You are on page 1of 20

MAKALAH

TENTANG
REFORMASI BIROKRASI SEBAGAI ORGANISASI PEMBANGUNAN
DI INDONESIA

Dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah


Teori dan Isu Pembangunan
Prof. Dr. Hj. Ummu Salamah, MS

OLEH :
JAJANG SAEPUL HOLIQ
NPM/NIRM : 2409114031

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER ADMINISTRASI NEGARA


UNIVERSITAS GARUT
2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis sembahkan kepada ALLAH SWT, yang telah


melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan makalah ini yang berjudul Reformasi
Birokrasi Sebagai Organisasi Pembangunan di Indonesia. dan tidak
lupa pula solawat beriring salam penulis hadiahkan kepada junjungan
alam yakni
nabi Muhammad SAW sebagai pembawa syariat Islam,
keluarga dan sahabat, serta para pengikutnya hingga akhir zaman.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah
ini jauh dari kesempurnaan di sebabkan keterbatasan pengetahuan
dan kemampuan penulis.Oleh sebab itu, penulis mohon maaf atas
segala kesalahan dan kekurangan. Penulis mengharapkan keritik dan
saran yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan penulis makalah
berikutnya.

Pekanbaru, 5 Mei 2013

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah

1.2

Rumusan Masalah

1.3

Tujuan Penulisan

2
2

BAB II PEMBAHASAN
2.1

Reformasi Birokrasi

2.2

Tahap-tahap Reformasi Birokrasi yang Ideal Dan

Strategi reformasi Birokrasi

2.3

Reformasi Birokrasi Di Indonesia

2.4

Birokrasi Indonesia Sebelum Reformasi

2.5

Pelaksanaan Reformasi Birokrasi guna

mengatasi Patologi Birokrasi

10
14

15

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

17

18

DAFTAR PUSTAKA

19

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang masalah

Belakangan ini, dalam segala aspek yang berhubungan dengan


pemerintahan, reformasi birokrasi menjadi isu yang sangat kuat untuk
direalisasikan. Terlebih lagi,birokrasi pemerintah Indonesia telah
memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap kondisi
keterpurukan bangsa Indonesia dalam krisis multidimensi yang

berkepanjangan. Birokrasi yang telah dibangun oleh pemerintah


sebelum era reformasi telah membangun budaya birokrasi yang kental
dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Akan tetapi, pemerintahan pasca reformasi pun tidak menjamin
keberlangsungan reformasi birokrasi terealisasi dengan baik.
Kurangnya komitmen pemerintah pasca reformasi terhadap reformasi
birokrasi ini cenderung berbanding lurus dengan kurangnya komitmen
pemerintah terhadap pemberantasan KKN yang sudah menjadi
penyakit akut dalam birokrasi pemerintahan Indonesia selama ini.
Sebagian masyarakat memberikan cap negatif terhadap komitmen
pemerintah pascareformasi terhadap reformasi birokrasi. Ironisnya,
sebagian masyarakat Indonesia saat ini, justru merindukan
pemerintahan Orde Baru yang dinggap dapat memberikan kemapanan
kepada masyarakat, walaupun hanya kemapanan yang bersifat semu.
Agar Indonesia tidak semakin jatuh maka birokrasi Indonesia perlu
melakukan reformasi secara menyeluruh. Reformasi itu sesungguhnya
harus dilihat dalam kerangka teoritik dan empirik yang luas, mencakup
didalamnya penguatan masyarakat sipil (civil society), supremasi
hukum, strategi pembangunan ekonomi dan pembangunan politik yang
saling terkait dan mempengaruhi. Dengan demikian, reformasi
birokrasi juga merupakan bagian tak terpisahkan dalam buruknya
birokrasi saat ini.

1.2

Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, penulis


mengemukakan beberapa rumusan masalah, diantaranya:
1. Apakah yang dimaksud dengan reformasi birokrasi?
2. Bagaimana reformasi birokrasi di Indonesia?
3. Bagaimana birokrasi Indonesia sebelum adanya reformasi birokrasi?
4. Bagaimana mekanisme pelaksanaan reformasi birokrasi yang
seharusnya dilakukan oleh pemerintah guna mengatasi patologi
birokrasi?

