You are on page 1of 15

ILMU KEJIWAAN

GANGGUAN PANIK

DOSEN PEMBIMBING :
dr. H. Ahmadi , Sp.KJ
DISUSUN OLEH :
M. Lutfan
Ratna Hapsari
Vike Poraddwita
Vivien Karina Sari
RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2015

BAB 1
PENDAHULUAN
Gangguan stress pasca trauma atau post traumatic stress disorder adalah
suatu gangguan kecemasan yang timbul setelah mengalami atau menyaksikan
suatu ancaman kehidupan atau peristiwa-peristiwa trauma, seperti perang militer,
serangan dengan kekerasan atau suatu kecelakaan yang serius. Peristiwa trauma
ini menyebabkan Anda memberikan reaksi dalam keadaan ketakutan, tak berdaya
dan mengerikan. Pengertian lain dari Post Tramumatic Sress Disorder adalah
gangguan kecemasan bahwa beberapa orang mendapatkan setelah melihat atau
hidup melalui peristiwa berbahaya. Ketika dalam bahaya, wajar untuk merasa
takut. Ketakutan ini memicu perubahan split-detik banyak dalam tubuh
mempersiapkan untuk membela melawan bahaya atau untuk menghindarinya.
Gejala-gejala umum antara lain kenangan yang muncul kembali dalam
ingatan dan berulang-ulang, sangat mendalam dan mengganggu akibat peristiwa
tersebut, berusaha menghindari keadaan-keadaan yang mengingatkan Anda pada
peristiwa tersebut, menjadi mati rasa secara emosional dan suka menyendiri, Sulit
tidur dan konsentrasi, ketakutan atas keselamatan pribadi.
Bila gejala-gejala gangguan stres pasca trauma menjadi parah, gangguan
tersebut menimbulkan ketidakmampuan. Apa sebabnya beberapa orang dari
mereka akan berkembang menjadi gangguan stres pasca trauma setelah
mengalami peristiwa yang sama adalah tidak jelas. Sementara itu penyebab
sebenarnya dari gangguan stres pasca trauma tidak diketahui. Anda beresiko tinggi
menderita gangguan stres pasca trauma jika Anda mempunyai riwayat keluarga
yang mengalami depresi. Kemungkinan lain adalah dilepascannya hormonhormon tertentu oleh otak ( misalnya kortisol ) dan zat-zat kimia lainnya sebagai
respons terhadap rasa takut. Hormon-hormon dan zat-zat kimia ini juga akan
membangkitkan

kenangan-kenangan

tersebut.

Orang-orang

dengan

ketidakseimbangan zat kimia tertentu dalam otaknya mungkin resiko terjadinya


gangguan stres pasca trauma akan meningkat.
Setelah suatu peristiwa traumatik, seseorang dapat merasakan sesuatu yang
mengganggu kehidupannya, dapat juga diikuti stres, ketakutan, dan kemarahan.

Mereka juga sering mendapati bahwa mereka sulit untuk tidak memikirkan apa
yang telah terjadi. Merasakan reaksi stres adalah hal yang sering terjadi pada
kebanyakan orang dan tidak ada hubungannya dengan kelemahan pribadi.
Banyak orang juga akan menunjukkan kewaspadaan yang berlebiha.
Orang-orang yang selamat dari suatu trauma (misalnya veteran, anakanak, penyelamat bencana atau pekerja sosial) mengalami reaksi stres yang
umum.Memahami bahwa apa yang terjadi ketika kita atau seseorang
yang kita kenal bereaksi terhadap peristiwa traumatik akan membantu kita agar
tidak terlalu takutdan lebih baik dalam menanganinya. Reaksi-reaksi tersebut yang
dapat menetap selama beberapa hari atau bahkan beberapa minggu yang
diantaranya adalah:
-

Perasaan putus asa mengenai masa depan dan ketidakpedulian terhadap

orang lain.
Sulit konsentrasi dan tidak dapat mengamnil keputusan.
Mudah terkejut dengan keributan yang tiba-tiba.
Mengalami mimpi atau memori yang menggaggu
Masalah di tempat kerja atau sekolah

