Professional Documents
Culture Documents
APPENDECITIS ACUTE
Disusun oleh:
Dr. dr. Koernia Swa Oetomo, SpB.(K)Trauma. FINACS.,FICS
ILMU BEDAH
SMF BEDAH RSU HAJI SURABAYA
2015
KATA PENGANTAR
Penyusun memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis menyelesaikan Makalah yang berjudul
Appendecitis.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................................. i
Daftar Isi........................................................................................................... ii
Daftar Tabel ..................................................................................................... iii
Daftar Gambar .................................................................................................. iv
BAB 1
Pendahuluan .................................................................................... 1
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Bakteri yang sering ditemukan pada appendesitis perforata ................ 8
Tabel 2.2 Hubungan antara perubahan patologis dan manifestasi klinis .............. 9
Tabel 2.3 Frekuensi timbulnya gejala appendesitis .............................................. 12
Tabel 2.4 Modalitas pencitraan dalam diagnosis appendecitis akut ..................... 15
Tabel 2.5 Alvarado Acale ..................................................................................... 17
Tabel 2.6 The Ohmann Score ............................................................................... 18
Tabel 2.7 Kriteria Ohmann Score ......................................................................... 18
Tabel 2.8 Kriteria Lintula Score............................................................................ 19
Tabel 2.9 Kriteria RIPASA Score ........................................................................ 19
Tabel 2.10 Guideline RIPASA Score.................................................................... 20
iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Berbagai posisi Appendiks .................................................................. 3
Gambar 2.2 Vaskularisasi Appendiks ..................................................................... 4
Gambar 2.3 Berbagai macam posisi appendiks sesuai dengan manifestasi...........12
Gambar 2.4 CT Scan..............................................................................................15
Gambar 2.5 Hasil USG..........................................................................................16
Gambar 2.6 Appendiktomi....................................................................................27
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Apendiksitis adalah penyebab utama akut abdomen yang tercatat lebih
dari 40.000 pasien dirawat di rumah sakit di inggris setiap tahunnya.
Appendiksitis sebagian besar terjadi usia 10 dan 20 tahun, tapi tidak menutup
kemungkinan usia lain. Laki-laki memiliki angka predisposisi lebih besar
daripada wanita yaitu 1,4 : tahun. 4
Apendiksitis adalah kegawat daruratan dalam bidang bedah yang
umum. Pada appendicitis akut tidak mungkin diagnose ditegakan dengan gold
standart (histopatologi) sebelum operasi, kita dapat menggunakan tes
sederhana seperti Alvarado skor dimana ada ataupun tidak adanya gejala pada
penderita pada variable akan menentukan kondisi pasien. Diagnose yang tepat
dan kecepatan intervensi dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas
tahun. 4
Apendicitis
adalah
peradangan
yang
terjadi
pada
appendix
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Retrocaecal
2.
3.
Pelvic atau descending (jika tergantung pada tepi pelvis, dekat dengan
tuba uterina dan ovarium kanan pada wanita). Itu merupakan posisi
paling umum yang sering terdapat pada praktek kilinik. Posisi lainnya
jarang ditemukan terutama jika ada appendiks mesenter panjang yang
dapat meyebabkan mobilitas appendiks yang lebih tinggi.
4.
5.
Promontorik
6.
7.
Tiga taenia coli pada colon ascendens dan caecum bersatu pada basis
appendiks, dan bergabung menuju otot longitudinalnya. Taenia caecal anterior
biasanya terpisah dan bisa ditelusuri munuju appendiks, yang dapat dipakai
sebagai panduan untuk mencari lokasi appendiks pada praktek kilinis. Ukuran
appendiks bervariasi panjangnya, dari 2 cm sampai 20cm; sering ditemukan relatif
lebih panjang pada anak-anak dan mungkin mengalami atrofi dan memendek
seiring bertambahnya usia.8
Lumen appendiks sempit dan membuka ke caecum melalui orifisium yang
terletak dibawah dan sedikit posterior terhadap orifisium ileocaecal. Orifisium
tersebut kadang dijaga oleh lipatan mukosa semilunaris yang membentuk katup.
Lumen mungkin akan paten pada awal kehidupan anak-anak dan sering hilang
pada dekade akhir kehidupan.8
Vaskularisasi appendiks.
Arteri utama appendiks, cabang dari divisi bawah arteri ileocolic, berjalan
dibelakang ileum terminal dan memasuki mesoappendiks dengan jarak yang dekat
dari basis appendiks dan beranastomosis dengan cabang dari arteri caecal
posterior.8
Vena Appendiks
Darah dari arteri Appendiks dialirkan melewati satu atau lebih vena-vena
appendikular menuju ke vena ileokolik atau saekum posterior. Kemudian dari
vena-vena ini menuju ke vena mesenterika superior.8
Limfatik.
