You are on page 1of 47

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam pada anak merupakan hal yang paling sering dikeluhkan oleh orang
tua mulai di ruang praktek dokter sampai ke unit gawat darurat (UGD) anak,
meliputi 10-30% dari jumlah kunjungan. Demam membuat orang tua atau
pengasuh menjadi risau.1,2 Sebagian besar anak-anak mengalami demam sebagai
respon terhadap infeksi virus yang bersifat self limited dan berlangsung tidak lebih
dari 3 hari atau infeksi bakteri yang tidak memerlukan perawatan di rumah sakit.
Akan tetapi sebagian kecil demam tersebut merupakan tanda infeksi yang serius
dan mengancam jiwa seperti pneumonia, meningitis, artritis septik dan sepsis. Hal
ini merupakan tantangan bagi dokter untuk mengidentifikasi penyebab demam
tersebut.2,3
Demam dapat memberikan informasi penting tentang adanya gejala
penyakit,terutama infeksi, dan tentang perubahan status klinis pasien. Pola demam
adalah hal penting untuk membantu dalam diagnosis dan perkembangan terapi
penyakit tertentu, seperti demam malaria, typhus, dan juga malignansi seperti
limfoma, terutama penyakit Hodgkin.4
Demam menurut American of Pediatric adalah kenaikan suhu tubuh diata
normal. Bila diukur pada rektal >38 C (100,4 F), diukur pada oral >37,8 C dan
bila diukur melalui aksila > 37,2 C (99 F). Pada prinsipnya demam dapat
menguntungkan dan dapat pula merugikan. Pada tingkat tertentudemam
merupakan bagian dari pertahanan tubuh yang bermanfaat karena timbul dan

menetap sebagai respon terhadap suatu penyakit. Namun suhu tubuh yang terlalu
tinggi juga akan berbahaya. Saat ini demam dianggap sebagai suatu kondisi sakit
yang umum. Demam juga merupakan keadaan yang sering diderita oleh anakanak. Hampir setiap anak pernah merasakan demam.5
Pada dasarnya terdapat dua kondisi demam yang memerlukan pengelolaan
yang berbeda. Pertama adalah demam yang tidak boleh terlalu cepat diturunkan
karena merupakan respon terhadap infeksi ringan yang tidak bersifat self limited.
Kedua adalah demam yang membutuhkan pengelolaan segera karena merupakan
tanda infeksi serius dan mengancam jiwa seperti pneumonia, meningitis, dan
sepsis. Oleh karena itu, pemahaman mengenai pengelolaan demam pada anak
yang baik menjadi sesuatu yang penting untuk dipahami. 5 Pengobatan rasional
terhadap demam memerlukan pemahaman terhadap regulasi suhu tubuh, produksi
dan konservasi panas, serta penerapan patofisiologi demam pada beberapa
keadaan, dan pengetahuan mengenai mekanisme penurunran suhu tubuh.6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Regulasi Suhu Tubuh
Manusia mempunyai kemampuan untuk memelihara suhu tubuh relatif
konstan dan berlawanan dengan suhu lingkungan. Kepentingan dipertahankan
suhu tubuh pada manusia adalah berhubungan dengan reaksi kimia didalam tubuh
kita. Misalnya kenaikan suhu 10 C bisa mempercepat proses biologis 2-3 kalinya.
Suhu inti manusia berfluktuasi +1 C dalam kegiatan sehari-hari.
Konsep core temperature yaitu dianggap merupakan dua bagian dalam
soal pengaturan suhu yaitu: Bagian dalam inti suhu tubuh, yang benar-benar
mempunyai suhu rata-rata 37C, yaitu diukur pada daerah (mulut, otot, membrane
tympani,vagina, esophagus).
1. Organ Pengatur Suhu Tubuh
Pusat pengatur panas dalam tubuh adalah Hypothalamus, Hipothalamus
ini dikenalsebagai thermostat yang berada dibawah otak. Hipothalamus
anterior berfungsimengatur pembuangan panas. Hipothalamus posterior
berfungsi mengatur upaya penyimpanan panas.5
2. Mekanisme Pengaturan Suhu Tubuh
Kulit > Reseptor ferifer > hipotalamus (posterior dan anterior) >
Preoptikahypotalamus > Nervus eferent > kehilangan/pembentukan panas.
3. Sumber Panas
a. MetabolismeKegiatan metabolisme tubuh adalah sumber utama dan
pembentukan/pemberian panas

tubuh.

Pembentukan

panas

dari

metabolisme dalam keadaan basal (BMR) + 70kcal/jam sedang pada


waktu kerja (kegiatan otot) naik sampai 20%.
b. Bila dalam keadaan dingin seseorang menggigil maka produksi panas
akan bertambah 5 kalinya.
4. Pelepasan Panas
Sebagian besar pembentukan panas di dalam tubuh dihasilkan di organ
dalam, terutama di hati, otak, jantung dan otot rangka selama berolahraga.
Kemudian panas ini dihantarkan dari organ dan jaringan yang lebih dalam ke
kulit, yang kemudian dibuang ke udara dan lingkungan sekitarnya. Oleh
karena itu laju hilangnya panas hampir seluruhnya ditentukan oleh faktor:
a. Seberapa cepat panas dapat dikonduksi dari tempat adanya panas
dihasilkan, yakni dari dalam inti tubuh ke kulit.
b. Seberapa cepat panas kemudian dapat dihantarkan dari kulit ke
lingkungan.
Beberapa cara yang menjelaskan mengenai panas yang hilang dari kulit ke
lingkungan meliputi:
a.

Radiasi. 60% dari kehilangan panas total adalah melalui radiasi. Kehilangan
panas melalui radiasi berarti kehilangan dalam bentuk gelombang panas
inframerah, suatu jenis gelombang elektromagnetik. Semua benda yang tidak
berada pada suhu nol absolut memancarkan panas seperti gelombang tersebut.
Tubuh manusia menyebarkan panas ke segala penjuru. Gelombang panas juga
dipancarkan dari dinding ruangan dan benda-benda lain ke tubuh. Bila suhu
tubuh lebih besar dari suhu lingkungan jumlah panas yang lebih besar akan
dipancarkan keluar tubuh dari pada dipancarkan ke tubuh.

b.

Konduksi hanya sekitar 3% panas tubuh yang hilang melalui konduksi


langsung dari permukaan tubuh ke benda-benda padat seperti kursi dan
tempat tidur. Sebaliknya kehilangan panas melalui konduksi ke udara
mencerminkan kehilangan panas tubuh yaang cukup besar (kira-kira 15%)
walaupun dalam keadaan normal.

c.

Konveksi. Perpindahan panas dengan perantaraan gerakan molekul, gas atau


cairan. Misalnya pada waktu dingin udara yang diikat/dilekat menjadi pada
tubuh akan dipanaskan (dengan melalui konduksi dan radiasi) kurang padat,
naik dan diganti udara yang lebih dingin. Biasanya ini kurang berperan dalam
pertukaran panas.

d.

Evaporasi. Penguapan dari tubuh merupakan salah satu jalan melepaskan


panas. Walau tidak berkeringat, melalui kulit selalu ada air berdifusi
sehingga penguapan dari permukaan tubuh kita selalu terjadi disebut
inspiration perspiration (berkeringat tidak terasa) atau biasa disebut IWL
(insensible water loss). Inspiration perspiration melepaskan panas + 10
kcal/jam dari permukaan panas dari metabolisme dikeluarkan kulit. Dari jalan
pernafasan + 7 kcal/jam dengan cara evaporasi 20 - 25%.5

2.2. Pengaturan Suhu Tubuh

2.2.1. Keseimbangan produksi panas dan kehilangan panas


Pengaturan suhu memerlukan mekanisme perifer yang utuh, yaitu
keseimbangan produksi dan pelepasan panas, serta fungsi pusat pengatur suhu di
hipotalamus yang mengatur seluruh mekanisme. Bila laju pembentukan panas
dalam tubuh lebih besar daripada laju hilangnya panas, timbul panas dalam tubuh

