You are on page 1of 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut WHO (1980), diare adalah buang air besar encer atau cair lebih dari tiga kali
sehari. Dimana pada dunia ke-3, diare adalah penyebab kematian paling umum kematian
balita, membunuh lebih dari 1,5 Juta orang pertahun. Diare kondisinya dapat merupakan
gejala dari luka, penyakit, alergi (Fructose, Lactose), penyakit dan makana atau kelebihan
Vitamin C dan biasanya disertai sakit perut dan seringkali enek dan muntah. Dimana menurut
WHO (1980) diare terbagi dua berdasarkan mula dan lamanya, yaitu diare akut dan diare
kronik.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi diare?
2. Apa gejala diare?
3. Bagaimana tindakan pencegahan diare?
4. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan diare?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian diare
2. Untuk mengetahui gejala-gejala diare
3. Untuk mengetahui tindakan pencegahan diare
4. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan diare

BAB II
PEMBAHASAN

D I AR E
2.1. Pengertian Diare
Menurut WHO (1999) secara klinis diare didefinisikan sebagai bertambahnya
defekasi (buang air besar) lebih dari biasanya/lebih dari tiga kali sehari, disertai dengan
perubahan konsisten tinja (menjadi cair) dengan atau tanpa darah. Secara klinik
dibedakan tiga macam sindroma diare yaitu diare cair akut, disentri, dan diare persisten.
Sedangkan menurut menurut Depkes RI (2005), diare adalah suatu penyakit dengan
tanda-tanda adanya perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, yang melembek sampai
mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar biasanya tiga kali atau lebih dalam
sehari .
Diare akut diberi batasan sebagai meningkatnya kekerapan, bertambah cairan, atau
bertambah banyaknya tinja yang dikeluarkan, akan tetapi hal itu sangat relatif terhadap
kebiasaan yang ada pada penderita dan berlangsung tidak lebih dari satu minggu. Apabila
diare berlangsung antara satu sampai dua minggu maka dikatakan diare yang
berkepanjangan (Soegijanto, 2002).
Beberapa perilaku yang dapat meningkatkan risiko terjadinya diare pada balita, yaitu (
Depkes RI, 2007):
1. Tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pertama pada kehidupan. Pada balita
yang tidak diberi ASI resiko menderita diare lebih besar daripada balita yang diberi
ASI penuh, dan kemungkinan menderita dehidrasi berat lebih besar
2. Menggunakan botol susu, penggunaan botol ini memudahkan pencemaran oleh
kuman karena botol susah dibersihkan. Penggunaan botol yang tidak bersih atau
sudah dipakai selama berjam-jam dibiarkan dilingkungan yang panas, sering
menyebabkan infeksi usus yang parah karena botol dapat tercemar oleh kumankuman/bakteri penyebab diare. Sehingga balita yang menggunakan botol tersebut
beresiko terinfeksi diare
3. Menyimpan makanan masak pada suhu kamar, bila makanan disimpan beberapa jam
pada suhu kamar, makanan akan tercermar dan kuman akan berkembang biak.
4. Menggunakan air minum yang tercemar.
5. Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar dan sesudah membuang tinja anak atau
sebelum makan dan menyuapi anak

