Professional Documents
Culture Documents
PENDAMPING :
Dr. Imelda Meilina
Dr. Khaeriyah
PENYUSUN :
Dr. Gita Aryanti
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS MEDIKOLEGAL
PENOLAKAN PEMASANGAN KATETERISASI URIN PADA PASIEN DENGAN BPH
Pendamping :
(dr.Khairiyah)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmatnya saya
dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan baik.
Laporan kasus ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan dokter internsip di
RS DKT Bandar Lampung. Dalam pelaksanaan laporan kasus ini penulis banyak menerima bantuan
dan dorongan baik secara moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada dr. Imelda dan dr. Khairiyah selaku pembimbing yang telah
banyak meluangkan waktu dan pikiran dengan penuh kesabaran untuk membimbing penulis demi
kesempurnaan laporan kasus ini, dan semua pihak yang telah banyak membantu penyelesaian
laporan kasus ini.
Kami menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan laporan kasus
ini dan kami berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering diketemukan pada
pria yang menapak usia lanjut1. Istilah BPH atau benign prostatic hyperplasia sebenarnya
merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel
kelenjar prostat. Hiperplasia prostat benigna ini dapat dialami oleh sekitar 70% pria di atas
usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun.
Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS (lower urinary tract
symptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi (storage
symptoms) yang meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi
lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis miksi, dan
tahap selanjutnya terjadi retensi urine. Hubungan antara BPH dengan LUTS sangat
kompleks. Tidak semua pasien BPH mengeluhkan gangguan miksi dan sebaliknya tidak
semua keluhan miksi disebabkan oleh BPH.
Terapi yang akan diberikan pada pasien tergantung pada tingkat keluhan pasien,
komplikasi yang terjadi, sarana yang tersedia, dan pilihan pasien. Di berbagai daerah di
Indonesia kemampuan melakukan diagnosis dan modalitas terapi pasien BPH tidak sama
karena perbedaan fasilitas dan sumber daya manusia di tiap-tiap daerah. Walaupun demikian
dokter di daerah terpencil pun diharapkan dapat menangani pasien BPH dengan sebaikbaiknya. Penyusunan guidelines di berbagai negara maju ternyata berguna bagi para dokter
maupun spesialis urologi dalam menangani kasus BPH dengan benar.
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mampu menangani pasien BPH.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu menangani pasien BPH dengan masalah utama retensi urine di IGD RS
DKT Bandar Lampung
BAB 2
ILUSTRASI KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
No. rekam medis
: 06.80.39
Nama
: Tn. G
Alamat
Tempat/Tanggal lahir
Umur
: 75 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Status perkawinan
: Menikah
Pekerjaan
: Pegawai swasta
Pendidikan
: SD
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara
: Autoanamnesa
Pukul
: 07.00 WIB
Keluhan Utama
Tidak bisa BAK sejak 3 SMRS
Keluhan tambahan
Tidak bisa BAB sejak 3 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Tidak bisa BAK sejak tiga hari SMRS. Sebelumnya os mengeluh sering BAK dan juga
sering kebelet ingin BAK. Tetapi ketika BAK, os harus menunggu lama untuk memulai
kencing, dan pada saat urin keluar terasa panas atau sakit, pancarannya lemah dan terputusputus, bercabang dan menetes ketika mau selesai. BAK sering berhenti dan lancar lagi
terutama bila mengedan. Padahal dulu pasien merasa buang air kecil pancarannya deras dan
tidak menetes ketika mau selesai. Setelah BAK, os merasa tidak puas dan masih ingin BAK.
Pasien sering mengedan bila buang air kecil. Bila mengedan, buang air kecil terasa lebih
lancar tapi pancarannya bercabang. BAK bercabang dan menetes ketika mau selesai. Nyeri
pinggang dan demam disangkal oleh pasien, buang air kecil berdarah dan keluar batu juga
disangkal oleh pasien.
