You are on page 1of 30

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi adalah istilah yang di turunkan dari dua kata Yunani yaitu an dan esthesia,
dan bersama sama berarti hilangnya rasa atau hilangnya sensasi. Para ahli saraf
memberikan makna pada istilah tersebut sebagai kehilangan rasa secara patologis pada
bagian tubuh tertentu. Istilah anestesi dikemukan pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes
(1809 1894) untuk proses menggambarkan keadaan pengurangan nyeri sewaktu
pembedahan.
Anestesi dibedakan menjadi anestesi umum, anestesi lokal dan anestesi regional.
Anestesi umum adalah keadaan tak sadar tanpa nyeri (dengan reflek otonomik minimal) yang
reversible akibat pemberian obat obatan. Anestesi inhalasi, anestesi intravena, anestesi
intravascular, anestesi prertekal adalah sub bagian dari anestesi umum. Anestesi lokal (atau
mungkin lebih tepat analgesia lokal) menunjukkan anestesi pada sebagian tubuh, keadaan
bebas nyeri tanpa kehilangan kesadaran kecuali digunakan teknik anestesi gabungan anestesi
umum dan anestesi lokal atau digunakan sedasi. Anestesi regional (atau mungkin lebih tepat
analgesia regional) seringkali digunkan sebagai sinonim anestesi lokal, lebih menunjukkan
akibat blokade saraf, pleksus, medulla spinalis yang jauh dari daerah yang di buat tidak peka.
Anestesi regional dibedakan menjadi beberapa macam. Yang paling sering digunakan
ialah anestesi spinal dan anestesi epidural. Selain itu tipe lainnya ialah anestesi blok saraf
perifer dengan penyuntikan dekat kelompok saraf untuk membuat mati rasa ekstremitas tubuh
yang akan dioperasi. Contoh anestesi blok yang paling sering digunakan ialah blok saraf
femoral yang didapatkan dengan menyuntikkan obat anestesi pada regio kaki, dan blok
pleksus brachial yang didapatkan dengan menyuntikkan obat anestesi pada regio tangan dan
lengan. Anestesi blok ini seringkali untuk operasi pada lutut, bahu dan tangan.
Anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat
berbagai keuntungan yang ditawarkan, di antaranya relatif murah, pengaruh sistemik
minimal, menghasilkan analgesi adekuat dan kemampuan mencegah respon stresssecara lebih
sempurna. Pada karya tulis ini, penulis akan membahas seputar anestesi regional khususnya
blok sentral.

BAB II
DEFINISI & KLASIFIKASI
A. Definisi
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh sementara pada
impuls syaraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian tubuh diblokir untuk
sementara (reversibel). Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya. Tetapi
pasien tetap sadar. Anestesi regional dilakukan dengan cara menyuntikan obat anstesi lokal ke
sekitar saraf yang mau dibuat mati rasa.

B. Klasifikasi
Anestesi regional dibedakan menjadi:
1. Blok sentral (blok neuroaksial), meliputi blok spinal, epidural dan kaudal.
2. Blok perifer (blok saraf) misalnya anestesi topikal, infiltrasi lokal, blok
lapangan, blok saraf, dan regional intravena.

BAB II
BLOK SENTRAL
Neuroaksial blok (spinal dan epidural anestesi) akan menyebabkan blok simpatis,
analgesia sensoris dan blok motoris (tergantung dari dosis, konsentrasi dan volume obat
anestesi lokal).
Anestesi epidural (ekstradural) merupakan pemberian obat anestesi lokal ke dalam
rongga potensial di luar duramater. Rongga ini dimulai dari perbatasan kranioservikal pada
C1 sampai membran sakrokoksigea. Dalam praktik, anestesi epidural dilakukan pada
tempat di dekat akar saraf yang menginervasi daerah pembedahan; misalnya epidural
lumbal untuk operasi daerah pelvis dan ekstremitas bawah, dan epidural torakal untuk
operasi daerah andomen atas. Injeksi obat anestesi lokal dapat berupa bolus tunggal atau
dengan kateter untuk injeksi intermiten atau infus kontinyu.
Anestesi spinal (intratekal) didapatkan dengan menyuntikkan obat anestesi lokal
secara langsung ke dalam cairan serebrospinalis di dalam ruang subaraknoid. Jarum spinal
hanya dapat dapat diinsersikan di bawah lumbal 2 dan di atas vertebra sakralis 1; batas
atas ini dikarenakan adanya ujung medulla spinalis dan batas bawah dikarenakan
penyatuan vertebra sakralis yang tidak memungkinkan dilakukan insersi. Anestesi lokal
biasanya diberikan dengan bolus tunggal.
Tabel 1
Perbedaan Anestesi Spinal dan Epidural
Perbedaan
Tempat insersi
Tempat injeksi
Tempat kerja
Dosis obat
Onset
Durasi
Blok motorik
Komplikasi
Analgesia postop

Anestesi Spinal
Anestesi Epidural
Hanya vertebra lumbal
Sakral, lumbal, toraks dan
(di bawah L2/3)
servikal
Ruang subarachnoid (LCS)
Ruang epidural
Ruang subarachnoid (saraf dan medulla spinalis)
Kecil
Besar
Cepat (5 menit)
Lebih lambat(10 15 menit)
60 90 menit
180 menit
Kuat
Sedang
Henti jentung, PDPH,
Intoksikasi lokal anestetik,
spinal tinggi, total spinal
hematom epidural
Tidak
Ya, dengan kateter
3

