You are on page 1of 19

KAJIAN JKN

DEPARTEMEN KAJIAN STRATEGIS


BEM FKG UI 2014
Pendahuluan
JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) ialah program yang telah diluncurkan semenjak 1
Januari 2014 yang digadang gadang bertujuan untuk memberikan kepastian jaminan
kesehatan yang menyeluruh bagi setiap rakyat Indonesia agar penduduk Indonesia dapat
hidup sehat , produktif dan sejahtera. Pemerintah menargetkan pada tahun 2019 seluruh
rakyat Indonesia akan bergabung dengan JKN. Salah satu prinsipnya ialah gotong royong
antara peserta kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang tua dan muda serta yang beresiko
tinggi dan rendah sesuai dengan UU No.40 Tahun 2004 Pasal 19 ayat 1. JKN yang bertujuan
untuk menaungi serta mensejahterakan rakyat menggantikan jaminan kesehatan terdahulunya
seperti jamkesmas dan askes untuk dihimpun menjadi suatu kesatuan.
1. Proses Kerjasama dokter gigi dengan BPJS

a. Proses Seleksi
Untuk menjaga mutu pelayanan maka dalam alur kerjasama BPJS perlu ada proses seleksi.
Proses seleksi yang dilakukan oleh BPJS dinamakan kredentialing. Credential link yaitu
proses seleksi dan retensi terhadap jaringan fasilitas kesehatan yang dapat memberikan
pelayanan yang bermutu kepada peserta. Dasar penunjukan pada proses seleksi ini mengacu
pada standar credential link, yaitu berdasarkan jumlah dan distribusi domisili peserta,
kebutuhan peserta, kemampuan perusahaan (SDM), dan ketersediaan PPK (Pemberi
Pelayanan Kesehatan). Proses seleksi meliputi review dan verifikasi terhadap keberadaan
fasilitas kesehatan. Proses verifikasi menyangkut tentang lisensi fasilitas kesehatan.
Dasar seleksi PPK memenuhi tiga kriteria, yaitu
1. Kriteria Administrasi
Memiliki lisensi dari Depkes dan Pemerintah daerah setempat
Memilikii ijin usaha sebagai Rumah Sakit
AMDAL (analisis dampak lingkungan)
2. Kriteria Sarana dan Fasilitas

Memiliki sarana dan fasilitas sesuai dengan ketentuan yang berlaku


Memiliki tenaga medis dan administratif sesuai ketentuan yang berlaku dan
kebutuhan peserta ASKES
Lokasi yang mudah dijangkau
3. Kriteria Kualitas
Memiliki sertifikasi mutu terakreditasi atau sertifikasi mutu lain
Rumah Sakit termasuk pelayanan kesehatan tingkat lanjut (sekunder dan tersier).
Mekanisme seleksi PPK tingkat lanjut (Rumah Sakit) adalah penetapan jaringan pelayanan
kesehatan (provider network). Ada beberapa poin dalam penetapan jaringan pelayanan
kesehatan yang dimaksud antara lain,
1. Pemetaan Distribusi Domisili Peserta
2. Kondisi RS Pemerintah yang menjadi PPK
3. Ketersediaan Sumber Daya Manusia
4. Ketersediaan RS dalam satu wilayah
5. Negosiasi dan Kontrak PT Askes (Persero) dan Rumah Sakit
Beberapa hal yang dituangkan dalam kontrak, yaitu :

Jenis pelayanan yang dapat diberikan RS dan waktu pelayanan

Jenis pelayanan yang tidak ditanggung

Prosedur /mekanisme pemberian pelayanan

Tarif pelayanan kesehatan (sesuai kesepakatan) dan mekanisme pembayaran

Proses jaga mutu dan kendali utilisasi

Tanggungjawab finansial para pihak

Sistem administrasi dan informasi

Kesanggupan RS untuk mempertahankan sertifikat mutu yang sudah diperoleh RS

Hak dan kewajiban

Lampiran penjelasan tentang jenis pelayanan (paket)

Kertas kerja negosiasi tarif

Kewenangan melihat medical record apabila diperlukan konfirmasi

Pendapat Dewan Pertimbangan Medik dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam


penyelesaian masalah medis

b. Kontrak Kerja
Pasal 23 ayat (1) UU SJSN menentukan bahwa manfaat jaminan kesehatan diberikan pada
fasilitas kesehatan milik Pemerintah atau swasta yang menjalin kerjasama dengan BPJS.
Hanya dalam keadaan darurat, pelayanan kesehatan dimaksud dapat diberikan pada fasilitas
kesehatan yang tidak menjalin kerjasama dengan BPJS.
Yang dimaksud dengan fasilitas kesehatan meliputi rumah sakit, dokter praktek, klinik,
laboratorium, apotek dan fasilitas kesehatan lainnya.
Jalinan kerjasama antara BPJS Kesehatan dengan fasilitas kesehatan dilakukan berbasis
kontrak, yaitu perjanjian tertulis antara BPJS Kesehatan dengan fasilitas kesehatan yang
bersangkutan. Kontrak antara BPJS Kesehatan dengan fasilitas kesehatan akan semakin
meningkat menyongsong mulai beroperasinya BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014 dan
pencapaian target Universal Coverage Jaminan Kesehatan Tahun 2014.
Kontrak tersebut harus dipersiapkan dengan baik, agar saling menguntungkan para pihak.
Sesuai dengan asas hukum, perjanjian kontrak yang sah berlaku sebagai Undang-Undang
bagi para pihak yang membuatnya atau dikenal dengan asas pacta sunt servanda.
Salah satu kewenangan BPJS menurut Pasal 11 huruf e UU BPJS adalah membuat atau
menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan. Wewenang tersebut menurut Pasal 24
ayat (3) UU BPJS dilaksanakan oleh Direksi.
Direksi BPJS hendaknya sejak dini telah mempersiapkan diri untuk melakukan perundingan
dengan fasilitas kesehatan dalam rangka penyusunan kontrak dalam rangka pemberian
manfaat program jaminan kesehatan.