dan temperatur tubuh meningkat. Sebaliknya, bila kehilangan panas lebih besar,
panas tubuh dan temperatur tubuh akan menurun.7
2.2.2 Produksi Panas
Dalam tubuh, panas diproduksi melalui peningkatkan Basal Metabolic Rate
(BMR). Faktor-faktor yang dapat meningkatkan Basal Metabolic Rate antara lain:
(1) laju metabolisme dari semua sel tubuh; (2) laju cadangan metabolisme yang
disebabkan oleh aktivitas otot; (3) metabolisme tambahan yang disebabkan oleh
pengaruh tiroksin, epinefrin, norepinefrin dan perangsangan simpatis terhadap sel;
(5) metabolisme tambahan yang disebabkan oleh meningkatnya aktivitas kimiawi
didalam sel sendiri.7
Pada keadaan istirahat, berbagai organ seperti otak, otot, hati, jantung, tiroid,
pankreas dan kelenjar adrenal berperan dalam menghasilkan panas pada tingkat
sel yang melibatkan adenosin trifosfat (ATP). Bayi baru lahir menghasilkan panas
pada jaringan lemak coklat, yang terletak terutama dileher dan skapula. Jaringan
ini kaya akan pembuluh darah dan mempunyai banyak mitokondria. Pada keadaan
oksidasi asam lemak pada mitokondria dapat meningkatkan produksi panas
sampai dua kali lipat. Dewasa dan anak besar mempertahankan panas dengan
vasokonstriksi dan memproduksi panas dengan menggigil sebagai respon terhadap
kenaikan suhu tubuh. Aliran darah yang diatur oleh susunan saraf pusat
memegang peranan penting dalam mendistribusikan panas dalam tubuh. Pada
lingkungan panas atau bila suhu tubuh meningkat, pusat pengatur suhu tubuh di
hipotalamus mempengaruhi serabut eferen dari sistem saraf otonom untuk
melebarkan pembuluh darah (vasodilatasi). Peningkatan aliran darah dikulit

menyebabkan pelepasan panas dari pusat tubuh melalui permukaan kulit


kesekitarnya dalam bentuk keringat. Dilain pihak, pada lingkungan dingin akan
terjadi vasokonstriksi pembuluh darah sehingga akan mempertahankan suhu
tubuh.8
2.2.3 Kehilangan Panas
Berbagai cara panas hilang dari kulit ke lingkungan dapat melalui beberapa
cara yaitu: (1) Radiasi : kehilangan panas dalam bentuk gelombang panas infra
merah, suatu jenis gelombang elektromagnetik. Dimana melalui cara ini tidak
menggunakan sesuatu perantara apapun. Secara umum enam puluh persen panas
dilepas secara radiasi; (2) Konduksi : kehilangan panas melalui permukaan tubuh
ke benda-benda lain yang bersinggungan dengan tubuh, dimana terjadi
pemindahan panas secara langsung antara tubuh dengan objek pada suhu yang
berbeda. Dibandingkan dengan posisi berdiri, anak pada posisi tidur dengan
permukaan kontak yang lebih luas akan melepas panas lebih banyak melalui
konduksi; (3) Konveksi : pemindahan panas melalui pergerakan udara atau cairan
yang menyelimuti permukaan kulit; (4) Evaporasi : kehilangan panas tubuh
sebagai akibat penguapan air melalui kulit dan paru-paru, dalam bentuk air yang
diubah dari bentuk cair menjadi gas; dan dalam jumlah yang sedikit dapat juga
kehilangan panas melalui urine dan feses.
Faktor fisik jelas akan mempengaruhi kemampuan respon perubahan suhu.
Pelepasan panas pada bayi sebagian besar disebabkan oleh karena permukaan
tubuhnya lebih luas dari pada anak yang lebih besar.5
2.2.4 Konsep Set-Point dalam pengaturan suhu tubuh

Konsep Set-Point dalam pengaturan temperatur yaitu semua mekanisme


pengaturan temperatur yang terus-menerus berupaya untuk mengembalikan
temperatur tubuh kembali ke tingkat Set-Point. Set-point disebut juga tingkat
temperatur krisis, yang apabila suhu tubuh seseorang melampaui diatas set-point
ini, maka kecepatan kehilangan panas lebih cepat dibandingkan dengan produksi
panas, begitu sebaliknya. Sehingga suhu tubuhnya kembali ke tingkat set-point.
Jadi suhu tubuh dikendalikan untuk mendekati nilai set-point.7

2.2.5 Peranan Hipotalamus dalam pengaturan suhu tubuh.


Suhu tubuh diatur hampir seluruhnya oleh mekanisme persarafan umpan
balik, dan hampir semua mekanisme ini terjadi melalui pusat pengaturan suhu
yang terletak pada area preoptik hipotalamus anterior. Termostat hipotalamus
bekerja berdasarkan masukan dari ujung saraf dan dari suhu darah yang beredar di
tubuh. Berdasarkan input tersebut maka set point akan membentuk panas atau
justru membuang panas.Berikut ini dikemukakan secara ringkas neuron dan
transmiter yang berperan pada pengaturan suhu tubuh:6

1. Neuron. Di daerah preoptik terdapat dua jenis neuron termosensitif, warm


sensitive neurons yang meningkatkan pembuangan panas (firing rate)
ketika suhu preoptik meningkat, dan cold sensitive neurons yang
meningkatkan firing rate ketika suhu preoptik turun. Neuron sensitif panas
jumlahnya lebih banyak dan respons regulasinya lebih kuat ketimbang
neuron sensitif dingin. Pada keadaan normal, suhu tubuh mengalami
variasi diumal, paling tinggi di penghujung sore menjelang malam; paling
rendah di pagi hari saat bangun tidur. Ritme ini dikendalikan oleh nukleus
suprakiasmatik hipotalamus melalui proyeksi langsung ke bagian dorsal
zona subparaventrikular, suatu area di bagian ventral paraventrikular
(PVN).

Oleh

karena

itu,

lesi

fokal

bilateral

di

dorsal

zona

subparaventrikular akan mengganggu variasi sirkadian suhu tubuh,


sedangkan lesi bilateral di PVN itu sendiri, tidak menimbulkan dampak.
Nukleus suprakiasmatik meneruskan informasi ke neuron termosensitif
melalui jaras multisinaps di daerah preoptik zona subparaventrikular.
2. Neurotransmifer.

Belum

banyak

diketahui

perihal

mediator

neurotransmiter/peptid dan jaras untuk respons tennoregulasi, namun


beberapa zat terbukti dapat menimbulkan respons hipotermik atau
hipertermk. Set point juga sensitif terhadap kadar steroid seks dalam
sirkulasi darah sehingga pada perempuan, suhu tubuh turun di pertengahan
siklus menstruasi dan meningkatpada fase luteal. Estrogen, turut berperan
pada penurunan suhu fubuh di bagian akhir fase luteal melalui preoptic
warm sensitive neurons, sedangkan progesteron kebalikannya. Oleh

karena itu, pada periode pascamenopause, respons termoregulatot


meningkat (hot flashes).
Daerah spesifik dari interleukin-1 (IL-1) adalah regio preoptik hipotalamus
anterior, yang mengandung sekelompok saraf termosensitif yang berlokasi di
dinding rostral ventrikel III, disebut juga sebagai korpus kalosum lamina
terminalis (OVLT) yaitu batas antara sirkulasi dan otak. Saraf termosensitif ini
terpengaruh oleh daerah yang dialiri darah dan masukan dari reseptor kulit dan
otot. Saraf yang sensitif terhadap hangat terpengaruh dan meningkat dengan
penghangatan atau penurunan dingin, sedang saraf yang sensitif terhadap dingin
meningkat dengan pendinginan atau penurunan dengan penghangatan. Telah
dibuktikan bahwa IL-1 menghambat saraf sensitif terhadap hangat dan
merangsang cold-sensitive neurons. Korpus kalosum lamina terminalis (OVLT)
mungkin merupakan sumber prostaglandin.10
Selama demam, IL-1 masuk kedalam ruang perivaskular OVLT melalui
jendela kapiler untuk merangsang sel untuk memproduksi prostaglandin E-2
(PGE-2); secara difusi masuk kedalam regio preoptik hipotalamus anterior
untuk menyebabkan demam atau bereaksi dalam serabut saraf dalam OVLT.
Hasil akhir mekanisme kompleks ini adalah peningkatan thermostatic set-point
yang akan memberi isyarat serabut saraf eferen, terutama serabut simpatis
untuk memulai menahan panas (vasokonstriksi) dan produksi panas
(menggigil). Keadaan ini dibantu dengan tingkah laku manusia yang bertujuan
untuk menaikkan suhu tubuh, seperti mencari daerah hangat atau menutup
tubuh dengan selimut. Hasil peningkatan suhu melanjut sampai suhu tubuh
mencapai peningkatan set-point. Peningkatan set-point kembali normal apabila

10

terjadi penurunan konsentrasi IL-1 atau pemberian antipiretik dengan


menghambat sintesis PGE-2. PGE-2 diketahui mempengaruhi secara negative
feed-back dalam pelepasan IL-1, sehingga dapat mengakhiri mekanisme ini
yang awalnya diinduksi demam. Sebagai tambahan, arginin vasopresin (AVP)
beraksi dalam susunan saraf pusat untuk mengurangi pyrogen induced fever.
Kembalinya suhu menjadi normal diawali oleh vasodilatasi dan berkeringat
melalui peningkatan aliran darah kulit yang dikendalikan oleh serabut saraf
simpatis.10