A. ANESTESI SPINAL
Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah tindakan anestesi
dengan memasukan obat analgetik kedalam ruang subaraknoid di daerah vertebra lumbalis
yang kemudian akan terjadi hambatan rangsang sensoris mulai dari vertebra thorakal 4.[1][3]
1. INDIKASI
Untuk pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 kebawah (daerah papila mamae
ke bawah). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama, maksimal 2-3 jam. [1][3]
2. KONTRA INDIKASI
Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua yaitu kontra
indikasi absolut dan relatif.
Kontra indikasi absolut :

Infeksi pada tempat suntikan dapat menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga

subdural.
Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun diare karena pada

anestesi spinal dapat memicu terjadinya hipovolemia.


Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
Tekanan intrakranial meningkat. Memasukkan obat ke dalam rongga subaraknoid, dapat
makin menambah tinggi tekanan intracranial, dan dapat menimbulkan komplikasi

neurologis.
Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim. Pada anestesi spinal dapat terjadi
komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain, maka harus dipersiapkan

fasilitas dan obat emergensi lainnya


Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. Hal ini dapat menyebabkan
kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis, keterampilan dokter anestesi

sangat penting.
Pasien menolak.

Kontra indikasi relatif :

Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan apakah diperlukan

pemberian antibiotik. Perlu dipikirkan kemungkinan penyebaran infeksi.


Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat suntikan dapat dipilih

lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.


Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya agar tidak
membingungkan antara efek anestesi dan deficit neurologis yang sudah ada pada pasien
sebelumnya.
4

Kelainan psikis
Bedah lama : Masa kerja obat anestesi lokal adalah kurang lebih 90-120 menit, dapat

ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi dapat bertahan hingga 150 menit.
Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kea rah jantung akibat

efek obat anestesi lokal.


Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya hipovolemia

dapat diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan


Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat diposisikan. Hal ini
berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila dilakukan berulang-ulang, dapat
membuat pasien tidak nyaman[1][3]

3. STRUKTUR ANATOMI VERTEBRA


Gambar 1 : Kolumna Vertebralis [4]

Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang torakal, 5
buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal, torakal dan lumbal masih tetap
dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang sakral dan koksigeus satu sama lain menyatu
membentuk dua tulang yaitu tulang sakum dan koksigeus.

Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1) menyangga berat
kepala dan dan batang tubuh, (2) melindungi medula spinalis, (3) memungkinkan keluarnya
nervi spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk perlekatan otot-otot, (5) memungkinkan
gerakan kepala dan batang tubuh
Tulang vertebra secara gradual dari cranial ke caudal akan membesar sampai
mencapai

maksimal

pada

tulang

sakrum

kemudian

mengecil

sampai apex dari

tulang koksigeus. Struktur demikian dikarenakan beban yang harus ditanggung semakin
membesar dari cranial hingga caudal sampai kemudian beban tersebut ditransmisikan menuju
tulang pelvis melalui articulatio sacroilliaca.
Korpus vertebra selain dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga oleh suatu
persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas tulang punggung, kendati hanya
memungkinkan pergerakan yang sedikit untuk mempertahankan stabilitas kolumna
vertebralis guna melindungi struktur medula spinalis yang berjalan di dalamnya. Stabilitas
kolumna vertebralis ditentukan oleh bentuk dan kekuatan masing-masing vertebra, diskus
intervertebralis, ligamen dan otot-otot.[4]
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi subaraknoid adalah
lokasi medulla spinalis didalam kolumna vertebralis. Medulla spinalis berjalan mulai dari
foramen magnum kebawah hingga menuju ke konus medularis (segmen akhir medulla
spinalis sebelum terpecah menjadi kauda equina).Penting diperhatikan bahwa lokasi konus
medularis bervariasi antara vertebra T12 hingga L1.[1][4]
Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark yang lazim
digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra, diantaranya adalah :
1. Vertebra C7 : Merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang paling terlihat
2.
3.
4.
5.

di daerah leher.
Papila Mamae : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 3-4
Epigastrium : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 5-6
Umbilikus : Lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10
Krista Iliaka : Lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra lumbalis 4-5[1][3][6]

Gambar 2 : Perjalanan Medulla Spinalis pada Kolumna Vertebralis[5]

Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi spinal.

Kutis
Subkutis : Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang

intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.


Ligamentum Supraspinosum: Ligamen yang menghubungkan ujung procesus

spinosus.
Ligamentum interspinosum
Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1 cm.
Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan vertikal dari lamina
ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini, akan terasa sensasi mencengkeram
dan berbeda. Sering kali dapat kita rasakan saat melewati ligamentum dan masuk

keruang epidural.
Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah yang
keluardari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah tertusuk. Jarum

spinal harus maju sedikit lebih jauh.


Duramater : Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus duramater
seperti saat menembus epidural.

Subarachnoid : merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi spinal.


Padaruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada penusukan. [1][4]
Gambar 3: Susunan Anatomis Bagian yang Dilalui Anestesi Spinal

Pembuluh darah pada daerah tusukan juga perlu diperhatikan, terdapat arteri dan vena
yang lokasinya berada di sekitar tempat tusukan. Terdapat arteri Spinalis posterior yang
memperdarahi 1/3 bagian posterior medulla. Arteri spinalis anterior memperdarahi 2/3 bagian
anterior medulla. Terdapat juga arteri radikularis yang memperdarahi medulla, berjalan di
foramen intervertebralis memperdarahi radiks. Sistem vena yang terdapat di medulla ada 2
yaitu vena medularis anterior dan posterior.

Gambar 4 : Sistem Vaskular Medula Spinalis[7]

4. PERSIAPAN ANESTESI SPINAL


Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih sederhana dibanding
melakukan anestesi umum, namun selama operasi wajib diperhatikan karena terkadang jika
operator menghadapi penyulit dalam operasi dan operasi menjadi lama, maka sewaktu-waktu
prosedur secara darurat dapat diubah menjadi anestesi umum.
Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah ;

Informed consent :Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini (informed
consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang akan terjadi selama operasi

tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.


Pemeriksaan fisik :Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat
penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan
juga adanya gangguan anatomis seperti scoliosis atau kifosis,atau pasien terlalu
gemuk sehingga tonjolan processus spinosus tidak teraba.

Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium yang perlu


dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb , masa protrombin(PT) dan masa
tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan
darah. [1][3][6][7]

Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat dan obatobatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah :
1. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri, EKG.
2. Peralatan resusitasi / anestesia umum.
3. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing,quincke
bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare),
4.
5.
6.
7.
8.

dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G


Betadine, alkohol untuk antiseptic.
Kapas/ kasa steril dan plester.
Obat-obatan anestetik lokal.
Spuit 3 ml dan 5 ml.
Infus set. [1][3][6]

Gambar 5 : Jenis Jarum Spinal[7]

Jarum pinsil (whitecare)

10

Jarum tajam (Quincke-Babcock)

5. OBAT-OBATAN PADA ANESTESI SPINAL


Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipmnya merupakan obat anestesi lokal.
Anestetik lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan pada jaringan
saraf dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat anestesi lokal bersifat reversible.
Obat anestesi lokal yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap jaringan saraf.Batas
keamanan harus lebar, dan onset dari obat harus sesingkat mungkin dan masa kerja harus
cukup lama. Zat anestesi lokal ini juga harus larut dalam air. Pembahasan mengenai obat
anestesi lokal akan dibahas di bab III.

6. TEKNIK ANESTESI SPINAL


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah
posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa
dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
1. Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak 500 1500 ml (pre-loading).
2. Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/Menit
3. Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik. Dapat
menggunakan 2 jenis posisi yaitu posisi duduk dan berbaring lateral.
4. Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista
iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.
5. Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi ligamen
interspinous.
6. Cari ruang interspinous cocok. Pada pasien obesitas anda mungkin harus
menekan cukup keras untuk merasakan proses spinosus.
7. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.

11

8. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 23ml
9. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum kecil 27G
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum
suntik biasa yaitu jarum suntik biasa 10cc. Jarum akan menembus kutis,
subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum
flavum, epidural, duramater, subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal
dicabut, cairan serebrospinal akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan
obat analgesik ke dalam ruang arachnoid tersebut.[2][6][7]

Gambar 6 : Posisi Lateral pada Spinal Anestesi[7]

Gambar 7 : Posisi Duduk pada Spinal Anestesi[7]

12

Teknik penusukan dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median dan
paramedian.Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah dari sumbu tulang
belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm lateral dari garis tengah dan
dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.[7]

Gambar 8 : Tusukan Medial dan Paramedial[7]

Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan monitoring.


Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada dermatom di kulit.Penilaian
13

berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi motoric pasien dimana pasien merasa
kakinya tidak dapat digerakkan, kaki terasa hangat, kesemutan, dan tidak terasa saat
diberikan rangsang.Hal yang perlu diperhatikan lagi adalah pernapasan, tekanan darah dan
denyut nadi.Tekanandarah dapat turun drastis akibat spinal anestesi, terutama terjadi pada
orang tua yang belumdiberikan loading cairan. Hal itu dapat kita sadari dengan melihat
monitor dan keadaan umumpasien. Tekanan darah pasien akan turun, kulit menjadi pucat,
pusing,mual, berkeringat.[7]
Gambar 9 : Lokasi Dermatom Sensoris[7]

7. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANESTESI SPINAL


Anestesia spinal dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah :

14

Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia

Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia

Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah


analgetik.

Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi.


Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.

Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal


dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.

Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung


berkumpul ke kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung
menyebar ke cranial.

Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik

Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas
analgesia yang lebih tinggi.

Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar
dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)

Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan analgetik


sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi
pasien.[3]

8. MASALAH KLINIS PADA ANESTESI SPINAL


Pada praktik sehari-hari dapat ditemukan masalah saat melakukan anestesi spinal,
berikut adalah pendekatan dari beberapa masalah yang lazim ditemukan saat melakukan
anestesi spinal :
1. Jarum terasa sudah menembus bagian yang seharusnya tetapi belum ada cairan yang
keluar : Saat menemukan situasi seperti ini, tunggu kurang lebih 30 detik, kemudian
coba putar 90 derajat jarum tersebut. Jika masih belum didapatkan LCS, dapat
dilakukan injeksi udara 1cc untuk mendorong jika ada sumbatan pada jarum.
2. Terdapat darah yang keluar melalui jarum : tunggu sesaat, jika perdarahan berhenti,
lanjutkan prosedur. Jika darah terus menetes, kemungkinan saat penusukan mengenai
vena epidural. Jarum harus digerakkan lebih kedalam, atau diarahkan sedikit lebih
medial.
15

3. Pasien merasa nyeri tajam di kaki : kemungkinan jarum mengenai radiks saraf. Segera
cabut jarum dan ulang tusukan dengan arah lebih ke medial dari tempat tusukan awal.
4. Jarum terasa menusuk tulang : perhatikan kembali posisi pasien apakah saat dilakukan
penusukan, pasien kurang melakukan fleksi tubuh sehingga celah menjadi sempit.
Perlu juga menenangkan pasien karena umumnya pasien melakukan ekstensi saat
menahan nyeri tusukan saat awal jarum mengenai kulit.[7]
B. ANESTESI EPIDURAL
Blokade saraf dengan menempatkan obat di ruang epidural. Ruang ini berada
diantara ligamentum flavum dan duramater. Kedalaman ruang ini rata-rata 5 mm dan
dibagian posterior kedalaman maksimal pada daerah lumbal.
Obat anestetik di lokal diruang epidural bekerja langsung pada akarsaraf spinal yang
terletak dilateral. Awal kerja anestesi epidural lebih lambat dibanding anestesi spinal,
sedangkan kualitas blockade sensorik-motorik juga lebih lemah.
Keuntungan epidural dibandingkan spinal :

Dapat segmental
Tidak terjadi headache post op
Hipotensi terjadi lambat
Efek motoris lebih kurang
Dapat 12 hari dengan kateter post op pain

Kerugian epidural dibandingkan spinal :

Teknik lebih sulit


Jumlah obat anestesi lokal lebih besar
Reaksi sistemis
Total spinal anestesi
Obat 510x lebih banyak untuk level analgesi yang sama

Gambar 10 : Anestesi Epidural

16

Gambar 11: Perbedaan Tempat Penyuntikan Anestesi Spinal dan Anestesi Epidural

KOMPLIKASI TINDAKAN NEUROAXIAL BLOCK


Saat melakukan anestesi spinal ada beberapa komplikasi yang harus diperhatikan.
Sesuai dengan kerja obat dan pengaruhnya pada sistem tubuh. Beberapa komplikasi tersebut
diantaranya adalah :

1. Komplikasi Kardiovaskular
Akibat dari blok simpatis, akan

terjadi penurunan tekanan darah

(hipotensi).Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi


terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan
tekanan arteriola sistemik dan vena. Efek simpatektomi tergantung dari tinggi blok,
makin tinggi blok makin berat hipotensi. Pada spinal , 2-6 dermatom diatas level blok
sensoris, sedangkan pada epidural, terjadi block pada level yang sama.
Cardiac output akan berkurang akibat dari penurunan venous return. Hipotensi
yang signifikan harus diobati dengan pemberian cairan intravena yang sesuai dan
penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin. Cardiac arrest pernah
17

dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat dilakukan anestesi spinal. Henti jantung
dapat terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat walaupun
hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti ini, hipotensi atau
hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi merupakan
mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek Bezold-Jarisch.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan pemberian cairan (preloading) untuk mengurangi hipovolemia relatif akibat vasodilatasi sebelum dilakukan
spinal/epidural anestesi atau infus cairan kristaloid (NaCl, Ringerlaktat) secara cepat
sebanyak 10-15 ml/kgbb dalam 10 menit segera setelah penyuntikan anestesi spinal.
Bila dengan cairan infus cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan
vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19 mg diulang setiap 3-4 menit sampai
mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi karena aliran
darah balik berkurang atau karena blok simpatis, dapat diatasi dengan sulfas atropine
0,125 0,25 mg IV. [2][6][7]
2. Blok Tinggi atau Total
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan
perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang dapat
muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis
motor, dan jika tidak diobati dapat menyebabkan henti jantung. Akibat blok
simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh darah vena,
hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada anestesi spinal. Hal ini
menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital terutama otak dan
jantung, yang cenderung menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke serebral
merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi henti nafas pada anestesi spinal
total.
Terdapat kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat dari
blok pada saraf somatik interkostal. Aktivitas saraf phrenikus biasanya dipertahankan.
Berkurangnya aliran darah ke serebral mendorong terjadinya penurunan kesadaran.
Jika hipotensi ini tidak di atasi, sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya
menyebabkan terjadi iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan
akhirnya menyebakan henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah
terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor, dan
pemberian oksigen bertekanan positif. Setelah tingkat anestesi spinal berkurang,
pasien akan kembali ke kedaaan normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada
18

sequel yang permanen yang disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi dengan
pengobatan yang cepat dan tepat. [2][6][7]
3. Komplikasi Sistem Respirasi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari sistem respirasi saat melakukan anestesi
spinal adalah :

Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla.

Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,merupakan


tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani
dengan pernafasan buatan.[2]

Dapat juga terjadi blok pada nervus phrenicus sehingga menyebabkan


gangguan gerakan diafragma dan otot perut yg dibutuhkan untuk inspirasi
dan ekspirasi.

