You are on page 1of 8

4.

Bentuk-bentuk eksepsi sendiri meliputi berbagai jenis yang dikenal dalam perundangundangan ataupun dalam praktek pengadilan diantaranya adalah

Eksepsi Kewenangan Mengadili (exception of incompetency) adalah pengadilan yang


dilimpahi perkara tidak berwenang mengadili. Kewenangan mengadili sendiri terdapat dua
jenis yaitu tidak berwenang secara absolut yang didasarkan pada faktor perbedaan
lingkungan peradilan berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman dan juga tidak berwenang
secara relatif yang didasarkan pada faktor daerah atau wilayah hukum dari suatu
pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama.
Eksepsi Kewenangan Menuntut Gugur dalam ini terjadi karena tindak pidana yang
didakwakan telah pernah diputus dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau dalam
bahasa latinnya ne bis in idem atau terjadi karena penuntutan yang diajukan telah
melampau tenggang waktu atau daluarsa (soal daluarsa dalam KUHP diatur dalam Pasal 78
82) atau terjadi karena terdakwa telah meninggal dunia
Eksepsi Dakwaan Tidak Dapat Diterima, hal ini diajukan bila tata cara pemeriksaan
yang dilakukan tidak memenuhi syarat formal diantaranya seperti:
Apabila tidak memenuhi ketentuan Miranda Rule (dalam versi Indonesia) yang ditentukan
dalam Pasal 56 ayat (1) yaitu tersangka atau terdakwa harus didampingi oleh penasihat
hukum apabila tindak pidana yang didakwakan ancaman pidananya pidana mati atau
pidana > 15 tahun dan bagi yang tidak mampu diancam tindak pidana > 5 tahun. Dalam hal
tersangka/terdakwa tidak memiliki penasihat hukum maka pejabat yang berwenang harus
menunjuk penasihat hukum untuk mereka. Apabila ketentuan ini tidak dipenuhi maka
akibatnya dakwaan tidak dapat diterima (putusan MA No 1565 K/Pid/1991, 16 September
1991).
Apabila tindak pidana merupakan delik aduan akan tetapi dakwaan terhadap terdakwa
dilakukan tanpa ada pengaduan dari korban atau tenggang waktu pengaduan tidak
dipenuhi (lihat ketentuan pasal 72 75 KUHP). Apabila ketentuan ini tidak dipenuhi maka
akibatnya dakwaan tidak dapat diterima
Apabila tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa sedang dalam pemeriksaan di
pengadilan negeri lain
Apabila orang yang diajukan sebagai terdakwa keliru (salah orang) dalam artian yang
seharusnya diajukan adalah orang lain (dalam hal ini pelaku tindak pidana yang
sebenarnya)
Apabila tindak pidana yang didakwakan mengandung sengketa perdata sehingga apa yang
didakwakan sesungguhnya termasuk sengketa perdata yang harus diselesaikan secara
perdata
Apabila bentuk dakwaan yang diajukan tidak tepat dalam hal ini berarti Jaksa Penuntut
Umum keliru dalam merumuskan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.

Eksepsi Dakwaan Batal Demi Hukum, dalam hal ini dakwaan tidak memunhi syarat
yang diminta dalam Pasal 142 ayat (2) KUHAP sehingga dianggap kabur, membingungkan,
sekaligus menyesatkan yang berakibat sulit bagi terdakwa untuk melakukan pembelaan
diri. Ada beberapa sebab yang menyebabkan dakwaan batal demi hukum diantaranya
adalah
Apabila dakwaan tidak memuat tanggal dan tanda tangan dimana berdasarkan Pasal 143
ayat (2) KUHAP meminta Jaksa Penuntut Umum untuk membuat surat dakwaan yang
diberi tanggal dan tanda tangan
Apabila dakwaan tidak memuat secara lengkap identitas terdakwa yang terdiri dari nama
lengkap, tempat lahir, tanggal lahir atau umur, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal,
agama, dan pekerjaan (vide Pasal 143 ayat (2) KUHAP)
Apabila dakwaan tidak menyebut tempat dan waktu kejadian dimana tindak pidana
tersebut terjadi (vide Pasal 143 ayat (2) huruf (b) KUHAP)
Apabila dakwaan tidak disusun secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai uraian tindak
pidana yang didakwakan dalam artian semua unsur delik dirumuskan dalam pasal pidana
yang didakwakan harus cermat disebut satu persatu serta menyebut dengan cermat,
lengkap, dan jelas mengenai cara tindak pidana dilakukan secara utuh