Sebelum dirawat di RS, os pernah masuk IGD dan RS lain lima hari yang lalu dengan
keluhan yang sama, tetapi hanya dipasang selang kateter dan pasien merasa enak sehingga
tidak mau dirawat kemudian pulang.
Anamnesis berdasarkan sistem skoring IPSS:
Pertanyaan
Jawaban
Skor
< 50%
< 50 %
> 50 %
Hampir selalu
sisa urin
sehabis kencing?
keinginan
untuk
kencing ?
5.Dalam satu bulan terakhir,
50 %
> 50 %
Hampir selalu
keluhan
seperti
Dari hasil anamnesis gejala LUTS berdasarkan sistem skoring IPSS, pasien ini mempunyai
skor 30, termasuk gejala LUTS derajat berat.
Menurut keterangan os, tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama.
Kakak os juga penderita hipertensi dan sekarang sudah meninggal. Riwayat DM, TB, asma
dalam keluarga disangkal.
Riwayat sosial dan pribadi
Os tidak mempunyai kebiasaan merokok dan minum minuman beralkohol. Os mengaku
jarang berolahraga, tidur teratur, dan banyak pikiran. Kebiasaan makan sedikit, tidak teratur,
jarang makan sayur dan minum air putih.
STATUS GENERALIS
Keadaan Umum
Pasien tampak sakit sedang, dyspneu (-), sianosis (-)
Kesadaran
Compos mentis; GCS
: E = 4, V = 5, M = 6 15
Tanda-tanda Vital
Tekanan darah
Suhu
:
:
140/90 mmHg
Nadi :
36,1 C
RR
60x/menit
: 24x/menit
Kepala
Bentuk normal, rambut berwarna putih beruban, distribusi merata, tidak mudah
dicabut.
Mata
Bentuk normal, kedudukan kedua bola mata simetris, palpebra superior dan
inferior tidak oedema, CA -/-, SI -/-, kornea jernih, pupil bulat, isokor, 4mm.
Hidung
Bentuk normal, rongga hidung lapang, mukosa tidak hiperemis, septum nasi tidak
deviasi, konka tidak hipertrofi, secret -/Telinga
normotia, nyeri tarik -/-, nyeri tekan tragus -/-, nyeri tekan mastoid -/-, MAE
lapang, secret -/-, serumen -/-, membrana timpani tampak utuh.
Mulut
Bentuk normal, perioral sianosis (-), bibir agak kering, lidah tidak kotor, faring
tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tenang.
Leher
Bentuk normal, trakea di tengah, KGB tidak teraba membesar.
Thorax
Paru :
(Ins)
Bentuk normal, nafas tampak simetris dalam statis dan dinamis, retraksi
intercostal (-)
(Pal)
(Per)
(Pal)
(Per)
batas atas
batas kanan
garis midsternal
batas kiri
(Pal) Supel, hepar dan lien tidak teraba membesar, nyeri tekan (-)
(Per)
Tymphani
Kiri
Nyeri tekan
Nyeri ketok
Massa
Nyeri tekan
(-)
Nyeri ketok
(-)
Massa
(-)
Bentuk normal, tanda radang (-), OUE letak normal, terpasang kateter no.