2.3 Definisi Demam


Demam adalah keadaan suhu tubuh diatas normal sebagai akibat peningkatan
pusat pengatur suhu di hipotalamus yang dipengaruhi oleh IL 1. Pengaturan suhu
pada keadaan sehat atau demam merupakan keseimbangan antara produksi dan
pelepasan panas. Demam menurut American of Pediatric adalah kenaikan suhu
tubuh diata normal. Bila diukur pada rektal >38 C (100,4 F), diukur pada oral
>37,8 C dan bila diukur melalui aksila > 37,2 C (99 F). El-Rahdi dan kawankawan mendefinisikan demam (pireksia) dari segi patofisiologis dan klinis. Secara
patofisiologis demam adalah peningkatan thermoregulatory set point dari pusat
hipotalamus yang diperantarai oleh interleukin I (IL-1). Sedangkan secara klinis
demam adalah peningkatan suhu tubuh 1 C atau lebih besar diatas nilai rerata
suhu normal ditempat pencatatan. Sebagai respon terhadap perubahan set point
ini, terjadi proses aktif untuk mencapai set point yang baru. Hal ini dicapai secara
fisiologis dengan meminimalkan pelepasan panas dan memproduksi panas.5

11

Suhu rektal normal 0,27 0,38C (0,5 0,7F) lebih tinggi dari suhu oral.
Suhu aksila kurang lebih 0,55C (1F) lebih rendah dari suhu oral. 5
Untuk kepentingan klinis praktis, pasien dianggap demam bila suhu rektal
mencapai 38C, suhu oral 37,6C, suhu aksila 37,4C, atau suhu membran timpani
mencapai 37,6C.1 Hiperpireksia merupakan istilah pada demam yang
digunakan bila suhu tubuh melampaui 41,1C (106F). Hipertermia adalah
peningkatan suhu tubuh yang tidak diatur disebabkan ketidakseimbangan antara
produksi dan pembatasan panas. Interleukin 1 pada keadaan ini tidak terlibat oleh
karena itu pusat pengaturan suhu di hipotalamus berada dalam keadaan normal.
Suhu tubuh normal bervariasi sesuai irama suhu circardian (variasi diurnal).
Suhu terendah dicapai pada pagi hari pukul 04.00-06.00 dan tertinggi pada awal
malam hari pukul 16.00-18.00. kurva demam biasanya juga mengikuti pola
diurnal ini. Suhu tubuh juga dipengaruhi oleh faktor individu dan lingkungan
meliputi usia, jenis kelamin, aktivitas fisik dan suhu udara ambien. Oleh karena
itu jelas bahwa tidak ada nilai tunggal untuk suhu tubuh normal. Hasil pengukuran
suhu tubuh bervariasi tergantung pada tempat pengukuran.11

12

2.4 Penyebab Demam


Pirogen adalah suatu zat yang menyebabkan demam terdapat dua jenis yaitu
pirogen eksogen dan pirogen endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh
dan berkemampuan untuk merangsang IL 1, sedangkan pirogen endogen berasal
dari dalam tubuh dan mempunyai kemampuan untuk merangsang demam dengan
mempengaruhi pusat pengaturan suhu di hipotalamus. Interleukin 1, tumor
necrosis factor , dan interferon adalah pirogen endogen.5
2.4.1

Pirogen Eksogen

Pirogen eksogen biasanya merangsang demam dalam 2 jam setelah


terpapar. Umumnya pirogen berinteraksi dengan sel fagosit, makrofag, atau
monosit untuk merangsang sintesis IL 1. Mekanisme lain yang mungkin berperan
sebagai pirogen eksogen bekerja langsung pada hipotalamus untuk mengubah
pengatur suhu. Radiasi, racun DDT, dan racun kalajengking dapat pula
menghasilkan demam dengan efek langsung pada hipotalamus.5
2.4.2

Pirogen Mikrobial

a. Bakteri Gram Negatif


Pirogenitas bakteri gram negatif misalnya Eschericia coli, Salmonela
disebabkan adanya heat stable factor yaitu endotoksin, suatu pirogen
eksogen yang pertama kali ditemukan. Komponen aktif endotoksin berupa
lapisan luar bakteri yaitu lipopolisakarida. Endotoksin menyebabkan
peningkatan suhu yang progresif tergantung dari dosis. Endotoksin gram
negativ tidak selalu merangsang terjadinya demam, pada bayi dan anak
infeksi gram negatif akan mengalami hipotermi.5
b. Bakteri Gram Positif

13

Pirogen utama bakteri gram positif misalnya Stafilokokus adalah


peptidoglikan dinding unit. Per unit berat endotoksin lebih aktif daripada
peptidoglikan. Hal ini menerangkan perbedaan prognosis lebih buruk
berhubungan dengan infeksi bakteri gram negatif. Mekanisme yang
bertanggung

jawab

terjadinya

demam

yang

disebabkan

infeksi

pneumokokus diduga proses imunologik. Penyakit yang melibatkan


produksi eksotoksin oleh basil gram positif pada umumnya demam yang
ditimbulkan tidak begitu tinggi dibandingkan dengan gram positif piogenik
atau bakteri gram negativ lainnya.5
c. Virus
Telah diketahui secara klinis bahwa virus menyebabkan demam. Pada
tahun 1958, dibuktikan adanya pirogen yang beredar dalam serum kelinci
yang mengalami demam setelah disuntik virus influenza. Mekanisme virus
memproduksi demam antara lain dengan melakukan invasi langsung ke
dalam makrofag reaksi imunologik terhadap komponen virus termasuk di
antaranya pembentukan antibodi induksi oleh interferon dan nekrosis sel
akibat virus.5
d. Jamur
Produk jamur baik mati maupun hidup memproduksi pirogen eksogen
yang akan merangsang terjadinya demam. Demam umumnya timbul ketika
mikroba berada dalam peredaran darah. Anak yang menderita penyakit
keganasan disertai demam yang berhubungan dengan neutropenia mempunyai
risiko tinggi untuk terserang infeki jamur invasif.5
2.4.3

Pirogen Non Mikrobial

14

1. Fagositosis
Fagositosis antigen non mikrobial kemungkinan sangat bertanggung
jawab untuk terjadinya demam dalam proses tranfusi darah dan anemia
hemolitik imun.
2. Kompleks Antigen Antibodi
Demam yang disebabkan oleh reaksi hipersensitiv dapat timbul baik
sebagai akibat reaksi antigen terhadap antibodi yang beredar, yang
tersensitasi atau oleh antigen yang diaktivasi sel T untuk memproduksi
limfokin yang sebaliknya akan merangsang monosit dan makrofag untuk
melepas IL 1. Contoh demam yang disebabkan oleh immunologically
mediated diantaranya lupus eritematosus sistemik dan reaksi obat yang
berat. Demam yang berhubungan dengan hipersensitif terhadap penisilin
lebih mungkin disebabkan oleh akibat interaksi kompleks antigen antibodi
dengan leukosit dibandingkan dengan pelepasa IL 1.5
3. Steroid
Steroid tertentu bersifat pirogenik bagi manusia. Ethiocholanolon dan
metabolik androgen diketahui sebagai perangsang pelepasan IL 1.
Ethiocholanolon memproduksi demam hanya bila disuntikkan secara
intramuskular maka diduga demam tersebut diakibatkan pelepasan IL 1
oleh jaringan subkutis pada tempat suntikan. Steroid ini diduga
bertanggung jawab terhadap terjadinya demam pada pasien dengan
sindrom adrenogeital dan demam yang tidak diketahui penyebabnya.5
4. Sistem Monosit Makrofag

15

Sel mononuklear bertanggung jawab terhadap produksi IL 1dan


terjadinya demam. Granulosit polimorfonuklear tidak lagi diduga sebagai
penanggung jawab dalam memproduksi IL 1 oleh karena demam dapat
timbul dalam keadaan agarnulositosis. Sel mononuklear selain merupakan
monosit yang beredar dalam darah perifer juga tersebar dalam organ
seperti paru, nodus limfatik, plasenta,ruang peritonium, dan jaringan
subkutan. Monosit dan makrofag berasal dari granulocyte monocyte
colonyforming unit dalam sumsum tulang, kemudian memasuki peredaran
darah untuk tinggal beberapa hari sebagai monosit yang beredar atau
bermigrasi kedalam jaringan yang akan berubah fungsi dan morfologi
menjadi makrofag yang berumur beberapa bulan. Sel-sel ini berperan
penting dalam pertahanan tubuh termasuk di antaranya merusak dan
engulfing
Mikroba,

mengenal

antigen

dan

mempresentasikannya

untuk

menempel pada limfosit, aktivasi limfosit T dan desatruksisel tumor.


