You are on page 1of 182

PENYUNTING

MIKO S. GINTING
AMALIA PURI HANDAYANI
AMIRA WAWORUNTU
FAJRI NURSYAMSI

TIM PENULIS
MIKO S. GINTING
AMALIA PURI HANDAYANI
AMIRA WAWORUNTU
ERYANTO NUGROHO
FAJRI NURSYAMSI
GIRI AHMAD TAUFIK
GITA PUTRI DAMAYANA
M. NUR SHOLIKIN
RACHMAD MAULANA FIRMANSYAH
RONALD ROFIANDRI
SITI MARYAM RODJA
PENYUNTING
MIKO S. GINTING
AMALIA PURI HANDAYANI
AMIRA WAWORUNTU
FAJRI NURSYAMSI

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013:


CAPAIAN MENJELANG TAHUN POLITIK
TIM PENULIS

Miko S. Ginting
Amalia Puri Handayani
Amira Waworuntu
Eryanto Nugroho
Fajri Nursyamsi
Giri Ahmad Taufik
Gita Putri Damayana
M. Nur Sholikin
Rachmad Maulana Firmansyah
Ronald Rofiandri
Siti Maryam Rodja
TIM PENYUNTING

Miko S. Ginting
Amalia Puri Handayani
Amira Waworuntu
Fajri Nursyamsi
DESAIN SAMPUL DAN ISI

Ardi Yunanto

PENERBIT

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)


Cetakan Pertama: 2014
xvi, 162 hlm.: illus.; 14,8 x 21 cm
Catatan Kinerja Legislasi 2013: Capaian Menjelang Tahun Politik/Miko S. Ginting, dkk. [et.al.].
Cet.1.Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2014, xvi, 162 hlm.: illus.;
14,8 x 21 cm
ISBN 978-602-70696-0-2
1. Legislasi

I. Ginting, Miko S.

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)


Puri Imperium Office Plaza, Upper Ground Floor, UG 1112
Jln. Kuningan Madya Kav. 56
Jakarta 12980 Indonesia
T: (+6221) 83701809
F: (+6221) 83701810
www.pshk.or.id
www.parlemen.net
www.danlevlibrary.net
twitter: @pantauDPR

vi

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

KATA
PENGANTAR

BUKU INI MEMUAT POTRET KINERJA LEGISLASI DPR PADA TAHUN


2013. Sebagaimana kita semua mungkin sudah mafhum, tahun 2013

adalah tahun menjelang tahun politik. Ini adalah suatu periode menarik
di babak-babak akhir masa jabatan para wakil rakyat. Ini adalah periode di
mana wakil rakyat masih punya cukup waktu untuk fokus melaksanakan
fungsinya sebelum disibukkan oleh berbagai agenda politik praktis untuk
menjaga kursinya masing-masing.
Tahun ini merupakan tahun ke-10 bagi kami di Pusat Studi Hukum
dan Kebijakan Indonesia (PSHK) untuk menuliskan catatan tahunan
kami mengenai kinerja legislasi DPR. Upaya ini akan terus kami lakukan
dengan niat untuk terus berkontribusi bagi perbaikan lembaga perwakilan
di Indonesia. Tentunya, seiring berjalannya waktu, kami juga akan terus
berusaha memperbaiki berbagai kekurangan yang ada dalam catatancatatan yang kami buat.
Perlu kita akui bahwa sudah ada perbaikan di sana-sini, di antara
setumpukan masalah legislasi yang terus saja berulang. Capaian perbaikan
perlu kita lihat sebagai penambah semangat dan rujukan, sementara
berbagai masalah yang ada perlu kita lihat sebagai peluang perbaikan.
Tahun 2014 ini kita akan menyambut 560 anggota DPR periode
20142019. Sekitar 60% wajah baru, dengan 40% penghuni lama.
Pastinya masih ada banyak tantangan, tetapi peluang perbaikan bukanlah

viii

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

nihil. Kami berharap, buku catatan ini bisa menjadi rujukan bagi berbagai
perbaikan ke depan.
Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Miko Susanto Ginting
sebagai koordinator dalam penulisan catatan ini. Ucapan yang sama kami
sampaikan pada segenap Tim Penulis, Tim Penyunting, dan semua pihak
yang telah menyediakan waktu, pikiran, dan tenaga demi mewujudkan
catatan ini.
Perbaikan kinerja legislasi di Indonesia tidak bisa lepas dari dukungan
publik. Semoga hadirnya buku ini dapat mengilhami berbagai umpan balik
positif demi perbaikan fungsi legislasi di lembaga perwakilan kita.

Eryanto Nugroho
Direktur Eksekutif
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)

PENGANTAR
PENULIS

KAMI MENULIS CATATAN INI KARENA RESAH. Ketika banyak yang bilang

kualitas undang-undang yang dihasilkan Pemerintah dan DPR buruk,


selalu ada tanya bagaimana dan apa ukurannya. Pertanyaan yang sering
hadir, tetapi jarang diberi arti. Ada pandangan bahwa jumlah undangundang yang dihasilkan sebagai ukuran prestasi. Tak salah. Namun, di
antara itu, terselip tanya, bagaimana undang-undang itu dibentuk dan apa
isinya. Melalui catatan ini, kami ingin mulai memberi jawab. Ini bukan
sekadar dokumen mati. Kami berharap ini bisa berbunyi.
Setiap tahunnya, sejak 2003, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia (PSHK) meluncurkan Catatan Kinerja Legislasi DPR 2013:
Capaian Menjelang Tahun Politik. Tetapi, tahun ini, ada yang beda. Kami
mulai mencoba menakar kualitas legislasi sekaligus melempar wacana
bagaimana cara mengukurnya. Meski demikian, bukan berarti kuantitas
menjadi tak penting. Sebagai sebuah ukuran pencapaian, ia tetap harus
ada. Namun, bobot penilaian kali ini lebih kami tekankan pada kualitas,
bukan kuantitas.
Harus kami akui, sulit untuk merumuskan bagaimana cara mengukur
kualitas legislasi. Karena legislasi bukan melulu soal hukum, yang setidaktidaknya ada parameter tertentunya. Legislasi berkelindan dengan
dinamika politik yang melingkupinya, baik di muka maupun di belakang
proses pembahasan. Politik yang dinamis dan kadang tak pakem arahnya
memiliki tantangan tersendiri untuk dianalisis. Banyaknya aktor yang

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

terlibat, seperti Pemerintah, Dewan Perwakilan rakyat (DPR), Dewan


Perwakilan Daerah (DPD), universitas, dan masyarakat, menambah
kompleksitasnya.
Cara yang digunakan selama ini terus kami kembangkan dari hari ke
hari. Kami memandang legislasi baik dari sisi proses maupun substansi.
Pendekatan penilaian baik atau buruk layaknya rapor sekolah dengan
pemberian skor kami hindari. Secara ringkas, pada sisi proses, yang ingin
diungkap adalah bagaimana suatu undang-undang dibentuk. Sementara,
pada sisi substansi, kami ingin menelaah apa yang ada dalam suatu
undang-undang.
Kami menyusun catatan ini dengan melakukan pemantauan rutin
terhadap DPR. Terutama, mata dan telinga kami awas pada proses
pembahasan undang-undang sebagai pelaksanaan fungsi legislasi. Diawali
dengan pengumpulan dokumen, data, dan informasi, baik secara formal
kepada DPR maupun melalui sumber alternatif, seperti media. Semua data
yang diperoleh kami tampilkan di parlemen.net; sebuah kanal yang sengaja
kami ciptakan untuk menyebar informasi mengenai DPR dan produknya.
Selanjutnya, data dan informasi yang tersedia tersebut diklasifikasikan berdasarkan pembagian tahun, jenis, dan bidang. Berdasarkan itu,
pada 2013, tepatnya mulai 15 Januari sampai dengan 19 Desember 2013,
kami mencatat ada 22 (dua puluh dua) RUU yang disahkan. Dua belas di
antaranya RUU nonkumulatif terbuka, sedangkan sepuluh adalah RUU
kumulatif terbuka.
Catatan ini tidak serta-merta hadir di hadapan Anda. Butuh proses
panjang untuk merumuskan banyaknya pemikiran dan gagasan dari kami.
Pemikiran dan gagasan itu kemudian diasah agar semakin tajam dalam
forum diskusi yang sudah kami adakan berkali-kali. Perdebatan dan hasil
yang muncul kemudian dijahit dan diselaraskan oleh Tim Penyunting.
Kalau catatan ini dikatakan sebagai Catatan Kinerja Legislasi DPR
untuk satu tahun, tentu ada pertanyaan, mengapa baru saat ini kami
luncurkan. Pertama, data yang tersedia dan berhubungan dengan catatan
ini baru kami peroleh pada akhir Januari 2014. Walau demikian, masih ada

PENGANTAR PENULIS

xi

data yang belum kunjung diperoleh hingga peluncuran catatan ini. Kedua,
kami sengaja mempersiapkan catatan ini untuk menyambut pergantian
masa jabatan DPR 20092014. Harapannya, Catatan Kinerja Legislasi
DPR 2013: Capaian Menjelang Tahun Politik ini dapat menjadi bekal bagi
anggota maupun calon anggota legislatif (DPR) periode 20142019
dalam meningkatkan kinerja legislasinya.
Kami sadar catatan ini penting karena DPR adalah milik kita bersama.
Tidak hanya PSHK yang memiliki tanggung jawab dalam pemantauan
dan pemberian catatan perbaikan. Ada harapan besar agar masyarakat
dapat bersama-sama turut terlibat dalam memberikan dorongan sehingga
kinerja DPR semakin baik. Undang-undang yang telah disahkan akan
mengatur, atau bahkan pada titik ekstrem, akan bertentangan dengan hak
warga negara. Kita semua terikat, jangan hanya diam.
Wacana legislasi yang semakin akrab diperbincangkan adalah tujuan
besar dari catatan ini, terutama di ruang-ruang perbincangan masyarakat.
Semoga Catatan Kinerja Legislasi DPR 2013: Capaian Menjelang Tahun
Politik ini dapat menjadi pemicu tercapainya mimpi besar tersebut.

Miko Susanto Ginting


Perwakilan Tim Penulis dan Penyunting

Daftar Isi
vii

KATA PENGANTAR
PENGANTAR PENULIS

ix

BAB I
CAPAIAN YANG TAK KUNJUNG TUNTAS
Penyajian Catatan: dari Sini ke Sana 5
Capaian Kuantitas Legislasi DPR 2013 6
BAB II
MENAKAR KUALITAS LEGISLASI
Kategori Proses 22
Kategori Substansi 26
BAB III
MENGURAI UNDANG-UNDANG

21

31

Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan


dan Pemberantasan Pendanaan Terorisme: Amunisi
Baru Pemberantasan Terorisme 31
Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan:
Ancaman Bagi Organisasi Masyarakat Sipil 36
Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan: Produk Hukum yang Kehilangan Momentum 43
Undang-Undang No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani: Perlindungan Minim Pemberdayaan 51

xiv

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

Undang-Undang No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan


Kedokteran: Eksekutif Tidak Proaktif 57
Undang-Undang No. 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan:
Babak Baru Dunia Keantariksaan Kita 65
Undang-Undang No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan: Pelayanan Prima dengan Stigma Lama 71
Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil: Penegasan Kembali Hak Masyarakat Pesisir 79
Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris: Prahara Perlindungan Profesi 86
Undang-Undang No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian:
Tambahan Portofolio Kementerian di Tahun Politik 93
Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara: Sistem Merit Bawa Harapan Tidak Irit 101
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa:
Sudah Siap dengan Kehadiran Desa-Desa Baru? 105

BAB IV
POLITIK NOMOR URUT LEGISLASI
Politik Legislasi 113
Arah dan Kebijakan Legislasi 2013 117
Peran Pemerintah yang Semakin Kuat 121
Dampak Bagi Anggaran Negara 122
Sanksi yang Tetap Berat 124
Pengaruh Perjanjian Internasional 125
Pihak yang Mengusulkan 126
Keterlibatan DPD 126
Keterlibatan Publik 127
Pembentukan Lembaga Baru 129
Waktu Pembahasan 130

113

xv

Sistem Pembahasan 131


Monitoring dan Evaluasi 132
Pendelegasian Kewenangan 133

BAB V
AKHIR CATATAN

LAMPIRAN 2

143
149
152

TENTANG PSHK

162

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN 1

135

BAB I

CAPAIAN YANG TAK


KUNJUNG TUNTAS

Itulah pesan yang


terus berulang diproduksi bagai mantra kalau bicara tentang peraturan,
termasuk undang-undang. Peraturan semestinya memberikan jaminan
perlindungan dan pemenuhan hak warga negara. Juga menjadi kabar baik
bagi kemanfaatan semua. Hukum untuk manusia. Hukum untuk publik.
Itulah memang tujuan peraturan: bertanggung jawab terhadap sosial.
Respons kepedulian publik akan undang-undangyang telah dan
akan adatidak diragukan kecil angkanya. Pangkal sebabnya bisa jadi
undang-undang dianggap tidak lagi bisa melindungi dan memberdayakan
hak-hak warga negara. Suara undang-undang seolah terdengar seperti
aturan yang mengikat warga negara dengan pelarangan-pelarangan yang
terkesan membatasi. Undang-undangdan bahkan hukumhadir dalam
rupa dan bentuk yang paling buruk: pengekangan. Hukum akhirnya
terdengar seperti kabar buruk.
Padahal, justru sebaliknya, undang-undang adalah kabar baik. Di
titik ini, pembentuk undang-undang menjadi pemegang kunci utama
dari arah dan substansi peraturan itu sendiri. Proses pembahasan juga
faktor penting dalam menentukan kualitas undang-undang. Sadar akan
hal itu, kepedulian dan bahkan keterlibatan publik, tidak bisa dianggap
remeh karena memegang peran yang tidak kalah berarti. Undang-undang
dapat dianalisis dari apa yang termaktub di dalamnya dan bagaimana
pembentukannya.
KITA HARUS TERLIBAT KARENA KITA AKAN TERIKAT.

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

DPR adalah salah satu aktor dalam pembentukan undang-undang.


Untuk itu, tidak salah kiranya mengurai rendahnya pandangan publik
terhadap kualitas undang-undang dari lembaga pembentuknya, yaitu DPR.
Legislasi acap kali mengikuti konfigurasi politik yang berkembang. Tak
heran, karena selain legislasi adalah produk hukum, ia juga produk politik
yang mengikuti ritme politik yang dimainkan oleh aktornya. Terlebih, ada
konstelasi politik yang menjadi latar. Catatan ini adalah capaian legislasi
DPR selama 2013, yang berarti satu tahun menjelang Pemilihan Umum
(Pemilu). Catatan kinerja legislasi yang dihasilkan oleh PSHK pada
momentum yang sama sebelumnya melihat DPR sudah siap-siap dalam
menghadapi Pemilu.1
Maka itu, penilaian kinerja legislasi DPR 2013 menjadi begitu
penting. Pola politik hukum yang mau diusung dapat terlihat melalui
undang-undang yang dihasilkan. Dalam catatan PSHK ini, proses legislasi
yang direkam bermula dari pembukaan Masa Sidang III 20132014 pada
15 Januari 2013 dan berakhir pada penutupan Masa Sidang II 20132014
pada 19 Desember 2013. Dengan demikian, ruang lingkup catatan ini
adalah pembahasan undang-undang yang diikuti dengan pengesahan
sepanjang 2013.2
Ini adalah tahun keempat masa jabatan DPR. Pada tahun pertama,
PSHK masih menaruh harapan dan memberikan ruangyang tentu
bukan pembenaran untuk mengaminiberadaptasi karena banyak wajah

Rachmad Maulana Firmansyah dkk, Catatan Kinerja DPR 2012: Fondasi Tahun
Politik, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2013. Catatan
ini dapat diunduh melalui pshk.or.id, http://pshk.or.id/site/?q=id/content/
catatan-kinerja-dpr-2012-fondasi-tahun-politik-0.
Sebagai catatan, terdapat juga undang-undang yang disahkan pada 2013 tetapi
sebelum masa sidang III DPR pada 15 Januari 2013, yaitu UU No. 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro yang disahkan pada 8 Januari 2013. Pembahasan
mengenai undang-undang ini sudah disajikan pada catatan kinerja legislasi oleh
PSHK tahun sebelumnya. Lihat Rachmad Maulana Firmansyah dkk, Catatan Kinerja
DPR 2012: Fondasi Tahun Politik, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia,
Jakarta, 2013. Catatan ini dapat diunduh melalui pshk.or.id, http://pshk.or.id/
site/?q=id/content/catatan-kinerja-dpr-2012-fondasi-tahun-politik-0.

BAB I. CAPAIAN YANG TAK KUNJUNG TUNTAS

baru di DPR. 3 Kami mencatat 60% anggota DPR periode 2009-2014


minim pengalaman.4 Tahun selanjutnya, PSHK melihat perkembangan
kinerja legislasi DPR dengan tetap meninggalkan pertanyaan, Apakah ini
aspirasi? Apakah ini transaksi?. 5 Kemudian, diikuti catatan PSHK akan
legislasi DPR yang menandai fondasi tahun politik pada tahun ketiga. 6
Atas dasar itu, kemapanan DPR dalam merumuskan undang-undang pada
tahun keempat ini seharusnya sudah semakin mantap.
PENYAJIAN CATATAN: DARI SINI KE SANA

Catatan ini kami susun layaknya perjalanan yang singgah di lima tempat.
Awalnya, kita singgah di tempat pertamayang sedang Anda baca.
Bab pertama ini menyajikan ruang lingkup catatan dan juga gambaran
umum kinerja legislasi DPR selama 2013. Dalam hal ini, sajian cenderung
menyasar pada capaian legislasi yang dilihat dari kacamata kuantitas.
Pada bab kedua, Anda akan menemukan kerangka pemikiran yang
PSHK gunakan dalam menganalisis kualitas undang-undang. Rangkaian
pertanyaan yang menjadi dasar penilaian terpampang sekaligus diintegrasikan dengan apa yang sudah PSHK hasilkan sebelumnya, baik catatan
kinerja legislasi maupun hasil riset lainnya, yang juga saling berkaitan
erat. Metode penilaian ini sudah digunakan sejak awal kami meluncurkan
catatan kinerja legislasi DPR, yaitu sejak 2002. Tentu saja, karena
diskursus legislasi berkembang dengan pesatnya, kami juga melakukan
banyak pengembangan, termasuk menggabungkan dengan metode perancangan peraturan yang kami susun dalam Draftology.7
Tempat singgah selanjutnya adalah bab ketiga. Inilah bab yang akan
mengantarkan Anda pada hasil analisis PSHK terhadap capaian legislasi
3
4
5
6
7

Rizky Argama dkk, Berharap pada 560: Catatan Kinerja DPR 20092010, Pusat
Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2011.
Ibid, hal. 11.
Fajri Nursyamsi dkk, Catatan Kinerja DPR 20102011: Legislasi: Aspirasi atau
Transaksi?, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2012.
Rachmad Maulana Firmansyah dkk, Fondasi Tahun Politik, Loc.cit.
Erni Setyowati dkk, Draftology, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia,
Jakarta, 2011.

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

DPR 2013. Spesifik kami memberikan pandangan terhadap undangundang per undang-undang yang masuk dalam kategori undang-undang
nonkumulatif terbuka.8 Hal ini didasarkan pada karakteristik undangundang nonkumulatif terbuka yang substansial. Jadi, sebanyak 12 (dua
belas) undang-undang dibongkar dengan kerangka pemikiran yang
sudah dipaparkan pada bab sebelumnya.
Setelah analisis per undang-undang, kami melihat kecenderungan
atau isu utama yang tergambar dari capaian legislasi DPR selama 2013.
Inilah tempat singgah selanjutnya, bab empat. Penelusuran terhadap
politik legislasi yang diusung pada 2013 diangkat dalam bab ini. Selain
itu, terdapat topik atau tren yang dominan muncul yang dilihat dari proses
pembahasan dan juga substansi undang-undang itu sendiri. Kemudian,
pembahasan itu membawa PSHK dalam simpulan: gambaran besar yang
terlihat dari semua kecenderungan yang ada. Dan, itu dapat dilihat pada
bab lima. Dengan demikian, Anda telah sampai pada ujung catatan PSHK.
Selamat beperjalanan.
CAPAIAN KUANTITAS LEGISLASI DPR 2013

Ambisi besar, tenaga buyar. Ungkapan itu selaras dengan pencapaian


kinerja legislasi DPR 2013. Memulai tahun dengan perencanaan melalui
Program Legislasi Nasional (Prolegnas), DPR membuat target menuntaskan 70 (tujuh puluh) rancangan undang-undang. Seperti prediksi dalam
catatan kinerja legislasi DPR yang dihasilkan PSHK tahun sebelumnya,
lambungan dalam jumlah yang tinggi itu gagal ditangkap.9

Pasal 23 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan hanya memberikan kategorisasi undang-undang kumulatif terbuka,
yaitu pengesahan perjanjian internasional tertentu, akibat putusan Mahkamah
Konstitusi, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pembentukan, pemekaran,
dan penggabungan daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota, dan penetapan/
pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Dengan demikian,
secara a contrario, undang-undang non-kumulatif terbuka adalah undang-undang
diluar kategori yang disebut diatas.
Rachmad Maulana Firmansyah, Fondasi Tahun Politik, Op. cit, hlm. 139.

BAB I. CAPAIAN YANG TAK KUNJUNG TUNTAS

A. CAPAIAN DALAM JUMLAH

JENIS UU CAPAIAN 2013

KUMULATIF TERBUKA

10

12
NON-KUMULATIF TERBUKA

Hanya 12 (dua belas) undang-undang non-kumulatif terbuka yang


berhasil disahkan DPR dari rencana 70 (tujuh puluh) rancangan undangundang dalam Prolegnas. Jika dihitung dengan menggunakan persentase,
itu adalah 17% dari total perencanaan. Ya, 17% saja. Dengan demikian,
terdapat 58 (lima puluh delapan) RUU nonkumulatif terbuka yang tidak
berhasil diselesaikan. Angka itu mencapai 83% dari total rencana dalam
Prolegnas.
Sementara itu, undang-undang kumulatif terbuka yang berhasil
disahkan berjumlah 10 (sepuluh) undang-undang.10
2

BARU
LUNCURAN

10

10 Dari sepuluh undang-undang kumulatif terbuka tersebut, satu diantaranya adalah


Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) No. 1 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kedua Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Perpu
ini disetujui oleh DPR dan kemudian diundangkan melalui UU No. 4 Tahun 2014.
Pada 13 Februari 2014, Perpu tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi
(MK) melalui Putusan MK No. 1-2/PUU-XII/2014.

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

Dari 12 (dua belas) undang-undang nonkumulatif terbuka yang berhasil


disahkan tersebut, nyaris semuanya masuk dalam Prolegnas 2013. Hanya
satu saja yang dibentuk untuk merespons putusan MK yaitu UU No. 1
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Terhadap undangundang itu sebelumnya telah ada Putusan MK No. 3/PUU-VIII/2010.
Sementara sebelas undang-undang lainnya sudah tertera judulnya dalam
Prolegnas 2013.
Lebih jauh, sebagian besar undang-undang tersebut justru
merupakan luncuran dari tahun-tahun sebelumnya. Kita lihat saja UU No.
21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan. Namanya sudah berkumandang
sejak Prolegnas 2010. Hanya 2 (dua judul) yang memang baru tercantum
dalam Prolegnas 2013 dan berhasil disahkan. Ia adalah UU No. 9 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan
Terorisme. Satu lagi adalah UU No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan
Atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

UU NON-KUMULATIF TERBUKA YANG DISAHKAN PADA 2013

NOMOR

TENTANG

9 TAHUN 2013

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN


TINDAK PIDANA TERORISME

17 TAHUN 2013

ORGANISASI KEMASYARAKATAN

18 TAHUN 2013

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN

19 TAHUN 2013

PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI

20 TAHUN 2013

PENDIDIKAN KEDOKTERAN

21 TAHUN 2013

KEANTARIKSAAN

24 TAHUN 2013

PERUBAHAN ATAS UU NO. 23 TAHUN 2006

1 TAHUN 2014

PERUBAHAN ATAS UU NO. 27 TAHUN 2007 TENTANG

TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

BAB I. CAPAIAN YANG TAK KUNJUNG TUNTAS

2 TAHUN 2014

PERUBAHAN ATAS UU NO. 30 TAHUN 2004


TENTANG JABATAN NOTARIS

3 TAHUN 2014

PERINDUSTRIAN

5 TAHUN 2014

APARATUR SIPIL NEGARA

6 TAHUN 2014

DESA

UU NON-KUMULATIF TERBUKA YANG DISAHKAN PADA 2013

NOMOR
10 TAHUN 2013

TENTANG
PENGESAHAN ROTTERDAM CONVENTION ON THE PRIOR
INFORMED CONSENT PROCEDURE FOR CERTAIN HAZARDOUS
CHEMICALS AND PESTICIDES IN INTERNATIONAL TRADE

11 TAHUN 2013

PENGESAHAN NAGOYA PROTOCOL ON ACCESS TO


GENETIC RESOURCES AND THE FAIR AND EQUITABLE
SHARING OF BENEFITS ARISING FROM THEIR UTILIZATION
TO THE CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY

12 TAHUN 2013

PEMBENTUKAN KABUPATEN MOROWALI


UTARA DI PROVINSI SULAWESI TENGAH

13 TAHUN 2013

PEMBENTUKAN KABUPATEN KONAWE KEPULAUAN

14 TAHUN 2013

PERUBAHAN ATAS UU NO. 56 TAHUN 2008

DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA

TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN


TAMBRAUW DI PROVINSI PAPUA BARAT
15 TAHUN 2013

PERUBAHAN ATAS UU NO. 19 TAHUN 2012

16 TAHUN 2013

PEMBENTUKAN KABUPATEN MUSI RAWAS

22 TAHUN 2013

PERTANGGUNGJAWABAN DAN PELAKSANAAN

23 TAHUN 2013

APBN TAHUN ANGGARAN 2014

TENTANG APBN TAHUN ANGGARAN 2013

UTARA DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

APBN TAHUN ANGGARAN 2012

4 TAHUN 2014

PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UU

(SEBELUM

NO. 1 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UU

DIBATALKAN)

NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

10

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

BENTUK UU CAPAIAN 2013


PERUBAHAN
23%

BARU
77%

Sementara itu, dari 22 (dua puluh dua) undang-undang capaian 2013,


baik undang-undang nonkumulatif terbuka maupun kumulatif terbuka,
terdapat 17 (tujuh belas) undang-undang baru. Jumlah itu mencapai angka
77% dari keseluruhan undang-undang yang berhasil disahkan selama
2013.
Kemudian 5 (lima) undang-undang diantaranya adalah undangundang perubahan. Undang-undang tersebut terdiri atas 3 (tiga)
undang-undang nonkumulatif terbuka, yaitu UU No. 24 Tahun 2013
tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan, UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.
27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil, dan UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Sementara itu, 2 (dua) undangundang lainnya adalah undang-undang kumulatif terbuka, yaitu UU No.
14 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU No. 56 Tahun 2008 tentang
Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat dan UU No.
15 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU No. 19 Tahun 2012 tentang
APBN Tahun Anggaran 2013.
ASAL USUL INISIATIF UU CAPAIAN 2013

DPR
50%

PEMERINTAH
50%

BAB I. CAPAIAN YANG TAK KUNJUNG TUNTAS

11

Pada 2013, undang-undang nonkumulatif terbuka usul inisiatif DPR


dan Pemerintah yang berhasil disahkan menempati posisi berimbang.
Undang-undang usul inisiatif DPR yang berhasil disahkan berjumlah 6
(enam) undang-undang. Begitu juga dengan undang-undang usul inisiatif
Pemerintah yang berjumlah 6 (enam) undang-undang.
GRAFIK PRODUKTIVITAS LEGISLASI ALAT KELENGKAPAN DPR 2013
4

I
II
III
I
I
I II
IV
IV
I V SI IX SI X SI X
II
I II
I IV
IV
US
IS MIS MIS MIS MIS MIS MIS MIS
MI OMI OMI ANS
M
KO KO KO KO
KO
K
P
KO KO KO KO
K

Dari sisi kuantitas, produktivitas alat kelengkapan DPR yang paling tinggi
dalam menyelesaikan undang-undang non-kumulatif terbuka pada 2013
ditempati oleh Panitia Khusus (Pansus). Terdapat 4 (empat) undangundang yang berhasil disahkan. Sementara, Komisi IV menempati urutan
kedua dengan 3 (tiga) undang-undang. Komisi II yang berhasil menyelesaikan 2 (dua) undang-undang menempati peringkat ketiga. Lalu,
Komisi VI, VII, dan X dapat menyelesaikan masing-masing 1 (satu)
undang-undang.
B. CAPAIAN DALAM KELOMPOK ISU

Setelah menyelami jumlah capaian legislasi DPR selama 2013 secara


keseluruhan, menarik kemudian melihat capaian berdasarkan kelompok
isu dari materi muatan yang diatur. Kelompok isu yang digunakan

12

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

berdasarkan pembidangan yang dikembangkan oleh PSHK, berdasarkan


hasil pemantauan dan catatan kinerja yang disusun setiap tahun mulai
2002.
Melihat capaian legislasi dari kelompok isu menjadi penting karena
dalam pembentukan undang-undang tentu tidak dimaknai hanya sekadar
menggugurkan kewajiban atau upaya kejar setoran memenuhi target
RUU untuk disahkan menjadi undang-undang. Lebih dari itu, pembentukan undang-undang harus dimaknai sebagai realisasi dari politik
legislasi dan upaya mencapai tujuan negara sebagaimana tercantum
dalam konstitusi. Selain itu, kebermanfaatan suatu undang-undang
juga bukan sekadar keberadaannya saja, tetapi substansi atau materi
muatan pengaturan akan sangat menentukan apakah undang-undang itu
bermanfaat bagi masyarakat atau tidak.
Data capaian berdasarkan isu dapat dilihat dari grafik di bawah ini.

CAPAIAN LEGISLASI 2013

INFORMASI DAN
TEKNOLOGI

PEMEKARAN
WILAYAH

5%
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

18%

5%

PENGELOLAAN SDA 5%
KELEMBAGAAN NEGARA 4%
POLITIK 4%

APBN

14%

INDUSTRI DAN
PERDAGANGAN

9%
KEWILAYAHAN
PETERNAKAN
DAN PERTANIAN

9%

9%
HUKUM

9%

REFORMASI
BIROKRASI

9%

BAB I. CAPAIAN YANG TAK KUNJUNG TUNTAS

NO

KELOMPOK

JUMLAH

PEMEKARAN WILAYAH

APBN

KEWILAYAHAN

REFORMASI BIROKRASI

HUKUM

PETERNAKAN DAN PERTANIAN

INDUSTRI DAN PERDAGANGAN

POLITIK

KELEMBAGAAN NEGARA

10

PENGELOLAAN SDA

11

PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

12

INFORMASI DAN TEKNOLOGI

13

Dari diagram di atas dapat diketahui bahwa 22 (dua puluh dua) undangundang yang dihasilkan, baik nonkumulatif terbuka maupun kumulatif
terbuka, pada 2013 tersebar pada 12 (dua belas) kelompok isu yang berbeda.
Dari 12 (dua belas) kelompok itu, isu pemekaran wilayah menjadi paling
dominan; mencapai 18% atau sama dengan 4 (empat) undang-undang.
Lalu, diikuti dengan kelompok isu APBN dengan 3 (tiga) undang-undang
atau sama dengan 14%.
Selain pemekaran wilayah, tidak ada isu khusus yang dominan pada
kinerja legislasi DPR 2013. Temuan itu bisa dimaknai bahwa DPR tidak
memiliki atau tidak memprioritaskan satu kelompok isu tertentu pada
2013. Selain itu, pada capaian undang-undang pada 2013, ada 7 (tujuh)
undang-undang yang merupakan luncuran dari tahun sebelumnya
dalam arti sudah mulai dibahas pada tahun sebelumnya dan dilanjutkan
pada 2013. Dari data itu, bisa dikatakan bahwa pada 2013 lebih condong
digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang ada dibanding
menggagas pembahasan rancangan undang-undang baru.

14

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

Adapun dominasi undang-undang pemekaran wilayah dapat diidentifikasi karena adanya kebutuhan untuk memperluas kekuasaan. Bisa juga
berdasarkan asumsi untuk mengutip pundi-pundi dukungan bagi anggota
DPR agar terpilih di Pemilu berikutnya. Hal itu bisa dilihat dari minimnya
proses penilaian dan evaluasi sebelum merealisasikan pemekaran suatu
wilayah. Dalam kenyataannya, wilayah yang dimekarkan tidak dapat
dipastikan bisa mandiri secara perekonomian sehingga kesejahteraan
masyarakatnya ragu-ragu untuk dicapai. Namun, yang bisa dipastikan
dalam suatu pemekaran wilayah adalah munculnya jabatan-jabatan politik
baru, yaitu kepala daerah dan DPRD setempat.
Apabila dibandingkan dengan 2008, kondisinya tidak jauh berbeda.
Undang-undang pemekaran wilayah menjadi yang paling dominan kala itu,
bahkan jauh lebih besar dari 2013, yaitu sebesar 44% atau sama dengan 27
(dua puluh tujuh) undang-undang. Selain itu, undang-undang yang terkait
dengan kelembagaan negara menjadi terbanyak kedua, yaitu sebesar 11%
atau sama dengan 7 (tujuh) undang-undang. Selebihnya tidak ada yang
dominan. Tercatat, isu politik, hukum, informasi dan teknologi, industri
dan perdagangan, serta kewilayahan masing-masing menghasilkan 2 (dua)
undang-undang.
Kecenderungan untuk menyelesaikan rancangan undang-undang
yang sudah lama dibahas, yang terjadi pada 2013, pun merupakan
versi ulangan dari 2008. Pada 2008, ada RUU Keterbukaan Informasi
Publik dan RUU Antipornografi yang berhasil disahkan setelah sangat
lama dibahas. Sementara pada 2013, ada RUU Desa, RUU Organisasi
Masyarakat, dan RUU Aparatur Sipil Negara yang disahkan setelah
melalui periode pembahasan yang memakan waktu cukup lama.
Dari gambaran tersebut, dapat dilihat bahwa walaupun tingkat
capaian jauh berbeda, yaitu 76% pada 2008 dan 31% pada 2013, tetapi
karakteristik capaian yang dihasilkan tidak jauh berbeda. Analisis dari
kelompok isu legislasi memperlihatkan bahwa dominasi undang-undang
yang dihasilkan lebih banyak mengakomodasi kebutuhan elit politik
dibandingkan dengan isu kesejahteraan masyarakat.

15

BAB I. CAPAIAN YANG TAK KUNJUNG TUNTAS

Kecenderungan yang sama juga dipengaruhi oleh situasi yang


sama terjadi pada 2008 dan 2013. Kedua tahun itu adalah satu tahun
menjelang Pemilu, sehingga terlihat bahwa para pembentuk pembentuk
undang-undang ramai-ramai mempersiapkan penguatan-penguatan atas
kekuasaan yang sudah dimiliki. Pemekaran wilayah sangat identik dengan
pembangunan daerah pemilihan (dapil) baru, yang memungkinkan akan
mempermudah para pembentuk undang-undang terpilih kembali dalam
kontestasi Pemilu berikutnya. Sementara pembentukan lembaga baru atau
revisi terhadap lembaga yang sudah adayang juga marak terjadi pada
tahun 2008 dan 2013merupakan bentuk dari perluasan kewenangan,
baik Pemerintah maupun DPR.
C. CAPAIAN DARI TAHUN KE TAHUN

Dari empat tahun DPR 20092014 bekerja, capaian dan target Prolegnas
tidak pernah sama, naik-turun. Namun, ada kesamaan dari keempat waktu
itu, yaitu tidak pernah sekalipun target yang dicanangkan berhasil dituntaskan. Pada 2013, dari target 70 (tujuh puluh) RUU, hanya berhasil
disahkan 12 (dua belas) undang-undang nonkumulatif terbuka. Dengan
demikian, terdapat selisih 58 (lima puluh delapan) RUU.
TARGET DAN CAPAIAN UU NONKUMULATIF TERBUKA 2012-2013

TARGET

CAPAIAN
93

70

69

70

10

12

2012

2013

19

8
2010

2011

16

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

Secara keseluruhan, pada 2013, DPR berhasil merampungkan


pembahasan 22 (dua puluh dua) RUU dan mensahkannya menjadi
undang-undang. Target undang-undang nonkumulatif terbuka yang
dicanangkan pada 2013 (70 RUU) lebih tinggi dibanding dengan target
capaian pada 2012 (69 RUU), capaian pada 2013 juga meningkat dari
tahun sebelumnya, dimana pada 2012 undang-undang nonkumulatif
terbuka yang berhasil disahkan berjumlah 10 (sepuluh) undang-undang.
Meski demikian, capaian 2013 masih lebih rendah dibandingkan dengan
2011, yang mencapai 19 (sembilan belas) undang-undang. Namun, lebih
tinggi dari capaian 2010, yaitu 8 (delapan) undang-undang nonkumulatif
terbuka.
Setelah melihat perbandingan dengan 3 (tiga) tahun sebelumnya,
untuk mempertajam penilaian terhadap data tersebut, penting juga untuk
memperbandingkannya dengan capaian legislasi DPR pada periode
sebelumnya, yaitu DPR periode 20042009.
PERBANDINGAN CAPAIAN PROLEGNAS 2008 & 2013
NONKUMULATIF
TERBUKA

KUMULATIF
TERBUKA

TARGET
NONKUMULATIF
TERBUKA

81

70
34
12
27
10
2008

2013

Tahun 2013 merupakan tahun keempat DPR Periode 20092014,


sedangkan tahun keempat dari DPR Periode 20042009 adalah 2008.
Konteks politik yang melingkupinya kurang lebih sama, yaitu perhelatan

17

BAB I. CAPAIAN YANG TAK KUNJUNG TUNTAS

Pemilu. Pada tahun itu, DPR berhasil menyelesaikan 61 (enam puluh satu)
undang-undang, yang berarti hampir tiga kali lipat dari capaian 2013.
Apabila melihat lebih dalam, 61 (enam puluh satu) undang-undang
yang dihasilkan pada 2008 terdiri dari 27 (dua puluh tujuh) undangundang non-kumulatif terbuka dan 34 (tiga puluh empat) undang-undang
kumulatif terbuka. Target yang direncanakan dalam Prolegnas berjumlah
81 RUU.
Sementara pada 2013, 22 (dua puluh dua) undang-undang yang
dihasilkan, terdiri dari 12 (dua belas) undang-undang nonkumulatif
terbuka dan 10 (sepuluh) undang-undang kumulatif terbuka. Target yang
dicantumkan dalam Prolegnas adalah 70 RUU. Dari data itu, terlihat
bahwa undang-undang yang dihasilkan, baik kumulatif maupun nonkumulatif terbuka pada 2013 jauh lebih sedikit dari 2008.
Catatan PSHK tentang kinerja legislasi DPR 20042009, pada
bagian capaian tahun 2008, menyebutkan bahwa:
Ibarat permainan sepak bola, tahun 2008 merupakan injury time
bagi DPR periode20042009. Sisa waktu yang singkat memaksa
DPR bekerja lebih keras untuk menghasilkan produk legislasi
yang dapat dianggap sebagai prestasi oleh masyarakat.