Pembuluh limfe appendiks sangat banyak: terdapat banyak jaringan limfoid di
dinding nya. Dari keseluruhan bagian appendiks terdapat 8-15 pembuluh limfe
4
Persarafan Appendiks
Persarafan parasimpatis appendiks berasal dari cabang n.vagus yang
mengikuti a.mesenterikasuperior dan a.apendikularis. Persarafan simpatis nya
berasal dari n.torakalis X. 6
Fisiologi Appendiks
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml/hari. Lendir ini secara normal
dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara tampaknya berperan dalam patogenesis appendisitis. 6
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated
Limphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna, termasuk appendiks,
ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.
Namun demikian, pengangkatan appendiks tiadk mempengaruhi sistem imun
tubuh, karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali, jika dibandingkan
dengan jumlah nya di saluran cerna dan di seluruh tubuh. 6
2.2
Appendisitis akut
2.2.1 Definisi
Appendisitis adalah peradangan bakterial appendiks vermiformis.
Appendisitis akut adalah appendisitis dengan onset akut yang memerlukan
intervensi bedah dan biasanya ditandai dengan nyeri di abdomen kuadaran
kanan bawah dengan nyeri tekan lokal dan nyeri alih, spasme otot yang ada
diatasnya, dan hiperestesia kulit. 3
2.2.2 Epidemiologi
Insidens appendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara
5
apendisitis
adalah
erosi
mukosa
apendiks
karena
parasit
E.histolytica.6
2.2.4
Bakteriologi
2.2.5
Patologi
Patologi appendisitis dapat dimulai di mukosa dan kemudian melibatkan
seluruh lapisan dinding appendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Upaya
pertahanan tubuh berusaha membatasi proses radang ini dengan menutup
appendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa
periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat appendiks
atau periapendikular infiltrat. Di dalamnya, dapat terjadi nekrosis jaringan
berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses,
8
appendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.6
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi
membentuk jaringan parut yang melengket dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah.
Suatu saat, organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami
eksaserbasi akut atau disebut sebagai acute in chronic appendicitis.6
inflmasi,
sering
Manifestasi Klinis
karena Nyeri abdomen tengah yang akut dan
Inflamasi mencapai serosa (peritonitis Gejala Klasik : Nyeri tekan, nyeri lepas,
visceral)
Penyebaran
sekitar
peritonitis
(tergantung
ke
dari
appendiks)
Perforasi
Usaha oleh omentum dan struktur Pembentukan massa apenndiks atau
terdekat dari appendiks untuk menutupi yg
perforasi
salah
dikenal
dengan
infiltrat
appendiks
2.2.6
Gambaran Klinis
Appendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
appendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.6 Pada anak yang lebih besar
bisa terdapat riwayat baru saja terserang penyakit bakterial maupun viral, yang dapat
meyebabkan pembesaran folikel appendiks dan obstruksi.9
Pada beberapa keadaan, appendisitis agak sulit didiagnosis sehingga
tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya, pada orang
berusia lanjut, gejalanya sering samar-samar saja sehingga lebih dari separuh
penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi.6 Gejala pada orang tua
biasanya berupa malaise, nyeri yang tidak khas, konstipasi, atau bahkan perubahan
status mental.9
Pada kehamilan, keluhan utama appendisitis adalah nyeri perut, mual,
dan muntah. Hal ini perlu dicermati karena pada kehamilan trimester pertama
sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan
appendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di perut
kanan bawah tetapi lebih di regio lumbal kanan.6
Pada penelitian nya Treaves menganggap saekum adalah pusat dari jam
dan appendiks merupakan jarum dari jam. Oleh karena itu, posisi appendiks dapat
dideskripsi kan sebagai:2
Posisi jam 11 atau para colic/ para caecal. Appendiks mengarah ke atas
dan terletak menempel di sebelah kanan sekum. Pada posisi ini, appendiks
juga terletak di depan daripada ginjal kanan. Pada appendiks yang
panjang, dapat mengiritasi ureter, mengakibatkan leukosit terdeteksi pada
urinalisis/ menyerupai gejala daripada pielonefritis.
Jam 6 atau mid inguinal. Appendiks mengarah ke titik tengah dari ligamen
inguinal. Nama lain dari posisi ini adalah posisi sub saekum.