2. Sistem Pembayaran Dokter Gigi di Era JKN


a. Tarif Kapitasi

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 69 Tahun 2013, Tarif Kapitasi
adalah besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka oleh BPJS Kesehatan kepada
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa
memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. Sementara tarif Non
Kapitasi adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama berdasarkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. Tarif
Indonesian - Case Based Groups yang selanjutnya disebut Tarif INA-CBGs adalah besaran
pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan atas
paket layanan yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit. Dengan kata lain
Tarif kapitasi adalah cara pembayaran untuk dokter gigi yang dibayarkan dalam jumlah tetap
per peserta, tanpa mempertimbangkan jumlah pasien yang datang atau jenis perawatan yang
diberikan pada pasien tersebut.
Tarif kapitasi ini berlaku untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama. Sementara tarif non
kapitasi atau Indonesian Case Based Group (INA CBGs) berlaku untuk fasilitas kesehatan
rujukan tingkat lanjutan. Fasilitas kesehatan pertama yang dimaksud dapat berupa puskesmas
atau yang setara, praktik dokter, praktik dokter gigi, klinik pertama atau yang setara dan
rumah sakit kelas D Pratama atau yang setara. Sementara fasilitas kesehatan rujukan tingkat
lanjutan yang dimaksud dapat berupa klinik utama atau yang setara, rumah sakit umum, dan
rumah sakit khusus (Permenkes No. 71 Tahun 2013).
Pembayaran Kapitasi
Pembayaran kapitasi ini dengan pra bayar dengan sistem satu dokter dibayar berdasarkan
jumlah peserta yang dikelola. Yang termasuk dalam pembiayaan kapitasi adalah jasa medis,
obat, bahan habis pakai, pegawai, perawat, laboratorium, bidan, investasi, telpon, listrik dan
lain-lain.
Pembayaran bagi Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) dengan Sistem Kapitasi adalah
pembayaran yang dilakukan oleh suatu Lembaga kepada PPK atas jasa pelayanan kesehatan
yang diberikan kepada anggota lembaga tersebut, yaitu dengan membayar di muka sejumlah
dana sebesar perkalian anggota dengan satuan biaya (unit cost) tertentu. Dalam sistem JKN
lembaga yang dimaksud adalah BPJS.Yang dimaksud dengan Satuan Biaya (Unit Cost)
adalah harga rata-rata pelayanan kesehatan perkapita (disebut juga Satuan Biaya Kapitasi)
yang disepakati kedua belah pihak (PPK dan Lembaga) untuk diberlakukan dalam jangka
waktu tertentu.
pembayaran kapitasi akan dibayarkan kepadan fasilitas pelayanan kesehatannya, selanjutnya
pembayaran ke dokter maupun dokter gigi sesuai dengan aturan yang berlaku pada
Puskesmas, klinik ataupun RS Pratama tersebut.
Masing-masing fasilitas pelayanan kesehatan akan mengatur keuangannya sendiri, nantinya
dokter maupun dokter gigi menerima pembayaran dari FasYanKes, bukan dari BPJS secara
langsung. Pembayaran kapitasi tersebut lebih besar, mengingat biaya operasional,
outsourcing, dll yang harus dikeluarkan oleh masing-masing FasYanKes terhitung dalam tarif

kapitasi tersebut. Sesuai dengan Perpres No 12 tahun 2013, apabila FasYanKes tingkat
pertama di suatu wilayah tidak dapat melaksanakan sistem kapitasi, maka BPJS
Kesehatan diberikan kewenangan untuk menentukan sistem pembayaran dengan
mekanisme lain yang lebih berhasil guna.
Dua hal pokok yang harus diperhatikan dalam menentukan kapitasi adalah akurasi prediksi
angka penggunaan pelayanan kesehatan (utilisasi) dan penetapan biaya satuan (unit cost).
Besaran angka kapitasi ini sangat dipengaruhi oleh angka utilisasi pelayanan kesehatan dan
jenis paket (benefit) asuransi kesehatan yang ditawarkan serta biaya satuan pelayanan.
Kapitasi = Angka utilisasi x Biaya satuan/unit cost
Angka utilisasi dipengaruhi oleh:
1. Karakteristik Populasi
2. Sifat Sistem Pelayanan
3. Manfaat yang ditawarkan
4. Kebijakan asuransi
Utilisasi adalah tingkat pemanfaatan fasilitas pelayanan yang dimiliki sebuah klinik/praktik.
Angkanya dinyatakan dalam persen (prosentase). Utilisasi dapat memberikan gambaran
tentang kualitas pelayanan dan risiko suatu populasi (angka kesakitan). Apabila utilisasi
tinggi berarti menunjukkan kualitas pelayanan buruk atau derajat kesehatan peserta buruk.
Unit Cost adalah biaya rata-rata untuk setiap jenis pelayanan rata-rata pada kurun waktu
tertentu. Unit Cost hanya dapat dihitung bila administrasi keuangan rapi (sistematis),
sehingga dapat melihat pemasukan untuk setiap jenis pelayanan.
Unit cost = Jumlah pendapatan untuk setiap jenis pelayanan/jumlah kunjungan untuk
pelayanan tersebut.
Dikutip dari presentasi Dr. drg. Zaura Rini Anggraeni, MDS di Diskusi Publik Kastrat BEM
FKG UI 2014, komponen perhitungan Kapitasi meliputi Jenis/Item pelayanan yang
ditanggung, Unit Cost tiap Item pelayanan kesehatan gigi, dan Tingkat pemanfaatan
(Utilisasi) tiap Item.
Penghitungan Utilisasi
Prosentase tingkat pemanfaatan peserta menggunakan pelayanan sesuai jenis pelayanan yang
diberikan. (perhitungan prosentase kunjungan per orang per bulan)
a. Tentukan jenis pelayanan kesehatan
b. Analisa pemanfaatan PPK (utilisasi),
dihitung dlm % tiap bulan, misal :
Jml peserta : 10.000, jumlah kunjung ke poli gigi tanpa tindakan tiap bulan : 400,
utilisasi : 400/10.000 x 100% = 4%
Jml peserta : 10.000, Jml kasus tambal gigi dengan resin komposit per bulan : 10,
Utilisasi: Jml kasus/peserta x 100%
: 10/10.000 x 100% = 0,1%