18 two-way, lancar, warna urine kuning jernih
Scrotum :
Rectal Toucher :
-
Teraba prostat menonjol, batas atas tidak teraba, konsistensi kenyal, permukaan
rata, nodul (-), nyeri tekan (-)
HASIL
NILAI NORMAL
HEMATOLOGI
-
Hemoglobin
12.3 gr/dl
13,2-17,3
Hematokrit
35%
33-45
Leukosit
7,6 ribu/ul
5.0-10.0
Trombosit
169 ribu/ul
150-440
Eritrosit
3,83 juta/ul
4,4 -5,9
LED
50 mm
0,0-10,0
VER/HER/KHER/RDW
-
VER
92,2 fl
80-100
HER
32,1 pg
26-34
KHER
34,8 g/dl
32-36
RDW
12,7 %
11,5-14,5
HITUNG JENIS
-
Basofil
0%
0-1
Eosinofil
0%
1-3
Netrofil
73 %
50-70
Limfosit
24 %
20-40
Monosit
3%
2-8
HEMOSTASIS
-
APTT
29 detik
29-40,2
Kontrol APTT
35 detik
PT
14,1 detik
10,4-12,2
Kontrol PT
13 detik
INR
1,24
Fibrinogen
481 mg/dl
200-400
Kontrol Fibrinogen
300 mg/dl
D-Dimer
200-400(positif)
<200 (negative)
KIMIA KLINIK
FUNGSI HATI
-
SGOT
22 u/l
0-34
SGPT
11 u/l
0-40
Protein Total
7,39 g/dl
6-8
Albumin
3,52 g/dl
3,4 - 4,8
Globulin
3,87 g/dl
2,5 3
Bilirubin Total
0,89 mg/dl
01
Bilirubin Direk
0,23 mg/dl
< 0,2
Bilirubin Indirek
0,66 mg/dl
< 0,6
FUNGSI GINJAL
-
7,8 mg/dl
<7
Ureum darah
63 mg/dl
20 - 40
Creatinin darah
1,6 mg/dl
0,6 1,5
89 mg/dl
80 - 100
145 mg/dl
80 145
DIABETES
LEMAK
Trigliserida
64 mg/dl
< 150
Kolesterol total
180 mg/dl
< 200
Kolesterol LDL
51 mg/dl
28 63
Kolesterol LDL
116 mg/dl
< 130
7,42
7,3 -7,44
GAS DARAH
-
PH
PCO2
38,2 mmHg
3545
PO2
83 mmHg
83108
BP
752 mmHg
HCO3
O2 Saturasi
24,6 mmol/L
2128
96,5 %
9599
BE (base excess)
0,4 mmol/L
- 2,5 2,5
Total CO2
25,7 mmol/L
19 24
ELEKTROLIT
-
Natrium
145 mmol/l
135 147
Kalium
4,45 mmol/l
3,1 5,1
Klorida
112 mmol/l
95 - 108
: ukuran dalam batas normal, echostruktur cortex normal, batas cortex dan
medulla jelas, batu (-), tak tampak pelebaran calix, SOL (-).
Ren kiri
: ukuran dalam batas normal, echostruktur cortex normal, batas cortex dan
medulla jelas, batu (-), tak tampak pelebaran calix, SOL (-).
Vesica urinaria
Prostat
Kesan
V. RESUME
Telah di periksa seorang laki-laki umur 75 tahun datang dengan keluhan sulit BAK sejak
3 hari SMRS. Sebelumnya os mengeluh sering BAK dan juga sering sangat ingin BAK (kebelet).
Tetapi ketika BAK, os harus menunggu lama, dan pada saat urin keluar terasa panas atau sakit,
menetes, dan pancarannya lemah dan terputus-putus. BAK sering berhenti dan lancar lagi
terutama bila mengedan. BAK bercabang dan menetes ketika mau selesai. Setelah BAK, os
merasa tidak puas dan masih ingin BAK. Nyeri pinggang, demam,BAK berdarah dan keluar batu
disangkal oleh pasien.
Sebelum dirawat di RS, os pernah masuk IGD RS dan RS lain lima hari yang lalu dengan
keluhan yang sama, tetapi hanya dipasang selang kateter dan pasien merasa enak sehingga tidak
mau dirawat kemudian pulang.
Hasil pemeriksaan fisik, didapatkan pada genitalia eksterna terpasang foley catheter 18 F,
two-way. Kencing lancar, warna urine kuning jernih. Pada RT teraba prostat menonjol, batas atas
tidak teraba, konsistensi kenyal, permukaan rata, nodul (-), nyeri tekan (-). Pada pemeriksaan
USG memberikan kesan hipertrofi prostat dan sistitis.