4. Komplikasi Gastointestinal
Mual muntah akibat blok neuroaksial sebesar 20%, sehingga menyebabkan
hiperperistaltik gastrointestinal akibat aktivitas parasimpatis dikarenakan oleh
simpatis yg terblok. Nausea dan muntah dapat disebabkan karena hipotensi, hipoksia,
tonus parasimpatis berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada
traktus gastrointestinal serta komplikasi delayed. Hipotensi menyebabkan mua
muntah dikarenakan oleh hipoksia otak yg merangsang pusat muntah di CTZ (dasar
ventrikel ke IV). Mulai terasa pada 24 - 48jam pasca pungsi lumbal, dengan
kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan
meningkat. Untuk menangani komplikasi ini dapat diberikan obat tambahan yaitu
ondansetron atau diberikan ranitidine.[2][6][7]

5. Nyeri Kepala (Puncture Headache)


Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala.
Nyeri kepala inidapat terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural pada
anestesi epidural. Insiden terjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti
ukuran jarum yang digunakan. Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko
untuk terjadi nyeri kepala. Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah tinggi
pada wanita muda dan pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan biasanya
19

muncul dalam 6 48 jam selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang
berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke retroorbital, dan sering
disertai dengan tanda diplopia, mual, dan muntah. Tanda yang paling signifikan nyeri
kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila pasien dipindahkan atau berubah
posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan berkurang atau hilang total bila
pasien tiduran. Terapi konservatif dalam waktu 24 48 jam harus dicoba terlebih
dahulu seperti tirah baring, rehidrasi (secara cairan oral atau intravena), analgesik.
Tekanan pada vena cava akan menyebabkan terjadi perbendungan dari plexus vena
pelvik dan epidural, seterusnya menghentikan kebocoran dari cairan serebrospinal
dengan meningkatkan tekanan extradural. Jika terapi konservatif tidak efektif, terapi
yang aktif seperti suntikan salin ke dalam epidural untuk menghentikan kebocoran.[2][6]
[7]

6. Komplikasi Sistem Muskuloskeletal


Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari
tusukan jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari
struktur ligament dengan atau tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri punggung
akibat dari trauma suntikan jarum dapat di obati secara simptomatik dan akan
menghilang dalam beberapa waktu yang singkat saja.[2][6][7]

7. Komplikasi Sistem Neurologis


Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah. Komplikasi
neurologik yang paling ringan adalah meningitis aseptik. Sindrom ini muncul dalam
waktu 24 jam setelah anestesi spinal ditandai dengan demam, rigiditas nuchal dan
fotofobia. Meningitis aseptik hanya memerlukan pengobatan simptomatik dan
biasanya akan menghilang dalam beberapa hari. Sindrom cauda equina muncul
setelah regresi dari blok neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat menjadi permanen atau
dapat regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau bulan yang ditandai
dengan defisit sensoris pada area perineal, inkontinensia urin dan fekal, dan derajat
yang bervariasi pada defisit motorik pada ekstremitas bawah. Komplikasi neurologis
yang paling serius adalah arachnoiditis adesif. Reaksi ini biasanya terjadi beberapa
minggu atau bulan setelah anestesi spinal dilakukan. Sindrom ini ditandai oleh defisit
sensoris dan kelemahan motorik pada tungkai yang progresif. Pada penyakit ini
20

terdapat reaksi proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi dari vaskular korda
spinal. Iskemia dan infark korda spinal dapat terjadi akibat dari hipotensi arterial
yang lama. Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi dapat mengurangi aliran
darah ke korda spinal. Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat trauma tusukan
jarum pada spinal maupun epidural, kateter epidural atau suntikan solution anestesi
lokal intraneural sangat jarang, tapi tetap mungkin terjadi.
Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat jarang
berlaku karena ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor didalam ruang
subaraknoid. Hanya pembuluh darah radikular lateral merupakan pembuluh darah
besar di area lumbar yang menyebar keruang subaraknoid dari akar saraf. Sindrom
spinal-arteri anterior akibat dari anesthesiaadalah jarang. Tanda utamanya adalah
kelemahan motorik pada tungkai bawah karenaiskemia pada 2/3 anterior bawah korda
spinal. Kehilangan fungsi sensoris tidak merata adalah efek sekunder dari nekrosis
iskemia pada akar posterior saraf dan bukan akibat dari kerusakan didalam korda itu
sendiri. Terdapat tiga penyebab terjadinya sindrom spinal-arteri: kekurangan suplai
darah ke arteri spinal anterior karena terjadi gangguan suplai darah dari arteri-arteri
yang terganggu oleh operasi, kekurangan aliran darah dari arteri karena hipotensi
yang berlebihan, dan gangguan aliran darah sama ada dari kongesti vena mahu pun
obstruksi aliran.
Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang menyebabkan terjadinya
sindrom spinal-arteri anterior oleh beberapa faktor. Contohnya anestesi spinal
menggunakan obat anestesi lokal yang dicampurkan dengan epinefrin. Jadi
kemungkinan epinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi pada arteri spinal anterior
atau pembuluh darahyang memberikan bekalan darah. Hipotensi yang kadang timbul
setelah anestesi regionaldapat menyebabkan kekurangan aliran darah.
Infeksi spinal sangat jarang kecuali dari penyebaran bakteri secara hematogen
yang berasal dari fokal infeksi ditempat lain. Jika anestesi spinal diberikan kepada
pasien yang mengalami bakteriemia, terdapat kemungkinan terjadi penyebaran
bakteri ke medulla spinalis. Maka penggunaan anestesi spinal pada pasien dengan
bakteremia merupakan kontra indikasi relatif.
Jika infeksi terjadi di dalam ruang subaraknoid, akan menyebabkan
araknoiditis. Tanda yang paling menonjol pada komplikasi ini adalah nyeri punggung
yang berat, nyeri lokal, demam, leukositosis, dan rigiditas nuchal. Oleh karena itu,
tidak diperbolehkan jika menggunakan anestesi regional pada pasien yang mengalami
21