Selain itu, dalam catatan itu juga disinggung bahwa:


Agenda pemilu memang menjadi tantangan bagi anggota DPR
untuk dapat menjalankan fungsi legislasi secara baik pada 2008.
Tantangan itu terletak pada komitmen waktu anggota DPR untuk
melaksanakan fungsinya dan mempersiapkan pemilu agar berjalan
lancar dengan membentuk undang-undang terkait pemilu. Dua
kondisi itu mewarnai dinamika kerja legislasi DPR pada 2008.

Apabila melihat dua uraian di atas, sebenarnya kondisi pada 2008 tidak
jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada 2013. Adapun, letak kesa-

18

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

maannya adalah waktu masa jabatan yang sudah memasuki injury time
dan tahun ketika anggota DPR sudah harus berbagi fokus menghadapi
Pemilu pada tahun depannya.
Namun, bagai pepatah yang menyatakan lain ladang lain belalang,
lain lubuk lain ikannya, ternyata tempat, waktu, dan kondisi yang serupa
tidak menjamin apa yang dihasilkan sama. Temuan itu membuktikan
bahwa masih ada faktor lain yang menentukan kinerja DPR, terutama
dalam memproduksi suatu undang-undang.
Meski bukan satu-satunya, dinamika internal DPR merupakan salah
satu faktor yang menentukan capaian undang-undang. Selain itu, ada pula
faktor lain yang sudah cukup sering dibahas pada catatan PSHK tentang
kinerja legislasi DPR tahun-tahun sebelumnya, seperti beban pekerjaan
dari pelaksanaan fungsi DPR yang lain, terutama fungsi pengawasan.
Sebagai contoh, kasus dinamika di internal DPR yang menghambat pelaksanaan fungsi legislasi selama 2013 adalah Pemilihan Ketua Komisi III
DPR.11
Capaian yang minim tersebut tampaknya juga berbanding terbalik
dengan apa yang disampaikan pimpinan DPR, Marzuki Alie, pada
pembukaan Masa Sidang III DPR 20122013.12 Disampaikan bahwa
dengan banyaknya RUU yang harus diselesaikan pada 2013 menuntut DPR
agar mengoptimalkan waktu agar semua RUU yang menjadi tanggung

11 Pasca-pencopotan Ketua Komisi III DPR, Gede Pasek Suardika, oleh Fraksi
Demokrat pada 18 September 2013, Komisi III DPR terlilit polemik akan pengganti
sang Ketua. Fraksi Demokrat memutuskan kader lain, Ruhut Sitompul, sebagai
Ketua Komisi III menggantikan Gede Pasek Suardika. Namun keputusan itu tidak
disepakati oleh anggota Komisi III lainnya, bahkan ada yang sampai mengancam
akan keluar dari Komisi III, apabila keputusan itu tetap dipertahankan. Polemik
siapa pengganti sang Ketua lama berlanjut, sampai beberapa kali unsur pimpinan
DPR harus turun tangan memimpin rapat untuk menyelesaikan permasalahan.
Polemik itu terus berjalan sampai mengganggu agenda-agenda kegiatan Komisi III,
termasuk pelaksanaan fungsi legislasi. Polemik berakhir ketika Fraksi Demokrat
akhirnya menunjuk Pieter Zulkif li untuk duduk sebagai Ketua Komisi III. Sampai
akhirnya Pieter dikukuhkan sebagai Ketua Komisi III DPR pada 8 Oktober 2013.
12 Lihat DPR dan Pemerintah tetapkan 70 RUU Prioritas Tahun 2013 http://www.dpr.
go.id/parlementaria/magazine/m-99-2013.pdf.

BAB I. CAPAIAN YANG TAK KUNJUNG TUNTAS

19

jawab DPR dapat terselesaikan dengan baik. Dalam Masa Sidang III ini,
Dewan menargetkan 60% alokasi waktu diperuntukkan bagi kegiatan
legislasi dan 40% bagi kegiatan anggaran dan pengawasan. Di tahun 2013
inilah, sangat kita harapkan bahwa kinerja di bidang legislasi benar-benar
tertangani dengan baik, mengingat tahun depan adalah tahun pelaksanaan
pemilu. Hal ini juga untuk menjawab kritik masyarakat terhadap kinerja
dewan, terutama pada bidang legislasi, jelas Marzuki Alie.

BAB II

MENAKAR
KUALITAS LEGISLASI

Kinerja Legislasi DPR 2013 ini, telah


diperoleh fakta bahwa target pencapaian legislasi DPR sebagaimana
yang direncanakan dalam Prolegnas secara kuantitas tidak terpenuhi.
Meski demikian, kuantitas jelas tidak dapat dijadikan satu-satunya tolok
ukur untuk menilai baik-tidaknya kinerja dalam menghasilkan undangundang.13 Undang-undang juga bukanlah sekadar teks dan DPR bukanlah
pabrik undang-undang.
Membuat undang-undang adalah persoalan merumuskan kesepakatan mengenai bagaimana menangani suatu isu publik. Maka, ukuran
kinerja DPR dan Pemerintah dalam proses legislasi bukanlah soal
kuantitas dan judul undang-undang, tetapi soal isi undang-undang.14 Meski
demikian, kuantitas juga bukan berarti tidak penting. Setidak-tidaknya,
kuantitas undang-undang yang dihasilkan dapat dijadikan titik berangkat
sekaligus parameter dalam mengurai produktivitas kinerja legislasi berikut
permasalahan dalam pencapaiannya.
PADA BAGIAN AWAL CATATAN

13 Svein Eng, Legislative Inflation and the Quality of Law, dalam Legisprudence: A New
Theoretical Approach to Legislation, Luc Wintgens (Ed), Oxford-Portland Oregon,
Hart Publishing, 2002, hlm. 67.
14 Erni Setyowati dkk, Bobot Berkurang, Janji Masih Terutang: Catatan PSHK tentang
Kualitas Legislasi 2006, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2007,
hlm. 47.

22

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

Pada bagian ini, yang ingin kami hadirkan adalah kerangka konsepsional dalam melakukan analisis terhadap undang-undang yang dihasilkan
oleh DPR bersama-sama dengan Pemerintah. Undang-undang yang
dimaksud adalah undang-undang dengan kategori nonkumulatif terbuka
karena karakteristiknya yang substantif. Kami mengajukan 2 (dua)
kategori utama dalam melakukan penilaian terhadap kualitas legislasi.
Satu adalah proses, satunya lagi adalah substansi. Dari sisi proses, kami
bermaksud mengupas bagaimana undang-undang itu dibahas. Sementara
itu, melalui pendalaman terhadap substansi, kami menyajikan apa isi dari
satu per satu undang-undang. Kedua hal ituproses dan substansi
saling terkait dan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Substansi
yang baik cenderung dilahirkan dari proses yang baik pula.
KATEGORI PROSES

Berikut adalah beberapa poin kunci yang kami susun untuk menilai
pembahasan suatu undang-undang dari sisi proses.
SIAPA YANG MENGUSULKAN

Pengusulan suatu undang-undang secara konstitusional hanya dimiliki


oleh dua lembaga, yaitu Presiden dan DPR.15 Mengetahui siapa yang
mengusulkan suatu rancangan undang-undang berguna untuk mengidentifikasi kepentingan siapa atau pihak mana yang dominan. Ini adalah titik
berangkat untuk memperoleh jawaban mengenai siapa pihak yang paling
diuntungkan dengan hadirnya suatu undang-undang. Jawabannya dapat
terlihat dari konfigurasi politik yang muncul dalam pembahasan berikut
argumentasi pendukungnya.
Selain itu, mengetahui siapa pihak yang mengusulkan suatu
rancangan undang-undang juga berguna sebagai titik awal dalam melacak
bagaimana kesiapan dalam perencanaan pembentukan undang-undang.
Salah satunya adalah dokumen naskah akademik, yang berposisi sebagai
basis ilmiah terkait urgensi dibentuknya suatu undang-undang.
15

Lihat Pasal 5 dan Pasal 20 UUD NR I 1945.

BAB II. MENAKAR KUALITAS LEGISLASI

23

ALAT KELENGKAPAN YANG MEMBAHAS

Pembahasan suatu undang-undang di internal DPR dilakukan oleh


alat kelengkapan. Sementara, Presidenmelalui Surat Presidenakan
menunjuk Menteri untuk bertindak mewakili Pemerintah. Penelusuran
mengenai alat kelengkapan yang membahas beserta mitranya dapat
menuntun kita untuk mengetahui siapa saja pembahas suatu rancangan
undang-undang berikut sikap serta pandangannya terhadap wacana yang
berkembang dalam pembahasan.
TAHAPAN DAN WAKTU PEMBAHASAN

Durasi waktu pembahasan suatu undang-undang dapat dilihat dari


berbagai sudut. Pada bagian hulu, ia menggambarkan perencanaan legislasi,
termasuk di dalamnya kesiapan dokumen, seperti naskah akademik
dan naskah rancangan undang-undang. Pada tahap pembahasan, waktu
pembahasan juga dapat menggambarkan materi muatan dari rancangan
undang-undang yang dibahas, apakah bobot substansinya cukup berat atau
tidak.
Pelibatan pemangku kepentingan dalam skala besar, baik karena
materi muatan maupun tidak, juga mempengaruhi lamanya waktu
pembahasan ini. Selain itu, waktu pembahasan juga dapat dipengaruhi
alotnya perdebatan. Perbedaan pendapat antara DPR dan Pemerintah
maupun antarfraksi di DPR merupakan hal yang tidak dapat dihindari.
Respons masyarakat juga memiliki pengaruh penting dari lamanya waktu
pembahasan. Meskipun demikian, banyak faktor lain juga mempengaruhi waktu pembahasan, misalnya disiplin anggota DPR dalam rapat
pembahasan.
DPR dalam peraturan internalnya telah memberikan acuan mengenai
durasi waktu pembahasan suatu rancangan undang-undang. Pasal 141 Tata
Tertib DPR menyatakan bahwa pembahasan suatu rancangan undangundang dilakukan dalam jangka waktu 2 (dua) kali masa sidang dan dapat
diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa sidang.

24

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

SIAPA SAJA YANG DILIBATKAN DALAM PEMBAHASAN

Dalam pembentukan suatu undang-undang, perlu melihat siapa saja yang


terlibat di dalamnya. Pihak yang perlu ditelusuri dimulai dari siapa saja
pemangku kepentingan yang dilibatkan. Setelah itu, siapa perorangan atau
kelompok keahlian turut serta. Lalu, patut juga dijawab: adakah kelompok
rentan yang juga turut dilibatkan.
KETERLIBATAN PUBLIK

Salah satu indikator dari berkualitas atau tidaknya suatu undang-undang


dapat dilihat dari sejauh mana publik terlibat dalam pembentukannya.
Keterlibatan publik dalam proses pembahasan undang-undang juga
berkaitan erat terhadap legitimasi produk legislasi.16 Undang-undang
sejatinya adalah produk kesepakatan antara rakyat dan pembentuk
undang-undang. Derajat keterlibatan publik pun harus diukur bukan dari
sisi formalitas belaka, tetapi bagaimana aspirasi yang timbul dari keterlibatan itu dapat dikelola.
Secara garis besar, keterlibatan publik dapat dipilah menjadi dua,
yaitu inisiatif pembentuk undang-undangdalam hal ini DPR dan
Pemerintahmaupun atas inisiatif masyarakat sendiri. Bentuk keterlibatan masyarakat dapat dicermati mulai dari akses informasi yang
memadai, sifat rapat pembahasan (terbuka atau tertutup), forum-forum
publik yang diselenggarakan, hingga akomodasi terhadap aspirasi publik.
DINAMIKA PEMBAHASAN

Dinamika pembahasan menggambarkan wacana atau perdebatan


yang muncul dalam pembahasan berikut dengan argumentasinya.
Permasalahan-permasalahan krusial yang ada dalam suatu rancangan
undang-undang diungkapkan. Juga bagaimana pembentuk undangundang mencari jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan itu. Pada
16 Lihat Michael Zander, The Law-Making Process (sixth Edition), Legislation the
Whitehall Stage, Cambridge University Press, Cambridge, 2004, hlm. 37.

BAB II. MENAKAR KUALITAS LEGISLASI

25

tahap berikutnya, akan ada penilaian terhadap bobot perdebatan terhadap


wacana yang berkembang itu. Apakah yang dibahas masalah-masalah
yang prinsipil atau bersifat teknis? Tidak kalah penting, kesetaraan dalam
perdebatan juga patut dipotret. Kesetaraan itu dapat dinilai dari: adakah
perbedaan perlakuan terhadap orang atau sekelompok orang tertentu?
Adakah perbedaan antara fraksi dengan jumlah anggota yang banyak dan
fraksi dengan anggota lebih sedikit? Salah satu yang juga sangat penting
ditelusuri: adakah perbedaan atau kesenjangan gender dalam menyampaikan gagasan dalam perdebatan?
METODE PEMBAHASAN

Maksud dari metode pembahasan adalah bagaimana cara suatu undangundang dibahas. Apakah menggunakan metode tertentu? Bagaimana
alur sidang yang disepakati dalam pembahasan? Adakah alat bantu yang
digunakan dalam membahas suatu undang-undang?
Kadang kala, pembahasan suatu rancangan undang-undang melalui
metode konvensional dirasa tidak efektif dan tidak optimal. Untuk itu,
dibutuhkan inovasi tertentu. Belakangan ini, metode yang mulai diadopsi
adalah metode clustering. Prosesnya dimulai dengan melakukan pengelompokan terhadap permasalahan yang ada. Tim Substansi bertugas untuk
membahas hal-hal yang bersifat substansial. Sementara, Tim Sinkronisasi
bertugas untuk membahas hal yang bersifat nonsubstansial, misalnya
redaksional.
DINAMIKA PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Sekurang-kurangnya terdapat tiga pola pengambilan keputusan dalam


pembahasan suatu rancangan undang-undang, yaitu melalui musyawarah,
aklamasi, dan voting. Pengambilan keputusan itu dapat terjadi pada dua
kondisi, yaitu pembahasan isu tertentu dan pengesahan. Musyawarah
adalah proses perundingan untuk mencapai kesepakatan bersama.
Sementara, aklamasi dapat diartikan persetujuan secara lisan oleh seluruh
peserta rapat terhadap hal yang dibahas. Lalu, voting adalah mekanisme

26

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

pengambilan keputusan dengan cara suara terbanyak. Penggunaan setiap


cara pengambilan kesepakatan itu dapat dihubungkan dengan satu suara
atau tidaknya DPR dalam pengambilan keputusan terhadap satu atau
beberapa isu juga keseluruhan rancangan undang-undang.
KATEGORI SUBSTANSI

Berikut adalah beberapa pertanyaan kunci yang kami susun untuk menilai
substansi suatu undang-undang.
TUJUAN PENGATURAN DAN MASALAH YANG INGIN DIPECAHKAN

Pada bagian tujuan pengaturan ini, hal yang ingin disasar adalah
diperolehnya pemahaman mengenai latar belakang lahirnya suatu undangundang. Untuk itu, dirumuskan tujuan dan bagaimana suatu rancangan
undang-undang dapat merespons permasalahan yang ada. Kemudian,
apakah permasalahan-permasalahan yang ada terpecahkan melalui
pembentukan undang-undang itu.
Menurut Robert J. Martineau dan Michael B. Salerno, perancang
menentukan apakah tujuan dari peraturan itu dapat dicapai, apa saja yang
menjadi tantangan dan batasan dalam pencapaiannya, dan pendekatan
apakah yang sebaiknya digunakan dalam mencapai tujuan itu.17
SIAPA-SIAPA SAJA YANG AKAN DIATUR

Mengidentifikasi siapa-siapa saja yang diatur merupakan cara untuk


melihat siapa subjek dalam suatu undang-undang. Setelah pertanyaan itu
terjawab, maka siapa pihak yang paling diuntungkan adalah pertanyaan
lanjutannya. Arah pengaturan akan terlihat dengan melakukan identifikasi
terhadap siapa yang akan diatur dan siapa yang paling diuntungkan.18

17 Robert J. Martineau dan Michael B. Salerno, Legal, Legislative, and Rule Drafting in
Plain English, Thomson/West, 2005, hlm. 17.
18 Lihat Ann Seidman dan Robert B. Seidman, Boston University Law Review,
ILTAM: Drafting Evidence-Based Legislation for Democratic Social Change,
Cambridge University Press, Cambridge, 2004, hlm. 451.

BAB II. MENAKAR KUALITAS LEGISLASI

27

SIAPA SAJA LEMBAGA PELAKSANA

Lembaga pelaksana penting untuk memastikan efektivitas undang-undang


dalam implementasi. Pembentukan lembaga negara baru juga patut
disorot karena merupakan bentuk dari penambahan kewenangan lembaga
negara. Pembentukan lembaga negara baru harus tepat guna karena
membutuhkan sumber daya yang cukup besar dan berpengaruh terhadap
anggaran negara.
PRINSIP-PRINSIP DASAR

Soal yang ingin dipastikan dalam hal ini adalah materi muatan dari
undang-undang tidak boleh bertentangan dengan pasal maupun prinsip
dalam UUD NRI 1945. Ketidaksesuaian itu akan berujung pada pengujian
konstitusional di Mahkamah Konstitusi. Selain itu, harus ada keselarasan
antara prinsip yang ada dalam satu undang-undang dan prinsip yang ada
dalam undang-undang lain. Batu uji berikutnya adalah apakah prinsip
dalam undang-undang itu sejalan atau bertentangan prinsip-prinsip yang
diakui secara universal, misalnya hak kebebasan berserikat, asas praduga
tidak bersalah, nondiskriminasi, transparansi, dan sebagainya.
PENGARUHNYA TERHADAP HAM, PEMBERANTASAN
KORUPSI, LINGKUNGAN, KESETARAAN GENDER, DAN LAIN-LAIN

Setelah menilai kesesuaian antara materi muatan dan prinsip-prinsip


dasar, selanjutnya yang diperhatikan adalah dampak dari disahkannya
suatu undang-undang. Apalagi, melihatnya dari kacamata berbagai
sektor. Untuk hal ini, kami tidak ingin membatasi. Setiap undang-undang
memiliki materi muatan dan persinggungan tersendiri dengan prinsip
yang lain.
Selain itu, patut ditelaah, bagaimana pengaruh suatu undang-undang
terhadap kelompok rentan. Kelompok rentan yang dimaksud dapat
terdiri dari anak, perempuan, penyandang disabilitas, kelompok marjinal,
maupun kelompok miskin baik secara politik, sosial, maupun ekonomi.
Kelompok rentan ini dapat disesuaikan dengan waktu, tempat, dan konteks
ekonomi, sosial, dan politik tertentu.

28

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

PENDELEGASIAN WEWENANG

Pendelegasian seharusnya bukanlah bentuk pengalihan beban. Melainkan


upaya untuk menjalankan kewenangan secara lebih detil dan koordinatif.
Dengan pemikiran itu, pendelegasian wewenang mesti dilakukan secara
lebih rinci agar tidak menimbulkan multitafsir dan miskordinasi dalam
implementasi.
Pendelegasian wewenang juga membawa pengaruh bagi banyaknya
pekerjaan rumah pembentuk peraturan. Kali ini, hal yang ditonjolkan
adalah berapa jumlahnya, apa bentuknya, dan bagaimana pengaturannya.
Begitu juga dengan ketepatan pengaturan dalam suatu produk peraturan
pelaksana yang kami sandarkan pada materi muatannya.
SANKSI

Sanksi seakan bagian yang tidak bisa tidak dicantumkan dalam undangundang. Padahal, tidak selalu demikian. Sanksi pun bukan melulu soal
sanksi pidana, ada jenis lain seperti sanksi administratif dan perdata. Hal
pertama yang perlu ditelusuri adalah penentuan subjek yang diancam suatu
sanksi. Setelah itu, perlu melihat apa perbuatan apa yang diancam dengan
sanksi tersebut. Berat-rendahnya sanksi yang diterapkan merupakan
bagian berikutnya. Lalu, perlu diperhatikan sistem perumusan dari sanksi
tersebut.
Pada bagian ini, juga sangat penting untuk melihat kesesuaian
pengaturan sanksi dalam suatu undang-undang dengan peraturan perundang-undangan lain. Apabila ada dua atau lebih pengaturan yang berbeda
tetapi ditujukan pada perbuatan yang sama, itu akan menimbulkan
kekacauan dalam penegakannya. Rangkaian ini diakhiri dengan menjawab
pertanyaan, apakah pengaturan sanksi cukup jelas dan tidak multitafsir?
PENGATURAN PENINJAUAN KEMBALI

Ketentuan monitoring dan evaluasi perlu diperhatikan dalam menganalisis suatu undang-undang. Karena dengan dasar itu, penerapan
undang-undang dalam implementasi dapat dilihat dan diukur efektivi-

BAB II. MENAKAR KUALITAS LEGISLASI

29

tasnya. Pengaturan peninjauan kembali suatu undang-undang akan lebih


tepat diatur pada bagian tersendiri dalam undang-undang yang dimaksud.
Itu bertujuan agar mekanisme peninjauan kembali suatu undang-undang
merupakan hal yang imperatif (wajib) bagi pembentuk undang-undang,
bukan dilaksanakan atas inisiatif.
POTENSI BEBAN DAN MANFAAT

Pada tahap awal, penelusuran dapat hanya didasarkan pada pemeriksaan teks undang-undang saja. Bagaimana potensi beban, dampak, serta
manfaat dari dihadirkannya suatu undang-undang? Apakah lebih tepat
suatu permasalahan dipecahkan melalui pembentukan undang-undang
atau cara lain? Secara lebih komprehensif, cost and benefit analysis ini cukup
berkembang dan menjadi bagian tersendiri untuk dibahas.
TANTANGAN DALAM IMPLEMENTASI

Pada bagian ini, yang akan dijawab adalah bagaimana ketika undangundang tersebut diterapkan. Apakah terdapat tantangan atau tidak?
Dan, bagaimana undang-undang itu menyelesaikannya? Sisi efektivitas
dari pelaksanaan undang-undang diteropong berdasarkan pengaturan
normatifnya. Kualitas peraturan kerap didekatkan dengan efektivitas
dan efisiensi, tapi juga seharusnya ditakar dari kemampuannya untuk
diimplementasikan.19
STRUKTUR PENGATURAN UNDANG-UNDANG

Pemeriksaan dilakukan dengan mengiventarisasi beberapa kelengkapan


pengaturan undang-undang. Dalam Draftology20 , kami menyebutnya
sebagai enam kelompok aturan. Kelompok itu terdiri dari: (i)aktor
atau pengemban peran (role occupant); (ii)pelaksana peraturan (imple19 Heinrich Winter, The Forum Model in Evaluation of Legislation, dalam
Legisprudence: A New Theoretical Approach to Legislation, Luc Wintgens (Ed),
Oxford-Portland Oregon, Hart Publishing, 2002, hlm. 140.
20 Erni Setyowati dkk, Draftology, Loc.cit.

30

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

menting agent); (iii)sanksi; (iv)penyelesaian sengketa; (v)pembiayaan;


dan (vi)monitoring dan evaluasi. Selanjutnya, perlu ditelusuri, apakah
beberapa kelompok pengaturan itu sudah dirumuskan secara rinci dan
jelas? Pelaksanaan yang buruk atau tidak efektif dari suatu undangundang umumnya disebabkan oleh tidak jelas dan tidak rincinya teks
undang-undang.
KALIMAT NORMA

Dalam pemeriksaan terhadap kalimat norma, hal yang perlu dipastikan


adalah apakah kalimat pengaturan sudah efektif? Apakah kalimat
pengaturan sudah memenuhi kaedah bahasa Indonesia yang baik dan
benar? Rumusan yang perlu diperhatikan dalam pengaturan adalah siapa
melakukan apa (who does what).
Pertanyaan lanjutannya adalah apakah dalam satu pasal hanya
terdapat satu pokok pikiran? Apakah ada kesalahan teknis dalam
pengetikan norma? Perlu juga melihat kesesuaian antara kalimat norma
dengan Lampiran UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.

BAB III

MENGURAI
UNDANG-UNDANG

UNDANG-UNDANG NO. 9 TAHUN 2013 TENTANG


PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENDANAAN
TERORISME: AMUNISI BARU PEMBERANTASAN TERORISME

tentang
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme. Ini
berkaitan dengan kestabilan perekonomian nasional yang sudah baik. Saat
ini, seluruh negara yang tergabung dalam G-20 sudah memiliki aturan itu,
kecuali Indonesia dan Turki. Aturan itu sendiri diwajibkan oleh Financial
Action Task Force (FATF). Kalau tidak, menurut dunia, Indonesia masuk
dalam negara noncooperative jurisdiction. Terlebih ketika Indonesia akan
di-review pada 2013, ujar Agus Martowardjojo, Menteri Keuangan.21
Pertimbangan terhadap citra Indonesia di dunia Internasional cukup
mewarnai terbitnya UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Pendanaan Tindak Pidana Terorisme (UU Pemberantasan
Pendanaan Terorisme). FATF yang populer dengan 9 Rekomendasi
Khususnya 22 , mensyaratkan agar semua negara memidanakan pendanaan
INDONESIA PATUT MERAMPUNGKAN PEMBAHASAN RUU

21 Agus Martowardodjo, http://www.tempo.co/read/news/2012/12/12/090447772/


Menkeu-Desak-DPR-Rampungkan-Beleid-Terorisme, diakses pada 18 Maret 2014.
22 Rekomendasi mulai dikeluarkan oleh FATF pada 1991 dan dimuat dalam laporan
berisikan 40 rekomendasi yang memberikan panduan komprehensif untuk
memerangi tindak pidana pencucian uang. Setelah peristiwa WTC

32

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

teroris, tindakan teroris, dan organisasi teroris. Tidak cukup hanya dengan
memidanakan pencucian uang, tetapi juga mengkriminalisasi pendanaan
terorisme sebagai tindak pidana yang terpisah.23
Ini bukan hal baru, melainkan aturan lebih lanjut dari aturan
yang sudah ada. Indonesia sebelumnya telah meratifikasi International
Convention for the Supression of the Financing of Terrorism dengan UU
No. 6 Tahun 2006. Sementara untuk tindak pidana terorisme pokoknya,
telah diterbitkan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme.24 Kesan desakan internasional sangat gamblang. Meski
demikian, amunisi untuk memberantas terorisme semakin lengkap.
Pemberantasan tindak pidana terorisme tentu saja merupakan hal
yang penting dan menjadi perhatian bersama. Salah satu kunci keberhasilannya adalah memutus aliran dana kegiatan itu. 25 Untuk itu, aturan
pencegahan dan pemberantasan pendanaan tindak pidana terorisme pun
harus ada. Namun, bagaimana cara pengaturannya juga merupakan hal
yang tak bisa luput untuk diperbincangkan.
Sama Tapi Tak Serupa
Ada dua perhatian utama terkait dengan substansi undang-undang ini.
Terutama apabila disandingkan dengan UU No. 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU
TPPU). Ada kesamaan dan ada perbedaan.

(9 September 2001) di Amerika Serikat, FATF mengeluarkan pedoman tambahan


untuk memerangi pendanaan terorisme yang kemudian dikenal dengan nama
8 Rekomendasi. Pada 2004, disempurnakan menjadi 9 Rekomendasi Khusus.
Rekomendasi Khusus itu dapat dilihat di http://www.fatf-gafi.org/.
23 Naskah Akademik RUU Pencegahan dan Pemberantasan Pendanaan Tindak Pidana
Terorisme, hlm. 6.
24 Undang-undang itu merupakan Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang No. 1 Tahun 2012.
25 Hal senada disampaikan oleh John Tanujaya. Menurutnya, kunci keberhasilan dalam
melemahkan jaringan teroris adalah dengan menghentikan aliran dana (money
line). Pengawasan terhadap lalu lintas uang (money traffic) perlu dilakukan untuk
menghentikan (i)praktik pencucian uang, (ii)transfer uang melalui yayasan no profit,
dan (iii)transfer uang lewat sistem hawala (kurir-penulis).

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

33

Pertama, undang-undang ini memiliki kesamaan pengaturan


dengan UU TPPU. Catatan di Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang
menyoroti kesamaan pengaturan dengan UU TPPU adalah dokumen yang
patut dirujuk. Masukan Fraksi Golkar maupun Demokrat pun membenarkan. Beberapa kesamaannya, pengaturan pendanaan terorisme melalui
sistem keuangan/transaksi formal.26 Lalu, prinsip Know Your Customer
juga memiliki kesamaan dengan UU TPPU.27
Kedua, hal yang berbeda adalah cakupan keberlakuan undang-undang
ini lebih luas dibandingkan dengan UU TPPU. Pendanaan yang dimaksud
dalam undang-undang ini juga meliputi pendanaan secara langsung tanpa
melalui sistem keuangan ataupun melalui transaksi lainnya. Berbeda
dengan yang diatur oleh UU TPPU.28
Selain itu, ada perbedaan dalam penerapan prinsip Know Your
Customer pada UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme. Profil pengguna
jasa keuangan tidak didasarkan pada batasan-batasan tertentu yang jelas
sebagaimana yang diatur UU TPPU. Dalam UU TPPU, batasan transaksi
jelas dan terukur, seperti batasan transaksi Rp100.000.000 (seratus juta
rupiah).29
Prinsip Jelas yang Terlanggar
Perumusan suatu norma, terutama yang berkaitan dengan norma pidana,
sepatutnya memenuhi prinsip lex certa dan lex stricta. Jelas dan tegas,
demikian artinya. Ketidakjelasan batasan transaksi yang akan diatur
tersebut membuka ruang terlanggarnya prinsip itu. Itu berpotensi
melanggar hak asasi seseorang.
26 Daftar Inventarisasi Masalah RUU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme.
27 Bandingkan antara Pasal 11 UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme dan Pasal 18
UU TPPU.
28 Bandingkan antara Pasal 4 UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme dan Pasal 3, 4,
dan 5 UU TPPU.
29 Pasal 12 ayat (3) huruf b UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

34

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

Begitu juga dengan definisi terduga. Konsep itu jelas tidak memiliki
referensi apapun dalam hukum acara pidana di Indonesia, termasuk
dalam undang-undang ini. 30 Bukan semata ketiadaan rujukan. Konsep
terduga merupakan pintu masuk bagi kesewenang-wenangan dalam proses
penegakan hukum. Dan, sudah jelas ini bertentangan dengan asas praduga
tidak bersalah; asas universal sebagai turunan konsepsi negara hukum.
Tidak cukup sampai di situ, melalui BAB VII undang-undang ini,
diperkenalkan pengaturan Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris.
Pengaturan ini memberi peran yang begitu besar kepada Kepala Kepolisian
RI (Kapolri) untuk menyusun daftar tersebut. Permohonan diajukan dan
ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta. Tidak ditemukan batasan yang
jelas; alasan pencantuman seseorang atau korporasi dalam daftar itu. 31
Tak heran, pengaturannya masih sebatas prosedural pengajuan, bukan
pemeriksaan materi yang substansial.
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang menetapkan
daftar itu diposisikan bagai lembaga stempel administrasi semata. Tidak
ditemukan adanya kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap daftar
yang diajukan. 32 Bagi orang atau korporasi yang dicantumkan dalam
daftar, mekanisme upaya perlawanan secara hukum hanya dimungkinkan
pada tindakan pemblokiran, bukan pada pencantuman pada daftar terduga
itu.
Meski demikian, untuk tindakan pemblokiran ini, ada angin segar
yang diberi. Gugatan terhadap tindakan pemblokiran, berdasarkan daftar
terduga, ditempuh melalui gugatan keperdataan. 33 Hal ini memberikan
30 Lihat UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pada konsep Hukum
Acara Pidana Indonesia, hanya terdapat status tersangka, terdakwa, dan terpidana
dengan batasan dan pengertian yang jelas. Konsep terduga ini masuk dalam DIM
Fraksi Golkar. Awalnya hanya sekadar melakukan klarifikasi tanpa mengusulkan
perubahan.
31 Pihak yang dapat dicantumkan dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris
adalah orang atau korporasi. Lihat Pasal 27 ayat (1) UU No. 9 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Pendanaan Terorisme.
32 Pasal 28 ayat (3) UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Pendanaan Terorisme.
33 Pasal 29 ayat (5) UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

35

dampak, yaitu kemungkinan adanya ganti rugi keperdataan terhadap


tindakan pemblokiran oleh Kepolisian, tidak semata hanya mempersoalkan tindakan pemblokirannya.
Proses Cepat Minim Partisipasi
Dari sisi proses, salah satu catatan penting adalah ketidaksesuaian prosedur
dimasukkannya undang-undang ini untuk dibahas secara bersama oleh
Pemerintah dan DPR. Usulan suatu undang-undang lazimnya dilakukan
melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahunan.
Dari pengaturan Tata Tertib DPR, memang dimungkinkan untuk
mengusulkan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas. Hal itu diatur
melalui mekanisme dalam Pasal 108 Tata tertib DPR. Pasal itu mengatur
dua prasyarat, yaitu substansi yang dapat diusulkan34 dan mekanisme
pengajuan undang-undang di luar Prolegnas. 35
Pengajuan UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme tidak
memenuhi kedua prasyarat itu. Pasal 108 ayat (3) menyatakan 4 (empat)
RUU yang dapat diajukan di luar Prolegnas, yaitu:
a. Meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional;
b. Mengisi kekosongan hukum akibat putusan Mahkamah Konstitusi;
c. Mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; atau
d. Keadaaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensinasional atas
suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disepakati oleh Badan
Legislasi dengan menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
peraturan perundang-undangan.

Jika dilihat dari substansi dan materi pengaturan di dalam UU


Pemberantasan Pendanaan Terorisme, tidak ada satu prasyarat pun yang
terpenuhi. Adanya urgensi nasional untuk melakukan pengaturan terhadap

34
35

Pendanaan Terorisme.
Pasal 108 ayat (3) Tata Tertib DPR.
Pasal 108 ayat (4) Tata Tertib DPR.

36

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

pemberantasan pendanaan terorisme juga tidak tepat. Pasalnya, sudah ada


beberapa pengaturan yang mampu mencakup materi muatan undangundang ini, yaitu dengan UU TPPU dan UU Tindak Pidana Terorisme.
Dari sisi prosedural, UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme
diusulkan tidak melalui Badan Legislasi. Padahal, ini diharuskan
dalam Pasal 108 ayat (3) dan (4) Tata Tertib DPR. Usulan undangundang ini diajukan langsung oleh Pemerintah kepada pimpinan DPR.
Konsekuensinya, pengajuan tersebut tidak melalui proses perdebatan
yang dalam di Badan Legislasi, terutama ihwal urgensi dibahasnya UU
Pemberantasan Pendanaan Terorisme ini. 36
Waktu yang dilalui untuk membahas undang-undang ini cukup cepat.
Tidak sampai 1 tahun penuh masa persidangan DPR. Alhasil, cepatnya
proses pembahasan ini menyebabkan ruang pelibatan publik untuk
mengajukan usulan dan tanggapan juga minim. Kami mencatat hanya satu
kali Panitia Khusus UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme melakukan
Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan masyarakat. Pada 19
Desember 2012, RDPU diadakan dengan beberapa elemen organisasi
keagamaan, di antaranya Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI),
Konferensi Wali-Gereja Indonesia (KWI), dan Walubi (Perwakilan Umat
Buddha Indonesia).

UNDANG-UNDANG NO. 17 TAHUN 2013 TENTANG


ORGANISASI KEMASYARAKATAN: ANCAMAN
BAGI ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL

Disahkan di Tengah Derasnya Penolakan


UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas)
menggantikan UU No. 8 Tahun 1985 dengan judul sama. Pada masa Orde
36 http://m.sindoweekly-magz.com/artikel/21/i/26-juli-1-agustus-2012/indonesia/68/
prosedur-siluman-ruu-pesanan, diakses pada 1 Mei 2014.

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

37

Baru, UU Ormas merupakan satu dari lima undang-undang dalam Paket


Undang-Undang Politik, bersama dengan RUU Pemilu, RUU Parpol,
RUU MPR, DPR, dan DPRD, dan RUU Referendum. Jelas bahwa sejak
awalnya, UU Ormas memang lebih didasarkan pada pertimbangan politik
dibanding hukum. Stabilitas politik merupakan tujuan pembentukannya
pada saat itu.
Sejak reformasi 1998, upaya untuk merevisi UU Ormas telah mulai
dilakukan oleh Pemerintah. RUU tentang Perubahan Atas UU No. 8
Tahun 1985 masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
20052009. Namun, upaya ini tidak bersambut di DPR. Hingga berakhirnya periode DPR pada tahun 2009, RUU ini tidak juga dibahas.
Walaupun masuk dalam Prolegnas 20102014, RUU Ormas baru
mendapat momentumnya setelah terjadi serentetan tindak kekerasan yang
diduga melibatkan Ormas. Pada 30 Agustus 2010, ada rapat gabungan
DPR dengan Pemerintah untuk merespons maraknya berbagai tindak
kekerasan tersebut. Rapat itu dihadiri antara lain oleh Wakil Ketua DPR,
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Menteri Dalam
Negeri, Kepala Kepolisian RI, Jaksa Agung, dan Kepala Badan Intelijen
Negara. Rapat itu menghasilkan kesepakatan untuk mendorong revisi UU
Ormas. Sejak itu, RUU Ormas masuk dalam Prioritas Legislasi tahunan
pada tahun 2011, 2012, dan 2013.
Pada 21 Juli 2011, RUU Ormas resmi menjadi usul inisiatif DPR.
Proses pembahasannya alot dan cukup panjang. DPR sampai memperpanjang periode pembahasan hingga tujuh kali masa sidang. Ada dua kali
Rapat Paripurna yang ditunda (12 April dan 25 Juni 2013) karena DPR
tidak juga mencapai kesepakatan, suatu hal yang sangat khusus dalam
sejarah proses legislasi di Indonesia.
Pada Rapat Paripurna 2 Juli 2013, DPR akhirnya melakukan voting
karena keputusan melalui musyawarah mufakat tidak juga tercapai. RUU
Ormas ditolak oleh 50 suara (PAN, Gerindra, Hanura), tetapi disetujui
oleh 311 suara (Demokrat, Golkar, PDI-P, PKS, PPP, PKB).