Jml peserta : 10.000, jml kasus cabut gigi per bulan : 100 ,
Utilisasi: Jml kasus/Jml peserta x 100%
: 100/10.000 x 100% = 1%
Review Utilisasi
Kelemahan saat ini, tidak mempunyai data yang akurat untuk menghitung secara tepat
tingkat penggunaan pelayanan drg di Indonesia.
PDGI perlu memberikan himbauan ke drg agar secara administrasi selalu mencatat
jumlah kunjungan dan jenis pelayanan yang telah diberikan.
Data tersebut dapat dipergunakan untuk menghitung utilisasi review yang sangat
berguna dalam perhitungan penentuan kapitasi.
Setiap 2 tahun menurut Perpres dapat dilakukan perhitungan ulang kapitasi sesuai
data yang akurat.

N
O

PERAWATAN

UTILISAS
I

Unit
Cost
BMHP

Jasa
Medik

Total
Tarif

Kapitas
i

6
7

Pencabutan 1 Gigi +
Injeksi (Gigi Sulung
dan Permanen
Pencabutan 1 Gigi +
Topikal Anastesi
(Gigi Sulung dan
Gigi Permanen)
Tumpatan Komposite
Direct (Gigi Sulung
dan Permanen)
Tumpatan GIC +
Sinar Direct (Gigi
Sulung dan Gigi
Permanen)
Tumpatan GIC Direct
(Gigi Sulung dan
Gigi Permanen
Kegawat-daruratan
Dental
Scalling (1 Tahun
Sekali)
UTILISASI TOTAL

0.6

30.000

90.000

120.00
0

720

0.23

18.500

51.500

70.000

161

0.2

60.000

75.000

135.00
0

270

0.07

45.000

75.000

120.00
0

84

0.2

45.000

75.000

240

0.5

19.000

46.000

120.00
0
65.000

0.2

27.500

72.500

100.00
0

200

325

2000

Keterangan : klinik pratama


Tarif yang berlaku di Faskes Tingkat Pertama (Berdasarkan Permenkes 069/2013)
Puskesmas : Rp. 3.000 Rp 6.000
RS. Pratama, Klinik Pratama, Praktek Dokter dan Fasilitas Kesehatan yang setara : Rp
8.000 Rp 10.000
Praktik Dokter Gigi : Rp 2.000
Perhitungan Kapitasi
a. Analisis Biaya Satuan (unit cost) : besar biaya tiap yankes. Didapat dari unit cost
BMHP+Jasa Medik=Tarif
b. Penetapan Angka Kapitasi : utilisasi x tarif

Contoh Perhitungan Kapitasi


Apabila telah ditentukan kapitasi drg pelayanan primer adalah Rp. 2.000,- maka
perhitungan yang diterima drg adalah:
Apabila peserta yang ditanggung 10.000 maka diterima = Rp 2.000 x 10.000 =
Rp. 20.000.000 / bulan

Dengan perhitungan utilisasi 2,0% maka perhitungan kemungkinan peserta


yang akan berkunjung ke praktek drg pelayanan primer adalah 2,0% x
10,000=200 kunjungan
Perkiraan biaya yang dikeluarkan tiap perawatan yang diberikan (tarif drg)
adalah 20 jt dibagi 200 kunjungan = Rp. 100.000,- /kunjungan tindakan paket

Maka dapat disimpulkan bahwa Tarif Kapitasi adalah besaran pembayaran per-bulan
yang dibayar dimuka oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah
pelayanan kesehatan yang diberikan. Kelebihan sistem ini adalah terlaksananya prinsip
kendali mutu dan biaya. Karena biaya yang akan dikeluarkan telah diperhitungkan sebelunya
dan dengan dana yang telah ditentukan tersebut, maka penanganannya harus seefektif dan
seefisien mungkin agar dana yang dikeluarkan tidak melebihi dana yang telah dianggarkan
sebelumnya.
Sementara hingga saat ini masih terdapat kekurangan seperti yang kita tahu bahwa
tarif kapitasi yang telah ditetapkan oleh BPJS kepada dokter gigi general practitioner adalah
Rp 2.000,00 dengan perkiraan utilasi 1%. Kami akan menjelaskan dengan perhitungan
sederhana dibawah ini.
Jumlah peserta yang kita tanggung adalah 10.000 pasien

Utilasi : 1%

Tarif kapitasi Rp 2.000,00 per peserta


Maka perhitungannya :
Uang yang didapatkan drg per bulan = jumlah peserta x tarif kapitasi
= 10.000 x Rp. 2.000,00
= Rp 20.000.000,00
Maka setiap drg akan mendapatan Rp 20.000.000,00 per bulan
Peserta yang datang ke drg per bulan = jumlah peserta x utilasi
= 10.000 x 1%
= 100
Maka jumlah peserta yang akan datang ke drg tiap bulannya berjumlah 100 pasien
Uang yang didapatkan dari tiap pasien yang datang = uang perbulan : pasien per
bulan
= Rp 20.000.000,00 : 100

