Professional Documents
Culture Documents
GANGGUAN PANIK
DOSEN PEMBIMBING :
dr. H. Ahmadi , Sp.KJ
DISUSUN OLEH :
M. Lutfan
Ratna Hapsari
Vike Poraddwita
Vivien Karina Sari
RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2015
BAB 1
PENDAHULUAN
Gangguan stress pasca trauma atau post traumatic stress disorder adalah
suatu gangguan kecemasan yang timbul setelah mengalami atau menyaksikan
suatu ancaman kehidupan atau peristiwa-peristiwa trauma, seperti perang militer,
serangan dengan kekerasan atau suatu kecelakaan yang serius. Peristiwa trauma
ini menyebabkan Anda memberikan reaksi dalam keadaan ketakutan, tak berdaya
dan mengerikan. Pengertian lain dari Post Tramumatic Sress Disorder adalah
gangguan kecemasan bahwa beberapa orang mendapatkan setelah melihat atau
hidup melalui peristiwa berbahaya. Ketika dalam bahaya, wajar untuk merasa
takut. Ketakutan ini memicu perubahan split-detik banyak dalam tubuh
mempersiapkan untuk membela melawan bahaya atau untuk menghindarinya.
Gejala-gejala umum antara lain kenangan yang muncul kembali dalam
ingatan dan berulang-ulang, sangat mendalam dan mengganggu akibat peristiwa
tersebut, berusaha menghindari keadaan-keadaan yang mengingatkan Anda pada
peristiwa tersebut, menjadi mati rasa secara emosional dan suka menyendiri, Sulit
tidur dan konsentrasi, ketakutan atas keselamatan pribadi.
Bila gejala-gejala gangguan stres pasca trauma menjadi parah, gangguan
tersebut menimbulkan ketidakmampuan. Apa sebabnya beberapa orang dari
mereka akan berkembang menjadi gangguan stres pasca trauma setelah
mengalami peristiwa yang sama adalah tidak jelas. Sementara itu penyebab
sebenarnya dari gangguan stres pasca trauma tidak diketahui. Anda beresiko tinggi
menderita gangguan stres pasca trauma jika Anda mempunyai riwayat keluarga
yang mengalami depresi. Kemungkinan lain adalah dilepascannya hormonhormon tertentu oleh otak ( misalnya kortisol ) dan zat-zat kimia lainnya sebagai
respons terhadap rasa takut. Hormon-hormon dan zat-zat kimia ini juga akan
membangkitkan
kenangan-kenangan
tersebut.
Orang-orang
dengan
Mereka juga sering mendapati bahwa mereka sulit untuk tidak memikirkan apa
yang telah terjadi. Merasakan reaksi stres adalah hal yang sering terjadi pada
kebanyakan orang dan tidak ada hubungannya dengan kelemahan pribadi.
Banyak orang juga akan menunjukkan kewaspadaan yang berlebiha.
Orang-orang yang selamat dari suatu trauma (misalnya veteran, anakanak, penyelamat bencana atau pekerja sosial) mengalami reaksi stres yang
umum.Memahami bahwa apa yang terjadi ketika kita atau seseorang
yang kita kenal bereaksi terhadap peristiwa traumatik akan membantu kita agar
tidak terlalu takutdan lebih baik dalam menanganinya. Reaksi-reaksi tersebut yang
dapat menetap selama beberapa hari atau bahkan beberapa minggu yang
diantaranya adalah:
-
orang lain.
Sulit konsentrasi dan tidak dapat mengamnil keputusan.
Mudah terkejut dengan keributan yang tiba-tiba.