38

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

Persetujuan DPR ini tentunya mengecewakan banyak pihak. Sejak


2011, berbagai pemangku kepentingan utama dari RUU ini telah tegas
menyatakan penolakannya. DPR dan Pemerintah seharusnya mencabut
UU Ormas dan mengembalikan pengaturan pada kerangka hukum
yang benar, yaitu badan hukum Yayasan (untuk organisasi sosial tanpa
anggota) dan badan hukum Perkumpulan (untuk organisasi sosial dengan
anggota). Terlebih lagi, RUU Perkumpulan telah masuk dalam Prolegnas
20102014 nomor 228.
Persyarikatan Muhammadiyah menilai RUU Ormas memiliki
paradigma totaliter dan menganut paham kekuasaan yang absolut.
Muhammadiyah menolak dan menyarankan kepada pemerintah dan DPR
untuk menyusun RUU Perkumpulan sebagaimana yang diperintahkan
oleh Pasal 28 UUD NRI 1945. 37
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tidak menolak, tetapi
memberikan enam pokok pandangan kritis dan meminta DPR untuk
menunda pengesahan untuk menghindari berbagai dampak negatif yang
ditimbulkan dari pengesahan RUU ini. PBNU mengkritik definisi Ormas
yang dianggap menggeneralisasi dan tidak membedakan antara Yayasan,
Perkumpulan, dan Organisasi Kemasyarakatan, yang sudah berurat-akar
di dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan bangsa Indonesia. 38
Berbagai organisasi keagamaan seperti Majelis Taklim Alquran
(MTA), Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI), Persekutuan
Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Media Umat Kristen Indonesia (MUKI),
Perwakilan Umat Budha Indonesia (Walubi) Forum Komunikasi Kristen
Jakarta (FKKJ), Nasyiatul Aisyiah, Dewan Dakwah Islamiah, Persatuan
Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI) DKI dan Persaudaraan Muslimin
Indonesia (Parmusi) tegas menyatakan menolak RUU Ormas. 39
37 http://www.tribunnews.com/nasional/2013/07/02/dinilai-otoriter-muhammadiyah-tolak-ruu-ormas, diakses pada 1 Mei 2014.
38 Seluruhnya ada enam pokok pandangan dan sikap PBNU terhadap RUU Ormas.
Lihat http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,6-id,43562-lang,idc,taushiyah-t,Pokok+pokok+Pandangan+PBNU+terhadap+RUU+Ormas-.phpx
39 http://news.detik.com/read/2013/06/24/144316/2282461/10/15-ormas-tolak-

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

39

Kelompok buruh seperti dari elemen Federasi Serikat Pekerja


Nasional Indonesia (FSPNI), Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi
Pertambangan dan Umum (FSP KEP), Persaudaraan Pekerja Muslim
Indonesia (PPMI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia
(KSPSI) tegas menolak dan juga beberapa kali melakukan unjuk rasa besar
di gedung DPR.40
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sampai melakukan
konferensi pers untuk menyampaikan penolakannya atas RUU Ormas.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bahkan mendesak
DPR untuk tidak mengesahkan RUU Ormas karena dinilai bertentangan
dengan nilai-nilai HAM. Komnas HAM memandang bahwa RUU Ormas
itu dapat menjadi ancaman terhadap kebebasan berserikat. Komnas
HAM merekomendasikan pembentukan dan pengesahan segera UU
Perkumpulan, bukan UU Ormas, sebagai pendamping UU Yayasan.41
Kembali Bangkitnya Konsep Kreasi Orde Baru
Disahkannya RUU Ormas sebenarnya bukan sekedar kelahiran suatu
undang-undang baru. Ini merupakan kebangkitan kembali suatu konsep
yang dibuat oleh Orde Baru yang menggunakan pendekatan politik
keamanan terhadap organisasi masyarakat sipil di Indonesia. Sejarah
mencatat bahwa sempat terjadi kontroversi pada 10 Desember 1987. Melalui
SK Mendagri No. 120 dan No. 121 Tahun 1987, Pelajar Islam Indonesia
(PII) dan Gerakan Pemuda Marhaen (GPM) tidak diakui keberadaannya
dan kegiatannya sempat dilarang karena tidak menyesuaikan diri dengan
UU Ormas. Majalah TEMPO 19 Maret 1988 menuliskan berita itu dengan
judul Pembubaran dengan SK Misterius karena SK Mendagri tersebut
memang belum pernah dipublikasi dan tidak pernah disampaikan kepada
PII maupun GPM.
pengesahan-ruu-ormas?nd771104bcj, diakses pada 1 Mei 2014.
40 http://www.tribunnews.com/nasional/2013/07/02/
tolak-ruu-ormas-ribuan-buruh-demo-di-dpr-ri
41 http://www.komnasham.go.id/informasi/images-portfolio-6/rekam-media/454komnas-ham-menolak-pengesahan-ruu-ormas, diakses pada 1 Mei 2014.

40

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

Pendekatan politik ini juga menjelaskan kenapa istilah Ormas,


yang sebenarnya berarti Organisasi Kemasyarakatan, kerap diartikan
dengan salah kaprah menjadi Organisasi Massa. Sebagai salah satu dari
lima undang-undang dalam Paket UU Politik, jelas sekali bahwa logika
dan struktur Partai Politik ataupun Organisasi Sayap Parpol (onderbouw)
sangat diterapkan dalam pengaturan Ormas ini. Kalau UU Ormas tetap
dibiarkan berlaku seperti sekarang, pendekatan politik akan mengemuka
dalam relasi antara Pemerintah dan Organisasi Masyarakat Sipil di
Indonesia ke depan.
UU Ormas seakan menempatkan bentuk Ormas sebagai payung
dari seluruh bentuk organisasi sosial. Kerancuan ini berpotensi dapat
membuat organisasi yang bergerak di ranah sosial (bisa berbadan
hukum/tidak, berbagai jenis Yayasan/Perkumpulan) akan didekati
dengan pendekatan politik dengan menjadi Ormas yang berada di bawah
pembinaan Kementerian Dalam Negeri, lebih khususnya Direktorat
Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol).
Penafsiran bahwa Ormas = Organisasi Masyarakat Sipil = LSM
adalah suatu penafsiran yang dipaksakan dan akan sangat menciderai
kebebasan berserikat berkumpul. Ormas bukanlah suatu badan hukum,
melainkan hanyalah suatu status politik yang diciptakan oleh Orde Baru.
Kalau pada 1985 konsep Ormas merupakan suatu konsep tidak jelas yang
dipaksakan, pada UU Ormas tahun 2013 ini konsep Ormas seakan naik
kelas menjadi pengganti dari istilah Organisasi Masyarakat Sipil (Civil
Society Organization). Tentunya, hal ini bukanlah suatu penafsiran yang
benar, tetapi penafsiran inilah yang akhirnya dipaksakan oleh Dirjen
Kesbangpol di berbagai wilayah.42
42 Koalisi Kebebasan Berserikat telah mengidentifikasi bahwa dalam masa satu tahun
berlakunya UU Ormas telah terdapat banyak sekali potensi pelanggaran kebebasan
berserikat akibat pemaksaan penafsiran ini.
Potensi tercederainya kebebasan berserikat berkumpul bukanlah sesuatu yang
mengawang-awang. Misalnya, sudah ada beberapa contoh yang mengkonfirmasi
potensi kerancuan pengertian Surat Keterangan Terdaftar (SKT) yang diatur oleh
UU Ormas: (1) Beberapa bulan sebelum UU Ormas disahkan DPR, terbit Surat
Edaran Gubernur Lampung No. 045.2/0427/11.03/2013 tentang Ormas/LSM yang

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

41

Ilustrasi dari hal yang terjadi setelah pemberlakuan UU Ormas


sebagai berikut.
APA YANG TERJADI?
SEBELUM

SESUDAH

ORGANISASI
MASYARAKAT SIPIL
(OMS/CSO)

TIDAK
BERBADAN
HUKUM

YAYASAN

ORMAS

PERKUMPULAN

ORMAS

TIDAK
BERBADAN
HUKUM

YAYASAN

PERKUMPULAN

ADA UPAYA MEMAKSAKAN PENERAPAN


PENAFSIRAN YANG SALAH, YAITU
MEMAKSAKAN BAHWA SEOLAH-OLAH:
ORGANISASI MASYARAKAT
SIPIL / CSO = ORMAS

Masuknya Yayasan dalam pengertian Ormas dapat menimbulkan


kerancuan di tingkat praktik yang berdampak besar. Badan hukum
Yayasan banyak digunakan oleh rumah sakit, kampus, dan berbagai
lembaga pendidikan/kesehatan/sosial lainnya. Dengan adanya UU Ormas
ini, apakah mereka kemudian menjadi Ormas? Kerancuan ini mengakiterdaftar pada Pemerintah Provinsi Lampung. Angka 5 dari Surat Edaran tersebut
menyatakan bahwa Ormas, LSM, atau Lembaga Nirlaba di Lampung yang tidak
memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik
(Kesbangpol) dianggap ilegal. (2) Hasil pemeriksaan lapangan yang dilakukan
Kesbangpol Lombok Tengah menemukan bahwa 47 LSM, termasuk yang sering
melaksanakan hearing ke sejumlah dinas maupun DPR D, ternyata tidak memiliki
izin. Kalau sudah tidak memiliki kantor ditambah tidak mengantongi izin, artinya
sebagian besar LSM kita ini ilegal, demikian penjelasan HM Suhardi, Kepala
Kesbangpol Lombok Tengah.
Pernyataan pejabat Kesbangpol tersebut memang perlu dielaborasi lebih jauh.
Namun, pernyataan itu mengindikasikan adanya kerancuan dalam penafsiran
mengenai izin ataupun Surat Keterangan Terdaftar. Perlu dicatat bahwa tidak ada
norma Harus/Wajib dalam UU Ormas mengenai kepemilikan SKT ini.

42

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

batkan penentuan organisasi mana yang masuk dalam kategori Ormas


akan ditentukan sepihak oleh Pemerintah.
Pemantauan dan Advokasi ke Depan
Pemerintah berencana untuk menyusun beberapa Peraturan Pemerintah
(PP) sebagai peraturan pelaksana dari UU Ormas baru ini:
1. RPP Pemberdayaan Ormas
2. RPP Ormas Asing
3. RPP Tata Cara Pendaftaran bagi Ormas yang Tidak Berbadan Hukum
4. RPP Tata Cara Penjatuhan Sanksi Administratif
5. RPP Sistem Informasi
6. RPP Tata Cara Pengawasan
7. RPP Pengaturan Lebih Lanjut tentang Perkumpulan

Publik perlu untuk memantau dan melakukan advokasi proses penyusunan


PP ini. Hal ini perlu dilakukan agar PP yang dihasilkan tidak menciderai
lebih jauh kebebasan berserikat berkumpul di Indonesia.
Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) dan PP Muhammadiyah
mengajukan permohonan uji materi atas UU Ormas ini. Keputusan
Mahkamah Konstitusi akan sangat menentukan, arah kerangka hukum
dan pola hubungan Pemerintah dengan Masyarakat Sipil di Indonesia.
Indonesia perlu menata kerangka hukum yang sehat bagi sektor
masyarakat sipil. Ketika banyak negara bicara tentang kemitraan, fasilitasi,
atau insentif, UU Ormas malah mengedepankan kontrol dan pendekatan
politik.
UU Ormas tahun 2013 akan punya dampak yang berbeda dengan
UU Ormas tahun 1985. Namun, ada satu hal yang belum juga berubah,
yaitu dalam hal cara pandang. Prof. Syamsuddin Haris dari LIPI, dalam
opininya di harian Kompas 13 Maret 2013, berpendapat bahwa: Naskah
RUU tersebut masih menganut cara pandang keliru rezim otoriter yang
melihat masyarakat sebagai ancaman

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

43

Cara pandang yang melihat masyarakat sebagai ancaman pastinya


akan berdampak pada pendekatan yang digunakan dalam relasi hubungan
antara Pemerintah dan Organisasi Masyarakat Sipil ke depannya.
Patut disesalkan dibangkitkannya UU Ormas ini. DPR dan
Pemerintah seharusnya mencabut UU Ormas dan mengembalikan
pengaturan pada kerangka hukum yang benar, yaitu badan hukum Yayasan
(untuk organisasi sosial tanpa anggota) dan badan hukum Perkumpulan
(untuk organisasi sosial dengan anggota). Saat ini, harapan bagi ketersediaan ruang yang kondusif bagi Organisasi Masyarakat Sipil dalam
mendukung demokrasi di Indonesia sedang diletakkan pada Mahkamah
Konstitusi melalui permohonan pengujian UU Ormas.

UNDANG-UNDANG NO. 18 TAHUN 2013 TENTANG


PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN:
PRODUK HUKUM YANG KEHILANGAN MOMENTUM

DPR tidak mengindahkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam


pembentukan undang-undang. Pembangkangan itu dilakukan DPR dalam
pembentukan Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU Pemberantasan Perusakan
Hutan) terhadap Putusan MK No. 45/PUU-XI/2011. Dalam Putusan itu,
MK memutuskan frasa ditunjuk dan atau dalam Pasal 1 angka 3 UU No.
4 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) bertentangan dengan
UUD NRI 1945.
Dengan adanya Putusan tersebut, maka definisi dari Kawasan Hutan
menjadi, Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh
Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
Definisi itu digunakan dalam UU Pemberantasan Perusakan Hutan dalam
Pasal 1 angka 2, tetapi pengaturannya tidak konsisten dengan Pasal 6 ayat
(1) huruf d, yang masih menggunakan peta penunjukan kawasan hutan
dan/atau koordinat geografis sebagai dasar yuridis batas kawasan hutan.

44

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

Selain Putusan tersebut, UU Pemberantasan Perusakan Hutan juga


tidak mengakomodasi Putusan MK No. 35/PUU-X/2012. Dalam Putusan
itu, definisi hutan adat dikeluarkan dari definisi hutan negara. Namun,
dalam UU Pemberantasan Perusakan Hutan, tidak satu pun pasal yang
merujuk pada putusan MK itu sehingga ada potensi masih masuknya
istilah hutan adat dalam pengertian hutan negara dalam pelaksanaannya ke
depan.
Jalan Panjang UU Pemberantasan Pembalakan Hutan
UU Pemberantasan Perusakan Hutan sudah digagas sejak 2002. Pada saat
itu, nama dari UU Pemberantasan Perusakan Hutan adalah Rancangan
Undang-Undang tentang Pemberantasan Illegal Logging. Pada saat
diusulkan untuk dibahas, RUU Pemberantasan Illegal Logging banyak
mendapatkan tentangan, baik dari masyarakat maupun dari internal
DPR. Oleh karena itu, proses pembentukan RUU itu tidak dilanjutkan.
Pada DPR periode 20042009, RUU yang sama diajukan masuk dalam
Prolegnas lima tahunan. Pada saat itu, nama RUU sudah berubah menjadi
RUU Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar (RUU P3L).
Perubahan itu didasarkan pada penyesuaian judul menggunakan bahasa
Indonesia.
Pada periode DPR 20042009, ternyata RUU tersebut juga tidak
kunjung dibahas. Sampai akhirnya pada 16 Desember 2010, RUU P3L
resmi menjadi usul inisiatif DPR. Peresmian itu dilanjutkan dengan
proses berikutnya, yaitu pembahasan bersama dengan Pemerintah. Dalam
pembahasannya, judul RUU kembali berubah. Kali ini, judulnya menjadi
RUU Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Hutan.
Potensi Kriminalisasi Warga Sendiri
UU Pemberantasan Perusakan Hutan mengatur 12 bab dan 114 pasal. Dari
keseluruhan ketentuan itu, ada 117 perbuatan yang dilarang dan dilengkapi
dengan sanksi pidana penjara. Ketentuan mengenai larangan itu ditujukan
kepada perseorangan maupun korporasi.

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

45

Tidak ada yang salah dengan banyaknya ketentuan pidana dalam


suatu undang-undang. Namun, menjadi penting untuk memastikan bahwa
ketentuan pidana itu memiliki keberpihakan kepada masyarakat, tidak
sebaliknya. Undang-undang sebaiknya mampu memberikan kabar baik
kepada masyarakat, bukan menjelma menjadi mimpi buruk yang terus
mengintai.
Apabila melihat lebih dalam pengaturan yang ada pada UU
Pemberantasan Perusakan Hutan, akan ditemukan beberapa pasal yang
memiliki potensi kuat menjadi dasar dalam mengkriminalisasi masyarakat,
terutama masyarakat adat yang tinggal di dalam atau sekitar hutan. Salah
satu pasal yang dimaksud adalah Pasal 1 angka 6 UU Pemberantasan
Perusakan Hutan yang mengatur bahwa:
Pasal 1 angka 6
Terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang
terstruktur, yang terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak
secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan
perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di
dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan
tidak untuk tujuan komersial.

Pasal tersebut mengandung ketentuan yang bersifat karet karena


interpretasi dari frase dengan tujuan melakukan perusakan hutan bisa
berbeda-beda. Tidak ada patokan atau ukuran yang jelas tindakan apa saja
yang masuk dalam kategori bertujuan merusak hutan. Selain itu, tujuan
masyarakat adat dalam melakukan penebangan kayu harus diakui tidak
hanya untuk keperluan sehari-hari, tetapi juga untuk dijual dan mendapatkan uang, yang bisa saja dimaknakan sebagai tujuan komersil.
Selain itu, Pasal 11 ayat (4) UU Pemberantasan Perusakan Hutan
juga berpotensi menkriminalkan masyarakat adat. Dalam pasal itu diatur
bahwa:

46

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

Pasal 11 ayat (4)


Masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan
hutan yang melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi
dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial
harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal tersebut sangat mengekang kebebasan masyarakat dalam memanfaatkan hasil hutan untuk keperluan sendiri. Ketentuan yang akan sangat
mengekang dan berpotensi mengkriminalkan masyarakat adalah adanya
mekanisme izin dari pejabat yang berwenang. Mekanisme izin akan
mempersulit masyarakat adat dalam memenuhi kebutuhan pribadinya,
apalagi jika izin dikenakan terhadap hasil hutan yang selama ini mereka
manfaatkan secara bebas. Apabila tidak mendapatkan izin, masyarakat
akan dengan mudah dianggap melanggar hukum.
Satu lagi pasal yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat dalam
penerapannya adalah Pasal 26 UU Pemberantasan Perusakan Hutan. Pasal
itu mengatur bahwa:
Pasal 26
Setiap orang dilarang merusak, memindahkan, atau menghilangkan pal
batas luar kawasan hutan, batas fungsi kawasan hutan, atau batas kawasan
hutan yang berimpit dengan batas negara yang mengakibatkan perubahan
bentuk dan/atau luasan kawasan hutan.

Pasal itu yang selama ini menjadi permasalahan di lapangan. Sebelum ada
judicial review terhadap istilah kawasan hutan oleh MK, penentuan wilayah
yang termasuk dalam kawasan hutan dilakukan dengan cara penunjukan
yang tidak berdasar. Selain itu, mekanisme dalam menentukan kawasan
hutan dilakukan sepihak oleh Pemerintah atau Kementerian Kehutanan.
Realitas itu menyebabkan masyarakat tidak puas atau tidak sepakat dengan

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

47

penunjukan atau penetapan kawasan hutan dan kemudian berinisiatif


untuk memindahkan pal batas kawasan hutan.
Selain potensi kriminalisasi, perumusan ketentuan sanksi dalam
UU Pemberantasan Perusakan Hutan juga memiliki catatan tersendiri.
Para pembentuk undang-undang mengharapkan UU Pemberantasan
Perusakan Hutan mampu lebih tegas dalam menindak para perusak hutan.
Namun, tujuan logis itu tidak dirumuskan secara tepat dalam materi
muatan undang-undang. Pemahaman akan ketegasan dikonversi menjadi
perumusan ketentuan sanksi yang sangat berat, bahkan tanpa ada ukuran
yang jelas dalam perumusan.
Salah satu contoh ketentuan sanksi dalam UU Pemberantasan
Perusakan Hutan adalah Pasal 87 ayat (1) yang mengatur bahwa:
Pasal 87 ayat (1)
Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. Menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan, dan/
atau memiliki hasil hutan yang diketahui berasal dari pembalakan liar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf k;
b. Membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan kayu yang berasal
dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf l; dan/atau
c. Menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan,
dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan
yang diambil atau dipungut secara tidak sah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf m dipidana dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

Dalam pasal itu, terlihat bahwa sanksi yang diancamkan tidak hanya
sanksi pidana saja, tapi juga sanksi denda. Kedua ketentuan sanksi itu

48

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

diatur secara kumulatif (penambahan), bukan alternatif (pilihan). Selain


itu, perumusan sanksi pidana dan sanksi denda dirumuskan memiliki
minimal dan maksimal. Perumusan ketentuan maksimal digunakan
untuk melindungi terpidana dari hukuman yang berlebihan. Sementara
itu, perumusan batasan minimal dibuat agar hakim sebagai pemutus tidak
memberikan vonis terlalu ringan karena sifat tindak pidana yang dilakukan
dipandang berat.
Ketentuan lain yang perlu dikritik adalah derajat perbuatan dalam
tindak pidana. Dalam Pasal 87 ayat (1) huruf a di atas terlihat bahwa
perbuatan melanggar hukum yang dirumuskan beragam, yaitu menerima,
membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan, dan/atau memiliki
hasil hutan. Menjadi pertanyaan adalah apakah seluruh perbuatan itu
memiliki derajat yang sama sehingga hukumannya menjadi sama?
Keseluruhan perumusan sanksi merupakan kewenangan dari
pembentuk undang-undang. Namun, kewenangan harus dilaksanakan
dengan akuntabel. Dalam hal sanksi dalam UU Pemberantasan Perusakan
Hutan, pembentuk undang-undang tidak menggunakan dasar pertimbangan dan pengukuran yang jelas. Sehingga sulit untuk mengukur apakah
porsi hukuman itu sudah tepat atau berlebihan.
Kehilangan Momentum
Pada 2011 dan 2012, MK mengeluarkan tiga Putusan berbeda yang
berkaitan langsung dengan materi muatan UU Kehutanan. Ketiga
Putusan itu memutuskan ada Pasal, baik sebagian atau seluruhnya, bertentangan dengan UUD NRI 1945. Dengan adanya Putusan-Putusan itu,
maka dibutuhkan perubahan atas UU Kehutanan oleh sang pemegang
kewenangan, yaitu DPR dan Pemerintah.
Alih-alih melakukan revisi atau membentuk UU Kehutanan yang
baru, DPR (dan Pemerintah) justru menggunakan waktunya untuk
mewujudkan mimpi yang sudah lama terabaikan, yaitu membentuk UU
Pemberantasan Perusakan Hutan. Apabila dilihat dari berbagai aspek,
pilihan pembentuk undang-undang untuk memprioritaskan pembentukan

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

49

UU Pemberantasan Perusakan Hutan dibanding dengan merevisi UU


Kehutanan patut dipertanyakan.
Dari materi muatannya, pengaturan dalam UU Pemberantasan
Perusakan Hutan tidak sepenuhnya baru karena ada beberapa ketentuan
yang diadopsi dari UU Kehutanan. Misalnya, Pasal 50 ayat (3) huruf e UU
Kehutanan, inti ketentuannya diatur juga dalam Pasal 12 huruf a. Kedua
Pasal itu mengatur bahwa semua orang dilarang untuk menebang pohon
tanpa izin. Selain itu, ada juga Pasal 50 ayat (3) huruf h UU Kehutanan
yang mengatur tentang larangan bagi semua orang untuk mengangkut,
menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara
bersama surat keterangan sahnya hasil hutan, yang juga diatur dalam Pasal
12 huruf e.
Selain dari aspek materi muatan, UU Pemberantasan Perusakan
Hutan juga sudah kehilangan momentum pembentukannya. Cita-cita awal
dari pembentukan UU Pemberantasan Perusakan Hutan adalah khusus
mengatur perihal illegal logging. Pada 2002, saat RUU tentang Pencegahan
Illegal Logging pertama kali diusulkan, kasus penebangan ilegal kayu
di Indonesia sangat tinggi sehingga dibutuhkan upaya pencegahan dan
penindakan atas tindak pidana itu. Namun, pada saat undang-undang ini
dibahas dan disahkan, kasus illegal logging sudah mengalami penurunan.
Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian
Kehutanan, Darori, menyatakan bahwa, persentase kasus illegal
logging telah mengalami penurunan. Hal itu dapat dilihat dari jumlah
kasus yang ditangani sepanjang 20052009. Menurutnya, kasus itu telah
turun sekitar 85,13%, dari 720 kasus menjadi 107 kasus. Sementara untuk
tahun 2010, belum ditemukan laporan adanya kasus baru pembalakan
liar.43
Banyak faktor yang menyebabkan turunnya kasus illegal logging
di Indonesia. Salah satunya adalah sudah adanya peraturan yang
43 Tren Menurun, Illegal Logging tetap perlu diwaspadai, http://www.hukumonline.
com/berita/baca/lt4be0007e42e07/mysqli.query, diakses pada 4 Mei 2010.

50

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

mampu menjadi dasar hukum untuk pencegah maupun menindak kasus


itu. Adapun, kasus yang masih ada lebih disebabkan tataran teknis,
Kementerian Kehutanan dan aparat penegak hukum belum maksimal
menjerat pelaku perusakan hutan. Sektor pengawasan menjadi titik
sentral kelemahan dalam tataran implementasi. Penegakan hukum masih
diwarnai oleh menjamurnya praktik korupsi dalam perizinan. Oleh karena
itu, dalam titik ini, yang lebih mendesak adalah penguatan dalam tataran
implementasi, bukan lagi pembentukan undang-undang baru.
Cek Kosong Lembaga Penyokong
Pembahasan UU Pemberantasan Perusakan Hutan, yang dilakukan oleh
Panja Komisi IV DPR dan Kementerian Kehutanan, sempat menghadapi
kebuntuan. Kondisi itu menyebabkan adanya penundaan waktu yang
cukup lama dalam pembahasan. Kebuntuan terjadi pada saat membahas
pembentukan lembaga baru yang diusulkan oleh DPR.
Lembaga baru yang dimaksud adalah Lembaga Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H). Pemerintah selalu menolak
pembentukan lembaga baru dalam setiap usulan dari DPR di pembahasan
berbagai RUU. Namun, setiap RUU memiliki cerita yang berbeda pada
akhirnya; ada yang akhirnya disepakati untuk dibentuk dan ada pula yang
tidak. Sikap yang sama ditunjukkan Pemerintah pada saat membahas
usulan pembentukan LP3H. Pemerintah pada awalnya menolak LP3H
dengan argumentasi tugas dan fungsinya sudah menjadi bagian dari
tugas dan fungsi Kementerian terkait, seperti Kementerian Kehutanan
dan Kementerian Lingkungan hidup. Namun, pada akhir pembahasan,
usulan DPR disepakati juga oleh Pemerintah. Resmi dibentuk dalam UU
Pemberantasan Perusakan Hutan.
Hal yang menarik untuk dianalisis dalam ketentuan yang mengatur
LP3H adalah keanggotaan lembaga. Dalam Pasal 54 ayat (3) mengatur
bahwa:

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

51

Pasal 54 ayat (3)


Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
unsur Kementerian Kehutanan;
unsur Kepolisian Republik Indonesia;
unsur Kejaksaan Republik Indonesia; dan
unsur lain yang terkait.

Dalam pengaturan huruf d Pasal tersebut, ditentukan bahwa salah satu


anggota lembaga adalah berasal dari unsur lain yang terikat. Dalam
ketentuan penjelasan Pasal 54 ayat (3) huruf d disebutkan bahwa Yang
dimaksud dengan unsur lain yang terkait adalah antara lain kementerian
terkait, unsur ahli, akademisi dan masyarakat. Pasal itu merupakan cek
kosong yang diberikan kepada pemegang kewenangan menentukan siapa
yang akan menjadi unsur lain terkait. Namun, menjadi permasalahan
selanjutnya adalah UU Pemberantasan Perusakan Hutan sama sekali tidak
menunjuk siapa pemegang kewenangannya sehingga potensi permasalahan
sangat tinggi dalam hal ini.

UNDANG-UNDANG NO. 19 TAHUN 2013 TENTANG


PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI:
PERLINDUNGAN MINIM PEMBERDAYAAN

Petani: Manusia, Bukan Hanya Modal


Petani; pelaku utama yang tentu saja mengemban peran sentral dalam
bidang pertanian. Dapat dikatakan, sejauh ini dari sisi regulasi, sudah
diupayakan hadirnya beberapa peraturan perundang-undangan, baik
khusus di bidang tersebut maupun yang berkaitan. Ada undang-undang
tentang Bagi Hasil Tanah Pertanian, Pokok-Pokok Agraria, Penetapan
Luas Tanah Pertanian, Perlindungan Varietas Tanaman, Sumberdaya Air,
Perkebunan, dan sebagainya.

52

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

Dengan adanya Undang-Undang No. 19 Tahun 2013 tentang


Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Petani), diharapkan lahirnya
regulasi yang dapat menjamin perlindungan dan pemberdayaan petani.
Tantangan tidak dapat dihindari. Namun, petani ternyata tidak cukup
siap. Nasib petani semakin terpuruk. Bahkan, sekadar hidup layak pun
susah. Padahal, petani tidak dapat dipandang sebelah mata dari sisi jumlah.
Sebanyak 240 juta jiwa di Indonesia menggantungkan diri pada mata
pencaharian itu.44 Selain itu, petani juga menguasai 92% usaha mikro.45
Kontras dengan belum adanya jaminan yang mendukung, melindungi,
serta memberdayakan petani dalam mata pencahariannya. Alhasil, petani
mulai menggeser cara mencari penghidupan dan beralih ke usaha lain.
Upaya-upaya untuk melindungi dan memberdayakan petani tidak
hanya menjadi perhatian nasional. Tetapi juga dunia internasional. Tak
heran, hasil pengusahaan petani bergaris lurus dengan ketersediaan
pangan, yang sekarang ini sudah menjadi perhatian dunia. Sebutlah
misalnya koridor kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (World
Trade Organization). Indonesia meratifikasinya melalui UU No. 7
Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade
Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).
Juga, rekomendasi dari International Poverty Center for Food Sovereignty.
Orientasi pengaturan maupun rekomendasi internasional itu meliputi
hak dan kedaulatan petani. Apabila dirinci, dapat berupa hak atas pangan,
akses terhadap sumber daya produktif, dan reformasi agraria. Ada juga
dorongan, termasuk dalam UU Petani, agar produktivitas para petani
meningkat. Membuka ruang bagi petani untuk mengembangkan ide,
inovasi, dan invensi (penemuan).
Perlindungan dan pemberdayaan petani menjadi perhatian bersama
karena bergaris lurus dengan ketersediaan pangan, baik nasional maupun
44 Erlangga Djumena, Nasib Petani dan Pertanian Makin Gelap, http://
bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/03/18/10193927/Nasib.Petani.dan.Pertanian.
Makin.Gelap, diakses pada 18 Maret 2014.
45 Ibid.

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

53

internasional. Namun, bagaimana mencukupi ketersediaan pangan dalam


negeri maupun internasional kalau akses petani terhadap lahan pertanian
juga masih belum optimal.
Inisiatif yang Berpoteni Kontraproduktif
Memang, tujuan pengaturan undang-undang usul inisiatif Komisi IV
DPR ini terkesan mulia. Tujuannya adalah mewujudkan kedaulatan dan
kemandirian petani dalam meningkatkan taraf kesejahteraan, menyediakan sarana dan prasarana pertanian, melindungi petani dari gagal panen,
hingga meningkatkan kemampuan dan kapasitas petani.46 Kata-kata ini
familiar didengungkan, bahkan cenderung monoton dan mengawang.
Timbul tanya, selama ini, Pemerintah sudah mengambil langkah apa saja
untuk merealisasikan hal itu?
Melalui UU Petani, Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah
diberikan tanggung jawab utama untuk menyusun strategi dan kebijakan
perlindungan serta pemberdayaan petani.
Perlindungan terhadap petani dilakukan melalui pengadaan
prasarana dan sarana produksi pertanian, kepastian usaha, harga
komoditas pertanian, penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi, ganti
rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa, sistem peringatan dini dan
penanganan dampak perubahan iklim, dan asuransi pertanian.
Sementara itu, strategi pemberdayaan petani dilakukan melalui
pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil pertanian, konsolidasi dan
jaminan luasan lahan pertanian, penyediaan fasilitas pembiayaan dan
permodalan, kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan
informasi, serta penguatan kelembagaan petani.
Strategi tersebut bermakna besar dan mulia apabila dilihat sekilas.
Namun, jika ditelusur lebih jauh, tujuan pengaturan yang secara ideal
ingin memberdayakan petani itu justru menjadi kontraproduktif. Bahkan,
46

Pasal 3 UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

54

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

terkesan hanya menjadi iming-iming. Beberapa hal di atas, juga sedikitbanyaknya belum mampu menjawab kebutuhan riil petani seperti
ketersediaan lahan dan pupuk.47 Apa benar demikian?
Salah satunya adalah dalam hal jaminan luasan lahan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 58 UU Petani. Selain terdapat jaminan kemudahan
untuk memperoleh tanah negara, Pemerintah juga memfasilitasi pinjaman
modal untuk memiliki dan memperluas kepemilikan lahan pertanian.
Di sinilah letak kontraproduktifnya. Kemudahan untuk memperoleh
lahan pertanian itu diberikan dalam bentuk hak sewa, izin pengusahaan,
izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan.48 Jelas, bahwa kata yang tepat
sebenarnya bukan memberikan dan memperoleh. Masalah penguasaan
terhadap lahan yang sebetulnya menjadi pangkal permasalahan petani
disasar secara tidak tepat melalui hak menyewa dari Pemerintah.49
Masalah permodalan bagi petani lain lagi ceritanya. Pasal 66
UU Petani menyatakan bahwa Pemerintah berkewajiban memfasilitasi pembiayaan dan permodalan usaha tani. 50 Anggarannya bersumber
dari APBN dan APBD. Namun, tidak dirinci bagaimana petani dapat
memperoleh modal dan biaya itu. Justru yang dirinci adalah pembiayaan
dan permodalan bagi usaha tani dilakukan melalui BUMN atau BUMD
bidang perbankan dan bank swasta. Nantinya dibentuk satu unit khusus
yang menangani hal itu. Semakin terlihat bahwa lembaga pembiayaan dan
permodalan yang dimaksud melalui skema pinjaman perbankan. Kata-kata
yang digunakan adalah kredit dengan prosedur mudah dan persyaratan
lunak.
Tidak kalah menarik adalah asuransi pertanian. Setiap petani difasilitasi menjadi peserta asuransi pertanian oleh Pemerintah. Badan yang

47 http://nasional.kontan.co.id/news/uu-perlindungan-petani-akan-digugat-ke-mk,
diakses pada 3 Maret 2014.
48 Pasal 58 dan 59 UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan
Petani.
49 http://www.kpa.or.id/?p=2997, diakses pada 3 Maret 2014.
50 Pasal 66 UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

55

melaksanakan adalah BUMN atau BUMD di bidang asuransi. Sumber


dananya dari APBN dan APBD. Baiknya, kita lihat Penjelasan Pasal 39 UU
Petani itu. Dinyatakan bahwa bantuan pembayaran premi oleh Pemerintah
dilakukan dengan memperhatikan keuangan negara. Tak hanya itu,
bantuan itu hanya diberikan sampai petani dinilai mampu membayar
preminya sendiri.
Dalam Naskah Akademik UU Petani ini, perhitungan sudah
dilakukan. Pada 2009, data yang tercatatat sebanyak 32,27 juta petani
berada dalam kategori tersebut. Dengan asumsi premi yang akan
dibayarkan adalah Rp500.000 per sekali musim tanam, maka biaya premi
yang dikeluarkan mencapai Rp16 triliun. Angka ini akan dibayarkan oleh
Pemerintah beserta Pemerintah Daerah jika dilakukan secara serentak.
Tentu ini menjadi tantangan implementasi; apakah Pemerintah mampu
untuk memfasilitasi premi tersebut? Atau, perkara premi ini hanya sekadar
angan-angan dengan alasan ketidakmampuan keuangan negara?
Birokratisasi Hak Berserikat Petani Atas Nama Perlindungan
Terdapat ketentuan dalam Pasal 70 UU Petani yang menyebutkan
kewajiban bagi setiap petani untuk tergabung dalam organisasi pertanian.
Hal yang berpotensi bertentangan dengan Pasal 28 UUD NRI 1945
mengenai kebebasan berserikat. Bagaimana tidak? Lembaga petani yang
dimaksud dibangun berjenjang, mulai dari Kelompok Tani, Gabungan
Kelompok Tani, Asosiasi Komoditas Pertanian, hingga Dewan Komoditas
Pertanian Nasional. Kewajiban bagi setiap petani untuk bergabung dengan
lembaga ini juga bertentangan dengan esensi pembentukan lembaga petani
itu sendiri, yaitu oleh, dari, dan untuk petani. 51
Belum lagi nantinya secara nasional hanya ada satu organisasi
pertanian, yaitu Dewan Komoditas Pertanian Nasional. Dewan ini diposisikan sebagai mitra Pemerintah dalam merumuskan kebijakan dan
51 Pasal 72 ayat (1) dan Pasal 76 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan
dan Pemberdayaan Petani.

56

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

perlindungan petani. Pelaku usaha merupakan salah satu unsur yang akan
ada dalam kepengurusan Dewan ini. Jika demikian, bukankah peluang
moral hazard yang akan timbul sangat besar? Kewajiban berorganisasi
dalam wadah tunggal dan pembentukan Dewan antara pengusaha dan
Pemerintah membuat kita bertanya: apa betul petani yang kelak akan
diuntungkan dengan adanya undang-undang ini?
Proses Pembahasan
Inisiatif penyusunan UU Petani ini dimulai sejak Surat Presiden (Surpres)
No. 59 Tahun 2011 disampaikan kepada DPR pada 29 November 2011.
Dalam surat itu, disebutkan mitra kerja DPR dalam pembahasan undangundang ini adalah Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Menteri Pertanian. UU Petani ini
pun menjadi usul inisiatif Komisi IV DPR.
Pembahasan dilakukan dengan menggunakan Daftar Inventarisasi
Masalah (DIM) sebanyak 518 nomor DIM. Pembahasan pada tingkat
Rapat Kerja dilaksanakan pada 21 dan 26 November 2012 serta 4 Juli 2013.
Pembahasan pada tingkat Panitia Kerja dimulai sejak 30 Januari sampai
dengan 1 Juni 2013. Rapat Tim Perumus/Tim Kecil dilaksanakan pada
2022 Mei 2013. Sementara, rapat Tim Sinkronisasi dilaksanakan pada
2628 Juni 2013. Lalu, 4 Juli 2013, rapat kerja antara Komisi IV DPR dan
Pemerintah menyetujui judul dan substansi undang-undang yang sudah
dibahas oleh Panitia Kerja selama kurang lebih 18 (delapan belas) bulan
tersebut. Kesepakatan itu berlanjut untuk dibawa dalam pembicaraan
tingkat II atau forum persetujuan yang dilaksanakan pada 9 Juli 2013.
Dalam proses penyusunannya, tercatat telah dilakukan Rapat
Dengan Pendapat Umum (RDPU); antara lain dengan Tenaga Harian
Lepas-Tenaga Bantu Buruh Pertanian (THL-TBPP). Namun, dokumentasi RDPU dengan pihak lainnya tidak disebutkan secara spesifik dalam
Laporan Akhir UU ini ketika disampaikan pada Rapat Paripurna DPR 9
Juli 2013.

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

57

Pascapengesahan UU Petani, masih terdapat beban kerja yang patut


diselesaikan, terutama oleh Pemerintah. Pemerintah memiliki pekerjaan
rumah untuk membentuk dua Peraturan Pemerintah dan lima Peraturan
Menteri sebagaimana diamanatkan undang-undang ini. Selain itu, undangundang ini juga mencantumkan 17 kali penyebutan pengaturan dengan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dari mulai
tarif bea masuk komoditas pertanian hingga pelaksanaan teknis asuransi
pertanian. Pengaturan yang demikian pada realitasnya berpotensi menimbulkan ketidakjelasan dan egoisme sektoral mengingat kewenangan yang
dilahirkan menuntut diskresi di lapangan.

UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN


KEDOKTERAN: EKSEKUTIF TIDAK PROAKTIF

Ketersediaan dokter di Indonesia masih kurang dan tidak merata. Ikatan


Dokter Indonesia (IDI) mencatat bahwa jumlah dokter di Indonesia
sebanyak 94.641 orang. Dari jumlah itu, 19.567 orang atau 20,67%
berada di Jakarta. Di Jawa Barat, ada 14.573 orang (15,40%), Jawa Tengah
9.999 orang (10,57%), dan Jawa Timur 10.623 orang (11,22%). 52 Selain
itu, keberadaan mayoritas dokter lebih banyak berkumpul di wilayah
ibukota provinsi. Kondisi itu membuat akses masyarakat akan jasa dokter,
terutama yang berada di wilayah pedalaman, sangat sulit. Akses kesehatan
semakin menyulitkan ketika layanan dokter yang ada harus dihargai
dengan nominal tinggi.
Tentu setiap warga masyarakat ingin selalu hidup sehat. Kesehatan
menjadi kebutuhan pokok bagi semua orang. Namun, penyakit kerap hadir
tanpa terduga. Kondisi sakit, walaupun tidak diinginkan, juga tidak bisa
dihindari apabila sudah diderita. Oleh karena itu, pelayanan kesehatan
52 IDI: Persebaran Dokter Tidak Merata, http://www.antaranews.com/berita/358420/
idi-persebaran-dokter-tidak-merata, diakses pada 14 Februari 2013.

58

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

menjadi suatu hak dasar dari setiap warga negara. Di Indonesia, dalam
Pasal 28 H ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa, Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan. Dengan akses yang sulit dalam mendapat memperoleh
pelayanan kesehatan, berarti negara belum mampu memenuhi hak dasar
warga negaranya.
Tingginya biaya pelayanan dan tidak meratanya keberadaan dokter
tidak terlepas dari kondisi pendidikan kedokteran saat ini. Ada berbagai
tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan kedokteran
saat ini. Pertama, mutu pendidikan masih rendah dan kualitas bervariasi
antara penyelenggara pendidikan kedokteran satu dengan yang lainnya.
Kedua, tenaga pengajar dari penyelenggaran pendidikan kedokteran masih
kurang.
Ketiga, penyelenggaraan pendidikan kedokteran spesialis bervariasi
dan biayanya dibebankan kepada peserta didik, selain ada pula pungutan
lain. Keempat, sistem pendidikan yang tidak terintegrasi. Kelima, belum
adanya pengaturan mengenai rumah sakit pendidikan. Dan, keenam,
peluang penerimaan kecil dibandingkan dengan permintaan dari
masyarakat yang cenderung terus meningkat. Akibatnya, ada mekanisme
pasar yang tidak terkontrol, yang menyebabkan biaya pendidikan tinggi,
sehingga biaya kesehatan yang dibebankan oleh dokter pascalulus juga
tinggi. 53
Sebagai gambaran dari biaya pendidikan kedokteran yang tinggi
adalah biaya studi Fakultas Kedokteran di Universitas Gajah Mada yang
meliputi sumbangan peningkatan mutu akademik (SPMA), yang dibayar
sekali selama pendidikan dengan nilai bervariasi bergantung Prodi
(Program Studi) dan penghasilan orangtua, sebesar Rp10.000.000
Rp100.000.000. Sementara itu, untuk Sumbangan Penyelenggaraan
Pendidikan (SPP) dan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) sebesar Rp2
53 Naskah Akademik RUU tentang Pendidikan Kedokteran, 2011, hlm. 35.

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

59

juta per semester. Sedangkan di Universitas Indonesia, biaya pendidikan


Fakultas Kedokteran terdiri atas Uang Pangkal (UP), yang dibayarkan
sekali selama pendidikan, sebesar Rp25.000.000 dan BOP tiap semester
sebesar Rp7.500.000. 54
Tepatkah diatur dalam Undang-Undang?
Pertanyaan di atas sangat penting untuk diungkapkan dalam konteks
menganalisis suatu undang-undang. Ibarat seorang manusia yang tidak
hanya memiliki jiwa, tetapi juga disertai dengan kerangka tubuh untuk
menopang ke mana ia akan bergerak. Begitu juga dengan peraturan yang
tidak hanya memiliki aspek substansi atau material, tetapi juga memiliki
aspek formal dalam pengaturannya. Kedua aspek itu penting agar suatu
undang-undang tidak hanya baik dalam hal substansi, tetapi kuat dalam
aspek ketatanegaraan agar pengaturan dan solusi yang ditawarkan mampu
berjalan dengan maksimal.
Salah satu aspek formal yang perlu dipastikan dari suatu peraturan
perundang-undangan adalah apakah substansi yang akan diatur tepat
untuk menjadi materi muatan dari undang-undang (UU) atau merupakan
materi muatan dari Peraturan Pemerintah (PP). Dalam Pasal 10 UU No.
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
mengatur bahwa:
Materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi:
a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
54 Uang Kuliah Tunggal, http://edukasi.kompas.com/read/2013/02/20/1521594/
Uang.Kuliah.Tunggal, diakses pada 20 Februari 2013.

60

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

Sedangkan pada Pasal 12 undang-undang yang sama mengatur bahwa,


[m]ateri muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan
Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Dari kedua pasal itu terlihat bahwa secara tata urutan, undang-undang
memiiki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan peraturan
pemerintah. Selain tata urutan, perbedaan lain dari undang-undang
dan peraturan pemerintah adalah dalam hal kewenangan pembentukannya. Kewenangan pembentukan undang-undang berada di tangan
DPR (legislatif) dan Pemerintah (eksekutif), sedangkan kewenangan
membentuk peraturan pemerintah berada di tangan Pemerintah
(eksekutif). Sudah adanya pembagian kewenangan itu membuat kedua
lembaga memiliki batasan masing-masing dalam menjalankan kekuasaannya. Oleh karena itu, upaya dalam menentukan materi muatan
sudah tepat atau belum menjadi penting dalam menganalisis peraturan
perundang-undangan.
Dalam menaganalisis ketepatan materi muatan dari UU No. 23 Tahun
2013 tentang Pendidikan Kedokteran (UU Pendidikan Kedokteran),
penting untuk mengetahui apa saja yang menjadi urgensi dari pembentukannya. Dalam Naskah Akademik RUU Pendidikan Kedokteran, ada
empat urgensi dibentuknya UU Pendidikan Kedokteran sebagai berikut.
a. Peraturan yang mengatur perihal pendidikan kedokteran belum jelas.
Aturan yang ada hanya mengatur pada pendidikan strata satu (S1)
di Pendidikan Tinggi Kemendiknas. Sementara untuk pendidikan
kedokteran spesialis, belum jelas peraturannya.
b. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit tidak mengatur sampai
pendanaan rumah sakit pendidikan.
c. Penetapan kurikulum kedokteran dan pendanaannya tidak ada dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang
Praktik Kedokteran.
d. Aspek Dosen pendidik yang khusus tidak ditemukan di Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional.

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

61

Urgensi pertama UU Pendidikan Kedokteran disebutkan bahwa peraturan


yang mengatur perihal pendidikan kedokteran belum jelas. Dalam hal
ini, perlu melihat salah satu dari prinsip penyelenggaraan pendidikan
yang ada dalam Pasal 4 ayat (2) UU Sistem Pendidikan Nasional, yang
mengatur bahwa, Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan
yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. Dalam pasal itu,
dapat dilihat bahwa pendidikan di Indonesia dilaksanakan sebagai satu
kesatuan sistemik; sistem yang dimaksud sudah diatur dalam UU Sistem
Pendidikan Nasional. Pendidikan Kedokteran pada hakikatnya adalah
bagian dari sistem pendidikan nasional sehingga pengaturannya merujuk
pada UU Sistem Pendidikan Nasional. Apabila pendidikan kedokteran
membentuk undang-undang induk baru dan mengatur lagi perihal sistem
pendidikan lain, dengan asas ketentuan yang baru, sudah dapat dikatakan
bahwa UU Pendidikan Kedokteran tidak selaras. Bahkan, bertentangan
dengan UU Sistem Pendidikan Nasional.
Hal lain yang menjadi bagian dari urgensi pertama UU Pendidikan
Kedokteran adalah Aturan yang ada hanya mengatur pada pendidikan
strata satu (S1) di Pendidikan Tinggi Kemendiknas. Sementara untuk
pendidikan kedokteran spesialis, belum jelas peraturannya. Untuk hal
ini, perlu melihat Pasal 19 ayat (1) UU Sistem Pendidikan Nasional yang
menyebutkan bahwa, Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan
setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan
diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan
oleh perguruan tinggi. Pasal itu menyatakan bahwa program pendidikan
spesialis sudah diatur dalam UU Sistem Pendidikan Nasional. Dan, apabila
ada hal-hal yang masih perlu untuk diatur, pengaturannya bukan lagi pada
undang-undang lain, tetapi pada peraturan pemerintah. Hal yang sama
sudah diatur pula dalam Pasal 20 UU Sistem Pendidikan Nasional yang
menyatakan bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai perguruan tinggi
diatur dalam peraturan pemerintah.
Urgensi kedua UU Pendidikan Kedokteran disebutkan bahwa
UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU Rumah Sakit) tidak

62

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

mengatur sampai pendanaan rumah sakit pendidikan. Dalam menganalisis hal itu, perlu dipahami bahwa pengaturan satu pasal dengan pasal yang
lain dalam satu undang-undang yang sama adalah berkaitan. Pasal 22 dan
23 UU Rumah Sakit memang tidak mengatur mengenai pendanaan, tetapi
pengaturan itu ada pada Pasal 48 ayat (1) yang mengatur bahwa:
Pembiayaan Rumah Sakit dapat bersumber dari penerimaan Rumah Sakit,
anggaran Pemerintah, subsidi Pemerintah, anggaran Pemerintah Daerah,
subsidi Pemerintah Daerah atau sumber lain yang tidak mengikat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Makna rumah sakit dalam Pasal 48 ayat (1) dapat dipersamakan dengan
rumah sakit pendidikan karena rumah sakit pendidikan juga merupakan
jenis dari rumah sakit, yang diatur dalam Pasal 22. Untuk pengaturan lebih
lanjut mengenai pembiayaan rumah sakit pendidikan, dalam Pasal 48 ayat
(2) disebutkan bahwa pengaturannya diatur lebih lanjut dalam peraturan
pemerintah.
Urgensi ketiga dalam pembentukan UU Pendidikan Kedokteran
adalah penetapan kurikulum kedokteran dan pendanaannya. Dalam UU
Sistem Pendidikan Nasional, pengaturan mengenai kurikulum ada pada
Bab tersendiri, yaitu Bab X. Dalam Bab itu, diatur mengenai pengaturan
kurikulum secara umum dan pada ayat terakhir disebutkan bahwa
ketentuan lebih lanjut diatur dalam peraturan pemerintah. Oleh karena
itu, urgensi itu seharusnya tidak masuk dalam undang-undang, tetapi
masuk dalam peraturan pemerintah.
Senada dengan urgensi lainnya, urgensi terakhir dari UU Pendidikan
Kedokteran juga seharusnya diatur dalam peraturan pemerintah; bukan
diatur dalam undang-undang. Urgensi terakhir itu adalah pengaturan
khusus mengenai dosen pendidik yang tidak ditemukan di UU Sistem
Pendidikan Nasional. Bab XI UU Sistem Pendidikan Nasional mengatur
perihal Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Bab itu mengatur secara
umum mengenai pendidik, termasuk dosen sebagai tenaga pendidik dalam

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

63

pendidikan tinggi (Pasal 39 ayat (2)). Pengaturan mengenai pendidik


secara khusus didelegasikan kepada peraturan pemerintah, seperti
pengaturan mengenai kualifikasi pendidik pada Pasal 42 ayat (3).
Pembahasan UU Pendidikan Kedokteran
UU Pendidikan Kedokteran merupakan usul inisatif dari DPR, yang secara
resmi disepakati pada Rapat Paripurna pada 7 April 2011. 55 UU Pendidikan
Kedokteran dibahas selama tujuh kali masa sidang, yaitu dimulai pada 12
Mei 2011 sampai pengesahan pada 11 Juli 2013. Masa waktu pembahasan
UU Pendidikan Kedokteran terbilang lama karena Pasal 141 ayat (1)
Peraturan DPR No. 1 tahun 2009 tentang Tata Tertib menyebutkan bahwa
masa pembahasan suatu RUU adalah dua kali masa sidang dan bisa diperpanjang untuk satu kali masa sidang.
Panjangnya pembahasan UU Pendidikan Kedokteran tidak
terlepas dari dinamika yang terjadi selama pembahasan. Dalam proses
pembahasan, pihak Pemerintah yang diwakili oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan sempat mengajukan penundaan pembahasan.
Alasan penundaan itu adalah Pemerintah ingin memperdalam Daftar
Inventarisasi Masalah (DIM) yang mereka susun sendiri. Setelah masa
penundaan berakhir, Pemerintah bersedia melanjutkan pembahasan,
tetapi dengan mengajukan 562 poin DIM baru. Padahal, RUU Pendidikan
Kedokteran sebelum penundaan sudah hampir disahkan. 56
Dalam hal akses masyarakat untuk memberikan pandangan dan
masukan cukup diakomodasi oleh Panitia Kerja dari Komisi X DPR.
Kalangan yang didengarkan atau bahkan diundang untuk memberikan
masukan adalah para akademisi, praktisi, sampai kepada mahasiswa dan
masyarakat umum.
55 Laporan Ketua KomisiX DPR R I Mengenai Hasil Pembahasan Rancangan UndangUndang tentang Pendidikan Kedokteran Dalam Rapat Paripurna DPR R I Pada Masa
Persidangan IV Tahun Sidang 20122013, hlm. 1.
56 Pemerintah Bikin Pusing Panja RUU Dikdok, http://www.jurnalparlemen.com/
view/3771/pemerintah-bikin-pusing-panja-ruu-dikdok.html, diakses pada 5 Juni 2013.

64

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

Salah satu bentuk Rapat Dengar Pendapat umum yang dilaksanakan oleh DPR adalah di Surabaya, Panja Komisi X itu mengadakan
RDPU tentang RUU Pendidikan Kedokteran dengan mengundang
Ikatan Dokter Indonesia Provinsi Jatim, Direktur Rumah Sakit
Penyelenggara Pendidikan Kedokteran, Konsil Kedokteran Indonesia,
Kolegium Kedokteran Indonesia, Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia,
BEM Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, dan BEM Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Airlangga. Dalam waktu yang sama, Panja
Komisi X juga menurunkan dua tim yang berbeda untuk melaksanakan
RDPU, yaitu ke Provinsi Sumatera Selatan, yang dipimpin Ketua Komisi
X DPR, H. Mahyuddin dan ke Provinsi Sumatera Utara, yang dipimpin
Wakil Ketua Komisi X H. Asman Abnur. 57
Walaupun membuka kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi, dinamika pembahasan RUU Pendidikan Kedokteran juga diwarnai
dengan adanya aksi protes dari stakeholders terkait, yaitu IDI. Dalam
suatu kesempatan, IDI mengutarakan keluar dari tim Pemerintah dalam
pembahasan RUU Pendidikan Kedokteran bersama Panja Komisi X.
Pernyataan keluar itu dilayangkan karena IDI menganggap Pemerintah
tidak serius dalam menerima masukan dari mereka dan lebih menerima
masukan dari DPR.
Selain menyatakan keluar, IDI juga mengancam akan melakukan
judicial review atas UU Pendidikan Kedokteran apabila tidak ada
perubahan sampai kelak disahkan. Prijo Sidipratomo, Ketua umum PB
IDI, menyatakan bahwa awalnya IDI mendukung pembahasan RUU
Pendidikan Kedokteran karena dasarnya mulia, yaitu keprihatinan akan
biaya pendidikan kedokteran yang mahal. Namun, setelah IDI mengikuti
pembahasan RUU ini selama setahun, perubahan isinya menyimpang
dari tujuan semula. Salah satunya, RUU itu tidak secara tegas menyatakan

57 DPR Minta Masukan RUU Pendidikan Kedokteran, http://www.antaranews.com/


berita/302341/dpr-minta-masukan-ruu-pendidikan-kedokteran, diakses pada 20
Maret 2013.

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

65

biaya pendidikan kedokteran ditanggung negara. Dalam pasal pembiayaan


pendidikan, hanya tercantum negara dapat menanggung biaya
pendidikan kedokteran. Selain itu, meski tidak wajib ditanggung negara,
lulusan dokter/dokter spesialis wajib mengikuti program wajib kerja/
penempatan. 58

UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2013 TENTANG


KEANTARIKSAAN: BABAK BARU DUNIA KEANTARIKSAAN KITA

Indonesia pernah membuat dunia tercengang. Setelah Uni Soviet


meluncurkan satelit Sputnik ke orbit bumi pada 195759, hanya butuh enam
tahun bagi Indonesia mengimbanginya dengan meluncurkan roket Kartika
I lalu diikuti dengan roket Kappa-8. Prestasi itu diikuti dengan pembentukan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) pada
1963.60 Awal yang cukup baik dan membanggakan bagi Indonesia sebagai
bangsa yang saat itu tengah berkutat dengan friksi politik domestiknya.
Dunia keantariksaan berkembang pesat seiring dengan tumbuh
pesatnya sains, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Banyak kreasi dan
inovasi yang bermunculan. Misalnya, pada 2007, LAPAN berhasil
mengembangkan roket ilmiah (sounding rocket) RX-100, RX-150, dan
RX-250. Angka 100, 150, dan 250 menunjuk diameter roket.61 Ini tanda
bahwa kita punya potensi.
Bagi Indonesia, seharusnya pengembangan keantariksaan sangat
strategis. Sebagai negara kepulauan62 , pemanfaatan teknologi keantarik58 Isi Draf Tidak Menjadi Solusi Mahalnya Biaya Pendidikan, http://edukasi.kompas.
com/read/2012/03/27/02364865/Isi.Draf.Tidak.Menjadi.Solusi.Mahalnya.Biaya.
Pendidikan, diakses pada 27 maret 2012.
59 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Keantariksaan, hlm. 5.
60 http://lapan.go.id/index.php/subblog/pages/2013/15/Sejarah, diakses pada 19 Maret
2014.
61 Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Keantariksaan, hlm. 1.
62 Dengan 17.508 pulau, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.
Lalu, posisi geografis Indonesia terletak di wilayah khatulistiwa yang membentang

66

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

saan dapat menjadi sarana penghubung antara satu wilayah dan wilayah
lain. Pengembangan telekomunikasi, pemantauan cuaca, satelit siaran
langsung, mitigasi bencana, dan pelayanan navigasi adalah sedikit dari
beberapa hal yang bergantung pada pemanfaatan keantariksaan.63
Sebelum undang-undang ini dibentuk, pengembangan dunia keantariksaan mengacu pada beberapa perjanjian internasional. Memang,
dunia internasional, baik saat itu maupun sekarang, sangat bergeliat
dengan keantariksaan. Perlombaan Amerika Serikat (Apollo) dengan Uni
Soviet (Sputnik) menegaskannya. Salah satu ketentuan internasional yang
dijadikan acuan utama secara universal adalah Outer Space Treaty 1967.64
Ketentuan ini telah diratifikasi dengan UU No. 16 Tahun 2002.
Di satu sisi, lahirnya undang-undang ini patut diapresiasi. Di sisi
lain, pertanyaan mengapa baru sekarang undang-undang ini dibentuk
selalu mengikuti. Ada kecurigaan kita rabun melihat peluang besar untuk
dipetik dan diramu. Keberpihakan terhadap pengembangan keantariksaan
menjadi tanda tanya. Bagaimana tidak? Selama ini, belum ada undangundang khusus yang mengatur tata laksana keantariksaan. Kalaupun
ada, tersebar dalam undang-undang lain, seperti UU No. 36 Tahun 1999
tentang Telekomunikasi dan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Bahkan, LAPAN sebagai ujung tombak pengembangan keantariksaan pun
dibentuk hanya dengan Keputusan Presiden.65

pada 6 0 LU- 110 LS dan 910 BT -1410 BT memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan negara lain. Posisi geografis yang mendekati 0 0 mengurangi biaya
peluncuran dan memberikan keuntungan ekonomi yang signifikan. Ibid, hal 13. Hal
senada juga disampaikan oleh Fraksi Demokrat. Lihat Pandangan Mini Fraksi Atas
RUU Keantariksaan.
63 Ibid, hlm. 14.
64 Nomenklatur resmi dari perjanjian internasional ini adalah Treaty on Principles
Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space, Including
the Moon and Other Celestial Bodies. Perjanjian internasional tersebut dapat dilihat di
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Keantariksaan, hlm. 912.
65 Beberapa Keputusan Presiden (Keppres) itu adalah No. 18 Tahun 1974, Keppres No.
33 Tahun 1988, Keppres No. 24 Tahun 1994, Keppres No. 132 Tahun 1998, Keppres
No. 166 Tahun 2000, Keppres, 62 Tahun 2001, Keppres No. 178 Tahun 2000,
Keppres No. 60 Tahun 2001, dan terakhir Keppres No. 103 Tahun 2001.

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

67

Menegaskan yang Sudah Berjalan


Dilihat dari sisi materi muatannya, UU No. 21 Tahun 2013 tentang
Keantariksaan (UU Keantariksaan) lebih mengatur perihal kegiatan, tata
laksana, pemanfaatan, kerja sama internasional, dan posisi kedaulatan
negara apabila terjadi dampak dari pemanfaatan itu. Bukan ruang antariksa
dalam orbit bumi di atas sana. Wilayah antariksa adalah milik bersama
seluruh negara di dunia dan bebas untuk dieksplorasi tanpa diskriminasi. 66
Undang-undang ini memberikan kewajiban untuk melaksanakan
penyelenggaraan dan pembinaan keantariksaan kepada Pemerintah.
Pelaksanaannya, oleh Pemerintah, diberikan kepada Lembaga. Lembaga
diartikan sebagai instansi pemerintah yang melaksanakan urusan
pemerintahan di bidang penelitian dan pengembangan kedirgantaraan
dan pemanfaatannya serta penyelenggaraan keantariksaan. Meskipun
tidak disebutkan secara jelas, tampaknya lembaga ini merujuk pada
LAPAN. Selain itu, penyelenggaraan keantariksaan dapat dilakukan oleh
Pemerintah Daerah, badan hukum, dan/atau masyarakat.
Pendanaan terhadap kegiatan keantariksaan juga tidak hanya melulu
dapat diperoleh melalui APBN. Hibah, swasta, dan kerja sama internasional juga dapat berperan sebagai sumber dalam pendanaan.
Pengaturan menarik dalam undang-undang ini adalah tentang
tanggung jawab dan ganti kerugian. Hal yang selama ini dalam
konteks hukum nasional masih samar-samar. Pemerintah, ditegaskan
undang-undang ini, bertanggung jawab secara internasional atas setiap
penyelenggaraan keantariksaan di wilayah yurisdiksi Indonesia.67
Tanggung jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan keantariksaan itu bersifat mutlak dengan disandarkan pada adanya
kesalahan.68
66 Kepemilikan bersama ini dikenal dengan istilah common heritage of mankind. Lihat
Pasal 3 UU No. 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan.
67 Apabila terjadi kerugian, tanggung jawab tersebut ditetapkan berdasarkan
perjanjian para pihak. Lihat Pasal 76 dan 77 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2013 tentang
Keantariksaan.
68 Pasal 77 ayat (1) dan (2) UU No. 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan. Mengenai

68

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

Begitu juga dengan mekanisme tuntutan ganti rugi. Acuan utamanya


adalah ketentuan hukum internasional. Tuntutan itu dapat ditempuh
melalui jalur diplomatik, Komisi Penuntutan, maupun badan peradilan
nasional. Apabila kerugian itu dirasakan oleh badan atau warga negara
Indonesia, gugatan dapat diajukan melalui lembaga peradilan, arbitrase,
dan lembaga alternatif penyelesaian sengketa.
Kemungkinan untuk adanya tuntutan tanggung jawab dan ganti rugi
selalu terbuka luas. Untuk itu, undang-undang ini mengatur kewajiban
penyelenggara keantariksaan agar mengasuransikan tanggung jawab itu
kepada pihak ketiga. Meski demikian, ketentuan ini tidak berlaku apabila
penyelenggaranya adalah instansi pemerintah. Selain asuransi, dibuka
peluang aset keantariksaan yang bukan milik pemerintah dijadikan objek
penjaminan.
Peran serta masyarakat tak lupa ditegaskan. Undang-undang ini
memberikan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya bagi masyarakat
untuk berperan dalam kegiatan keantariksaan. Peran serta masyarakat
tersebut dilaksanakan dengan prinsip keterbukaan dan kemitraan.
Sanksi yang Nasional dan Internasional
Dalam undang-undang ini, pengaturan mengenai sanksi cukup menarik.
Selain membuka pengaturan sanksi secara nasional, sanksi melalui
mekanisme internasional juga diakomodasi. Jangan lupa, pengaturan
dan mekanisme sanksi secara internasional sudah dibahas pada bagian
sebelumnya.
Sanksi dalam koridor hukum nasional berbentuk sanksi administratif, perdata, dan pidana. Pengaturan sanksi administratif dalam
undang-undang ini secara sistematis dapat dikritik. Sanksi administratif
bagi orang perorangan dicampuradukkan dengan sanksi administratif bagi

konsep pertanggungjawaban ini, lebih lanjut dapat dilihat http://www.hukumonline.


com/berita/baca/lt51ee46af86fa4/hasil-investigasi-kecelakaan-antariksa-bukan-alatbukti, diakses pada 19 Maret 2013.

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

69

korporasi. Selain itu, besaran dan tata cara pengenaan denda administratif
dilakukan melalui peraturan pemerintah sehingga batasannya pun tak
jelas.
Pasal 94
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara sebagaian atau seluruh kegiatan;
c. denda administratif;
d. pembongkaran bangunan;
e. pencabutan izin;
f. pembubaran korporasi atau badan hukum;
g. larangan menduduki suatu jabatan; dan/atau
h. pencabutan hak.

Sanksi pidana yang paling ringan adalah 6 (enam) bulan dan yang
terberat adalah 20 (dua puluh) tahun penjara. Sanksi dengan lama 20 (dua
puluh) tahun ini yang perlu menjadi sorotan. Soalnya, Pasal 12 KUHP
menyatakan bahwa pidana penjara paling pendek satu hari dan paling lama
lima belas tahun berturut-turut.69 Pidana penjara 20 (dua puluh) tahun
hanya boleh dijatuhkan dalam hal hakim boleh memilih antara pidana
mati, pidana seumur hidup, dan penjara selama waktu tertentu.70 Untuk
ketentuan terakhir ini, diberikan melalui putusan hakim, bukan pada
perumusan tindak pidana dalam undang-undang.
Dalam UU Keantariksaan, denda paling ringan yang dapat
dijatuhkan adalah Rp500.000.000 (lima ratus juta) rupiah, sedangkan
yang paling tinggi adalah Rp5.000.000.000 (lima triliun) rupiah.
Bahkan, untuk perbuatan tertentu, sanksi pidana denda terhadap
korporasi dapat dijatuhkan 3 (tiga) kali lebih berat dari orang perorangan.
69
70

Pasal 12 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.


Pasal 12 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

70

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

Proses Adem untuk Materi Berat


Tidak ada isu substansial yang cukup mencuat dan menjadi perdebatan
dalam pembahasan. Dari sisi proses, hal yang menjadi sorotan publik
adalah kunjungan studi banding oleh Panitia Kerja (Panja) RUU
Keantariksaan. Kala itu, negara yang dituju adalah Amerika Serikat dan
Brasil. Pendalaman terhadap pengaturan keantariksaan di kedua negara
itu adalah alasan utama kunjungan studi banding itu. Hal ini setidaknya
disampaikan oleh Sutan Bhatoegana, Ketua Komisi VII sekaligus Ketua
Panja undang-undang ini. Anggota Panja lainnya, Nur Yasin, bahkan
menggunakan kata buta dalam membahas RUU ini sebagai alasan
kunjungan.71
Hal yang cukup menarik adalah DPD tidak ketinggalan memberikan
masukan terhadap undang-undang ini. Meski tidak ada hal yang secara
substansial diperdebatkan maupun berhubungan secara langsung dengan
tugas dan fungsinya. Pada Rapat Dengar Pendapat, 20 Juni 2012, DPD
mendorong undang-undang ini untuk disahkan. Undang-undang ini
diharapkan dapat menunjang kemandirian di bidang teknologi keantariksaan dan memberikan penataan kelembagaan keantariksaan. Selain
itu, DPD juga mengapresiasi rencana penganggaran riset terutama bagi
daerah.72
Dinamika pengesahan diwarnai oleh interupsi dari Dimyati
Natakusumah. Forumnya tidak tanggung, yaitu Rapat Paripurna
pengesahan undang-undang ini. Meskipun fraksinya, Partai Persatuan
Pembangunan, memberikan persetujuan agar undang-undang ini
disahkan. Wakil Ketua Badan Legislasi ini menyoroti tentang kerja sama
dengan pihak asing. Harus ada laporan yang akuntabel. Pihak asing
jangan sampai mengganggu kegiatan keantariksaan ini, begitu kira-kira
pendapatnya. Lalu, Pramono Anung sebagai pimpinan sidang menyatakan
71 http://health.kompas.com/read/2012/12/12/15530869/Komisi.VII.Buta.Kami.Studi.
Banding.Antariksa.ke.Brasil, diakses pada 19 Maret 2013.
72 http://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/11377/print, diakses pada
19 Maret 2013.

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

71

tanggapan itu akan dimasukkan dalam catatan rapat tanpa ada perubahan
substansi lagi.
Proses pembahasan undang-undang ini cukup singkat. Mulai dari
diturunkannya Surat Presiden pada 11 April 2012 hingga berhasil disahkan
pada 13 September 2012. Tak lebih dari lima bulan. Terlepas dari itu, tak
ada salahnya mengucapkan selamat datang babak baru Keantariksaan
Indonesia!

UNDANG-UNDANG NO. 24 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS


UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI
KEPENDUDUKAN: PELAYANAN PRIMA DENGAN STIGMA LAMA

Segala pengurusan dan penerbitan dokumen kependudukan tidak


dipungut biaya alias gratis. Jaminan itu disampaikan oleh Ketua Komisi
II DPR, Agun Gunanjar Sudarsa, dalam Rapat Paripurna yang mengagendakan pengesahan Undang-undang No. 24 Tahun 2013 tentang
Perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan (UU Administrasi Kependudukan). Masih ada kabar
gembira lain yang terumuskan dalam isi undang-undang itu, yakni terkait
dengan penggunaan KTP Elektronik, peningkatan pelayanan publik
dalam administrasi kependudukan, dan kemudahan-kemudahan lain bagi
masyarakat dalam pengurusan administrasi kependudukan.
Semangat pembaruan dalam UU Administrasi Kependudukan bagai
oase di padang pasir. Menjadi harapan baru dalam rangka memenuhi
tuntutan pelayanan administrasi kependudukan yang profesional,
memenuhi standar teknologi informasi, dinamis, tertib, dan tidak diskriminatif dalam pencapaian standar pelayanan minimal menuju pelayanan
prima yang menyeluruh untuk mengatasi permasalahan kependudukan.73 Lebih jauh dari itu, perbaikan yang digagas oleh UU Administrasi
73 Konsideran Menimbang huruf b UU No. 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas

72

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

Kependudukan merupakan bentuk upaya negara memenuhi hak atas


identitas warga negaranya.
Bukan Hanya Formalitas Tapi Juga Pemenuhan Hak Identitas
Dalam Pasal 1 angka 1 UU Administrasi Kependudukan disebutkan
pengertian dari Administrasi Kependudukan adalah:
[r]angkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen
dan Data Kependudukan melalui Pendaftaran Penduduk, Pencatatan Sipil,
pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan serta pendayagunaan
hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain. 74

Dari pengertian itu dapat dilihat bahwa makna administrasi kependudukan


dalam undang-undang itu lebih berat pada mekanisme atau proses untuk
memenuhi aspek formal. Tidak mengherankan apabila pelaksanaan
administrasi kependudukan selama ini dilakukan hanya untuk tujuan
formalitas dan pragmatis saja, misalnya untuk mengakses layanan publik,
seperti pendidikan atau kesehatan.
Padahal, pemaknaan dari administrasi kependudukan jauh lebih
mendalam dari itu. Administrasi kependudukan adalah pintu masuk
pertama seseorang untuk mendapatkan pengakuan sebagai warga negara.
Proses itu bukan hanya sebagai formalitas, tapi secara materiil adalah
pemenuhan hak asasi seseorang sebagai warga negara.
Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM),
pencatatan seseorang sebagai warga negara merupakan bentuk dari
pemenuhan hak atas identitas yang harus dipenuhi oleh negara. Pasal 15
huruf a DUHAM menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk
memperoleh suatu kewarganegaraan. Selain itu, dalam Pasal 24 ayat (3)

Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU


Administrasi Kependudukan).
74 Pasal 1 angka 1 UU Administrasi Kependudukan.

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

73

Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik juga diatur mengenai hak atas kewarganegaraan. Perjanjian internasional yang juga menjamin pemenuhan hak
atas kewarganegaraan adalah Konvensi Hak Anak, yang mengatur dalam
Pasal 7, bahwa anak akan didaftarkan segera setelah kelahiran dan berhak
memperoleh kewarganegaraan.
Dalam Pasal 4 Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik
dinyatakan bahwa pengakuan seseorang sebagai subjek hukum termasuk
jenis non-derogable rights atau hak yang tidak bisa dihilangkan atau
disimpangi. Oleh karena itu, pemenuhannya tidak boleh dikurangi oleh
negara dalam kondisi apapun, meski dalam kondisi darurat sekalipun.
Enam Bulan Langsung Pengesahan
UU Administrasi Kependudukan hanya memerlukan enam bulan untuk
dibahas bersama oleh DPR dan Pemerintah, lalu disahkan. Jangka waktu
itu tergolong cepat, di tengah undang-undang lain yang membutuhkan
waktu hingga satu sampai dua tahun untuk merampungkannya.
Undang-undang yang mengatur 31 (tiga puluh satu) poin perubahan
ini mulai diusulkan oleh Pemerintah kepada DPR pada 10 Mei 2013
melalui Surat Presiden RI Nomor R-16/Pres/05/2013. Proses pembahasan
memasuki tahap pengambilan keputusan di pembicaraan tingkat I
pada 4 Juli 2013. Fraksi-fraksi di Komisi II dan Pemerintah bersepakat
untuk menyetujui RUU Administrasi Kependudukan diteruskan ke
tahap berikutnya. Namun, Menteri Dalam Negeri kemudian memohon
penundaan dengan alasan masih ada beberapa hal yang masih perlu
dikonsultasikan dan dikomunikasikan oleh Pemerintah secara internal.75
Rapat Panitia Kerja (Panja) kembali digelar pada 20 November 2013.
Dalam rapat itu, disepakati bahwa pembahasan akan dilaporkan pada
Pengambilan Keputusan Tingkat I/Rapat Kerja pada 21 November

75 Laporan Komisi II DPR R I dalam rangka Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan


Keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, hlm. 2.

74

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

2013 dengan beberapa catatan perbaikan redaksional dan/atau substansi


rumusan RUU.76 Akhirnya, Rapat Paripurna Pembicaraan Tingkat II/
Pengambilan Keputusan diselenggarakan pada 26 November 2013.
Stigma Lama Tetap Ada
UU Administrasi Kependudukan menghadirkan komitmen dari negara
untuk mewujudkan pelayanan administrasi kependudukan gratis dan
mudah. Pelayanan administrasi yang dimaksud meliputi penerbitan baru,
penggantian akibat rusak atau hilang, pembetulan akibat salah tulis, dan/
atau akibat perubahan elemen data.77
Dalam konteks pelayanan publik, administrasi kependudukan
sekarang merupakan tanggung jawab sepenuhnya Pemerintah Pusat
yang dilaksanakan oleh instansi pelaksana di provinsi dan kabupaten/
kota. Dalam konsep itu, perspektif yang digunakan tidak lagi melayani
masyarakat yang mau mencatatkan diri, tetapi Pemerintah menjadi aktif
dalam melakukan pencatatan dan pendataan kependudukan, sebagai
upaya pemenuhan hak identitas warga negaranya.
Reformasi dalam pemberian pelayanan ternyata tidak diimbangi
dengan reformasi dalam substansi pengaturan. UU Administrasi
Kependudukan masih melanggengkan cap atau stigma yang terbangun
sejak lama, yaitu menempatkan administrasi kependudukan sebagai alat
kontrol negara, bukan sebagai upaya pemenuhan hak warga negara.
Hal tersebut terlihat dari masih digunakannya stigma-stigma
terhadap kelompok masyarakat tertentu, yang kemudian berdampak
sampai pada tidak terpenuhinya hak seseorang untuk mendapatkan kewarganegaraan. Stigma-stigma yang masih muncul adalah stigma terhadap
anak yang lahir di luar status perkawinan yang sah menurut agama dan
negara, stigma terhadap penyandang cacat, dan stigma terhadap aliran
kepercayaan.
76 Ibid, hlm. 3.
77 Ibid, hlm. 5.

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

75

Masih Ada Anak Haram


UU Administrasi Kependudukan mengatur bahwa pengakuan anak hanya
berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah
menurut hukum agama, tetapi belum sah menurut hukum negara. Hal ini
merupakan bentuk akomodasi pengakuan anak yang lahir dari perkawinan
orang tua yang belum sah menurut hukum negara, tetapi sudah sah
menurut hukum agama. Sedangkan, pengesahan anak hanya berlaku bagi
anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut
hukum agama dan hukum negara.
Pengaturan itu jelas tidak mengakomodasi pengakuan maupun
pengesahan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut agama
maupun menurut negara. Konsep berpikir ini masih menerapkan stigma
lama, yang menganggap anak di luar perkawinan yang sah (agama dan
negara) adalah anak haram yang tidak patut diakui sebagai warga negara.
Stigma itu jelas salah dan harus dihilangkan karena pada dasarnya, hak
seorang anak atas kewarganegaraan adalah hak dasar tanpa harus melihat
latar belakang, warna kulit, atau kondisi lain, termasuk status perkawinan
orang tuanya.
Stigma tersebut muncul karena secara sosiologis, bangsa Indonesia
menolak adanya perbuatan zina, berdasarkan nilai budaya dan agama.
Namun, penolakan itu dirasa sudah cukup dengan dimasukkannya zina
sebagai tindak pidana dan menjerat mereka yang melakukannya (dalam hal
ini yang sudah memiliki suami atau istri). Tanpa perlu kemudian hukuman
dijatuhkan pula kepada seorang anak yang lahir dari hasil perzinaan.
Dalam kesesuaiannya dengan konstitusi, Mahkamah Konstitusi
(MK) sudah mengeluarkan Putusan terkait anak luar kawin. Dalam Amar
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, 13 Februari 2012, dinyatakan
bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (UU Perkawinan) yang menyatakan, [a]nak yang dilahirkan
di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya, bertentangan dengan UUD NRI 1945, sepanjang
dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat

76

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat


bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai
ayahnya.
Sehingga menurut MK, Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan harus dibaca
sebagai berikut, [a]nak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan
laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.78
Berdasarkan Putusan itu, dapat diartikan bahwa hubungan anak luar
kawin dengan laki-laki sebagai ayah tidak hanya karena ikatan perkawinan,
tetapi bisa didasarkan pada pembuktian hubungan darah antara anak dan
laki-laki tersebut sebagai ayah. Berdasarkan argumentasi itu, anak yang
dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum, tanpa perlu memperhatikan status administrasi perkawinan orangtuanya.
Tetap Hanya Enam Agama
UU Administrasi Kependudukan masih mempertahankan cara pengisian
kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP),sebagai bagian dari
identitas warga negara. Dalam pengisiannya, masih hanya mengakui enam
agama saja dan masih menggunakan istilah agama yang tidak diakui.
Pembahasan mengenai ketentuan itu sempat menjadi perdebatan alot
dalam pembahasan UU Administrasi Kependudukan. Walaupun akhirnya
disepakati untuk tidak direvisi pengaturannya dari UU Administrasi
Kependudukan sebelumnya. Untuk hal itu, Fraksi PDIP dalam Laporan
Komisi II di Rapat Paripurna DPR memberikan catatan sekaligus mengingatkan Pemerintah agar perlakuan terhadap kependudukan yang
bersangkutan benar-benar bersikap adil dan memperhatikan prinsipprinsip nondiskriminatif.79
78 Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, hlm. 37.
79 Laporan Komisi II DPR, Op.cit., hlm.3.