11
2.2.7
Pemeriksaan
Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37,5 - 38,5C. Bila suhu
lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu
aksilar dan rektal sampai 1C. Pada inspeksi perut, tidak ditemukan gambaran
spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi
perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses
periapendikuler.6
Pada palpasi, didapatkan nyeri tekan yang terbatas pada regio iliaka
kanan, bisa disertai nyeri lepas (Rebound Phenomena). Defans muskuler
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan
bawah yang terutama terletak pada titik McBurney merupakan kunci diagnosis.
Appendiks normal sifatnya mobile, sehingga lokasi inflamasi bisa saja terdapat di
berbagai tempat pada area lingkaran 360 dari sekitar basis dari sekum. Pada
penekanan perut kiri bawah, akan dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang
disebut tanda Rovsing. Pada appendisitis retrosekal atau retroileal, diperlukan
palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri.6,4
Peristalsis usus sering normal tetapi juga dapat menghilang akibat adanya
ileus paralitik pada peritonitis generalisata yang disebabkan oleh appendisitis
perforata.6
Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi dapat
dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada appendisitis pelvika.6
Pada appendisitis pelvika, tanda perut sering meragukan, maka kunci
diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Pemeriksaan uji
psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk
mengetahui
letak
appendiks. Uji
psoas
dilakukan
dengan
rangsangan
peritoneum lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi
panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang
menempel di otot psoas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji
obturator digunakan untuk melihat bilamana appendiks yang meradang
bersentuhan dengan otot obturator internus yang merupakan dinding panggul
kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang akan
menimbulkan nyeri pada appendisitis pelvika.6
13
Jika appendiks perforasi, nyeri perut akan sangat terasa intens dan
menyeluruh, peningkatan spasme daripada otot-otot abdomen (defans muskuler),
detak jantung akan meningkat dengan elevasi dari temperatur lebih dari 39C.
Pasien tampak sangat sakit dan membutuhkan resusitasi cairan dan antibiotik
sebelum dilakukan operasi.4
2.2.8 Laboratorium
Pemeriksaan
jumlah
leukosit
membantu
menegakkan
diagnosis
2.2.9
Radiologi
Foto polos abdomen jarang berguna untuk mendiagnosa appendisitis akut.
akut antara lain ukuran appendiks 7 mm atau lebih pada diameter anteroposterior,
dinding yang tebal, struktur lumen yang tidak tertekan dapat dilihat pada cross
section yang dikenal sebagai target lesion, atau tampaknya appendicolith.4
CT scan sering dipakai untuk mengevaluasi pasien dewasa dengan dugaan
appendisitis akut. CT scan memiliki sensitivitas sekitar 90% dan spesifitas 80%90% dalam mendiagnosa appendisitis akut pada pasien dengan nyeri abdomen
akut.4 Dari penelitian yang Willms dkk tahun 2011 disimpulkan bahwa selain
anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lab, pemeriksaan radiologi
(terutama CT Scan) dibutuhkan untuk pasien dengan suspected appendicitis.
Gambar 2.4 4
A. CT Scan abdomen/pelvis pada pasien dengan appendisitis akut
menunjukkan adanya appendikolit (garis panah putih)
B. CT Scan menunjukkan adanya appendiks yang terdistensi (panah putih)
dengan penebalan daripada dinding serta cairan periapendikular. (segitiga
15
Normal
Appendiks:
potongan
coronal
(kiri
atas),
potongan
2.2.10 Diagnosis
Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis
klinis appendisitis akut masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus.
Kesalahan diagnosis lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan dengan
lelaki. Hal ini dapat disadari mengingat pada perempuan, terutama yang masih
muda, sering timbul gangguan yang menyerupai appendisitis akut. Keluhan itu
berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis, atau
penyakit ginekologik lain.6
Appendisitis perlu dipikirkan sebagai diagnosa banding pada setiap
pasien dengan nyeri abdomen akut. Diagnosis awal merupakan tujuan klinis
16
paling penting pada pasien dengan dugaan appendisitis dan pada kebanyakan
kasus bisa ditegakkan melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik. Gejala awal
biasanya dimulai dengan nyeri periumbilikal (karena aktivasi neuron aferen
viseral) dan kemudian dilanjutkan oleh anorexia dan nausea.4
Nyeri kemudian terlokalisir pada kuadran kanan bawah karena proses
inflamasi yang progresif dan melibatkan peritoneum parietal diatas appendiks.
