Professional Documents
Culture Documents
ULAMA'
Kelompok 9
Kelas PAI 74
Nama Kelompok :
141903102022
2. Muhammad Ikhsan
141903102027
3. Enggar Aminuddin
141903102035
141910101009
UNIVERSITAS JEMBER
TAHUN AKADEMIK 2014/2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis telah panjatkan atas kehadirat Allah SWT sang Pencipta
alam semesta, manusia, dan kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya, karena berkat
limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan tema SUMBER AJARAN ISLAM YANG
DIPERSELISIHKAN ULAMA' yang sederhana ini dapat terselesaikan tidak kurang
daripada waktunya.
Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidaklain untuk memenuhi
salah satu dari sekian kewajiban mata kuliah umum Pendidikan Agama Islam
merupakan bentuk langsung tanggung jawab penulis pada tugas yang diberikan.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada BAIDLOWI, M.H.I selaku dosen serta semua pihak yang telah membantu
penyelesaian makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana penulis pun sadar
bawasannya penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Allah Azza Wajala hingga dalam
penulisan dan penyusunnnya masih jauh dari kata sempurnaAkhirnya penulis hanya
bisa berharap, bahwa dibalik ketidak sempurnaan penulisan dan penyusunan makalah
ini adalah ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah
bagi penulis, pembaca, dan bagi seluruh mahasiswa-mahasiswi Universitas Jember.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.......................................................................................
Daftar Isi.................................................................................................
ii
BAB I
Pendahuluan...............................................................................
BAB II
Istihsan............................................................................................. 2
Pengertian Istihsan............................................................... 2
Dasar Hukum Istihsan.......................................................... 3
Macam-Macam Istihsan...................................................... 4
Ikhtilaf Para Ulama Tentang Istihsan................................... 5
Istishab............................................................................................. 8
Pengertian Istishab............................................................... 8
Macam-Macam Istishab....................................................... 9
Kedudukan Istishab Sebagai Sumber Dasar Hukum........... 10
Kaidah-Kaidah Istishab....................................................... 11
Maslahah Mursalah.......................................................................... 12
Pengertian Maslahah Mursalah............................................ 12
Syarat-Syarat Maslahhah Mursalah..................................... 13
Macam-Macam Maslahah Mursalah................................... 14
Ikhtilaf Para Ulama Tentang Maslahah Mursalah............... 16
Saddu Dzariah................................................................................. 19
Pengertian Saddu Dzariah.................................................. 19
Kedudukan Saddu Dzariah................................................. 21
Syarat-Syarat Saddu Dzariah............................................. 23
Ikhtilaf Para Ulama Tentang Saddu Dzariah..................... 24
Urf................................................................................................... 26
Pengertian Urf.................................................................... 26
Macam-Macam Urf........................................................... 27
Kedudukan Urf Sebagai Dalil Syara................................. 28
Syarat-Syarat Urf................................................................ 29
Kaidah-Kaidah Urf............................................................. 30
BAB III
Penutup............................................................................................. 32
Daftar Pustaka.............................................................................................. 34
BAB I
Pendahuluan
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus
dipenuhi
oleh
siapapun
yang
ingin
melakukan
mekanisme
ijtihad
dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria
seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat
mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor
yang semestinya. Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri
bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad
dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri,
seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri pada
sebagian
masalahnya
mengalami
perdebatan
(ikhtilaf) di
kalangan
para Ushuliyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian
ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaf fiha,atau Dalil-dalil yang
diperselisihkan penggunaannya dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada yang
tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Quran dan Sunnah
Rasul-Nya dan ada Mashadir Thabiiyah (sumber yang dipautkan kepada sumbersumber pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma dan qiyas. Adapula
yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri yaitu:Istihsan, istishab,
Maslahah mursalah, Urf, Saddudzariah, dan madzhab sahabi.
Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat Istihsan, Istishab, maslahah
mursalah, Saddu Dzariah dan urf yang mencakup pengertian, macam-macamnya,
kehujjahannya, kaidah-kaidahnya, dan contoh-contoh produk hukumnya.
BAB II
Pembahasan
Istihsan
Pengertian Istihsan
Secara etimologi, istihsan berarti menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu
tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama Ushul Fiqih dalam mempergunakan
lafal istihsan. Adapun pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan
oleh Abdul Wahab Khalaf
Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali
(yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli
(umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisnai (pengecualian), karena menurut
pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki
perpindahan tersebut.
Dari pengertian tersebut jelas bahwa istihsan ada dua, yaitu sebagai berikut:
1.