= Rp 200.000,00
Kita dapat menyimpulkan bahwa setiap drg akan mendapatkan Rp 200.000 per pasien
yang datang.
Dari perhitungan tersebut dapat kita simpulkan bahwa dengan utilasi 1% uang yang
akan diperoleh oleh drg per pasien yang datang adalah Rp 200.000,00. Jumlah uang tersebut
dirasa sangat riskan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan apabila kita melihat biaya paling
mahal dari pelayanan yang di tanggung JKN oleh drg general practice berupa tumpatan
composite direct yaitu Rp 135.000,00.
Namun yang menjadi masalah saat ini adalah menurut PDGI (Persatuan Dokter Gigi
Indonesia), yang terjadi dilapangan saat ini adalah utilasi bukan 1% melainkan 2%. Utilasi
yang diluar perkiraan ini tentu menimbulkan berbagai masalah.
Dengan utilasi 2% (2x lipat dari perkiraan BPJS) maka penghasilan yang didapatkan
drg per pasien akan menjadi setengah dari perhitungan sebelumnya karena jumlah pasien
yang datang berarti 2x lipat dari perkiraan sebelumnya. Sehingga dapat kita simpulkan
uang yang didapatkan per pasien yang datang adalah Rp 100.000,00. Jumlah uang
tersebut tentu kurang karena seperti yang kita tahu bahwa biaya paling mahal dari pelayanan
yang di tanggung JKN oleh drg general practice berupa tumpatan composite direct yaitu Rp
135.000,00.

Oleh sebab itu dikhawatirkan akan terjadi pengurangan kesejahteraan atau

bahkan defisit pada drg yang bekerjasama dengan BPJS.


Maka, menurut pendapat kami perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut mengenai tarif
kapitasi yang ditetapkan saat ini. Tarif tersebut haruslah proporsional agar tidak
mengorbanakan kesejahteraan dari drg itu sendiri serta banyak dokter yang masih enggan ikut
serta dalam BPJS karena menganggap tarif kapitasi senilai Rp 2000 sangat tidak relevan. Hal
ini penting menurut kami karena drg merupakan salah satu kunci sukses dari JKN itu sendiri.
Namun tidak hanya BPJS saja yang perlu berevaluasi dokter gigi haruslah mengubah
paradigmanya dari kuratif ke preventive, melakukan upaya preventive yang lebih banyak
dibanding upaya kuratif sehingga tarif kapitasi yang diberikan ke dokter gigi tidak mengalami
defisit lalu bisa menurunkan angka utilitas. Tingginya angka utilitas tersebut karena peran
dokter gigi saat ini untuk upaya preventive sangatlah kurang dengan kebijakan tarif kapitasi
tersebut bisa untuk membenahi paradigma dokter gigi harus melakukan upaya preventif lebih
banyak dan jangan sampai pada tindakan kuratif. Program JKN ini dinilai sangat baik karena

mengusung konsep gotong royong agar seluruh rakyat Indonesia dapat merasakan pelayanan
kesehatan yang murah dan berkualitas, serta merupakan amanah dari UUD 1945.

b. Pembayaran Pelayanan Tingkat Lanjutan


Pelayanan tingkat lanjutan atau rujukan merupakan pelayanan kesehatan berupa pelayanan
spesialistik lanjutan yang ditangani oleh dokter spesialis atau sub spesialis.
Cakupan pelayanan kesehatan meliputi :
1. Pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter spesialis
2. Tindakan medis sesuai dengan indikasi medis
3. berikut ini adalah daftar spesialis yang akan ditanggung dalam BPJS, yaitu :
-

Oral Medicine (PM)


Bedah Mulut (BM)
Pedodonti
Periodonti
Prosthodonti
Konservasi

4. Pemberian resep obat sesuai dengan kebutuhan medis berdasarkan Daftar Obat
Standar (DOS) JPK (generik, DOEN dan obat merk dagang)
5. Fisioterapi
6. Pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai indikasi medis :
a. Pemeriksaan laboratorium
b. Pemeriksaan radiologi
c. Pemeriksaan patologi anatomi, mikrobiologi
d. Pemeriksaan elektromedik
e. Pemeriksaan elektromedik canggih antara lain :
MSCT Scan (Multi Slice CT- Scan), MSCT-Scan dengan fly through
endoscopy, CT Scan dengan 64 slices, CT Scan dual source, Percutaneus
Coronary Angiography (PTCA), Doppler Supra Articulair (DSA) ditanggung
dengan surat jaminan dan sesuai indikasi medis dan diganti setinggitingginya setara pemeriksaan MRI di rumah sakit kerjasama/reimbursement.

7. Selain yang telah tercakup dalam tarif kapitasi (pelayanan primer) dan tarif INACBGs (pelayanan sekunder dan tersier) ada juga pembiayaan kesehatan yang
ditanggung oleh BPJS diluar tarif kapitasi dan INA-CBGs.
ALAT KESEHATAN

TARIF

PROTESA GIGI

Maksimal Rp 1.000.000

KETENTUAN
Diberikan paling cepat 2
(dua) tahun sekali atas
indikasi medis untuk gigi