VII. PENATALAKSANAAN
Retensio urine e.c. Benign Prostat Hyperplasia
Operatif
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam
Bonam
Ad functionam :
Bonam
Ad sanationam :
Bonam
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pemasangan Kateter Urin
Pemasangan kateter urin merupakan tindakan keperawatan dengan cara memasukkan kateter ke dalam
kandung kemih melalui uretra yang bertujuan membantu memenuhi kebutuhan eliminasi dan sebagai
pengambilan bahan pemeriksaan (Hidayat, 2006). Tindakan pemasangan kateter urin dilakukan dengan
memasukan selang plastik atau karet melalui uretra ke dalam kandung kemih. Kateter memungkinkan
mengalirnya urin yang berkelanjutan pada klien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau klien
yang mengalami obstruksi. Kateter juga menjadi alat untuk mengkaji haluaran urin per jam pada klien
yang status hemodinamiknya tidak stabil (Potter dan Perry, 2002 ).
Kateterisasi urin membantu pasien dalam proses eliminasinya. Pemasangan kateter menggantikan
kebiasaan normal dari pasien untuk berkemih. Penggunaan kateter intermiten dalam waktu yang lama
dapat menyebabkan pasien mengalami ketergantungan dalam berkemih (Craven dan Zweig, 2000).
1.1 Tipe Kateterisasi
Menurut Hidayat pemasangan kateter dengan dapat bersifat sementara atau menetap. Pemasangan kateter
sementara atau intermiten catheter (straight kateter) dilakukan jika pengosongan kandung kemih
dilakukan secara rutin sesuai dengan jadwal, sedangkan pemasangan kateter menetap atau indwelling
catheter (folley kateter) dilakukan apabila pengosongan kateter dilakukan secara terus menerus (Hidayat,
2006).
a. Kateter sementara (straight kateter)
Pemasangan kateter sementara dilakukan dengan cara kateter lurus yang sekali pakai dimasukkan sampai
mencapai kandung kemih yang bertujuan untuk mengeluarkan urin. Tindakan ini dapat dilakukan selama
5 sampai 10 menit. Pada saat kandung kemih kosong maka kateter kemudian ditarik keluar, pemasangan
kateter intermitten dapat dilakukan berulang jika tindakan ini diperlukan, tetapi penggunaan yang
berulang meningkatkan resiko infeksi (Potter dan Perry, 2002 ).
Pemasangan kateter sementara dilakukan jika tindakan untuk mengeluarkan urin dari kandung kemih
pasien dibutuhkan. Efek samping dari penggunaan kateter ini berupa pembengkakan pada uretra, yang
terjadi saat memasukkan kateter dan dapat menimbulkan infeksi (Thomas, 2007).
Beberapa keuntungan penggunaan kateterisasi sementara yang dikemukakan oleh Japardi (2000) antara
lain:
1) Mencegah terjadinya tekanan intravesikal yang tinggi/overdistensi yang mengakibatkan aliran darah ke
mukosa kandung kencing dipertahankan seoptimal mungkin
2) Kandung kencing dapat terisi dan dikosongkan secara berkala seakan-akan berfungsi normal.
3) Bila dilakukan secara dini pada penderita cedera medula spinalis, maka penderita dapat melewati masa
syok spinal secara fisiologis sehingga feedback ke medula spinalis tetap terpelihara
4) Teknik yang mudah dan klien tidak terganggu kegiatan sehari harinya
Kerugian kateterisasi sementara ini adalah adanya bahaya distensi kandung kemih, resiko trauma uretra
akibat kateter yang keluar masuk secara berulang, resiko infeksi akibat masuknya kuman-kuman dari luar
atau dari ujung distal uretra (flora normal) (Japardi, 2000).
b. Keteter menetap (foley kateter)
Kateter menetap digunakan untuk periode waktu yang lebih lama. Kateter menetap ditempatkan dalam
kandung kemih untuk beberapa minggu pemakaian sebelum dilakukan pergantian kateter. Pemasangan
kateter ini dilakukan sampai klien mampu berkemih dengan tuntas dan spontan atau selama pengukuran
urin akurat dibutuhkan (Potter dan Perry, 2005).
