You are on page 1of 26

A.

Pengertian Orde Lama


Orde Lama adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soekarno diIndonesia.
Orde Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga 1968. Dalam jangka waktu tersebut, Indonesia
menggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dansistem ekonomi komando.
Di saat menggunakan sistem ekonomi liberal, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan
parlementer. Presiaden Soekarno di gulingkan waktu Indonesia menggunakan sistem ekonomi
komando.
Orde lama (Demokrasi Terpimpin), terdiri dari beberapa kejadian penting..
1. Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh :
a. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak
terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang
berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan
mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces
for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah
yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru,
yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter,
banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
b. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu
perdagangan luar negeri RI.
c. Kas negara kosong.
d. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
a.Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan
BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
b.Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan
perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke
Singapura dan Malaysia.
c.Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam
menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi
makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
d.Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan
perang ke bidang-bidang produktif.
e.Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk
pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik
(mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).

2. Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)


Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsipprinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang
menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa
bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya
memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
a)Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi
jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b)Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan
mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi
impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta
memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam
perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang
cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
c)Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th
1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
d)Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo,
yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha nonpribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah
menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan
baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk
mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
e)Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni IndonesiaBelanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusahapengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.
3. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi
terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh
pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan
persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (mengikuti Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakankebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi
Indonesia, antara lain :
a)Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang
kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua
simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
b)Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan
cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia.
Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.

c)Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1.
Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat
uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan
angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak
menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang
dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negaranegara Barat. Sekali lagi, ini juga salah satu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi
terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik,
eonomi, maupun bidang-bidang lain.
Masalah pemanfaatan kekayaan alam.
Pada masa orde lama : Konsep Bung Karno tentang kekayaan alam sangat jelas. Jika Bangsa
Indonesia belum mampu atau belum punya iptek untuk menambang minyak bumi dsb biarlah SDA
tetap berada di dalam perut bumi Indonesia. Kekayaan alam itu akan menjadi tabungan anak cucu di
masa depan. Biarlah anak cucu yang menikmati jika mereka sudah mampu dan bisa. Jadi saat
dipimpin Bung Karno, meski RI hidup miskin, tapi Bung Karno tidak pernah menggadaikan (konsesi)
tambang-tambang milik bangsa ke perusahaan asing. Penebangan hutan pada masa Bung Karno juga
amat minim.
Sistem pemerintahan
Orde lama : kebijakan pada pemerintah, berorientasi pada politik,semua proyek diserahkan kepada
pemerintah, sentralistik,demokrasi Terpimpin, sekularisme.
Persamaan kebijakan ekonomi pada masa orde lama, orde baru, dan reformasi.
1.

Sama-sama masih terdapat ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan


ketidakadilan

Setelah Indonesia Merdeka, ketimpangan ekonomi tidak separah ketika zaman penjajahan namun
tetap saja ada terjadi ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan ketidakadilan. Dalam 26 tahun masa
orde baru (1971-1997) rasio pendapatan penduduk daerah terkaya dan penduduk daerah termiskin
meningkat dari 5,1 (1971) menjadi 6,8 (1983) dan naik lagi menjadi 9,8 (1997). Ketika reformasi
ketimpangan distribusi pendapatan semakin tinggi dari 0,29 (2002) menjadi 0,35 (2006).
Sehingga dapat dikatakan bahwa kaum kaya memperoleh manfaat terbesar dari pertumbuhan
ekonomi yang dikatakan cukup tinggi, namun pada kenyataanya tidak merata terhadap masyarakat.
2. Adanya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme)
Orde Lama: Walaupun kecil, korupsi sudah ada.
Orde Baru: Hampir semua jajaran pemerintah koruptor (KKN).
Reformasi: Walaupun sudah dibongkar dan dipublikasi di mana-mana dari media massa,media
elektronik,dll tetap saja membantah melakukan korupsi.
Hal ini menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat yang sulit untuk disembuhkan akibat praktikpratik pemerintahan yang manipulatif dan tidak terkontrol.
3. Kebijakan Pemerintah

Sejak pemerintahan orde lama hingga orde reformasi kini, kewenangan menjalankan anggaran negara
tetap ada pada Presiden (masing-masing melahirkan individu atau pemimpin yang sangat kuat dalam
setiap periode pemerintahan sehingga menjadikan mereka seperti manusia setengah dewa). Namun
tiap-tiap masa pemerintahan mempunyai cirinya masing-masing dalam menjalankan arah kebijakan
anggaran negara. Hal ini dikarenakan untuk disesuaikan dengan kondisi: stabilitas politik, tingkat
ekonomi masyarakat, serta keamanan dan ketertiban.
Kebijakan anggaran negara yang diterapkan pemerintah selama ini sepertinya berorientasi pada
ekonomi masyarakat. Padahal kenyataannya kebijakan yang ada biasanya hanya untuk segelintir
orang dan bahkan lebih banyak menyengsarakan rakyat. Belum lagi kebijakan-kebijakan yang tidak
tepat sasaran, yang hanya menambah beban APBN. Bila diteliti lebih mendalam kebijakan-kebijakan
sejak Orde Baru hingga sekarang hanya bersifat jangka pendek. Dalam arti kebijakan yang ditempuh
bukan untuk perencanaan ke masa yang akan datang, namun biasanya cenderung untuk mengatur
hal-hal yang sedang dibutuhkan saat ini.
C. Berakhirnya Orde Lama
setelah turunnya presiden soekarno dari tumpuk kepresidenan maka berakhirlah orde
lama.kepemimpinan disahkan kepada jendral soeharto mulai memegang kendali.pemerintahan dan
menanamkan era kepemimpinanya sebagai orde baru konsefrasi penyelenggaraan sistem
pemerintahan dan kehidupan demokrasi menitipberatkan pada aspek kestabilan politik dalam rangka
menunjang pembangunan nasional.untuk mencapai titik-titik tersebut dilakukanlah upaya
pembenahan sistem keanekaragaman dan format politik yang pada prinsipnya mempunyai sejumlah
sisi yang menonjol.yaitu;
1]adanya konsep difungsi ABRI
2]pengutamaan golonga karya
3]manifikasi kekuasaan di tangan eksekutif
4]diteruskannya sistem pengangkatan dalam lembaga-lembaga pendidikanpejabat
5]kejaksaan depolitisan khususnya masyarakat pedesaan melalui konsep masca mengembang [flating
mass]
6]karal kehidupan pers
konsep diafungsi ABRI pada masa itu secara inplisit sebelumnya sudah ditempatkan oleh kepala staf
angkatan darat.mayjen A.H.NASUTION tahun 1958 yaitu dengan konsep jalan tengah prinsipnya
menegaskan bahwaperan tentara tidak terbatas pada tugas profesional militer belaka melainkan juga
mempunyai tugas-tugas di bidang sosial politik dengan konsep seperti inilah dimungkinkan dan
bahkan menjadi semacam kewajiban jikalau militer berpatisipasi dan bidang politik penerapan
konjungsi ini menurut pennafsiran militer dan penguasa orde baru memperoleh landasan yuridi
konstitusional di dalam pasal 2 ayat 1 UUD 1945 yang menegaskan majelis permusyawaratan rakyat.