1.3

Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk mngkaji kembali bagaimana


sebenarnya pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia. Selain itu,
pembuatan makalah ini juga bertujuan untuk mengkaji lebih dalam
mengenai bagaimana proses dari reformasi birokrasi itu sendiri di
Indonesia guna mengatasi patologi birokrasi di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1

Reformasi Birokrasi

2.1.1 Definisi Reformasi Birokrasi


Birokrasi bukanlah suatu fenomena yang baru bagi kita karena
sebenarnya telah ada dalam bentuknya yang sederhana sejak beriburibu tahun yang lalu. Namun demikian kecenderungan mengenai
konsep dan praktek birokrasi telah mengalami perubahan yang berarti
sejak seratus tahun terakhir ini. Dalam Masyarakat yang modern,
birokrasi telah menjadi suatu organisasi atau institusi yang penting.
Pada masa sebelumnya ukuran negara pada umumnya sangat kecil,
namun pada masa kini negara-negara modern memiliki luas wilayah,
ruang lingkup organisasi, dan administrasi yang cukup besar dengan
berjuta-juta penduduk.
Reformasi adalah mengubah atau membuat sesuatu menjadi lebih baik
daripada yang sudah ada. Reformasi ini diarahkan pada perubahan
masyarakat yang termasuk didalamnya masyarakat birokrasi, dalam
pengertian perubahan ke arah kemajuan. Dalam pengertian ini
perubahan masyarakat diarahkan pada development (Susanto, 180).
Karl Mannheim sebagaimana disitir oleh Susanto menjelaskan bahwa
perubahan masyarakat adalah berkaitan dengan norma-normanya.
Development adalah perkembangan yang tertuju pada kemajuan
keadaan dan hidup anggota masyarakat, dimana kemajuan kehidupan
ini akhirnya juga dinikmati oleh masyarakat. Dengan demikian maka
perubahan masyarakat dijadikan sebagai peningkatan martabat
manusia, sehingga hakekatnya perubahan masyarakat berkait erat
dengan kemajuan masyarakat. Dilihat dari aspek perkembangan
masyarakat tersebut maka terjadilah keseimbangan antara tuntutan
ekonomi, politik, sosial dan hukum, keseimbangan antara hak dan
kewajiban, serta konsensus antara prinsip-prinsip dalam masyarakat
(Susanto: 185-186).

Reformasi ini harus dilakukan oleh pejabat tertinggi, seperti presiden


dalam suatu negara atau menteri/kepala lembaga pada suatu
departemen dan kementerian negara/lembaga negara, sebagai motor
penggerak utama. Reformasi birokrasi di Indonesia belum berjalan
dengan maksimal. Indikasinya adalah buruknya pelayanan publik dan
masih maraknya perkara korupsi.
Reformasi birokrasi merupakan salah satu cara untuk membangun
kepercayaan rakyat. Reformasi birokrasi adalah suatu usaha perubahan
pokok dalam suatu sistem yang tujuannya mengubah struktur, tingkah
laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang sudah lama. Ruang lingkup
reformasi birokrasi tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur,
tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap
serta tingkah laku. Hal ini berhubungan dengan permasalahan yang
bersinggungan dengan wewenang dan kekuasaan.
Reformasi birokrasi adalah sebuah harapan masyarakat pada
pemerentah agar mampu memerangi KKN dan membentuk
pemerintahan yang bersih serta keinginan masyarakat untuk
menikmati pelayanan public yang efisien,responsip dan akuntabel.
Maka dari itu masyarakat perlu mengetahui reformasi birokrasi yang
dilakukan saat ini agar kehidupan bernegara berjalan dengan
baik,msyarakat juga berposisi sebagai penilai dan pihak yang dilayani
pemerintah.
Pada dasarnya Reformasi Birokrasi adalah suatu perubahan signifikan
elemen-elemen birokrasi seperti kelembagaan, sumber daya manusia
aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas, aparatur, pengawasan dan
pelayanan publik, yang dilakukan secara sadar untuk memposisikan
diri (birokrasi) kembali, dalam rangka menyesuaikan diri dengan
dinamika lingkungan yang dinamis. Perubahan tersebut dilakukan
untuk melaksanakan peran dan fungsi birokrasi secara tepat, cepat
dan konsisten, guna menghasilkan manfaat sesuai diamanatkan
konstitusi. Perubahan kearah yang lebih baik, merupakan cerminan
dari seluruh kebutuhan yang bertitik tolak dari fakta adanya peran
birokrasi saat ini yang masih jauh dari harapan. Realitas ini,
sesungguhnya menunjukan kesadaran bahwa terdapat kesenjangan
antara apa yang sebenarnya diharapkan, dengan keadaan yang
sesungguhnya tentang peran birokrasi dewasa ini.
2.1.2 Tujuan Reformasi Birokrasi
1. Memperbaiki kinerja birokrasi agar lebih efektif dan efisien.