6. Tidak membuang tinja dengan benar, seringnya beranggapan bahwa tinja tidak
berbahaya, padahal sesungguhnya mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar.
Selain itu tinja binatang juga dapat menyebabkan infeksi pada manusia
Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam golongan enam besar, tetapi
yang sering ditemukan di lapangan adalah diare yang disebabkan infeksi dan keracunan.
Penyebab diare secara lengkap adalah sebagai berikut: (1) infeksi yang dapat disebabkan:
a) bakteri, misal: Shigella, Salmonela, E. Coli, golongan vibrio, bacillus cereus,
Clostridium perfringens, Staphyiccoccus aureus, Campylobacter dan aeromonas; b) virus
misal: Rotavirus, Norwalk dan norwalk like agen dan adenovirus; c) parasit, misal: cacing
perut, Ascaris, Trichiuris, Strongyloides, Blastsistis huminis, protozoa, Entamoeba
histolitica, Giardia labila, Belantudium coli dan Crypto; (2) alergi, (3) malabsorbsi, (4)
keracunan yang dapat disebabkan; a) keracunan bahan kimiawi dan b) keracunan oleh
bahan yang dikandung dan diproduksi: jasat renik, ikan, buah-buahan dan sayur-sayuran,
(5) Imunodefisiensi dan (6) sebab-sebab lain (Widaya, 2004).
Departemen Kesehatan RI (2000), mengklasifikasikan jenis diare menjadi empat
kelompok yaitu:
1) Diare akut: yaitu diare yang berlangsung kurang dari empat belas hari (umumnya
kurang dari tujuh hari),
2) Disentri; yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya,
3) Diare persisten; yaitu diare yang berlangsung lebih dari empat belas hari secara terus
menerus,
4) Diare dengan masalah lain; anak yang menderita diare (diare akut dan persisten)
mungkin juga disertai penyakit lain seperti demam, gangguan gizi atau penyakit lainnya.
Diare akut dapat mengakibatkan: (1) kehilangan air dan elektrolit serta gangguan
asam basa yang menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolik dan hipokalemia, (2)
Gangguan sirkulasi darah, dapat berupa renjatan hipovolemik sebagai akibat diare dengan
atau tanpa disertai muntah, (3) Gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan
berlebihan karena diare dan muntah (Soegijanto, 2002)
Diare mengakibatkan terjadinya:
a. Kehilangan air dan elektrolit serta gangguan asam basa yang menyebabkan dehidrasi,
dan asidosis metabolik.
b. Gangguan sirkulasi darah dapat berupa renjatan hipovolemik atau prarenjatan sebagai
akibat diare dengan atau tanpa disertai dengan muntah, perpusi jaringan berkurang

sehingga hipoksia dan asidosismetabolik bertambah berat, kesadaran menurun dan bila
tak cepat diobati penderita dapat meninggal.
Gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan karena diare dan
muntah, kadang-kadang orang tuanya menghentikan pemberian makanan karena takut
bertambahnya muntah dan diare pada anak atau bila makanan tetap diberikan dalam
bentuk diencerkan. Hipoglikemia akan lebih sering terjadi pada anak yang sebelumnya
telah menderita malnutrisi atau bayi dengan gagal bertambah berat badan. Sebagai akibat
hipoglikemia dapat terjadi edema otak yang dapat mengakibatkan kejang dan koma
(Suharyono, 2008)
4.2. Gejala Diare
Diare dapat menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektrolit,
terutama natrium dan kalium dan sering disertai dengan asidosis metabolik. Dehidrasi
dapat diklasifikasikan berdasarkan defisit air dan atau keseimbangan serum elektrolit.
Setiap kehilangan berat badan yang melampaui 1% dalam sehari merupakan
hilangnya air dari tubuh. Kehidupan bayi jarang dapat dipertahankan apabila defisit
melampaui 15% (Soegijanto, 2002).
Gejala diare atau mencret adalah tinja yang encer dengan frekuensi empat kali
atau lebih dalam sehari, yang kadang disertai: muntah, badan lesu atau lemah, panas,
tidak nafsu makan, darah dan lendir dalam kotoran, rasa mual dan muntah-muntah
dapat mendahului diare yang disebabkan oleh infeksi virus. Infeksi bisa secara tibatiba menyebabkan diare, muntah, tinja berdarah, demam, penurunan nafsu makan
atau kelesuan. Selain itu, dapat pula mengalami sakit perut dan kejang perut, serta
gejala- gejala lain seperti flu misalnya agak demam, nyeri otot atau kejang, dan sakit
kepala. Gangguan bakteri dan parasit kadangkadang menyebabkan tinja mengandung
darah atau demam tinggi (Amiruddin, 2007).
Menurut Ngastisyah (2005) gejala diare yang sering ditemukan mula-mula
pasien cengeng, gelisah, suhu tubuh meningkat, nafsu makan berkurang, tinja
mungkin disertai lendir atau darah, gejala muntah dapat timbul sebelum dan sesudah
diare. Bila penderita benyak kehilangan cairan dan elektrolit, gejala dehidrasi mulai
nampak, yaitu berat badan menurun, turgor berkurang, mata dan ubun-ubun besar
menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering.
Dehidrasi merupakan gejala yang segera terjadi akibat pengeluaran cairan tinja
yang berulang-ulang. Dehidrasi terjadi akibat kehilangan air dan elektrolit yang

melebihi pemasukannya (Suharyono, 1986). Kehilangan cairan akibat diare


menyebabkan dehidrasi yang dapat bersifat ringan, sedang atau berat.
2.3 Pencegahan Penyakit
Diare Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum yakni:
pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention) yang meliputi promosi kesehatan dan
pencegahan khusus, pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention) yang meliputi
diagnosis dini serta pengobatan yang tepat, dan pencegahan tingkat ketiga (tertiary
prevention) yang meliputi pencegahan terhadap cacat dan rehabilitasi (Nasry Noor, 1997).
2.3.1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer penyakit diare dapat ditujukan pada faktor penyebab, lingkungan
dan faktor pejamu. Untuk faktor penyebab dilakukan berbagai upaya agar mikroorganisme
penyebab diare dihilangkan. Peningkatan air bersih dan sanitasi lingkungan, perbaikan
lingkungan biologis dilakukan untuk memodifikasi lingkungan. Untuk meningkatkan daya
tahan tubuh dari pejamu maka dapat dilakukan peningkatan status gizi dan pemberian
imunisasi.
1. Penyediaan air bersih
Air adalah salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, bahkan hampir 70%
tubuh manusia mengandung air. Air dipakai untuk keperluan makan, minum,
mandi, dan pemenuhan kebutuhan yang lain, maka untuk keperluan tersebut WHO
menetapkan kebutuhan per orang per hari untuk hidup sehat 60 liter. Selain dari
peranan air sebagai kebutuhan pokok manusia, juga dapat berperan besar dalam
penularan beberapa penyakit menular termasuk diare (Sanropie, 1984).
Sumber air yang sering digunakan oleh masyarakat adalah: air permukaan
yang merupakan air sungai, dan danau. Air tanah yang tergantung kedalamannya
bisa disebut air tanah dangkal atau air tanah dalam. Air angkasa yaitu air yang
berasal dari atmosfir seperti hujan dan salju (Soemirat, 1996).
Air dapat juga menjadi sumber penularan penyakit. Peran air dalam terjadinya
penyakit menular dapat berupa, air sebagai penyebar mikroba patogen, sarang
insekta penyebar penyakit, bila jumlah air bersih tidak mencukupi, sehingga orang
tidak dapat membersihkan dirinya dengan baik, dan air sebagai sarang hospes
sementara penyakit (Soemirat, 1996).
Dengan memahami daur/siklus air di alam semesta ini, maka sumber air dapat
diklasifikasikan menjadi; a) air angkasa seperti hujan dan air salju, b) air tanah
seperti air sumur, mata air dan artesis, c) air permukaan yang meliputi sungai dan

telaga. Untuk pemenuhan kebutuhan manusia akan air, maka dari sumber air yang
ada dapat dibangun bermacam-macam saran penyediaan air bersih yang dapat
berupa perpipaan, sumur gali, sumur pompa tangan, perlindungan mata air,
penampungan air hujan, dan sumur artesis (Sanropie, 1984).
Untuk mencegah terjadinya diare maka air bersih harus diambil dari sumber
yang terlindungi atau tidak terkontaminasi. Sumber air bersih harus jauh dari
kandang ternak dan kakus paling sedikit sepuluh meter dari sumber air. Air harus
ditampung dalam wadah yang bersih dan pengambilan air dalam wadah dengan
menggunakan gayung yang bersih, dan untuk minum air harus di masak.
Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air bersih mempunyai resiko
menderita diare lebih kecil bila dibandingkan dengan masyarakat yang tidak
mendapatkan air besih (Andrianto, 1995).
2. Tempat pembuangan tinja
Pembuangan tinja merupakan bagian yang penting dari kesehatan lingkungan.
Pembuangan tinja yang tidak tepat dapat berpengaruh langsung terhadap insiden
penyakit tertentu yang penularannya melalui tinja antara lain penyakit diare
(Haryoto, 1983).
Keluarga yang tidak memiliki jamban harus membuat dan keluarga harus
membuang air besar di jamban. Jamban harus dijaga dengan mencucinya secara
teratur. Jika tak ada jamban, maka anggota keluarga harus membuang air besar
jauh dari rumah, jalan dan daerah anak bermain dan paling kurang sepuluh meter
dari sumber air bersih (Andrianto, 1995).
Untuk mencegah kontaminasi tinja terhadap lingkungan, maka pembuangan
kotoran manusia harus dikelola dengan baik. Suatu jamban memenuhi syarat
kesehatan apabila memenuhi syarat kesehatan: tidak mengotori permukaan tanah,
tidak mengotori air permukaan, tidak dapat di jangkau oleh serangga, tidak
menimbulkan bau, mudah digunakan dan dipelihara, dan murah (Notoatmodjo,
1996).
Tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan
meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah pada anak balita sebesar dua kali
lipat dibandingkan keluarga yang mempunyai kebiasaan membuang tinjanya yang
memenuhi syarat sanitasi (Wibowo, 2003). Menurut hasil penelitian Irianto
(1996), bahwa anak balita berasal dari keluarga yang menggunakan jamban
(kakus) yang dilengkapi dengan tangki septik, prevalensi diare 7,4% terjadi di
kota dan 7,2% di desa. Sedangkan keluarga yang menggunakan kakus tanpa
tangki septik 12,1% diare terjadi di kota dan 8,9 % di desa. Kejadian diare

tertinggi terdapat pada keluaga yang mempergunakan sungai sebagi tempat


pembuangan tinja, yaitu, 17,0% di kota dan 12,7% di desa.
3. Status gizi
Status gizi didefinisikan sebagai keadaan kesehatan yang berhubungan dengan
penggunaan makanan oleh tubuh (Parajanto, 1996). Penilaian status gizi dapat
dilakukan dengan menggunakan berbagai metode, yang tergantung dan tingkat
kekurangan gizi. Menurut Gibson (1990) metode penilaian tersebut adalah; 1)
konsumsi makanan; 2) pemeriksaan laboratorium, 3) pengukuran antropometri
dan 4) pemeriksaan klinis. Metode-metode ini dapat digunakan secara tunggal
atau kombinasikan untuk mendapatkan hasil yang lebih efektif Makin buruk gizi
seseorang anak, ternyata makin banyak episode diare yang dialami. Mortalitas
bayi dinegara yang jarang terdapat malnutrisi protein energi (KEP) umumnya
kecil (Canada, 28,4 permil). Pada anak dengan malnutrisi, kelenjar timusnya akan
mengecil dan kekebalan sel-sel menjadi terbatas sekali sehingga kemampuan
untuk mengadakan kekebalan nonspesifik terhadap kelompok organisme
berkurang (Suharyono, 1986).
4. Pemberian air susu ibu (ASI)
ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi komponen zat makanan
tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara
optimal oleh bayi. ASI saja sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai
umur 4-6 bulan. Untuk menyusui dengan aman dan nyaman ibu jangan
memberikan cairan tambahan seperti air, air gula atau susu formula terutama pada
awal kehidupan anak. Memberikan ASI segera setelah bayi lahir, serta berikan
ASI sesuai kebutuhan. ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik
dengan adanya antibodi dan zat-zat lain yang dikandungnya. ASI turut
memberikan perlindungan terhadap diare, pemberian ASI kepada bayi yang baru
lahir secara penuh mempunyai daya lindung empat kali lebih besar terhadap diare
dari pada pemberian ASI yang disertai dengan susu botol. Pada bayi yang tidak
diberi ASI pada enam bulan pertama kehidupannya, risiko mendapatkan diare
adalah 30 kali lebih besar dibanding dengan bayi yang tidak diberi ASI (Depkes,
2000).
Bayi yang memperoleh ASI mempunyai morbiditas dan mortalitas diare lebih
rendah. Bayi dengan air susu buatan (ASB) mempunyai risiko lebih tinggi
dibandingkan dengan bayi yang selain mendapat susu tambahan juga
mendapatkan ASI, dan keduanya mempunyai risiko diare lebih tinggi