Keadaan yang berhubungan dengan perubahan fungsi sistem monosit
makrofag di antaranya bayi baru lahir, kortikosteroid dan terapi
imunosupresi lain, lupus eritematosus sistemik, sindrom Wiskott Aldrich
dan penyakit granulomatosus kronik. Dua produk utama monosit makrofag
adalah IL 1 dan TNF.5
Tabel 2. Fungsi utama sistem Monosit-Makrofag

16

Fagositosis
Antigen Mikrobial dan Nonmikrobial
Memproses dan

Peran utama mekanisme pertahanan sebelum

mempresentasikan
Antigen
Aktivasi sel-T

antigen
dipresentasikan pada sel-T
Sel-T menjadi aktif hanya setelah kontak antigen

Tumorisidal
Sekresi dari :
Interferon dan

pada
permukaan monosit-makrofag
Umumnya disebabkan oleh TNF
Mempengaruhi respon imun, anti virus, anti

IL-1

proliferatif
Efek primer pada hipotalamus untuk mengindusi

IL-6

demam,
aktivasi sel-T dan produksi antibodi oleh sel-B
Induksi demam dan hepatic acute phase proteins,
aktivasi
sel-B dan stem cell, resistensi non spesifik pada

IL-8
IL-11

infeksi
Aktivasi neutrofil dan sintesis IgE
Efek pada sel limfopoetik dan mieloid/eritroid,

Tumor necrosis factor


Prostaglandin
Lisozim

perangsangan
sekresi T-cell dependent B-cell
Aktivasi selular, aktivasi anti tumor
Beraksi sebagai supresi imun, mengurangi IL-1
Zat penting bagi proses peradangan

4. Pirogen Endogen
1. Interleukin 1
Interleukin 1 disimpan dalam bentuk inaktif falam sitoplasma sel
sekretori dengan bantuan enzim diubah menjadi bentuk aktif sebelum
dilepas melalui membran sel kedalam sirkulasi. Interleukin 1 dianggap
sebagai hormon oleh karena mempengaruhi organ-organ yang jauh.
Penghancuran IL 1 terutama dilakukan di ginjal.

17

Interleukin 1terdiri atas tiga struktur polipeptida yanng saling


berhubungan yaitu dua agonis (IL 1 alfa dan IL 1 beta) dan sebuah
antagonis (IL 1 reseptor antagonis ). Reseptor antagonis IL 1 ini
berkompetisi dengan IL 1 alfa dan IL 1 beta untuk berikatan dengan
reseptor IL 1. Jumlah relatif IL 1 da reseptor antagonis IL 1 dalam suatu
keadaan sakit akan mempengaruhi reaksi inflamasi menjadi aktif atau
ditekan. Selain makrofag sebagai sumber utama produksi IL 1, sel kupffer
di hati, keratinosit, sel langerhans pankreas, serta astrosit juga
memproduksi IL 1. Pada jaringan otak , produksi IL 1 oleh astrosit di duga
berperan dalam respon imun dalam susunan saraf pusat dan demam
sekunder terhadap pendarahan SSP.
Interleukin 1 mempunyai banyak fungsi, fungsi primer menginduksi
demam pada hipotalamus untuk menaikkan suhu. Peran mutlak diperlukan
untuk proliferasi sel T serta aktivasi sel B maka, sebelum IL 1 dikenal
sebagai LAF (lymphocyte activating factor)dan BAF ( B cell activating
factor ). Interleukin 1 merangsang beberapa protein tertentu di hati, seperti
protein fase akut misalnya fibrinogen, haptoglobin, seruloplasmin dan
CRP, sedangkan sintesis albumin dan transferin menurun. Secara
karakteristik akan terlihat penurunan konsentrasi zat besi serta seng dan
peningkatan konsentrasi tembaga. Keadaan hipoferimia terjadi sebagai
akibat penurunan asimilasi zat besi pada usus dan peningkatan simpanan
zat besi dalam hati. Perubahan ini mempengaruhi daya tahan tubuh pejamu
oleh karena menurunkan daya serang mikroorganisme dengan mengurangi

18

nutrisi esensialnya, seperti zat besi dan seng. Dapat timbul leukositosis,
peningkatan kortisol, danlaju endap darah.5
2.Tumor Necrosis Factor (TNF)
Tumor Necrosis Factor (TNF) ditemukan pada tahun 1968. Sitokin ini
selain dihasilkan monosit dan makrofag limfosit, naturral killer cells, sel
kupffer juga oleh astrosit otak sebagai respon tubuh terhadap rangsang
atau luka yang invasif. Sitokin dalam jumlah sedikit mempunyai efek
biologik yang menguntungkan. Berbeda dengan IL 1 yang mempunyai
aktivitas anti tumor yang rendah, TNF memiliki efek langsung terhadap sel
tumor. Ia mengubah pertahanan tubuh terhadap infeksi dan merangsang
pemulihan jaringan menjadi normal, termasuk penyembuhan luka. Tumor
Necrosis Factor (TNF) juga mempunyai efek merangsang produksi IL ,
menambah

aktivitas

kemotaksis

makrofag

dan

neutrofil

serta

meningkatkan fagositosis dan sitotoksik. Apabila jumlah yang dilepas


dijaringan terlampau banyak maka TNF akan diikuti kerusakan jaringan
yang mematikan serta syok.
Meskipun TNF merupakan efek biologis yang serupa dengan IL 1
TNF tidak mempunyai efek langsung pada aktivasi stem sel dan limfosit.
Seperti IL 1, TNF dianggap sebagai pirogen endogen oleh karena efeknya
pada hipotalamus dalam induksi demam. Tumor Necrosis Factor (TNF)
identik dengan cachetin yang menghambat aktivasi lipase lipoprotein dan
menyebabkan

hipertrigliseridemia

serta

cachexia,

pertanda

ada

hubungannya dengan infeksi kronik. Tingginya kadar TNF dalam serum


mempunyai hubungan dengan aktivitas atau prognosis berbagai infeksi

19

seperti meningitis bakterial, leimaniasis, infeksi virus HIV, malaria, dan


penyakit peradangan usus. Di duga terjadi peningkatan produksi TNF pada
penyakit kawasaki.5
3. Limfosit yang Teraktivasi
Dalam sistem imun limfosit merupakan sel antigen spesifik dan terdiri
atas dua jenis yaitu sel B yang bertanggung jawab terhadap produksi
antibodi dan sel T yang mengatur sintesis antibodi dan secara tak langsung
berfungsi sitotoksik serta memproduksi respon inflamasi hipersensitiv tipe
lambat. Interleukin 1 berperan penting dalam aktivasi limfosit. Sel limfosit
T hanya mengenal antigen dan menjadi aktif setelah antigen diproses dan
dipresentasikan kepadanya oleh makrofag. Efek stimulasi IL 1 pada
hipotalamus seperti pirogen endogen menginduksi demam dan pada sel
limfosit T merupakan bukti kuat dan nyata manfaat demam. Sebagai
jawaban stimulasi IL 1, limfosit T menghasilkan berbagai zat.5
4. Interferon
Interferon dikenal oleh karena kemampuan untuk merintangi replikasi
virus di dalam sel yang terinfeksi. Berbeda dengan IL 1 dan TNF,
interferon diproduksi oleh limfosit T yang teraktivasi. Terdapat tiga jenis
molekulyang berbeda dalam aktivitas biologik dan urutan asam aminonya
yaitu INF alfa, beta , gama. Interferon alfa dan beta diproduksi oleh
hampir semua sel sebagai respon terhadap infeksi virus sedangkan sintesis
INF gama dibatasi oleh limfosit T. Meski fungsi sel limfosit T neonatus
normal sama efektifnya dengan dewasa, INF gama fungsinya belum

20

memadai diduga menyebabkan makin beratnya infeksi irus pada bayi baru
lahir.
Interferon gama dikenal sebagai penginduksi makrofag yang poten
dan menstimulan sel B untuk meningkatkan produksi antibodi. Fungsi IFN
gama sebagai pirogen endogen dapat secara tidak langsung pada makrofag
untuk melepas IL 1 atau secara langsung pada pusat pengatur suhu di
hipotalamus. Interferon mungkin mempengaruhi aktivitas antivirus dan
sitolitik TNF, serta meningkatkan efisiensi NK sel. Aktivitas antivirus
disebabkan penyesuaian sistem INF dengan berbagai jalur biokimia yang
mempunyai efek antivirus dan bereaksi pada berbagai fase siklus replikasi
virus. Interferon juga memperlihatkan aktivitas anti tumor baik secara
langsung dengan cara mencegah pembelahan sel melalui pemanjangan
siklus multiplikasi sel atau secara tidak langsung mengubah respon imun.
Aktivitas antivirus dan antitumor INF terpengaruhi oleh meningkatnya
suhu. Interleukin 4 yang menginduksi sintesis imunoglobulin Ig E dan Ig
G4 oleh sel polimorfonuklear, tonsil, sel limpa manusia sehat dan pasien
alergi, di halangi oleh INF gama dan INF alfa berarti limfokin ini bereaksi
sebagai antagonis IL 4
Interferon mempunyai kemampuan biologiknya dapat digunakan
sebagai obat pada berbagai penyakit. Interferon alfa semakin sering
dipakai pengobatan berbagai infeksi virus seperti hepatitis B,C, delta. Efek
toksik preparat INF antara lain demam, rasa dingin, nyeri sendi , nyeri
otot, nyeri kepala hebat, somnolen dan muntah. Demam dapat muncul dan