2.
Perbedaan
Dasar Hukum
Judul

Isi

Surat Kuasa Umum


Pasal 1796 KUHPer
Mencantumkan kata-kata

Surat Kuasa Khusus


Pasal 1975 KUHPer
Mencantumkan kata-kata Surat

Surat Kuasa Umum


Meliputi 1 kepentingan atau lebih dari

Kuasa Khusus
Meiputi
pengurusan

pemberi

kepentingan pemberian kuasa

mengenai

kuasa
hal-hal

yang

diperinci

yang

segala

boleh

dilakukan oleh penerima kuasa

3. Pada awalnya (sebelum tahun 1919), pengadilan di Negeri Belanda menafsirkan


PMH dalam arti sempit sebagai hanya pelanggaran dari ketentuan-ketentuan hukum
yang berlaku (menyalahi hukum semata), akan tetapi sejak tahun 1919 PMH mu;ai
ditafsirkan dalam arti luas yang juga mencakup perbuatan-perbuatan:
a.perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain (inbreuk op eens anders
recht) termasuk:
-hak-hak pribadi (personlijkheidsrechten);
-hak-hak kekayaan (vermorgensrecht);

-hak atas kebebasan; dan


-hak atas kehormatan dan nama baik.
b.perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum (recht splicht) dari si
pelaku sendiri;
c.perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan,
merupakan tindakan-tindakan yang melanggar kesusilaan yang merupakan hukum
tidak tertulis juga dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, hal tersebut
sebagaimana putusan perkara Lindenbaum vs Cohen di negeri Belanda di tahun
1919 yang merupakan perkara landmark pada saat itu dan juga dimulainya
perkembangan dari paham perbuatan melawan hukum dalam arti luas, dimana
dalam putusannya Hoge Raad (Mahkamah Agung di Belanda) menganggap tindakan
perusahaan Cohen yang bergerak dibidang yang sama dengan perusahaan
Lindenbaum (percetakan) berusaha membujuk dan memberikan hadiah bagi para
karyawan dari Lindenbaum agar mau membuka rahasia dan perjanjian-perjanjian
dari para pelanggan Lindenbaum, termasuk merupakan perbuatan melawan hukum.
d.perbuatan yang bertentangan dengan prinsip kehati-hatian atau keharusan dalam
pergaulan hidup bermasyarakat yang baik,
merupakan tindakan seseorang baik berbuat maupun tidak berbuat sesuatu yang
tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku namun bertentangan dengan
prinsip-prinsip kehati-hatian atau keharusan berprilaku dalam tatanan pergaulan
bermasyarakat yang baik (hidup/berlaku dalam kehidupan masyarakat dimaksud);
Dari perkembangan PMH ditahun 1919 terus berkembang, dimana pada tahun 1937
dinyatakan pula oleh pengadilan di Negeri Belanda bahwa perbuatan
penyalahgunaan hak (misbruik van recht) yang mememenuhi unsur-unsur PMH
sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata (seperti adanya kerugian bagi
orang lain) juga merupakan perbuatan melawan hukum, sebagaimana dalam
perkara landmark kasus "cerobong asap" di Negeri Belanda. Hoge Raad
menyatakan bahwa pelaku pembuat cerobong di dalam pekarangannya dengan
maksud untuk menghalang-halangi pemandangan dari tetangga terdekatnya dan
cerobong dimaksud tidak memiliki manfaat bagi pembuatnya, merupakan
penyalahgunaan hak yang memenuhi unsur dalam PMH, sehingga patut untuk
dihukum dengan merobohkan bangunan cerobong asap dimaksud.

You might also like