infeksi kulit lokal pada area lumbal atau yang menderita selulitis. Pengobatan bagi
komplikasi ini adalah dengan pemberian antibiotik dan drainase jika perlu.[2][6][7]
8. Komplikasi Traktus Urinarius
Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun
regional. Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali paling
akhir pada anestesi spinal, umumnya berlangsung selama 24 jam. Kerusakan saraf
pemanen merupakan komplikasi yang sangat jarang terjadi.
Pencegahan

Pakailah jarum lumbal yang lebih halus (no. 23 atau no. 25).

Posisi jarum lumbal dengan level sejajar serat duramater.

Hidrasi adekuat, minum atau memberikan infus 3L selama 3 hari.

Pengobatan

Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam

Hidrasi adekuat.

Hindari mengejan.

Bila cara diatas tidak berhasil pertimbangkan pemberian epidural blood patch
yakni penyuntikan darah pasien sendiri 5-10ml ke dalam ruang epidural.
Cara ini umumnya memberikan hasil yang nyata/segera (dalam waktu
beberapa jam) pada lebih dari 90% kasus.[
BAB III
OBAT ANALGETIK LOKAL

A. Penggolongan
Secara struktur kimianya, anestesi lokal dibagi menjadi 2 golongan, yaitu ester-amide
dan amide-amide. Perbedaan penting antara anestetik lokal ester dan amid adalah efek
samping yang ditimbulkan dan mekanisme metabolism metabolitnya. Golongan ester kurang
stabil dalam larutan (prokain, ametokain), lebih mudah dipecah oleh kolinesterase plasma,
waktu paruhsangat pendek, sekitar 1 mwnit. Adapun produk degradasi hasil metabolism ester
adalah asam p-aminobenzoik. Golonga ini antara lain: prokain, kokain, kloroprokain dan
tetrakain.
22

Sedangkan golongan amid sedikit dimetabolisir dan cenderung terjadi akumulasi


dalam plasma. Ikatan amid dipecah menjadi N-dealkilasi dengan cara hidrolisis, terutama di
hepar. Penderita penyakit hepar berat lebih banyak mengalami reaksi-reaksi yang merugikan.
Eliminasi waktu paruh sekitar 2-3 jam. Bentuk amid lebih stabil dan larutan dpat distreilkan
dengan otoklaf. Golongan ini antara lain: lidokain, mepivakain, bupvakain, etidokain dan
ropivakain.
Tabel 1
Penggolongan Anestetik Lokal, Potensi dan Durasi
Golongan

Potensi

Durasi

- Prokain (novocaine)

Singkat

- Kokain

Menengah

- Tetrakain (Pantocaine)

16

Panjang

- Mepivakain (Carcocaine, Isocaine)

Menengah

- Prilokain (Citanest)

Menengah

- Lidokain (Xylocaine)

Menengah

- Etidokain (Duranest)

16

Panjang

- Bupivakain (Marcaine)

16

Panjang

- Ropivakain

16

Panjang

- Levobupivakain

16

Panjang

Ester Amide

Amide-amide

Dikenal 3 macam anestetik lokal yang lazim dipakai di Indonesia, yaitu Prokain,
Lidokain dan Bupivakain.
Tabel 2

23

Perbedaan antara Prokain, Lidokain dan Bupivakain


Prokain

Lidokain

Bupivakain

Ester-COO-

Amide-CNH-

Amide-CNH-

Onset

2 menit

5 menit

15 menit

Durasi

30-45 menit

45-90 menit

2-4 jam

Plasma

Hepar

Hepar

12 mg/Kg BB

6 mg/Kg BB

2 mg/Kg BB

Potensi

15

Toksisitas

10

Golongan

Metabolisme
Dosis Max

B. Mekanisme kerja
Infiltrasi anestetik lokal sekitar saraf, menyebabkan keluarnya Ca++ dari reseptor dan
anestetik lokal akan menempati reseptor tersebut sehingga terjadi blokade gerbang Na+.
Selanjutnya terjadi hambatan koduksi Na+ dan deprsi kecepatn induksi, sehinggan tidak dapat
mecapai nilai potensial dan tidak terjadi potensial aksi.