21

separuh pasien yang mendapat INF sampai mencapai 40 C. Efek samping


ini dapat diatasi dengan pemberian parasetamol dan prednisolon.5
5. Interleukin 2
Interleukin 2 merupakan limfokin penting yang kedua setelah INF
yang dilepas oleh limfosit T yang teraktivasi sebagai respon stimulasi IL
1. Interleukin 2 mempunyai efek penting pada pertumbuhan dan fungsi sel
T, sel NK, dan sel B. Telah dilaporkan adanya kasus defisiensi imun
kongenital berat disertai dengan defek spesifik produksi IL 2. Interleukin
2 memperlihatkan sitotoksik antitumor sebagai hasil aktivasi spesifik sel
NK yang memiliki aktivitas sitotoksik terhadap proliferasi sel tumor. Uji
klinis dengan IL 2 sedang dilakukan saat ini pada tumor tertentu pada
anak. Respon neuroblastoma tampaknya cukup baik terhadap terapi imun
dengan IL 2. Sayangnya terapi imun IL 2 dapat menyebabkan defek
kemotaksis neutrofil yang reversibel diikuti peningkatan kerentanan
terhadap infeksi pada pasien yang menerimanya. Efek samping lainnya
diantaranya lemah badan , demam, anoreksia, nyeri otot. Gejala ini dapat
dikontrol dengan parasetamol. Interleukin 2 menstimulasi pelepasan
sitokin lain seperti TNF,IL 1, INF alfa yang akan menginduksi aktivitas sel
endotel,

mendahului

bocornya

pembuluh

darah

sehingga

dapat

menyebabkan edema paru dan retensi cairan yang hebat. Penyakit yang
berhubungan dengan defisiensi

IL 2 di antaranya lupus sritematosus

sistemik , diabetes melitus, luka bakar berat, dan beberapa bentuk


keganasan.5
6. Granulocyte macrophage coloby stimulating factor (GM-CSF)

22

Dari empat hemopoetic colony stimulating factors yang berpotensi


tinggi menguntungkan adalah eritropoetin, G CSF (granulocyt colony
stimulating factor) dan macrophage colony stimulating factors (M CSF).
GM CSF adalah limfokin lain yang diproduksi terutama oleh limfosit
meskipun makrofag dan sel mast mempunyai kemampuan untuk
memproduksinya. Fungsi utama GM CSF menstimulasi sel progenitor
hemopoietik untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi granulosit
dan makrofag serta mengatur kematangan fungsinya. Penggunaan dalam
pengobatan di antaranya digunakan untuk pengobatan mielodisplasia,
anemia aplastik, dan efek mielotoksik pada pengobatan keganasan serta
transplantasi. Pemberian GM CSF dapat disertai dengan terjadinya demam
yang dapat dihambat dengan pemberian obat antiinflamasi nonsteroid
seperti ibuprofen.5
2.5 Pola Demam
Interpretasi pola demam sulit karena berbagai alasan diantaranya anak telah
mmendapat antipiretik sehngga mengubah pola atau pengukuran suhu secara
serial dilakukan di tempat berbeda. Akan tetapi bila pola demam dapat dikenali,
walaupun tidak patognomonis untuk infeksi tertentu, informasi ini dapat menjadi
petunjuk diagnosis yang berguna.12
Tabel 3. Pola demam yang ditemukan pada penyakit pediatrik

23

Penilaian pola demam meliputi tipe awitan (perlahan-lahan atau tiba-tiba),


variasi derajad suhu selama periode 24 jam dan selama episode kesakitan, siklus
demam dan respons terapi. Gambaran pola demam klasik meliputi: 13,14,15,16
1. Demam kontinyu atau sustained fever ditandai oleh peningkatan suhu
tubuh yang menetap dengan fluktuasi maksimal 0,4 C selama periode 24 jam.
Fluktuasi diurnal suhu normal biasanya tidak terjadi atau tidak signifikan.

2. Demam remiten ditandai oleh penurunan suhu tiap hari tetapi tidak
mencapai normal dengan fluktuasi melebihi 0,5 C per 24 jam. Pola ini
merupakan tipe demam yang paling sering ditemukan dalam praktek pediatri dan
tidak spesifik untuk penyakit tertentu. Variasi diurnal biasanya terjadi, khususnya
bila demam disebabkan oleh proses infeksi.

24

3. Demam intermiten suhu kembali normal setiap hari, umumnya pada pagi
hari, dan puncaknya pada siang hari. Pola ini merupakan jenis demam terbanyak
kedua yang ditemukan di praktek klinis.

a) Demam quotidian
Demam dengan periodisitas siklus setiap 24 jam, khas pada malaria
falciparum dan demam tifoid.

b) Demam tertian
Demam dengan periodisitas siklus setiap 48 jam, khas pada malaria tertiana
(Plasmodium vivax).

25

c) Demam quartan
Demam dengan periodisitas siklus setiap 72 jam, khas pada malaria
kuartana (Plasmodium malariae).

4. Demam septik atau hektik terjadi saat demam remiten atau intermiten
menunjukkan perbedaan antara puncak dan titik terendah suhu yang sangat besar.
5. Undulant fever menggambarkan peningkatan suhu secara perlahan dan
menetap tinggi selama beberapa hari, kemudian secara perlahan turun menjadi
normal.
8. Demam lama (prolonged fever) menggambarkan satu penyakit dengan
lama demam melebihi yang diharapkan untuk penyakitnya, contohnya > 10 hari
untuk infeksi saluran nafas atas.
9. Demam rekurran adalah demam yang timbul kembali dengan interval
irreguler pada satu penyakit yang melibatkan organ yang sama (contohnya traktus
urinarius) atau sistem organ multiple.
26

10. Demam bifasik menunjukkan satu penyakit dengan 2 episode demam


yang berbeda (saddleback fever). Poliomielitis merupakan contoh klasik dari pola
demam ini. Gambaran bifasik juga khas untuk leptospirosis, demam dengue,
demam kuning.

11. Demam Pel-Ebstein


Suatu jenis demam yang spesifik pada penyakit limfoma hodgkin, dimana
terjadi peningkatan suhu selama satu minggu dan turun pada minggu berikutnya,
dan seperti itu seterusnya. Demam tipe ini ditemukan juga pada kasus penyakit
kolesistitis bruselosis, dan pielonefritis kronik.

12. Demam kebalikan pola demam diurnal (typhus inversus)


Demam dengan kenaikan temperatur tertinggi pada pagi hari bukan selama
senja atau di awal malam. Kadang-kadang ditemukan pada tuberkulosis milier,
salmonelosis, abses hepatik, dan endokarditis bakterial.

27

2.6 Klasifikasi Demam


Klasifikasi demam diperlukan dalam melakukan pendekatan berbasis
masalah. Untuk kepentingan diagnostik, demam dapat dibedakan atas akut,
subakut, atau kronis, dan dengan atau tanpa localizing signs. Tabel 4.
memperlihatkan tiga kelompok utama demam yang ditemukan di praktek
pediatrik beserta definisi istilah yang digunakan.17

Tabel 4. Klasifikasi Demam

Sekitar 20% dari keseluruhan episode demam menunjukkan tidak


ditemukannya localizing sign pada saat terjadi. Penyebab tersering adalah infeksi
virus, terutama terjadi selama beberapa tahun pertama kehidupan. Infeksi seperti
ini harus dipikirkan hanya setelah menyingkirkan infeksi saluran kemih dan
bakteremia. menunjukkan penyebab paling sering kelompok ini. 13

28

Demam tanpa localizing sign umumnya memiliki awitan akut,


berlangsung kurang dari 1 minggu, dan merupakan sebuah dilema
diagnostik yang sering dihadapi oleh dokter anak dalam merawat anak berusia
< 36 bulan.6

Persistent Pyrexia of Unknown Origin. Istilah ini digunakan bila demam


tanpa localizing sign bertahan selama 1 minggu dimana dalam kurun waktu
tersebut evaluasi di Rumah Sakit gagal mendeteksi penyebabnya. Persistent
Pyrexia of Unknown Origin atau lebih dikenal sebagai fever unknown origin

29

(FUO) didefinisikan sebagai demam yang berlangsung selama minimal 3 minggu


dan tidak ada kepastian diagnosis setelah investigasi 1 minggu di Rumah sakit.