8. Sesuai Surat Direksi BPJS Kesehatan

Pada pemeriksaan tingkat lanjutan diberlakukan sistem rujukan. Jadi, apabila pasien ingin
mendapatkan pelayanan spesialistik, maka pasien wajib datang ke pelayanan kesehatan
primer (puskesmas, praktik pribadi dokter/dokter gigi umum, dokter/dokter gigi umum di
rumah sakit pratama). Apabila pasien langsung datang ke fasilitas pelayanan tingkat lanjut
maka biaya pelayanan kesehatan tidak akan ditanggung oleh JKN.
Sistem pembayaran yang diberlakukan terhadap pelayanan tingkat lanjutan ini menggunakan
tarif INA-CBG (Indonesia Case Based Group). Tarif INA-CBG adalah tarif yang ditetapkan
berdasarkan klasifikasi kasus atau penyakit dan menjadi standar dari tarif tiap tindakan yang
dilakukan oleh fasilitas pelayanan kesehatan. Jadi, ketika seorang dokter/dokter gigi spesialis
melakukan sebuah tindakan kepada pasien yang bersifat tindakan speisalistik maka
dokter/dokter gigi tersebut wajib mengklasifikasikan tindakan tersebut sehingga tarif dari
tindakan dapat ditetapkan dari tetapan tarif yang tertera pada INA-CBG.
Mekanisme pembayaran tarif INA-CBG
Dokter gigi spesialis yang berpraktik mandiri akan menerima pasien dan biayanya
tidak akan ditanggung oleh BPJS. Berbeda dengan dokter gigi spesialis yang bekerja di
Rumah Sakit mitra BPJS, yang nantinya mereka akan hanya menerima pasien rujukan dari
pelayanan kesehatan primer, dan akan bekerja sesuai INA-CBGs bukan lagi dengan tarif
kapitasi. Semua tarif INA-CBGs pengelompokannya berdasar ICD-10 (Diagnosa) dan ICD9CM (Prosedur/Tindakan). Nantinya dokter spesialis akan menerima pembayaran dari rumah
sakit yang menaunginya. Sebelumnya berikut ini adalah daftar spesialis yang akan
ditanggung dalam BPJS, yaitu :
Oral Medicine (PM)
Bedah Mulut (BM)
Pedodonti
Periodonti
Prosthodonti
Konservasi

TARIF RAWAT INAP (INA-CBGs)


KODE INACBG
U-1-30-I
U-1-30-II
U-1-30-III
U-4-14-I
U-4-14-II
U-4-14-III

DESKRIPSI
KODE INA-CBG
Prosedur
Mulut
Ringan
Prosedur
Mulut
Sedang
Prosedur
Mulut
Berat
Penyakit
Mulut
Ringan
Penyakit
Mulut
Sedang
Penyakit
Mulut
Berat

TARIF
KELAS 3
11.676.049

TARIF
KELAS 2
14.011.259

TARIF
KELAS 1
16.346.468

15.704.950

18.845.940

21.986.930

29.385.481

35.262.577

41.139.673

7.308.518

8.770.221

10.231.925

8.750.175

10.500.210

12.250.245

14.694.826

17.633.791

20.572.756

TARIF RAWAT JALAN (INA-CBGs)


KODE INA-CBG
Q-5-12-0
U-3-16-0

NAMA TINDAKAN
Gigi
Prosedur Pada Gigi

TARIF
474.593
649.627

Semua pembiayaan tersebut akan dibayarkan oleh BPJS kepada rumah sakit,
nantinya masing-masing rumah sakit yang akan memberikan kepada dokter gigi yang berada
di bawah naungannya. Artinya dokter gigi tidak akan mendapatkan tarif sebesar yang telah
disebutkan di atas, tetapi rumah sakit akan memotong terlebih dahulu dengan obat, bahan,
biaya operasional, outsourcing, dll, ini tercantum dalam penjelasan Pasal 24 Ayat 2 UU No.
40 Tahun 2004 Tentang SJSN . Pembiayaan yang diklaim oleh FasYanKes harus dibayarkan
oleh BPJS maksimal 15 hari setelah klaim diajukan. Pembiayaan sesuai tarif INA-CBGs ini
tercantum dalam Perpres No 12 Tahun 2013.
Namun terdapat permasalahan hingga saat ini Dalam pelaksanaannya tarif yang
diterima oleh faskes (fasilitas kesehatan) berdasarkan tarif INA-CBGs, ini berdasarkan
penggolongan penyakit menurut clinical pathway.Namun dalam pelaksanaannya ternyata
teknis dari INA-CBGs masih belum terlalu jelas.
Menurut dia, belum jelasnya pelaksanaan secara teknis, terutama dalam hal
menentukan persepsi mengenai kapasitas penanganan penyakit. Dalam 155 penyakit,
ada ketentuan untuk menyelesaikannya di tingkat puskesmas atau Pelayanan
Pemeliharaan Kesehatan (PPK) tingkat satu.Namun, level kompetensi penanganan
penyakit tidak diatur dengan jelas.Dia mencontohkan, penanganan penyakit epitaksis
atau pendarahan di hidung. Penyakit ini bisa digolongkan menjadi tipe 4 atau 3B.
Apabila kasus penyakitnya hanya pendarahan biasa, mungkin masih bisa ditangani
sampai puskesmas atau PPK tingkat satu.Namun, bila sudah terjadi pendarahan sampai
mengakibatkan pembuluh darah pecah, kasus ini harus langsung ditangani di rumah

sakit.Kalau sudah begitu, tak bisa diselesaikan di puskesmas. Hal seperti ini yang
harus dibuatkan teknisnya secara tepat, kata dia. Selain itu, harus sesuai dengan level
kompetensi berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI).1
Permasalahan ini memang mendasar, namun ketika dilihat dari baru berlangsungnya
JKN, hal ini harus banyak diperbaiki, artinya penyempurnaan INA-CBGs yang harus
meliputi teknis penangannnya bukan hanya tarif kapitasinya. Ini merupakan tugas dari BPJS
untuk terus menyempurnakan seluruh prosedur yang ada sehingga tidak terjadi lagi
kebingungan. Setelah dilakukan penyempurnaan INA-CBGs selanjutnya harus diadakan
sosialisasi mengenainya di seluruh faskes terutama para petugas kesehatan, agar tidak terjadi
lagi kebingungan yang membuat pelayanan kepada pasien menjadi berkurang.
1