Pemasangan kateter menetap dilakukan dengan sistem kontinu ataupun penutupan berkala (clamping).
Pemakaian kateter menetap ini banyak menimbulkan infeksi atau sepsis. Bila menggunakan kateter
menetap, maka yang dipilih adalah penutupan berkala oleh karena kateterisasi menetap yang kontinu
tidak fisiologis dimana kandung kencing yang selalu kosong akan mengakibatkan kehilangan potensi
sensasi miksi serta terjadinya atrofi serta penurunan tonus otot kandung kemih (Japardi, 2000).
Kateter menetap terdiri atas foley kateter (double lumen) dimana satu lumen berfungsi untuk mengalirkan
urin dan lumen yang lain berfungsi untuk mengisi balon dari luar kandung kemih. Tipe triple lumen
terdiri dari tiga lumen yang digunakan untuk mengalirkan urin dari kandung kemih, satu lumen untuk
memasukkan cairan ke dalam balon dan lumen yang ketiga dipergunakan untuk melakukan irigasi pada
kandung kemih dengan cairan atau pengobatan (Potter dan Perry, 2005).
1.2 Indikasi Kateterisasi
Kateterisasi sementara digunakan pada penatalaksanaan jangka panjang klien yang mengalami cidera
medulla spinalis, degenerasi neuromuscular, atau kandung kemih yang tidak kompeten, pengambilan
spesimen urin steril, pengkajian residu urin setelah pengosongan kandung kemih dan meredakan rasa
tidak nyaman akibat distensi kandung kemih (Perry dan Potter, 2005). Menurut Hidayat (2006)
kateterisasi sementara diindikasikan pada klien yang tidak mampu berkemih 8-12 jam setelah operasi,
retensi akut setelah trauma uretra, tidak mampu berkemih akibat obat sedative atau analgesic, cidera pada
tulang belakang, degerasi neuromuscular secara progresif dan pengeluaran urin residual.
Kateterisasi menetap (foley kateter) digunakan pada klien paskaoperasi uretra dan struktur di sekitarnya
(TUR-P), obstruksi aliaran urin, obstruksi uretra, pada pasien inkontinensia dan disorientasi berat
(Hidayat, 2006).
2. Inkontinensia Urin
Ada beberapa tipe dari inkontinensia urin yaitu: inkontinensia dorongan, inkontinensia total, inkontinesia
stress, inkontinensia refleks, inkontinensia fungsional (Hidayat, 2006).
a. Inkontinensia Dorongan
Inkontinensia dorongan merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin tanpa sadar,
terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat setelah berkemih. Inkontinensia dorongan ditandai
dengan seringnya terjadi miksi (miksi lebih dari 2 jam sekali) dan spame kandung kemih (Hidayat, 2006).
Pasien Inkontinensia dorongan mengeluh tidak dapat menahan kencing segera setelah timbul sensasi
ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot detrusor sudah mulai mengadakan kontraksi pada saat
kapasitas kandung kemih belum terpenuhi.
Frekuensi miksi menjadi lebih sering dan disertai dengan urgensi. Inkontinensia tipe ini meliputi 22% dari
semua inkontinensia pada wanita (Purnomo, 2008). Beberapa penyebab terjadinya inkontinensia urin
dorongan disebabkan oleh penurunan kapasitas kandung kemih, iritasi pada reseptor rengangan kandung
kemih yang menyebabkan spasme (inspeksi saluaran kemih), minuman alcohol atau kafein, peningkatan
konsentrasi urin, dan distensi kandung kemih yang berlebihan. (Hidayat, 2006).
b. Inkontinensia Total
Inkontinensia total merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin yang terus
menerus dan tidak dapat diperkirakan. Kemungkinan penyebab inkontinensia total antara lain: disfungsi
neorologis, kontraksi independen dan refleks detrusor karena pembedahan, trauma atau penyakit yang
mempengaruhi saraf medulla spinalis, fistula, neuropati (Hidayat, 2006).
c. Inkontinensia Stress
Menurut Hidayat (2006) inkontinensia tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes dengan peningkatan
tekanan abdomen, adanya dorongan berkemih, dan sering miksi. Inkontinensia stress terjadi disebabkan
otot spingter uretra tidak dapat menahan keluarnya urin yang disebabkan meningkatnya tekanan di
abdomen secara tiba-tiba. Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi sewaktu batuk, bersin, mengangkat
benda yang berat, tertawa (Panker, 2007).