2.5.1 Klasifikasi Demam Berdasarkan Usia


Klasifikasi berdasarkan umur pasien dibagi menjadi kelompok umur
kurang dari 2 bulan, 3-36 bulan, dan lebih dari 36 bulan. Pasien berumur kurang
dari 2 bulan, dengan atau tanpa SBI (serious bacterial infection). Infeksi ini
seringkali terjadi tanpa disertai demam. Pasien demam juga harus diperiksa
apakah juga menunjukkan gejala yang berat. Menurut Yale Acute Illness
Obsevastion Scale atau Rochester Criteria yang menilai adakah infeksi yang
menyebabkan kegawatan. Pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis) dapat
merupakan petunjuk untuk perlunya perawatan dan pemberian antibiotik
empirik.18

30

Gambar 8. Skema Klasifikasi Demam Menurut Usia18


2.5.2 Klasifikasi Demam Berdasarkan Waktu
Klasifikasi demam berdasarkan lama demam pada anak dibagi menjadi:
1. Demam kurang 7 hari (demam pendek ) dengan tanda lokal yang jelas
diagnostik etiologik dapat ditegakkan secara anamnestik, pemeriksaan
fisik, dengan atau tanpa pemeriksaan laboratorium, misalnya tonsilitis
akut.

31

2. Demam lebih dari 7 hari tanpa tanda lokal, diagnosis etiologik tidak
dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik namun dapat
ditelusuri dengan tes laboratorium misalnya demam tifoid.
3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya sebagian besar adalah virus.

2.7 Etiologi Demam


Demam merupakan gejala bukan suatu penyakit. Demam adalah respon
normal tubuh terhadap adanya infeksi. Infeksi adalah keadaan masuknya
mikroorganisme kedalam tubuh. Mikroorganisme tersebut dapat berupa virus,
bakteri, parasit, maupun jamur. Kebanyakan demam disebabkan oleh infeksi virus.
Demam bisa juga disebabkan oleh paparan panas yang berlebihan (overheating),
dehidrasi atau kekurangan cairan, alergi maupun dikarenakan gangguan sistem
imun.19
Gangguan otak atau akibat zat yang menimbulkan demam (pirogen) yang
menyebabkan perubahan set point. Zat pirogen ini bisa berupa protein, pecahan
protein, dan zat lain (terutama kompleks lipopolisakarida atau pirogen hasil dari
degenerasi jaringan tubuh yang menyebabkan demam selama keadaan sakit).
Pirogen

eksogen

merupakan

bagian

dari

patogen,

terutama

kompleks

l i p o p o l i s a k a r i d a (endotoksin) bakteri gram (-) yang dilepas bakteri


toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan suhu.16,20
Beberapa penyebab penting demam dan hipertermia
A. Infeksi: bakterial, viral, jamur, parasit, riketsia.

32

B. Penyakit autoimun: SLE, poliartritis nodosa, demam rematik, polimyalgia


rheumatika, giant cell arthritis,vaskulitis, relapsing polychondritis,
dermatomyositis, adult rheumatoid arthritis.
C. Penyakit sistem saraf pusat: perdarahan serebral, trauma kepala, tumor
otak, dan spinal, penyakit degeneratif, trauma medulla spinalis.
D. Penyakit neoplasma ganas: neoplasma primer (misal: kolon dan rektum,
hepar, ginjal, neuroblastoma), tumor metastase dari hepar.
E. Penyakit darah : Limfoma, leukemia, anemia hemolitik.
F. Penyakit Kardiovaskuler: infark miokard, tromboflebitis, emboli
paru.
G. Penyakit Gastrointestinal : penyakit bowel, abses hepar, hepatitis
alkoholik, hepatitis granulomatosa.
H. Penyakit Endokrin : Hipertiroid atau feokromositoma
I. Penyakit karena agen kimia: reaksi obat (termasuk serum sickness),
sindroma neuroleptik malligna pada anestesi, sindroma serotonergik.

2.8 Patofisiologi Demam


Peningkatan suhu dalam tubuh (demam) dapat terjadi akibat beberapa hal
yaitu:
l. ketika suhu set poinl meningkat misalnya saat infeksi yang merupakan
penyebab utama demam
2. ketika terjadi produksi panas metabolik misalnya pada hipertiroid

33

3. ketika asupan panas lingkungan melebihi kemampuan pelepasan panas


misalnya pada hiperpireksia maligna akibat anestesia, ruang kerja industri yang
sangat panas dan sauna
4. ketika ada gangguan pelepasan panas misalnya displasia ektodermal
5. kombinasi dari beberapa faktor.
Pada kondisi tertentu, peningkatan suhu tubuh di atas rerata fisiologis justru
membawa manfaat adaptif. Misalnya, saat terjadi infeksi, demam merupakan
respons yang dibutuhkan untuk memfasilitasi penyembuhan melalui peningkatan
kerja sistem imun dan menghambat replikasi mikro-organisme. Oleh karena itu,
secara ilmiah, demam dapat disebut sebagai respons homeostatik. Pada kondisi
tersebut, endotoksin dan sitokin proinflamasi berinteraksi dengan reseptor tertentu
di sel endotelial vaskular dan/atau subendotelial mikroglia dan terjadilah aktivasi
cycloocxygenase (Cox) untuk memproduksi PGE2 (Gambar 2).6
Meski jarang terjadi, demam juga dapat terjadi akibat pirogen endogen
endotoksemia, demam steroid (etioklonalon), dan alergi. Demam alergi
diperantarai oleh limfosit yang terangsang lalu melepaskan limfokin yang
menyebabkan leukosit PMN menginduksi produksi pirogen endogen. Pirogen
endogen juga dapat diproduksi oleh beberapa sel tumor. Penelitian yang dilakukan
pada pasien leukemia granulositik menunjukkan bahwa sel monositik juga
memproduksi pirogen endogen.6
Selain menyebabkan demam, endotoksin juga secara otomatis mengaktifkan
respons antidemam sehingga suhu tubuh tidak meningkat berlebihan. Dilakukan
dengan menstimulasi sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal. Aktivasi sumbu ini
mengurangi respons terhadap sitokin yang dikemukakan di atas.6

34

Tujuan dari pengaturan suhu tubuh adalah mempertahankan suhu inti


tubuh sebenarnya pada set level sekitar 37 C (dengan veriasi diiurnal). Berbeda
dengan hipertermia pasif, set level meningkat ketika demam. Oleh karena itu
dalam keadaan ini mekanisme pengaturan suhu berperan untuk mempertahankan
suhu yang meningkat ini. Hal ini tampak jelas ketika demam meningkat karena
nilai sebenarnya menyimpang dari set level yang tiba-tiba meningkat, pengeluaran
panas akan dikurangi melalui penurunan aliran darah ke kulit sehingga kulit
menjadi dingin. Selain itu, produksi panas juga meningkat karena menggigil
(tremor). Keadaan ini berlangsung terus sampai nilai sebenarnya mendekati set

35

level yang baru (garis datar). Bila demam turun, sekali lagi set level akan turun
sehingga sekarang nilai sebenarnya menjadi terlalu tinggi. Pada keadaan ini aliran
darah ke kulit meningkat sehingga orang tersebut merasa kepanasan dan
mengeluarkan keringat banyak.11,12
Demam terutama biasa terjadi pada infeksi sebagai reaksi fase akut. Pada
keadaan ini, zat menimbulkan demam (pirogen) menyebabkan perubahan pada set
point. Pirogen eksogen merupakan bagian dari patogen, diantaranya yang paling
efektif adalah kompleks lipopolisakarida bakteri gram negatif. Patogen atau
pirogen seperti itu diopsonisasi oleh komplemen dan difagosit oleh makrofag,
misalnya sel kupffer di hati. Proses ini melepaskan sejumlah sitokin diantaranya
pirogen endogen interleukin 1 dan TNF, dll. Sitokin ini dapat menyebabkan
reaksi demam pada organ-organ ini atau yang berdekatan dengan area preoptik
dan organ vaskulosa lamina terminalis (OVLT) melalui prostaglandin PGE 2. Obat
penurun panas bekerja secara efektif di daerah ini. Jadi asam asetilsalisilat
misalnya, menghambat enzim yang membentuk PGE2 dari asam arakhidonat
(siklooksigenase 1 dan 2). 11,12

2.9 Diagnosis Demam


1. Anamnesis
Dalam menegakkan penyakit panas atau demam, ilmu dan seni kedokteran harus
disatukan. Tidak ada keadaan klinis lainnya dimana anamnesis riwayat medis
lebih penting, seperti kronologis gejala, penggunaan obat atau adanya penanganan
lain seperti tindakan pembedahan atau perawatan gigi. Dari anamnesis ini dapat

