You are on page 1of 7

UPAYA MEMAHAMI KEHENDAK TUHAN:

SEPUTAR METHODE POKOK PENAFSIRAN*


Oleh:Arif Reza Syah**

Pembuka
Sebagai agama paripurna, aktualitas Islam dengan Al Qur'an sebagai sumber
utama ajarannya, telah dan akan terus berjalan tanpa henti berikut dengan nilai-nilai
universalitasnya. Ruang lapang dalam Al Kitab yang di titahkan Tuhan bagi kreatifitas
dinamis manusia demikian luas dan sempurna di bandingkan dengan riak kecil
perubahan yang mendera kehidupan fana. Dogma-dogma statis religi dalam Islam
yang demikian mungil dan minim, sama sekali bukan penghalang bagi laju relevanitas
ajarannya. Oleh karena itu, keniscaya'an pergantian rupa zaman dan pergerakan
peradaban kemanusia'an tidak akan pernah berada pada titik kutub yang
berseberangan dengan aplikasi akal budi dan nilai-nilai luhur agamawi.
Di sisi lain, ada kalanya realitas yang menyelimuti kehidupan beragama tidak
selalu manis wujudnya. Paradigma keberagama'an bagi sementara orang adalah
tentang kepengapan dan keterkukungan hidup. Kesalehan dan kepatuhan agamawi
kerap di fahami sebagai keterpenjara'an jiwa, bahkan keterasingan ragawi. Makna
kebebasan nurani serta ketentraman hati dan semacamnya, dari berbagai kepeka'an
sifat transeden yang semestinya di miliki manusia dalam mempercayai Tuhan
menjadi senyap. Tentu sangat naïf, mengorbankan nilai luhur agama yang sejati
dengan kultur keberagama'an dan pemahaman keagama'an yang selalu tidak bisa
bersanding kompromis dengan kebajikan hidup manusia itu sendiri. Aplikasi ilmiah
kaum beragama yang kerap mengambil jarak dan tidak pernah bersahabat dengan
realitas yang hakikatnya tidak bertentangan bahkan kadang senafas dengan ajaran
agama acap memperkeruh keada'an ini.
Oleh karena itu, menengok kembali dan membincang perihal standart
wawasan dan asumsi keagama'an kaum beragama pada Al Qur'an sebagai induk
doktrin agama serasa sangat penting. Guna mengetahui bagaimana dan dengan apa
pendalaman serta eksplorasi Al Quran selama ini telah di lakukan. Kajian seperti ini
di tujukan memahami methode dan paradigma umum yang di pakai ilmuwan Islam,
khususnya para ahli disiplin tafsir (mufassirin) dalam upaya mereka menangkap
pesan-pesan ilahiyyah dalam Al Kitab. Dengan demikian akan di ketahui sejauh mana
relevansi pemakaian methode tadi di masa-masa sesudahnya. Yang kemudian bisa di
lanjuti dengan upaya penyempurna'an ilmiah selayaknya pada bagian-bagian tertentu
dari padanya yang di rasa kurang baik.

Al Quran Sebagai Petunjuk:


Sabda KeTuhanan Dlm Bahasa Manusia Utk Kemanusia'an
Awalnya, Al Quran turun secara berangsur-angsur selama lebih dari 22 tahun
sebagai intruksi Alloh atas Nabi dan atau ummatnya. Kadang, turunnya Al Quran
sebagai reaksi atas sebuah fenomena atau permasalahan riil saat itu. Oleh karena itu,
dalam Al Quran banyak di dapati penyaduran (iqtibas) kata-kata dan kalimat yang
sebelumnya di ucapkan oleh seseorang atau sekelompok orang kala itu.1 Tidak
terbatas kaum muslimin saja, pernyata'an orang-orang dari golongan yang tidak

*
Makalah ini di sampaikan dalam diskusi dwi mingguan FISMABA.
**
Manajer dan playmaker the Dream Team AC Buust (Jawara Fismaba Cup).
1
.Dr Hassan Hanafi, Humum Al Fikr Wa Al Wathon Juz 1 Cet ke 2 Thn 1998 Dar Quba'. Hal : 23