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

77

Dalam Pasal 64 UU Administrasi Kependudukan, penganut agama


lain dan penghayat kepercayaan diperbolehkan tidak mengisi kolom
agama dalam blanko dokumen kependudukan, khususnya dalam KTP
elektronik. Kebijakan untuk tidak mengisi kolom agama sama saja dengan
tidak mengakui adanya identitas yang utuh dari seseorang. Untuk hal itu,
pembentuk undang-undang seharusnya bisa menangkap pelajaran dari
Putusan Mahkamah Agung (MA) pada suatu perkara pidana di tingkat
kasasi, pada 2009. Dalam Putusan MA No. 1570/K.Pid/2009, Majelis
Hakim pada saat itu mengisi kolom agama terdakwa dengan Kepercayaan
Penghayat Tuhan. Argumentasi yang mendasarinya adalah menghormati
hak atas identitas seseorang karena keterangan itu berada dalam kolom
identitas.
Masih Terikat Istilah Penyandang Cacat
Salah satu ketentuan lain yang tidak berubah adalah adanya data perseorangan tentang cacat fisik dan/atau mental. Istilah penyandang cacat
saat ini sudah tidak relevan, pascadiratifikasinya Konvensi Pemenuhan
Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the rights of Person
with Disabilities - CRPD) melalui UU No. 19 Tahun 2011. Oleh karena
itu, sebagai UU yang baru disahkan, seharusnya UU Administrasi
Kependudukan menggunakan istilah dan konsep yang terbaru.
Dalam CRPD, dibangun konsep bahwa kedisabilitasan seseorang
bukan dilihat dari kecacatan fisik atau mental seseorang, tetapi dilihat
dari hambatan yang ada dalam lingkungan sekitar, dalam upaya orang
tersebut dalam memenuhi hak-haknya. Konsep itu perlu dipertimbangkan
untuk turut didata, mengingat akan sangat penting dalam pembentukan
kebijakan nasional. Apabila hanya mendata perihal kecacatan, hal yang
akan didapat cap atau stigma terhadap yang bersangkutan belaka.
Rahasia Terancam Sia-sia
UU Administrasi Kependudukan mulai memperkenalkan KTP Elektronik
sebagai kartu identitas warga negara Indonesia. KTP Elektronik dengan

78

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

dilengkapi chip merupakan identitas resmi penduduk sebagai bukti diri


yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana kabupaten/kota. Selain itu,
dalam KTP Elektronik, yang berlaku seumur hidup ini juga menggunakan
Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai nomor identitas tunggal
untuk semua urusan pelayanan publik.
Catatan penting terhadap keberadaan KTP Elektronik adalah terkait
dengan keamanan data yang ada di dalamnya. Pendekatan elektronik atau
berbasis informasi dan teknologi (IT) yang digunakan mengharuskan
adanya jaminan kemanan yang ketat terhadap data warga negara yang
sudah terekam. Faktor keamanan sangat penting karena data yang terekam
tidak hanya dalam bentuk dokumen atau tulisan saja, yang masih memungkinkan untuk diganti dengan upaya tertentu, tetapi juga termasuk ciri atau
identitas yang melekat kepada tubuh manusia yang tidak tergantikan, yaitu
sidik jari dan iris mata.
Kekhawatiran akan keamanan data patut dilayangkan karena saat
ini dalam pengelolaan data, Pemerintah menggunakan jasa bantuan
perusahaan swasta/asing. Oleh karena itu, Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk membentuk sendiri lembaga pemerintah, baik di luar
struktur Pemerintah atau di dalam Kementerian Dalam Negeri, yang fokus
mengelola data kependudukan tersebut.
Menteri Pegang Kendali
Pentingnya data kependudukan menjadi perhatian serius dari UU
Administrasi Kependudukan. Untuk itu, Menteri Dalam Negeri
sebagai pejabat yang bertanggung jawab atas seluruh proses pendataan
kependudukan diberikan kewenangan-kewenangan yang lebih dalam
mengakses dan memberikan izin akses kepada pihak lain.
Menteri juga diberi kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat struktural pada unit kerja yang menangani Administrasi
Kependudukan di Provinsi (atas usulan Gubernur) dan di Kabupaten/
Kota (atas usulan Bupati/Walikota melalui Gubernur). Selain itu, Menteri

79

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

juga bertugas melakukan penilaian kinerja pejabat struktural itu yang


dilakukan secara periodik.
Kewenangan yang besar dalam UU Administrasi Kependudukan
membuat Menteri Dalam Negeri berperan sebagai penanggung jawab
utama administrasi kependudukan di Indonesia. Namun, patut disayangkan, tidak ada mekanisme check and balances atau perimbangan
kekuatan terhadap Menteri Dalam Negeri. Kondisi ini membuat tidak
ada yang mampu mengawasi kinerja dari Menteri Dalam Negeri, kecuali
Presiden. Sementara itu, sanksi untuk pejabat yang diatur dalam UU
Administrasi Kependudukan hanya menyasar kepada pejabat desa/
kelurahan, kecamatan, dan UPTD Instansi Pelaksana.

UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN


ATAS UNDANG-UNDANG NO. 27 TAHUN 2007 TENTANG
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL:
PENEGASAN KEMBALI HAK MASYARAKAT PESISIR

Pada 16 Juni 2011, Mahkamah Konstitusi memutus beberapa pasal


dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil bertentangan dengan konstitusi (inkonstitusional). 80
Pasal-pasal yang berkaitan dengan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir
(HP3) dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945. Tentu,
akibatnya pasal-pasal itu tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum.
Kekosongan pengaturan tidak terhindarkan.
Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil) hadir untuk merespons putusan Mahkamah Konstitusi

80 Lebih lengkapnya ada 14 (empat belas) pasal yang dinyatakan bertentangan dengan
UUD NR I 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Lihat Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010.

80

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

tersebut.81 Meskipun disertai tujuan lainnya, seperti mewujudkan


peran serta masyarakat, menghindari potensi konflik antar kelompok
masyarakat, dan merekonstruksi pengakuan dan perlindungan masyarakat
hukum adat di wilayah pesisir.82
Kehadiran undang-undang ini sangat penting. Gunanya untuk
mewujudkan keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain itu, tentu saja meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil.83
Konsep Hak yang Berubah Menjadi Izin
HP3 memang dinyatakan tidak berlaku sesuai putusan Mahkamah
Konstitusi. Namun, peluang untuk kegiatan pemanfaatan perairan
pesisir masih terbuka. Bukan dengan dasar hak, melainkan izin. Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut sekaligus momentum untuk melakukan
koreksi.84
Secara konseptual, tentu ada yang berbeda antara hak pengusahaan dan izin. Pengaturan hak ini ditengarai telah keliru dipahami dan
dimengerti perbedaannya dengan izin, yang merupakan hak perorangan. 85
Dalam UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(UU Pesisir), konsep HP3 diganti dengan Izin Pengelolaan Perairan
Pesisir (IP3). Sekilas mirip, tapi banyak yang berbeda. IP3 lebih mengarah
pada hak pemanfaatan dengan menempatkan status masyarakat sebagai
authorized user. Meskipun diakui, pengelolaan oleh masyarakat seharusnya
bisa setingkat lebih tinggi dari sekadar pemanfaatan.86
81 Naskah Akademik RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, hlm. 6.
82 Ibid, hlm. 4.
83 Pandangan Pemerintah Atas RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil, hlm. 4.
84 Naskah Akademik, Op.cit, hlm. 66.
85 Ibid, hlm. 2.
86 Ibid, hlm. 12.

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

81

Berikutnya adalah karakteristik IP3 yang tidak beralih atau dialihkan.


Berbeda dengan HP3 yang dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan
utang dengan dibebankan hak tanggungan.87 Meskipun cara perolehan
IP3 harus melalui proses perizinan yang diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang.
HP3 dalam implementasinya diprediksi akan menuai masalah,
khususnya pada masyarakat hukum adat dan nelayan tradisional.
Pemberian HP3 kepada swasta memang menjurus pada privatisasi wilayah
pesisir dan wujud dari semangat propasar.88 HP3 bersifat transferable, yang
mereduksi nilai perairan pesisir menjadi nilai ekonomis. 89
Tidak hanya itu, pemberian HP3 lebih menguntungkan orang
perorangan dan swasta yang bermodal kuat. Karena tidak seimbang,
masyarakat pesisir dan nelayan tradisional akan tersingkir dari persaingan.
Begitu juga kontrol terhadap HP3 yang beralih kepada pemegang HP3.90
Dalam proses pembahasan, konsep HP3 ini sempat diusulkan diganti
menjadi izin pengelolaan oleh Fraksi Partai Golkar dan Partai Kebangkitan
Bangsa.91 Namun, kata akhir menyepakati penggunaan konsep dan model
izin berjenjang, yaitu izin lokasi dan izin pengelolaan.
Pengelolaan dengan Konsep Izin
Setiap orang yang melakukan pemanfaatan secara menetap di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil wajib memiliki izin lokasi. Undang-undang
ini menegaskan dan memberi sanksi terhadap pelanggarannya. Izin lokasi
nantinya akan menjadi dasar bagi pemberian izin pengelolaan.
Izin lokasi diberikan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil. Ketentuan ini tidak boleh mengindahkan kelestarian
87 Pasal 20 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil.
88 Naskah Akademik, Op.cit, hlm.30.
89 Ibid.
90 Ibid, hlm. 37.
91 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.

82

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

ekosistem, masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional, dan hak


lintas damai bagi kapal asing. Ada keharusan untuk memanfaatkan izin
lokasi. Pemegang izin lokasi yang tidak menyelenggarakan kegiatan dalam
jangka waktu paling lama dua tahun sejak izin diterbitkan dikenai sanksi
administratif berupa pencabutan izin lokasi.
Tahap kedua adalah izin pengelolaan. Terdapat batasan pada
kegiatannya, yaitu (i)produksi garam, (ii)biofarmakologi laut, (iii)bioteknologi laut, (iv)pemanfaatan air laut selain energi, (v)wisata bahari, (vi)
pemasangan pipa dan kabel bawah laut, dan/atau (vii)pengangkatan benda
muatan kapal tenggelam, yang wajib memiliki izin pengelolaan.
Izin lokasi dan izin pengelolaan dapat diberikan kepada (i)orang
perseorangan, (ii)korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia,
dan (iii)koperasi yang dibentuk oleh masyarakat. Apabila dibandingkan
dengan pengaturan sebelumnya, HP3 dapat diberikan kepada orang
perseorangan WNI, badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum
Indonesia, atau masyarakat adat.92
Ketentuan lebih lanjut mengenai izin lokasi dan izin pengelolaan
diatur dengan peraturan pemerintah. Di titik ini, banyak pihak mempertanyakan sejauh mana nelayan tradisional dapat mengakses daerah wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.93
Karena di sisi lain, ada sanksi pidana yang menghantui.94
Perubahan dari rezim hak pengusahaan kepada perizinan membawa
pengaruh terhadap penguatan peran Pemerintah. Peran dalam menerbitkan izin lokasi dan izin pengelolaan ada di Pemerintah. Menteri
diberikan kewenangan memberikan dan mencabut izin lokasi di wilayah
92 Pasal 18 UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
93 Lihat http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt516cd5cba9ef6/kiara-tolak-revisiuu-pesisir, diakses pada 20 Maret 2014.
94 Pasal 75 UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil menyatakan setiap orang yang memanfaatkan perairan pesisir namun tidak
memiliki izin lokasi dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

83

lintas provinsi, kawasan strategis nasional, kawasan strategis nasional


tertentu, dan kawasan konservasi nasional. Gubernur dan bupati/
walikota berwenang memberikan dan mencabut izin lokasi sesuai dengan
kewenangannya. Tak salah, apabila sistem pengawasan yang memadai
turut dirancang.
Pengelolaan Pulau Terluar oleh Asing
Melalui undang-undang ini, pihak asing dapat mengelola pulau-pulau
terluar. Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan di sekitarnya
dalam rangka penanaman modal asing harus mendapat izin Menteri.
Setelah sebelumnya mendapat rekomendasi dari Bupati/Walikota. Prinsip
utamanya harus mengutamakan kepentingan nasional. Meski demikian,
tidak didapat secara jelas ukuran dan parameter kepentingan nasional
dalam undang-undang ini.
Dalam mengajukan izin, diberi persyaratan, yaitu (i)badan hukum
berbentuk perseroan terbatas, (ii)menjamin akses publik, (iii)tidak
berpenduduk, (iv)belum ada pemanfaatan oleh masyarakat lokal, (v)
bekerja sama dengan peserta Indonesia, (vi)melakukan pengalihan saham
secara bertahap kepada peserta Indonesia, (vii)melakukan alih teknologi,
(viii)memperhatikan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi pada luasan lahan.
Skema penanaman modal asing tidak bersandar pada undang-undang
ini, melainkan UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing.
Hal senada juga dikemukakan oleh Fraksi Keadilan Sejahtera.95 Hal ini
patut menjadi catatan. Apalagi, di tengah ketidakmauan atau ketidakmampuan kita mengelola pulau-pulau terluar.
Hak Masyarakat Adat yang Ingin Dipulihkan
Tak dapat disangkal, aktor utama dalam pengelolaan sumber daya pesisir
adalah Pemerintah, swasta, dan masyarakat. Khusus untuk masyarakat,
95 Pandangan Akhir Fraksi Keadilan Sejahtera Atas RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil.

84

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

undang-undang ini membedakan antara masyarakat lokal, masyarakat


tradisional, dan masyarakat hukum adat.
Hal yang perlu menjadi sorotan adalah sejauh mana masyarakat
dapat memperoleh izin dan kemudahan dalam pemanfaatan. Tidak heran,
masyarakat pesisir sangat menggantungkan nasib di sekitar daerah pesisir.
Ada persoalan mata pencaharian dan kesejahteraan di sini. Apabila diperlakukan sama dan dipaksa bersaing dengan swasta, hasilnya jelas. Kalah.
Undang-undang ini menjamin Pemerintah dan Pemerintah Daerah
wajib memfasilitasi pemberian izin lokasi dan izin pengelolaan kepada
masyarakat lokal dan masyarakat tradisional. Izin kepada masyarakat lokal
dan masyarakat tradisional itu untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.96
Untuk masyarakat hukum adat, ada yang istimewa. Pemanfaatan
ruang dan sumber daya pesisir pada wilayah masyarakat hukum adat
menjadi kewenangan masyarakat hukum adat setempat.97 Kewajiban
memiliki izin pun dikecualikan bagi masyarakat hukum adat.98 Namun,
harus ditetapkan pengakuannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ini menjadi tanya. Apa maksud pengakuannya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan? Jawab tidak ditemukan.
Undang-undang ini menegaskan beberapa hak masyarakat, beberapa
di antaranya, yaitu: (i)memperoleh akses terhadap bagian perairan yang
sudah diberi izin lokasi dan izin pengelolaan, (ii)mengusulkan wilayah
masyarakat hukum adat, (iii)mengajukan laporan dan pengaduan kepada
pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan
dengan pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,
(iv)melaporkan kepada penegak hukum akibat dugaan pencemaran,
pencemaran, dan/atau perusakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, (v)

96 Pasal 20 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil.
97 Pasal 21 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil.
98 Pasal 22 UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil.

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

85

memperoleh ganti rugi, (vi)mendapat pendampingan dan bantuan hukum


terhadap permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil.
Pemerintah Daerah dalam menyusun rencana strategis, rencana
zonasi, rencana pengelolaan, dan rencana aksi juga melibatkan masyarakat
dan dunia usaha.99 Dokumen final perencanaan yang disusun oleh Bupati/
Walikota diserahkan kepada Gubernur dan Menteri. Tidak ada masukan,
berarti berlaku secara definitif.
Tidak hanya itu, Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban
mendorong kegiatan usaha masyarakat. Caranya melalui peningkatan
kapasitas, pemberian akses, teknologi dan informasi, permodalan, infrastruktur, jaminan pasar, dan aset ekonomi produktif lainnya.
Dua Sisi Keterlibatan Publik
Dari proses pembahasan undang-undang ini tercermin, sesungguhnya
keterlibatan publik berdiri pada dua sisi, menerima dan menolak. Meski
tak selamanya dikotomis.
Pemerintah menyatakan sudah melakukan pelibatan publik dengan
menggali masukan para pakar dan akademisi dari berbagai universitas100,
praktisi pengelolaan pesisir, masyarakat pesisir, pelaku usaha, serta
organisasi kemasyaratan.101
Di sisi yang berbeda, kelompok masyarakat yang menolak juga tidak
dapat diabaikan. KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan)
menyayangkan persetujuan rancangan regulasi ini dilakukan tanpa partisi99 Pasal 14 ayat (2) UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil.
100 Pihak universitas yang dilibatkan adalah Universitas Diponegoro, Universitas
Brawijaya, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Padjadjaran. Lihat http://www.
antaranews.com/berita/410078/revisi-uu-pesisir-jamin-akses-masyarakat, diakses pada
20 Maret 2014.
101 Pandangan Pemerintah Atas RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil, hlm. 3. Dari kalangan organisasi kemasyarakatan, PSHK mencatat, pada 16
September 2013, salah satu yang diundang adalah IHCS (Indonesian Human Rights
Committee for Social Justice).

86

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

pasi dan peran masyarakat secara terbuka. Persetujuan dilakukan secara


terbatas dengan hanya melibatkan pihak akademisi dan pengusaha.102
Sebelumnya, KIARA juga menyatakan bahwa tidak banyak yang berubah
dari undang-undang ini. Nelayan belum ditempatkan sebagai subjek
penting.103
Dari sisi waktu, pembahasan undang-undang ini relatif cepat.
Dimulai dari 27 Mei dan disetujui pada 18 Desember 2013. Tak lebih dari
tujuh bulan. Satu sebab karena Pemerintah dan DPR satu suara. Tidak ada
perdebatan sengit. Sebab lain, karena undang-undang ini adalah undangundang perubahan. Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) pun tidak terlalu
banyak. Hanya 127 nomor DIM.
Sebab lainnya, metode pembahasan yang digagas sangat efektif.
Pembahasan menggunakan metode klustering. Tim Perumus bertugas
membahas substansi dan tim sinkronisasi bertugas membahas redaksional.

UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN


ATAS UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2004 TENTANG
JABATAN NOTARIS: PRAHARA PERLINDUNGAN PROFESI

Panjangnya Pembahasan Undang-Undang Perubahan


UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU Notaris) yang merupakan usul
inisiatif DPR ini ditujukan sebagai perubahan terhadap undang-undang
yang mengatur profesi notaris sejak disahkan sepuluh tahun yang lalu.
Tahap penyiapan naskah akademik dan RUU dilakukan oleh Badan
Legislasi DPR, sementara pembahasannya dilakukan oleh Panitia Khusus
bersama dengan Menteri Hukum dan HAM sebagai wakil pemerintah.
102 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52c67bdd7b25e/uu-pengelolaan-wilayahpesisir-kado-terburuk-bagi-nelayan, diakses pada 20 Maret 2014.
103 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt516cd5cba9ef6/kiara-tolak-revisi-uupesisir, diakses pada 20 Maret 2014.

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

87

Sebelum memulai rapat dengan Pemerintah, Panitia Khusus (Pansus)


terlebih dahulu melakukan rapat dengan pemangku kepentingan, seperti
Kepolisian, Kejaksaan, Ikatan Hakim Indonesia, Himpunan Konsultan
Hukum Pasar Modal, dan para pakar dari berbagai universitas. Resmi
menjadi usul inisiatif DPR pada 6 Maret 2012, Presiden lalu menunjuk
Menteri Hukum dan HAM melalui surat presiden tertanggal 12 April
2012 untuk mewakili Pemerintah dalam pembahasan bersama Pansus.
Pembentukan Pansus UU Notaris terjadi sebulan kemudian, 29 Mei 2012
tepatnya. Berarti dengan melihat tanggal disahkannya pada 17 Desember
2013, terhitung dari penunjukan perwakilan Pemerintah, UU Notaris ini
memakan waktu 20 bulan. Cukup lama untuk sebuah undang-undang
perubahan.
Karena jasa notaris ditujukan untuk pelayanan publik, tentu suara
publik dibutuhkan dalam proses pembahasan. Rapat Dengar Pendapat
Umum (RDPU) dan forum diskusi dengan tim asistensi Baleg pun
berjalan. Sumatra Utara dan Sulawesi Selatan menjadi tuan rumah
bagi mereka dalam rangka pengumpulan data via kunjungan lapangan.
Anggota DPR juga ikut terjun ke lapangan untuk menggali aspirasi rakyat
yang diwakili. Para wakil rakyat itu melakukan kunjungan kerja ke Jawa
Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Bali. Dengan diketuai Andi Rio
Indris Padjalangi dari Fraksi Golkar104, pembahasan pun berujung dengan
aklamasi pada Rapat Paripurna DPR 17 Desember 2013.
Model pembahasan UU Notaris ini menggunakan metode klustering.
Metode klustering diterapkan, dengan harapan tidak memakan waktu
yang terlalu lama. Daripada membahas dengan detil satu per satu, lebih
baik dilakukan semacam pembagian tugas. Pengkategorisasian DIM
(Daftar Inventarisasi Masalah) pun terjadi. DIM yang sifatnya redaksional diserahkan kepada tim perumus dan tim sinkronisasi. Lalu, untuk

104 Tetapkan Ketua dan Wakil Ketua Pansus RUU Jabatan Notaris, www.tempo.co,
http://www.tempo.co/read/news/2012/06/24/140412504/Tetapkan-Ketua-danWakil-Ketua-Pansus-RUU-Jabatan-Notaris, diakses pada 24 Juni 2012.

88

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

DIM yang substantif, Panitia Kerja lah yang beraksi. Mekanisme ini juga
awalnya mendukung harapan Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso, agar
Pansus dapat selesai sesuai dengan tenggat waktu yang sudah ditentukan,
yaitu dua kali masa sidang.105 Tetapi yang terjadi, justru memakan waktu
tiga kali lipatnya.
Pembahasan 18 (delapan belas) kluster dengan 72 (tujuh puluh dua)
nomor DIM itu dilakukan bersamaan dengan konsultasi untuk mendapatkan masukan. RDPU dengan berbagai pihak pun tak luput dilakukan,
seperti Kepolisian, Kejaksaan, Badan Pertanahan Nasional, Himpunan
Konsultan Hukum Pasar Modal, Perhimpunan Bank Swasta Nasional,
Ikatan Notaris Indonesia, Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Ikatan
Pejabat Lelang Indonesia, Majelis Pengawas Pusat Real Estate Indonesia,
Ikatan Hakim Indonesia, dan para pakar kenotariatan dari berbagai universitas. Pastinya, kegiatan itu memakan waktu yang cukup banyak. Belum
lagi kalau melihat pengelompokan isu yang begitu detil. Di antaranya:
kewenangan notaris dalam membuat akta pertanahan, pengangkatan
notaris, usia cakap melakukan perbuatan hukum, bahasa akta, jangka
waktu pengambilan sumpah, pemberhentian sementara notaris, cuti
notaris, dan kewenangan Majelis Pengawas.
Perubahan dengan Dasar Evaluasi
Pembahasan undang-undang ini didorong oleh evaluasi terhadap undangundang sebelumnya yang masih menimbulkan permasalahan sehingga
tidak efektif dalam impelementasinya. Hal ini patut diapresiasi karena
ada mekanisme monitoring dan evaluasi yang berjalan, terlepas dari
disebutkan atau tidak dalam undang-undang tersebut.
Dalam naskah akademik, disebutkan beberapa masalah yang muncul
dalam pelaksanaan undang-undang sebelumnya, adalah (i)keberadaan
Notaris Pengganti Khusus; (ii)magang calon notaris; (iii)usia pensiun
notaris dan kaitannya dengan perpanjangan usia pensiun; (iv)kewenangan
105 Ibid.

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

89

notaris dalam membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; (v)


kewenangan notaris dalam membuat akta risalah lelang; (vi)notaris yang
diangkat menjadi Pejabat Negara; dan (vii)pelaksanaan pengawasan
jabatan notaris.
Selain itu, pembahasan undang-undang ini juga diperlukan karena
terdapat kebutuhan untuk melakukan sinkronisasi pengaturan profesi
notaris dalam undang-undang sebelumnya dengan perkembangan undangundang lain yang berkaitan dengan notaris.
Berdasarkan Penjelasan Umum UU Notaris, akhirnya permasalahan
yang dijabarkan dalam naskah akademik dan DIM mengerucut pada
sembilan materi perubahan dalam undang-undang ini, yaitu ketentuan
tentang organisasi profesi notaris, pembentukan majelis kehormatan
notaris dan pengaturan sanksi administrasi bagi notaris yang melanggar
ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang ini. Di luar tiga
ketentuan penting tersebut, masih terdapat beberapa ketentuan lain yang
mengatur teknis layanan jasa yang diberikan oleh notaris.
Profesi Notaris; Profesional dan Independen
Tujuan adanya UU Notaris pada dasarnya menimbang beberapa hal
fundamental dalam keberlangsungan dinamika hukum. Sebagaimana
prinsip yang disebut dalam UUD NRI 1945, yaitu kepastian, ketertiban,
dan perlindungan hukum. Prinsip ini juga berlaku pada salah satu bukti
otentik, yaitu alat bukti tertulis. Yang bertanggung jawab atasnya? Salah
satunya adalah notaris, tentunya. Buah tangan notaris dalam bentuk akta
bersifat otentik; ditentukan oleh undang-undang dan sesuai dengan Pasal
1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Beberapa ketentuan dalam UU Notaris sebelumnya perlu diubah
karena dianggap tidak lagi dapat mengikuti perkembangan hukum dan
kebutuhan masyarakat. Tetapi, kalau menelaah perubahannya lebih
jauh, ada kecenderungan untuk justru hanya mengakomodasi kebutuhan
notaris. Salah satunya adalah pengukuhan dan penegasan Ikatan Notaris
Indonesia (INI) melalui Pasal 82 UU Notaris sebagai satu-satunya wadah

90

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

organisasi profesi notaris. Berkaca pada organisasi profesi bidang hukum


lainnya, yaitu advokat, penegasan bahwa INI merupakan satu-satunya
wadah organisasi profesi notaris dianggap sangat penting. Pemusatan ini
juga dianggap menguntungkan banyak pihak dan mencegah terjadinya
masalah dalam organisasi profesi ini. Dari segi notaris, ada kemudahan
dalam mengontrol dan meningkatkan kualitas profesi. Dari segi masyarakat
dan pihak-pihak terkait profesi hukum itu, hal ini juga memiliki efek baik.
INI menjadi tujuan utama apabila masyarakat ingin mengajukan keluhan
mengenai pelayanan notaris.
Problem Penginterpretasian
Perdebatan yang menarik dalam UU Notaris ini adalah fenomena
kesalahan interpretasi, khususnya dalam persoalan pembentukan
lembaga baru. Tertulislah Majelis Kehormatan Notaris sebagai pihak yang
ditambahkan. Wewenang yang diberikan cukup penting, yaitu terkait
persetujuan atas pengambilan fotokopi minuta akta serta pemanggilan
notaris terkait dengan proses peradilan harus melalui pintu Majelis
Kehormatan. Hal itu merupakan tindak lanjut atas Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) nomor 49/PUU-X/2012 tanggal 28 Mei 2013 yang
membatalkan frasa dengan persetujuan majelis pengawas daerah dalam
Pasal 66 ayat (1) UU Notaris sebelumnya.
Menurut hemat PSHK, Putusan MK itu bermaksud menghilangkan
adanya halangan bagi pihak penyidik, penuntut umum atau hakim dalam
menyelenggarakan proses peradilan, terutama yang berkaitan dengan
profesi notaris. Akan tetapi, apabila mencermati pengaturan dalam UU
Notaris, sebenarnya ketentuannya hampir sama dengan ketentuan yang
dibatalkan oleh MK tersebut. Prinsipnya pengambilan minuta maupun
pemanggilan notaris oleh penyidik, penuntut umum dan hakim harus
melalui mekanisme persetujuan oleh Majelis Kehormatan Notaris, yang
sebelumnya dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah.
Sebenarnya, persoalannya adalah mekanisme persetujuan tersebut,
bukan pada institusi yang memberikan persetujuan. Tentunya, proses

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

91

peradilan harus diutamakan demi kepentingan keadilan dan kepastian


hukum. Akan tetapi, syarat persetujuan yang dibatalkan oleh MK dan
dihidupkan kembali oleh pembentuk undang-undang ini dapat menambah
birokrasi dan kendala dalam proses peradilan terhadap suatu perkara.
Selain itu, perlu diperhitungkan adanya potensi konflik kepentingan
dalam pemberian persetujuan tersebut. Tak dapat dipungkiri tujuan dari
Majelis ini adalah memberikan perlindungan bagi anggota profesinya.
Mari lihat komposisi Majelis Kehormatan tersebut. Notaris sebanyak 3
(tiga) orang, Pemerintah sebanyak 2 (dua) orang, dan ahli atau akademisi
sebanyak 2 (dua) orang. Dengan komposisi tersebut, bagaimana kita dapat
menjamin persetujuan dari Majelis Kehormatan dapat berjalan dengan
objektivitas dan independensi yang tinggi?
Di titik ini, juga ada perdebatan. Salah satu batas independensi
profesi notaris, begitu juga dengan profesi hukum lainnya, adalah proses
penegakan hukum. Dan, tentu saja, itikad baik dalam menjalankan
profesinya. Kita tidak boleh lupa bahwa independensi memang ada
batasnya. Kalau tujuannya untuk memastikan penggunaan dokumen dan
pemanggilan notaris ke muka persidangan semata demi tujuan penegakan
hukum, mengapa tidak diberikan saja kepada pengadilan yang kita
pandang berada dalam posisi objektif? Sementara, Majelis Kehormatan
ditempatkan pada posisi yang seharusnya, yaitu memeriksa dan mengadili
persoalan etik notaris?
Pengawasan dan Sanksi: Masih Perlu Elaborasi
Materi mengenai pengawasan notaris menjadi salah satu materi pokok
dalam undang-undang perubahan ini. Hal itu dapat terihat dari pengaturan
berupa penambahan sanksi bagi notaris. Pengaturan sanksi ini merupakan
tambahan terhadap ketentuan yang sebenarnya sudah diatur dalam
undang-undang sebelumnya. Terdapat lima materi sanksi yang diatur
dalam undang-undang perubahan ini. Bentuk sanksinya pun beragam,
mulai dari peringatan tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian
dengan hormat, hingga pemberhentian dengan tidak hormat.

92

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

Penambahan ketentuan sanksi terhadap larangan atau kewajiban


yang sudah diatur dalam undang-undang sebelumnya ini menunjukkan
tidak efektifnya pengaturan kewajiban dan larangan dalam undang-undang
sebelumnya. Sehingga pembentuk undang-undang memandang perlu
menambahkan sanksi terhadap norma yang sudah diatur tersebut. Walau
demikian, pengaturan sanksi belum menjadi jaminan bahwa ketentuan
atau norma tersebut akan dapat berjalan secara efektif.
Salah satu sanksi yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah
sanksi bagi notaris berkaitan dengan kewajiban pemberian jasa hukum di
bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu.
Kewajiban pemberian jasa hukum cuma-cuma ini sebenarnya juga sudah
diatur dalam undang-undang sebelumnya.
Kewajiban pemberian jasa hukum cuma-cuma ini juga dimiliki oleh
profesi advokat. Pengaturannya dilakukan dalam UU No. 18 Tahun 2003
tentang Advokat. Pengaturan kewajiban pemberian jasa hukum cuma-cuma
ini merupakan salah satu kontribusi positif organisasi dan anggota profesi
bagi masyarakat. Dengan menempatkannya sebagai kewajiban yang diatur
undang-undang, berarti masyarakat yang memegang hak atas jasa hukum
cuma-cuma ini.
Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah efektivitas pelaksanaan
pemberian jasa hukum cuma-cuma ini. Pengaturannya tidak cukup hanya
kewajiban dalam undang-undang, tetapi harus ditindaklanjuti dengan
pengaturan teknis, bahkan sampai dengan pengaturan di level organisasi
profesi tersebut. Selain kesiapan dari organisasi dalam memfasilitasi dan
mengawasi pemberian jasa hukum cuma-cuma, termasuk siapa yang akan
mengawasi pelaksanaannya. Langkah penting lain yang perlu diambil
adalah sosialisasi hak yang dijamin undang-undang ini kepada masyarakat.
Inisiatif sudah baik, sekarang tinggal pelaksanaannya. Belum tentu semua
sadar akan regulasi ini. Seperti kata peribahasa; tak kenal maka tak sayang.

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

93

UNDANG-UNDANG NO. 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN:


TAMBAHAN PORTOFOLIO KEMENTERIAN DI TAHUN POLITIK

Bayangkan, suatu wilayah regional menghilangkan dinding-dinding


ekonominya hingga semua kegiatan perindustriansalah satunya
menjadi satu kesatuan atap. Mungkin menyisakan sekat-sekat tipis. Tetap
saja, itu akan mengubah banyak kebiasaan antara satu wilayah dan
wilayah lain. Pasar menjadi terbuka lebar. Kemampuan untuk bersaing
menjadi kebutuhanbahkanuntuk sekadar bertahan, mengingat kini
Indonesia sudah bergabung dengan ASEAN Economic Community (AEC)
2015.
Sementara itu, daya saing Indonesia dinilai masih relatif rendah
diikuti biaya ekspor tinggi. Kualitas infrastruktur yang belum bagus juga
membantu memberikan nilai rendah karena meningkatkan biaya logistik.
Maka itu, UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (UU Perindustrian)
dicanangkan sebagai salah satu strategi memperkuat pembangunan
nasional di bidang ekonomi.
Hal itu juga disampaikan Erik Satya Wardhana, Wakil Ketua Komisi
VI, dalam laporannya di Sidang Paripurna DPR. UU Perindustrian
ini diharapkan akan mewujudkan industri nasional sebagai pilar dan
penggerak perekonomian nasional, kata Erik di hadapan Rapat Paripurna,
yang dipimpin Wakil Ketua DPR, Pramono Anung. Masih menurut Erik,
dengan adanya undang-undang ini, industri nasional juga diharapkan bisa
mandiri, kompetitif, punya kepastian usaha, dan berorientasi pada industri
hijau.106
Sebetulnya terkait dengan kebijakan perindustrian, masalah utama
Indonesia mengenai kebijakan industri adalah ketiadaan konsistensi
Pemerintah sejak awal. Hal ini pernah diungkapkan salah satu ekonom
senior Indonesia, Thee Kian Wie, dalam kertas kerjanya. Ia memberi
106 http://www.dpr.go.id/id/berita/paripurna/2013/des/19/7347/dpr-setujui-ruuperindustrian-jadi-uu-, diakses pada 3 Maret 2014.

94

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

contoh kebijakan xenophobic (pribumi vs non pribumi) atau memisahkan


ukuran entitas usaha (UKM vs industri menengah/besar) dan asal usul
investasi (asing atau dalam negeri); yang tidak dilakukan dengan pertimbangan ekonomi secara rasional.107
Aspek yang seharusnya diperhatikan ketika menyusun kebijakan
industri nasional adalah mempermudah (calon) aktor untuk terjun
melakukan kegiatan usahanya dengan membangun infrastruktur, mempermudah (fasilitasi) perizinan, dan mengatasi tumpang tindihnya peraturan
ketimbang menambah birokratisasi baru dalam relasi antarlembaga.
Dugaan Peraturan Pelaksana sebagai Cek Kosong
Undang-undang ini mengatur wacana besar sehingga menyisakan 33 (tiga
puluh tiga) peraturan pelaksana untuk pengaturan yang lebih teknis. Mulai
dari peraturan pemerintah hingga pemerintah daerah. Peraturan pelaksana
itu terdiri dari 21 peraturan pemerintah, 2 peraturan presiden, 8 peraturan
menteri, dan 1 peraturan daerah provinsi dan kabupaten/kota masingmasing. Konsekuensi dari banyak peraturan pelaksana seperti ini adalah
sering kali pemerintah mengambil langkah pintas dengan hanya membuat
sekian peraturan pelaksana. Agar dapat berjalan lancar dalam implementasi, Pemerintah harus gerak cepat untuk membuatnya. Meskipun bukan
berarti ketigapuluh peraturan pelaksana itu mutlak menjadi tigapuluh
peraturan. Bisa saja, misalnya, dibentuk lima peraturan pelaksana yang di
dalamnya memuat substansi dari ketigapuluh peraturan pelaksana itu.
Banyaknya peraturan pelaksana yang diamanatkan tak lepas dari
dugaan cek kosong bagi Pemerintah. Apalagi, dalam UU Perindustrian
ini, Kementerian Perindustriansebagai pengusuldiberikan ruang luas
untuk mengatur banyak hal. Kewenangannya menjadi luar biasa banyak,
yaitu dari segi strategi, pengadaan, keamanan, dan lain-lain.

107 Thee Kian Wie, Policies For Private Sector Development in Indonesia, Asian
Development Bank Institute Working Paper, 2006.

95

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

Dalam
penjelasannya,
Sekretaris
Jenderal
Kementerian
Perindustrian, Ansari Bukhari, menyebutkan bahwa kebijakan makro
perindustrian dengan adanya UU Perindustrian ini nantinya akan
terpusat di Kementerian Perindustrian; sementara kebijakan teknis
akan diserahkan pada Kementerian terkait.108 Pernyataan itu diperkuat
oleh Harris Munandar, Kepala Pusat Pengkajian dan Iklim Usaha
Kementerian Perindustrian, kelak UU Perindustrian ini akan menempatkan Kementerian sebagai pemegang otoritas penuh dalam kebijakan
perindustrian. Otoritas penuh ini penting untuk memacu pertumbuhan,
perkembangan, dan daya saing industri dalam negeri menjadi lebih
kompetitif.109
Dukungan Daya Saing Melalui Lembaga Baru
Terdapat beberapa pasal dalam UU Perindustrian ini yang masih menimbulkan pertanyaan, antara lain:
Pasal 86
(1) Produk dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 wajib
digunakan oleh:
a. lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian,
dan satuan kerja perangkat daerah dalam pengadaan barang/jasa
apabila sumber pembiayaannya berasal dari anggaran pendapatan dan
belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, termasuk
pinjaman atau hibah dari dalam negeri atau luar negeri; dan
b. badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha
swasta dalam pengadaan barang/jasa yang pembiayaannya berasal
dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan
dan belanja daerah dan/atau pekerjaannya dilakukan

108 Kontan, Ibarat Raja Dengan Kekuasaan Besar, 612 Januari 2014.
109 Ibid.

96

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

melalui pola kerja sama antara Pemerintah dengan badan usaha swasta
dan/atau mengusahakan sumber daya yang dikuasai negara.