Dana JKN untuk faskes


Klaim dana faskes sangatlah penting bagi keberlangsungan rumah sakit
sekunder yang melakukan pengobatan berdasarkan tarif INA-CBGs yang prinsipnya
adalah pengobatan terlebih dahulu, setelahnya baru mengklaim tarif yang telah
digunakan.
Dana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih ada yang belum sampai kesejumlah
puskesmas di Tanah Air. Keterlambatan ini diyakini menghambat pelayanan
kesehatan untuk masyarakat.Salah satu puskesmas yang belum menerimadana JKN
adalah Puskesmas Kassi Kassi di Makassar. Sampai sekarang, dananya belum
turun, kata kepala Puskesmas Maryathi, Kamis (27/3).Menurut dia, dana yang
didapat Puskesmas Kassi Kassi dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
sekitar Rp 3 miliar per tahun.Keterlambatan tersebut membuat pihak puskesmas harus
memutar otak dalam memberikan pelayanan kemasyarakat. Para pekerja pun merasa
resah karena sudah lebih dari tiga bulan tenaga mereka belum dibayar.Hingga saat ini,
Puskesmas Kassi Kassi mengandalkan kucuran dana lain dalam membiayai segala
bentuk kegiatan pelayanan kesehatan. Selain dari BPJS, puskesmas juga mendapat
dana kesehatan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
(http://www.republika.co.id/berita/koran/newsupdate/14/03/28/n35dvu-dana-jknmasih-terkendala)

Keterlambatan yang terjadi dapat menghambat proses keberlangsungan


pelayanan kesehatan baik di tingkat primer (Puskesmas) ataupun tingkat sekunder
melalui klaim tarif INA-CBGs (RumahSakit). Persoalan ini dapat diatasi dengan cara
penentuan tanggal dalam setiap bulan kapan BPJS (JKN) harus mengirimkan dananya

kemasing-masing faskes. Di mana proses ini setiap bulannya terus dipantau oleh
BPJS, apabila terjadi keterlambatan dikenakan sanksi kepada yang bersangkutan.
2

Klaim INA-CBGs
Khusus bagi rumah sakit (tingkat sekunder) berlaku yang dinamakan tarif
INA-CBGs di mana rumah sakit akan mendapatkan penggantian biaya setelah
melakukan pelayanan kesehatan, oleh karena itu disebut klaim. Namun dalam
pelaksanaannya, masih banyak rumah sakit yang merasa dirugikan karena dana klaim
yang terlambat ataupun dana klaim yang tidak sesuai dengan biaya pelayanan
kesehatan yang telah dilakukan.
Besaran tarif pelayanan kesehatan yang diberikan BPJS Kesehatan
kepada fasilitas kesehatan (faskes) yang memberikan pelayanan kepada
peserta JKN masih menghadapi masalah. Akibatnya, masih ada peserta yang
ditolak faskes untuk mendapat pelayanan kesehatan. Menurut Kepala Bidang
Pembiayaan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kalsum
Komaryani, besaran tarif yang digunakan akan terus dievaluasi.
Bahkan, perempuan yang disapa Yani itu melanjutkan, Menkes
sudah memerintahkan jajarannya untuk mengevaluasi besaran tarif lebih cepat
dari yang direncanakan. Sehingga tarif yang diberikan BPJS Kesehatan kepada
faskes primer (Puskesmas) dan sekunder (RS) ditingkatkan.
Walau begitu Yani tak menampik masih ada faskes yang merasa
tariff itu sangat kecil. Salah satu penyebabnya, pemahaman para pemangku
kepentingan terkait mekanisme pembayaran klaim yang digunakan BPJS
Kesehatan kapitasi INA-CBGsmasih kurang. Bisa jadi pangkal masalahnya
karena

sosialisasi

kurang,

terutama

mengenai

mekanisme

pembayaran.Maklum, pembayaran klaim selama ini yang diterima faskes


sekunder menggunakan mekanisme fee for service. Seperti program jaminan
kesehatan yang digelar PT Askes dan PT Jamsostek sebelum bertransformasi
menjadi BPJS.Untuk program Jamkesmas dan Kartu Jakarta Sehat (KJS), pola
pembayarannya menggunakan kapitasi INA-CBGs).
Untuk membenahi masalah yang terjadi pada pelaksanaan
BPJS Kesehatan, Kemenkes terus melakukan pemantauan dan mencari
solusinya. Memang sosialisasi itu kunci, untuk memberi pemahaman
kesemua pemangku kepentingan. Terutama terkait pola pembayaran, katanya

dalam diskusi di Jakarta, Selasa (18/2).


Yani

memantau

sebagian

faskes

yang

mengeluhkan

pembiayaan itu hanya membandingkan besaran tariff berdasarkan paket per


diagnosis. Padahal, data data yang ada di RS sakit itu untuk mendukung
argument mereka yang mengatakan besaran tariff sangat kecil sehingga
menyebabkan RS merugi dapat dikatakan belum ada.

