Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Pergerakan perempuan yang kita lihat dan rasakan hasilnya saat ini, bukan
merupakan sesuatu yang tiba-tiba ada, dan semata sebagai anugerah Tuhan,
karena jika menilik lebih jauh pada sejarahnya, perjuangan perempuan untuk
memperjuangkan hak-hak mereka di hadapan masyarakat dan hukum sudah
dimulai sejak berabad-abad yang lalu, baik di luar maupun di dalam negeri. Hal
ini dilakukan, saat perempuan memiliki kesadaran aktif akan apa yang sebenarnya
sedang mereka alami, sehingga semangat untuk mencapai kesetaraan gender
antara laki-laki dan perempuan pun tak dapat lagi dibendung hingga saat ini.
Pembahasan mengenai Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia ini,
bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut tentang seluk beluk pergerakan yang
sudah dirintis, bahkan sebelum kita dilahirkan. Karena tak pelak lagi, hal ini
menjadi fondasi awal bagi siapa saja yang ingin mempelajari tentang gender,
kesetaraan serta pengaruhnya terhadap pembangunan.
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka adapun masalahmasalah yang akan dibahas dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
I.3 Tujuan
Berdasarkan dengan rumusan masalah tersebut, maka adapun tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
2.
3.
4.
5.
6.
7.
II. PEMBAHASAN
2.1
kolonial Belanda. Kita mengenal pergerakan yang dilakukan oleh R.A Kartini,
Dewi Sartika, dan pejuang-pejuang lainnya yang merupakan tokoh pejuang
wanita. Perjuangan perempuan di Indonesia merupakan bagian yang tak
terpisahkan dalam sejarah perkembangan Indonesia. Meskipun perjuangan
perempuan telah dilakukan sejak lama dan peraturan perundang - undangan telah
mengatur kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan, ketimpangan gender
masih sangat terasa. Dengan adanya ketidaksamaan tersebut, wanita menjadi
objek dari diskriminasi. Sejarah Indonesia mencatat bahwa perempuan Indonesia
didiskriminasi melalui idiologi dari agama dan entik. Hal tersebut dapat dirasakan
dengan adanya budaya patriarki yang menyelubungi kehidupan sosial perempuan
di Indonesia. Dalam sejarah, perempuan lebih rentan atau lebih banyak
mengalami kekalahan dan penindasan karena faktor fisik, ekonomi, dan sosial
yang mebuatnya lebih lemah.Kedudukan kaum perempuan lebih rendah dari pada
laki-laki dikarenakan tradisi dan budaya yang ada, seperti yang telah disampaikan.
Perempuan layaknya seperti burung yang dipelihara dalam sangkar, dapat terbang
namun tak dapat terbang tinggi. Hal itu yang dapat mendefinisikan perempuan.
Perkembangan feminisme di Indonesia merupakan pendorong dari gerakan
perempuan akan kondisi sosial mereka saat ini.
Ada kondisi umum yang membuat perempuan sama dengan laki laki,
namun ada pula kodisi khusus yang dimiliki perempuan yang membuatnya
berbeda dengan laki-laki, tetapi bukan berarti untuk dibedakan. Perbedaan dengan
cara menilai positif adalah perbedaan yang melihat perempuan dengan nilai dan
cara beradanya yang berbeda dengan laki laki. Nilai dan cara berada perempuan
dikonstruksikan dan dikondisikan oleh pengalaman pengalaman perempuan
yang melahirkan, menyusui, merawat dan mempunyai tingkat kesensitifan serta
kepedulian yang besar. Nilai nilai perempuan didasarkan pada etika kepedulian
yang kental melekat didalam sistem cara pandang dunia perempuan. Sedangkan
perbedaan dengan cara menilai negative adalah melihat nilai nilai perempuan
sebagai yang lain (other). Sehingga denganmudah terjadi pengobjekan dan
penindasan. Susan Wendell dalam tulisannya The Social Construction of
Dissability menunjukan bahwa dalam kasus Ableism, yaitu tindakan
diskriminasi terhadapa mereka yang cacat metal dan fisik terjadi karena fakto
faktor sosial diskontruksikan secara sosial. Dalam hampir semua tindakan
diskriminasi, mengambil pola dari pijakan awalnya bentuk-bentuk mitos,
otherness, dan cara berfikir dikotomik. Hal ini pulalah yang terjadi dalam bentuk
diskriminasi terhadap perempuan.
2.2
Soesilo (Pemalang, 1918), Wanito Hadi (Jepara, 1919), Poetri Boedi Sedjati
(Surabaya, 1919), Wanita Katolik (Yogyakarta, 1924) dan oraganisasi organisasi
lainnya yang berdiri saat kolonial Belanda.
Pada tahap kedua, memunculkan persoalan politis yang berada pada basis
massa dan perkumpulan untuk memajukan baik keterampilan maupun publik
perempuan yang ditemui pada masa pra kemerdekaan. Pada masa ini juga tujuan
gerakan perempuan adalah untuk melawan kemiskinan dan ketidak adilan,
memperjuangkan kesamaan politik, hak memperoleh pendidikan dan kesempatan
kerja. Diskriminasi terhadap perempuan tidak berkurang meskipun secara legal
telah ada jaminan hak politik perempuan yang pada saat ini dikeluarkan pada
masa orde lama yaitu pada pasal 27 UUD 1945 dan UU no. 80 tahun 1958 tentang
persamaan upah pekerja laki laki dengan perempuan. Pada masa ini, organisasi
perempuan yang terbentuk harus bernaung di bawah partai politik, kondisi ini
dimulai pada tahun 1960 yang mengharuskan oraganisasi massa bernaung di
bawah partai politik. Wadah organisasi pergerakan perempuan Indonesia merdeka
diganti dengan Persatuan Negara Wanita Indonesia (Perwani) dan Wanita Negara
Indonesia (Wani) yang kemudian bergabung dan menjadi Persatuan Wanita
Republik Indonesia.
Pada tahap ketiga, pada masa orde baru, menampilkan wacana tugas
tugas domestik perempuan sebagai mana yang diinginkan negara. Pada masa orde
baru posisi perempuan lebih banyak dititik beratkan pada perannya sebagai ibu
rumah tangga. Hal ini dibakukan pada UU tentang Perkawinan pada tahun 1974,
Undang-undang tersebut melegalkan kedudukan laki laki dan permpuan yang
tadinya hanya sebagai hasil budaya menjadi sesuatu yang memiliki ketetapan
hukum karena dibakukan dalam sebuah undang undang.
Dan pada era reformasi sampai saat ini yang masuk pada tahap keempat,
memunculkan pergerakan pergerakan liberal yang bertemakan anti kekerasan
terhadap perempuan. Perjuangan perempuan sejak tahun 1998 hingga saat ini
adalah perluasan perjuangan yang didukung oleh jaringan nasional dan
internasional. Perjuangan ini bertujuan mencapai keadilan gender dan bersifat
inklusif melalui peningkatan wawasan perempuan dalam berbagai aspek
perkembangan
2.3
sia. Pendidikan bagi perempuan juga dapat menjadi bekal di masa mendatang.
Tentunya, kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi besok, lusa, setahun,
atau sepuluh tahun lagi. Bila suatu keadaan mendesak terjadi, perempuan pun bisa
menggantikan peran seorang laki-laki untuk menafkahi keluarganya. Pernah saya
membaca di sebuah media ada percakapan antara motivator terkenal dan seorang
penanya. Ketika seorang penanya bertanya padanya,Apa gunanya istri anda
mengenyam pendidikan tinggi sampai ke luar negri, bila pada nyatanya sekarang
dia tidak berkarir?Lalu sang motivator pun menjawab, Istri saya memang
seorang ibu rumah tangga, ibu dari anak-anak saya, wanita yang saya cintai,
penasehat saya dalam membangun usaha, pemilik asset dan pengelola dari bisnisbisnis keluarga serta pemelihara kesehatan keluarga. Pendidikan istri saya
sangatlah berguna.Dari sini kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa
pendidikan itu penting bagi setiap orang termasuk kaum perempuan. Kaum
perempuan juga berhak mengeyam pendidikan yang tinggi.
2.4
Dalam memenuhi kesetaraan dan keadilan gender diatas, maka pendidikan perlu
memenuhi dasar pendidikan yakni menghantarkan setiap individu atau rakyat
mendapatkan pendidikan sehingga bisa disebut pendidikan kerakyatan. Ciri-ciri
kesetaraan gender dalam pendidikan adalah sebagai berikut:
1.
Perlakuan dan kesempatan yang sama dalam pendidikan pada setiap jenis
kelamin dan tingkat ekonomi, sosial, politik, agama dan lokasi geografis
2.
3.
publik.
Adanya pemerataan pendidikan yang tidak mengalami bias gender.
Memberikan mata pelajaran yang sesuai dengan bakat dan minat setiap
4.
individu.
Pendidikan harus menyentuh kebutuhan dan relevan dengan tuntutan
5.
zaman.
Individu dalam pendidikannya juga diarahkan agar mendapatkan kualitas
sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya.
2.5
yang nyata, baik dalam pemilihan topic, metode yang di gunakan, maupun dalam
analisis data. Gangguan kesehatan yang mengakibatkan gangguan berarti pada
perempuan
tidak
mendapat
perhatian
bila
tidak
mempengaruhi
fungsi
didampingi oleh orang yang terdekat atau mengambil posisi yang dirasakan paling
nyaman.
Dalam berbagai aspek ketidak-setaraan gender tersebut sering di temukan
pula ketidak-adilan gender, yaitu ketidak-adilan berdasarkan norma dan standar
yang berlaku, dalam hal distribusi manfaat dan tanggung jawab antara laki-laki
dan perempuan (dengan pemahaman bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai
perbedaan kebutuhan dan kekuasaan).