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka (Cerney, dalam
Pickett, 1998). Kata trauma digunakan untuk menggambarkan kejadian atau
situasi yang dialami oleh korban. Kejadian atau pengalaman traumatik akan
dihayati secara berbeda-beda antara individu yang satu dengan lainnya, sehingga
setiap orang akan memiliki reaksi yang berbeda pula pada saat menghadapi
kejadian yang traumatik. Pengalaman traumatik adalah suatu kejadian yang
dialami atau disaksikan oleh individu, yang mengancam keselamatan dirinya
(Lonergan, 1999). Oleh sebab itu, merupakan suatu hal yang wajar ketika
seseorang mengalami shock baik secara fisik maupun emosional sebagai suatu
reaksi stres atas kejadian traumatik tersebut. Kadangkala efek aftershock ini baru
terjadi setelah beberapa jam, hari, atau bahkan berminggu-minggu.
Menurut Kaplan dan sadock dalam bukunya sinopsis psikiatri, pasien yang
diklasifikasikan sebagai penderita gangguan stres paska trauma, mereka harus
mengalami suatu stres emosional yang besar yang menyebabkan traumatik bagi
hampir setiap orang.
Menurut Stamm (1999), stres traumatik merupakan suatu reaksi yang
alamiah terhadap peristiwa yang mengandung kekerasan (seperti kekerasan
kelompok, pemerkosaan, kecelakaan, dan bencana alam) atau kondisi dalam
kehidupan yang mengerikan (seperti kemiskinan, deprivasi, dll). Kondisi tersebut
disebut juga dengan stres pasca traumatik (atau Post Traumatic Stress disorder/
PTSD).
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa PTSD adalah sejenis
gangguan kecemasan umum yang berkembang setelah mengalami kejadian yang
menakutkan atau serangan fisik maupun perasaan terancam. Dimana, gejalanya
dapat berupa pengalaman kembali kejadian traumatis, lebih sensitif, dan
penumpulan emosi.

2.2 Epidemiologi
Insidensi Post Traumatic Stress disorder (PTSD) diperkirakan 9 sampai 10 persen.
Sedangkan prevalensinya di populasi umum adalah 8 persen. Pada Populasi yang

memiliki resiko besar menghadapi pengalaman traumatis prevalensinya dapat


mencapai 75%. Wanita lebih sering mengalami PTSD dibandingkan dengan pria.
PTSD dapat timbul pada usia kapan saja terutama pada usia dewasa muda. Pada
umumnya, trauma pada pria berhubungan dengan peperangan sedangkan pada
wanita disebabkan oleh tindakan pemerkosaan. Gangguan ini sering terjadi pada
orang yang masih lajang, telah bercerai, orang yang menarik diri secara sosial atau
orang dengan kelas sosioekonomi yang rendah.
2.3 Etiologi
Stressor
Stressor adalah penyebab utama terjadinya Gangguan Stress
Pasca Trauma. Stressor berupa kejadian yang traumatis misalnya akibat
perkosaan, kecelakaan yang parah, kekerasan pada anak atau pasangan,
bencana alam, perang, dipenjara. Namun tidak semua orang yang
mengalami stressor yang berat mengalami PTSD. Trauma sendiri tidak
cukup untuk menyebabkan PTSD. Respon pasien terhadap trauma
haruslah takut yang sangat kuat bahkan horor. Dokter harus menilai
faktor biologis dan psikososial yang ada pada orang yang telah
mengalami trauma (Kaplan,Sadock,& Grebb,2007).
Faktor resiko
o Biologis
Kerentanan genetik.
Kepribadian borderline, paranoid, dependent atau antisosial.
Perempuan
o Psikososial
Kejadian traumatis sebelumnya (terutama saat anak-anak).
Perubahan hidup sehingga membuat stress.
Sistem pendukung yang tidak adekuat (Dukungan keluarga

atau kelompok yang kurang).


Konsumsi alkohol yang berlebihan.

2.4 Manifestasi Klinis


Gangguan-gangguan ini dapat dianggap sebagai respon maladaptif
terhadap stress berat atau stress berkelanjutan dimana mekanisme
penyesuaian tidak berhasil mengatasi sehingga menimbulkan masalah dalam
5

fungsi sosialnya.Gangguan ini terjadi berminggu-minggu/berbulan-bulan


setelah kejadian,awitan biasanya dalam 6 bulan.
3 kelompok utama gejala (tidak ada sebelum pajanan):
1. Hyperarousal (rangsangan yang berlebihan)
a. Ansietas yang menetap
b. Kewaspadaan yang berlebihan
c. Konsentrasi buruk
d. Insomnia
2. Intrusions( pengacauan)
a. Kilasan balik
b. Mimpi buruk
c. Ingatan yang hidup
3. Avoidance (penghindaran)
a. Menghindari hal-hal yang mengingatkan
b. Ketidakmampuan mengingat beberapa bagian dari kejadian
c. Minat yang rendah terhadap kehidupan sehari-hari
Secara lebih detail PTSD dapat menyebabkan banyak gejala. Gejala-gejala ini
dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori:
a. Re-experiencing symptoms
Re-mengalami gejala:

Kilas balik-menghidupkan kembali trauma berulang kali, termasuk gejala


fisik seperti jantung balap atau berkeringat

Mimpi buruk.

Menakutkan pikiran.

Re-mengalami gejala dapat menyebabkan masalah dalam rutinitas sehari-hari


seseorang. Kata-kata, benda, atau situasi yang pengingat acara juga dapat memicu
kembali mengalami.
b. Avoidance symptoms (Penghindaran gejala) :

Tinggal jauh dari tempat, peristiwa, atau benda yang pengingat dari
pengalaman

Merasa mati rasa

Merasa bersalah yang kuat, depresi, atau khawatir

Kehilangan minat dalam kegiatan yang menyenangkan di masa lalu

Memiliki kesulitan mengingat peristiwa berbahaya.

Hal-hal yang mengingatkan orang dari peristiwa traumatik dapat memicu gejala
penghindaran. Gejala-gejala ini dapat menyebabkan seseorang untuk mengubah
rutinitas pribadinya. Sebagai contoh, setelah kecelakaan mobil yang buruk, orang
yang biasanya drive mungkin menghindari mengemudi atau mengendarai mobil.
c. Hyperarousal gejala:

Menjadi mudah terkejut

Merasa tegang

Memiliki kesulitan tidur, dan / atau memiliki luapan kemarahan.

Hyperarousal gejala biasanya konstan, bukannya dipicu oleh hal-hal yang


mengingatkan salah satu peristiwa traumatik. Mereka dapat membuat orang itu
merasa tertekan dan marah. Gejala-gejala ini dapat membuat sulit untuk
melakukan tugas-tugas sehari-hari, seperti tidur, makan, atau berkonsentrasi.
Itu wajar untuk memiliki beberapa gejala setelah peristiwa berbahaya. Kadangkadang orang memiliki gejala yang sangat serius yang hilang setelah beberapa
minggu. Hal ini disebut gangguan stres akut atau ASD. Bila gejala berlangsung
lebih dari beberapa minggu dan menjadi masalah yang terus-menerus,
mereka mungkin PTSD. Beberapa orang dengan PTSD tidak menunjukkan gejala
selama beberapa minggu atau bulan.
Anak-anak dan remaja dapat memiliki reaksi ekstrim terhadap trauma, namun
gejala mereka mungkin tidak sama dengan orang dewasa. Pada anak-anak, gejalagejala ini dapat:

Mengompol

Lupa bagaimana atau tidak mampu berbicara

Bertindak diluar dugaan

Menjadi luar biasa menempel dengan orang tua atau orang dewasa
lainnya.

Anak-anak yang lebih tua dan remaja biasanya menunjukkan gejala


seperti yang terlihat pada orang dewasa. Mereka juga dapat
mengembangkan perilaku mengganggu, tidak hormat, atau merusak.
Anak-anak yang lebih tua dan remaja mungkin merasa bersalah karena

tidak mencegah cedera atau kematian. Mereka juga mungkin memiliki


pikiran balas dendam. Untuk informasi lebih lanjut, lihat buklet NIMH
pada membantu anak mengatasi dengan kekerasan dan bencana.
Seorang dokter yang memiliki pengalaman membantu orang dengan penyakit
mental, seperti psikiater atau psikolog, dapat mendiagnosis PTSD. Diagnosis
dibuat setelah pembicaraan dokter dengan orang yang memiliki gejala PTSD.
Untuk dapat didiagnosis dengan PTSD, seseorang harus memiliki semua hal
berikut setidaknya selama 1 bulan:

Setidaknya satu kembali mengalami gejala

Setidaknya tiga menghindari gejala

Sedikitnya dua hyperarousal gejala

Gejala yang membuatnya sulit untuk pergi tentang kehidupan sehari-hari,


pergi ke sekolah atau bekerja, bersama teman-teman, dan mengurus tugastugas penting.

Penting untuk diingat bahwa tidak semua orang yang hidup melalui peristiwa
berbahaya akan PTSD. Pada kenyataannya, sebagian besar tidak akan
mendapatkan gangguan. Banyak faktor yang memainkan peranan dalam apakah
seseorang akan mendapatkan PTSD. Beberapa ini adalah faktor risiko yang
membuat seseorang lebih mungkin untuk mendapatkan PTSD. Faktor-faktor lain,
yang disebut faktor ketahanan, dapat membantu mengurangi resiko gangguan
tersebut. Beberapa faktor-faktor risiko dan ketahanan yang ada sebelum trauma
dan lain-lain menjadi penting selama dan setelah peristiwa traumatis. Faktor
risiko untuk PTSD meliputi:

Hidup melalui kegiatan berbahaya dan trauma

Memiliki sejarah penyakit mental

Terluka

Melihat orang terluka atau terbunuh

Merasa ngeri, tidak berdaya, atau ketakutan ekstrim

Memiliki sedikit atau tidak ada dukungan sosial setelah trauma

Berurusan dengan stres ekstra setelah kejadian, seperti hilangnya rasa


sakit orang yang dicintai, dan cedera, atau kehilangan pekerjaan atau
rumah.

Ketahanan faktor yang dapat mengurangi risiko PTSD termasuk:

Mencari dukungan dari orang lain, seperti teman dan keluarga

Menemukan sebuah kelompok dukungan setelah peristiwa traumatis

Merasa baik tentang tindakan sendiri dalam menghadapi bahaya

Memiliki strategi coping, atau cara mendapatkan melalui acara buruk dan
belajar dari itu

Mampu bertindak dan merespons secara efektif meskipun perasaan takut.

2.5 Diagnosis
Gangguan ini tidak boleh secara umum didiagnosis kecuali ada bukti
bahwa timbulnya dalam waktu 6 bulan dari suatu peristiwa traumatik yang
luar biasa berat. Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan pabila
tertundanya waktu antara terjadinya peristiwa dan nonset melebihi waktu lebih
dari 6 bulan, asalkan minifestasi klinisnya khas dan tidak diapatkan alternatif
lain yang memungkinkan dari gangguan ini. Sebagai tambahan, bukti adanya
trauma, harus selalu ada dalam ingatan, bayangan atau mimpi mengenai
peristiwa tersebut secara berulang-ulang. Seringkali terjadi penarikan diri
secara emosional, penumpulan persaan, dan penghindaran terhadap stimulus
yang mungkin akan mengingatkan kembali akan traumanya, akan tetapihal ini
tidak esensial untuk diagnosis. Gangguan otonomik, gangguan suasan
aperasaan dan kelainan perilaku semuanya ,mempengaruhi diagnosis tapi
bukan merupakan hal yang terlalu penting.
Pedoman diagnostik menurut PPDGJ III:
1. Diagnosis baru ditegakkan bilaman gangguan ini timbul dalam kurun
waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar
antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jangan sampai melampaui
6 bulan).
Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya
waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan,
asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak terdapat alternative
kategori gangguan lainnya.
2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus dibedakan baying-bayng atau
mimpi-mimpi dari kejadian traumatic tersebut secara berulang-ulang
krmbali (flashbacks)

3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya


dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.
4. Suatu sequelae manahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar
biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan
dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama
setelah mengalami katastrofa).
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Stress Pascatraumatik (Tabel dari
DSM-IV,Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder,ed 4):
A. Orang yang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatic di mana kedua
dari berikut ini terdapat:
1. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu
kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian
atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius atau
ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain.
2. respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat,rasa tidak
berdaya atau horror.
B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau
lebih) cara berikut:
1. rekoleksi yang menderitakan,rekuren,dan mengganggu tentang
kejadian,termasuk bayangan,pikiran,atau persepsi.
2. mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian.
3. berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi
kembali.
4. penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda
internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu
aspek kejadian traumatik.
5. reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau
eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek
kejadian traumatik.
C. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma
dan kaku karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum
trauma),seperti yang ditunjukan oleh tiga (atau lebih) berikut ini:
1. usaha untuk menghindari pikiran,perasaan,atau percakapan yang
berhubungan dengan trauma.
2. usaha untuk menghindari aktivitas,tempat,atau orang yang
menyadarkan rekoleksi dengan trauma.
10

3. tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma


4. hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang
5.
6.
7.
D. Gejala

bermakna.
perasaan terlepas atau asing dari orang lain.
rentang aspek yang terbatas.
perasaan bahwa masa depan menjadi pendek.
menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum

trauma),seperti yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut:


1. kesulitan untuk tertidur atau tetap tertidur.
2. iritabilitas atau ledakan kemarahan.
3. sulit berkonsentrasi.
4. kewaspadaan berlebihan.
5. respon kejut yang berlebihan.
E. Lama gangguan (gejala dalam kriteria B,C,D ) lebih dari satu bulan.
F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial,pekerjaan,atau fungsi penting lain.
(Kaplan,Sadock,& Grebb,2007)
2.6 Diagnosis banding
Gejala PTSD dapat sulit dibedakan dengan gejala gangguan panik dan
Gangguan Cemas Menyeluruh. Hal ini dikarenakan ketiganya berhubungan
dengan kecemasan dan aktivasi gejala autonomik. Kunci untuk membedakan
PTSD adalah relasi wktu antara kejadian traumatik dan gejala, dan terngiangngiang akan trauma yang tidak terjadi pada dua kelainan lainnya. Depresi
mayor juga sering terjadi bersamaan dengan PTSD. Hal ini perlu dicatat karena
akan mempengaruhi terapi PTSD.

2.7 Prognosis
Kira-kira 30% pasien pulih dengan sempurna,40% terus menderita gejala
ringan,20% terus menderita gejala sedang,dan 10% tidak berubah atau
memburuk.Umumnya orang yang sangat muda atau sangat tua lebih
mengalami kesulitan.
Prognosis yang baik dapat dicapai bila kondisi PTSD muncul dalam
waktu singkat, durasinya singkat, fungsi premorbid yang baik, dukungan sosial
yang baik dan tidak adanya kondisi komorbid atau penyalahgunaan zat.

11

2.8 Penatalaksanaan

Skrining gangguan psikiatrik yang timbul bersamaan dan lakukan

penilaian resiko (bunuh diri/pengabaian diri).


Rujukan kepada kelompok-kelompok pendukung misalnya yayasan medis
untuk korban penyiksaan.
Psikoterapi
Ada dua tipe psikoterapi utama yang dapat digunakan. Yang pertama adalah
terapi paparan. Terapi ini membantu orang wajah dan kontrol ketakutan
mereka. Hal ini membuat mereka untuk mereka mengalami trauma dengan cara
yang aman. Menggunakan citra mental, menulis, atau kunjungan ke tempat di
mana peristiwa itu terjadi. terapis menggunakan alat-alat untuk membantu
orang dengan PTSD mengatasi perasaan mereka. Pasien dihadapkan pada
keadaan traumatis secara perlahan-lahan dan bergradasi untuk mencapai
desensitisasi. Yang kedua manajemen stress. Tipe yang kedua ini adalah
mengajari pasien cara menangani stress termasuk teknik relaksasi dan
pendekatan kognitif untuk mengatasi masalah. Data menunjukkan bahwa
manajemen stress lebih cepat mengatasi PTSD namun hasil dari terapi paparan
berlangsung lebih lama. Dalam beberapa kasus, katarsis dapat berguna, namun
hal ini dapat menjadi sangat tidaknyaman bagi pasien.
Terapi Selain itu dapat dilakukan Restrukturisasi kognitif. Terapi ini membantu
orang memahami kenangan buruk. Kadang-kadang orang mengingat acara
tersebut berbeda dari bagaimana hal itu terjadi. Mereka mungkin merasa
bersalah atau malu tentang apa yang bukan kesalahan mereka. Terapis
membantu orang dengan PTSD melihat apa yang terjadi dengan cara yang
realistis.
Terapi ini mencoba untuk mengurangi gejala PTSD dengan mengajar orang
bagaimana untuk mengurangi kecemasan. Seperti restrukturisasi kognitif,
pengobatan ini membantu orang melihat kenangan mereka dengan cara yang
sehat
Selain terapi individu, terapi kelompok dan terapi keluarga juga efektif
pada kasus PTSD. Terapi kelompok sangat baik untuk pasien sehingga mereka
dapat membagi pengalaman mereka satu sama lain.Terapi keluarga penting
terutama untuk mempertahankan pernikahan saat gejala sedang timbul. Bila
12

gejala menjadi sangat parah dapat pula dipertimbangkan untuk melakukan


rawat inap (Tomb,2004).