2. Terciptanya birokrasi yang profesional, netral, terbuka, demokratis,


mandiri, serta memiliki integritas dan kompetensi dalam melaksanakan
tugas dan tanggung jawabnya selaku abdi masyarakat dan abdi
negara.
3. Pemerintah yang bersih (clean government).
4. Bebas KKN.
5. Meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat.
2.1.3 Pokok-pokok Reformasi Birokrasi Pemerintahan
Reformasi Birokrasi harus dimulai dari penataan kelembagaan dan
sumberdaya manusia aparatur. Langkah selanjutnya adalah membuat
mekanisme, pengaturan, sistem, dan prosedur yang sederhana tidak
berbelit-belit, menegakkan akuntabilitas aparatur, meningkatkan dan
menciptakan pengawasan yang komprehensif, dan meningkatkan
kualitas pelayanan publik menuju pelayanan publik yang berkualitas
dan prima. Reformasi birokrasi perlu diprioritaskan pada unit-unit kerja
pelayanan publik seperti imigrasi, bea-cukai, pajak, pertanahan,
kepolisian, kejaksaan, pemerintahan daerah dan pada institusi atau
instansi pemerintah yang rawan KKN, seperti pemerintah
pusat/daerah, kepolisian, kejaksaan, legislatif, yudikatif, dan
departemen dengan anggaran besar seperti departemen pendidikan,
departemen agama, dan departemen pekerjaan umum.
Pokok-pokok Pikiran Tentang Reformasi Birokrasi Aparatur Negara
dapat digambarkan sebagai berikut :
1.

Penataan Kelembagaan atau Orgnisasi.

Untuk menata lembaga atau sebuah organisasi ada beberapa hal yang
harus dilakukan, diantaranya : perampingan struktur organisasi yang
banyak atau kaya fungsi, menciptakan organisasi yang efektif dan
efesien, rasional, dan proporsional, organisasi disusun berdasarkan
visi, misi, dan strategi yang jelas, mengedepankan kompetensi dan
profesionalitas dalam pelaksanaan tugas, menerapkan strategi
organisasi pembelajaran (learning organization) yang cepat
beradaptasi dengan terhadap perubahan.

2.

Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur.

SDM yang ingin dibangun adalah PNS yang profesional, netral, dan
sejahtera, manajemen kepegawaian modern, PNS yang profesional,

netral, sejahtera, berdayaguna, berhasilguna, produktif, transparan,


bersih dan bebas KKN untuk melayani dan memberdayakan
masyarakat, jumlah dan komposisi pegawai yang ideal (sesuai dengan
tugas, fungsi dan beban kerja yang ada di masing-masing instansi
pemerintah), penerapan sistem merit dalam manajemen PNS,
klasifikasi jabatan, standar kompetensi, sistem diklat yang mantap,
standar kinerja, penyusunan pola karier PNS, pola karir terbuka, PNS
sebagai perekat dan pemersatu bangsa, membangun sistem
manajemen kepegawaian unified berbasis kinerja, dan dukungan
pengembangan database kepegawaian, sistem informasi manajemen
kepegawaian, sistem remunerasi yang layak dan adil, menuju
manajemen modern.
3.

Tata Laksana atau Manajemen.

Ketatalaksanaan aparatur pemerintah disederhanakan, ditandai oleh


mekanisme, sistem, prosedur, dan tata kerja yang tertib, efisien, dan
efektif, melalui pengaturan ketatalaksanaan yang sederhana: standar
operasi, sistem, prosedur, mekanisme, tatakerja, hubungan kerja dan
prosedur pada proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan,
evaluasi dan pengendalian, proses korporatisasi dan privatisasi,
pengelolaan sarana dan prasarana kerja, penerapan perkantoran
elektronis dan pemanfaatan teknologi informasi (e-government), dan
apresiasi kearsipan. Juga penataan birokrasi yang efisien, efektif,
transparan, akuntabel, hemat, disiplin, dan penerapan pola hidup
sederhana. Efisiensi kinerja aparatur dan peningkatan budaya kerja,
terwujudnya sistem dan mekanisme kerja yang efektif dan efisien
(dalam administrasi pemerintahan maupun pelayanan kepada
masyarakat), sistem kearsipan yang andal (tepat guna, tepat sasaran,
tepat waktu, efektif dan efisien), otomatisasi administrasi perkantoran,
dan sistem manajemen yang efisien dan efektif. Unit organisasi
pemerintah yang mempunyai potensi penerimaan keuangan negara,
statusnya didorong menjadi unit korporatisasi dalam bentuk Badan
Layanan Umum (BLU), BHMN, BUMD, Perum, Persero, UPT, UPTD, atau
bentuk lainnya.

4.