Menguatkan Qiyas Khafi atas qiyas jali dengan dalil. Misalnya, menurut
ulama Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Quran
berdasarkan istihsan, tetapi haram menurut qiyas.
Qiyas: wanita yang sedang haid itu di qiyaskan kepada orang junub
dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca AlQuran, maka orang yang Haid haram membaca Al-Quran.
Istihsan : haid berbeda dengan junub karena haid waktunya lama. Oleh
karena itu, wanita yang sedang haid dibolehkan membaca Al-Quran,
sebab bila tidak, maka haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh
pahala ibadah apapun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap saat.
2. Pengecualian sebagai hukum kulli dengan dalil. Misalnya, jual beli salam
(pesanan) berdasarkan istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kulli, syariat
melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan
ialah manusia berhajat kepada akad seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan
mereka.
Definisi istihsan Menurut imam Abu Al Hasan al Karkhi ialah penetapan hukum
dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan
hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang
lebih kuat yang menghendaki dilakukannya penyimpanagan itu.
Definisi istihsan menurut Ibnul Araby ialah memilih meninggalkan dalil,
mengambil ruksah dengan hukum sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan
dalil yang lain pada sebagian kasus tertentu.
Sementara itu, ibnu anbary, ahli fiqih dari madhab Maliky memberi definisi
istihsan bahwa istihsan adalah memilih menggunakan maslahat juziyyah yang
berlawanan dengan qiyas kully. Istihsan merupakan sumber hukum yang banyak
dalam terminology dan istinbath hukum oleh dua imam madhab, yaitu imam Malik
dan imam Abu Hanifah. Tapi pada dasarnya imam Abu Hanifah masih tetap
menggunakan dalil qiyas selama masih dipandang tepat.
Dari berbagai definisi diatas, dapat difahami bahwa pada hakikatnya istihsan itu
adalah keterkaitan dengan penerapan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan
kaidahnya secara umum baik dari nash, ijma atau qiyas, tetapi ketentuan hukum yang
sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan dan harus dirubah karena berhadapan dengan
persoalan yang khusus dan spesifik.
Dengan demikian, Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih
cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain
disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari
hukum yang pertama. Artinya, persoalan khusus yang seharusnya tercakup ada
ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak memungkinkan dan tidak tepat
diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari ketentuan
umum atau ketentuan yang sudah jelas.
Dasar Hukum Istihsan
para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Quran
dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang
seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18
.
.
Artinya: Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka
Itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS. Az-Zumar: 18)
Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya
yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan
kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
Artinya:Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di
sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi
Allah adalah buruk pula.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin
dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan
kehujjahan Istihsan.
Macam-macam Istihsan
Ulama Hanafiah membagi Istihsan kepada enam macam. Sebagaimana di
jelaskan oleh al-Syatibi, yaitu:
1.
2.
3.
4.
Istihsan
bi
al-maslahah (istihsan
berdasarkan
kemaslahatan).
Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi,
dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk di
diagnosa penyakitnya. Maka, untuk kemaslahatan orang itu, maka
menurut kaidah istihsan seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita
yang berobat kepadanya.
5.
6.
menjadi
masalah
yang
diperselisihkan oleh para ulama. Dan dalam hal ini, terdapat dua pandangan besar
yang berbeda dalam menyikapi Istihsan sebagai salah satu bagian metode ijtihad.
Imam Abu Hanifah sebagai seorang yang menampilkan istihsan sebagai salah satu
dalil dalam istinbath hukum, mendapat serangan dan kritikan yang hebat dari lawanlawan yang menolak istihsan. Berikut ini adalah penjelasan tentang kedua pendapat
tersebut beserta dalilnya.
a. Kelompok Yang Menerima Istihsan sebagai Dalil Hukum
Istihsan dapat digunakan sebagai bagian dari ijtihad dan hujjah. Pendapat ini
dipegangi oleh Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Adapun yang menjadikan alasan
bagi kelompok ini, bahwa istihsan sebagai salah satu dalil hukum syara dan
merupakan hujjah dalam istinbath hukum adalah:
1.
2.
Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.
Menggunakan dalil sunnah sebagai berikut:
.
Artinya: Apa saja yang dipandang baik oleh umat Islam baik juga di sisi Allah .