1
beriman pun tidak luput dari pendokumentasian abadi Al Quran.2 Penyomotan kosa
kata yang terkadang sangat mirip ini bisa jadi bermula dari statemen, pertanya'an atau
perbincangan bahkan do'a orang-orang tersebut. Dengan kata lain, telah terjadi
reproduksi (ibda') redaksional dalam Al Quran, yang membuatnya bukan sepenuhnya
datang dari satu arah belaka. Namun, seakan ada nuansa interaksi langsung antara
Tuhan dengan segenap para makhluqnya, kalau bukannya suatu bentuk partisipasi
tidak sengaja dan tidak langsung dari para makhluq.3.
Toh bila kemudian perkata'an orang-orang tadi kemudian menjadi bagian dari
redaksi absah Al Quran, maka baginya kesetaraan yang tidak berbeda dalam segi
kesuciannya. Maka jelas, bahwa Al Quran dengan muatan redaksi resminya yang
berlatar belakang berbeda-beda tadi mempunyai nilai a historikal tak tersentuh. Malah
dari sinilah salah satu pemicu keleluasa'an Al Quran untuk masuk dalam setiap
dimensi perubahan. Tidak serta merta keberada'an satu kejadian tertentu yang melatar
belakangi turunnya wahyu menjadi satu-satunya tolak ukur pemberlakuan muatannya.
Latar belakang yang bisa jadi memastikan termuatnya ia dalam kandungan ayat dan
teks yang bersangkutan dengannya bukan berarti kebuntuan bagi fenomena lainnya.
Sebagai kumpulan dan qonun tertinggi dari setiap sendi kehidupan ummat
Islam, Al Quran memuat semua potensi solutif guna menjawab semua problematika
yang dihadapi ummat. Al Quran wajib menjadi titik tolak dari setiap keputusan dalam
kaitannya dengan agama, seperti halnya fiqh atau akidah. Bukan itu saja, Al Quran
pun menjadi sumber terpenting berikut rujukan utama ilmu-ilmu bahasa, sastra,
perwejangan bahkan melahirkan ilmu sosial dan dasar-dasar administrasi tata Negara4.
Ia telah menjadi standart paling ampuh dalam menjustifikasi beragam macam hal.
Keistimewa'an tiada terhitung yang di sandang oleh Al Qur'an itu adalah
kemestian yang sewajarnya. Bagaimana tidak, bahwa perwujudan Al Qur'an
berlandaskan wahyu suci yang turun dari Alloh yang Maha Tahu segala-galanya sudah
pasti di amini oleh semua kaum muslimin. Oleh karena itu, tidak ada sedikit pun cacat
dan kurang, apa lagi salah dalam Al Qur'an. Semua informasi dan muatan yang di
kandung Al Qur'an adalah sepenuhnya benar dan nyata. Jika kemudian masih banyak
misteri dari ayat-ayat Al Qur'an yang belum terungkap, kesemuanya itu berpulang
pada kebelum mampuan manusia membuktikannya. Konswekensi dari ini semua
adalah, kemustahilan Al Qur'an untuk bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran, apa
pun dan oleh siapa pun itu. Selain itu, Al Qura'n akan selalu rasional dan bisa di lacak
oleh manusia, mengingat Al Qur'an di turunkan oleh yang Maha Benar dan Maha
Tahu untuk di fahami oleh manusia.5
Ada perbeda'an pendapat di antara para ilmuwan Islam mengenai keqidaman
Al Quran. Bagi kelompok sunni, Al Quran adalah bagian dari kalamulloh yang di
maknai sebagai salah satu sifat zat yang qodim. Lebih jauh menurut pandangan ini,
unsur penyusunan bahasa di dalamnya adalah sepenuhnya dogmatif (tauqifiyyah) dari
Tuhan. Berbeda dengan golongan Mu'tazilah yang menegaskan kehadisan Al Quran
mengingat ia adalah sifat dari fi'il Alloh, dan bukan merupakan sifat zat. Kelanjutan
dari pandangan ini adalah terbukanya 'pengistilahan' bahasa yang di pakai Al Quran.6

2
.Ibid
3
.Ibid Hal : 25
4
.Muhammad Arkoun, Al Quran Min al Tafsir Al Maurust Ila Tahlil Al Khithob Al Dini Terjemah
Hasyim Sholih, Cet Dar Al Tholiah Beirut, Tanpa tahun penerbit. Hal:14
5
.Dr Ir Muhammad Syahrur, Al Kitab Wa Al Quran Qiro'ah Mua'shiroh (tanpa penerbit dan tahun
penerbitan) Hal: 194
6
. Dr Nashr Hamid Abu Zaid, Al Ittijah Al Aqli Fi Al Tafsir Cet ke 5, Thn 2003, Al Markaz Al Tsaqofi
Al Aroby. Hal:78

2
Lepas dari dua pendapat ini, pewahyuan Al Qur'an oleh Alloh pada
Rosulalloh yang kemudian mewujud dalam kodifikasi mushaf seperti sa'at ini adalah
bagian yang demikian tak terhingga kecilnya dari sifat zat atau sifat fi'il Alloh yang
telah, sedang dan akan terus berlangsung tanpa akhir. Oleh karena itu, hakikat dari Al
Qur'an sebagai wahyu tidaklah mewujud dalam perupa'an fisik apapun. Sedang Al
Qur'an mushafi yang terbaca dan di tela'ah tiap hari tidak lebih dari sebuah refleksi
dari wahyu tadi. Ini karena isi dan kandungan Al Qur'an yang menjadi lentera dua
kehidupan manusia ini tidaklah mungkin dapat di pahami kecuali dengan bahasa
manusia itu sendiri. Dengan ini, maka hakikat dari wahyu Alloh yang kemudian
menjadi mushaf yang terbaca ini tetap menjadi rahasia Alloh. Sementara, susunan
huruf dan kata dalam bahasa Arab yang terangkai menjadi baca'an kaum muslimin ini
adalah bak sebuah rumus dan petunjuk untuk memahami kalam ilahi tadi7.
Sebagai sebuah perbandingan, Al Qur'an dalam Islam laksana Yesus dalam
persepsi kaum Nasrani. Yesus yang di asumsikan sebagai perwujudan Tuhan di bumi
nyaris sepadan dengan Al Qur'an yang merupakan manifestasi keilahiyyahan yang
membiaskan diri dalam rupa makhluq yang terdeteksi inderawi. Kesepadanan
keduanya lebih nyata lagi dalam fungsinya sebagai petunjuk jalan yang benar.
Tentunya keduanya berbeda dari kelanggengan fungsi dari sisi kemakhluqannya. Al
Qur'an yang merupakan mu'jizat abadi Rosululloh terus menjalankan fungsinya
sebagai petunjuk. Sementara Yesus telah mengakhiri fungsinya seketika
pengangkatannya dari dunia oleh Alloh. Pada sisi lain, Yesus menjalankan tugasnya
sebagai petunjuk ilahiyyah dalam tindak dan narasi kemanusia'an yang aktif. Sedang
Al Qur'an tampil dalam balutan benda yang pasif dan bergerak sesuai pemahaman
manusia atasnya.8
Tugas pokok Rosululloh sebagai penyampai dan penjelas wahyu sepadan
dengan Paulus dalam persepsi ini. Sehingga periwayatan Paulus dari Yesus
mempunyai kemiripan karekteristik dengan sabda Rosululloh yang tidak lain
merupakan penjelasan gamblang yang merujuk pada Al Quran. Dalam konteks ini,
posisi Rosul sebagai penerima langsung dari wahyu memberikan suatu otoritas
istimewa dan keterkhususan pada diri beliau untuk memahami makna kalam ilahi
yang beliau terima lebih baik di banding orang lain. Selain itu, sifat nubuwwat yang
ada pada beliau memungkinkan adanya teguran dan ralat ilahiyyah jika terjadi
kesalahan yang beliau buat dalam memahami makna wahyu.
Dengan demikian, informasi dan penjelasan Rosululloh atas wahyu yang beliau
terima adalah referensi paling utama atas interpretasi Al Quran yang terjamin
kebenarannya. Artinya, pemakna'an Rosululloh atas suatu teks wahyu dapat di
pastikan kebenaran pencakupan teks wahyu tadi atas penafsiran Rosul. Bukan berarti
penafsiran Rosululloh atas suatu teks Al Quran telah menutup adanya penafsiran lain
atas teks yang sama. Dengan demikian, penafsiran Rosululloh bukanlah satu-satunya
penafsiran yang benar atas sebuah teks wahyu. Dalam arti masih terbukanya peluang
menafsirkan dan memaknai teks yang sama dengan aplikasi penafsiran yang berbeda.
Sehingga, sebuah penafsiran tertentu yang telah di berikan oleh Rosululloh atas
sebuah teks bukan berarti titik final dari makna teks Al Quran tersebut.

Kemungkinan terjadinya penafsiran ganda atas teks tunggal bukanlah sama


sekali sebuah kemasghulan. Justru hal ini mengukuhkan keagungan makna dan
keluasan kandungan Al Quran yang demikian tidak terhingga. Hal ini sangat wajar,
7
.Dr Muhammad Arkoun, Al Quran Min Al Tafsir Al Maurust Ila Tahlil Al Khithob Al Dini.Op Cit,
Hal:22
8
.Ibid, Hal 23

3
mengingat Al Quran adalah sebuah refleksi dari suatu karakteristik ketuhanan tiada
batas yang meleburkan diri pada perwujudan makhluq. Selain itu, ambiguitas yang
sangat tinggi dalam redaksi Al Qur'an sebagai akibat dari pengguna'an kalimat majazi
di dalamnya sangat membuka potensi penafsiran ganda bahkan lebih. Kenyata'an
bahwa tidak semua ayat di maknai oleh Rosululloh memberikan pesan terselip di
dalamnya betapa Alloh mengkaruniakan keleluasa'an yang lebih bagi ummat Islam
untuk berupaya kreatif dalam mengelaborasi makna Al Qur'an9. Hal ini sejalan dengan
fungsi pokok Al Quran yang tidak mandeg sebagai petunjuk ilahiyyah dengan
wafatnya Rosulalloh sebagai pembawa risalah.

Memahami Karakteristik Bahasa Arab:


Demi Memahami Bahasa Tuhan
Pengguna'an bahasa lokal pada kitab suci yang di pakai kaum di mana kitab suci
di turunkan sudah menjadi tradisi dan ketetapan Alloh. Demikian halnya dengan Al
Qur'an, keberadaannya yang diturunkan kepada baginda Nabi yang berlatar belakang
bahasa arab menjadikan kitab ini mengikut pada lokalitas kedaerahannya. Namun
bahasa arab yang di tahbiskan sebagai bahasa resmi ini bukan berarti nihilnya nilai
universalitas dalam Al Quran. Kenyata'an kearaban bahasa berikut kultur yang
melatar belakangi pembentukan Al Quran tidak kemudian menjadikannya hanya
sebagai pedoman berdimensi primordialistik. Walaupun pada sa'at yang sama, kultur
arabisme demikian sarat dalam gaya narasi dan amsal-amsal yang di kemukakan Al
Qur'an. Karena bagaimanapun juga, semangat universalitas yang di emban oleh Al
Qur'an kadang mesti di balut dengan ornamen lokal kearaban, mengingat pada daerah
kultur budaya mereka Al Qur'an di turunkan.10 Namun begitu kekaaffahannya bukan
kemudian menjadi terpinggirkan atau pencaplokan ornamen lokalitas yang sejatinya
hanya sebagai pengantar menjadi bagian ajaran pokok.
Adalah bahasa arab yang kemudian menjadi bahasa resmi Al Qur'an menjadi
bagian tidak terpisahkan dari upaya pemahaman Al Qur'an. Hal ini tidak lepas dari
sengajanya Al Quran yang mengadopsi bahasa setempat demi bisa di pahaminya ia
oleh para penerima awal.11 Nyatanya, kualitas sastra bahasa yang di pakai Al Qur'an
tidaklah bahasa arab pada umumnya. Penata'an redaksi dan perangkaian huruf dan
kata yang demikian indah adalah sebuah warna dan nuansa tersendiri bagi Al Qur'an
yang mengagumkan. Bahkan, ketinggian nilai sastra Al Qur'an di yakini bukan lagi
kreasi manusia biasa dan mustahil tertandingi. Malah, sebagian ilmuwan menyatakan,
faktor cepat dan lambatnya para sahabat dalam masuk Islam sangat erat kaitannya
dengan pengetahuan sastra mereka.12 Semakin baik dan dalam pengetahuan seseorang
sa'at itu akan bahasa, semakin cepat pula lah ia menerima kebenaran wahyu yang di
bawa Rosulalloh.
Dengan demikian, maka penguasa'an bahasa arab berikut konstelasi sastra dan
seluk beluknya adalah syarat mutlaq yang tidak bisa di ganggu gugat lagi. Methode
yang lazim di pakai oleh para ilmuwan tafsir dalam menafsirkan teks Al Quran adalah
dengan mengkomperasikannya dengan syair dan sajak-sajak jahiliyyah.13 Hal ini di
lakukan karena bagi mayoritas para ilmuwan standar sastra yang ada pada syair-syair
ini sesuai dengan kaidah orisinal bahasa arab, bahasa di mana Al Quran di baca. Pada

9
Al Hafidz Jalal Al Din Abdurrohman As Suyuthi, Al Itqon Juz:2 Dar Al Hadis,Hal:452
10
. Dr Muhammad Arkoun, Al Quran Min Al Tafsir Al Maurust Ila Tahlil Al Khithob Al Dini.Op Cit
Hal :14
11
.Ibid.
12
.Adonis, Al Tsabit Wa Al Mutahawil Juz :2 Cet ke : 8 thn 2002 Al Saqi Hal:170
13
.Ibid, Hal

4
babak selanjutnya, terjadi upaya besar dan sungguh-sungguh dari para ilmuwan
mempelajari bahasa arab yang paling orisinal, termasuk syair-syair jahiliyah.
Penelusuran yang di lakukan oleh para ilmuwan inilah yang pada gilirannya
berlanjut pada munculnya disiplin baru berupa ilmu bahasa. Penggiatan yang terus di
lakukan dengan serius ini melahirkan kaidah-kaidah bahasa yang menjadi standar
pokok bahasa arab. Kepedulian yang tinggi pada kemurnian bahasa yang di tujukan
bagi penggalian makna Al Qur'an ini kadang harus memaksa beberapa tokoh ilmuwan
terkemuka untuk terjun langsung ke daerah-daerah pedalaman yang di anggap sebagai
basis keluhuran bahasa. Tidak jarang dari para ilmuwan ini menepi dan
mengisolasikan diri beberapa waktu guna mengenal dan berinteraksi langsung dengan
penduduk pedalaman. Keistimewa'an yang di sematkan ilmuwan pada golongan
masyarakat pedalaman ini pernah mengakibatkan migrasi penduduk pedalaman ke
kota-kota pusat budaya demi untuk mengajarkan bahasa mereka.14
Standar dan kaidah-kaidah bahasa yang merupakan hasil penelitian mendalam
pada pusat-pusat bahasa murni di pedalaman dan karya sastra tinggalan masa
jahiliyyah inilah yang kemudian menjadi standart pokok yang harus di pakai dalam
membedah makna dan kandungan Al Qur'an. Kodifikasi seragam Al Qur'an yang di
canangkan pada masa kholifah ke tiga menjadikan kaidah-kaidah bahasa ini menjadi
kebutuhan pertama dalam memahami makna Al Qur'an. Reposisi Al Qur'an yang
sebelumnya hanya dalam wacana oral terbuka menjadi korpus tertutup dalam teks
yang seragam membuat elaborasi atasnya demikian tergantung pada kaidah-kaidah
ini.
Demikian penting dan tingginya kedudukan bahasa sebagai salah satu landasan
pentafsiran Al Qura'n ini terlihat dari beruntunnya posisi bahasa di bawah naql.
Dalam empat stratifikasi utama ma'khodz penafsiran, bahasa menduduki tempat ke
tiga setelah dua penaqlan, yaitu setelah naql dari Rosululloh dan para sahabat.
Ketetapan bahasa yang merujuk pada kaidah-kaidah umum ini dengan kesendiriannya
saja mampu menjadi pembuka tabir makna teks ilahiyah. 15
Kebergantungan usaha pendekatan tafsir pada ilmu-ilmu kebahasa'an hakikatnya
dapat di maklumi adanya. Namun pada titik setelahnya perkembangan ilmu bahasa
yang terus maju tidak pernah di lirik oleh ilmuwan masa setelahnya. Dengan kata lain,
telah terjadi stagnasi nyaris total setelah masa puncak penemuan kaidah bahasa di
masa klasik. Sehingga standar bahasa yang di pakai hingga ratusan tahun setelahnya
adalah standar yang sama pada abad-abad sebelumnya. Oleh karena itu, upaya
memperkaya khazanah tafsir yang ada hampir tanpa hasil. Hal ini di sebabkan
pentafsiran dengan methode yang sama ini menghasilkan pengulangan saja, bukan
kreasi tafsir yang baru.16
Di sisi lainnya, kedekatan antara ilmu bahasa dan dan study Al Qur'an ini tidak
berhenti pada pemaknaan dan upaya membuka tabir Al Qur'an saja. Khusus dalam
konteks khazanah sastra dan ilmu bahasa, hubungan Al Qur'an dan pencipta'an rupa-
rupa kaidah tadi berkelanjutan dengan upaya pelacakan Al Quran dalam sisi-sisi
bahasa.
Sehingga di masa-masa awal banyak bermunculan analisa Al Quran yang
terbatas pada sisi kebahasa'an atau nilai sastranya saja. Di masa-masa ini masih di
temukan peleburan antara sastra dan gramatika dalam satu disiplin yang satu.