Akuntabilitas Kinerja Aparatur

Pemahaman tentang akuntabilitas terus ditingkatkan dan diupayakan


agar diciptakan Kinerja Instansi pemerintah yang berkualitas tinggi,
akuntabel dan bebas KKN, ditandai oleh Sistem Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah (SAKIP) yang efektif, sistem dan lingkungan kerja
yang kondusif: berdasarkan peraturan dan tertib administrasi,

terlaksananya sistem akuntabilitas instansi yang berguna sebagai


sarana penilaian kinerja instansi dan individu oleh stakeholders
(atasan, masyarakat, dan pihak lain yang berkepentingan) didukung
sistem informasi dan pengolahan data elektronik yang terpadu secara
nasional dan diterapkan di semua departemen/lembaga di bidang
perencanaan dan penganggaran, organisasi dan ketalaksanaan,
kepegawaian, sistem akuntansi keuangan negara yang dikaitkan
dengan indikator kinerja dan pelayanan masyarakat, dan aparatur
negara yang bebas KKN (kondisi yang terkendali dari praktek-praktek
penyalahgunaan kewenangan dan penyimpangan serta pelanggaran
disiplin, tingginya kinerja sumber daya aparatur dan kinerja pelayanan
publik).
5.

Pengawasan.

Pengawasan ini dilakukan dengan harapan terbangunnya sistem


pengawaan nasional dengan elemen-elemen pengawasan fungsional,
pengawasan internal, pengawasan eksternal, dan pengawasan
masyarakat,ditandai oleh sistem pengendalian dan pengawasan yang
tertib, sisdalmen/waskat, wasnal, dan wasmas, koordinasi, integrasi
dan sinkronisasi aparat pengawasan, terbentuknya sistem informasi
pengawasan yang mendukung pelaksanaan tindak lanjut, serta jumlah
dan kualitas auditor profesional yang memadai, intensitas tindak lanjut
pengawasan dan penegakan hukum secara adil dan konsisten.
6.

Pelayanan Publik.

Pelayanan publik sebagai barometer transparansi dan akuntabilitas,


diharapkan dapat didorong upaya mewujudkan pelayanan publik yang
prima dalam arti pelayanan yang cepat, tepat, adil, dan akuntabel
ditandai oleh pelayanan tidak berbelit-belit, informatif, akomodatif,
konsisten, cepat, tepat, efisien, transparan dan akuntabel, menjamin
rasa aman, nyaman, dan tertib, kepastian (persyaratan biaya waktu
pelayanan dan aturan hukum), dan tidak dijumpai pungutan tidak
resmi. Kondisi kelembagaan, SDM aparatur, ketatalaksanaan, dan
pengawasan, mampu mendukung penyelenggaraan pelayanan publik
yang berkualitas dan mendorong munculnya praktek-praktek
pelayanan yang lebih menghargai para pengguna jasa; perubahan
paradigma aparatur yang terarah dalam upaya revitalisasi manajemen
pembangunan ke arah penyelenggaraan good governance: menjadi
entrepreneurial competitive government (pemerintahan yang
kompetitif), customer driven dan accountable government
(pemerintahan tanggap/responsive), serta global-cosmopolit
orientation government (pemerintahan yang berorientasi global.

7.

Budaya Kerja Produktif, Efisien dan Efektif.

Pelaksanaan Budaya Kerja Produktif, Efisien dan Efektif iniadalah untuk


membangun kultur birokrasi pemerintah yang produktif, efisien, dan
efektif terciptanya iklim kerja yang berorientasi pada etos kerja dan
produktivitas yang tinggi, melalui Pengembangan Budaya Kerja yang
mengubah mindset, pola pikir, sikap dan perilaku serta motivasi kerja;
menemukenali kembali karakter dan jati diri, membangun birokrat
berjiwa entrepreneur, dengan pengembangan budaya kerja yang tinggi
(terbentuk pola pikir, sikap, tindak dan perilaku, serta budaya kerja
pegawai yang etis, bermoral, profesional, disiplin, hemat, hidup
sederhana, jujur, produktif, menghargai waktu, menjadi panutan dan
teladan, serta mendapat kepercayaan masyarakat).

8.

Koordinasi, Integrasi, dan Sinkronisasi

Koordinasi, Integrasi, dan Sinkronisasi ini Perlu ditingkatkan koordinasi


program dan pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, pengawasan dan
pengendalian program pendayagunaan aparatur negara.
9.

Best Practices.

Best practices yaitu Mengamati contoh keberhasilan beberapa


Pemerintah Daerah dalam melaksanakan reformasi birokrasi dan
meningkatkan kualitas pelayanan publik, antara lain Provinsi (DI
Yogyakarta, Sumatera Barat, Riau, Bali, Kalimantan Selatan, dan
Kalimantan Timur), Kabupaten (Solok, Tanah Datar, Sidoarjo, Takalar,
Sragen, Karanganyar, Sleman, Bantul, Kebumen, Jembrana, Gianyar,
dan Tabanan), dan Kota (Balikpapan, Tarakan, Malang, Sawahlunto, dan
Pekanbaru).

2.2 Tahap-tahap Reformasi Birokrasi yang Ideal dan Strategi


Reformasi Birokrasi
a.