Yani

mencatat

sampai saat ini Kemenkes belum mendapat laporan ada klaim bulan Januari
2014 dari faskes tingkat sekunder yang masuk. Jika klaim itu sudah diajukan,
maka dapat diketahui apakah RS yang bersangkutan merugi atau tidak. INACBGs itu untuk mengendalikan mekanisme pembiayaan pelayanan kesehatan
(agar efektif dan efisien,-red), paparnya.
Pada kesempatan yang sama Kepala Grup Komunikasi dan
Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan, Ikhsan, mengatakan INA-CBGs
menuntut RS untuk cermat dalam melakukan pencatatan. Sehingga, tidak salah
dalam memasukan data klaim (coding) atas pelayanan kesehatan yang
diberikan kepada peserta. Kalo salah coding maka bakal rugi RS-nya. Jadi RS
harus meningkatkan kemampuan SDM, bisa dengan cara pelatihan,ujarnya.
(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt530426be9c7cd/tarif-programjkn-masih-dikeluhkan)
Kunci utama menangani masalah klaim adalah pihak rumah sakit dan juga
BPJS harus berlaku tepat dan cepat.Dilihat dari sisi rumah sakit, mereka harus secara
benar dan paham mengenai semua kode penyakit yang akan ditangani (coding) agar
pada saat klaim tidak terjadi kerugian, dan juga pihak BPJS harus melakukan
pembaharuan-pembaharuan dan juga melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada
pada tarif INA-CBGs serta secara bertahap meningkatkan tarif klaim untuk masingmasing kasus sesuai dengan evaluasi yang dilakukan tiap bulan. Selain itu juga SDM
dari pihak rumah sakit harus paham benar dengan masalah INACBGs agar tidak
terjadi kesalahan, ini dibutuhkan pelatihan lebih lanjut dan juga BPJS harus secara
berkala melakukan sosialisasi mengenai kabar terbaru mengenai tarif INACBGs.
Ketidak profesionalan pegawai (pegawai negeri) yang mengganggu keberlangsungan
JKN dapat dipecat sesuai dengan UU ASN terbaru.
JKN yang baru berjalan 6 bulan harus menghadapi jalan yang rumit dan berbelit.
Berbagai kontra harus dihadapi oleh JKN. Tidak tersebarnya tenaga kerja dan tenaga

kesehatan serta infrastruktur yang tidak merata membuat keikutsertaan JKN menjadi dangat
minim. Selain itu, perhitungan tarif kapitasi yang kurang ralistis dan terkesan ditekan
membuat tenaga kerja kesehatan harus memutar otak dalam keikutsertaan dalam JKN.
Berikut adalah jabaran hasil pengamatan permasalahan JKN terhitung dari masa dimulainya
hingga saat ini:
a. Minimnya sosialisasi
Masalah pertama yang terjadi adalah mengenai minimnya sosialisasi yang
menimbulkan kebingungan diantara masyarakat dan tenaga kesehatan. Contohnya adalah 6
tindakan yang diperoleh masyarakat secara gratis di dokter gigi. Menurut kami upaya yang
harus dilakukan ialah gencarkan sosialisasi mengenai jkn ke masyarakat, misalkan melalui
RT karena sosialisasi ditingkat desa sangat minim padahal mengurus BPJS sebenarnya bisa
dilakukan per KK melalui keluruhan. Sosialisasi mengenai tindakan apa saja yang biayanya
bisa di tanggung oleh BPJS pun dirasa masih kurang karena pemahaman masyarakat masih
banyak yang rancau mengetahui jikalau jika sakit maka akan berobat dengan gratis
menggunakan kartu BPJS padahal hanya beberapa tindakan saja yang bisa ditanggung.
Menurut kami tempel poster mengenai tindakan tindakan yang dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan di tempat praktek ataupun di kantor kelurahan agar informasi dapat tersebar luas.
b. Pelayanan pendaftaran
Masih banyaknya masyarakat yang belum mendaftarkan diri pada program BPJS
dikarenakan pelayanan saat melakukan pendaftaran BPJS yang ramai. Kurangnya petugas
yang melayani sebagai sebabnya menyebabkan antrian yang mengular.
Menurut kami perlunya penambahan gerai pendaftaran BPJS serta penyebaran
informasi melalui media massa mengenai lokasi-lokasi gerai pendaftaran BPJS yang tersedia
di Indonesia serta mengenai data dan dokumen apa saja yang perlu dibawa saat pendaftaran
agar pendaftaran dapat berlangsung efektif. Sejauh ini BPJS telah bekerja sama dengan bank
Mandiri, BRI, dan BCA agar mengurangi antrean pendaftaran BPJS di kantor cabang BPJS.
Melalu ketiga bank tersebut, masyarakat dapat mendaftarkan dirinya secara individu atau
mendaftarkan badan usaha pada kantor-kantor cabang bank trsebut tanpa perlu mengantre di
kantor cabang BPJS. Karena itu, alangkah lebih baik apabila BPJS menambah jumlah Bank
untuk bekerjasama dalam mengurangi antrean pendaftaran di kantor cabang BPJS.
c. Pelayanan yang kurang memuaskan

Pelayanan yang diperoleh di rumah sakit pada saat ini jauh berbeda dari pelayanan
jaman dulu. Jika dulu masyarakat tidak perlu menunggu lama untuk periksa, sekarang
masyarakat dipaksa menunggu lama untuk menunggu, pagi mendaftar siang/sore baru
dilayani. Hal ini membuat peserta BPJS menjadi geram, mereka yang merasa membayar
untuk BPJS ini sangat tidak puas akan pelayanan yang diberikan. Ditambah lagi dengan calo
calo antrian yang ada di rumah sakit. Menurut kami perbaiki pelayanan rumah sakit
terlebih dahulu, jika kurang tenaga kesehatan maka tambah tenaga kesehatan yang ada di
rumah sakit. Tindak tegas oknum oknum yang menjadi calo antrian agar masyarakat dapat
mendapatkan pelayanan dengan adil
d. Jumlah Peserta dan pemerataan dokter gigi
Jumlah Pasien yang tidak sebanding dengan jumlah dokter gigi merupakan serta
pemerataan yang kurang merupakan dua masalah yang dapat dikatakan saling berghubungan.
Lonjakan jumlah pasien yang datang ke drg banyak terjadi di daerah-daerah yang masih
sedikit dokter giginya, sebaliknya kelebihan dokter gigi banyak terjadi di kota-kota besar.
Keadaan ini tentu menimbulkan berbagai masalah diantaranya
1