http://aka99.wordpress.com/tag/sistem-pemerintahaan-orde-lama/

http://ahmadseptianariando.wordpress.com/2013/06/30/pemerintahan-masa-ordelama-orde-baru-reformasi-dan-otonomi-daerah/
Masa pemerintahan orde lama
Orde Lama adalah sebutan bagi masa
pemerintahan Presiden Soekarno di Indonesia.Orde Lama berlangsung dari
tahun 1945 hingga 1968. Dalam jangka waktu tersebut, Indonesiamenggunakan
bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando.Di saat
menggunakan sistem ekonomi liberal, Indonesia menggunakan sistem
pemerintahan parlementer. Presiaden Soekarno di gulingkan waktu Indonesia
menggunakan sistem ekonomi komando.
Pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik
Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan
menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa hari sebelumnya. Kemudian
dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai parlemen sementara
hingga pemilu dapat dilaksanakan. Kelompok ini mendeklarasikan pemerintahan
baru pada 31 Agustus dan menghendaki Republik Indonesia yang terdiri dari 8
provinsi: Sumatra, Kalimantan (tidak termasuk wilayah Sabah, Sarawak dan
Brunei),Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku (termasuk Papua)
dan Nusa Tenggara.
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang
ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil
Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3
November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi
liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta
perorangan. Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem
kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959
dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan
dan pembubaran partai-partai. Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan
hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah
sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan
PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan
Masyumi dibubarkan.
Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal
ini tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam
kehidupan politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan
pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan
Deklarasi Bogor.
Secara umum, hubungan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan
Soekarno sebagai Presiden, sangat dinamis, bahkan kadang-kadang terjadi gejolak.
Hatta adalah pengkritik paling tajam sekaligus sahabat hingga akhir hayat
Soekarno. Dinamika hubungan Soekarno dengan Mohammad Hatta sangat
dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang berlaku pada saat itu. Moh. Mahfudz,
(1998:373-375) dalam Politik Hukum di Indonesia, secara lebih spesifik
menguraikan perkembangan konfigurasi politik Indonesia ketika itu sebagai berikut:
Pertama, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, terjadi pembalikan
arah dalam penampilan konfigurasi politik. Pada periode ini konfigurasi politik
menjadi cenderung demokratis dan dapat diidentifikasi sebagai demokrasi liberal.
Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1959, dimana Presiden Soekarno
menghentikannya melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada periode ini pernah
berlaku tiga konstitusi, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950.

Konfigurasi politiknya dapat diberi satu kualifikasi yang sama, yaitu konfigurasi
politik yang demokratis. Indikatornya adalah begitu dominannya partai-partai
politik;
Kedua, konfigurasi politik yang demokratis pada periode 1945-1959, mulai ditarik
lagi ke arah yang berlawanan menjadi otoriter sejak tanggal 21 Februari 1957,
ketika Presiden Soekarno melontarkan konsepnya tentang demokrasi terpimpin.
Demokrasi Terpimpin merupakan pembalikan total terhadap sistem demokrasi
liberal yang sangat ditentukan oleh partai-partai politik melalui free fight (Yahya
Muhaimin, 1991:42, Bisnis dan Politik, Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980.
Jakarta : LP3ES).
Sejak zaman pergerakan nasional, hubungan Soekarno dengan Mohammad Hatta
yang seringkali disebut Dwitunggal, terjalin dengan baik. Sejak tahun 1930-an,
keduanya telah beberapa kali ditahan dan diasingkan oleh pemerintah kolonial
Belanda, karena dianggap berbahaya bagi pemerintahan kolonial. Pada masa
pendudukan Jepang, kedua tokoh ini mendapatkan pengakuan sebagai wakil-wakil
rakyat Indonesia. Pada saat penyusunan naskah Proklamasi, keduanya terlibat
dalam proses penyusunan naskah teks proklamasi kemerdekaan. Pada detik-detik
menjelang pembacaan naskah proklamasi, Soekarno menolak desakan para
pemuda untuk membacakan teks proklamasi lebih awal karena Mohammad Hatta
belum datang. Ketika itu, Bung Karno berkata: Saya tidak akan membacakan
Proklamasi kemerdekaan jika Bung Hatta tidak ada. Jika mas Muwardi tidak mau
menunggu Bung Hatta, silahkan baca sendiri, jawab Bung Karno kepada dr. Muwardi
salah satu tokoh pemuda pada waktu itu yang mendesak segera dibacakan teks
Proklamasi. Begitu percayanya Soekarno kepada Mohammad Hatta, pada tahun
1949, ia meminta agar Mohammad Hatta selain menjadi Wakil Presiden, sekaligus
juga menjadi Perdana Menteri.
Mohammad Hatta selalu menekankan perlunya dasar hukum dan pemerintahan
yang bertanggung jawab, karena itu Hatta tidak setuju ketika Presiden Soekarno
mengangkat dirinya sendiri sebagai formatur kabinet yang tidak perlu bertanggung
jawab, tidak dapat diganggu gugat, serta menggalang kekuatan-kekuatan
revolusioner guna membersihkan lawan-lawan politik yang tidak setuju dengan
gagasannya. Konflik ini mencapai puncaknya. Setelah pemilihan umum 1955,
Presiden Soekarno mengajukan konsep Demokrasi Terpimpin pada tanggal 21
Februari 1957 di hadapan para pemimpin partai dan tokoh masyarakat di Istana
Merdeka. Presiden Soekarno mengemukakan Konsepsi Presiden, yang pada
pokoknya berisi:
Sistem Demokrasi Parlementer secara Barat, tidak sesuai dengan kepribadian
Indonesia, oleh karena itu harus diganti dengan Demokrasi Terpimpin.
Untuk pelaksanaan Demokrasi Terpimpin perlu dibentuk suatu kabinet gotong
royong yang angotanya terdiri dari semua partai dan organisasi berdasarkan
perimbangan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Konsepsi Presiden ini,
mengetengahkan pula perlunya pembentukan Kabinet Kaki Empat yang
mengandung arti bahwa keempat partai besar, yakni PNI, Masyumi, Nahdlatul
Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI), turut serta di dalamnya untuk
menciptakan kegotongroyongan nasional.
Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan-golongan fungsional
dalam masyarakat. Dewan Nasional ini, tugas utamanya adalah memberi nasihat
kepada Kabinet, baik diminta maupun tidak diminta.
Dengan konsep yang diajukan Soekarno itu, Hatta menganggap Bung Karno sudah
mulai meninggalkan demokrasi dan ingin memimpin segalanya. Sebagai pejuang