Mengalami mimpi atau memori yang menggaggu
Masalah di tempat kerja atau sekolah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka (Cerney, dalam
Pickett, 1998). Kata trauma digunakan untuk menggambarkan kejadian atau
situasi yang dialami oleh korban. Kejadian atau pengalaman traumatik akan
dihayati secara berbeda-beda antara individu yang satu dengan lainnya, sehingga
setiap orang akan memiliki reaksi yang berbeda pula pada saat menghadapi
kejadian yang traumatik. Pengalaman traumatik adalah suatu kejadian yang
dialami atau disaksikan oleh individu, yang mengancam keselamatan dirinya
(Lonergan, 1999). Oleh sebab itu, merupakan suatu hal yang wajar ketika
seseorang mengalami shock baik secara fisik maupun emosional sebagai suatu
reaksi stres atas kejadian traumatik tersebut. Kadangkala efek aftershock ini baru
terjadi setelah beberapa jam, hari, atau bahkan berminggu-minggu.
Menurut Kaplan dan sadock dalam bukunya sinopsis psikiatri, pasien yang
diklasifikasikan sebagai penderita gangguan stres paska trauma, mereka harus
mengalami suatu stres emosional yang besar yang menyebabkan traumatik bagi
hampir setiap orang.
Menurut Stamm (1999), stres traumatik merupakan suatu reaksi yang
alamiah terhadap peristiwa yang mengandung kekerasan (seperti kekerasan
kelompok, pemerkosaan, kecelakaan, dan bencana alam) atau kondisi dalam
kehidupan yang mengerikan (seperti kemiskinan, deprivasi, dll). Kondisi tersebut
disebut juga dengan stres pasca traumatik (atau Post Traumatic Stress disorder/
PTSD).
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa PTSD adalah sejenis
gangguan kecemasan umum yang berkembang setelah mengalami kejadian yang
menakutkan atau serangan fisik maupun perasaan terancam. Dimana, gejalanya
dapat berupa pengalaman kembali kejadian traumatis, lebih sensitif, dan
penumpulan emosi.
2.2 Epidemiologi
Insidensi Post Traumatic Stress disorder (PTSD) diperkirakan 9 sampai 10 persen.
Sedangkan prevalensinya di populasi umum adalah 8 persen. Pada Populasi yang
Mimpi buruk.
Menakutkan pikiran.
Tinggal jauh dari tempat, peristiwa, atau benda yang pengingat dari
pengalaman
Hal-hal yang mengingatkan orang dari peristiwa traumatik dapat memicu gejala
penghindaran. Gejala-gejala ini dapat menyebabkan seseorang untuk mengubah
rutinitas pribadinya. Sebagai contoh, setelah kecelakaan mobil yang buruk, orang
yang biasanya drive mungkin menghindari mengemudi atau mengendarai mobil.
c. Hyperarousal gejala:
Merasa tegang
Mengompol
Menjadi luar biasa menempel dengan orang tua atau orang dewasa
lainnya.
Penting untuk diingat bahwa tidak semua orang yang hidup melalui peristiwa
berbahaya akan PTSD. Pada kenyataannya, sebagian besar tidak akan
mendapatkan gangguan. Banyak faktor yang memainkan peranan dalam apakah
seseorang akan mendapatkan PTSD. Beberapa ini adalah faktor risiko yang
membuat seseorang lebih mungkin untuk mendapatkan PTSD. Faktor-faktor lain,
yang disebut faktor ketahanan, dapat membantu mengurangi resiko gangguan
tersebut. Beberapa faktor-faktor risiko dan ketahanan yang ada sebelum trauma
dan lain-lain menjadi penting selama dan setelah peristiwa traumatis. Faktor
risiko untuk PTSD meliputi:
Terluka
Memiliki strategi coping, atau cara mendapatkan melalui acara buruk dan
belajar dari itu
2.5 Diagnosis
Gangguan ini tidak boleh secara umum didiagnosis kecuali ada bukti
bahwa timbulnya dalam waktu 6 bulan dari suatu peristiwa traumatik yang
luar biasa berat. Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan pabila
tertundanya waktu antara terjadinya peristiwa dan nonset melebihi waktu lebih
dari 6 bulan, asalkan minifestasi klinisnya khas dan tidak diapatkan alternatif
lain yang memungkinkan dari gangguan ini. Sebagai tambahan, bukti adanya
trauma, harus selalu ada dalam ingatan, bayangan atau mimpi mengenai
peristiwa tersebut secara berulang-ulang. Seringkali terjadi penarikan diri
secara emosional, penumpulan persaan, dan penghindaran terhadap stimulus
yang mungkin akan mengingatkan kembali akan traumanya, akan tetapihal ini
tidak esensial untuk diagnosis. Gangguan otonomik, gangguan suasan
aperasaan dan kelainan perilaku semuanya ,mempengaruhi diagnosis tapi
bukan merupakan hal yang terlalu penting.