Farmakoterapi
Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs), seperti sertralin dan
paroxetin merupakan terapi garis pertama untuk PTSD. Karena obat ini
cukup efektif, tolerable dan aman. SSRIs mengurangi semua gejala pada
PTSD

tidak hanya gejala yang menyerupai kecemasan atau depresi.

Buspirone juga dapat digunakan, Beberapa penelitian juga telah


menunjukkan bahwa imipramin dan amitriptilin dapat bermanfaat. Dosis
yang digunakan sama seperti pada pasien depresi.
Obat-obatan lain yang berguna untuk PTSD adalah monoamine oxidase
inhibitors (MAOIs), trazodone dan anticonvulsant. Haloperidol dapat
digunakan pada kondisi agitasi atau psikotik akut (Kaplan,Sadock,&
Grebb,2007).
Efek samping yang paling umum seperti sertralin dan antidepresan
paroxetine adalah:

Sakit kepala, yang biasanya hilang dalam beberapa hari.

Mual (perasaan sakit perut Anda), yang biasanya hilang dalam


beberapa hari.

Tidur atau mengantuk, yang mungkin terjadi selama beberapa


minggu pertama tapi kemudian hilang. Kadang-kadang dosis obat
perlu dikurangi atau waktu hari itu diambil perlu disesuaikan untuk
membantu mengurangi efek samping ini.

Agitasi (perasaan gelisah).

Masalah seksual, yang dapat mempengaruhi baik pria maupun


wanita, termasuk gairah seks berkurang, dan masalah memiliki dan
menikmati seks.

13

BAB III
KESIMPULAN
Stres adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik
dari tubuh (kondisi penyakit, latihan, dan lain-lain) atau oleh kondisi lingkungan
dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi
kemampuan individu untuk melakukan coping. Apabila tubuh tidak dapat
mengendalikan dan mengatur stress makan akan muncul gangguan penyesuaian.
Gangguan stress pasca trauma adalah suatu gangguan kecemasan yang
timbul setelah mengalami atau menyaksikan suatu ancaman kehidupan atau
peristiwa-peristiwa trauma, seperti perang militer, serangan dengan kekerasan atau
suatu kecelakaan yang serius. Peristiwa trauma ini menyebabkan Anda
memberikan reaksi dalam keadaan ketakutan, tak berdaya dan mengerikan.
Bila gejala-gejala gangguan stres pasca trauma menjadi parah, gangguan
tersebut menimbulkan ketidakmampuan. Stressor adalah penyebab utama
terjadinya Gangguan Stress Pasca Trauma. Stressor berupa kejadian yang
traumatis misalnya akibat perkosaan, kecelakaan yang parah, kekerasan pada anak
atau pasangan, bencana alam, perang, atau dipenjara.
Penatalaksaan gangguan stress pasca trauma dapat dilakukan dengan
psikoterapi dengan dilakukannya terapi individu maupun terapi kolompok. Dapat
juga ditambah dengan menggunakan terapi farmakoterapi.

14

DAFTAR PUSTAKA
Hibbert A, Godwin A & Dear F, 2009. Rujukan Cepat Psikiatri. Alih Bahasa: Rini
Cendikia.

EGC: Jakarta

Kaplan H, Sadock B & Grebb J. 2007. Sinopsis Psikitri, Jilid 2. Alih Bahasa:
Widjaya Kusuma. Binarupa Aksara: Tanggerang Mansjoer. EGC : Jakarta
Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius: Jakarta
Maslim, Rusdi. 2003. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. PT Nuh Jaya:
Jakarta
Tomb, David A. 2004. Buku saku psikiatri Edisi 6. EGC: Jakarta PPDGJ III

15

You might also like