Tahap-tahap Reformasi Birokrasi yang Ideal

Agar reformasi birokrasi dapat berjalan baik, perlu dilakukan langkahlangkah manajemen perubahan. Manajemen perubahan adalah proses
mendiagnosis, menginisialisasi, mengimplementasi, dan mengintegrasi
perubahan individu, kelompok, atau organisasi dalam rangka
menyesuaikan diri dan mengantisipasi perubahan lingkungannya agar
tetap tumbuh, berkembang, dan menghasilkan keuntungan. Ada tujuh

langkah manajemen perubahan yang dikutip dari Harvard Business


Essentials tahun 2005, yaitu sebagai berikut:
1. Memobilisasi energi dan komitmen para anggota organisasi
melalui penentuan cita-cita, tantangan, dan solusinya oleh semua
anggota organisasi. Pada tahap ini, setiap lini dalam instansi
pemerintah harus tahu apa yang dicita-citakan instansi, apa yang
mereka hadapi, dan cara menghadapi atau menyelesaikan masalah itu
secara bersama-sama. Agar mereka tergerak untuk menjalankan solusi
bersama, mereka perlu dilibatkan dalam diskusi dan pengambilan
keputusan.
2. Mengembangkan visi bersama, bagaimana mengatur dan
mengorganisasi diri maupun organisasi agar dapat mencapai apa yang
dicita-citakan.
3. Menentukan kepemimpinan. Di dalam instansi pemerintahan,
kepemimpinan biasanya dipegang para pejabat eselon. Padahal,
kepemimpinan harus ada pada semua level agar dapat mengontrol
perubahan. Pemimpin tertinggi harus memastikan orang-orang yang
kompeten dan jujurlah yang berperan sebagai pemimpin pada levellevel di bawahnya.
4. Fokus pada hasil kerja. Langkah itu dilakukan dengan membuat
mekanisme asessment yang dapat mengukur hasil kerja tiap pegawai
atau tiap tim yang diberi tugas tertentu.
5. Mulai mengubah unit-unit kecil di instansi kemudian dorong agar
perubahan itu menyebar ke unit-unit lain di seluruh instansi.
6. Membuat peraturan formal, sistem, maupun struktur untuk
mengukuhkan perubahan, termasuk cara untuk mengukur perubahan
yang terjadi.
7. Mengawasi dan menyesuaikan strategi untuk merespons
permasalahan yang timbul selama proses perubahan berlangsung.
b.

Strategi Reformasi Birokrasi

1. Pada level kebijakan, harus diciptakan berbagai kebijakan yang


mendorong Birokrasi yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak sipil
warga (kepastian hukum, batas waktu, prosedur, partisipasi,
pengaduan, gugatan).
2. Pada level organisational, dilakukan melalui perbaikan proses
rekrutmen berbasis kompetensi, pendidikan dan latihan yang sensitif

terhadap kepentingan masyarakat, penciptaan Standar Kinerja


Individu, Standar Kinerja Tim dan Standar Kinerja Instansi Pemerintah.
3.
Pada level operasional, dilakukan perbaikan melalui peningkatan
service quality meliputi dimensi tangibles, reliability, responsiveness,
assurance dan emphaty.
4. Instansi Pemerintah secara periodik melakukan pengukuran
kepuasan pelanggan dan melakukan perbaikan.
Strategi birokrasi yang profesional dalam pelayanan publik ini ditandai
dengan beberapa karakteristik antara lain:
a. Perubahan yang besar pada orientasi administrasi negara
tradisional menuju ke perhatian yang lebih besar pada pencapaian
hasil dan pertanggung jawaban pribadi pimpinan.
b. Keinginan untuk keluar dari birokrasi klasik dan menjadikan
organisasi, pegawai, masa pengabdian dan kondisi pekerjaan yang
lebih luwes.
c. Tujuan organisasi dan individu pegawai disusun secara jelas
sehingga memungkinkan dibuatkannya tolok ukur prestasi lewat
indikator kinerjanya masing-masing, termasuk pula sistem evaluasi
program-programnya.
d. Staf pimpinan yang senior dapat memiliki komitmen politik kepada
pemerintah yang ada, dan dapat pula bersikap non partisan dan netral.
e. Fungsi-fungsi pemerintah bisa dinilai lewat uji pasar (market test)
seperti misalnya dikontrakkan pada pihak ketiga tanpa harus
disediakan atau ditangani sendiri oleh pemerintah.
f.
Mengurangi peran-peran pemerintah misalnya lewat kegiatan
privatisasi.
g. Birokrasi harus steril dari akomodasi politik yang menghambat
efektivitas pemerintahan.
h. Rekruitmen dan penempatan pejabat birokrasi yang bebas dari
kolusi, korupsi dan nepotisme.