Pedoman diagnostik menurut PPDGJ III:
1. Diagnosis baru ditegakkan bilaman gangguan ini timbul dalam kurun
waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar
antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jangan sampai melampaui
6 bulan).
Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya
waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan,
asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak terdapat alternative
kategori gangguan lainnya.
2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus dibedakan baying-bayng atau
mimpi-mimpi dari kejadian traumatic tersebut secara berulang-ulang
krmbali (flashbacks)
bermakna.
perasaan terlepas atau asing dari orang lain.
rentang aspek yang terbatas.
perasaan bahwa masa depan menjadi pendek.
menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum
2.7 Prognosis
Kira-kira 30% pasien pulih dengan sempurna,40% terus menderita gejala
ringan,20% terus menderita gejala sedang,dan 10% tidak berubah atau
memburuk.Umumnya orang yang sangat muda atau sangat tua lebih
mengalami kesulitan.
Prognosis yang baik dapat dicapai bila kondisi PTSD muncul dalam
waktu singkat, durasinya singkat, fungsi premorbid yang baik, dukungan sosial
yang baik dan tidak adanya kondisi komorbid atau penyalahgunaan zat.
11
2.8 Penatalaksanaan
Farmakoterapi
Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs), seperti sertralin dan
paroxetin merupakan terapi garis pertama untuk PTSD. Karena obat ini
cukup efektif, tolerable dan aman. SSRIs mengurangi semua gejala pada
PTSD
13
BAB III
KESIMPULAN
Stres adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik
dari tubuh (kondisi penyakit, latihan, dan lain-lain) atau oleh kondisi lingkungan
dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi
kemampuan individu untuk melakukan coping. Apabila tubuh tidak dapat
mengendalikan dan mengatur stress makan akan muncul gangguan penyesuaian.
Gangguan stress pasca trauma adalah suatu gangguan kecemasan yang
timbul setelah mengalami atau menyaksikan suatu ancaman kehidupan atau
peristiwa-peristiwa trauma, seperti perang militer, serangan dengan kekerasan atau
suatu kecelakaan yang serius. Peristiwa trauma ini menyebabkan Anda
memberikan reaksi dalam keadaan ketakutan, tak berdaya dan mengerikan.
Bila gejala-gejala gangguan stres pasca trauma menjadi parah, gangguan
tersebut menimbulkan ketidakmampuan. Stressor adalah penyebab utama
terjadinya Gangguan Stress Pasca Trauma. Stressor berupa kejadian yang
traumatis misalnya akibat perkosaan, kecelakaan yang parah, kekerasan pada anak
atau pasangan, bencana alam, perang, atau dipenjara.
Penatalaksaan gangguan stress pasca trauma dapat dilakukan dengan
psikoterapi dengan dilakukannya terapi individu maupun terapi kolompok. Dapat
juga ditambah dengan menggunakan terapi farmakoterapi.
14
DAFTAR PUSTAKA
Hibbert A, Godwin A & Dear F, 2009. Rujukan Cepat Psikiatri. Alih Bahasa: Rini
Cendikia.
EGC: Jakarta
Kaplan H, Sadock B & Grebb J. 2007. Sinopsis Psikitri, Jilid 2. Alih Bahasa:
Widjaya Kusuma. Binarupa Aksara: Tanggerang Mansjoer. EGC : Jakarta
Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius: Jakarta
Maslim, Rusdi. 2003. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. PT Nuh Jaya:
Jakarta
Tomb, David A. 2004. Buku saku psikiatri Edisi 6. EGC: Jakarta PPDGJ III
15