Muntah bisa didapatkan. Demam menyertai, diikuti oleh perkembangan
leukositosis. Gejala klinis bisa bervariasi. Contohnya, tidak semua pasien
menjadi anoreksia.4 Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis appendisitis
akut, bila diagnosis meragukan, sebaiknya penderita diobservasi di rumah sakit
dengan frekuensi setiap 1-2 jam.6
Foto barium kurang dapat dipercaya. Ultrasonografi dapat meningkatkan
akurasi diagnosis. Demikian pula laparoskopi pada kasus yang meragukan.6
Untuk meminimalkan kesalahan diagnosa appendisitis, terdapat suatu
sistem scoring yang dinamakan Alvarado Score. Pasien dengan skor 9 atau 10
hampir pasti menderita appendisitis, pasien dengan skor 7 atau 8 memiliki
kemungkinan besar menderita appendisitis, skor 5 atau 6 memiliki gejala yang
mirip dengan appendisitis, tetapi bukan didiagnosa appendisitis. 1
18
19
biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut
lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi
urin. Pada colok vagina, akan timbul nyeri hebat di panggul jika uterus
diayunkan. Pada gadis dapat dilakukan colok dubur jika perlu untuk diagnosis
banding.
6) Kehamilan Di Luar Kandungan.
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak merientu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan
perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan
mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan vagina, didapatkan nyeri
dan penonjolan rongga Douglas dan pada kuldosentesis didapatkan darah.
7) Kista Ovarium Terpuntir.
Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa
dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vagina, atau colok rektal.
Tidak terdapat demam. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menentukan
diagnosis
8) Endometriosis Externa
Endometrium di luar rahim akan menimbulkan nyeri di tempat
endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena
tidak ada jalan ke luar.
9) Urolitiasis Pielum/Ureter Kanan
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut yang menjalar ke inguinal
kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan. Foto
polos perut atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut.
Pielonefritis sering disertai dengan demam tinggi, menggigil, nyeri
kostovertebral di sebelah kanan, dan piuria.
10) Penyakit Saluran Cerna Lainnya.
Penyakit lain yang perlu dipikirkan adalah peradangan di perut,
seperti divertikulitis Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung,
kolesistitis akut, pankreatitis, divertikulitis kolon, obstruksi usus awal,
perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid, dan mukokel
appendiks.
21
2.2.12 Komplikasi
Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah mengalami
pendindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan appendiks,
sekum, dan lekuk usus halus. 6
1) Massa Periapendikular
Massa
appendiks
terjadi
bila
appendisitis
gangrenosa
atau
2) Appendisitis Perforata
Adanya fekalit di dalam lumen, umur (orang tua atau anak kecil), dan
keterlambatan diagnosis, merupakan faktor yang berperanan dalam terjadinya
perforasi appendiks. Insidens perforasi pada penderita di atas usia 60 tahun
dilaporkan sekitar 60%.6
Faktor yang memengaruhi tingginya insidens perforasi pada orang tua
adalah gejalanya yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi
appendiks berupa penyempitan lumen, dan arteriosklerosis. Insidens tinggi pada
anak disebabkan oleh dinding appendiks yang masih tipis, anak kurang
komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis, dan proses pendindingan
kurang sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepaL dan omentum anak
belum berkembang.6
Perforasi appendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang
22
ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat, nyeri tekan dan defans
muskular, peristalsis usus dapat menurun sampai menghilang akibat adanya ileus
paralitik. Abses rongga peritoneum dapat terjadi bila pus yang menyebar
terlokalisasi di suatu tempat, paling sering di rongga pelvis dan
subdiafragma. Adanya massa intraabdomen yang nyeri disertai demam harus
dicurigai sebagai abses. Ultrasonografi dapat membantu mendeteksi adanya
kantong nanah.6
3) Appendisitis Kronik Eksaserbasi Akut
Diagnosis appendisitis kronik eksaserbasi akut baru dapat dipikirkan jika
ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong
dilakukannya apendektomi, dan hasil patologi menunjukan peradangan akut.
Kelainan ini terjadi bila serangan appendisitis akut pertama kali sembuh
spontan. Namun, appendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena
terjadi fibrosis dan jaringan parut. Risiko terjadinya serangan berulang adalah
sekitar 50%. Insidens appendisitis kronik eksaserbasi akut adalah 10% dari
spesimen apendektomi yang diperiksa secara patologik. Pada appendisitis
kronik eksaserbasi akut, biasanya dilakukan apendektomi karena penderita
datang dalam serangan akut.6
4) Appendisitis Kronik
Diagnosis appendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika semua syarat
berikut terpenuhi : riwayat nyeri perut kanan bawah yang lebih dari dua
mingau, terbukti terjadi radang kronik appendiks baik secara makroskopik maupun
mikroskopik, dan keluhan menghilang pasca apendektomi.6
Kriteria mikroskopik appendisitis kronik meliputi adanya fibrosis
menyeluruh pada dinding appendiks, sumbatan parsial atau total pada lumen
appendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel
inflamasi kronik. Insidens appendisitis kronik adalah sekitar 1-5%.6
2.2.13 Penatalaksanaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan
satu-satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Pada appendisitis tanpa
komplikasi,
biasanya
tidak
perlu
diberikan
antibiotik,
kecuali
pada
23
1) Desinfeksi
Lapangan pembedahan didesinfeksi dengan bahan Iodin Povidon 10% atau
Alkohol 70%.