2.3 Reformasi Birokrasi Di Indonesia

Reformasi yang terjadi menyusul jatuhnya Rezim Orde Baru ternyata


tidak seperti yang diharapkan, yaitu reformasi yang mampu
mengadakan perubahan kehidupan yang berarti bagi sebagian besar
masyarakat Indonesia. Selain itu reformasi juga diharapkan untuk
mampu memerangi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ( KKN ) dan
membentuk pemerintahan yang bersih ternyata masih jauh dari realita.
Praktek KKN dalam birokrasi pemerintahan dan pelayanan public masih
terus berlangsung malah semakin merajalela. Keinginan masyarakat
untuk menikmati pelayanan public yang efisien, responsive dan
akuntabel masih jauh dari harapan. Masuknya orang-orang baru dalam
pemerintahan, baik di legislatif maupun eksekutif juga tidak mampu
menciptakan perubahan yang berarti dalam kinerja pemerintahan.
Bahkan banyak diantara mereka akhirnya terperangkap dalam lumpur
KKN dan ikut memperburuk kinerja birokrasi dan pelayanan publik.
Pada masa orde reformasi dan orde sesudahnya (hingga saat ini),
reformasi birokrasi telah banyak diwacanakan dan
diagendakan,bahkan mungkin telah betul-betul secara serius
dilaksanakan. Beberapa diantaranya adalah diberlakukannya PP No.8
tahun 2003 tentang restrukturisasi organisasi pemerintah daerah
dengan konsep MSKF (Miskin Struktur Kaya fungsi). Tujuannya jelas
adalah untuk rasionalisasi birokrasi di lingkup pemerintahan daerah.
Kemudian juga ada perubahan paradigma dari UU Nomor 5 tahun 1974
yang menggunakan the structural efficensy model menuju UU Nomor
22 tahun 1999 yang selanjutnya diperbaharui dengan UU Nomor 32
tahun 2004 yang lebih cenderung menggunakan the local democracy
model (Tim Fisipol Unwar,2006) . Agenda reformasi tersebut
tampaknya merupakan jawaban atas semakin meningkatnya tuntutan
masyarakat serta banyak didorong oleh konsep konsep perubahan
yang datang dari luar Indonesia seperti entrepreneurial bureaucracy,
reinventing government, good governance dan sebagainya.
Good governance misalnya, adalah suatu mekanisme kerja,dimana
aktivitas pemerintahan berorientasi pada terwujudnya keadilan social
dimana pemerintah diharapkan mampu secara maksimal
melaksanakan 3 fungsi dasarnya yakni
service,development,empowerment. Adapun konsekuensi dari
pelaksanaan good governance,setidaknya terlihat dari 3 hal berikut :
1. Pemerintah mengambil posisi sebagai fasilitator dan advocator
kepentingan public.
2. Adanya perlindungan yang nyata terhadap ruang dan wacana
public,serta

3. Mengakui dan menghormati kemajemukan politik dalam rangka


mendorong partisipasi dan mewujudkan desentralisasi (ibid).
Meskipun banyak agenda reformasi telah diintrodusir,dalam
prakteknya perubahan tersebut cukup sulit dilakukan. Beberapa data
membuktikan bahwa birokrasi public di Indonesia pada era reformasi
belum sepenuhnya siap menghadapi perubahan.
1. Laporan dari the world competitivness yearbook tahun 1999 yang
menyatakan bahwa birokrasi Indonesia berada pada kelompok Negara
Negara yang memiliki indeks competitivness yang paling rendah
diantara 100 negara yang diteliti (Cullen& Cushman,2000).
2. Hasil penelitian PSKK UGM tahun 20000 di 3 provinsi yang
menyimpulkan bahwa kinerja birokrasi dalam pelayanan public masih
amat buruk disebabkan oleh kuatnya pengaruh paternalisme
(Dwiyanto,20003).
3. Hasil kajian political and economic risk consultancy di 14 negara
tahun 2001,menyatakan adanya indikasi kinerja birokrasi di Indonesia
yang makin buruk dan korup (Kompas,22 juni 2001)
Sementara itu, dalam lokus Negara berkembang, studi Dwight King
(1989) mengungkapkan beberapa sisi buram ciri birokrasi di negara
berkembang seperti :
1.

Tidak efisien, antara lain ditandai dengan adanya :

Tumpang tindih kegiatan antar instansi

Struktur, norma, nilai,dan regulasi yang ada juga masih


berorientasi pada kekuasaan.
Budaya birokrasi yang masih bersifat dilayani daripada
melayani, dan
Banyaknya posisi-posisi terpenting dalam lembaga birokrasi kita
yang tidak diisi oleh orang-orang yang berkompeten.
Padahal, birokrasi pada suatu negara merupakan suatu lembaga
penting yang merupakan alat negara dalam melayani masyarakat.
Oleh karena itu, suatu perubahan pada birokrasi kita harus
dilaksanakan, atau melaksanakan reformasi birokrasi.
2.