36

diketahui kapan mulai demam, tinggi suhu badan, apakah demam


hilang timbul, adanya menggigil, kelelahan atau sakit.18

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang teliti harus dilakukan secara regular. Semua tanda-tanda
vital merupakan petunjuk yang relevan. Suhu tubuh dapat diukur dengan
menempatkan termometer ke dalam rektal, mulut, telinga dan ketiak. Penggunaan
termometer kaca berisi merkuri tidak lagi dianjurkankarena dapat berbahaya dan
juga meracuni lingkungan.11
Pengukuran suhu mulut aman untuk dilakukan. Pengukuran ini
lebih akuratdibandingkan dengan suhu ketiak (aksila). Pengukuran suhu aksila
mudah dilakukan, namun hanya menggambarkan suhu perifer tubuh yang sangat
dipengeruhi oleh vasokonstriksi pembuluh darah dan keringatsehingga kurang
akurat. Pengukuran suhu tubuh melalui anus atau rektal cukup akurat karena lebih
mendekati suhu tubuh yang sebenarnya dan paling sedikit terpengaruh suhu
lingkungan, namun pemeriksaannya

tidak

nyaman

bagi

penderita. 11

Pengukuran suhu melalui telinga ( infrared tympanic) tidak dianjurkan karena


dapat memberikan hasil yang tidak akurat sebab liang telinga sempit dan basah.
Pemeriksaan fisik juga harus diperhatikan pada kulit, kelenjar
limfe,

mata,dasar kuku, sistem kardiovaskuler, dada, abdomen, sistem

muskuloskletal dan sistem saraf. Pemeriksaan rektal membreikan manfaat yang


cukup mengesankan untuk kasus-kasus tertentu.21
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium

37

Salah satu pengukuran yang dapat dilakukan dalam tahap awal adalah
pemeriksaan hematologi, pada infeksi bakteri akut dapat menunjukkan pergeseran
hitung jenis ke kiri, dengan atau tanpa leukositosis. Pemeriksaan
mencakup hitungdarah lengkap, hitung jenis yang dilakukan secara manual atau
dengan menggunakan alat yang sensitif untuk mengenali sel-sel eosinofil, bentuk
sel darah yang muda, atau bentuk batang, bentuk granulasi toksik dan badan
dohle. Tiga bentuk sel darah yang terakhir ini sugestif ke arah bakterial.
Netropenia dapat terlihat pada sebagian infeksivirus khususnya parvovirus
B19, reaksi obat, SLE, penyakit typhoid, dan penyakit infiltratif sumsum
tulang,

termasuk

limfoma,

leukimia,

tuberkulosis

serta

histoplasmosis.

Limfositosis dapat terlihat pada penyakit infeksi virus, typhoid, bruselosis,


tuberkulosis. Limfosit atipikal terlihat banyak penyakit virus, termasuk EBV
(Epstein-Bar), sitomegalovirus, HIV, dengue, rubella, m o r b i l l i , varisella,
hepatitis

virus, serum

sickness

dan

toksoplasmosis.

Monositosis

terdapat pada tifoid, tuberkulosis, bruselosis dan limfoma. Eosinofilia dapat


ditemukan pada reaksi obat hipersensitivitas, penyakit Hodgkin, insufisiensi
adrenal, dan infeksi metazoa tertentu. Jika keadaan demam tampak lama dan
berat, sediaan apus harus diperiksa dengan cermat dan pemeriksaan LED
harus dilakukan.18
Urinalisis dengan sedimen urine harus dilakukan. Cairan sendi harus
diperiksa untuk menemukan kristal. Biopsi sumsung tulang (bukan aspirasi biasa)
untuk pemeriksaan histopatologi (disamping pemeriksaan kultur) diperlukan kalau
terdapatkemungkinan infiltrasi sumsum tulang oleh kuman patogen atau sel
tumor.18

38

b. Mikrobiologi
Pemeriksaan sputum (pengectan gram, BTA, kultur) diperlukan untuk
setiap pasien yang menderita demam dan batuk-batuk. Pemeriksaan kultur darah
dan cairan abnormal serta urin diperlukan kalau keadaan demam tersebut lebih
dari penyakit virus yang terjadi tanpa komplikasi. Cairan serebrospinal harus
diperiksa dan dikultur bila terdapat meningitis, nyeri kepala berat atau status
mental.22
c. Radiologi
Pembuatan foto toraks merupakan bagian dari pemeriksaan untuk setiap
penyakit demam yang signifikan, seperti adanya gangguan pada paru.22

2.10 Penatalaksanaan
1. Tindakan Umum untuk Simtomatis
Tindakan umum untuk menurunkan demam pada prinsipnya diusahakan
untuk beristirahat agar metabolisme tubuh menurun. Cukup cairan agar kadar
elektrolit tidak meningkat saat evaporasi terjadi. Aliran udara yang baik misalnya
dengan kipas, memaksa tubuh berkeringat, mengalirkan hawa panas ke tempat
lain sehingga demam turun. Jangan menggunakan aliran udara penting di daerah
tropik. Buka pakaian/selimut yang tebal agar terjadi radiasi dan evaporasi.
Lebarkan pembuluh darah perifer dengan cara menyeka kulit dengan air hangat.
Mendinginkan dengan air es atau alkohol kurang bermanfaat (justru terjadi
vasokonstriksi pembuluh darah), sehingga panas sulit disalurkan baik lewat
meksnisme evaporasi maupun radiasi. Lagipula pengompresan dengan alkohol

39

akan diserap oleh kulit dan dihirup pernafasan, dapat menyebabkan koma. Pada
hipertermi, pendinginan permukaan kulit (surfacecooling) dapat membantu.
Tindakan simtomatik yang lain ialah dengan pemberian obat demam. Cara
kerja obat demam adalah dengan menurunkan set-point di otak dan membuat
pembuluh darah kulit melebar sehingga pengeluaran panas ditingkatkan. Obat
yang sederhana adalah asam salisilat dan derivatnya. Rentang daya kerja obat ini
cukup panjang, aman untuk dikonsumsi umum. Beberapa golongan antipiretik
murni, dapat menurunkan suhu bila anak demam namun tidak menyebabkan
hipotermi bila tidak ada demam, seperti: asetaminofen, asetosal, ibuprofen. Obat
lain adalah obat yang bersifat antipiretik pada dosis rendah dan menimbulkan
hipotermi pada dosis tinggi seperti metamizol dan obat yang dapat menekan pusat
suhu secara langsung (chlorpromazine), mengurangi menggigil namun dapat
menyebabkan hipotermi dan hipotensi.16,17,24,25
a.

Paracetamol (Asetaminofen)
Paracetamol merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik

yang sama dan telah digunakan sejak tahun 1893. Efek antiinflamasi
paracetamol hampir tidak ada. Asetaminofen di Indonesia lebih dikenal
dengan nama Paracetamol.8
Efek

analgetik

Paracetamol

serupa

dengan

salisilat

yaitu

menghilangkan atau mengurangi nyari ringan sampai sedang. Paracetamol


menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan
efek sentral. Paracetamol merupakan penghambat prostaglandin yang
lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada obat
ini, demikian juga gangguan pernafasan dan keseimbangan asam basa.23

40

Paracetamol diberikan secara oral, penyerapan dihubungkan


dengan tingkat pengosongan perut, konsentrasi darah puncak biasanya
tercapai dalam 30-60 menit. Paracetamol sedikit terikat pada protein
plasma dan sebagian dimetabolisme oleh enzimmikrosomal hati dan
diubah menjasi sulfat dan glikoronida asetaminofen, yang seraca
farmakologis tidak aktif. Waktu paruh asetaminofen adalah 2-3 jam dan
relatif tidak terpengaruh oleh fungsi ginjal.8
Reaksi alergi terhadap paracetamol jarang terjadi. Manifestasi
berupa urtikaria atau eritema dan gejala yang lebih berat berupa demam
dan lesi pada mukosa.
b. Ibuprofen
Ibuprofen adalah turunan sederhana dari asam fenilpropionat. Obat
ini bersifat analgetik dengan daya antiinflamasi yang tidak terlalu kuat.
Efek analgetiknya sama dengan aspirin. Efek antiinflamasinya terlihat
dengan dosis 1200-2400 mg sehari.19
Absorbsi ibuprofen dengan cepat melalui lambung dan kadar
maksimum dalam plasma dicapai setelah 1-2 jam. Waktu paruh dalam
plasma sekitar 2 jam. 99% ibuprofen terikat dalam plasma. Kira-kira 90%
dari dosis yang diabsorbsi akan diekskresi melalui urin sebagai
metabolit/konjugat.19
Efek antiinflamasi dan analgetik melaluimekanisme pengurangan
prostaglandin. Dosis sebagai analgesik 4 kali 400 mg sehari tetapi
sebaiknya dosis optimal pada tiap orang ditentukan secara individual.
Ibuprofen tidak dianjurkan diminum oleh wanita hamil dan menyusui.19

41

c. Aspirin
Aspirin atau asam asetilsalisilat adalah suatu jenis obat dari
keluarga salisilat yang sering digunakan sebagai analgetik (terhadap rasa
sakit atau nyeri), antipiretik, dan antiinflamasi. Aspirin juga memiliki efek
antikoagulan dan digunakan dalam dosis rendah dalam tempo lama untuk
mencegah serangan jantung.19
Efek antipiretik dari aspirin adalah menurunkan suhu yang
meningkat, hal ini diperantarai oleh hambatan kedua COX dalam sistem
saraf pusat dan hambatan IL-1 (yang dirilis dari makrofag selama proses
inflamasi). 19
Aspirin merupakan obat yang efektif untuk mengurangi demam,
namun tidak direkomendasikan untuk anak. Karena efek sampingnya
merangsang lambung dan dapat menngakibatkan perdarahan usus maka
tidak dianjurkan untuk demam ringan.26
2. Keadaan khusus akibat demam:
a. Hiperpireksia
Hiperpireksia adalah keadaan suhu tubuh di atas 41,10 C. Hiperpereksia sangat
berbahaya pada tubuh karena dapat menyebabkan berbagai perubahan
metabolisme, fisiologi dan akhirnya kerusakan susunan saraf pusat.3 Pada
awalnya anak tampak menjadi gelisah disertai nyeri kepala, pusing, kejang serta
akhirnya tidak sadar. Keadaan koma terjadi bila suhu >430 C dan kematian terjadi
dalam beberapa jam bila suhu 43 C sampai 45 C. 27 Penatalaksanaan pasien
hiperpireksia berupa:27
1. Monitoring tanda vital, asupan dan pengeluaran.