Keluar urin dari uretra pada saat terjadi tekanan intraabdominal, merupakan jenis inkontinensia yang
paling banyak prevalensinya 8-33%. Pada pria kelainan uretra yang menyebabkan inkontinensia biasanya
adalah kerusakan sfingter uretra eksterna pasca prostatektomi (Purnomo, 2008). Inkontinensia stress
jarang ditemukan pada laki-laki. Namun apabila hal ini ditemukan maka membutuhkan tindakan
pembedahan untuk penanganannya (Parker, 2007).
Inkontinensia stress ini paling sering ditemukan pada wanita dan dapat disebabkan oleh cidera obstetrik,
lesi kolum vesika urinaria, kelainan ekstrinsik pelvis, fistula, disfungsi detrusor dan sejumlah keadaan
lain (Smeltzer, 2001).
d. Inkontinensia Refleks
Inkontinensia refleks merupakan keadaan di mana seseorang mengalami pengeluaran urin yang tidak
dirasakan, terjadi pada interval yang dapat diperkirakan bila volume kandung kemih mencapai jumlah
tertentu. Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kerusakan neurologis (lesi medulla
spinalis). Inkontinensia refleks ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa bahwa
kandung kemih penuh, dan kontraksi atau spasme kandung kemih tidak dihambat pada interval teratur
(Hidayat, 2006).
e. Inkontinensia Fungsional
Inkontinensia fungsional merupakan keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran urin secara tanpa
disadari dan tidak dapat diperkirakan. Keadaan inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya dorongan
untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk
mengeluarkan urin (Hidayat,2006).
Inkontinensia fungsional merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang utuh
tetapi ada faktor lain, seperti gangguan kognitif berat yang menyebabkan pasien sulit untuk
mengidentifikasi perlunya urinasi (misalnya, demensia Alzheimer) atau gangguan fisik yang
menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin menjangkau toilet untuk melakukan urinasi (Smeltzer,
2001).
3. Bladder Training
3.1 Defenisi Bladder Training
Bladder training merupakan latihan kandung kemih sebagai salah satu upaya mengembalikan fungsi
kandung kemih yang mengalami gangguan (Lutfie, 2008). Orzeck dan Ouslander (1987 dalam Hariyati
2000) mengatakan bahwa bladder training merupakan upaya mengembalikan pola buang air kecil dengan
menghambat atau merangsang keinginan buang air kecil. Bladder training merupakan tindakan yang
bermanfaat dalam mengurangi frekuensi dari inkontinensia. Bladder training banyak digunakan untuk
menangani inkontinensia urin di komunitas. Latihan ini sangat efektif dan memiliki efek samping yang
minimal dalam menangani masalah inkontinensia urin. Dengan bladder training diharapkan pola
kebiasaan disfungsional, memperbaiki kemampuan untuk menekan urgensi dapat diubah dan secara
bertahap akan meningkatkan kapasitas kandung kemih dan memperpanjang interval berkemih. (Glen,
2003).
Terdapat tiga macam metode bladder training, yaitu kegel exercises (latihan pengencangan atau
penguatan otot-otot dasar panggul), delay urination (menunda berkemih), dan scheduled bathroom trips
(jadwal berkemih). Latihan kegel (kegel exercises) merupakan aktivitas fisik yang tersusun dalam suatu
program yang dilakukan secara berulang-ulang guna meningkatkan kebugaran tubuh. Latihan kegel dapat
meningkatkan mobilitas kandung kemih dan bermanfaat dalam menurunkan gangguan pemenuhan
kebutuhan eliminasi urin. Latihan otot dasar panggul dapat membantu memperkuat otot dasar panggul
untuk memperkuat penutupan uretra dan secara refleks menghambat kontraksi kandung kemih.