Penurunan kualitas pelayanan dokter gigi

Jumlah pasien yang datang ke drg tiap hari akan berpengaruh terhadap tenaga dari drg
itu sendiri. Bagaimanapun drg adalah manusia yang memiliki kapasitas dan batasan dalam
bekerja. Apabila drg mengerjakan terlalu banyak pasien dalam satu hari tentu akan
mengakibatkan menurunnya konsentrasi maupun kualitas perawatan pasien. Lonjakan jumlah
pasien ini banyak terjadi di daerah-daerah yang sedikit jumlah drg nya. Contohnya di
Provinsi NTT perbandingan Dokter gigi dengan penduduk adalah 0,27 : 10.000 dimana
idealnya adalah 1 : 10.000 (Data dan Informasi Kesehatan Provinsi NTT 2013).
2

Tidak semua dokter gigi akan dapat bekerjasama dengan BPJS

Perbandingan kebutuhan drg dengan peserta JKN yang ditetapkan saat ini adalah 1 :
10.000. Namun yang terjadi saat ini, drg yang tidak merata menyebabkan menumpuknya drg
di kota-kota besar di Indonesia. Sebagai contoh perbandingan drg dan penduduk pada 2013
di Jakarta adalah 5,05 : 10.000 (Data dan Informasi Kesehatan Provinsi DKI Jakarta 2013).
Menurut PDGI keadaan ini memungkinkan akan adanya drg di Jakarta yang tidak dapat
bergabung dalam sistem JKN ini. Seperti yang kita tahu bahwa tahun 2019 seluruh rakyat
Indonesia ditargetkan dapat tercover seluruhnya oleh JKN. Sehingga akan ada kecenderungan
di masyarakat yang lebih memilih untuk berobat ke drg yang telah bekerjasama dengan BPJS

karena alasan biaya yang pastinya akan jauh lebih murah atau bahkan gratis. Hal ini lah yang
dapat menimbulkan masalah bagi drg yang tidak bekerjasama dengan BPJS, mereka terancam
tidak mendapatkan pasien sehingga kehilangan mata pencaharian.
Maka, menurut kami JKN tidak akan bisa berjalan lancar apabila penyebaran drg
belum merata ke tiap-tiap daerah. Sebenarnya terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan
salah satunya adalah dengan mengendalikan perizinan praktek dari drg yang akan praktek di
kota-kota besar, dengan begitu drg akan dipaksa untuk menyebar ke daerah-daerah yang
masih kekurangan drg. Pun sekarang ini PDGI sedang mengajukan mengenai pengendalian
praktek tersebut pada PemProv DKI Jakarta.
JKN serasa tidak berkeadilan pula jika pada daerah daerah terpencil kualitas dan
kuantitas dokter yang menangani tidak sama seperti di kota besar layaknya di Jakarta padahal
membayar dengan tarif yang sama di seluruh Indonesia sesuai kelas masing-masing.
e. Sistem Regulasi yang Kurang Tepat
Banyaknya masyarakat yang datang ke dokter gigi Puskesmas untuk melakukan
tindakan membuat dokter gigi Puskesmas cukup kewalahan hingga akhirnya merujuk
beberapa pasien ke dokter spesialis. Namun, Drg spesialis justru menolak rujukan tersebut
karena menganggap kasus yang dirujukkan kepadanya masih dapat ditangani oleh drg di
Puskesmas.
Menurut kami perlu adanya sistem regulasi yang jelas, penambahan jumlah dokter
gigi di Puskesmas sebagai Pelayanan Kesehatan tingkat Primer. Penambahan jumlah dokter
gigi diharapkan dapat menjadi solusi kesiap siagaan menghadapi animo masyarakat yang
terbilang tinggi terhadap kepersertaan JKN ini. Apalagi di daerah yang dokter giginya masih
sedikit.
Penutup
JKN merupakan suatu sistem yang sangat mulia ketika dijalankan dengan apik dengan
tatanan yang baik. Imbasnya bukan hanya ke masyarakat, tetapi juga ke negara. Dengan
adanya JKN, pemerintah seharusnya lebih mudah mengelola alokasi APBN kesehatan karena
sudah tertata dalam suatu sistem.
Namun demikian, dasar hukum dari JKN yang belum kokoh memungkinkan
terjadinya penyelewengan dana

serta jebolnya dana JKN ke pihak-pihak yang tidak

bertanggung jawab. Hal tersebut justru akan menyebabkan kerugian besar-besaran bagi
keuangan negara serta bagi para peserta JKN itu sendiri.
Oleh karena itu, kami mahasiswa berharap agar pemerintah:

Memperkuat payung hukum JKN khususnya untuk menjamin keamanan

pengelolaan uang rakyat dan negara


Menjalankan program pemerataan tenaga kesehatan agar semua masyarakat

ternaungi dan terjamin oleh JKN


Memperhitungkan kembali terif kapitasi yang layak bagi tenaga kerja
kesehatan agar kesejahteraan juga dapat dirasakan bagi tenaga kesehatan yang

terlibat dalam JKN


Meningkatkan sosialisasi mengenai JKN hingga ke pelosok negeri
Perbanyak posko untuk pendaftaran keikutsertaan JKN guna mempermudah

masyarakat dalam mengikuti JKN


Berantas pungutan liar serta oknum-oknum yang memanfaatkan JKN untuk
kepentingan pribadi (percaloan)

You might also like