C. Farmakokinetik
1. konstanta disosiasi (pKa)
Hampir semua obat anestesi lokal mempunyai pKa yang alkalis. Yang dimaksud pKa
adalah nilai pH dimana bentuk ionisasi dan non ionisasi dari anestetik lokal tersebut dalam
jumlah yang seimbang, dengan demikian kurang dari separuh anestetik lokal berada dalam
bentuk lipid soluble nonionized pada pH 7,4.

pKa = pH (log)
ionisasi

24

Kelarutan dalam lemak menunjukkan potensi intrinsik anestetik lokal, karena 90%
dari membran saraf adalah lemak. Onset obat diartikan sebagai kemampuan difusi nonionized
lipid soluble form melewati membran saraf. Anestetik lokal dengan pKa mendekati pH
fisiologis, onsetnya lebih cepat karena rasio bentuk ionized terhadap bentuk nonionized
menjadi optimal.
2. Absorpsi
Absorpsi anestetik lokal dari tempat penyuntikan ke dalam sirkulasi sistemik
dipengaruhi oleh tempat penyuntikan, dosis, penggunaan epinefrin dan karakteristik
farmakologik. Golongan amide-amide lebih luas didistribusikan dalam jaringan darpada
golongan ester-amide. Konsentrasi dalam plasma ditentukan oleh kecepatan distribusi
jaringan an klirens obat.
Absorpsi anestetik lokal ke berbagai jaringan adalah sebagai berikut:
-

Absorbsi melewati mukosa, tapi tidak dapat melewati kulit yang utuh, harus disuntik
kejaringan subkutis.

Absorbsi pada mukosa esofagus tidak bermakna sedngakan pada saluran cerna dan
uretra cepat absorbsinya.

Obat vasokonstriktor yang ditambahkan pada larutan analgetik lokal memperlambat


absorbsi sistemik dengan akibat memperpanjang masa kerja dan mempertinggi dosis
maksimum.

Mempengaruhi semua sel tubuh, dengan pedileksi khusus memblokir hantaran saraf
sensorik

Kecepatan detoksikasi tergantung jenis obat berlangsung dengan pertolongan enzim


dalam darah dan hat. Sebagian dikeluarkan dalam bentuk bahan-bahan degradasi dan
sebagian dalam bentuk asal melalui ginjal (urin)

Untuk daerah yang diperdahari oleh arteri buntu (end artery) seperti jari dan penis
dilarang menambah vasokonstriktor. Penambahan vasokonstriktor hanya dilakukan

25

untuk daerah tanpa arteri buntu umumnya digunakan adrenalin dengan konsentrasi
1:200 000.
3. Distribusi
-

Paru mampu mengekstraksi anastetik lokal seperti lidokain, bupivakain dan prilokain

dari sirkulasi.
Distribusi obat anastettik lokal dalam jaringan akhirnya dapat mencapai plasenta.
Ikatan protein plasma mempengaruhi kecepatan dan derajat difusi obat melewati
plasenta. Bupivakain yang mempunyai ikatan protein tinggi (95%) dibanding lidokain
yang hanya 70%. Golongan ester karena cepat terhidrolisa, tidak bermakna melewati
palsenta. Asidosis fetus akibat persalinan yang lama akan menghasilkan akumulasi
obat pada fetus.

4. Klirens
Klirens dan eliminasi waktu paruh amid-amid terutama di hepar, ekskresi oleh ginjal
dalam bentuk tak berubah adalah minimal. Studi farmakokinetik ester-amid sangat sedikit,
karena eliminasi waktu paruhnya cepat. Hal ini disebabkan oleh karena cepat terhidrolisis
dalam plasma dan hepar.
5. Toksisitas
Efek toksik anestetik lokal terutama berakibat pada sistem kardiovaskular dan
susunan saraf pusat (SSP). Konsentrasi yang sangat tiggi dalam darah menyebabkan depresi
otot jantung dan dilatasi pembuluh darah perifer.
6. Metabolisme
Degradasi masing-masing anestetik lokal bervariasi dan tergantung enzim dalam
darah dan hepar. Produk-produknya akan dieliminasi oleh ginjal sebagian dalam bentuk tak
berubah.
Ikatan ester dipecah oleh kolinestrase plasma, waktu paruh ester dalam sirkulasi
sangat pendek, sekitar 1 menit. Produk degradasi metabolism ester adalah p-aminobenzoic
acid. Sedangkan ikatan amid dipecah lewat N-dealkylation diikuti dengan hidrolisis, yang

26

terjadi terutama di hepar. Penderita penyakit hepar lebih mudah terkena reaksi yang
merugikan dari amid. Eliminasi waktu paruh golongan amid 2-3 jam.