(HR. Ahmad Ibn Hanbal)
Menurut Madzhab Maliki, istihsan adalah salah satu metode istinbat
(menyimpulkan) hukum yang diakui diambil secara induktif (istiqroi) dari sejumlah
dalil secara keseluruhan (jumlah). Dengan demikian orang yang menggunakan
istihsan tidak berarti semata-mata mengunakan perasaannya dan keinginannya yang
subjektif, tetapi berdasarkan tujuan (maqosid) syara. Karena apabila kias yang
diamalkan
maka
tujuan
syarak
dalam
menurunkan
hukum
tidak
akan
lebih
mementingkan
maslahah
juziyyah
atau
maslahah
tertentu
dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam kata lain sering
dikatakan bahwa al-istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas yang lain yang
dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syariat diturunkan. Tegasnya, al-istihsan
selalu melihat dampak sesuatu ketentuan hukum, jangan sampai membawa dampak
merugikan tapi harus mendatangkan maslahah atau menghindari madarat, namun
bukan berarti istihsan adalah menetapkan hukum atas dasar rayu semata, melainkan
berpindah dari satu dalil ke dalil yang lebih kuat yang kandungannya berbeda. Dalil
kedua ini dapat berwujud ijma, urf atau al-maslahah al-mursalah.
.
.
.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Ayat ini menunjukkan kewajiban merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya dalam
menyelesaikan suatu masalah, sementara Istihsan tidak termasuk dalam upaya
merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia tidak dapat diterima.
1.
2.
3.
4.
Ibn Hazm (w. 456 H) mengatakan: Para sahabat telah berijma untuk tidak
menggunakan rayu, termasuk di dalamnya Istihsan dan qiyas. Umar bin alKhathab radhiyallahu anhu mengatakan: Jauhilah para pengguna rayu!
Karena mereka adalah musuh-musuh Sunnah
Selain Imam Syafii kalangan ulama zhahiriyah juga menolak penggunaan qiyas
secara prinsip, demikian pula ulama syiah dan sebagian ulama kalam mutazilah
karena mereka tidak menerima qiyas, maka dengan sendrinya mereka pun menolak
istihsan karena kedudukan istihsan dalam posisinya sebagai dalil hukum adalah lebih
rendah dari qiyas
Selain dari kalangan ulama zhahiriyah yang sependapat dengan imam syafii
ada juga para ulama yang menolak istihsan dengan alasan yang dituntut dari kaum
muslimin untuk diikuti adalah hukum yang ditetapkan Allah atau yang ditetapkan
Rasul atau hukum yang di qiyaskan kepada hukum Allah dan hukum Rasul itu.
Sedangkan hukum yang ditetapkan berdasarkan apa yang di anggap baik oleh
mujtahid adalah hukum buatan manusia dan bukan hukum syari.
Demikianlah dua pendapat para ulama dalam menyikapi hujjiyah Istihsan dalam
Fiqih Islam beserta beberapa dalil dan argumentasi mereka masing-masing. Lalu
manakah yang paling kuat dari kedua pendapat tersebut?
Jika kita mencermati pandangan dan dalil pendapat yang pertama, kita akan
menemukan bahwa pada saat mereka menetapkan Istihsan sebagai salah satu sumber
hukum, hal itu tidak serta merta berarti mereka membebaskan akal dan logika sang
mujtahid untuk melakukannya tanpa batasan yang jelas. Setidaknya ada 2 hal yang
harus dipenuhi dalam proses Istihsan: ketiadaan nash yang sharih dalam masalah dan
adanya sandaran yang kuat atasIstihsan tersebut (sebagaimana akan dijelaskan dalam
Jenis-jenis Istihsan).
Dan jika kita kembali mencermati pandangan dan argumentasi ulama yang
menolak Istihsan, kita dapat melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya
adalah karena kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jika seorang mujtahid terjebak
dalam penolakan terhadap nash dan lebih memilih hasil olahan logikanya sendiri.
Dan kekhawatiran ini telah terjawab dengan penjelasan sebelumnya, yaitu
bahwa Istihsan sendiri mempunyai batasan yang harus diikuti. Dengan kata lain, para
pendukung pendapat kedua ini sebenarnya hanya menolak Istihsan yang hanya
dilandasi oleh logika semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.
Istishab
Pengertian Istishab
Istishab menurut etimologi berasal dari kata istishaba dalam sighat istifal(
) yang bermakna:
. Kalau kata
diartikan dengan sahabat
atau
teman
menerus,
menyertai.
maka
Atau
istishab
diartikan
atau pengakuan
adanya
perhubungan
atau
mencari
sesuatu
yang
ada
hubunganny .Dan disebutkan juga bahwa istishab berasal dari kata shuhbah artinya
menemani atau menyerta, dalam artian menurut kebersamaan atau terus
menerusnya bersama.sebagaimana yang dikatakan oleh para ahli bahasa dengan
mengatakan: