You are on page 1of 9

Referat

Alat Perlindungan Diri Pada Otopsi

Oleh:
Aulia Silkapianis
Vivi Hafizarni
Andre Andika Hamidi
Yui Muya
Vini Jamarin
Osalalala

0810313207

Preseptor:
Dr. Rika Susanti, Sp.F
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2014

A. PENDAHULUAN
Alat Perlindungan Diri (APD) pada otopsi / Autopsy Safety belum menjadi
pertimbangan hingga tahun 1980-an ketika kasus infeksi HIV pertama kali
muncul. Pada awalnya, APD tersebut ditekankan pada pencegahan infeksi
dengan menegakkan kewaspadaan universal/universal precautions dan
pengembangan peraturan Occupational Safety and Health Administration
(OSHA). Sejalan dengan itu diberlakukan peraturan-peraturan dan prosedur
untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya luka dan tertusuk jarum.

Bahaya-bahaya lainnya teridentifikasi seiring berjalannya waktu dan


penanganan yang sesuai diberlakukan dalam tingkatan yang bervariasi.
Walaupun peraturan-peraturan OSHA awalnya ditentang dan disambut dengan
keengganan, peraturan-peraturan tersebut pada akhirnya memiliki dampak
yaitu menciptakan kesadaran akan pentingnya Autopsy Safety. Hal ini
sangatlah penting karena sebagian besar kecelakaan kerja adalah disebabkan
faktor kelalaian manusia dan kesadaran akan perlindungan diri dan keamanan
dalam bekerja jauh lebih efektif jika dibandingkan dengan peraturan
birokratis.1
Ada enam kategori utama kemungkinan terjadinya cidera pada petugas
medis dan asistennya saat sedang melakukan otopsi, yaitu: cidera mekanik,
cidera akibat benda tajam, sengatan listrik, paparan zat kimia, paparan radiasi,
dan infeksi (tabel 1.)
Kemungkinan Cidera Yang Terjadi Saat Otopsi
Kategori Cidera Contoh
Cidera mekanik Cidera punggung akibat

Pencegahan
Teknik mengangkat yang

mengangkat beban, benda

benar, back support, sepatu

yang terjatuh, terpeleset dan

pelindung, pemasangan

jatuh

permukaan kesat pada


lantai, platform kesat atau

Cidera tajam

Luka terpotong scalpel,

tempat berpijak yang kesat


Menggunakan sarung

tertusuk jarum, tertusuk

tangan tebal (cut-resistant)

fraktur kominutif iga,

pada tangan yang tidak

tertusuk oleh benda logam

dominan, tidak memasang

(wire, fragmen peluru)

kembali tutup jarum,


membuang keseluruhan
alat suntik dan jarum
suntik, kewaspadaan,

Listrik

Sengatan listrik dari

radiografi pre-autopsi
Pemasangan Ground Fault

peralatan (contoh: kabel

Interrupters (GFI

listrik gergaji), sengatan

receptors), konsultasi

Zat kimia

listrik dari defibrillator yang

dengan kardiologist atau

terpasang

produsen alat sebelum

Sianida, Formaldehid

autopsy
Ventilasi yang cukup,
exhaust fan, penggunaan

Radiasi

Infeksi

Implan radioaktif pada

chemical hood
Konsultasi dengan

pasien kanker, paparan sinar-

radiologist, penanda

X
Hepatitis B, Tuberkulosis,

monitor radiasi
Vaksinasi, Universal

Hepatitis C, Parasit

Precautions, menghindari
aerosol, meminimalisir
debu tulang dari proses
penggergajian, sarung
tangan cut resistant,
menghindari menjahit
mayat setelah otopsi

B. CIDERA MEKANIK
Pada setting rumah sakit, orang yang meninggal diangkat/dipindahkan
kurang lebih sekitar tujuh kali, dari tempat tidur ke brankar, ke lemari
pendingin kemudian ke lifter, lalu ke meja otopsi, kembali ke brankar lalu
terakhir ke brankar mobil jenazah. Bagi petugas yang terlibat dalam proses
penangkatan tersebut, terdapat kemungkinan cidera musculoskeletal, terutama
back strain. Modifikasi desain kamar jenazah dapat mengurangi jumlah
pengangkatan mayat menjadi dua kali dengan menggunakan brankar khusus
yang dapat masuk ke lemari pendingin dan alas badan plastik khusus dengan
slot kaset radiografi. Namun karena modifikasi desain kamar mayat seringkali
tidak memungkinkan, dan mesin pengangkat seringkali tidak tersedia, petugas
hanya dapat mengandalkan teknik mengangkat yang benar, meminta bantuan,

menggunakan penyokong punggung, menggulingkan mayat dibandingkan


dengan mengangkatnya jika memungkinkan.
Penggunaan sabun cair yang banyak pada badan mayat dan permukaan alas
dapat membantu mempermudah pemindahan badan mayat, dan dengan
menggunakan

teknik

mengangkat

yang

benar

dapat

meminimalisir

kemungkinan cidera pada asisten otopsi. Untuk melakukan pemeriksaan


punggung dan bagian belakang mayat oleh orang lain, badan mayat
digulingkan ke arah diri sendiri dengan memegang pinggang kontralateral dan
paha atas. Untuk melakukan pemeriksaan tersebut sendiri, lengan bawah
diletakkan diantara paha yang terdekat dan paha yang terjauh dipegang bagian
anteriornya dan ditarik sambil mendorong bahu dan punggung ke atas. Pada
titik ini keseluruhan punggung menjadi tampak dan autopsy shoulder block
dapat diletakkan di punggung bagian atas. Memutar tubuh mayat ke posisi
supine akan secara bersamaan memposisikan punggung di atas autopsy block
sehingga pemeriksa tidak perlu lagi mengangkat tubuh mayat ke atas autopsy
block.
Saat berjalannya autopsy, lantai dapat menjadi basah sehingga menciptakan
risiko terpeleset. Selain solusi sederhana seperti kain pel dan kain lap untuk
menjaga agar permukaan lantai tetap kering, terdapat alas lantai yang dapat
mengurangi kemungkinan terpeleset pada lantai yang basah.
Tinggi dari meja otopsi biasanya tidak dapat diatur ketinggiannya sehingga
mempersulit pemeriksaan khususnya pada pemeriksa bertubuh pendek ataupun
perempuan sehingga tangga maupun platform harus disediakan untuk individu
tersebut.
C. CIDERA TAJAM
Kewaspadaan secara sadar adalah metode pencegahan yang paling baik
dalam mencegah terjadinya luka tusuk ketika otopsi. Kesadaran ini mengatur
tentang praktek yang aman, yang dapat menjadi rutinitas seperti metode
pembuangan benda tajam dan menghindari penggunaan gunting dengan ujung
tajam. Selain itu, petugas dapat memakai sarung tangan cut-resistant pada
tangan yang tidak dominan, yang dapat mencegah luka terpotong namun tidak
luka tusuk jarum.

Kewaspadaan juga berarti mengetahui lokasi dari scalpel sepanjang waktu,


hilangnya scalpel atau pisau scalpel yang terlepas dari handle memerlukan
dihentikannya proses otopsi untuk sementara waktu hingga pisau tersebut
ditemukan. Penyebab tersering dari pisau scalpel yang hilang biasanya masuk
secara tidak sengaja di rongga tubuh mayat. Harus dibiasakan meletakkan
scalpel pada tempat yang mudah ditemukan di atas meja.
Korban trauma dapat menimbulkan bahaya-bahaya tambahan yang dapat
menyebabkan terjadinya luka iris ataupun luka tusuk. Fraktur rusuk kominutif,
sebagai contoh, tersamarkan oleh hemotoraks dan pemeriksa yang tidak hatihati mungkin akan langsung memasukkan tangannya ke permukaan fraktur
yang tajam tersebut. Korban luka tusuk mungkin masih terdapat sebagian atau
keseluruhan pisau/benda tajam di dalam luka ataupun tubuhnya.2 Beberapa
jenis peluru dapat menghasilkan serpihan/fragmen yang tajam.3 Radiografi
preotopsi tidak hanya dapat menemukan benda asing metal tetapi juga bahayabahaya lainnya terhadap pemeriksa.

D. CIDERA LISTRIK
Pada kamar mayat ketika sedang dilakukan otopsi di dalamnya dapat
menjadi tempat yang sangat basah. Namun peralatan-peralatan elektronik
seringkali digunakan dengan menggunakan sarung tangan basah yang hanya
menyediakan sedikit sekali perlindungan terhadap listrik. Gergaji listrik yang
berlapis logam secara khusus sangat rentan terhadap risiko korsleting. Namun
demikian, pemasangan Ground Fault Interrupter (GFI electrical receptors)
dapat mencegah terjadinya sengatan listrik dari alat-alat listrik yang
bermasalah. GFI tersebut harus dites secara teratur untuk memastikan peralatan
tersebut bekerja dengan baik. Suara yang dihasilkan oleh gergaji listrik telah
ditemukan tidak berbahaya dan tidak menyebabkan hilang pendengaran,
bahkan jika 2 gergaji digunakan sekaligus, karena bising yang dihasilkan masih
dalam ambang batas pendengaran yang normal. Selain itu, tidak menggunakan
energy listrik sama sekali (misalnya: menggunakan gergaji bertenaga angin),
dapat mencegah risiko listrik apapun.

Sumber lain dari sengatan listrik adalah terpasangnya cardioverterdefibrillator yang digunakan untuk menangani takiaritmia secara otomatis.
Mengeluarkan alat ini seperti mengeluarkan alat pacu jantung biasa dapat
menyebabkan shock yang parah. Otopsi tidak dapat dimulai sampai alat
cardioverter-defibrillator tersebut dinonaktifkan.4,5 oleh produsen alat ataupun
oleh seorang kardiologist.
E. PAPARAN ZAT KIMIA
Formaldehid adalah salah satu zat kimia yang paling sering digunakan pada
saat otopsi dan menyebabkan paparan paling banyak pada petugas otopsi dan
asistennya. Konsentrasi formaldehid di udara biasanya masih berada di bawah
ambang batas yang diterima. Namun, tingkat formaldehid di udara yang tidak
dapat diterima dapat terjadi ketika menangani specimen yang telah difiksasi
formalin

namun

belum

dicuci

secara

menyeluruh

(contoh:

seorang

neuropathologist yang memeriksa otak yang telah difiksasi formalin). Selain


itu, asisten yang memindahkan, mencampur, maupun bekerja dengan
formaldehid berjumlah banyak di tempat yang miskin ventilasi dapat menerima
paparan formalin di atas ambang batas. Efek iritasi akut yang disebabkan olah
formalin pada membrane mukosa telah diketahui secara luas; meskipun potensi
efek karsinogenik pada penggunaan jangka panjang masih kontroversial. 6-8 Alat
untuk memonitor level formaldehid yang telah mendapat persetujuan oleh
OSHA telah tersedia.6 Pada orang-orang dengan paparan tinggi akibat
pekerjaan, bekerja dengan menggunakan chemical hood ataupun menggunakan
formaldehyde recyclers dapat bermanfaat.
Contoh kasus lainnya, pada kasus keracunan sianida yang tidak tercurigai
dapat menyebabkan rasa mual, pusing, rasa terbakar pada mukosa, nyeri kepala
tiba-tiba, dan sinkop pada petugas otopsi maupun asisten. Sebagian besar orang
tidak dapan mengenali bau sianida.9 Orang yang dapat mengenali baunya
mungkin cukup sensitive terhadapnya. Idealnya, otopsi pada orang yang
dicurigai meninggal akibat mengonsumsi sianida harus dilakukan di ruang
otopsi yang memiliki ventilasi baik dan bertekanan negative, dan perut korban
dibuka dengan memasang chemical/biosafety hood.

F. PAPARAN RADIASI
Radiasi dari paparan terhadap sinar-X sebelum dan sesudah otopsi
bukanlah suatu perhatian khusus kecuali jika dilakukan rontgen secara sering.
Prosedur standar perlindungan terhadap sinar-X dan menggunakan penanda
monitoring radiasi normalnya diperlukan.
Materi radioaktif berupa implant untuk pasien kanker dapat menimbulkan
risiko potensial terhadap pemeriksa dan asistennya. Konsultasi dengan
radioterapist atau radioonkologist harus dilakukan sebelum melakukan otopsi,
khususnya pada ahli forensic perempuan ataupun asisten yang dalam kondisi
hamil yang dapat terpapar oleh radiasi dari implant radioaktif tersebut.
G. TRANSMISI PENYAKIT INFEKSI
Kekhawatiran akan kemungkinan terkena infeksi dalam otopsi cukup besar,
dan rasa khawatir itu akan sangat meningkat apabila ada kemungkinan
transmisi infeksi yang sangat berbahaya. Rasa takut dan khawatir tersebut,
bagaimanapun tidak sesuai dengan tingkat kejadian transmisi penyakit itu
sendiri. Survey informal pada petugas pemeriksa medis yang baru-baru ini
dilakukan pada suatu pertemuan ilmiah nasional menemukan bahwa
mendapatkan infeksi akibat melakukan otopsi sangatlah jarang terjadi. Walau
demikian, terdapat satu kasus hepatitis B pada seorang pathologist dan satu
kasus tuberculosis pada asisten otopsi, dimana mereka telah melakukan otopsi
selama kurun waktu 25 tahun dan telah melakukan kurang lebih 50.000 otopsi.
Kejadian ini pun terjadi sebelum diberlakukannya standar-standar OSHA dan
vaksinasi hepatitis. Walau demikian, berdasarkan pengetahuan terhadap
penyakit infeksi di masa sekarang, tetap diperlukan diberlakukannya universal
precaution. Kewaspadaan tambahan termasuk meminimalisir aerosol dan
mengumpulkan debu-debu tulang (dengan memasang alat pengisap vakum
pada gergaji listrik getar).
Selain diberlakukannya kewaspadaan universal/universal precautions, juga
diperlukan vaksinasi terhadap hepatitis B. Dan seperti biasa, kewaspadaan dan
perhatian dalam mencegah luka iris maupun luka tusuk adalah sangat penting
dalam pencegahan trauma dan infeksi. Pada otopsi dengan risiko tinggi,