42

2. Pakaian anak di lepas


3. Berikan oksigen
4. Berikan anti konvulsan bila ada kejang
5. Berikan antipiretik. Asetaminofen dapat diberikan per oral atau rektal. Tidak
boleh memberikan derivat fenilbutazon seperti antalgin.
6. Berikan kompres es pada punggung anak
7.Bila timbul keadaan menggigil dapat diberikan chlorpromazine 0,5-1 mgr/kgBB
(I.V).
8. Untuk menurunkan suhu organ dalam: berikan cairan NaCl 0,9% dingin melalui
nasogastric tube ke lambung. Dapat juga per enema.
9. Bila timbul hiperpireksia maligna dapat diberikan dantrolen (1 mgr/kgBB I.V.),
maksimal 10 mgr/kgBB.
b. Kejang Demam
Kejang demam merupakan keadaan yang umum ditemukan pada anak
khususnya usia 6 bulan sampai 5 tahun. Insidensinya di Amerika sekitar 2-4% dari
seluruh kelainan neurologis pada anak.Walaupun 30% dari seluruh kasus kejang
pada anak adalah kejang demam tetapi masih banyak penyebab lain dari kejang
sehingga kejang demam tidak dapat didiagnosis sembarangan, karena penyebab
lain demam dan kejang yang serius seperti meningitis harus disingkirkan.28
Banyak klinisi yang mengobati demam dengan pemberian parasetamol
untuk mencegah kejang demam. Dari penelitian pada 104 anak, dimana satu
kelompok diberikan profilaksis parasetamol dan kelompok lain diberikan
parasetamol secara sporadis didapatkan hasil pemberian parasetamol profilaksis
tidak efektif bila dibandingkan kelompok lainnya dalam mencegah kejang demam

43

yang rekuren.29 Sedangkan penelitian Uhari dkk. menunjukkan pemberian


asetaminofen dan diazepam per oral menunjukkan hasil yang baik dalam
mencegah rekurensi kejang demam.30

DAFTAR PUSTAKA

44

1. Crocetti M, Moghbelli N, Serwint J. Fever phobia revisited: Have parental


misconceptions about fever changed in 20 years. Pediatric 2001(107);
1241-6.
2. Finkelstein JA, Christiansen CL, Platt R. Fever in Pediatric primary
care:Occurrence, management and outcome. Pediatrics 2000(105);260-6
3. Plipat N. Hakim S, Ahrens WR. The febrile child. Dalam: Strange GR,
Ahrens WR, Lelyveld S, Schafermeger RW, penyunting. Pediatric
emergency medicine. Edisi ke-2.
4. Nainggolan L, Widodo D. Demam, Patofisiologi dan Penatalaksanaan.
Dalam: Widodo D, Pohan HT, editors. Bunga Rampai Penyakit Infeksi.
Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2012;1-10.
5. Sumarno S.P.S., Herry G., Sri Rezeki S.H. Demam, Patogenesis dan
Pengobatan. Buku Ajar Kesehatan Anak Infeksi & Penyakit Tropis. IDAI.
Edisi 1. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2010; 27-38.
6. Pujiantoro, S.P. Demam Pada Anak. Majalah Kedokteran Indonesia,
Volume: 58, Nomor: 9.2008.
7. Powel R.K. Fever. In : Richard E.B., Robert M.K., Hal B.J. Nelson
Textbook of Pediatrics. Volume 2. 17th edition. Philadelpia. Saunders.
2012; 839-841.
8. Hariyanto W. Mengapa Kita Demam. Jakarta. Penerbit Arcan. 2010;1-23.
9. Ismoedijanto. Petunjuk Praktis Demam Pada Anak.Sari Pediatri vol 2 no
2.2010;103-108.
10. Shalini D, Donna S. Pathophysiology and Management Fever.
Departement of Palliative Care and Rehabilitation Medicine, The
University of Texas.Supportive Oncology vol 4. 2013: 9;18.
11. Guyton C.A., Hall E.J. Pengaturan Suhu. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Jakarta. EGC.2010; 1141-1155.
12. Peterson J.C. 2012. Interleukin-1. http:/www.rndsystem.com/imag.
13. Avner JR. Acute Fever. Pediatr Rev 2009;30:5-13.
14. Brahmer J., Sande A.M. Fever of Unknown Origin. In : Walter R.W.,
Merle S.A. Current Diagnosis & Treatment in Infectious Disease. 7th
edition. San Francisco. Lange Medical Book Mc Graw Hill.2013; 240246.

45

15. Del Bene VE. Temperature. Dalam: Wakker HK, Hall WD, Hurst JW,
penyunting. Clinical mothods: The History, physical and laboratory
examinations. Edisi ke-3. :Butterworths. 2012.h.990-3.
16. Diane DA, Marsha LC, Ken E. et al. Handbook of Signs & Symptoms, 4th
EditionCopyright. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. 2010;2436.
17. Gelfand JA, Dinarello CA, Wolff SM. Perubahan Suhu Tubuh. Dalam:
Isselbacher, Braunwald, Wilson, et al, editors. Harrisons Prinsip-Prinsip
IlmuPenyakit Dalam. Volume 1. Edisi 13. Yogyakarta: EGC; 2013; 97107.
18. Fisher RG, Boyce TG. Fever and Shock Syndrome. Dalam: Fisher RG,
Boyce TG, penyunting. Moffets Pediatric Infectious Disease: A
problem-oriented approach. Edisi ke-4. New York: Lippincott
William &Wilkins; 2011.h.318-73.
19. Dinarello

A.C.,
Gelfan
A.J.
http://www.harrisononline.com. 2013; 46-53.

Fever

and

Hypertermia.

20. El-Radhi AS, Caroll J, Klein N. Fever. Dalam : El-Radhi SA, Klein N,
penyunting. Clinical manual of fever in children. Edisike-9. Berlin:
Springer-Verlag; 2009; 1-24.
21. Kirana S., Widjaja T. Pemeriksaan Keadaan Umum. Dalam : Edhiwan P., J Teguh
W. Buku Panduan Diagnosis Fisik di Klinik. Bandung. Concept Publishers. 2013;
28-29.

22. Ganong, WF. Review of Medical Physiology. Twenty-first edition. USA:


The McGraw-Hill Companies, Inc.2010; 899-932.
23. Kaiser E.G. Microbiology Home Page. http://www.cat.cc.md.us. 2013;1617.
24. Bellig L.L. Fever. http://www.eMedicine.com.Inc/fever/topic359.htm.2013;5
25. Cunha BA. The clinical significance of fever patterns. Inf Dis Clin
NorthAm 2012;10:33-44.
26. Woodward TE. The fever patterns as a diagnosis aid. Dalam:
MackowickPA, penyunting. Fever: Basic mechanisms and management.
Edisi ke-2.Philadelphia: Lippincott-Raven;2013;.215-36.
27. Morriss FC. Abnormalities in temperature regulation. Dalam: Levin DL,
Morris FC, Moore GC, penyunting. A practical guide to Pediatric intensive
care. St.Louis: Mosby company. 1984; 120-3.
28. Dieckmann RA, Brownstein D, Gausche-Hill M. Dalam: Pediatric
education for prehospital professionals. American Acedemy of pediatric.
Sudbury Massachusetts. Jones and Bartlett Publihers. 2000;98-113.

46

29. Offringa M, Moyer VA. Evidence based management of seizures


associated with fever. Br Med J 2001;323:1111-3.
30. Uhari M, Rantala H, Vainionpaa L, et al. Effect of acetaminophen and of
low intermittent doses of diazepam on prevention of recurrences of febrile
seizures. J Pediatri 1995;126:991-5.

47

You might also like