Metode bladder training dengan jadwal berkemih dapat dilakukan dengan cara membuat jadwal berkemih
setiap bangun pagi, setiap dua jam pada siang dan sore hari, setiap empat jam pada malam hari dan
sebelum tidur malam. Memberikan cairan sesuai kebutuhan 30 menit sebelum waktu berkemih,
membatasi minum (150-200 cc) setelah makan malam. Kemudian secara bertahap periode waktu
berkemih dapat ditambah. Dibutuhkan kerjasama dengan keluarga untuk keberhasilan metode ini
(Hariyati, 2000).
Bladder training dapat dilakukan dengan latihan menahan kencing (menunda untuk berkemih). Pada
pasien yang terpasang keteter, bladder training dapat dilakukan dengan mengklem atau mengikat aliran
urin ke urin bag (Hariyati, 2000). Bladder training dilakukan sebelum kateterisasi diberhentikan.
Tindakan ini dapat dilakukan dengan menjepit kateter urin dengan klem kemudian jepitannya dilepas
setiap beberapa jam sekali. Kateter di klem selama 20 menit dan kemudian dilepas. Tindakan menjepit
kateter ini memungkinkan kandung kemih terisi urin dan otot detrusor berkontraksi sedangkan pelepasan
klem memungkinkan kandung kemih untuk mengosongkan isinya. (Smeltzer, 2001).
Latihan ini dilakukan pada pasien setelah kateter terpasang dalam jangka waktu yang lama (Suharyanto,
2008)
Karon (2005) menyatakan tujuan dilakukan bladder training adalah:
a. Membantu klien mendapat pola berkemih rutin.
b. Mengembangkan tonus otot kandung kemih sehingga dapat mencegah inkontinensia.
c. Memperpanjang interval waktu berkemih.
d. Meningkatkan kapasitas kandung kemih.
e. Melatih kandung kemih untuk mengeluarkan urin secara periodic
f. Mengontrol faktor-faktor yang mungkin meningkatakan jumlah episode inkontinensia.
3.3 Indikasi Bladder training
Bladder training dapat dilakukan pada pasien yang mengalami inkontinensia, pada pasien yang terpasang
kateter dalam waktu yang lama sehingga fungsi spingter kandung kemih terganggu (Suharyanto, 2008).
Bladder training juga bisa dilakukan pada pasien stroke, bladder injury, dan pasien dengan pemasangan
kateter yang lama (Orzeck dan ouslander, 1987 dalam Hariyati, 2000).
Bladder training efektif digunakan dalam menangani masalah inkontinesia dorongan, inkontinensia stress
atau gabungan keduanya yang sering disebut inkontinensia campuran. Penelitian yang dilakukan oleh
Fantl (1991) mengenai efektivitas bladder training didapatkan, bahwa sebanyak 50 % dari sampel
percobaan menjadi mampu mengontrol kencing, dan 12 % menjadi total kontinen. Sedangkan penelitian
yang dilakukan Hariyati (2000) untuk melihat pengaruh bladder training dengan proses pemulihan
inkontinensia urin pasien stroke diperoleh lama inkontinensia urin rata-rata 13,11 hari pada pasien yang
diberi bladder training sedangkan di ruangan kontrol 22,7 hari.
DAFTAR PUSTAKA
1. Chriasdino M, Achadiat, Aspek-aspek Hukum Malpraktek dan Kelalaian Medik,
Medica, Jakarta, 1993.
2. Johan Bahder Nasution, Hukum Kesehatan dan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka
Cipta, Jakarta, 2005.
3. Guwansi, Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent), Fakultas Kedokteran UI,
Jakarta, 1997.
4. Komalawati Veronica, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1989