Jumlah pegawai yang berlebihan.

3.

Tidak modern atau ketinggalan jaman

4.

Seringkali menyalahgunakan wewenang.

5. Tidak ada perhatian atau mengabaikan daerah daerah miskin dan


tidak tanggap atas keragaman kebutuhan dan kondisi daerah
setempat.
Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Pemerintah di Indonesia pada
dasarnya dimulai sejak akhir tahun 2006 yang dilakukan melalui pilot
project di Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, dan Badan
Pemeriksa Keuangan. Sejak itu, dikembangkan konsep dan kebijakan
Reformasi Birokrasi yang komprehensif yang ditetapkan dengan
Peraturan Presiden No.81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi
Birokrasi 2010-2025, dan Permenpan-rb No. 20 Tahun 2010 tentang
Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014. Selain itu, diterbitkan pula 9
(sembilan) Pedoman dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi
yang ditetapkan dengan Permenpan-rb No. 7 sampai dengan No. 15
yang meliputi pedoman tentang Pengajuan dokumen usulan sampai
dengan mekanisme persetujuan pelaksanaan reformasi birokrasi dan
tunjangan kinerja.
Pelaksanaan reformasi birokrasi di masing-masing instansi pemerintah
dilakukan berdasarkan kebijakan/program/kegiatan yang telah
digariskan dalam Grand Design Reformasi Birokrasi dan Road Map
reformasi Birokrasi, serta berbagai pedoman pelaksanaannya.
Selanjutnya, pelaksanaan reformasi birokrasi memerlukan sistem
monitoring dan evaluasi yang solid dan kredibel dan dapat
mencerminkan suatu sistem pengukuran yang objektif, dan pengguna
dapat menerima dan menindaklanjuti hasil dari sistem tersebut. Dalam
rangka itu, ditetapkan Permenpanrb No. 1 Tahun 2012 tentang
Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi, dan untuk
operasionalisasinya ditetapkan Permenpanrb No. 31 Tahun 2012
tentang Petunjuk Teknis Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi
Birokrasi Secara Online.
Pedoman dan Petunjuk Teknis Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi
Birokrasi (PMPRB) tersebut merupakan acuan bagi instansi pemerintah
untuk melakukan penilaian upaya pencapaian program Reformasi
Birokrasi sejalan dengan pencapaian sasaran, indikator dan target
nasional. PMPRB mengkaitkan penilaian atas output dan outcome
pelaksanaan program reformasi birokrasi di instansi pemerintah, serta
pencapaian Indikator Kinerja Utama masing-masing instansi
pemerintah dengan indikator keberhasilan reformasi birokrasi secara
nasional.

Sistem Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB),


berperan sangat penting dalam mengetahui dan menilai serta
mengawal pencapaian reformasi birokrasi sebagaimana diharapkan.

2.4

Birokrasi Indonesia Sebelum Reformasi

Birokrasi di Indonesia menurut Karl D Jackson merupakan


bureaucratic polity. Model ini merupakan birokrasi dimana negara
menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran
masyarakat dari politik dan pemerintahan. Ada pula yang berpendapat
bahwa birokrasi di Indonesia merupakan birokrasi Parkinson dan Orwel.
Hal ini disampaikan oleh Hans Dieter Evers. Birokrasi Parkinson
merujuk pada pertumbuhan jumlah anggota serta pemekaran
struktural dalam birokrasi yang tidak terkendali. Birokrasi Orwel
merujuk pada pola birokratisasi yang merupakan proses perluasan
kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan sebagai pengontrol kegiatan
ekonomi, politik dan social dengan menggunakan regulasi yang bila
perlu ada suatu pemaksaan.
Dari model yang diutarakan di atas dapat dikatakan bahwa birokrasi
yang berkembang di Indonesia pada masa Orde Baru adalah birokrasi
yang berbelit-belit, tidak efisien dan mempunyai pegawai birokrat yang
makin membengkak.
Keadaan ini pula yang menyebabkan timbulnya penyimpanganpenyimpangan berikut, seperti :
1.

Maraknya tindak KKN

2. Tingginya keterlibatan birokrasi dalam partai politik sehingga


pelayanan terhadap masyarakat tidak maksimal
3.
4.
5.