14
.Dr Abid Al Jabiri, Takwin Al Aql Al Arobi, Dar Al Tsaqofah Al Arobiyyah, Hal: 75
15
. Al Hafidz Jalal Al Din Abdurrohman As Suyuthi, Al Itqon Op Cit, Hal: 461
16
. Dr Ir Muhammad Syahrur, Al Kitab Wa Al Quran Qiro'ah Mua'shiroh Op Cit, Hal : 194

5
Keada'an ini tentu bertolak belakang dengan masa sekarang yang menjadikannya
sebagai dua bidang garapan ilmu yang berbeda dan terpisah17.

Mengokohkan Aktualitas Al Quran:


Fenomena Upaya Harmonisasi Di Masa Modern
Hakikatnya, telah di bangun bermacam kode etik pentafsiran klasik demi untuk
hasil kreasi tafsir atas Al Quran yang bisa di pertanggung jawabkan. Dalam
paradigma klasik, serangakaian kode etik tadi di bangun atas pertimbangan yang
menitik beratkan pada tanggung jawab ilmiah dan moralitas keagama'an.18 Khusus
pada bagian tanggung jawab ilmiah, pertimbangan kebahasa'an semata yang kerap
menjadikan tafsir demikian rigid dan kering. Keterikatan pada satu pola ilmu bahasa
dalam upaya eksplorasi Al Quran sering berujung pada ketidak pedulian realitas yang
nyata-nyata terjadi adanya.
Dalam sa'at yang sama, penguatan daya kritis masyarakat modern menuntut
keleluasa'an sarana hidup, baik yang materil maupun imateril termasuk di dalamnya
adalah agama. Dalam kondisi yang demikian, kesadaran ilmiah dari ilmuwan Islam
mutakhir meneropong adanya upaya alternatif dalam mensikapi agama dan sumber
hukum di dalamnya. Namun, tidaklah bisa dengan serta merta menghakimi
kemunculan dua fenomena di alam modern ini sebagai dua hal yang saling
berkorelasi. Adalah sangat mungkin, fenomena di bidang ilmiah demikian sangat
murni sebagai hasil dari akumulasi pembaca'an dan pembelajaran yang panjang.
Selain itu, semakin banyaknya khazanah keilmuan yang baru terkuak di masa-masa
ini bisa jadi merupakan faktor pendukung yang memuluskan stimulasi ilmiah ini terus
berkembang.
Fenomena yang tak kalah menariknya adalah perambahan ilmuwan eksak Islam
pada ranah ilmu-ilmu agamawi. Meskipun berlatar belakang pendidikan formal yang
sepintas berjauhan dari arena ilmu agama, kompetensi mereka layak di hargai sebagai
ilmuwan Islam sejati.19 Beragamnya latar belakang seperti ini memarakkan khazanah
ilmiah dalam agama yang secara langsung maupun tidak akan berkait dengan Al
Quran yang berarti pula upaya pemakna'annya.
Sebagai ensiklopedia kebenaran yang tidak akan pernah mati, dalam pandangan
beberapa ilmuwan modern, Al Qur'an adalah bagian dari wahyu yang tidak akan
pernah berseberangan dengan rasionalitas dan penemuan sains. Oleh karena itu,
penafsiran Al Quran bisa jadi memuat potensi yang serba nisbi. Ini karena penemuan
ilmiah apapun akan menjadi basi dan tidak berguna jika di kemudian hari di terjadi
penemuan dan pemahaman baru.