D. Pengaruh terhadap tubuh


Obat Anestesi lokal memiliki efek tertentu di setiap sistem tubuh manusia.Berikut
adalah beberapa pengaruh pada sistem tubuh yang nantinya harus diperhatikan saat
melakukan anesthesia spinal.
1. Sistem Saraf : Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat anestesi lokal,
menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada sistem saraf akan terjadi paresis
sementara akibat obat sampai obat tersebut di metabolisme.
2. Sistem Respirasi : Jika obat anestesi lokal berinteraksi dengan saraf yang bertanggung
jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka dapat menyebabkan gangguan
nafas karena kelumpuhan otot pernapasan.
3. Sistem Kardiovaskular : Obat anestesi lokal dapat menghambat impuls saraf. Jika
impuls pada sistem saraf otonom terhambat pada dosis tertentu, maka dapat terjadi
henti jantung. Pada dosis kecil dapat menyebabkan bradikardia. Jika dosis yang
masuk pembuluh darah cukup banyak, dapat terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti
jantung. Maka sangat penting diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat
menyuntikkan obat anestesi lokal agar tidak masuk ke pembuluh darah.
4. Sistem Imun : Karena anestesi lokal memiliki gugus amin, maka memungkinkan
terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat alergi pasien. Pada reaksi lokal
dapat terjadi reaksi pelepasan histamine seperti gatal, edema, eritema. Apabila tidak
sengaja masuk ke pembuluh darah, dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
5. Sistem Muskular : obat anestetik lokal bersifat miotoksik. Apabila disuntikkan
langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi yang tidak teratur
sehingga dapat menyebabkan nekrosis otot.
6. Sistem Hematologi : obat anestetik dapat menyebabkan gangguan pembekuan darah.
Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan penekanan yang lebih lama saat
menggunakan obat anestesi lokal. [2][8][11]
E. Adjuvant
Dalam penggunaan obat anestesi lokal, dapat ditambahkan dengan zat lain atau
adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi lokal khususnya pada anestesi
spinal. Tambahan yang sering dipakai adalah :
27

1. Vasokonstriktor : Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat


berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh mekanisme kerja obat
anestesi lokal di ruang subaraknoid. Obat anestesi lokal dimetabolisme lambat di
dalam rongga subaraknoid dan proses pengeluarannya sangat bergantung kepada
pengeluaran oleh vena dan saluran limfe. Penambahan obat vasokonstriktor bertujuan
memperlambat clearance obat dari rongga subaraknoid sehingga masa kerja obat
menjadi lebih lama.[6][7][8]
2. Obat Analgesik Opioid : digunakan sebagai adjuvant untuk mempercepat onset
terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal. Analgesik opioid misalnya fentanyl
adalah obat yang sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini sejalan dengan struktur
pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga penyerapan obat anestesi lokal menjadi
semakin cepat. Penelitian juga menyatakan bahwa penambahan analgesik opioid pada
anestesi spinal menambah efek anestesi post-operasi.[9][10]
3. Klonidin : Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat menambah
durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan karena klonidin adalah obat golongan
-2 Agonis, maka harus diwaspadai terjadinya hipotensi akibat vasodilatasi dan
penurunan heart rate.[10]

BAB IV
KESIMPULAN

Anestesi dapat diartikan sebagai kehilangan rasa secara patologis pada bagian tubuh
tertentu. Anestesi dibedakan menjadi anestesi umum, anestesi lokal dan anestesi regional.
Anestesi regional dibedakan menjadi blok sentral dan blok perifer. Yang paling sering
digunakan ialah anestesi spinal dan anestesi epidural. Kedua jenis anestesi ini dapat
digunakan sebagai alternatif dari anestesi umum. Prinsip yang digunakan adalah
28

menggunakan obat analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik untuk
sementara (reversible). Fungsi motoric juga terhambat sebagian d an pada teknik anestesi ini,
pasien tetap sadar.
Terdapat indikasi dan kontra indikasi yang terbagi dua yaitu kontraindikasi absolut
dan relative. Pada kontraindikasi relative anestesi tetap bisa dilakukan dengan
memperhatikan hal-hal tertentu seperti kemungkinan komplikasi dan alternative lain jika
tidak bisa dilakukan anestesi spinal. Seluruh persiapan wajib dicermati mulai dari persiapan
pasien, alat, obat anestesi lokal, obat emergensi yang harus disediakan jika terjadi komplikasi,
hingga kemungkinan untuk mengganti prosedur menjadi anestesi umum seketika prosedur
anestesi spinal tidak berjalan dengan baik. Saat penusukan diperlukan ketelitian untuk
menentukan lokasi suntikan, kemudian memperhatikan pendekatan untuk melakukan
penusukan serta memperhatikan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi anestesi.
Prosedur ini merupakan sebuah alternatif pada operaasi dengan durasi singkat. Pilihan
ini menyediakan opsi yang memiliki komplikasi yang lebih sedikit ketimbang melakukan
prosedur anestesi umum diantaranya adalah waktu pemulihan setelah dilakukan posedur
anestesi.

29

DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR, Petunjuk Praktis Anestesiologi: Edisi Kedua. 2009.
Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI
2. dr. Muhardi Muhiman, dr. M. Roesli Thaib, dr. S. Sunatrio, dr. Ruswan Dahlan,
Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan terapi Intensif FKUI
3. Boulton TB, Blogg CE, Anestesiologi, Edisi 10. EGC : Jakarta 1994
4. Robyn Gmyrek, MD, Maurice Dahdah, MD, Regional Anaesthesia, Updated: Aug 7, 2009.
Accessed on 6th December 2010 at www.emedicine.com
5. Lokal and Regional Anaesthesia, accessed on 6th December 2010 at
http://en.wikipedia.org/wiki/anesthesia
6. Miller RD. Anesthesia, 5th ed. Churchill Livingstone. Philadelphia. 2000
7. Mulroy MF. Regional Anesthesia, An Illustrated Procedural Guide. 2nd ed. Little, Brown
and Company. B oston 1996

30

You might also like