAHUN 1999 TENTANG
LARANGAN PRAKTEK
MONOPOLI DAN
PERSAINGAN USAHA
TIDAK SEHAT
DPR
RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH BALEG
LAMPIRAN
NO.
JUDUL RANCANGAN
UNDANG-UNDANG
DRAFT NA
DAN RUU
DISIAPKAN
OLEH
KETERANGAN
55.
RUU TENTANG
PERUBAHANATAS
UU NOMOR 2
TAHUN 2002 TENTANG
KEPOLISIAN NEGARA RI.
DPR
RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH BALEG
56.
RUU TENTANG
ETIKA
PENYELENGGARA
NEGARA
DPR
RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH BALEG
57.
RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UU NOMOR 4
TAHUN 1997 TENTANG
PENYANDANG CACAT
DPR
RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH BALEG
58.
RUU TENTANG
PENGELOLAAN
KEUANGAN HAJI
PEMERINTAH
RUU DAN NA
DISIAPKAN OLEH
KEMENTERIAN
AGAMA
59.
RUU TENTANG
PENERIMAAN NEGARA
BUKAN PAJAK
PEMERINTAH
RUU DAN NA
DISIAPKAN OLEH
KEMENTERIAN
KEUANGAN
60.
RUU TENTANG
ADMINISTRASI
PEMERINTAHAN
PEMERINTAH
RUU DAN NA
DISIAPKAN OLEH
KEMENTERIAN
PAN DAN RB
61.
RUU TENTANG
RAHASIA NEGARA
PEMERINTAH
RUU DAN NA
DISIAPKAN OLEH
KEMENTERIAN
PERTAHANAN
159
160
NO.
JUDUL RANCANGAN
UNDANG-UNDANG
DRAFT NA
DAN RUU
DISIAPKAN
OLEH
KETERANGAN
62.
RUU TENTANG
PERAMPASAN ASET
TINDAK PIDANA.
PEMERINTAH
RUU DAN NA
DISIAPKAN OLEH
KEMENTERIAN
HUKUMDAN HAM
63.
RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG
NOMOR 13 TAHUN
2006 TENTANG
PERLINDUNGAN
SAKSI DAN KORBAN
PEMERINTAH
RUU DAN NA
DISIAPKAN OLEH
KEMENTERIAN
HUKUM DAN HAM
64.
RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG
NOMOR 33 TAHUN
2004 TENTANG
PERIMBANGAN
KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAH PUSAT
DAN PEMERINTAH
DAERAH.
PEMERINTAH
RUU DAN NA
DISIAPKAN OLEH
KEMENTERIAN
KEUANGAN
65.
RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UU NOMOR 11 TAHUN
1992 TENTANG
DANA PENSIUN.
PEMERINTAH
RUU DAN NA
DISIAPKAN OLEH
KEMENTERIAN
KEUANGAN
66.
RUU TENTANG
KELAUTAN
DPD
RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH DPD
LAMPIRAN
2.
3.
4.
5.
161
Alamat Kontak
Puri Imperium Office Plaza
Upper Ground Floor 1112
Jln. Kuningan Madya 56
Jakarta 12980 - Indonesia
T: (+6221) 83701809
F: (+6221) 83701810
www.pshk.or.id
www.parlemen.net
www.danlevlibrary.net
www.indonesiajentera.org
http://www.youtube.com/user/LAWmotion
twitter: @pantauDPR
TIM PENULIS
MIKO S. GINTING
AMALIA PURI HANDAYANI
AMIRA WAWORUNTU
ERYANTO NUGROHO
FAJRI NURSYAMSI
GIRI AHMAD TAUFIK
GITA PUTRI DAMAYANA
M. NUR SHOLIKIN
RACHMAD MAULANA FIRMANSYAH
RONALD ROFIANDRI
SITI MARYAM RODJA
DPR KEMBALI MENGULANG CATATAN TIDAK BAIK DALAM PELAKSANAAN
FUNGSI LEGISLASI. Penilaian terhadap legislasi tidak semata berhitung
jumlah, tapi juga kualitas. Sebanyak 12 undang-undang nonkumulatif
didedah satu per satu, baik dari proses pembentukan hingga
substansinya. Kemudian, tampaklah bahwa politik legislasi semakin
terlihat tidak-terarahnya. Juga, peran pemerintah semakin meningkat,
diikuti dampak bagi anggaran negara, misalnya dengan pembentukan
lembaga-lembaga baru yang diatur dalam undang-undang. Partisipasi
masyarakat juga masih menjadi catatan penting dalam beberapa
undang-undang. Meskipun demikian, DPD sudah mulai mengaitkan
dirinya dalam pembahasan terkait daerah. Tentu, itu patut diapresiasi.
Namun, sebenarnya, keadaan demikian tidak perlu terulang setiap
tahun. Ini adalah tahun keempat DPR periode 20092014 menjabat.
Kemapanan DPR dalam merumuskan dan mengesahkan undangundang seharusnya sudah semakin mantap. Konteksnya: tahun legislasi
2013 merupakan satu tahun menjelang momentum Pemilu. DPR sudah
siap-siap dalam menghadapi Pemilu. Dan, itu bukan suatu pembenaran.
Catatan ini PSHK lakukan setiap tahun dengan melakukan
pemantauan rutin terhadap DPR. Harapannya wacana legislasi semakin
mengisi celah di ruang perbincangan masyarakat. Karena kita akan
terikat, tak bisa hanya diam.