Dari pengaturan pasal tersebut muncul banyak pertanyaan. Salah satu


yang paling mendasar adalah apabila Pemerintah mewajibkan penggunaan
produk dalam negeri, apakah Pemerintah juga menjamin ketersediaan
produk dalam negeri sesuai dengan spesifikasi yang dikehendaki oleh
pengguna nantinya? Apabila tidak, bagaimana efektivitas pelaksanaan
pasal tersebut?
Selain itu, timbul juga pertanyaan; apakah definisi pembiayaan yang
dimaksudkan dalam pasal tersebut? Apakah, misalnya, penyertaan modal
termasuk dalam definisi itu? Mengingat secara spesifik dalam ayat itu
disebutkan aktivitas yang dengan ciri pola kerja sama Pemerintah dengan
swasta, sementara proyek kerja sama itu cukup kompleks model pembiayaannya. Oleh karena itu, pemilahan mana yang pengadaan barangnya
harus menggunakan APBN dan mana yang tidak akan memakan tenaga
yang tidak sedikit.
Kami menduga akan ada penyederhanaan dan diskresi di lapangan
dalam menerjemahkan pasal tersebut, mengingat kompleksitas koordinasi
antara instansi dan aktor-aktor yang terlibat. Selain ketersediaan, besaran
APBN yang diwajibkan untuk menggunakan produk dalam negeri juga
tidak terjawab. Apabila undang-undang ini bermaksud menjawab tuntutan
penggunaan produk dalam negeri, bukankah sebaiknya dicantumkan
alokasi APBN/APBD yang akan digunakan?
UU Perindustrian mendelegasikan pembentukan Lembaga
Pembiayaan Pembangunan Industri. Pembentukan lembaga itu
merupakan salah satu bentuk komitmen pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk mengembangkan kapasitas dan potensi yang ada. Nah,
tetapi, pembentukannya menyulut perdebatan juga. Kita lihat dulu pasal
berikut.

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

97

Pasal 44
(1) Pemerintah memfasilitasi ketersediaan pembiayaan yang kompetitif
untuk pembangunan Industri.
(2) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal
dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan usaha, dan/atau orang
perseorangan.
(3) Pembiayaan yang berasal dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diberikan kepada
Perusahaan Industri yang berbentuk badan usaha milik negara dan
badan usaha milik daerah.
Pasal 48
(1) Dalam rangka pembiayaan kegiatan Industri, dapat dibentuk lembaga
pembiayaan pembangunan Industri.
(2) Lembaga pembiayaan pembangunan Industri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berfungsi sebagai lembaga pembiayaan investasi di bidang
Industri.
(3) Pembentukan lembaga pembiayaan pembangunan Industri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Undang-Undang.

Apabila pembuat undang-undang memutuskan untuk membentuk lembaga


baru dengan fungsi investasi bidang industri, seharusnya langsung diatur
dalam undang-undang tersendiri. Praktik sebagaimana disebutkan Pasal
48, yang melemparkan amanat pembentukan lembaga baru yang belum
ada dari satu undang-undang ke undang-undang lain, menurut hemat
kami, seharusnya tidak terjadi.
Pembentukan lembaga itu diamanatkan untuk diatur dalam undangundang yang berbeda. Keberadaan peran untuk mengatur pembiayaan
pembangunan industri memang penting. Apalagi, ini bentuk dukungan
Pemerintah terhadap industri dalam negeri. Namun, tidak kalah penting
juga untuk melihat kecenderungan yang ada. Selama ini, lembaga sejenis
biasanya dibentuk oleh peraturan di bawah undang-undang. Pun ada

98

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

lembaga yang dibentuk melalui undang-undang, tautannya merujuk pada


konstitusi. Pun memang ingin dibentuk melalui undang-undang, apakah
yang membuatnya tidak diatur dalam UU Perindustrian itu sendiri?
Lebih jauh lagi. Sebenarnya, ada peluang juga untuk memberikan
peran ini kepada lembaga yang sudah ada, alih-alih pembentukan
lembaga baru yang memakan biaya yang tidak sedikit. Misalnya dengan
skema perbankan. Namun, Ketua Komisi VI DPR berkelit bahwa
Ketergantungan pada dunia perbankan untuk pembiayaan industri
sangat tidak efektif, terutama bagi industri kecil menengah.110 Selain itu,
pinjaman uang dari bank untuk perindustrian tetap menggunakan perhitungan komersial. Jangka waktu pengembalian uang juga cenderung
pendek dan tidak berbasis risiko.
Kemungkinannya adalah pengamanatan pembentukan lembaga
tersebut dalam undang-undang berbeda merupakan titik kompromi dari
tarik menarik antara Pemerintah dan DPR dalam pembahasan. DPR
cenderung ingin membentuk lembaga baru dan Pemerintah cenderung
menolaknya. Padahal, pembentukan lembaga baru melalui undangundang biasanya ditujukan untuk lembaga yang berhubungan dengan isu
lintas sektor. Dalam hal ini, pembentukan lembaga yang dimaksud masih
bisa menggunakan peraturan di bawah undang-undang karena masih
dalam sektor yang sama.
Potensi Benturan Kepentingan dalam Komite Baru
Pasal lain yang juga menimbulkan pertanyaan terlihat di bawah ini.
Pasal 113
Untuk mendukung pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
112 ayat (3), Komite Industri Nasional dapat membentuk kelompok kerja

110 UU Perindustrian Jamin Pembiayaan Industri, http://www.dpr.go.id/id/berita/


komisi6/2014/jan/22/7445/uu-perindustrian-jamin-pembiayaan-industri, diakses
pada 19 Maret 2014.

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

99

yang terdiri dari pakar terkait di bidang Industri yang berasal dari unsur
pemerintah, asosiasi Industri, akademisi, dan/atau masyarakat.
Pasal 114
(1) Pelaksanaan tugas Komite Industri Nasional didukung oleh Kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan urusan pemerintahan di
bidang Perindustrian.
(2) Biaya yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan tugas Komite Industri
Nasional dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara.

Apabila komite ini, misalnya, diketuai oleh Menteri atau pejabat dari
Kementerian Perindustrian serta dalam komite tersebut duduk industrialis
sektor otomotif dan garmen, bukankah mungkin saja Menteri kemudian
mengeluarkan kebijakan berupa insentif bagi industri otomotif dan
garmen? Bagaimanakah proses pengambilan keputusan, analisis yang akan
dibuat, dan konsultasi publik yang akan dilakukan dalam komite tersebut?
Apakah bisa dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya? Menurut kami,
ketimbang membentuk komite yang dengan potensi benturan kepentingan
tinggi seperti ini, seharusnya Komite bisa dibentuk dengan keanggotaaan
independen dan bertugas memberikan pertimbangan serta masukan
terhadap kebijakan Pemerintah.111
Perjalanan Atas Penantian Tiga Dasawarsa
Jika ditilik, UU Perindustrian merupakan pengaturan baru setelah 30
tahun. Sebelumnya, ada UU No. 5 Tahun 1984 dengan judul yang sama.
Undang-undang itu dianggap sudah tidak cocok lagi dengan perubahan
paradigma pembangunan, sebagaimana dicantumkan dalam poin b bagian
Menimbang. Meski disahkan pada 2013, mengingat waktu pengesahan
yang sudah di penghujung tahun, pengundangan UU Perindustrian
mendapatkan nomor 3 untuk tahun 2014 dalam Berita Negara.
111 Contohnya misalnya Productivity Commission di Australia. Berikut adalah
tautannya http://www.pc.gov.au/.

100

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

UU Perindustrian sebenarnya sudah sejak lama mengetuk pintu


DPR. Sejak awal periode DPR 20092014, UU Perindustrian sudah
masuk daftar Prolegnas, yaitu pada 2010. Namun, pintu baru dibukakan
untuknya melalui Surat Presiden tertanggal 15 Juni 2012. Kemudian,
disahkan pada 19 Desember 2013.
Pembahasan tidak sebentar tentu saja terjadi karena pembahasan
yang cukup alot. Dalam kealotan itu, DPR juga membuka pintu partisipasi.
Pakar, akademisi, dan asosiasi diajak untuk turut membahas.112 Setelah
melalui tahapan itu, UU Perindustrian disetujui secara aklamasi.
Pembahasan UU tersebut juga mencerminkan kebiasaan DPR akhirakhir ini, yaitu membagi pembahasan DIM dalam dua tim. Satu tim
membahas substansi; satu tim membahas redaksional. Ini menunjukkan
adanya mekanisme baru dalam sistem pembahasan: sistem pengelompokan isu. DPR dapat fokus membahas isu substansi, sementara perancang
dapat menerjemahkannya dalam kalimat perundang-undangan. Dengan
demikian, pembahasan dapat berlangsung lebih efisien.
Sebagai penutup, materi muatan dalam undang-undang ini mengisyaratkan semangat pengaturan yang tinggi dari inisatornya, yaitu
Kementerian Perindustrian. Namun, apakah rezim pengaturan seperti
yang termuat dalam UU Perindustrian ini akan menumbuhkembangkan
industri nasional yang hidup dan mampu bersaing? Apabila menggunakan
indikator yang digunakan oleh Thee Kian Wie dalam tulisannya sebagaimana disebutkan di atas, yang muncul bukanlah keyakinan, melainkan
keraguan akan pencapaian tujuan undang-undang ini.

112 Mengenai siapa-siapa saja pihak yang dilibatkan dalam proses pembahasan
UU Perindustrian ini, tidak dapat kami jabarkan secara spesifik. Selain tidak
dicantumkan dalam dokumen-dokumen pembahasan, kami juga tidak memiliki
dokumen yang dimaksud secara lengkap hingga hari ini.

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

101

UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR


SIPIL NEGARA: SISTEM MERIT BAWA HARAPAN TIDAK IRIT

Pengangkatan pejabat tidak lagi berdasarkan suka atau tidak suka,


berdasarkan kedekatan, atau KKN (korupsi, kolusi, nepotisme penulis).
Setiap ada lowongan jabatan harus diumumkan sehingga setiap pegawai
yang memenuhi persyaratan mendapat kesempatan yang sama untuk
berkompetisi secara sehat, demikianlah kutipan dari laman menpan.
go.id.113 Itu hanyalah salah satu kabar baik yang diharapkan akan terus
bertambah akibat peluncuran UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara (UU ASN).
Pada 19 Desember 2013, UU ASN disahkan dengan persetujuan
penuh dari semua fraksi di DPR. Pengesahan itu merupakan proses dari
perjalanan yang tidak sebentar. Sepuluh masa sidang telah dilalui untuk
membahas undang-undang satu ini, yang dimulai sejak 22 September 2011.
Pembahasan berkepanjangan itu dilalui akibat pembahasan substansi
dan juga sosialisasi yang diikuti upaya untuk mempersamakan persepsi.
Ada pula mekanisme lobby terhadap beberapa isu krusial. Terang saja, ini
soal kehidupan 5,5 juta orang khususnya dan lebih jauh lagi, ini juga soal
kualitas peningkatan pelayanan publik kepada seluruh masyarakat.
Undang-undang tersebut merupakan komitmen reformasi birokrasi
dengan perubahan atas UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian. Perubahan yang diusung adalah merit sistem, yaitu
sistem berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan
wajar. Apalagi, dalam sistem itu juga disebutkan dengan jelas agar tidak
membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis
kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan. Jadi, jelas sekali
bahwa prinsip universal dianut undang-undang ini dan juga terlihat dalam
pengaturan di dalamnya.
113 Pengisian Jabatan Harus Melalui Promosi Terbuka, menpan.go.id, http://menpan.
go.id/berita-terkini/2165-pengisian-jabatan-harus-melalui-promosi-terbuka, diakses
pada 19 Maret 2014.

102

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

Perubahan yang paling menarik adalah perubahan sudut pandang


terhadap cara kerja aparatur sipil negara. Ini adalah perubahan dari comfort
zone menuju competitive zone.114 Pengaturan kepegawaian sebelumnya
menggunakan sistem hierarki. Sementara itu, di sini, pengaturan lebih
profesional; berdasarkan kinerja mereka. Tidak lagi berdasarkan peraturan
birokrasi yang lebih terkesan basa-basi. Penciptaan situasi kompetitif juga
dilihat dari penghargaan yang ditawarkan kepada pegawai ASN dengan
kinerja bagus. Jadi, dalam UU ASN tidak hanya sanksi yang diajukan.
Kedua pasal ini bisa jadi salah satu bentuk komitmen untuk menciptakan
wilayah kompetitif.
Pasal 77
(6) PNS yang penilaian kinerjanya tidak mencapai target kinerja dikenakan
sanksi administrasi sampai dengan pemberhentian sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 82
PNS yang telah menunjukkan kesetiaan, pengabdian, kecakapan, kejujuran,
kedisiplinan, dan prestasi kerja dalam melaksanakan tugasnya dapat
diberikan penghargaan.

Yang Baru, Tak Lepas dari Saru


Pertanyaan yang kemudian melintas adalah apa bedanya dengan undangundang sebelumnya?, juga mungkin apa saja usaha untuk reformasi
birokrasi ini?. Inilah jawabannya secara garis besar. Terpenting adalah UU
ASN menegaskan bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan profesi.
Selanjutnya, ada perbedaan batas usia pensiun. Untuk pejabat administrasi, usia pensiunnya 58 tahun (sebelumnya 56 tahun). Untuk Pejabat

114 Pendapat Akhir Pemerintah Pada Rapat Paripurna Pengambilan Keputusan Tingkat
II Terhadap Rancangan Undang-Undang Tentang Aparatur Sipil Negara Jakarta, 19
Desember 2013.

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

103

pada level Pimpinan Tinggi, usia pensiunnya 60 tahun (sebelumnya 58


tahun). Dengan demikian, ada kesempatan bagi Pegawai Negeri Sipil (kini
dikenal dengan Aparatur Sipil Negara) untuk berbakti lebih lama kepada
masyarakat dan negara.
Perubahan penting lainnya sudah diberikan contoh pada awal tadi.
Pengangkatan jabatan dilakukan secara terbuka dan kompetitif. Akan
ada sistem informasi yang terintegrasi sehingga kenaikan jabatan dapat
dilihat dan bukan semata penilaian pribadi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Bahkan, untuk Jabatan Pimpinan Tinggi, ada pembentukan
panitia seleksi. Panitia itu akan menyeleksi dari kompetensi, kualifikasi,
kepangkatan, pendidikan dan latihan, rekam jejak jabatan, integritas, dan
penilaian uji kompetensi melalui pusat penilaian (assessment center). Hasil
seleksi diberikan kepada Presiden untuk kemudian ditetapkan.
Bicara tentang Presiden; ia memang memiliki kewenangan dalam
hal manajemen ASN. Dalam melaksanakannya, Presiden dibantu oleh
Kementerian (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi), Lembaga Administrasi Negara (LAN), Badan
Kepegawaian Negara (BKN), dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Komisi yang terakhir merupakan komisi baru.
KASN adalah komisi yang mandiri dan bebas intervensi politik.
Komisi inilah yang mempunyai tugas untuk mengawasi dan juga mengevaluasi kinerja ASN. Ia menjamin terlaksananya sistem merit yang membawa
banyak harapan itu.
KASN terdiri dari tujuh orang yang tidak terikat dengan partai politik
apa pun. Mereka juga harus memiliki kemampuan juga pengalaman dan/
atau pengetahuan dalam manajemen sumber daya manusia. Pendidikan
mereka pun diharuskan berlatar belakang magister dan tidak boleh
merangkap jabatan pemerintahan dan/atau badan hukum lain.
Komisi tersebut memang diawali dengan niat baik dalam hal
pengawasan dan evaluasi. Namun, apa yang menyebabkan Pemerintah
merasa perlu untuk membentuk komisi itu? Pengaturan ASN yang
tentu saja merupakan bagian dari Pemerintah sebaiknya diawasi oleh

104

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

Pemerintah sendiri. Bukannya lembaga mandiri. Bukanlah sudah ada


Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi
Birokrasi (Kemenpan RB) dan Badan Kepegawaian Negara/Daerah
beserta segala perangkatnya?
Kembali pada sesuatu yang baru dalam UU ASN. Dengan berlakunya
undang-undang ini, tidak ada lagi dikotomi antara PNS Pusat dan PNS
Daerah. Maka itu, pegawai ASN wajib menerima jika ditempatkan di
mana saja. Selain itu, dalam rekrutmennya pun ada perbedaan cara. Kini,
lowongan PNS tidak lagi hanya melihat ijazah Calon PNS, tetapi justru
berdasarkan jabatan yang diperlukan. Kemudian, barulah ditetapkan kualifikasi pendidikannya.115
Disebutkan pula bahwa ASN terdiri dari PNS dan Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Dulunya, PPPK ini
disebut dengan tenaga honorer. Namun, tidak sekadar berganti baju,
ada pengaturan yang berbeda juga. Isu ini cukup memancing kontroversi, terutama dari guru honorer yang sudah bertahun-tahun bekerja.
Tenaga honorer tidak langsung diangkat menjadi PNS sehingga UU ASN
membuat peran yang dulunya diisi tenaga honorer, semakin menipis.
Untuk itu, Menteri PAN dan RB mengusulkan untuk tetap memperhatikan kesejahteraan guru honorer di daerah yang belum tertampung
menjadi PPPK. Bahkan, ia juga mengatakan, Selama belum terisi oleh
CPNS ataupun PPPK, jangan langsung tenaga honorernya diberhentikan. Kalau perlu, honornya ditingkatkan.116 Pernyataan itu sama sekali
tidak menjawab masalah, ia hanya menundanya. Apa yang akan terjadi
dengan guru honorer yang sudah mengabdikan hidupnya ketika sudah ada
CPNS maupun PPPK yang siap menggantikan perannya? Diberhentikan

115 Penetapan Jabatan Tidak Lagi Lihat Ijasah, menpan.go.id, http://menpan.go.id/


berita-terkini/2303-penetapan-jabatan-tidak-lagi-lihat-ijasah, diakses pada 20 Maret
2014.
116 Diusulkan Formasi PNS 60 Ribu PPPK 40 Ribu, menpan.go.id, http://menpan.
go.id/berita-terkini/2284-diusulkan-formasi-pns-60-ribu-pppk-40-ribu, diakses pada
20 Maret 2014.

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

105

begitu saja? Ini bukan pembahasan sedikit orang karena tenaga honorer
jumlahnya tinggi. Maka itu, muncul pertanyaan akan penghapusan tenaga
honorer yang digantikan dengan PPPK. Apakah ini merupakan bentuk
pelarian tanggung jawab Pemerintah dari kewajiban terhadap tenaga
honorer yang sudah ada?
Kini, PPPK hanya bisa diisi di posisi-posisi yang strategis berdasarkan
kompetensi, kualifikasi, dan kebutuhan. PNS tak lagi bisa menarik orang
dengan kontrak kerja semaunya. Perlu ada pengumuman lowongan,
pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi, dan pengangkatan.
Ketika lolos seleksi, PPPK terikat kontrak selama satu tahun dan dapat
diperpanjang.
Tentu saja, banyak peraturan pelaksana yang diamanatkan dalam
undang-undang ini. UU ASN meninggalkan rangkaian daftar peraturan
pelaksana berupa 19 (sembilan belas) Peraturan Pemerintah, 1 (satu)
Peraturan Menteri, 4 (empat) Peraturan Presiden, dan 1 (satu) Peraturan
KASN. Jadi, total ada 25 peraturan pelaksana yang menjadi pekerjaan
rumah Pemerintah. Dan, itu harus ditetapkan paling lama dua tahun,
terhitung sejak undang-undang ini diundangkan.
Tanpa mengindahkan pekerjaan rumah yang sudah banyak, di jarak
yang berdekatan, Pemerintah ingin mengajukan RUU lain. Undangundang itu masih terkait dengan reformasi birokrasi, yaitu RUU tentang
Administrasi Pemerintahan dan RUU tentang Sistem Pengawasan Internal
Pemerintah.117

UNDANG-UNDANG NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA:


SUDAH SIAP DENGAN KEHADIRAN DESA-DESA BARU?

Siapa pihak yang paling diuntungkan dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang
Desa (UU Desa)? Aparat desa. Memang, undang-undang ini dilandasi
117 Pendapat Akhir Pemerintah pada Rapat Paripurna, Op.cit.

106

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

pikiran bahwa desa merupakan bagian penting untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Isu utama yang diusung adalah pemerataan. Namun,
ada isu sampingan yang tercipta. Kita lihat pasal berikut.
Pasal 66
(1) Kepala Desa dan perangkat Desa memperoleh penghasilan tetap setiap
bulan.
(2) [..]
(3) Selain penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala
Desa dan perangkat Desa menerima tunjangan yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
(4) Selain penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala
Desa dan perangkat Desa memperoleh jaminan kesehatan dan dapat
memperoleh penerimaan lainnya yang sah.

Pasal tersebut menunjukkan bahwa ada banyak ruang keuangan yang


disebutkan langsung dalam UU Desa dialokasikan bagi aparat desa.
Mereka dipastikan mendapat penghasilan tiap bulan juga tunjangan. Jadi,
keuntungan bagi aparat sudah pasti ada dalam genggaman. Bagaimana
dengan keuntungan bagi masyarakat desa?
UU Desa memang memberikan angin segar terhadap kesejahteraan
rakyat desa. Bahkan, disebutkan tegas bahwa tujuannya adalah pengentasan kemiskinan.118 Maka itu, mantra undang-undang ini ialah penguatan
institusional melalui pemberian kewenangan yang lebih tegas. Angin segar
itu terus berhembus melalui pengaturan yang komprehensif terkait desa.
Namun, harapan itu pun perlu diikuti dengan penyiapan perangkat
desa untuk melaksanakan dan mengelola mandat yang diberikan. Sebut
saja tenaga profesional. Profesionalitas sudah disebutkan sebagai salah satu
syarat dalam pemilihan aparat desa. Dan, itulah yang perlu dipastikan. Jika
118 Kementerian Dalam Negeri, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang
Desa, 2011, hlm. 8.

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

107

sumber daya manusia yang terbatas, pengembangan kapasitas, misalnya


melalui pembinaan, menjadi faktor penting. Untuk memastikan itu
semua berjalan, peraturan pelaksana bisa menjadi salah satu jawabannya.
Peraturan pelaksana yang dibuat dengan detil dan segera dapat menyingkirkan kekhawatiran akan gara-gara.
Terbukanya ruang luas pendapatan desa memaksa untuk tidak
menutup mata akan kemungkinan praktik korupsi. Masa transisi rawan
korupsi. Pasal 72 UU Desa menyebutkan beberapa sumber pendapatan
desa. Ruang keuangan desa diperoleh dari alokasi APBN dan bagian dari
hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota. Selain itu, desa
juga mendapat alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan. Bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/
Kota juga hibah dan sumbangan menjadi sumber pendapatan desa. Bahkan,
ditetapkan pula besaran paling sedikit 10% yang diterima desa dari hasil
pajak dan retribusi daerah Kabupaten/Kota, juga dana perimbangan.
Harapannya, keluangan itu tidak menjadi rawan, justru memberikan kesejahteraan peluang.
Pengakuan Desa Disertai Peran Strategis Gubernur
Tertulis jelas bahwa asas pembentukan UU Desa adalah rekognisi.
Selepas dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, inilah
kesempatan desa untuk berdiri sendiri sebagai entitas mandiri. Desa tidak
berada dalam struktur pemerintahan, seperti berada di bawah Provinsi
dan Kabupaten/Kota. Ia tidak hanya dapat dipahami dalam pendekatan
fungsi pemerintahan semata.
Desa sebagai entitas sudah tumbuh jauh sebelum Republik Indonesia
berdiri dengan kewenangan, tradisi, struktur dan tata pemerintahan
yang khas dan unik. Keunikan desa juga telah dijamin dalam UUD NRI
1945 yang termaktub dalam Pasal 18 B ayat (1) dan (2). Pengakuan itu
merupakan bagian penting dari pengimplementasian prinsip kebhinekaan
dalam bernegara.

108

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

Pengakuan juga terjadi terhadap adat khusus dari suatu desa. Namun,
tampaknya hanya berbatas pada tradisi-tradisi yang sifatnya seremonial
kultural. Misalnya, pengakuan terhadap pranata khusus, tradisi-tradisi
khusus, dan penyatuan wilayah desa berdasarkan genealogis masyarakat
yang sama. Salah satu isu penting dan sering luput adalah persoalan konflik
antara hukum negara dan hukum adat desa, terutama dalam pengelolaan
sumber-sumber daya alam. Pengaturan yang ada mendudukkan hukum
negara di atas hukum adat. Cara itu misalnya dilakukan dengan menggunakan frase tidak mengganggu Negara Kesatuan Republik Indonesia atau
bertentangan ketentuan peraturan perundang-undangan.119 Sebenarnya,
masih dimungkinkan untuk mendefinisikan pengakuan hak-hak desa adat
dalam pengelolaan sumber daya alamnya secara operasional. Apalagi,
pengaturan itu mengutamakan kaitannya kearifan lokal dengan penjagaan
fungsi kelestarian lingkungan.
Soal struktur khusus suatu desa atau terminologi lain, seperti Nagari
di Sumatra Barat, sangat mencuat ketika pembahasan undang-undang ini.
Beberapa pihak, terutama pemangku adat Nagari, sampai menyatakan
bahwa UU Desa menghancurkan Nagari.120 Pangkal soalnya adalah
definisi desa dalam UU Desa yang tidak mengakomodasi struktur khusus
seperti Nagari. Satu Nagari yang terdiri dari 10 (sepuluh) desa dianggap
disamakan dengan satu desa dalam UU Desa.
Selain itu, undang-undang ini masih menyisakan berbagai
pertanyaan. Salah satunya adalah mengenai aset desa. Bagaimana
mekanisme penetapan aset desa? Bagaimana jika ada perbenturan dengan
aset desa adat? UU Desa menyatakan bahwa aset desa adalah barang milik
desa yang berasal dari kekayaan desa, dibeli atau diperoleh atas beban
APBDes atau perolehan lainnya yang sah. Pengusaannya diserahkan
kepada kepala desa. Namun, penambahaan atau pelepasannya mesti

119 Pasal 96 UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.


120 http://kpshk.org/artikel/read/2014/02/03/2160/uu-desa-menghancurkan-nagari.
kpshk, diakses pada 2 Mei 2014.

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

109

melalui mekanisme Musyawarah Desa. Begitu juga dalam hal pembangunan kawasan perdesaan, harus melalui Musyawarah Desa.
UU Desa memberikan keleluasaan akan penataan desa. Apakah yang
dimaksud dengan penataan desa? Pembentukan, penghapusan, penggabungan, perubahan status, dan penetapan desa. Pengajuannya melalui
Rancangan Perda yang dibuat oleh Bupati/Walikota. Kemudian, Gubernur
mengevaluasinya, seperti yang tertera dalam pasal ini.
Pasal 15
(1) Rancangan Peraturan Daerah tentang pembentukan, penghapusan,
penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan
atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
yang telah mendapatkan persetujuan bersama Bupati/Walikota dengan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diajukan kepada Gubernur.
(2) Gubernur melakukan evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang
pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status
Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berdasarkan urgensi, kepentingan nasional,
kepentingan daerah, kepentingan masyarakat Desa, dan/atau peraturan
perundang-undangan.

Perlu diperhatikan juga bahwa terjadi tarik-menarik kepentingan antara


Kabupaten/Kota dan Desa dalam mengesahkan Rancangan Perda
penataan desa. Pengesahannya serta-merta diikuti dengan pengalokasian
anggaran paling sedikit 10% dari hasil pajak dan retribusi daerah, juga dana
perimbangan, kepada desa. Maka itu, posisi Gubernur untuk menyetujui
Rancangan Perda menjadi begitu strategis. Bahkan, ada pula pengaturan
yang menyatakan bahwa persertujuan itu tetap berlaku, walaupun belum
disahkan oleh Bupati/Walikota. Hal ini bisa jadi merupakan antisipasi
adanya penundaan pengesahan dari Bupati/Walikota terhadap penataan
desa atau hanya semata menjaga keluangan anggarannya. Pun jika dilihat
dari segi konsep otonomi yang lebih luas, justru hal itu memupuskan peran

110

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

kabupaten sebagai daerah otonom. Ada peran lebih yang diberikan kepada
gubernur yang notabenenya merupakan kepanjangan tangan pemerintah
pusat.
Pasal 16 ayat (5)
Dalam hal Bupati/Walikota tidak menetapkan Rancangan Peraturan
Daerah yang telah disetujui oleh Gubernur, Rancangan Peraturan Daerah
tersebut dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari setelah tanggal persetujuan Gubernur dinyatakan berlaku dengan sendirinya.

Masyarakat Terlibat, Pengesahan Jadi Ajang Kampanye


UU Desa merupakan satu dari jarang kesempatan yang menunjukkan
keterlibatan DPD. Sejak awal, DPD terlihat turut menggiring undangundang ini secara penuh. Pun tidak semua masukannya diterima, terjadi
kesepakatan yang merupakan masukan dari DPD. Inilah bentuk kehadiran
DPD dalam proses legislasi nasional. Ini adalah penegasan eksistensi DPD
lagi setelah UU Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tidak hanya itu, keterlibatan publik juga tercermin dalam
pembahasan. Dimulai sejak dikeluarkannya Surat Presiden tertanggal
4 Januari 2012121 hingga UU Desa disahkan pada 15 Januari 2014.
Undang-undang yang diusulkan Pemerintah itu memakan waktu tidak
sebentar. Lamanya pembahasan itu memungkinkan adanya inisiatif
masyarakat sipil yang cukup intens dalam mengawal proses penyusunan.
Dibentuklah organisasi-organisasi penyalur aspirasi yang menginformasikan, mengkritik, dan menyampaikan aspirasinya kepada DPR. Sebut
saja, Persatuan Perangkat Desa Seluruh Indonesia (PPDI), Relawan
Pemberdayaan Desa Nusantara, Organisasi Gerakan Desa Membangun,
dan Persatuan Rakyat Desa (Parade Nusantara). Bahkan, penyusunan

121 Laporan Ketua Panitia Khusus RUU tentang Desa pada Rapat Paripurna DPR R I
pada 18 Desember 2013.

BAB III. MENGURAI UNDANG-UNDANG

111

RUU Desa ini juga disiarkan melalui radio-radio dan disiarkan hingga
desa-desa oleh Parade Nusantara.
Pun sudah masuk daftar catatan baik, ada yang masih bisa
membuatnya makin apik. Keterlibatan masyarakat belum terlihat dalam
pengawasan dan evaluasi penyelenggaraaan desa dalam undang-undang
tersebut. Karena dipilih langsung, pelaporan juga langsung diberikan
kepada Badan Permusyarawatan Desa. Memang, masyarakat berhak tahu
secara tertulis. Namun, ruang untuk pengawasan publik mesti harus selalu
terbuka. Biar semua awas akan peluang sejahtera.
UU tersebut menyisakan tanya. Partisipasi publik yang patut diberi
acungan juga terasa begitu kebetulan dengan pengesahannya yang dekat
dengan pesta demokrasi 2014. Apalagi, pada hari pengesahannya, semua
nama anggota Pansus diumumkan, diikuti daerah pemilihannya.

BAB IV

POLITIK
NOMOR URUT
LEGISLASI

telah dilakukan analisis terhadap Undangundang per Undang-undang Nonkumulatif Terbuka yang berhasil
disahkan pada 2013. Meski begitu, pembahasan dengan cara membahas
satu per satu undang-undang tentu tidak dapat menyajikan gambaran dan
wacana besar capaian legislasi selama 2013 secara utuh dan menyeluruh.
Terutama mengenai arah, sasaran, serta kebijakan yang hendak dituju oleh
pembentuk undang-undang sebagai aktor utama dalam legislasi. Arah,
sasaran, dan kebijakan ini yang disebut dengan politik legislasi.
Pada bab inilah, dibahas gambaran besar politik legislasi dari semua
undang-undang nonkumulatif terbuka yang berhasil disahkan pada 2013.
Untuk itu, pada bagian awal bab ini, dibahas terlebih dahulu mengenai apa
yang dimaksud dengan politik legislasi. Bagaimana kedudukannya dalam
keseluruhan sistem hukum? Bagaimana pula tujuan dan ruang lingkupnya?
Serta apa kegunaan praksisnya dalam catatan kinerja legislasi DPR ini?
Setelah pembongkaran terhadap politik legislasi dan dihubungkan dengan
undang-undang capaian pada 2013, pembahasan selanjutnya menyusur
topik-topik yang dominan muncul dalam setiap atau sebagian besar
undang-undang.
PADA BAGIAN SEBELUMNYA,

POLITIK LEGISLASI

Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum dengan argumentasi


bahwa [p]olitik adalah juga aktivitas memilih suatu tujuan sosial tertentu.

114

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

Dalam hukum, kita juga berhadapan dengan persoalan yang serupa, yaitu
dengan keharusan untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan
maupun cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan tersebut.
Semua itu termasuk dalam bidang studi politik hukum.122
Lebih lanjut, beliau menjelaskan beberapa pertanyaan yang timbul
dalam studi politik hukum, yaitu:
1. Tujuan apakah yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada?
Tujuan ini bisa berupa satu tujuan besar yang tunggal, bisa juga dipecahpecah ke dalam tujuan-tujuan yang lebih spesifik menurut bidang, seperti
ekonomi, sosial, yang kemudian masih bisa dipecah-pecah dalam tujuantujuan yang lebih kecil lagi.
2. Cara-cara apakah dan yang manakah yang paling baik untuk bisa dipakai
mencapai tujuan tersebut? Termasuk di dalamnya persoalan pemilihan
antara hukum tertulis atau tidak tertulis, antara sentralisasi dan
desentralisasi.
3. Kapankah waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara-cara
bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan?
4. Dapatkah dirumuskan suatu pola yang mapan yang bisa memutuskan kita
dalam proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan
tersebut? Termasuk di dalamnya proses untuk memperbaharui hukum
secara efisien; dengan perubahan total? Dengan perubahan bagian demi
bagian?123

Kemudian, Padmo Wahjono menyatakan bahwa politik hukum adalah


kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang
akan dibentuk.124

122 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm.
398399.
123 Ibid.
124 Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1986, hlm. 160.

BAB IV. POLITIK NOMOR URUT LEGISLASI

115

Bivitri Susanti, dkk mengemukakan bahwa [l]egislasi, yang berarti


proses dan juga produk sekaligus, adalah salah satu mekanisme utama
di dalam sebuah republik untuk mengelola persoalan kenegaraan dan
kemasyarakatan. Legislasi secara keseluruhan menggambarkan kekuatankekuatan yang sedang menggenggam kemudi kekuasaan, arus ide yang
dominan, dan kepentingan-kepentingan politik ekonomi yang dikandungnya, serta akan menuju ke mana rombongan orang banyak dibawa.
Legislasi, dengan begitu, tak bisa mengelak dari konteks yakni bagian dari
pergulatan politik dalam suatu ruang dan waktu yang spesifik.125
Selanjutnya, Moh. Mahfud MD mendefinisikan politik hukum
sebagai legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan
diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Dengan
demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang
akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan
dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk
mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam Pembukaan
UUD NRI 1945.126
Lebih lanjut, beliau menyatakan bahwa politik hukum itu ada yang
bersifat permanen atau jangka panjang dan ada yang bersifat periodik.
Yang bersifat permanen, misalnya pemberlakuan prinsip pengujian
yudisial, ekonomi kerakyatan, keseimbangan antara kepastian hukum,
keadilan, dan kemanfaatan, penggantian hukum-hukum peninggalan
kolonial dengan hukum-hukum nasional, penguasaan sumber daya alam
oleh negara, kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dan sebagainya. Adapun,
yang bersifat periodik adalah politik hukum yang dibuat sesuai dengan
perkembangan situasi yang dihadapi pada setiap periode tertentu baik yang
akan memberlakukan maupun yang akan mencabut, misalnya rencana
pembuatan undang-undang yang dicantumkan di dalam Prolegnas.127
125 Bivitri Susanti dkk, Catatan PSHK tentang Kinerja Legislasi DPR 2005, Pusat Studi
Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2006, Jakarta, hlm. 14.
126 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 1.
127 Ibid, hlm. 3.

116

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

Legislasi adalah proses pembentukan undang-undang sekaligus


undang-undang itu sendiri. Ia adalah proses sekaligus juga produk.
Legislasi adalah satu bagian dari keseluruhan sistem hukum yang secara
spefisik membahas proses pembentukan serta substansi undang-undang.
Dengan demikian, dapat diperoleh pengertian bahwa politik legislasi juga
merupakan subpembahasan dari politik hukum sehingga landasan epistemologis dalam kajian politik hukum juga menjadi dasar yang sama bagi
kajian politik legislasi.128
Wujud dari politik legislasi dapat ditemui pada Prolegnas yang
merupakan instrumen perencanaan program pembentukan undangundang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.129
Prolegnas disusun dengan berdasar pada:
UUD NRI 1945;
TAP MPR RI;
a. perintah undang-undang lainnya;
b. sistem perencanaan pembangunan nasional;
c. rencana pembangunan jangka panjang nasional;
d. rencana pembangunan jangka menengah;
e. rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; dan
f. aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.

Dari delapan sumber tersebut, enam yang disebut pertama telah ditetapkan
sebelumnya atau dengan kata lain merupakan patokan objektif selama tidak
ada amandemen atasnya. Sementara itu, dua yang disebut terakhir berada
di tangan DPR dan Presiden. DPR berwenang memformulasi dua hal, yaitu
Rencana Strategis (Renstra) dan sebagai implementasi fungsi representasi
yang dimilikinya berwenang menangkap aspirasi dan kebutuhan hukum
masyarakat. Presiden, beserta jajaran di bawahnya, menyusun Rencana
128 Rachmad Maulana Firmansyah, Fondasi Tahun Politik, Op.cit, hlm. 128.
129 Pasal 1 angka 9 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.

117

BAB IV. POLITIK NOMOR URUT LEGISLASI

Kerja Pemerintah (RKP) yang tak lain merupakan penjabaran spesifik dari
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).130
Dengan karakter yang lebih dinamis dan spesifik, RKP, Renstra DPR,
dan aspirasi masyarakat adalah hal yang menjadi dasar dalam menentukan
politik legislasi pada tahun tertentu. Selain itu, yang juga dijadikan pertimbangan adalah pelaksanaan Prolegnas pada tahun sebelumnya.
ARAH DAN KEBIJAKAN LEGISLASI 2013

Pada 2013, politik legislasi yang tercermin melalui Prolegnas, dapat


ditelusuri melalui tiga sumber, yaitu Rencana Kerja Pemerintah (RKP),
aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat, serta pelaksanaan Prolegnas
tahun sebelumnya (2012). Dalam Buku II RKP 2013 yang telah dimaktubkan dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2012 beserta lampirannya,
dimuat beberapa aspek yang dijadikan sasaran dalam bidang hukum.
Inilah yang dikatakan dengan arah dan kebijakan legislasi 2013, yaitu:
a. memperkuat kelembagaan dan meningkatnya kinerja di bidang hukum
dengan sarana dan prasarana yang memadai serta mendukung kinerja
lembaga sesuai dengan fungsi masing-masing;
b. mewujudkan pemenuhan, perlindungan, penghormatan HAM melalui
keterbukaan akses masyarakat terhadap keadilan di beberapa bidang
(termasuk pemberian bantuan hukum bagi masyarakat miskin);
c. menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN;
d. meningkatnya kualitas pelayanan publik; dan
e. meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi.