Pelayanan publik yang diskriminatif


Penyalahgunaan wewenang
Pengaburan antara pejabat karir dan non-karir

2.5
Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Guna Mengatasi Patologi
Birokrasi

Beberapa perubahan yang perlu dilakukan pemerintah guna merespon


kesan buruk birokrasi. Birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan
sikap dan perilakunya antara lain:
a. Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang
diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan
menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan.
b. Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang
bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang
mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan
yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat
diserahkan kepada masyarakat).
c. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan
prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi
modern yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap
mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu.
d. Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan
publik dari pada sebagai agen pembaharu pembangunan.
e. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari
birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang
strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif.
Dari pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrasi yang
mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien
kepada masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih
terdesentralisasi daripada tersentralisasi. Sebab, dengan struktur yang
terdesentralisasi diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi
kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat,
sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan pelayanannya
sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam
kontek persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan
tenaga kerja atau aparat yang benar-benar memiliki kemampuan
(capabelity), memiliki loyalitas kepentingan (competency), dan
memiliki keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency).
Oleh karena itu, untuk merealisasikan kriteria ini Pemerintah sudah
seharusnya segera menyediakan dan mempersiapkan tenaga kerja
birokrasi professional yang mampu menguasai teknik-teknik
manajemen pemerintahan yang tidak hanya berorientasi pada
peraturan (rule oriented) tetapi juga pada pencapaian tujuan (goal
oriented).


BAB III
PENUTUP

3.1

Kesimpulan

Fenomena birokrasi selalu ada bersama kita dalam kehidupan kita


sehari-hari dan setiap orang seringkali mengeluhkan cara berfungsinya
birokrasi sehingga pada akhirnya orang akan beranggapan bahwa
birokrasi tidak ada manfaatnya karena banyak disalahgunakan oleh
pejabat pemerintah (birokratisme) yang merugikan masyarakat. Oleh
karena itu diperlukan adanya reformasi birokrasi
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan demokratis
mensyaratkan kinerja dan akuntabilitas aparatur yang makin
meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa reformasi birokrasi
merupakan kebutuhan dan harus sejalan dengan perubahan tatanan
kehidupan politik, kemasyarakatan, dan dunia usaha. Dalam peta
tantangan nasional, regional, dan internasional, aparatur negara
dituntut untuk dapat mewujudkan profesionalisme, kompetensi dan
akuntabilitas. Pada era globalisasi, aparatur negara harus siap dan
mampu menghadapi perubahan yang sangat dinamis dan tantangan
persaingan dalam berbagai bidang. Saat ini masyarakat Indonesia
sedang memasuki era yang penuh tuntutan perubahan serta
antusiasme akan pengubahan. Ini merupakan sesuatu yang di
Indonesia tidak dapat dibendung lagi. Oleh karena itu, reformasi di
tubuh birokrasi indonesia harus terus dijalankan demi tidak terciptanya
lagi patologi birokrasi di Indonesia.
Usaha untuk mendorong peningkatan kompetensi aparat birokrasi
pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, sebagai wujud
profesionalisme dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, harus
memerhatikan tiga hal pokok di bawah ini :
1.

Peningkatan kesejahteraan aparat birokrasi pemerintah.

2.

Peningkatan etika dan moral birokrasi pemerintah.

3.

Peningkatan profesionalisme birokrasi pemerintah.

Tujuan reformasi birokrasi: Memperbaiki kinerja birokrasi, Terciptanya


good governance, yaitu tata pemerintahan yang baik, bersih, dan
berwibawa, Pemerintah yang bersih (clean government), bebas KKN,
meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat.
3.2

Saran

1. Diharapkan kepada Pemerintah untuk memperhatinkan pelayanan


yang optimal kepada masyarakat.
2. Untuk Peningkatan pelayanan, pemerintah harus memberikan
pelayanan yang merata di berbagai aspek
3. Masyarakat bukan hanya sebagai pihak yang dilayani tetapi juga
pengawas pelayanan maka pemerintah haruslah memperbaiki system
pelayanan hal ini di karenakan takutnya ketidak percayaan masyarakat
kepada pemerintah yang menjalankan pelayanan.
4. Diharapkan juga kepada masyarakat agar lebih berpartisipatif
dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, prinsip-prinsip good
governance, pelayanan publik, penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan yang baik, bersih, dan berwibawa, serta pencegahan
dan percepatan pemberantasan korupsi.
5. Mengupayakan penataan perundang-undangan, dengan
menyelesaikan rancangan undang-undang yang telah ada, Agar
reformasi birokrasi guna mencegah buruknya birokrasi dapat berjalan
dengan baik dengan adanya legalitas secara hukum dalam
pelaksanaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Benveniste, Guy. 1997. Birokrasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Dwiyanto, Agus, dkk. 2006. reformasi birokrasi public di Indonesia.


Yogyakarta: UGM press.
Qodri azizy, abdul. 2007. Change management dalam reformasi
birokrasi. jakarta: gramedia,
Thoha, Miftah. 2007. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.

You might also like