dibandingkan dengan bayi yang sepenuhnya mendapatkan ASI. Risiko relatif ini
tinggi dalam bulan-bulan pertama kehidupan (Suryono, 1988).
5. Kebiasaan mencuci tangan
Diare merupakan salah satu penyakit yang penularannya berkaitan dengan
penerapan perilaku hidup sehat. Sebahagian besar kuman infeksius penyebab diare
ditularkan melalui jalur oral. Kuman-kuman tersebut ditularkan dengan perantara
air atau bahan yang tercemar tinja yang mengandung mikroorganisme patogen
dengan melalui air minum. Pada penularan seperti ini, tangan memegang peranan
penting, karena lewat tangan yang tidak bersih makanan atau minuman tercemar
kuman penyakit masuk ke tubuh manusia.
Pemutusan rantai penularan penyakit seperti ini sangat berhubungan dengan
penyediaan fasilitas yang dapat menghalangi pencemaran sumber perantara oleh
tinja serta menghalangi masuknya sumber perantara tersebut kedalam tubuh
melalui mulut. Kebiasaan mencuci tangan pakai sabun adalah perilaku amat
penting bagi upaya mencegah diare. Kebiasaan mencuci tangan diterapkan setelah
buang air besar, setelah menangani tinja anak, sebelum makan atau memberi
makan anak dan sebelum menyiapkan makanan. Kejadian diare makanan terutama
yang berhubungan langsung dengan makanan anak seperti botol susu, cara
menyimpan makanan serta tempat keluarga membuang tinja anak (Howard &
Bartram, 2003).
Hubungan kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare dikemukakan oleh
Bozkurt et al (2003) di Turki, orang tua yang tidak mempunyai kebiasaan mencuci
tangan sebelum merawat anak, anak mempunyai risiko lebih besar terkena diare.
Heller (1998) juga mendapatkan adanya hubungan antara kebiasaan cuci tangan
ibu dengan kejadian diare pada anak di Betim-Brazil.
Anak kecil juga merupakan sumber penularan penting diare. Tinja anak,
terutama yang sedang menderita diare merupakan sumber penularan diare bagi
penularan diare bagi orang lain. Tidak hanya anak yang sakit, anak sehatpun
tinjanya juga dapat menjadi carrier asimptomatik yang sering kurang mendapat
perhatian. Oleh karena itu cara membuang tinja anak penting sebagai upaya
mencegah terjadinya diare (Sunoto dkk, 1990). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Aulia dkk., (1994) di Sumatera Selatan, kebiasaan ibu membuang tinja
anak di tempat terbuka merupakan faktor risiko yang besar terhadap kejadian
diare dibandingkan dengan kebiasaan ibu membuang tinja anak di jamban.
6. Imunisasi

Diare sering timbul menyertai penyakit campak, sehingga pemberian


imunisasi campak dapat mencegah terjadinya diare. Anak harus diimunisasi
terhadap penyakit campak secepat mungkin setelah usia sembilan bulan
(Andrianto, 1995).
2.3.2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan tingkat kedua ini ditujukan kepada sianak yang telah menderita diare atau
yang terancam akan menderita yaitu dengan menentukan diagnosa dini dan pengobatan yang
cepat dan tepat, serta untuk mencegah terjadinya akibat samping dan komplikasi. Prinsip
pengobatan diare adalah mencegah dehidrasi dengan pemberian oralit (rehidrasi) dan
mengatasi penyebab diare. Diare dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti salah makan,
bakteri, parasit, sampai radang. Pengobatan yang diberikan harus disesuaikan dengan klinis
pasien. Obat diare dibagi menjadi tiga, pertama kemoterapeutika yang memberantas
penyebab diare seperti bakteri atau parasit, obstipansia untuk menghilangkan gejala diare dan
spasmolitik yang membantu menghilangkan kejang perut yang tidak menyenangkan.
Sebaiknya jangan mengkonsumsi golongan kemoterapeutika tanpa resep dokter. Dokter akan
menentukan obat yang disesuaikan dengan penyebab diarenya misal bakteri, parasit.
Pemberian kemoterapeutika memiliki efek samping dan sebaiknya diminum sesuai petunjuk
dokter (Fahrial Syam, 2006).
2.3.3. Pencegahan Tertier
Pencegahan tingkat ketiga adalah penderita diare jangan sampai mengalami kecatatan
dan kematian akibat dehidrasi. Jadi pada tahap ini penderita diare diusahakan pengembalian
fungsi fisik, psikologis semaksimal mungkin. Pada tingkat ini juga dilakukan usaha
rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat samping dari penyakit diare. Usaha yang dapat
dilakukan yaitu dengan terus mengkonsumsi makanan bergizi dan menjaga keseimbangan
cairan. Rehabilitasi juga dilakukan terhadap mental penderita dengan tetap memberikan
kesempatan dan ikut memberikan dukungan secara mental kepada anak. Anak yang
menderita diare selain diperhatikan kebutuhan fisik juga kebutuhan psikologis harus dipenuhi
dan kebutuhan sosial dalam berinteraksi atau bermain dalam pergaulan dengan teman
sepermainan
2.4 Pengertian Perilaku
Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai
bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja,

kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati
langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), merumuskan bahwa
perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar.
Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan
kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori S-O-R atau
Stimulus Organisme Respon.
Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi
dua (Notoatmodjo, 2003) :
1. Perilaku tertutup (covert behavior)
Perilaku tertutup adalah respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk
terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih
terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang terjadi pada
orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh
orang lain.
2. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka.
Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek,
yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.
2.4.1. Klasifikasi Perilaku
Kesehatan Perilaku kesehatan menurut Notoatmodjo (2003) adalah suatu respon
seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit
atau penyakit, sistim pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta
lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3
kelompok :
1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance).
Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga
kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit.
2. Perilaku pencarian atau penggunaan sistem atau fasilitas kesehatan, atas sering
disebut perilaku pencairan pengobatan (health seeking behavior).
Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat
menderita penyakit dan atau kecelakaan.
3. Perilaku kesehatan lingkungan
Adalah apabila seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun
sosial budaya, dan sebagainya

2.4.2. Model Perilaku Kesehatan (Health Belief Model)


Faktor-faktor yang menentukan model-model perilaku kesehatan sangat
banyak dan rumit, menurut Mckinly dalam Muzaham (1995) mengidentifikasikan
enam pendekatan utama yang berpengaruh terhadap perilaku kesehatan yaitu ; dari
sudut

ekonomi,

sosiodemografi,

psikologi

sosial,

sosial

budaya

dan

organisasional. Masing-masing model yang dikemukakan berbeda sesuai dengan


pandangan teori masing-masing.
Salah satu model perilaku kesehatan adalah Model Perilaku Kesehatan (Health
Belief Model). Model perilaku ini dikembangkan pada tahun 50-an dan
didasarkan atas partisipasi masyarakat pada program deteksi dini tuberculosis.
Analisis terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat pada
program tersebut kemudian dikembangkan sebagai model perilaku. Health belief
Model didasarkan atas 3 faktor esensial ;
1. Kesiapan individu intuk merubah perilaku dalam rangka menghindari suatu
penyakit atau memperkecil risiko kesehatan.
2. Adanya dorongan dalam lingkungan individu yang membuatnya merubah
perilaku.
3. Perilaku itu sendiri.
Menurut Rosenstock dalam Muzaham (1995), dalam model ini adalah orang
tidak akan mencari pertolongan medis atau pencegahan penyakit mereka kurang
memunyai pengetahuan dan motivasi minimal yang relevan dengan kesehatan,
bila mereka memandang keadaan tidak cukup berbahaya, bila tidak yakin terhadap
keberhasilan suatu tindakan medis atau pencegahan, dan bila mereka melihat
adanya beberapa kesulitan dalam melaksanakan perilaku kesehatan yang
disarankan.
Pada dasarnya, model ini terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
1. Persepsi Individu tentang kerentanan dirinya terhadap suatu penyakit. Misal:
seorang klien perlu mengenal adanya pernyakit koroner melalui riwayat
keluarganya, apalagi kemudian ada keluarganya yang meninggal maka klien
mungkin merasakan resiko mengalami penyakit jantung.
2. Persepsi Individu terhadap keseriusan penyakit tertentu. Dipengaruhi oleh
variabel demografi dan sosiopsikologis, perasaan terancam oleh penyakit,
anjuran untuk bertindak (misal: kampanye media massa, anjuran keluarga atau
dokter dll)

3. Persepsi Individu tentang manfaat yang diperoleh dari tindakan yang diambil.
Seseorang mungkin mengambil tindakan preventif, dengan mengubah gaya
hidup, meningkatkan kepatuhan terhadap terapi medis, atau mencari
pengobatan medis.
Hipotesis HBM adalah perilaku pada saat mengalami gejala penyakit
dipengaruhi secara langsung oleh persepsi individu mengenai ancaman penyakit
dan keyakinannya terhadap nilai manfaat dari suatu tindakan kesehatan.
Bagaimanapun juga, rasa sakit dan kurang enak badan yang berkaitan dengan
gejala penyakit dapat memengaruhi persespsi individu terhadap ancaman penyakit
dan juga memengaruhi perilaku, sedangkan karakteristik sosial, tingkat toleransi
seseorang terhadap rasa sakit, kekurangan daya dan semangat diperkirakan
memunyai pengaruh tidak langsung atas suatu tindakan atau perilaku.