(contoh: Lassa Fever, slow virus disease, anthrax), penggunaan masker high
efficiency particulate air (HEPA) harus dipertimbangkan. Walaupun transmisi
infeksi HIV pada personel yang melakukan otopsi sangatlah jarang terjadi, 11
sebagian besar orang menganggap otopsi ini sebagai otopsi risiko tinggi. Dan
juga, telah dianjurkan untuk tidak menjahit tubuh mayat sebelum diserahkan
kepada keluarga/pihak pemakaman karena menjahit adalah penyebab utama
terjadinya luka tusuk pada kamar mayat. 12 Pada prakteknya sehari-hari,
penyalahguna obat-obatan intravena memiliki risiko tertinggi dalam transmisi
penyakit infeksi pada otopsi karena tubuh mereka dapat menyimpan berbagai
pathogen viral, bacterial, maupun mycobacterial yang mungkin tidak terdeteksi
dari riwayat penyakit sebelumnya maupun pemeriksaan fisik. Selain itu, barubaru ini dilaporkan adanya bahaya akan jarum suntik yang patah tersembunyi
di jaringan lunak terutama pada bagian leher dan supraklavikular dari pecandu
obat-obatan terlarang.13
Kematian yang diakibatkan oleh Creutzfeldt-Jakob disease (CJD) sangatlah
jarang, namun kejadian tersebut menimbulkan risiko tinggi akan terjadinya
transmisi penyakit. Tidak terdapat kekhawatiran akan autopsy safety pada
korban dengan CJD, hal ini dikarenakan sebagian besar pathologist akan
langsung menolak melakukan otopsi.
Jika kemungkinan adanya transmisi infeksi melalui darah, sarung tangan
cut-resistant sebaiknya dipakai pada tangan yang tidak dominan. Setelah
otopsi, sarung tangan tersebut harus langsung dicuci dan dilakukan disinfeksi
secara kimiawi (dengan larutan hypoclorite).
DAFTAR PUSTAKA
1. Howard RK. The Death of Common Sense: How Law is Suffocating
America. New York, NY: Random House; 1994:14, 15.
2. Wetli CV, Mittleman RE, Rao VJ. An Atlas of Forensic Pathology. Chicago,
IL: ASCP Press; 1999:64-67.
3. Wetli CV, Mittleman RE, Rao VJ. An Atlas of Forensic Pathology. Chicago,
IL: ASCP Press; 1999:107-108.

4. Prahlow JA, Guileyardo JM, Barnard JJ. The implantable cardioverterdefibrillator, a potential hazard for autopsy pathologists. Arch Pathol Lab Med.
1997;121:1076-1080.
5. Warley VM, Bourke ME, Green M, et al. Implantable cardioverterdefibrillator and the pathologist: comment and cautionary notes. J Forensic Sci.
1998;43:969-973.
6. Council on Scientific Affairs. Formaldehyde. JAMA. 1989;261:1183-1187.
7. Goris JA, Ang S, Navarro C. Exposure to formaldehyde: adverse effects and
preventive measures. ASCP Check Sample ST94-6. 1994;34(6).
8. Goris JA, Ang S, Navarro C. Minimizing the toxic effects of formaldehyde.
Lab Med. 1998;29:39-42.
9. Andrews JM, Sweeney ES, Grey TC, et al. The biohazard potential of
cyanide poisoning during postmortem examination. J Forensic Sci.
1989;34:1280-1284.
10. Nolte KB, Dasgupta A. Prevention of occupational cyanide exposure in
autopsy prosectors. J Forensic Sci. 1996;41:146-147.
11. Johnson MO, Schaffner W, Atkinson J, et al. Autopsy risk and acquisition
of human immunodeficiency virus infection. Arch Pathol Lab Med.
1997;121:64-66.
12. Claydon SM. The high risk autopsy: recognition and protection. Am J
Forensic Med Pathol. 1993;14:253-256.
13. Hutchins KD, Williams AW, Natarajan GA. Neck needle foreign bodies: an
added risk for autopsy pathologists. Arch Pathol Lab Med. 2001;125:790-792.

You might also like