demokrasi, ia tidak dapat menerima perilaku Bung Karno. Padahal, rakyat telah
memilih sistem demokrasi yang mensyaratkan persamaan hak dan kewajiban bagi
semua warga negara dan dihormatinya supremasi hukum. Bung Karno mencoba
berdiri di atas semua itu, dengan alasan rakyat perlu dipimpin dalam memahami
demokrasi yang benar. Jelas, bagi Bung Hatta, ini adalah sebuahcontradictio in
terminis. Di satu sisi ingin mewujudkan demokrasi, sedangkan di sisi lain duduk di
atas demokrasi. Pembicaraan, teguran, dan peringatan terhadap Soekarno, sahabat
seperjuangannya, telah dilakukan. Tetapi Soekarno tidak berubah sikap. Sebaliknya,
Hatta pun tidak menyesuaikan dirinya dengan pandangan sikap dan pendapat
Soekarno.
Mohammad Hatta telah mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden, sebelum
Soekarno menyampaikan konsep Demokrasi Terpimpin secara resmi. Pada tanggal 1
Desember 1956, Mohammad Hatta mengirimkan surat pengunduran dirinya sebagai
Wakil Presiden kepada DPR hasil Pemilihan Umum 1955. Pada tanggal 5 Februari
1957 berdasarkan Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1957, Presiden Soekarno
memberhentikan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Namun, pengunduran
diri Mohammad Hatta dari posisi Wakil Presiden tidak mengakibatkan hubungan
pribadi keduanya menjadi putus. Bung Karno dan Bung Hatta tetap menjaga
persahabatan yang telah mereka jalin sejak lama.
Pengunduran diri ini lebih disebabkan oleh karena perbedaan pendapat dengan
Presiden. Pengunduran diri Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden, tidak diikuti
dengan gejolak politik. Juga tidak ada tekanan-tekanan dari pihak luar. Perbedaan
pendapat antara Mohammad Hatta dengan Soekarno, lebih kepada visi dan
pendekatan Mohammad Hatta yang berbeda dengan Soekarno dalam mengelola
Negara. Perbedaan itu, sesungguhnya telah terjadi sejak awal. Namun, perbedaan
itu makin memuncak pada pertengahan tahun 1950-an. Soekarno menganggap
revolusi belum selesai, sementara Hatta menganggap sudah selesai sehingga
pembangunan ekonomi harus diprioritaskan (Adnan Buyung Nasution, Refleksi
Pemikiran Hatta Tentang Hukum dan HAM, Jakarta: CIDES, 20 Juni 2002).
Meskipun telah mengundurkan diri, banyak orang yang menghendaki agar Bung
Hatta aktif kembali. Di dalam Musyawarah Nasional tanggal 10 September 1957,
dibahas Masalah Dwitunggal Soekarno-Hatta Demikian pula di DPR, beberapa
anggota DPR mengajukan mosi mengenai Pemulihan Kerjasama Dwitunggal
Soekarno-Hatta. DPR kemudian menerima mosi mengenai Pembentukan Panitia Ad
Hoc untuk mencari bentuk kerjasama Soekarno-Hatta. Panitia itu dibentuk pada
tanggal 29 November 1957 dan dikenal sebagai Panitia Sembilan?, yang diketuai
oleh Ahem Erningpraja. Namun, Panitia Sembilan ini dibubarkan pada Bulan Maret
1958 tanpa menghasilkan sesuatu yang nyata (Sekretariat Negara RI, 1981: 30
Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964).
Pada sisi lain, Mohammad Hatta adalah Wakil Presiden yang mampu menjadi satu
kesatuan dengan Presiden Soekarno, sehingga seringkali disebut Dwitunggal.
Pelaksanaan konsep Dwitunggal Soekarno-Hatta telah menempatkan kedudukan
dan fungsi Wakil Presiden menjadi sama dengan Presiden, padahal menurut UUD
1945 kedudukan Wakil Presiden adalah sebagai Pembantu Presiden? serta dapat
menggantikan Presiden jika Presiden berhalangan. Fenomena ini menjadi semakin
jelas apabila diperhatikan praktik ketatanegaraan yang berlangsung antara tahun
1945 sampai tahun 1956. Pada masa ini, Wakil Presiden banyak melakukan
tindakan mengumumkan/ mengeluarkan peraturan perundang-undangan antara
lain, Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 Oktober 1945; Maklumat Pemerintah
tanggal 17 Oktober 1945 tentang Permakluman Perang; Maklumat Pemerintah