DPR dan Presiden kemudian menurunkan arah dan kebijakan legislasi di


atas dalam Prolegnas Prioritas 2013. Sebanyak 70 (tujuh puluh) rancangan
undang-undang dijadikan prioritas. Rancangan undang-undang itu
setidak-tidaknya dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu:
130 Rachmad Maulana Firmansyah, Fondasi Tahun Politik, Op.cit, hlm. 129.

118

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

KELOMPOK

JUMLAH

KELOMPOK

JUMLAH

PERTAHANAN DAN

POLITIK

INFRASTRUKTUR

KELEMBAGAAN NEGARA

KEWILAYAHAN

PENGELOLAAN SDA

REFORMASI BIROKRASI

PENDIDIKAN DAN

KEAMANAN

KEBUDAYAAN
HUKUM DAN HAM

13

INFORMASI DAN

TEKNOLOGI
PETERNAKAN DAN

AGAMA

PERTANIAN
KESEHATAN

10

PERTANAHAN

KEUANGAN

PEMILIHAN UMUM

INDUSTRI DAN

PERDAGANGAN

Dari sisi penyusunan Prolegnas Prioritas 2013, patut diakui bahwa


sudah ada korelasi antara arah dan kebijakan legislasi yang ingin dituju
dengan rancangan undang-undang yang dijadikan prioritas. Rancangan
undang-undang prioritas bidang hukum dan HAM secara kuantitas
tampak mendominasi dengan jumlah 13 (tiga) belas rancangan undangundang. Hal ini tampak sejalan dengan poin a dan b arah dan kebijakan
legislasi 2013, yaitu: (a)memperkuat kelembagaan dan meningkatnya
kinerja di bidang hukum dengan sarana dan prasarana yang memadai
serta mendukung kinerja lembaga sesuai dengan fungsi masing-masing
dan (b)mewujudkan pemenuhan, perlindungan, penghormatan hak asasi
manusia. Apabila ditelusur lebih rinci, pada Prolegnas Prioritas 2013,
turut juga dicantumkan undang-undang yang berkaitan dengan kelembagaan hukum dan juga hak asasi manusia, seperti RUU Mahkamah Agung,
Kejaksaan Agung, Hak Asasi Manusia, dan sebagainya.
Begitu juga kesesuaian Prolegnas Prioritas 2013 dengan poin e arah
dan kebijakan legislasi 2013, yaitu meningkatnya kapasitas dan akunta-

BAB IV. POLITIK NOMOR URUT LEGISLASI

119

bilitas kinerja birokrasi. Dalam rancangan undang-undang prioritas 2013,


turut dibahas tiga undang-undang yang berkaitan dengan hal tersebut,
yaitu UU Aparatur Sipil Negara (ASN), UU Administrasi Kependudukan,
dan UU Administrasi Pemerintahan.
Meski demikian, tidak juga salah untuk tidak terburu-buru menilai
bahwa politik legislasi 2013 pada tahap perencanaan sudah jelas dan
terarah. Apabila melihat lebih jauh Prolegnas Prioritas 2013, terdapat
beberapa kelompok rancangan undang-undang yang tidak disebut dalam
arah dan kebijakan legislasi 2013. Namun, rancangan undang-undang
itu menempati posisi dengan jumlah yang signifikan, seperti kelompok
kesehatan (10 rancangan undang-undang), keuangan (9 rancangan
undang-undang), dan kewilayahan (7 rancangan undang-undang).
Dari sisi pencapaian, kesenjangan antara arah dan kebijakan
legislasi dalam Prolegnas Prioritas 2013 dengan undang-undang yang
berhasil disahkan pada 2013 tampak semakin jauh. Pengecualian dapat
dialamatkan pada UU Administrasi Kependudukan dan UU ASN yang
berhasil disahkan pada 2013. Kedua undang-undang ini ditujukan untuk
memenuhi salah satu arah dan kebijakan legislasi 2013, yaitu meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Meski demikian,
terpenuhinya poin arah dan kebijakan legislasi tersebut tidak selalu
menjadi jaminan bahwa materi muatan maupun implementasinya sesuai
dengan hal ideal yang ingin dituju oleh undang-undang tersebut.
Pada capaian 2013, undang-undang pemekaran wilayah menempati
posisi pertama secara kuantitas. Diikuti dengan undang-undang yang
berkaitan dengan APBN. Sebagaimana telah dibahas pada bab I, tidak ada
kelompok undang-undang tertentu yang mendominasi capaian legislasi
2013. Dengan demikian, dari sisi pencapaian, juga tidak jelas keberadaan
undang-undang capaian 2013 untuk menjawab arah dan kebijakan yang
mana. Prolegnas yang seharusnya menjadi instrumen perencanaan yang
terpadu sekaligus mencerminkan arah dan kebijakan legislasi, pada pelaksanaannya hanya menjadi daftar nomor urut undang-undang.

120

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

CAPAIAN LEGISLASI 2013

INFORMASI DAN
TEKNOLOGI

PEMEKARAN
WILAYAH

5%
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

18%

5%

PENGELOLAAN SDA 5%
KELEMBAGAAN NEGARA 4%
POLITIK 4%

APBN

14%

INDUSTRI DAN
PERDAGANGAN

9%
KEWILAYAHAN
PETERNAKAN
DAN PERTANIAN

9%

9%
HUKUM

9%

REFORMASI
BIROKRASI

9%

NO

KELOMPOK

JUMLAH

PEMEKARAN WILAYAH

APBN

KEWILAYAHAN

REFORMASI BIROKRASI

HUKUM

PETERNAKAN DAN PERTANIAN

INDUSTRI DAN PERDAGANGAN

POLITIK

KELEMBAGAAN NEGARA

10

PENGELOLAAN SDA

11

PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

12

INFORMASI DAN TEKNOLOGI

BAB IV. POLITIK NOMOR URUT LEGISLASI

121

Dari pemaparan di atas, baik dari sisi perencanaan maupun pencapaian,


masih diragukan adanya arah dan kebijakan atau politik legislasi yang
jelas pada 2013. Namun, setidak-tidaknya dalam beberapa undang-undang
didapatkan wacana dominan yang melintasi. Berikut adalah beberapa topik
atau tren yang dapat ditarik dari 12 (dua belas) undang-undang nonkumulatif terbuka yang berhasil disahkan pada 2013.
PERAN PEMERINTAH YANG SEMAKIN KUAT

Penguatan peran negara salah satunya dapat dilakukan melalui


penambahan maupun penguatan kewenangan lembaga negara. Penguatan
tersebut dapat dipecah menjadi beberapa kriteria, yaitu (i)pembentukan
lembaga negara baru, (ii)pemberian kewenangan baru kepada lembaga
yang sudah ada, dan (iii)penguatan terhadap kewenangan yang sudah ada
sebelumnya.
Dari 12 (dua belas) undang-undang nonkumulatif terbuka yang
berhasil disahkan pada 2013, kami mencatat semuanya memberikan
penguatan terhadap kewenangan lembaga negara. Dalam hal ini, pihak
yang menjadi semakin kuat adalah Pemerintah. Beberapa di antaranya,
seperti UU Administrasi Kependudukan, diadakan penambahan
kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri dalam mengelola data dan
memberikan izin penggunaan data kependudukan. Kemudian, dalam UU
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, penguatan diberikan
kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terkait pemberian izin
lokasi dan izin pengelolaan perairan pesisir. Hal yang kurang lebih sama
juga terjadi pada UU Pemberantasan Perusakan Hutan, Pemerintah
berposisi sebagai pemberi izin bagi masyarakat untuk mengambil hasil
hutan. Selanjutnya, pada UU Ormas yang mendapat kewenangan dalam
penindakan terhadap organisasi kemasyarakatan adalah Menteri Dalam
Negeri. Secara garis besar, Pemerintah diberikan peran yang semakin kuat.
Pada prinsipnya, peran negara yang semakin kuat tidak menjadi
masalah sepanjang ditujukan untuk kemanfaatan warga negara. Namun,

122

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan peran negara yang


semakin kuat, maka pemenuhan hak warga negara juga akan mengikuti?
Beberapa undang-undang dapat dijadikan contoh untuk menjawab
pertanyaan itu. Sebut saja, UU Administrasi Kependudukan. Undangundang itu pada awalnya dibentuk sebagai upaya pemenuhan hak warga
negara dalam bidang kependudukan. Tetapi, materi muatannya justru lebih
terlihat sebagai upaya kontrol oleh negara. Masih ada pengaturan yang
sangat berpotensi bertentangan dengan pemenuhan hak warga negara.
Misalnya, dalam undang-undang itu, masih ada stigma terhadap anak
yang lahir dari orang tua yang menikah di luar status perkawinan yang sah
menurut agama dan negara. Selain itu, juga masih terdapat stigma terhadap
penyandang disabilitas dengan menggunakan rumusan penyandang
cacat, juga masih terdapat pemberian stigma tertentu terhadap pemeluk
aliran kepercayaan.
Selanjutnya, terdapat UU Ormas yang dari materi pengaturannya
jelas bukan ditujukan untuk mewadahi kebebasan berkumpul dan
berserikat warga negara. Namun, sebagai upaya memberikan legitimasi
kepada Pemerintah untuk melakukan kontrol terhadap warga negara.
Belum lagi daftar terduga teroris dalam UU Pemberantasan Pendanaan
Terorisme, yang selain bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah,
juga berpotensi merenggut kemerdekaan warga negara secara sepihak.
Dengan demikian, jelas sudah pemenuhan hak warga negara tidak
berbanding lurus dengan diperkuatnya kewenangan Pemerintah.
DAMPAK BAGI ANGGARAN NEGARA

Sebagian besar undang-undang capaian 2013 memberi dampak bagi


anggaran negara. Undang-undang yang sangat mencolok memberi
dampak adalah UU Desa. Pasal 72 ayat (1) huruf b UU Desa menyatakan
bahwa pendapatan desa salah satunya bersumber dari alokasi anggaran
pendapatan dan belanja negara. Alokasi anggaran itu bersumber dari
Belanja Pusat dengan besaran alokasi anggaran yang peruntukannya
langsung ke desa ditentukan 10% dari dan di luar dana transfer daerah (on

BAB IV. POLITIK NOMOR URUT LEGISLASI

123

top) secara bertahap. Ini belum termasuk beban anggaran yang dikeluarkan mengikuti pembentukan desa-desa baru.
Selain itu, pada UU Petani, potensi adanya dampak terhadap
anggaran negara juga cukup besar. Pasal 55 ayat (1) UU Petani menyatakan
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban memberikan jaminan
ketersediaan lahan pertanian. Selain itu, menurut Pasal 37 UU Petani,
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban melindungi usaha tani
dalam bentuk asuransi pertanian. Sumber pembiayaan preminya berasal
dari APBN dan APBD. Dalam Naskah Akademik UU Petani, sudah
dilakukan perhitungan. Sekitar Rp16 triliun harus dialokasikan negara
secara serentak di seluruh Indonesia. Ini dengan asumsi premi yang akan
dibayarkan sebesar Rp500.000 per sekali musim tanam. Perlu dicatat,
kalkulasi ini dilakukan pada 2009, yang apabila dibandingkan dengan
kondisi hari ini mungkin saja jumlahnya bertambah besar.
Sumber pendanaan kegiatan keantariksaan, sesuai yang tertulis
pada Pasal 89 UU Keantariksaan, berasal dari APBN, hibah, swasta, dan
kerja sama internasional. Hal ini juga dipastikan mempengaruhi anggaran
negara, mengingat penyelenggaraan keantariksaan bukanlah sesuatu
yang mudah dan murah. Begitu juga dengan kewajiban Pemerintah untuk
mengembangkan penelitian, tata laksana, dan kelembagaan keantariksaan.
Pada UU Administrasi Kependudukan hanya dicantumkan secara
umum bahwa pendanaan penyelenggaraan program dan kegiatan administrasi kependudukan dianggarkan dalam APBN. Begitu juga dengan UU
Ormas, yang menyatakan bahwa sumber keuangan Ormas berasal dari
APBN atau APBD. Pendanaan Pendidikan Kedokteran menjadi tanggung
jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah dan telah dialokasikan pula
dalam APBN dan APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
UU ASN juga memberi dampak yang signifikan pada APBN.
Pembiayaan mutasi Pegawai Negeri Sipil (PNS), pembentukan dan operasional Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), dan gaji PNS Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah dibebankan pada APBN dan APBD. Selain
itu, pada UU Administrasi Kependudukan dan UU ASN, potensi dampak

124

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

bagi anggaran negara, juga akan dipengaruhi oleh pembentukan sistem,


yaitu sistem kependudukan dan sistem kepegawaian. Kebutuhan peralatan
teknologi tentu cukup dominan dalam membangun sistem tersebut.
Pada UU Pemberantasan Perusakan Hutan, UU Notaris, dan UU
Perindustrian, potensi dampak bagi anggaran negara dapat dilihat dari
adanya pembentukan lembaga baru. Tentunya setiap lembaga baru
membutuhkan anggaran, baik dalam pembentukan maupun dalam pelaksanaan tugasnya. Misalnya, dalam melaksanakan tugasnya, Lembaga
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan membebankan diri
kepada APBN.
SANKSI YANG TETAP BERAT

Dari keseluruhan undang-undang nonkumulatif terbuka yang berhasil


disahkan pada 2013, terdapat pengaturan mengenai sanksi. Meski
demikian, bentuk dan jenis sanksinya cukup beragam. Jenis sanksi yang
dapat ditemui adalah sanksi administratif, pidana (penjara dan/atau
denda), maupun perdata. Pada beberapa undang-undang, seperti UU ASN,
UU Desa, UU Notaris, dan UU Ormas, hanya ditemui sanksi administratif. Ini adalah hal yang patut diapresiasi. Bukan tanpa sebab, pola pikir
bahwa dalam undang-undang wajib mencantumkan sanksi pidana masih
cukup melekat.
Tren sanksi pada undang-undang nonkumulatif terbuka capaian
2013 cukup menarik untuk diperhatikan, terutama sanksi pidana. Hal
tersebut dapat dilihat dari besaran dan jenis perumusan sanksinya. Kami
mengasumsikan bahwa perumusan secara kumulatif (menggunakan dan)
lebih berat daripada alternatif (menggunakan dan/atau atau atau). UU
Pemberantasan Perusakan Hutan adalah undang-undang yang paling
banyak memuat perumusan sanksi secara kumulatif. Terdapat 56 (lima
puluh enam) pasal yang memuat sanksi dengan perumusan kumulatif.
Meskipun perumusannya tidak selalu menggunakan kata dan melainkan
kata serta. Selain itu, dalam UU Pemberantasan Perusakan Hutan, UU

BAB IV. POLITIK NOMOR URUT LEGISLASI

125

Keantariksaan, dan UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme terdapat


sanksi paling berat 20 (dua puluh) tahun maupun seumur hidup.
Untuk besaran denda, dari keseluruhan undang-undang nonkumulatif terbuka capaian 2013, nominal yang paling sedikit adalah Rp500.000
(lima ratus ribu), yaitu pada UU Ormas. Sementara besaran denda
yang paling besar adalah Rp5.000.000.000.000 (lima triliun) pada UU
Keantariksaan.
Selain besaran dan jenis sanksi, terdapat beberapa catatan terkait
dengan perumusan sanksi. Beberapa undang-undang, seperti UU
Pemberantasan Perusakan Hutan, UU Pemberantasan Pendanaan
Terorisme, dan UU Keantariksaan memuat sanksi penjara maksimal 20
(dua puluh) tahun. Apabila dibenturkan dengan Pasal 12 Kitab UndangUndang Hukum Pidana, pidana penjara paling singkat adalah 1 (satu) hari
dan paling lama adalah 15 (lima belas) tahun. Penjatuhan pidana penjara
20 (dua puluh) tahun adalah pilihan bagi hakim apabila terdapat ancaman
pidana mati atau seumur hidup. Batas 15 (lima belas) tahun penjara hanya
bisa dilampaui apabila ada pemberatan hukuman.
Perumusan sanksi pidana yang tidak jelas juga ditemui dalam
UU Pemberantasan Perusakan Hutan. Terjadi penyamarataan kualifikasi tindak pidana akibat cara perumusannya yang menggabungkan
beberapa perbuatan dalam satu pasal, sementara ancaman pidananya tidak
berbeda. Hal ini juga terdapat dalam jenis sanksi administratif pada UU
Keantariksaan, yang terdapat penggabungan sanksi administratif antara
orang per orangan dan korporasi.
PENGARUH PERJANJIAN INTERNASIONAL

Beberapa undang-undang nonkumulatif terbuka capaian 2013, baik dalam


naskah akademik, undang-undang, maupun dalam proses pembahasan,
mencantumkan perjanjian internasional baik yang sudah diratifikasi
maupun belum sebagai landasan pembentukannya. Undang-undang
itu adalah UU Keantariksaan, UU Perindustrian, UU Pemberantasan

126

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

Perusakan Hutan, UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme, dan UU


Petani.
Hal ini bukan berarti tidak baik. Namun, seakan menjadi penanda.
Bahwa pada era ini, pembentukan hukum nasional tidak berdiri sendiri.
Sedikit-banyak akan terpengaruh oleh perkembangan hukum dan politik
di tingkat internasional.
PIHAK YANG MENGUSULKAN

Tahun ini, inisiatif pengusulan rancangan undang-undang oleh DPR


maupun Pemerintah muncul secara berimbang. Ada 6 (enam) undangundang yang diusulkan oleh DPR. Undang-undang yang dimaksud adalah
UU Pendidikan Kedokteran, UU Ormas, UU Pemberantasan Perusakan
Hutan, UU Notaris, UU Petani, dan UU ASN. Pemerintah juga mengusulkan undang-undang dengan jumlah yang sama. Keenamnya yaitu UU
Keantariksaan, UU Desa, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil, UU Perindustrian, UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme,
dan UU Administrasi Kependudukan. Pun demikian, patut diperhatikan juga banyaknya undang-undang luncuran pada 2013. Terdapat 10
(sepuluh) dari 12 (dua belas) undang-undang yang disahkan pada 2013
yang merupakan luncuran dari Prolegnas tahun sebelumnya.
KETERLIBATAN DPD

Isu akan pengerdilan DPD oleh DPR sudah didengungkan sebelumnya.


Apalagi, ada fenomena pengajuan judical review oleh beberapa anggota DPD
kepada MK terkait dengan dengan kewenangan DPD dalam pengusulan
dan pembahasan rancangan undang-undang pada 2012.131 Pengabulan
judicial review itu tampaknya menunjukkan sedikit perubahan. Sedikit
belum tentu tak berarti. Meski masih ada perdebatan mengenai seberapa
jauh DPD dapat terlibat dalam pembahasan suatu undang-undang.

131 Rachmad Maulana Firmansyah, Tahun Fondasi Politik, Op. cit, hlm. 146147.

BAB IV. POLITIK NOMOR URUT LEGISLASI

127

DPD mulai terlibat dalam pembahasan undang-undang yang


dibahas oleh DPR. Memang belum sebagian besar, tetapi setidaknya DPD
terlibat dalam pembahasan 3 (tiga) dari 12 (dua belas) undang-undang
yang disahkan pada 2013, yaitu UU Keantariksaan, UU Desa, dan UU
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dua undang-undang
yang disebutkan terakhir jelas terkait dengan daerah.
Bagaimana dengan UU Keantariksaan? Ternyata, UU Keantariksaan
juga memberikan peran terhadap daerah, terlebih pulau-pulau kecil atau
daerah-daerah terpencil. Hal-hal yang diatur dalam UU Keantariksaan
sangat mempengaruhi sistem komunikasi antarpulau atau antardaerah
terpencil itu.
Secara garis besar, 3 (tiga) dari 12 (dua belas) undang-undang
memang masih terhitung kecil. Pun kecil, bukan berarti tidak ada. Dan, ini
bisa jadi awal mula dari hubungan DPR dan DPD yang membaik sehingga
keterlibatan DPD dalam pembahasan undang-undang semakin nyata.
Ini menjadi catatan penting karena keterlibatan mereka juga merupakan
bentuk penyaluran aspirasi masyarakat.
KETERLIBATAN PUBLIK

Keterlibatan publik merupakan hubungan timbal balik. Bukan soal siapa


jemput siapa, ini adalah antar-jemput. DPR dapat melakukan inisiatif
untuk melibatkan publik. Begitu pun dengan publik. Ada hak kita untuk
turut terlibat dalam pembahasan peraturan yang tentu berpengaruh bagi
hak kita sebagai warga negara.
Dari pembahasan 12 (dua belas) undang-undang nonkumulatif
terbuka capaian 2013, 8 (delapan) di antaranya sudah menunjukkan adanya
keterlibatan publik. Keterlibatan publik bisa dilihat dari dua sisi: inisiatif
DPR dan/atau inisiatif masyarakat. Bentuk keterlibatan yang dilakukan
oleh DPR, misalnya adalah Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan
kunjungan kerja. Dalam RDPU, kelompok yang dianggap dapat mewakili
masyarakat diundang untuk menyampaikan aspirasinya dalam rangka
pembahasan suatu undang-undang. Beda halnya dengan kunjungan kerja.

128

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

Itu adalah saatnya anggota DPR semacam menjemput bola; menghampiri


masyarakat dan melihat langsung apa yang terjadi sebagai pengalaman
untuk merangsang persepsi saat pembahasan. Sementara itu, bentuk keterlibatan publik yang diinisiasi oleh masyarakat juga beragam macamnya.
Ada diskusi, unjuk rasa, hingga judicial review. Bahkan, penyampaian
aspirasi melalui media juga tidak jarang dilakukan.
Pertanyaannya kemudian, siapakah yang dimaksud dengan publik
yang dilibatkan dalam pembahasan undang-undang capaian 2013? Secara
garis besar, publik yang dilibatkan adalah akademisi yang berasal dari
berbagai universitas dan juga organisasi ataupun kelompok masyarakat.
Organisasi yang dimaksud, sebagai contoh, adalah Persatuan Perangkat
Desa Seluruh Indonesia (PPDI), Relawan Pemberdayaan Desa Nusantara
(RPDN), Organisasi Gerakan Desa Membangun (GDM), dan Persatuan
Rakyat Desa (Parade Nusantara) yang aktif dalam memantau pembahasan
UU Desa. Bahkan, dikabarkan pula perkembangan pembahasannya
melalui jaringan radio yang dimiliki Parade Nusantara ke pelosok desa.
Dalam pembahasan UU Notaris, Ikatan Hakim Indonesia dan
Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal diundang dalam RDPU
sebagai bentuk keterlibatan publik. Sementara itu, ada pula keterlibatan
kelompok masyarakat sipil. KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan
Perikanan) sering merespons pembahasan UU Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dan, keterlibatan Koalisi Kebebasan
Berserikat (KKB) juga sangat aktif. Koalisi itu beberapa kali diundang
dalam RDPU dan juga turut menyuarakan pendapatnya melalui berbagai
medium hingga melakukan uji materi UU Ormas ke MK.
Partisipasi dan keterlibatan publik dalam pembahasan undangundang selama 2013 pun bermacam-macam. Ada keterlibatan penuh dari
publik hingga mengajukan judicial review. Terdapat 4 (empat) dari 12 (dua
belas) undang-undang nonkumulatif terbuka capaian 2013 yang diajukan
untuk ditinjau ulang di MK. Diskusi antarpihak pun juga terjadi dalam
RDPU. Pemberian informasi oleh DPR, begitu pun masyarakat, yang

BAB IV. POLITIK NOMOR URUT LEGISLASI

129

dilakukan melalui media juga terjadi. Dapat dikatakan, keterlibatan publik


memang tergambar selama 2013. Meskipun pelibatan yang diinisiasi oleh
DPR belum terdokumentasi dengan baik dalam laporan-laporannya.
Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah seberapa jauh derajat
keterlibatan publik dalam pembahasan undang-undang selama 2013?
Sampai titik mana aspirasi masyarakat dapat diakomodasi? Bagaimana
teknik mengelola aspirasi masyarakat tersebut hingga menjadi wacana
yang penting dibicarakan dalam pembahasan suatu undang-undang?
Adanya 4 (empat) undang-undang yang diuji materi ke MK merupakan
salah satu gambaran bahwa saluran aspirasi dari masyarakat buntu dan
tidak diakomodasi oleh pembentuk undang-undang. Selain itu, jelas ada
pertentangan antara apa yang dibicarakan pembentuk undang-undang dan
apa yang dibicarakan oleh masyarakat.
PEMBENTUKAN LEMBAGA BARU

Pembentukan lembaga baru yang dilakukan melalui undang-undang


memang sudah menjadi kebiasaan DPR.132 Tahun ini juga tidak luput dari
hal itu. Ada 4 (empat) undang-undang yang mengamanatkan pembentukan lembaga baru: UU Pemberantasan Perusakan Hutan, UU Notaris,
UU Perindustrian, dan UU ASN.
Kita kulik garis besarnya satu per satu. UU Pemberantasan
Perusakan Hutan melahirkan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan (LP3H). Namanya sudah cukup menjelaskan fungsinya.
UU Notaris juga mengamanatkan pembentukan lembaga baru, namanya
Majelis Kehormatan Notaris. Salah satu fungsi lembaga itu adalah
memberikan persetujuan terkait pembukaan dokumen kenotariatan.
Kemudian, lembaga baru terkait pembiayaan adalah Lembaga Pembiayaan
Pembangunan Industri yang diamanatkan oleh UU Perindustrian.
132 Fajri Nursyamsi dkk, Catatan Kinerja DPR 20102011: Legislasi: Aspirasi atau
Transaksi? Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2012.

130

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

Terakhir adalah lembaga baru yang dilahirkan dari UU ASN, yaitu KASN.
Salah satu tugasnya adalah untuk melakukan pengawasan dan evaluasi
terhadap pelaksanaan tugas aparatur sipil negara.
Catatan yang patut diperhatikan terkait pembentukan lembaga
baru adalah pembentukan KASN. Seperti yang sudah dijelaskan dalam
bab sebelumnya, pembentukannya diamanatkan melalui undang-undang
tersendiri di luar UU ASN.
WAKTU PEMBAHASAN

Waktu sering kali menjadi isu utama dalam melakukan penilaian undangundang. Cepat atau lambatnya proses pembahasan seakan-akan menjadi
patokan kualitas kinerja DPR. Tentu alat ukurnya sudah ada. Pasal 141
Tata Tertib DPR sudah menetapkan jangka waktu maksimal 3 (tiga) kali
masa sidang (kira-kira sembilan bulan) untuk proses pembahasan. Apabila
merujuk pada Bab III, kita bisa melihat sebuah tren yang mengarah
kepada proses pembahasan yang memakan waktu cukup lama. Sebagai
catatan, dalam menghitung lamanya waktu pembahasan, perhitungan
yang dilakukan oleh PSHK adalah mulai dari titik penandatanganan Surat
Presiden (Surpres).
Dari 12 (dua belas) undang-undang yang dikaji, 8 (delapan)
diantaranya termasuk yang memakan waktu cukup lama dalam proses
pembahasan. UU Keantariksaan, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme, dan UU
Administrasi Kependudukan bahkan melebihi batas waktu pembahasan
yang sudah ditetapkan.
Alasan pun beragam, dari karena ramainya pelibatan pihak eksternal,
adanya pembentukan lembaga baru hingga hambatan secara internal. Pada
UU Pendidikan Kedokteran, misalnya; DIM dibahas ulang secara internal
oleh Pemerintah.
Perlu diangkat sejumlah anomali yang terjadi saat pembahasan
undang-undang pada 2013. Salah satunya, UU Keantariksaan. Walau
prosesnya cepat, ternyata alasan di baliknya adalah Panitia Kerja (Panja)

131

BAB IV. POLITIK NOMOR URUT LEGISLASI

tidak secara utuh menguasai permasalahan dalam dunia keantariksaan.


Peran kunci Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
membantu proses akselerasi pembahasan.
Di sisi lain, cepatnya proses juga dapat dipantau secara detil. UU
Pencegahan Pendanaan Terorisme ternyata karena Pemerintah dan DPR
membahasnya secara tertutup, tanpa pelibatan masyarakat. Di mana hak
berperan masyarakat kalau begitu?
Ada juga undang-undang kontroversial yang lambat prosesnya;
UU Ormas. Alasannya penolakan fraksi yang tak kunjung menghasilkan
musyawarah untuk mufakat. Tapi perlu diingat, alasan itu juga hadir karena
desakan masyarakat yang dengan sikap tegas menolak adanya UU Ormas.
Memang, proses itu penting untuk dipantau karena waktu memang sangat
berharga. Lebih dari itu, substansi yang dihasilkan tentunya akan terpengaruh. Terjadinya variasi alasan cepat atau lambatnya waktu pembahasan
menjadi menarik untuk ditinjau kembali.
SISTEM PEMBAHASAN

Dari 12 (dua belas) undang-undang nonkumulatif terbuka yang dihasilkan


pada 2013, 4 (empat) di antaranya menggunakan metode pembahasan
dengan pengelompokan atau klustering. Mereka adalah UU Desa, UU
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU Notaris, dan
UU Perindustrian. Tujuan metode klustering ini cukup beralasan.
Waktu sering kali menjadi problema pembahasan. Tentu, para perancang
undang-undang ingin sesegera mungkin menyelesaikan tugas mereka
tanpa mengurangi bobot substansi yang harus dihasilkan. Dengan
metode klustering, ada pembagian tugas dalam membahas DIM. Dengan
melakukan kategorisasi terhadap DIM, diharapkan tim pembahas bisa
lebih fokus pada substansi. Seperti yang terjadi pada UU Notaris, terjadi
pembagian tim. Untuk DIM yang bersifat redaksional, pembahasannya
diserahkan kepada tim perumus dan tim sinkronisasi. Sementara DIM
yang mengandung bobot substantif, ditangani oleh Panitia Kerja.

132

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

Walau pada akhirnya tujuan akselerasi pembahasan belum berhasil,


penggunaan metode ini patut diapresiasi. Melihat undang-undang yang
dihasilkan pada 2013, hanya satu yang berhasil menerapkan metode ini.
Kami katakan berhasil karena sesuai tujuan; selesainya pembahasan
dalam jangka waktu yang tidak melewati 3 (tiga) kali masa sidang. UU
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil adalah undang-undang
yang dimaksudkan. Walau baru satu, adanya tren penggunaan metode ini
pada 2013 merupakan kabar gembira. Pada dasarnya, kami mendukung
metode klustering karena membuka ruang untuk hal-hal substantif dibahas
secara terfokus dengan waktu yang juga terjaga. Tentu saja, inovasi ini akan
lebih efektif apabila urusan redaksional dan teknis tidak lagi dikerjakan
oleh anggota DPR melainkan tenaga ahli.
MONITORING DAN EVALUASI

Tentunya dalam rangka mendorong substansi maupun pelaksanaan


peraturan ke arah yang lebih baik, diperlukan pengaturan mengenai
monitoring dan evaluasi. Hal ini tidak lepas dari kebutuhan adanya
feedback bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan penyempurnaan peraturan dari waktu ke waktu agar sesuai dengan tantangan
kekinian.
Sebelas undang-undang nonkumulatif terbuka capaian 2013 hanya
sebatas memiliki sistem pengawasan yang titik beratnya diletakkan pada
pelaksanaan satu atau beberapa fungsi tertentu dalam undang-undang.
Misalnya, dalam pengawasan pelaksanaan sistem aparatur sipil negara
diberikan kepada KASN. Namun, UU Pendidikan Kedokteran tidak
memiliki pengaturan mengenai monitoring dan evaluasi sama sekali, baik
dalam konteks penyempurnaan peraturan maupun pelaksanaan fungsi
tertentu. Lalu, bagaimana cara mengukur pengimplementasian suatu
undang-undang kalau tidak disediakan mekanisme untuk mengevaluasinya? Padahal, suatu undang-undang harus dipastikan dapat berjalan
dengan efektif dan tepat sasaran.

BAB IV. POLITIK NOMOR URUT LEGISLASI

133

PENDELEGASIAN KEWENANGAN

Undang-undang telah disahkan. Langkah selanjutnya adalah pembentukan peraturan pelaksana, yang akan mengatur hal-hal teknis dan detil.
Tanpanya, hal-hal yang diatur dalam undang-undang seakan berdiam saja
tanpa ada penggerak. Dan, kalaupun bergerak, potensi benturan antarpelaksana undang-undang dalam implementasi akan terbuka lebar.
Semakin banyak sebuah undang-undang mengamanatkan pembentukan peraturan pelaksana, semakin banyak pekerjaan rumah yang
harus segera diselesaikan oleh lembaga perancang peraturannya. Pada
2013, terdata sebanyak 5 (lima) jenis peraturan pelaksana ditambah satu
kategori tambahan. Mereka adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan
Menteri, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota. Kategori tambahan yang kami maksud adalah
peraturan lain-lain yang spesifik tertera dalam undang-undang tertentu,
yaitu Peraturan Lembaga dalam UU Keantariksaan dan UU ASN serta
Peraturan Bersama Kepala Desa dalam UU Desa.
Jumlah dari keseluruhan peraturan pelaksana dari undang-undang
nonkumulatif terbuka capaian 2013 berjumlah 153 (seratus lima puluh
tiga) peraturan. Apabila dirata-ratakan, berjumlah 12,75 peraturan
pelaksana per undang-undang. Kami bulatkan angka ini menjadi 13
(tiga belas). Dengan merujuk pada angka ini, tercatat sebanyak 4 (empat)
undang-undang yang mempunyai pekerjaan rumah merealisasikan
peraturan pelaksana yang jumlahnya melebihi rata-rata. Keempat undangundang itu adalah UU Perindustrian (31), UU ASN (25), UU Pendidikan
Kedokteran (19), dan UU Desa (18).
Siapkah pembentuk peraturan yang telah didelegasikan menyelesaikan pekerjaan rumah yang menumpuk? Menurut hemat kami, sudah
selayaknya mereka siap. Pertanyaan selanjutnya adalah kapan mereka dapat
menyelesaikan tugasnya demi kelancaran pelaksanaan undang-undang?