Rasionalitas yang menjadi semangat tiap wahyu yang di turunkan Alloh adalah
keniscaya'an sejati, mengingat kebenaran wahyu yang turun dari yang maha benar.
Dan kebenaran ini menjadi buram kala ia tidak lagi bisa di pertanggung jawabkan

17
. Dr Nashr Hamid Abu Zaid, Al Ittijah Al Aqli Fi Al Tafsir Cet ke 5, Thn 2003, Al Markaz Al Tsaqofi
Al Aroby. Hal:100
18
.Salah satu contoh penjelasan yang merangkum syarat2 untuk menberikan tafsir ini bisa di lihat pada:
Al Hafidz Jalal Al Din Abdurrohman As Suyuthi, Al Itqon Juz:2 Dar Al Hadis Hal:464-466
19
. Dr Muhammad Arkoun, Al Quran Min Al Tafsir Al Maurust Ila Tahlil Al Khithob Al Dini.Op Cit
Hal :14

6
secara logika. Tentunya tidak mungkin Alloh menurunkan wahyu guna demi di
fahami, sementara pada sa'at yang sama ia tidak bisa di akal.20
Fungsi wahyu sebagai gerak dinamis yang senantiasa menajadi petunjuk
kebajikan ummat manusia, maka selayaknya jika ia akan selalu lekat dengan
kebajikan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, pengembangan tafsir dengan methode
pendekatan yang tidak melulu terikat pada satu pola kaidah kebahasa'an menjadi
alternatif yang menjanjikan. Pada tahap inilah penerapan kaidah bahasa yang tidak
monoton serasa urgen di lakukan. Di samping membedah makna kandungan Al Quran
dengan pendekatan gramatika, perlu di barengi dengan praktek semiotika, filologi
atau bahkan hermeunetika.21 Di luar kebahasa'an, fenomenalogi sebagai pendekatan
tafsir dari aspek sosial makin memperelok produk pemahaman yang di lahirkan.
Dengan kompleksitas alat bantu yang memadai, di harapkan berkembangnya
pendekatan tafsir yang tidak buta realitas dan memihak kebenaran.

Penutup
Transedensi Al Qur'an:
Misteri Ilahiyah
Meskipun 'hanya' sekedar refleksi adaptatif dari karakteristik ketuhanan yang
maha Tiada Batas, bukan berarti Al Qura'n kehilangan daya tarik dan
keluarbiasa'annya. Seperti di tegaskan oleh Al Qur'an sendiri, bentangan makna dan
keluasan arti yang tersimpan di dalamnya tidak mungkin akan di liputi kecuali oleh
Alloh dan orang-orang rosikhun, untuk yang terakhir menurut sebagian pandangan.
Sehingga terbatasnya teks wahyu ini tidak akan pernah habis dan selesai untuk di kaji
hingga hari qiyamat tiba.
Banyak versi dari pendapat ilmuwan perihal pembagian isi Al Quran menurut
mungkin tidaknya untuk di menerima pendekatan tafsir. Sebuah tesis yang di
kemukakan Ibnu Abbas menyimpulkan empat bagian. Pertama, isi al Qura'n yang di
ketahui secara umum oleh siapapun. Kedua, bagian Al Quran yang bisa di ketahui
dengan pendekatan bahasa arab. Ketiga, pemahaman yang hanya di kuasai dan di
ketahui terbatas oleh ilmuwan mumpuni. Keempat, teks wahyu mutasyabih di mana
hanya Alloh semata yang mengetahui.22
Oleh sebab itu, mustahil meliputi makna yang di kandung Al Quran oleh manusia
sekalipun seorang Nabi. Kebenaran hakiki dari pentafsirannya hanya akan bisa di
ketahui di hari pembalasan kelak. Lepas dari itu semua, harus ada kesungguhan terus-
menerus dalam upaya menggali pemahaman Al Quran yang selaras dengan semangat
dan ajaran kebenaran agama. Bukan hanya sebagai dorongan ilmiah atau pendidikan
formal semata, namun lebih kepada tanggung jawab penganut agama pada
kelangsungan agamanya, bahkan tanggung jawab pada Tuhannya.Alloh A'lam.

20
. Dr Ir Muhammad Syahrur, Al Kitab Wa Al Quran Qiro'ah Mua'shiroh Op Cit
21
.Lebih lanjut lih : Dr Muhammad Arkoun, Al Quran Min Al Tafsir Al Maurust Ila Tahlil Al Khithob
Al Dini.Op Cit hal :17
22
. Adonis, Al Tsabit Wa Al Mutahawil Juz :2 Cet ke : 8 thn 2002 Al Saqi, Hal : 139

You might also like