tanggal 3 November 1945 tentang pendirian partai politik; dan Undang-undang


Nomor 16 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya.
Pada saat berlaku UUD RIS 1949 dan UU Nomor 7 Tahun 1949 tentang Penunjukkan
Pemangku Sementara Jabatan Presiden Republik Indonesia, Indonesia menganut
sistem parlementer. Jika keadaan ini dihubungkan dengan persoalan Presiden
berhalangan serta pengisian jabatannya untuk sementara oleh Wakil Presiden,
maka tindakan yang dilakukan oleh Wakil Presiden di bidang ketatanegaraan dapat
ditafsirkan sebagai suatu pengisian jabatan Presiden untuk sementara oleh Wakil
Presiden. Dari sudut konsep Dwitunggal, maka tindakan Wakil Presiden merupakan
perwujudan dari konsep itu.
Demokrasi parlementer
Tidak lama setelah itu, Indonesia mengadopsi undang-undang baru yang terdiri dari
sistem parlemen di mana dewan eksekutifnya dipilih oleh dan bertanggung jawab
kepada parlemen atauMPR. MPR terbagi kepada partai-partai politik sebelum dan
sesudah pemilu pertama pada tahun1955, sehingga koalisi pemerintah yang stabil
susah dicapai.
Peran Islam di Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno lebih memilih
negara sekuler yang berdasarkan Pancasila sementara beberapa kelompok Muslim
lebih menginginkan negara Islam atau undang-undang yang berisi sebuah bagian
yang menyaratkan umat Islam takluk kepadahukum Islam.
Demokrasi Terpimpin
Pemberontakan yang gagal di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau
lainnya yang dimulai sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan
konstitusi baru, melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya
pada 1959 ketika Presiden Soekarno secara unilateral membangkitkan kembali
konstitusi 1945 yang bersifat sementara, yang memberikan kekuatan presidensil
yang besar, dia tidak menemui banyak hambatan.
Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim yang otoriter di
bawah label Demokrasi Terpimpin. Dia juga menggeser kebijakan luar negeri
Indonesia menuju non-blok, kebijakan yang didukung para pemimpin penting
negara-negara bekas jajahan yang menolak aliansi resmi dengan Blok Barat
maupun Blok Uni Soviet. Para pemimpin tersebut berkumpul diBandung, Jawa
Barat pada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk mendirikan fondasi yang kelak
menjadi Gerakan Non-Blok.
Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, Soekarno bergerak lebih dekat kepada
negara-negara komunis Asia dan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam
negeri. Meski PKI merupakan partai komunis terbesar di dunia di luar Uni
Soviet dan China, dukungan massanya tak pernah menunjukkan penurutan
ideologis kepada partai komunis seperti di negara-negara lainnya.
Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Soekarno menentang pembentukan Federasi Malaysia dan menyebut bahwa hal
tersebut adalah sebuah rencana neo-kolonial untuk mempermudah rencana
komersial Inggris di wilayah tersebut. Selain itu dengan pembentukan Federasi
Malaysia, hal ini dianggap akan memperluas pengaruh imperialisme negara-negara
Barat di kawasan Asia dan memberikan celah kepada negara Inggris dan Australia
untuk mempengaruhi perpolitikan regional Asia. Menanggapi keputusan PBB untuk
mengakui kedaulatan Malaysia dan menjadikan Malaysia anggota tidak
tetap Dewan Keamanan PBB, presiden Soekarno mengumumkan pengunduran diri
negara Indonesia dari keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan
mendirikan Konferensi Kekuatan Baru (CONEFO) sebagai

tandingan PBB dan GANEFO sebagai tandingan Olimpiade. Pada tahun itu juga
konfrontasi ini kemudian mengakibatkan pertempuran antara pasukan Indonesia
dan Malaysia (yang dibantu oleh Inggris).
Nasib Irian Barat
Pada saat kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan
terhadap belahan barat pulau Nugini (Papua), dan mengizinkan langkah-langkah
menuju pemerintahan-sendiri dan pendeklarasian kemerdekaan pada 1
Desember 1961.
Negosiasi dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah tersebut dengan
Indonesia gagal, dan pasukan penerjun payung Indonesia mendarat di Irian pada 18
Desember sebelum kemudian terjadi pertempuran antara pasukan Indonesia dan
Belanda pada 1961 dan 1962. Pada 1962 Amerika Serikat menekan Belanda agar
setuju melakukan perbincangan rahasia dengan Indonesia yang
menghasilkan Perjanjian New York pada Agustus 1962, dan Indonesia mengambil
alih kekuasaan terhadap Irian Jaya pada 1 Mei 1963.
Gerakan 30 September
Hingga 1965, PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk
Soekarno untuk memperkuat dukungan untuk rezimnya dan, dengan persetujuan
dari Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk Angkatan Kelima dengan
mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.
Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh
dalam upayakudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana yang loyal
kepada PKI. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto,
menumpas kudeta tersebut dan berbalik melawan PKI. Soeharto lalu menggunakan
situasi ini untuk mengambil alih kekuasaan. Lebih dari puluhan ribu orang-orang
yang dituduh komunis kemudian dibunuh. Jumlah korban jiwa pada1966 mencapai
setidaknya 500.000; yang paling parah terjadi di Jawa dan Bali.
B.
Masa pemerintahan orde baru
Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli
1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan
Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan berkembang di
Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap orang yang pernah terlibat
dalam aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya
diasingkan ke pulau Buru.[8] Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan
stabilitas nasional dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional
terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada
dua macam konsensus nasional, yaitu :
1. Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus
pertama ini disebut juga dengan konsensus utama.
2.
Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara
melaksanakan konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan
dari konsensus utama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus
kedua lahir antara pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat.
Setelah Kabinet Ampera terbentuk (25 Juli 1966). Menyusul tekad membangun
dicanangkan UU Penanaman Modal Asing (10 Januari 1967), kemudian Penyerahan
Kekuasaan Pemerintah RI dari Soekarno kepada Mandataris MPRS (12 Februari
1967), lalu disusul pelantikan Soeharto (12 Maret 1967) sebagai Pejabat Presiden

sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Gerakan Pemuda Ansor.


Luapan kegembiraan itu tercermin dalam Kongres VII GP Ansor di Jakarta. Ribuan
utusan yang hadir seolah tak kuat membendung kegembiraan atas runtuhnya
pemerintahan Orde Lama, dibubarkannya PKI dan diharamkanya komunisme,
Marxisme dan Leninisme di bumi Indonesia. Bukan berarti tak ada kekecewaan,
justru dalam kongres VII itulah, rasa tak puas dan kecewa terhadap perkembangan
politik pasca Orla ramai diungkapkan. Seperti diungkapkan Ketua Umum GP Ansor
Jahja Ubaid SH, bahwa setelah mulai rampungnya perjuangan Orde Baru, diantara
partner sesama Orba telah mulai melancarkan siasat untuk mengecilkan peranan
GP Ansor dalam penumpasan G-30 S/PKI dan penumbangan rezim Orde Lama.
Bahwa suasana Kongres VII, dengan demikian, diliputi dengan rasa kegembiraan
dan kekecewaan yang cukup mendalam.
Kongres VII GP Ansor berlangsung di Jakarta, 23-28 Oktober 1967. hadir dalam
kongres tersebut sejumlah utusan dari 26 wilayah (Propinsi) dan 252 Cabang
(Kabupaten) se-Indonesia. Hadir pula menyampaikan amanat; Ketua MPRS Jenderal
A.H.Nasution; Pejabat Presiden Jenderal Soeharto; KH. Dr Idham Chalid (Ketua
PBNU); H.M.Subchan ZE (Wakil Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH (mantan Ketua
Umum PP.GP Ansor) dan KH.Moh. Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan Menteri
Agama RI)
Kongres kali ini merupakan moment paling tepat untuk menjawab segala persoalan
yang timbul di kalangan Ansor. Karena itu, pembahasan dalam kongres akhirnya
dikelompokan menjadi tiga tema pokok: (1) penyempurnaan organisasi; (2) program
perjuangan gerakan; dan (3) penegasan politik gerakan. Penegasan Politik
GerakanDalam kongres ini juga merumuskan Penegasan Politik Gerakan sbb:
(1) Menengaskan Orde Baru dengan beberapa persyaratan: (a). membasmi
komunisme, marxisme, dan leninisme. (b) menolak kembalinya kekuasaan
totaliter/Orde Lama, segala bentuk dalam manifestasinya. (c) mempertahankan
kehidupan demokrasi yang murni dan (d) mempertahankan eksistensi Partijwezen;
(2) Toleransi Agama dijamin oleh UUD 1945. Dalam pelaksanaannya harus
memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut-penganut agama lain;
(3) Mempertahankan politik luar negeri yang bebas aktif, anti penjajahan dan
penindasaan dalam menuju perdamaian dunia.
Rumusan penegasan politik tersebut tentu dilatarbelakangi kajian mendalam
mengenai situasi politik yang berkembang saat itu. Kajian atau analisis itu, juga
mengantisipasi perkembangan berikutnya. Memang begitulah yang dilakukan
kongres. Perkara politik itu pula-lah yang paling menonjol dalam kongres VII
tersebut.
Itulah sebabnya, dalam kongres itu diputuskan: Bahwa GP Ansor memutuskan untuk
ikut di dalamnya dalam penumpasan sisa-sisa PKI yang bermotif ideologis dan
strategis. Kepada yang bermotif Politis. Ansor menghadapinya secara kritis dan
korektif. Sedangkan yang bermotif terror,GP.Ansor harus menentang dan berusaha
menunjukkan kepalsuannya.
Atas dasar itulah, GP Ansor mendukung dan ikut di dalamnya dalam operasi
penumpasan sisa-sisa PKI di Blitar dan Malang yang dikenal dengan operasi Trisula.
Bahkan GP Ansor waktu itu sempat mengirim telegram ucapan selamat kepada
Pangdam VIII/Brawijaya atas suksenya operasi tersebut. Ansor ikut operasi itu
karena, operasi di kedua daerah tersebut bermotif ideologis dan strategis.
Sesungguhnya kongres juga telah memperediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang
bakal timbul. Karena itu, sejak awal Ansor telah menegaskan sikapnya: menolak
kembalinya pemerintahan tiran. Orde Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi

yang bukan hanya memberi kebebasan menyatakan pendapat melalui media pers
atau mimbar-mimbar ilmiah. Tapi, demokrasi diartikan sebagai suatu Doktrin
Pemerintahan yang tidak mentolerir pengendapan kekuasaan totaliter di suatu
tempat. Seperti kata Michael Edwards dalam buku Asian in the Balance, bahwa
kecenderungan di Asia, akan masuk liang kubur dan muncul authoritarianism.
Pendeknya, demokrasi pada mulanya di salah gunakan oleh pemegang kekuasaan
yang korup hingga mendorong Negara ke arah Kebangkrutan. Lalu, sebelum
meledak bentrokan-bentrokan sosial, kaum militer mengambil alih kekuasaan, dan
dengan kekuasaan darurat itulah ditegakkan pemerintahan otoriter. Begitulah kirakira Michael Edwards. Masalah Toleransi Agama, Selain masalah politik, kongres
juga merumuskan pola kerukunan antar umat beragama. Rumusan tersebut
mengacu pada UUD 1945 yang menjamin toleransi itu sendiri, dan dalam
pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut
agama lain.
Masalah toleransi agama di bahas serius karena, pada waktu itu pertentangan
agama sudah mulai memburuk. Bahkan bentrokan fisik telah terjadi di mana-mana.
Akibatnya timbul isu yang mendiskreditkan Partai Islam dan Umat Islam. Isu yang
paling keras pada waktu itu adalah mendirikan Negara Islam. Sehingga, di berbagai
daerah ormas Islam maupun Partai Islam selalu dicurigai aparat keamanan.
Dakwah-dakwah semakin di batasi bahkan ada pula yang terpaksa di larang.
Terakhir, malah dikeluarkan garis kebijaksanaan di kalangan ABRI yang sangat
merugikan partai Islam dan Umat Islam. Dalam Kongres VII juga menyampaikan
memorandum kepada pemerintah mengenai masalah politik dan ekonomi. Dan isi
dari memorandum tak lain adalah manifestasi dari komitmen terhadap ideology
Pancasila.
C. Masa Reformasi
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai
tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan Era Reformasi.Masih
adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada
masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru
masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering
disebut sebagai Era Pasca Orde Baru.
Berakhirnya rezim Orde Baru, telah membuka peluang guna menata kehidupan
demokrasi. Reformasi politik, ekonomi dan hukum merupakan agenda yang tidak
bisa ditunda. Demokrasi menuntut lebih dari sekedar pemilu. Demokrasi yang
mumpuni harus dibangun melalui struktur politik dan kelembagaan demokrasi yang
sehat. Namun nampaknya tuntutan reformasi politik, telah menempatkan
pelaksanan pemilu menjadi agenda pertama. Pemilu pertama di masa reformasi
hampir sama dengan pemilu pertama tahun 1955 diwarnai dengan kejutan dan
keprihatinan. Pertama, kegagalan partai-partai Islam meraih suara siginifikan.
Kedua, menurunnya perolehan suara Golkar. Ketiga, kenaikan perolehan suara PDI P.
Keempat, kegagalan PAN, yang dianggap paling reformis, ternyata hanya
menduduki urutan kelima. Kekalahan PAN, mengingatkan pada kekalahan yang
dialami Partai Sosialis, pada pemilu 1955, diprediksi akan memperoleh suara
signifikan namun lain nyatanya.
Pemerintahan B.J Habibie
Sidang Istimewa MPR yang mengukuhkan Habibie sebagai Presiden, ditentang oleh
gelombang demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan rakyat di Jakarta dan di
kota-kota lain. Gelombang demonstrasi ini memuncak dalam peristiwa Tragedi
Semanggi, yang menewaskan 18 orang. Masa pemerintahan Habibie ditandai

dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter Internasionaluntuk membantu


dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan
pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi.
Presiden BJ Habibie mengambil prakarsa untuk melakukan koreksi. Sejumlah
tahanan politik dilepaskan. Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar
Pakpahan dibebaskan, tiga hari setelah Habibie menjabat. Tahanan politik
dibebaskan secara bergelombang. Tetapi, Budiman Sudjatmiko dan beberapa
petinggi Partai Rakyat Demokratik baru dibebaskan pada era Presiden Abdurrahman
Wahid. Setelah Habibie membebaskan tahanan politik, tahanan politik baru muncul.
Sejumlah aktivis mahasiswa diadili atas tuduhan menghina pemerintah atau
menghina kepala negara. Desakan meminta pertanggungjawaban militer yang
terjerat pelanggaran HAM tak bisa dilangsungkan karena kuatnya proteksi politik.
Bahkan, sejumlah perwira militer yang olehMahkamah Militer Jakarta telah dihukum
dan dipecat karena terlibat penculikan, kini telah kembali duduk dalam jabatan
struktural.
Beberapa langkah perubahan diambil oleh Habibie, seperti liberalisasi parpol,
pemberian kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan pencabutan UU Subversi.
Walaupun begitu Habibie juga sempat tergoda meloloskan UU Penanggulangan
Keadaan Bahaya, namun urung dilakukan karena besarnya tekanan politik dan
kejadian Tragedi Semanggi II yang menewaskan mahasiswa UI, Yun Hap. Kejadian
penting dalam masa pemerintahan Habibie adalah keputusannya untuk
mengizinkan Timor Timur untuk mengadakan referendum yang berakhir dengan
berpisahnya wilayah tersebut dari Indonesia pada Oktober 1999. Keputusan
tersebut terbukti tidak populer di mata masyarakat sehingga hingga kini pun masa
pemerintahan Habibie sering dianggap sebagai salah satu masa kelam
dalam sejarah Indonesia. Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet.
Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana
Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program
pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi
kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.
Walaupun pengesahan hasil Pemilu 1999 sempat tertunda, secara umum proses
pemilu multi partai pertama di era reformasi jauh lebih Langsung, Umum, Bebas
dan Rahasia (Luber) serta adil dan jujur dibanding masa Orde Baru. Hampir tidak
ada indikator siginifikan yang menunjukkan bahwa rakyat menolak hasil pemilu
yang berlangsung dengan aman. Realitas ini menunjukkan, bahwa yang tidak mau
menerima kekalahan, hanyalah mereka yang tidak siap berdemokrasi, dan ini hanya
diungkapkan oleh sebagian elite politik, bukan rakyat.
Pemeintahan Abdurahman Wahid.
Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999. PDI
Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputri keluar menjadi
pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh
suara; Golkar (partai Soeharto sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilupemilu sebelumnya) memperoleh 22%; Partai Persatuan
Pembangunanpimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan
Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR
melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil
presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya,Kabinet
Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya
pada Agustus 2000.
Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan

perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping


ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi
konflik antar etnis dan antar agama, terutama di Aceh,Maluku, dan Papua. Di Timor
Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat
tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia
mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang
semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid,
menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.
Pemerintahan Megawati soekarno putri
Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan
laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001, ribuan demonstran
menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan
keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk
memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia
mengedarkan keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari
kepada wakil presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak
lama kemudian.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono
Pemilu 2004, merupakan pemilu kedua dengan dua agenda, pertama memilih
anggota legislatif dan kedua memilih presiden. Untuk agenda pertama terjadi
kejutan, yakni naiknya kembali suara Golkar, turunan perolehan suara PDI-P, tidak
beranjaknya perolehan yang signifikan partai Islam dan munculnya Partai Demokrat
yang melewati PAN. Dalam pemilihan presiden yang diikuti lima kandidat (Susilo
Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, Wiranto, Amin Rais dan Hamzah
Haz), berlangsung dalam dua putaran, telah menempatkan pasangan SBY dan JK,
dengan meraih 60,95 persen. Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden
baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima
berbagai cobaan dan tantangan besar, sepertigempa bumi besar di Aceh dan
Nias pada Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa
bumi lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.
Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara
pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri
konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh. Atas prestasi SBY yang di
tanam sejak tahun 2004 telah mengantar beliau naik kembali duduk di kursi
presiden dengan pasanganya pak Budiono pada pemilu tahun 2009, kinerja mereka
pun belum dapat dirasakan dengan maksimal.
Otonomi daerah di Indonesia
Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak
mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara
(Eenheidstaat), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan
negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan
pemerintahan; dan
Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar
1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa

Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi


di bidang ketatanegaraan
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi
di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan
penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke
pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan
dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah
pada Daerah Tingkat II (Dati II) dengan beberapa dasar pertimbangan:
Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan
sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis
relatif minim;
Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada
masyarakat relatif dapat lebih efektif;
Dati II adalah daerah ujung tombak pelaksanaan pembangunan sehingga Dati IIlah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif
di daerah;
Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk
memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik
dan maju
Aturan Perundang-undangan
Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan
Otonomi Daerah:
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde Baru
Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan
nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk
mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa
pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai
panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh
birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh
pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang
sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat.
Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi
inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlak. Selanjutnya yang

dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan


masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak,
berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan
pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat
atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;
Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau
Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah, dan
Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan
urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah
oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Propinsi) maupun Dati II
(Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang
calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri,
untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali
masa jabatan berikutnya, dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan
pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan
pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya
sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar
Pengadilan. Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti
hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran;
mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan;
mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan
penyelidikan) dan kewajiban seperti a) mempertahankan, mengamankan serta
mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan melaksanakan
secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan
yang berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan
dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah
dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk
melaksanakan peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan
kepada Daerah; dan d) memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan
rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.
Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU
No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang
terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam
perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena
paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan
Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.
Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru
Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi
dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses

pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis).


Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus
menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan
pada beberapa pilihan yaitu:
melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti
mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
pembentukan negara federal; atau
membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi
yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan
memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi
daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih
mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan
daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui
prakarsanya sendiri.
Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan
asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5
Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan
otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional
diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya
nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di
samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi
yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah
dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan
masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta
meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu,
dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah
otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini
berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut
Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah
otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan
pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan
fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara
utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan
melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang
selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah
propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah
administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi
kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom.
Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat
dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah

kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di


daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan
pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan
mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari
garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan
wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi.[15]
Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang
DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan,
anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab
kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab
kepada Presiden.
Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai
pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang
berwenang.
Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah,
sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya
lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang
tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung
dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang
ditetapkan dengan undang-undang.
Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih
bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan,
pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur
yang ditetapkan pemerintah.
Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi
otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang
bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak
efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten
atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum,
kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya
dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani
Kabupaten dan Kota.
Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara
membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah
Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak
ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah,
yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah,
Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan
pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik
daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan
pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten
Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat
meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah
setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.
2.2 Keuntungan dan Kekurangan Otonomi Daerah

Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan


kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah
pusat. Dalam proses desentralisasi ini, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari
tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya sehingga terwujud
pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh
Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari
daerah tingkat pusat maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan
otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari
pusat ke daerah.
Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini di lihat sangat penting,
terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara dengan
sebaik-baiknya. Karena dalam sistem yang belaku sebelumnya sangat dirasakan
oleh daerah-daerah besarnya jurang ketidakadilan struktural yang tercipta dalam
hubungan antara pusat dan daerah-daerah. Untuk menjamin perasaan diberlakukan
tidak adil yang muncul di berbagai daerah Indonesia tidak makin meluas dan terus
meningkat pada gilirannya akan sangat membahayakan integrasi nasional, maka
kebijakan otonomi daerah ini dinilah mutlak harus diterapkan dalam waktu yang
secepat-cepatnya sesuai dengan tingkat kesiapan da- erah sendiri.
Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan tidak
hanya menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi perlu juga
diwujudkan atas dasar prakarsa dari bawah untuk mendorong tumbuhnya
kemandiriaan pemerintahan daerah sendiri sebagai faktor yang menentukan
keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu. Dalam kultur masyarakat Indonesia
yang paternalistik, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah itu tidak akan
berhasil apabila tidak diimbangi dengan upaya sadar untuk membangun
keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri.
Beberapa keuntungan dengan menerapkan otonomi daerah dapat dikemukakan
sebagai berikut ini.
a.
Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan.
b.
Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak yang membutuhkan
tindakan yang cepat, sehingga daerah tidak perlu menunggu intruksi dari
Pemerintah pusat.
c.
Dalam sistem desentralisasi, dpat diadakan pembedaan (diferensial) dan
pengkhususan (spesialisasi) yang berguna bagi kepentingan tertentu. Khususnya
desentralisasi teretorial, dapat lebih muda menyesuaikan diri pada kebutuhan atau
keperluan khusu daerah.
d.
Dengan adanya desentralisasi territorial, daerah otonomi dapat merupakan
semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan,
yang dapat bermanfaat bagi seluruh negara. Hal-hal yang ternyata baik, dapat
diterapkan diseluruh wilayah negara, sedangkan yang kurang baik dapat dibatasi
pada suatu daerah tertentu saja dan oleh karena itu dapat lebih muda untuk
diadakan.
e.
Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari Pemerintah Pusat.
f.
Dari segi psikolagis, desentralisasi dapat lebih memberikan kewenangan
memutuskan yang lebuh beser kepada daerah.
g.
Akan memperbaiki kualitas pelayanan karena dia lebih dekat dengan
masyarakat yang dilayani.

Di samping kebaikan tersebut di atas, otonomi daerah juga mengandung


kelemahan sebagaimana pendapat Josef Riwu Kaho (1997) antara lain sebagai
berikut ini.
a.
Karena besarnya organ-organ pemerintahan maka struktur pemerintahan
bertambah kompleks, yang mempersulit koordinasi.
b.
Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan
daerah dapat lebih mudah terganggu.
c.
Khusus mengenai desentralisasi teritorial, dapat mendorong timbulnya apa
yang disebut daerahisme atau provinsialisme.
d.
Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama, karena memerlukan
perundingan yang bertele-tele.
e.
Dalam penyelenggaraan desentralisasi, diperlukan biaya yang lebih banyak
dan sulit untuk memperoleh keseragaman atau uniformitas dan kesederhanaan.

http://mhafizyazid.blogspot.com/2012/11/normal-0-false-falsefalse-en-us-x-none.html
Pemerintahan Orde Lama
Secara umum proses perjalanan bangsa dapat dibagi dalam dua bagian yaitu, periode
Orde Lama dan periode Orde Baru. Namun saat ini saya akan sedikit membahs masa
pemerintahan pada orde lama.
Orde Lama adalah istilah yang diciptakan oleh Orde Baru. Bung Karno sangat keberatan
masa kepemimpinannya dinamai Orde Lama. Bung Karno lebih suka dengan nama Orde Revolusi.
Tapi Bung Karno tak berkutik karena menjadi tahanan rumah (oleh pemerintahan militer Orde Baru)
di Wisma Yaso (sekarang jadi Museum TNI Satria Mandala Jl. Gatot Subroto Jakarta).
Orde Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga 1968. Dalam jangka waktu tersebut,
Indonesia menggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando. Di saat
menggunakan sistem ekonomi liberal, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer.
Presiden Soekarno di gulingkan saat Indonesia menggunakan sistem ekonomi komando.
Sebab dalam sistem Demokrasi Terpimpin presiden memiliki kekuasaan hampir seluruh bidang
pemerintahan.
Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia masuk dalam suatu
babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Dalam perjalanan
sejarahnya bangsa Indonesia mengalami berbagai perubahan asas, paham, ideologi dan doktrin dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan melalui berbagai hambatan dan ancaman
yang membahayakan perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan serta mengisi
kemerdekaan. Wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan instabilisasi nasional sejak periode
Orde Lama yang berpuncak pada pemberontakan PKI 30 September 1945 sampai lahirlah
Supersemar sebagai titik balik lahirnya tonggak pemerintahan era Orde Baru yang merupakan
koreksi total terhadap budaya dan sistem politik Orde Lama dimana masih terlihat kentalnya
mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional berlandaskan ideoligi sosialisme komunisme.
Era 1950 - 1959 adalah era dimana presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950, dimana periode ini berlangsung dari 17

Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959. Sebelum Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat
itu terjadi demo besar-besaran menuntut pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka melalui perjanjian
antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara
Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950.
Sejak 17 Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang Dasar
Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer.
Pada masa ini terjadi banyak pergantian kabinet diakibatkan situasi politik yang tidak stabil.
Tercatat ada 7 kabinet pada masa ini.
1.
1950-1951 - Kabinet Natsir
2.

1951-1952 - Kabinet Sukiman-Suwirjo

3.

1952-1953 - Kabinet Wilopo

4.

1953-1955 - Kabinet Ali Sastroamidjojo I

5.

1955-1956 - Kabinet Burhanuddin Harahap

6.

1956-1957 - Kabinet Ali Sastroamidjojo II

7.

1957-1959 - Kabinet Djuanda

Politik Pada Masa Orde Lama


Masa orde lama yaitu masa pemerintahan yg dimulai dari proklamasi kemerdekaan 17
agustus 1945 sampai masa terjadinya G30 S PKI. Dizaman orde lama partai yang ikut pemilu
sebanyak lebih dari 25 part/ai peserta pemilu. Masa orde lama ideologi partai berbeda antara yang
satu dengan lainnya, ada Nasionalis PNI-PARTINDO-IPKI-dll, Komunis PKI; Islam NUMASYUMI- PSII-PI PERI, Sosialis PSI-MURBA, Kristen PARKINDO dll. Pelaksanaan Pemilu
pada Orde Lama hampir sama seperti sekarang.
Politik dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh
Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi
anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia
"bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-

kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun
setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru.
Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang
terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah
Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak.
Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan
administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam
gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).