Gambar 2.1. Skema Konsep Health Belief Models


2.5.

Persepsi
Menurut Rakhmat (2005), persepsi adalah pengalaman tentang objek,
peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan
informasi dan menafsirkan pesan. Dengan demikian persepsi merupakan gambaran
arti atau interprestasi yang bersifat subjektif, artinya persepsi sangat tergantung
pada kemampuan dan keadaan diri yang bersangkutan. Dalam kamus psikologi
persepsi diartikan sebagai proses pengamatan seseorang terhadap segala sesuatu di
lingkungannya dengan menggunakan indera yang dimilikinya, sehingga menjadi
sadar terhadap segala sesuatu yang ada di lingkungan tersebut.

Persepsi meliputi semua proses yang dilakukan seseorang dalam memahami


informasi mengenai lingkungannya. Dalam hubungannya dengan perilaku orangorang dalam suatu organisasi, ada tiga hal yang berkaitan, yakni pemahaman lewat
penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Dalam menelaah timbulnya proses
persepsi ini, menunjukkan bahwa fungsi persepsi itu sangat dipengaruhi oleh tiga
variabel berikut : (1) Objek atau peristiwa yang dipahami (2) lingkungan terjadinya
persepsi, dan (3) orang-orang yang melakukan persepsi. Dengan demikian, persepsi
pada hakikatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam
memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran,
penghayatan, perasaan dan penciuman. Kunci untuk memahami persepsi adalah
terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik
terhadap situasi bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi (Thoha,
1999).
Menurut Notoatmojo (2003) setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek
kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang
diketahui,

proses

selanjutnya

diharapkan

ia

akan

melaksanakan

atau

mempraktekkan apa yang diketahui atau disikapinya. Inilah yang disebut praktik
kesehatan, atau dapat dikatakan sebagai perilaku kesehatan. Oleh sebab itu
indikator praktik kesehatan ini sangat berkaitan dengan persepsi.
Menurut Wolinsky (1998) bahwa masyarakat mengembangkan pengertian
sendiri tentang sehat dan sakit sesuai dengan pengalaman hidupnya atau nilai-nilai
yang diturunkan oleh generasi sebelumnya, maka pencegahan penyakit diare yang
sering dilaporkan terjadi akibat lingkungan yang buruk tergantung persepsi
masyarakat tentang diare. Artinya, jika diare dipersepsikan sebagai suatu penyakit
tidak serius dan tidak mengancam kehidupannya maka perilaku pencegahan akan
penyakit diare pun tidak terlalu serius dilakukan. Sebaliknya, jika mereka
mempersepsikan bahwa diare merupakan masalah kesehatan yang perlu
diwaspadai, otomatis mereka akan bereaksi serius terhadap penyakit ini dengan
mengembangkan perilaku-perilaku pencegahan.
Dengan demikian masalah persepsi akan penyakit merupakan aspek penting
dalam memahami perilaku sehat di kalangan masyarakat. Karena itu masalah yang
hendak diangkat dalam penelitian ini menyangkut hubungan antara persepsi
masyarakat yang tinggal di kawasan kumuh dengan perilaku pencegahan yang
dikembangkannya dalam menghadapi penyakit diare.

Tindakan dalam hal ini adalah tindakan ibu balita dalam melakukan
pencegahan khususnya pencegahan primer diare. Pencegahan ini meliputi ,
tindakan ibu dalam penyediaan air bersih, tindakan pencegahan yang erat kaitannya
dengan tempat pembuangan tinja, tindakan ibu dalam peningkatan status gizi,
tindakan ibu dalam pemberian air susu ibu (ASI), dan tindakan ibu yang berkaitan
dengan kebiasaan mencuci tangan dan pemberian imunisasi pada balita.

You might also like