BAB V

AKHIR
CATATAN

dalam pelaksanaan
fungsi legislasi. Capaian kinerja legislasi DPR pada 2013 dapat dikatakan
minim, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Padahal, ini adalah
tahun keempat DPR periode 20092014 menjabat. Kemapanan DPR
dalam merumuskan dan mengesahkan undang-undang seharusnya sudah
semakin mantap.
Salah satu latar yang menjadi konteks dalam tahun legislasi 2013
adalah satu tahun menjelang momentum Pemilu. Catatan kinerja legislasi
yang diluncurkan PSHK pada momentum yang sama sebelumnya menunjukkan DPR sudah siap-siap dalam menghadapi Pemilu. Meski dinaungi
momentum yang sama, capaian legislasi secara kuantitas antara 2008 dan
2013 jauh berbeda. Pada 2008, DPR berhasil mengesahkan 61 (enam puluh
satu) undang-undang yang terdiri dari 34 (tiga puluh empat) undangundang nonkumulatif terbuka dan 27 (dua puluh tujuh) undang-undang
kumulatif terbuka. Sedangkan pada 2013, DPR hanya berhasil mengesahkan 22 (dua puluh dua) undang-undang, yang terdiri dari 12 (dua belas)
undang-undang nonkumulatif terbuka dan 10 (sepuluh) undang-undang
kumulatif terbuka. Dengan demikian, momentum pemilu seharusnya
tidak boleh dijadikan alasan atas rendahnya kinerja dan capaian legislasi
DPR.
Catatan kinerja legislasi DPR dari 20102013 berhasil memperlihatkan gambaran bahwa DPR periode 20092014 memang tidak optimal
DPR KEMBALI MENGULANG CATATAN TIDAK BAIK

136

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

dalam membahas serta mengesahkan undang-undang. Capaian undangundang nonkumulatif terbuka dari tahun ke tahun memperlihatkan
hal tersebut. Pada 2010, DPR hanya berhasil mengesahkan 8 (delapan)
undang-undang nonkumulatif terbuka dari target 70 (tujuh puluh) RUU.
Tahun berikutnya mengalami peningkatan, yaitu 19 (sembilan belas)
undang-undang nonkumulatif terbuka dari target 93 (sembilan puluh tiga)
RUU. Kemudian pada 2012, capaian turun menjadi 10 (sepuluh) undangundang dari target 69 (enam puluh sembilan) RUU.
Pada 2013, undang-undang nonkumulatif terbuka yang berhasil
disahkan berjumlah 12 (dua belas) undang-undang dari target 70 (tujuh
puluh) RUU. Apabila dihitung dengan menggunakan persentase, jumlah
itu hanya mencapai 17% dari total perencanaan. Masih ada 58 (lima puluh
delapan) RUU nonkumulatif terbuka yang tidak berhasil disahkan. Angka
itu mencapai 83% dari total rencana dalam Prolegnas 2013.
Salah satu penyebab pencapaian yang tidak optimal itu adalah proses
perencanaan yang tidak realistis. Kemudian, itu mengakibatkan capaian
selalu jauh dari target perencanaan. Selain itu, masih ada penetapan
prioritas yang tidak sesuai dengan kriteria yang sudah ditetapkan, mulai
dari argumentasi pendukung dicantumkannya RUU dalam Prolegnas
hingga dokumen kelengkapan RUU, seperti naskah RUU dan naskah
akademik.
Apabila dilihat lebih jauh, sebaian besar capaian undang-undang
nonkumulatif terbuka 2013 justru merupakan luncuran dari tahun
sebelumnya. Hanya ada 2 (dua) undang-undang yang baru tercantum
dalam Prolegnas 2013, yaitu UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme
dan UU Administasi Kependudukan. Hal itu menunjukkan bahwa selama
2013, DPR lebih disibukkan menyelesaikan pekerjaan rumah dari beban
legislasi tahun sebelumnya ketimbang membahas undang-undang baru.
Undang-undang yang berhasil disahkan oleh DPR selama 2013
diwarnai oleh undang-undang yang berkaitan dengan pemekaran wilayah.
Ada 4 (empat) undang-undang pemekaran wilayah yang disahkan atau
sekitar 18% dari total undang-undang yang disahkan pada 2013. Lalu,

BAB V. AKHIR CATATAN

137

diikuti oleh undang-undang yang berkaitan dengan APBN sebanyak 3


(tiga) undang-undang atau sekitar 14% dari total undang-undang yang
disahkan pada 2013. Selebihnya, tidak ada undang-undang dengan karateristik tertentu berhasil disahkan secara dominan.
Rutinitas dalam menghasilkan undang-undang pemekaran wilayah
terulang kembali. Setelah menjalani masa moratorium pada awal masa
jabatan20092011, pada 2012, DPR kembali rajin memekarkan wilayah.
Tidak hanya dalam tingkat kabupaten/kota, tetapi juga pada tingkat
provinsi. Pada 2013, undang-undang pemekaran wilayah memegang
jumlah paling banyak dibandingkan dengan isu legislasi lainnya. Prestasi
itu seolah tidak mau kalah dengan yang sudah dibukukan oleh DPR
Periode 20042009 pada satu tahun sebelum pemilu, yaitu 2008.
Gambaran ini membawa kita menelusuri capaian legislasi dari
kacamata politik legislasi, isu dominan yang muncul, serta kualitas
legislasi 2013. Apabila berangkat dari sisi penyusunan Prolegnas 2013,
dapat dikatakan sudah ada korelasi antara arah serta kebijakan legislasi
yang dituju dan rancangan undang-undang yang dijadikan prioritas. Tiga
poin arah dan kebijakan legislasi 2013 yang berhasil dipenuhi, yaitu: (i)
memperkuat kelembagaan dan meningkatnya kinerja di bidang hukum
dengan sarana prasarana yang memadai serta mendukung kinerja lembaga
sesuai dengan fungsi masing-masing; (ii)mewujudkan pemenuhan,
perlindungan, penghormatan hak asasi manusia; dan (iii)meningkatnya
kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Meski demikian, tidak lantas
dapat dikatakan bahwa politik legislasi 2013 sudah jelas dan terarah. RUU
bidang hukum dan HAM memang secara kuantitas mendominasi dengan
jumlah 13 (tiga belas) RUU. Akan tetapi, terdapat kelompok RUU yang
tidak disebut dalam arah dan kebijakan legislasi menempati posisi dengan
jumlah yang signifikan, seperti kelompok kesehatan, keuangan, dan
kewilayahan.
Apabila dilihat dari sisi pencapaian, kesenjangan antara arah serta
kebijakan legislasi dan undang-undang yang berhasil disahkan pada 2013
sangat jauh. Undang-undang yang berkaitan dengan pemekaran wilayah

138

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

menempati urutan pertama, lalu diikuti dengan undang-undang yang


berkaitan dengan APBN. Meski demikian, terdapat pengecualian terhadap
UU Administrasi Kependudukan dan UU ASN yang berhasil disahkan
dan memenuhi salah satu arah dan kebijakan legislasi 2013, yaitu meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi.
Politik legislasi yang tidak jelas dan tidak terarah berawal dari
konsep perencanaan yang gagal. Prolegnas sebagai alat perencanaan
legislasi hanya berperan sebagai panduan nomor urut RUU mana yang
terlebih dahulu akan disahkan dan mana yang berikutnya.Peran Prolegnas
seharusnya lebih dari sekadar alat, tetapi harus lebih mendalam, menjadi
skenario terhadap arah politik legislasi yang akan dicapai. Kesiapan dalam
pembahasan, penyiapan dokumen kelengkapan, dan pelibatan masyarakat
harus sudah dimulai.
Dari 12 (dua belas) undang-undang yang berhasil disahkan pada
2013, semuanya memberikan penguatan kepada lembaga negara, dalam
hal ini adalah Pemerintah. Namun, patut disayangkan, penguatan terhadap
Pemerintah itu tidak berbanding lurus dengan penguatan dan pemenuhan
hak warga negara. Masih banyak ditemukan ketentuan dalam undangundang capaian 2013 yang berpotensi bertentangan dengan hak warga
negara, misalnya stigma terhadap anak yang lahir dari orang tua yang
menikah di luar status perkawinan sah menurut agama dan negara dalam
UU Administrasi Kependudukan. Berikutnya, UU Ormas. Alih-alih
memberi jaminan kebebasan berserikat dan berkumpul kepada warga
negara, justru sebaliknya, membelenggu dan mengontrol kebebasan.
Isu dominan berikutnya adalah dampak bagi anggaran negara. Salah
satu undang-undang yang sangat mencolok adalah UU Desa. Ada alokasi
APBN sebagai salah satu pendapatan desa. Ini belum termasuk dana
yang wajib dipersiapkan dengan adanya pembentukan desa-desa baru.
Selain itu, terdapat kewajiban bagi Pemerintah untuk menyelenggarakan
asuransi pertanian dalam UU Petani. Terdapat pula potensi ketentuan
yang memberikan dampak signifikan bagi anggaran negara melalui

BAB V. AKHIR CATATAN

139

pembentukan sistem, seperti dalam UU Administrasi Kependudukan dan


UU ASN. Pembentukan lembaga baru pun tentu tidak luput memberikan
sumbangsih, seperti yang termuat dalam UU Pemberantasan Perusakan
Hutan, UU Notaris, dan UU Perindustrian.
Selanjutnya adalah ketentuan sanksi. Dari undang-undang capaian
2013, secara umum, ditemukan 3 (tiga) jenis sanksi, yaitu administratif,
perdata, dan pidana. Pada beberapa undang-undang, seperti UU ASN, UU
Desa, UU Notaris, dan UU Ormas, hanya ditemui jenis sanksi administratif. Hal ini patut diapresiasi. Meski demikian, masih terdapat kritik
mengenai ketentuan sanksi ini, terutama dari sisi perumusan dan berat
sanksi. Dari sisi perumusan, ditemukan penyamarataan kualifikasi tindak
pidana akibat perumusannya yang menggabungkan beberapa perbuatan
dalam satu pasal, sementara ancamannya tidak berbeda. Selain itu, dalam
UU Pemberantasan Perusakan Hutan, ditemukan 56 (lima puluh enam)
pasal yang memuat ketentuan pidana dengan perumusan kumulatif.
Perumusannya pun cukup berbeda, yaitu menggunakan kata serta bukan
dan atau dan/atau.
Keterlibatan DPD dalam pembahasan undang-undang capaian
2013 sudah mulai terlihat. Terdapat 3 (tiga) undang-undang, yaitu UU
Keantariksaan, UU Desa, dan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil yang melibatkan DPD dalam pembahasan. Selain DPD,
keterlibatan publik juga cukup signifikan muncul. Terdapat 8 (delapan)
dari 12 (dua belas) undang-undang yang menunjukkan keterlibatan publik,
baik atas inisiatif pembentuk undang-undang maupun inisiatif masyarakat
sendiri. Bentuk keterlibatan publik juga cukup beragam, mulai dari Rapat
Dengar Pendapat Umum (RDPU), diskusi, unjuk rasa, hingga pengajuan
judicial review ke MK. Memang, masih ada pertanyaan sampai sejauh mana
publik terlibat dalam pembahasan suatu undang-undang? Bagaimana
teknik mengelola aspirasi masyarakat sehingga menjadi wacana penting
untuk dibahas? Selain itu, hal yang patut disayangkan adalah pendokumentasian keterlibatan publik dalam dokumen-dokumen pembahasan
masih sangat minim.

140

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

Isu yang juga muncul adalah beban tugas setelah suatu undangundang disahkan. Pertama, sebagai konsekuensi atas pembentukan
lembaga baru. Terdapat 4 (empat) undang-undang capaian 2013 yang
mengamanatkan pembentukan lembaga baru, yaitu UU Pemberantasan
Perusakan Hutan, UU Notaris, UU Perindustrian, dan UU ASN. Kedua,
melalui pembentukan peraturan pelaksana. Secara keseluruhan, terdapat
153 (seratus lima puluh tiga) peraturan pelaksana yang harus disusun.
Apabila dirata-ratakan, ada 12,75 peraturan pelaksana per undang-undang
yang perlu ditindaklanjuti. Tercatat, 4 (empat) undang-undang yang
mengamanatkan pembentukan peraturan pelaksana melebihi rata-rata,
yaitu UU Perindustrian (31), UU ASN (25), UU Pendidikan Kedokteran
(19), dan UU Desa (18).
Pasal 141 Tata Tertib DPR sudah menetapkan jangka waktu
maksimal pembahasan suatu undang-undang, yaitu 2 (dua) kali ditambah
1 (satu) kali masa sidang atau apabila dikonversi dalam skala waktu
sekitar 9 bulan. Dari titik acuan itu, tercatat 8 (delapan) undang-undang
yang melebihi jangka waktu pembahasan. Meski terdapat tren muncul
inovasi dalam pembahasan undang-undang dengan menggunakan sistem
klustering, ternyata tidak berdampak signifikan terhadap efektivitas
waktu pembahasan. Salah satu sebabnya adalah pembagian kerja belum
dipisahkan secara tegas. Hal yang berkaitan dengan urusan teknis dan
redaksionalyang seharusnya dapat dikerjakan oleh tenaga ahlimasih
dikerjakan oleh anggota DPR.
Berikutnya, hal yang cukup penting untuk diangkat adalah tidak ada
satu pun yang memberikan pengaturan mengenai monitoring dan evaluasi
dari semua undang-undang capaian 2013. Ketentuan ini seharusnya
menjadi kebutuhan bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan
penyempurnaan dari waktu ke waktu agar sesuai dengan konteks kekinian.
Sebelas undang-undang capaian 2013 hanya sebatas memiliki ketentuan
monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan satu atau beberapa fungsi
tertentu dalam undang-undang. Misalnya, pengawasan sistem aparatur
sipil negara diberikan kepada KASN.

DAFTAR PUSTAKA

LITERATUR
Ann Seidman dan Robert B. Seidman, Boston University Law Review, ILTAM: Drafting
Evidence-Based Legislation for Democratic Social Change, Cambridge University Press,
Cambridge, 2004.
Bivitri Susanti dkk, Catatan PSHK tentang Kinerja Legislasi DPR 2005, Pusat Studi Hukum
dan Kebijakan Indonesia, 2006.
Erni Setyowati dkk, Bobot Berkurang, Janji Masih Terutang: Catatan PSHK tentang Kualitas
Legislasi 2006, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2007.
, Draftology, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2011.
Fajri Nursyamsi dkk, Catatan Kinerja DPR 20102011: Legislasi: Aspirasi atau Transaksi?,
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2012.
Heinrich Winter, The Forum Model in Evaluation of Legislation, dalam Legisprudence: A
New Theoretical Approach to Legislation, Luc Wintgens (Ed), Oxford-Portland Oregon,
Hart Publishing, 2002.
Michael Zander, The Law-Making Process (sixth Edition), Legislation the Whitehall
Stage, Cambridge University Press, Cambridge, 2004.
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2012.
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1986.
Rachmad Maulana Firmansyah dkk, Catatan Kinerja DPR 2012: Fondasi Tahun Politik,
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2013.
Rizky Argama dkk, Berharap pada 560: Catatan Kinerja DPR 20092010, Pusat Studi
Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2011.
Robert J. Martineau dan Michael B. Salerno, Legal, Legislative, and Rule Drafting in Plain
English, Thomson/West, 2005.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012.
Svein Eng, Legislative Inflation and the Quality of Law, dalam Legisprudence: A New
Theoretical Approach to Legislation, Luc Wintgens (Ed), Oxford-Portland Oregon, Hart
Publishing, 2002.
Thee Kian Wie, Policies For Private Sector Development in Indonesia, Asian Development
Bank Institute Working Paper, 2006.

144

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang.
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pendanaan Terorisme.
UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.
UU No. 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan.
UU No. 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan.
UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.
UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris.
UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Tata Tertib DPR R I.
PUTUSAN
Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010.
DOKUMEN UNDANG-UNDANG
Naskah Akademik Revisi UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Naskah Akademik RUU Pencegahan dan Pemberantasan Pendanaan Tindak Pidana
Terorisme.
Naskah Akademik RUU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Naskah Akademik RUU tentang Pendidikan Kedokteran
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Keantariksaan
Naskah Akademik RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

DAFTAR PUSTAKA

Naskah Akademik RUU Desa.


Naskah Akademik RUU Aparatur Sipil Negara.
Naskah Akademik RUU Jabatan Notaris.
Naskah Akademik RUU Organisasi Kemasyarakatan.
Naskah Akademik RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil.
Daftar Inventarisasi Masalah RUU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme.
Daftar Inventarisasi Masalah RUU Perubahan UU No. 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan.
Daftar Inventarisasi Masalah RUU Aparatur Sipil Negara.
Daftar Inventarisasi Masalah RUU Keantariksaan.
Daftar Inventarisasi Masalah RUU Organisasi Kemasyarakatan.
Daftar Inventarisasi Masalah RUU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Laporan Panitia Khusus DPR R I RUU Tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris.
Laporan Ketua Komisi X DPR R I Mengenai Hasil Pembahasan Rancangan UndangUndang tentang Pendidikan Kedokteran.
Laporan Komisi II DPR R I Terhadap RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.
23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Laporan Komisi II DPR R I Terhadap RUU Aparatur Sipil Negara.
Laporan Panitia Khusus Terhadap RUU Organisasi Kemasyarakatan.
Laporan Pimpinan Komisi VI DPR R I tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Laporan Pimpinan Komisi IV Terhadap RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Laporan Ketua Panitia Khusus RUU tentang Desa.
Pandangan Pemerintah Atas RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pandangan Pemerintah Atas RUU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Pandangan Pemerintah Atas RUU Tentang Aparatur Sipil Negara.
Pandangan Pemerintah Atas RUU Keantariksaan.
Pandangan Pemerintah Atas RUU Organisasi Kemasyarakatan.
Pendapat Mini DPD Terhadap RUU Desa.
Kumpulan Pendapat Fraksi Atas RUU Keantariksaan.
Kumpulan Pendapat Fraksi Atas RUU Keantariksaan.
Kumpulan Pendapat Fraksi Atas RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Kumpulan Pendapat Fraksi Atas RUU Desa.
Kumpulan Pendapat Fraksi Atas RUU Pencegahan dan Pemberantasan Pendanaan
Terorisme.
Kumpulan Pendapat Fraksi Atas RUU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

145

146

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

MEDIA
Agus Martowardodjo, http://www.tempo.co/read/news/2012/12/12/090447772/
Menkeu-Desak-DPR-Rampungkan-Beleid-Terorisme.
DPR dan Pemerintah tetapkan 70 RUU Prioritas Tahun 2013 http://www.dpr.go.id/
parlementaria/magazine/m-99-2013.pdf.
http://www.fatf-gafi.org/.
http://m.sindoweekly-magz.com/artikel/21/i/26-juli-1-agustus-2012/indonesia/68/
prosedur-siluman-ruu-pesanan.
http://www.tribunnews.com/nasional/2013/07/02/
dinilai-otoriter-muhammadiyah-tolak-ruu-ormas.
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,6-id,43562-lang,id-c,taushiyah.
http://news.detik.com/read/2013/06/24/144316/2282461/10/15-ormas-tolak-pengesahanruu-ormas?nd771104bcj.
http://www.tribunnews.com/nasional/2013/07/02/
tolak-ruu-ormas-ribuan-buruh-demo-di-dpr-ri.
http://news.detik.com/read/2013/07/01/153637/2289130/10/
lipi-tolak-pengesahan-ruu-ormas-ini-alasannya?9922022.
http://www.komnasham.go.id/informasi/images-portfolio-6/
rekam-media/454-komnas-ham-menolak-pengesahan-ruu-ormas.
Tren Menurun, Illegal Logging tetap perlu diwaspadai, http://www.hukumonline.com/
berita/baca/lt4be0007e42e07/mysqli.query.
Nasib Petani dan Pertanian Makin Gelap, http://bisniskeuangan.kompas.com/
read/2013/03/18/10193927/Nasib.Petani.dan.Pertanian.Makin.Gelap.
http://nasional.kontan.co.id/news/uu-perlindungan-petani-akan-digugat-ke-mk.
http://www.kpa.or.id/?p=2997.
IDI: Persebaran Dokter Tidak Merata, http://www.antaranews.com/berita/358420/
idi-persebaran-dokter-tidak-merata.
Uang Kuliah Tunggal, http://edukasi.kompas.com/read/2013/02/20/1521594/Uang.
Kuliah.Tunggal.
Pemerintah Bikin Pusing Panja RUU Dikdok, http://www.jurnalparlemen.com/
view/3771/pemerintah-bikin-pusing-panja-ruu-dikdok.html.
DPR Minta Masukan RUU Pendidikan Kedokteran, http://www.antaranews.com/
berita/302341/dpr-minta-masukan-ruu-pendidikan-kedokteran.
Isi Draf Tidak Menjadi Solusi Mahalnya Biaya Pendidikan, http://edukasi.kompas.com/
read/2012/03/27/02364865/Isi.Draf.Tidak.Menjadi.Solusi.Mahalnya.Biaya.Pendidikan.
http://lapan.go.id/index.php/subblog/pages/2013/15/Sejarah.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51ee46af86fa4/
hasil-investigasi-kecelakaan-antariksa-bukan-alat-bukti.
http://health.kompas.com/read/2012/12/12/15530869/Komisi.VII.Buta.Kami.Studi.
Banding.Antariksa.ke.Brasil.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/11377/print.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt516cd5cba9ef6/kiara-tolak-revisi-uu-pesisir.
http://www.antaranews.com/berita/410078/revisi-uu-pesisir-jamin-akses-masyarakat.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52c67bdd7b25e/
uu-pengelolaan-wilayah-pesisir--kado-terburuk-bagi-nelayan.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt516cd5cba9ef6/kiara-tolak-revisi-uu-pesisir.
Tetapkan Ketua dan Wakil Ketua Pansus RUU Jabatan Notaris,
http://www.tempo.co/read/news/2012/06/24/140412504/
Tetapkan-Ketua-dan-Wakil-Ketua-Pansus-RUU-Jabatan-Notaris.
http://www.dpr.go.id/id/berita/paripurna/2013/des/19/7347/
dpr-setujui-ruu-perindustrian-jadi-uu-.
UU Perindustrian Jamin Pembiayaan Industri, http://www.dpr.go.id/id/berita/
komisi6/2014/jan/22/7445/uu-perindustrian-jamin-pembiayaan-industri.
Pengisian Jabatan Harus Melalui Promosi Terbuka, menpan.go.id, http://menpan.go.id/
berita-terkini/2165-pengisian-jabatan-harus-melalui-promosi-terbuka.
Penetapan Jabatan Tidak Lagi Lihat Ijasah, menpan.go.id, http://menpan.go.id/
berita-terkini/2303-penetapan-jabatan-tidak-lagi-lihat-ijasah.
Diusulkan Formasi PNS 60 Ribu PPPK 40 Ribu, menpan.go.id, http://menpan.go.id/
berita-terkini/2284-diusulkan-formasi-pns-60-ribu-pppk-40-ribu.
http://kpshk.org/artikel/read/2014/02/03/2160/uu-desa-menghancurkan-nagari.kpshk.
Lombok Post, Senin, 16 September 2013.
Harian Umum Nurani Rakyat, 23 Agustus 2013.
Kontan, Ibarat Raja Dengan Kekuasaan Besar, 612 Januari 2014.

147

LAMPIRAN 1

DAFTAR UNDANG-UNDANG CAPAIAN 2013


NO

JUDUL RUU

JENIS RUU

1.

PENCEGAHAN DAN
PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA PENDANAAN
TERORISME

NON KUMULATIF
TERBUKA

2.

3.

PENGESAHAN NAGOYA
PROTOCOL ON ACCESS
TO GENETIC RESOURCES
AND THE FAIR AND
EQUITABLE SHARING OF
BENEFITS ARISING FROM
THEIR UTILIZATION TO THE
CONVENTION ON BIOLOGICAL
DIVERSITY (PROTOKOL
NAGOYA TENTANG AKSES
PADA SUMBER DAYA
GENETIK DAN PEMBAGIAN
KEUNTUNGAN YANG ADIL
DAN SEIMBANG YANG TIMBUL
DARI PEMANFAATANNYA
ATAS KONVENSI
KEANEKARAGAMAN HAYATI)
PENGESAHAN ROTTERDAM
CONVENTION ON THE
PRIOR INFORMED CONSENT
PROCEDURE FOR CERTAIN
HAZARDOUS CHEMICALS
AND PESTICIDES IN
INTERNATIONAL TRADE
(KONVENSI ROTTERDAM
TENTANG PROSEDUR
PERSETUJUAN ATAS DASAR
INFORMASI AWAL UNTUK
BAHAN KIMIA DAN PESTISIDA
BERBAHAYA TERTENTU
DALAM PERDAGANGAN
INTERNASIONAL)

WAKTU PENGESAHAN
12 FEBRUARI 2013

KUMULATIF
TERBUKA

11 APRIL 2013

150

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

NO

JUDUL RUU

4.

PERUBAHAN ATAS UU
NO. 56 TAHUN 2008
TENTANG PEMBENTUKAN
KABUPATEN TAMBRAUW DI
PROVINSI PAPUA BARAT

5.

PEMBENTUKAN KABUPATEN
MOROWALI UTARA DI
PROVINSI SULAWESI TENGAH

6.

PEMBENTUKAN
KABUPATEN KONAWE
KEPULAUAN DI PROVINSI
SULAWESI TENGGARA

7.

PEMBENTUKAN
KABUPATEN MUSI RAWAS
UTARA DI PROVINSI
SUMATERA SELATAN

8.

JENIS RUU

WAKTU PENGESAHAN

KUMULATIF
TERBUKA

12 APRIL 2013

KUMULATIF
TERBUKA

11 JUNI 2013

PERUBAHAN ATAS UU NO. 19


TAHUN 2012 TENTANG APBN
TAHUN ANGGARAN 2013

KUMULATIF
TERBUKA

17 JUNI 2013

ORGANISASI
KEMASYARAKATAN

NON KUMULATIF
TERBUKA

2 JULI 2013

KEANTARIKSAAN

NON KUMULATIF
TERBUKA

9 JULI 2013

PENCEGAHAN DAN
PEMBERANTASAN
PERUSAKAN HUTAN

NON KUMULATIF
TERBUKA

9 JULI 2013

12.

PERLINDUNGAN DAN
PEMBERDAYAAN PETANI

NON KUMULATIF
TERBUKA

9 JULI 2013

13.

PENDIDIKAN KEDOKTERAN

NON KUMULATIF
TERBUKA

11 JULI 2013

14.

PERTANGGUNGJAWABAN
DAN PELAKSANAAN APBN
TAHUN ANGGARAN 2012

KUMULATIF
TERBUKA

3 SEPTEMBER 2013

15.

ABPN TAHUN
ANGGARAN 2014

KUMULATIF
TERBUKA

16.

PERUBAHAN ATAS UU
NO. 23 TAHUN 2006
TENTANG ADMINISTRASI
KEPENDUDUKAN

NON KUMULATIF
TERBUKA

9.
10.
11.

25 OKTOBER 2013

26 NOVEMBER 2013

LAMPIRAN

NO

JUDUL RUU

JENIS RUU

WAKTU PENGESAHAN

17.

PERUBAHAN ATAS UU NO.


30 TAHUN 2004 TENTANG
JABATAN NOTARIS

NON KUMULATIF
TERBUKA

17 DESEMBER 2013

NON KUMULATIF
TERBUKA

18 DESEMBER 2013

18.

PERUBAHAN ATAS UU
NO. 27 TAHUN 2007
TENTANG PENGELOLAAN
WILAYAH PESISIR DAN
PULAU-PULAU KECIL

19.

DESA

20.

PERINDUSTRIAN

21.

APARATUR SIPIL NEGARA

22.

PENETAPAN PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UU
NO. 1 TAHUN 2013 TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UU
NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG
MAHKAMAH KONSTITUSI *

151

NON KUMULATIF
TERBUKA

19 DESEMBER 2013
KUMULATIF
TERBUKA

* DIBATALKAN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI MELALUI PUTUSAN MK NO. 1-2/PUU-XII/2014.

152

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

LAMPIRAN 2
PROGRAM LEGISLASI NASIONAL RANCANGAN
UNDANG-UNDANG PRIORITAS TAHUN 2014

NO.

JUDUL RANCANGAN
UNDANG-UNDANG

DRAFT NA
DAN RUU
DISIAPKAN
OLEH

KETERANGAN

1.

RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG
NOMOR 32 TAHUN 2002
TENTANG PENYIARAN.

DPR

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI KOMISI I

2.

RUU TENTANG
PERJANJIAN
INTERNASIONAL

DPR

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI KOMISI I

3.

RUU TENTANG
PEMILIHAN KEPALA
DAERAH

PEMERINTAH

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI KOMISI II

4.

RUU TENTANG
PERTANAHAN

DPR

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI KOMISI II

5.

RUU TENTANG
MAHKAMAH AGUNG

DPR

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI KOMISI III

6.

RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UU NOMOR 16
TAHUN 2004 TENTANG
KEJAKSAAN RI

DPR

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI KOMISI III

7.

RUU TENTANG
KITAB UNDANGUNDANG HUKUM
PIDANA

PEMERINTAH

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI KOMISI III

8.

RUU TENTANG
KITAB UNDANGUNDANG HUKUM
ACARA PIDANA

PEMERINTAH

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI KOMISI III

LAMPIRAN

NO.

JUDUL RANCANGAN
UNDANG-UNDANG

DRAFT NA
DAN RUU
DISIAPKAN
OLEH

KETERANGAN

9.

RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UU NOMOR 18
TAHUN
2009
TENTANG
PETERNAKAN
DAN
KESEHATAN HEWAN

DPR

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI KOMISI IV

10.

RUU TENTANG JALAN

DPR

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI KOMISI V

11.

RUU TENTANG
PERDAGANGAN

PEMERINTAH

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI KOMISI VI

12.

RUU TENTANG
JAMINAN PRODUK
HALAL

DPR

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI KOMISI VIII

13.

RUU TENTANG
TENAGA KESEHATAN

PEMERINTAH

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI KOMISI IX

14.

RUU TENTANG
KEPERAWATAN

DPR

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI KOMISI IX

15.

RUU TENTANG
KESEHATAN JIWA

DPR

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI KOMISI IX

16.

RUU TENTANG
PENGURUSAN PIUTANG
NEGARA DAN
DAERAH

PEMERINTAH

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI KOMISI XI

153

154

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

NO.

JUDUL RANCANGAN
UNDANG-UNDANG

DRAFT NA
DAN RUU
DISIAPKAN
OLEH

KETERANGAN

17.

RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG
NOMOR 2 TAHUN 1992
TENTANG USAHA
PERASURANSIAN

PEMERINTAH

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI KOMISI XI

18.

RUU TENTANG JARING


PENGAMAN SISTEM
KEUANGAN

PEMERINTAH

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI KOMISI XI

19.

RUU TENTANG
KEAMANAN NASIONAL

PEMERINTAH

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI PANSUS

20.

RUU TENTANG
PENGAWASAN
SEDIAAN FARMASI,
ALAT KESEHATAN
DAN PERBEKALAN
KESEHATAN
RUMAH TANGGA

DPR

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI PANSUS

21.

RUU
TENTANG
PERCEPATAN
PEMBANGUNAN
DAERAH KEPULAUAN

DPR

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI PANSUS

22.

RUU TENTANG
PERLINDUNGAN
PEKERJA INDONESIA
DI LUAR NEGERI

DPR

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI PANSUS

23.

RUU TENTANG
PEMERINTAHAN
DAERAH

PEMERINTAH

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI PANSUS

24.

RUU TENTANG
TABUNGAN
PERUMAHAN RAKYAT

DPR

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI PANSUS

LAMPIRAN

NO.

JUDUL RANCANGAN
UNDANG-UNDANG

DRAFT NA
DAN RUU
DISIAPKAN
OLEH

KETERANGAN

25.

RUU TENTANG
KEINSINYURAN

DPR

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI PANSUS

26.

RUU TENTANG
PENGAKUAN DAN
PERLINDUNGAN
HAK-HAK MASYARAKAT
HUKUM ADAT

DPR

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI PANSUS

27.

RUU TENTANG
KEPALANGMERAHAN

DPR

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI PANSUS

28.

RUU TENTANG
PERUBAHAN
HARGA RUPIAH

PEMERINTAH

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI PANSUS

29.

RUU TENTANG
PANAS BUMI

PEMERINTAH

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI PANSUS

30.

RUU TENTANG
STANDARDISASI
DAN PENILAIAN
KESESUAIAN

PEMERINTAH

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI PANSUS

31.

RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG
NOMOR 17 TAHUN
2003 TENTANG
KEUANGAN NEGARA

DPR

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI PANSUS

32.

RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG
NOMOR 18 TAHUN 2003
TENTANG ADVOKAT.

DPR

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI PANSUS

155

156

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

NO.

JUDUL RANCANGAN
UNDANG-UNDANG

DRAFT NA
DAN RUU
DISIAPKAN
OLEH

KETERANGAN

33.

RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG
NOMOR 19 TAHUN 2002
TENTANG HAK CIPTA

PEMERINTAH

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN
TK. I DI PANSUS

34.

RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG
NOMOR 27 TAHUN 2009
TENTANG MAJELIS
PERMUSYAWARATAN
RAKYAT, DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT,
DEWAN PERWAKILAN
DAERAH DAN
DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT DAERAH

DPR

RUU DALAM TAHAP


PEMBICARAAN TK. I

35.

RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG
NOMOR 18 TAHUN
1999 TENTANG JASA
KONSTRUKSI

DPR

PROSES
HARMONISASI
DI BALEG

36.

RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG
NOMOR 22 TAHUN
2001 TENTANG MINYAK
DAN GAS BUMI

DPR

PROSES
HARMONISASI
DI BALEG

37.

RUU TENTANG
PENGELOLAAN
IBADAH HAJI

DPR

PROSES
HARMONISASI
DI BALEG

38.

RUU TENTANG
PERLINDUNGAN
PEKERJA RUMAH
TANGGA

DPR

PROSES
HARMONISASI
DI BALEG

LAMPIRAN

NO.

JUDUL RANCANGAN
UNDANG-UNDANG

DRAFT NA
DAN RUU
DISIAPKAN
OLEH

KETERANGAN

39.

RUU TENTANG SISTEM


PERBUKUAN NASIONAL

DPR

PROSES
HARMONISASI
DI BALEG

40.

RUU TENTANG HUKUM


DISIPLIN MILITER

DPR

PROSES
HARMONISASI
DI BALEG

41.

RUU TENTANG RADIO


TELEVISI REPUBLIK
INDONNESIA

DPR

RUU DAN NA
DISIAPKAN OLEH
KOMISI I

42.

RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG
NOMOR 39 TAHUN
1999 TENTANG HAK
ASASI MANUSIA

DPR

RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH KOMISI III

43.

RUU TENTANG
KONSERVASI
TANAH DAN AIR

DPR

RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH KOMISI IV

44.

RUU TENTANG
PENCARIAN DAN
PERTOLONGAN

DPR

RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH KOMISI V

45.

RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG
NOMOR 19 TAHUN 2003
TENTANG BADAN
USAHA MILIK NEGARA

DPR

RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH KOMISI VI

DPR

RUU DAN NA
DISIAPKAN OLEH
KOMISI VIII

DPR

RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH KOMISI X

46.
RUU TENTANG
KESETARAAN GENDER
47.

RUU TENTANG
KEBUDAYAAN

157

158

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

NO.

JUDUL RANCANGAN
UNDANG-UNDANG

DRAFT NA
DAN RUU
DISIAPKAN
OLEH

KETERANGAN

48.

RUU TENTANG
KAWASAN PARIWISATA
KHUSUS

DPR

RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH KOMISI X

49.

RUU TENTANG
PERUBAHAN KEDUA
ATAS UNDANGUNDANG NOMOR 7
TAHUN 1992 TENTANG
PERBANKAN

DPR

RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH KOMISI XI

50.

RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS UU
NOMOR 24 TAHUN 1999
TENTANG LALULINTAS
DEVISA DAN SISTEM
NILAI TUKAR.

DPR

RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH KOMISI XI

51.

RUU TENTANG
PERTEMBAKAUAN

DPR

RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH BALEG

52.

RUU TENTANG
PENGATURAN
MINUMAN
BERALKOHOL

DPR

RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH BALEG

53.

RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UU NOMOR 15
TAHUN 2006 TENTANG
BADAN PEMERIKSA
KEUANGAN

DPR

RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH BALEG

54.

RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UU NOMOR 5
TAHUN 1999 TENTANG
LARANGAN PRAKTEK
MONOPOLI DAN
PERSAINGAN USAHA
TIDAK SEHAT

DPR

RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH BALEG

LAMPIRAN

NO.

JUDUL RANCANGAN
UNDANG-UNDANG

DRAFT NA
DAN RUU
DISIAPKAN
OLEH

KETERANGAN

55.

RUU TENTANG
PERUBAHANATAS
UU NOMOR 2
TAHUN 2002 TENTANG
KEPOLISIAN NEGARA RI.

DPR

RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH BALEG

56.

RUU TENTANG
ETIKA
PENYELENGGARA
NEGARA

DPR

RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH BALEG

57.

RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UU NOMOR 4
TAHUN 1997 TENTANG
PENYANDANG CACAT

DPR

RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH BALEG

58.

RUU TENTANG
PENGELOLAAN
KEUANGAN HAJI

PEMERINTAH

RUU DAN NA
DISIAPKAN OLEH
KEMENTERIAN
AGAMA

59.

RUU TENTANG
PENERIMAAN NEGARA
BUKAN PAJAK

PEMERINTAH

RUU DAN NA
DISIAPKAN OLEH
KEMENTERIAN
KEUANGAN

60.

RUU TENTANG
ADMINISTRASI
PEMERINTAHAN

PEMERINTAH

RUU DAN NA
DISIAPKAN OLEH
KEMENTERIAN
PAN DAN RB

61.

RUU TENTANG
RAHASIA NEGARA

PEMERINTAH

RUU DAN NA
DISIAPKAN OLEH
KEMENTERIAN
PERTAHANAN

159

160

CATATAN KINERJA LEGISLASI DPR 2013

NO.

JUDUL RANCANGAN
UNDANG-UNDANG

DRAFT NA
DAN RUU
DISIAPKAN
OLEH

KETERANGAN

62.

RUU TENTANG
PERAMPASAN ASET
TINDAK PIDANA.

PEMERINTAH

RUU DAN NA
DISIAPKAN OLEH
KEMENTERIAN
HUKUMDAN HAM

63.

RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG
NOMOR 13 TAHUN
2006 TENTANG
PERLINDUNGAN
SAKSI DAN KORBAN

PEMERINTAH

RUU DAN NA
DISIAPKAN OLEH
KEMENTERIAN
HUKUM DAN HAM

64.

RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG
NOMOR 33 TAHUN
2004 TENTANG
PERIMBANGAN
KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAH PUSAT
DAN PEMERINTAH
DAERAH.

PEMERINTAH

RUU DAN NA
DISIAPKAN OLEH
KEMENTERIAN
KEUANGAN

65.

RUU TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UU NOMOR 11 TAHUN
1992 TENTANG
DANA PENSIUN.

PEMERINTAH

RUU DAN NA
DISIAPKAN OLEH
KEMENTERIAN
KEUANGAN

66.

RUU TENTANG
KELAUTAN

DPD

RUU DAN NA
DISIAPKAN
OLEH DPD

LAMPIRAN

PROGRAM LEGISLASI NASIONAL RANCANGAN


UNDANG-UNDANG PRIORITAS TAHUN 2014

DAFTAR KUMULATIF TERBUKA


1.

RUU KUMULATIF TERBUKA TENTANG PENGESAHAN


PERJANJIAN INTERNASIONAL

2.

RUU KUMULATIF TERBUKA AKIBAT


PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

3.

RUU KUMULATIF TERBUKA TENTANG ANGGARAN


PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

4.

RUU KUMULATIF TERBUKA TENTANG


PEMBENTUKAN, PEMEKARAN, DAN PENGGABUNGAN
DAERAH PROVINSI DAN/ATAU KABUPATEN/KOTA

5.

RUU KUMULATIF TERBUKA TENTANG


PENETAPAN/PENCABUTAN PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

161

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) adalah lembaga


independen yang memfokuskan kerjanya di bidang legislasi dan peradilan.
Melalui aktivitas riset dan advokasi kebijakan, misi utama PSHK ialah mendorong
terwujudnya proses pembentukan hukum yang bertanggung jawab secara sosial
(socially responsible lawmaking). Selain itu, PSHK juga mendukung peningkatan
kualitas serta kuantitas daya dorong masyarakat dalam mempengaruhi pembentukan hukum.
Sejak didirikan pada 1 Juli 1998, PSHK telah melakukan berbagai
kajian dan aktivitas lain, termasuk pengelolaan situs informasi parlemen.net,
penerbitan Jurnal Hukum Jentera, pengelolaan Perpustakaan Hukum Daniel
S. Lev Law Library, penyampaian informasi legislasi terkini melalui akun
twitter @pantauDPR, serta penyebaran isu hukum dalam bentuk video animasi
LAWmotion.
PSHK juga mendorong pemberdayaan masyarakat dalam bidang hukum.
Salah satunya dalam konteks legislasi melalui pelatihan perancangan peraturan
perundang-undangan (legislative drafting training) yang diikuti oleh peserta
dari berbagai lembaga negara, organisasi masyarakat sipil, perusahaan, jurnalis,
dan lain sebagainya. PSHK juga turut mendukung dan mengembangkan
pendidikan hukum dengan mendirikan Indonesia Jentera School of Law (IJSL)
yang bermaksud untuk membangun tradisi baru dalam pendidikan hukum di
Indonesia.

Alamat Kontak
Puri Imperium Office Plaza
Upper Ground Floor 1112
Jln. Kuningan Madya 56
Jakarta 12980 - Indonesia
T: (+6221) 83701809
F: (+6221) 83701810
www.pshk.or.id
www.parlemen.net
www.danlevlibrary.net
www.indonesiajentera.org
http://www.youtube.com/user/LAWmotion
twitter: @pantauDPR

TIM PENULIS
MIKO S. GINTING
AMALIA PURI HANDAYANI
AMIRA WAWORUNTU
ERYANTO NUGROHO
FAJRI NURSYAMSI
GIRI AHMAD TAUFIK
GITA PUTRI DAMAYANA
M. NUR SHOLIKIN
RACHMAD MAULANA FIRMANSYAH
RONALD ROFIANDRI
SITI MARYAM RODJA
DPR KEMBALI MENGULANG CATATAN TIDAK BAIK DALAM PELAKSANAAN
FUNGSI LEGISLASI. Penilaian terhadap legislasi tidak semata berhitung
jumlah, tapi juga kualitas. Sebanyak 12 undang-undang nonkumulatif
didedah satu per satu, baik dari proses pembentukan hingga
substansinya. Kemudian, tampaklah bahwa politik legislasi semakin
terlihat tidak-terarahnya. Juga, peran pemerintah semakin meningkat,
diikuti dampak bagi anggaran negara, misalnya dengan pembentukan
lembaga-lembaga baru yang diatur dalam undang-undang. Partisipasi
masyarakat juga masih menjadi catatan penting dalam beberapa
undang-undang. Meskipun demikian, DPD sudah mulai mengaitkan
dirinya dalam pembahasan terkait daerah. Tentu, itu patut diapresiasi.
Namun, sebenarnya, keadaan demikian tidak perlu terulang setiap
tahun. Ini adalah tahun keempat DPR periode 20092014 menjabat.
Kemapanan DPR dalam merumuskan dan mengesahkan undangundang seharusnya sudah semakin mantap. Konteksnya: tahun legislasi
2013 merupakan satu tahun menjelang momentum Pemilu. DPR sudah
siap-siap dalam menghadapi Pemilu. Dan, itu bukan suatu pembenaran.
Catatan ini PSHK lakukan setiap tahun dengan melakukan
pemantauan rutin terhadap DPR. Harapannya wacana legislasi semakin
mengisi celah di ruang perbincangan masyarakat. Karena kita akan
terikat, tak bisa hanya diam.

You might also like