Kondisi Ekonomi Masa Orde Lama


Keadaan ekonomi keuangan pada masa orde lama amat buruk, antara lain disebabkan
oleh :
1.
Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara
tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang
yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia
Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima
AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang
NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga
mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang
Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan
tingkat harga.
2.
Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu
perdagangan luar negeri RI.
3.

Kas negara kosong.

4.

Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :


1.
Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan
persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.

2.
Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan
perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke
Singapura dan Malaysia.
3.
Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat
dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan
distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
4.
Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947, Rekonstruksi
dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke
bidang-bidang produktif.
5.
Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk
pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik
(mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
Indonesia di masa Orde Lama (Soekarno, 1945 1966) lebih banyak konflik politiknya
daripada agenda ekonominya yaitu konflik kepentingan antara kaum borjuis, militer, PKI, parpol
keagamaan dan kelompok kelompok nasionalis lainnya. Kondisi ekonomi saat itu sangat parah
dengan ditandai tingginya inflasi yaitu mencapai 732% antara tahun 1964 1965 dan masih
mencapai 697% antara tahun 1965 1966.

Masa Konfrontasi Masa Orde Lama


Namun keadaan ini hanya berlangsung sampai pada tahun 1958, karena mulai saat itu terlihat
kelesuan dan kemunduran perdagangan di Bursa. Hal ini diakibatkan politik konfrontasi yang
dilancarkan pemerintah RI terhadap Belanda sehingga mengganggu hubungan ekonomi kedua negara
dan mengakibatkan banyak warga negara Belanda meninggalkan Indonesia.
Perkembangan tersebut makin parah sejalan dengan memburuknya hubungan Republik
Indonesia dengan Belanda mengenai sengketa Irian Jaya dan memuncaknya aksi pengambil-alihan
semua perusahaan Belanda di Indonesia, sesuai dengan Undang-undang Nasionalisasi No. 86 Tahun
1958.
Kemudian disusul dengan instruksi dari Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda (BANAS)
pada tahun 1960, yaitu larangan bagi Bursa Efek Indonesia untuk memperdagangkan semua Efek

dari perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, termasuk semua Efek yang bernominasi mata
uang Belanda, makin memperparah perdagangan Efek di Indonesia.
Tingkat inflasi pada waktu itu yang cukup tinggi ketika itu, makin menggoncang dan
mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pasar uang dan pasar modal, juga terhadap mata uang
rupiah yang mencapai puncaknya pada tahun 1966.

Penurunan ini mengakibatkan nilai nominal saham dan obligasi menjadi rendah, sehingga
tidak menarik lagi bagi investor. Hal ini merupakan pasang surut Pasar Modal Indonesia pada
zaman Orde Lama.

Penerapan Demokrasi Pada Masa Orde Lama


Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang
berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Pada saat itu
kondisi politik dan keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosialbudaya berada dalam suasana transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi
masyarakat merdeka. Masa orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi
Pancasila terutama dalam sistem kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam bentuk
yang berbeda-beda pada masa orde lama. Terdapat 3 periode implementasi Pancasila yang
berbeda, yaitu periode 1945-1950, periode 1950-1959, dan periode 1959-1966. Orde baru
berkehendak ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen
sebagai kritik terhadap orde lama yang telah menyimpang dari Pancasila. Situasi
internasional kala itu masih diliputi konflik perang dingin. Situasi politik dan keamanan
dalam negeri kacau dan ekonomi hampir bangkrut. Indonesia dihadapkan pada pilihan
yang sulit, memberikan sandang dan pangan kepada rakyat atau mengedepankan
kepentingan strategi dan politik di arena internasional seperti yang dilakukan oleh
Soekarno.
Orde Lama telah dikenal prestasinya dalam memberi identitas, kebanggaan nasional
dan mempersatukan bangsa Indonesia. Namun demikian, Orde Lama pula yang

memberikan peluang bagi kemungkinan kaburnya identitas tersebut (Pancasila dan


Undang-Undang Dasar 1945). Beberapa peristiwa pada Orde Lama yang mengaburkan
identitas nasional kita adalah; Pemberontakan PKI pada tahun 1948, Demokrasi Terpimpin,
Pelaksanaan UUD Sementara 1950, Nasakom dan Pemberontakan PKI 1965.

Berakhirnya Orde Lama


Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang
kontroversial, yang isinya berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan
darat menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga
keamanan negara dan institusi kepresidenan. Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal
Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggotaanggotanya yang duduk di parlemen. Setelah pertanggung jawabannya ditolak Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967,
Presiden Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa
MPRS di tahun yang sama dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden Republik
Indonesia.

Kesimpulan
Orde Lama adalah istilah yang diciptakan oleh Orde Baru. Bung Karno sangat
keberatan masa kepemimpinannya dinamai Orde Lama. BK lebih suka dengan nama Orde
Revolusi. Tapi BK tak berkutik karena menjadi tahanan rumah (oleh pemerintahan militer
Orde Baru) di Wisma Yaso (sekarang jadi Museum TNI Satria Mandala Jl. Gatot Subroto
Jakarta).
Orde Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga 1968. Dalam jangka waktu tersebut,
Indonesia menggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando.
Di

saat

menggunakan

sistem

ekonomi

liberal,

Indonesia

menggunakan

sistem

pemerintahan parlementer. Presiden Soekarno di gulingkan saat Indonesia menggunakan


sistem ekonomi komando.

Orde Lama telah dikenal prestasinya dalam memberi identitas, kebanggaan nasional
dan mempersatukan bangsa Indonesia. Namun demikian, Orde Lama pula yang
memberikan peluang bagi kemungkinan kaburnya identitas tersebut (Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945). Beberapa peristiwa pada Orde Lama yang mengaburkan
identitas nasional kita adalah; Pemberontakan PKI pada tahun 1948, Demokrasi Terpimpin,
Pelaksanaan UUD Sementara 1950, Nasakom dan Pemberontakan PKI 1965.
Pada Orde Lama terjadi banyak pergantian kabinet diakibatkan situasi politik yang
tidak stabil. Tercatat ada 7 kabinet pada masa Orde Lama, yaitu :
1.
1950-1951 - Kabinet Natsir
2.

1951-1952 - Kabinet Sukiman-Suwirjo

3.

1952-1953 - Kabinet Wilopo

4.

1953-1955 - Kabinet Ali Sastroamidjojo I

5.

1955-1956 - Kabinet Burhanuddin Harahap

6.

1956-1957 - Kabinet Ali Sastroamidjojo II

7.

1957-1959 - Kabinet Djuanda


Demokrasi terpimpin adalah sebuah demokrasi yang sempat ada di Indonesia, yang

seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya saja.

You might also like