Definisi keadilan gender dalam kesehatan menurut WHO mengandung
dua aspek yaitu:
1. Keadilan dalam (status) kesehatan, yaitu terciptanya derajat kesehatan
yang setinggi mungkin (fisik, psikologi dan social bagi setiap warga
negara).
2. Keadilan dalam pelayanan kesehatan, yaitu berarti bahwa pelayanan
diberikan sesuai dengan kebutuhan tampa tergantung pada kedudukan
social seseorang, dan diberikan sebagai respon terhadap harapan yang
pantas dari masyarakat, dengan penarikan biaya pelayanan yang sesuai
dengan kemampuan bayar seseorang.
2.6
sebagai
laki-laki,
maka
laki-laki
dianggap
tidak
pantas
depresi pada perempuan dua kali sampai tiga kali lebih banyak dibandingkan
dengan laki-laki. Perempuan lebih banyak menderita penyakit menahun yang
berkepanjangan (TBC), akan tetapi ada kecenderungan dari perhitungan, karena
kebiasaan perempuan untuk mengabaikan atau menunda mencari pengobatan, jika
penyakit itu masih bisa ditanggungnya. Penting sekali memahami realitas, bahwa
perempuan dan laki-laki menghadapi penyakit dan kesakitan bisa berbeda.
Informasi itu hanya didapat jika kita memiliki data pasien, seperti data umur,
status, social ekonomi yang terpilah menurut jenis kelamin.
Hal-hal yang diperlukan untuk memahami isu gender berkaitan dengan
kesehatan adalah : (1) Mengumpulkan data dan informasi yang memperlihatkan
bukti adanya ketimpangan berbasis gender dalam kesehatan perempuan dan lakilaki; (2) Menyatakan data dan informasi tersebut serta memperhitungkannya
ketika
mengembangkan
Mengimplementasikan
kebijakan
program-program
dan
yang
program
sensitive
kesehatan;
gender
(3)
untuk
sama, hak atas jaminan sosial, hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan
kerja.
Statistik gender dibidang ekonomi ini dapat dilihat melalui :
a.
Angkatan kerja
b.
c.
2.
3.
bahkan wanita dapat didepak keluar sam sekali dari hubungan produktif.
Perspektif eksploitasi, beranggapan bahwa ekploitasi adalah produk
modernisasi yang menekankan akuulasi modal oleh para kapitalis.
Moore (1996), menjelaskan bahwa banyak teori yang menunjukkan
yang
menekankan
stabilitas
institusi-institusi
ekonomi
dan
III.
III.1
PENUTUP
Kesimpulan
Perempuan lekat kaitannya dengan tindak diskriminasi, tersebut tak dapat
Saran
Meskipun telah dibuat berbagai peraturan yang berpihak kepada
perempuan ditambah lagi dengan pergerakan wanita yang telah dimulai dari sejak
dulu namun sampai sekarang masih banyak wanita yang terdesrminasi karena
budaya atau etnik. Untuk itu kepedulian dan kesadaran masyarkat terhadap gender
menjadi hal penting yang harus dipahamkan dan disosialikan, oleh karena itu
untuk menjamin keadilan dan kesejahteraan gender pemahaman konsep gender
perlu dipahami dan diaplikasikan oleh seluruh lapisan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Amasari (Member of PSG LAIN), Laporan Penelitian Pendidikan Berujatuasan
Gender,(Banjannasin: IAIN Antasari, 2005).
BKKBN. 2014. Kesenjangan Gender Dalam Kesehatan. Jambi: Disporn
Regyta Berliantoko. 2013. Pentingnya Peran Perempuan dalam
Pembangunan Ekonomi. Malang: Pusgrindo
Eni Purwati dan Hanun Asrohah, Bias Gender dalam Pendidikan Islam,
(Surabaya: Alpha, 2005).
Evi Maulidah. 2013. Gerakan Intelektual Perempuan dalam Perspektif Gender.
Bogor: Kompasiana
Hanun Asrohah, Sosiologi Pendidikan, (Surabaya: Kopertais Press, 2008).
Kristina Ni Nyoman. 2014. Isu Gender dalam Bidang Kesehatan. Bali: BPKKTK
Jhon M. Echol, dan Hasan Shadily, Kamus Besar Inggris-Indonesia, (Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 1996).
Mansour Faqih, Analisis gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1996).
Mufidah Ch, Bingkai Sosial Gender: Islam, Strukturasi dan Konstruksi Sosial,
(Malang: UIN Maliki Press, 2010).
Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender : Perspektif al-Quran,(Jakarta :
Paramadina, 2001).
Retno Sherly. 2011. Gender dan Ekonomi. Padang: Grasindo
Wawan Djunaedi, dan Iklilah Muzayyanah, Pendidikan Islam Adil Gender di
Madrasah, (Jakarta : Pustaka STAINU, 2008).
Women Research Institud. 2014. Gerakan Perempuan bagian Gerakan Demokrasi
di Indonesia. Jakarta: Gramedia