4) Melakukan appendektomi
Sekum dicari dan dikeluarkan (luxir). Untuk itu kita harus mengetahui
tanda-tanda sekum yaitu :
25
26
27
o Muskulus
obligus
abdominis
internus
dan
muskulus
f) Fistel usus.
g) Abses di dalam rongga peritoneum.
3) Penyulit pasca bedah lanjut :
a) Streng ileus oleh karena adanya band.
b) Hernia sikatrikalis.
Perawatan Paska Bedah :10
o Pada hari operasi penderita diberi infus menurut kebutuhan sehari
(maintenance) kurang lebih 2 sampai 3 liter cairan Ringer lactat dan
Dextrosa.
o Mobilisasi secepatnya setelah penderita sadar dengan menggerakkan
kaki (flexi dan extensi), miring ke kiri dan ke kanan bergantian dan duduk.
Penderita boleh jalan pada hari pertama pasca bedah.
o Pemberian makanan peroral dimulai dengan memberi minum
sedikit-sedikit (50 cc) tiap jam apabila sudah ada aktivitas usus yaitu
adanya flatus, dan bising usus. Bilamana dengan pemberian minum bebas
penderita tidak kembung maka pemberian makanan peroral dimulai.
Lazimnya pada hari pertama atau hari kedua pasca bedah penderita boleh
diberi makan.
Tatalaksana PAI
Pasien dewasa dengan massa periapendikuler yang terpancang dengan
pendindingan yang sempurna sebaiknya dirawat terlebih dahulu dan diberi
antibiotik
dilakukan pemantauan terhadap suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis.
Bila sudah tidak ada demam, massa periappendikuler hilang, dan leukosit normal
penderita boleh pulang dan appendektomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan
kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin.
Pada anak kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika konservatif tidak
membaik/ berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya.6
29
appendicitis
perforasi
secara laparoskopi
apendektomi.
Pada prosedur ini, rongga abdomen dapat dibilas dengan mudah . hasilnya
dilaporkan tidak berbeda jauh dibandingkan dengan laparotomi terbuka, tetapi
keuntungannya adalah lama rawat lebih pendek dan secara kosmetik lebih baik.6
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Brunicardi CF, et al. 2010. The Appendix, dalam : Schwartzs Manual of
Surgery. Ninth Edition. New York : McGrawHill. Hlm. 2043-2071.
2. Harrison S, Harrison B. 2012. Diagnostic Challenges in Acute Appendicitis,
Appendicitis. Retrieved November 1, 2013, from: A Collection of Essays
from
Around
the
World,
Dr.
Anthony
Lander
(Ed.).
http://www.intechopen.com/books/appendicitis-a-collection-of-essays-fromaround-theworld/ diagnostic-challenges-in-acute-appendicitis
3. Henry, Michael M, et al. 2005. The Epidemiology Of Appendicitis And
Appendectomy
In
The
United
States
diakses
12
oktober
2014
http://aje.oxfordjournals.org/content/132/5/910
4. Hortic, matiza. 2005. Analysis of Scores in Diagnosis of Acute Appendicitis
in Women. Coll. Antropol. 29 (2005) 1: 133138
5. Koesoemawati H, dkk. 2010. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 31. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hlm. 143.
6. Maa J, Kirkwood KS. 2012. The Appendix, dalam : Sabiston Textbook of
Surgery. 19th edition. New York : Elsevier. Hlm. 1279-1293.
7. Memisoglu et al. 2010. The value of preoperative diagnostic tests in acute
appendicitis, retrospective analysis of 196 patients. Retrieved November 1,
2013,
from
World
Journal
of
Emergency
Surgery.
http://www.wjes.org/content/5/1/5
8. Sjamsuhidajat R, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hlm. 755-762.
9. Snell, Richard S. 2008. The Abdomen: Part 2 Abdominal Cavity, dalam :
Clinical Anatomy by Regions. Eight edition. New York : Lippincott Williams
& Wilkins Inc. Hlm. 232
31
32