Professional Documents
Culture Documents
tinggi. Para pemimpin dianggap tak punya pamrih pribadi, katanya. Karena itu, negara
bukan untuk dipertanyakan, melainkan untuk dipatuhi. Konsekuensinya, masih kata
dosen filsafat Sekolah Tinggi Driyarkara ini, berarti kontrolnya kurang. Lemahnya
kontrol ini, tampaknya, tak dianggap penting. Soalnya, kepercayaan para Bapak Bangsa
itu terhadap integritas pimpinan nasional sangat tinggi. Anggota Sukardjo Wirjopranoto,
pemimpin redaksi harian Asia Raya, dan anggota Panitia Adat dan Tata Negara Dahulu di
Jakarta waktu itu, bahkan sempat mengungkapkan, Bukan bentuknya yang penting
dalam negara Indonesia tapi jiwa daripada bentuk itu, yaitu pemimpinnya, kepala
negaranya. Kecenderungan untuk mempercayai para pemimpin bangsa ini terus
bertahan. bahkan sampai disah kannya UUD 45 pada 18 Agustus 1945 Padahal, BPPKI
sempat bersidan dua kali. Yakni membicarakan preambul (mukadi mah) dan bentuk ne
gara pada 29 Me hingga 1 Juni 1945. Sedangkan sidang kedua adalah penentuan bentuk
negara dan pembahasan batang tubuh yang berlangsung tanggal 10 hingga 16 Juli 1945.
Adapun pada tanggal 18 Agustus, yang bersidang adalah Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) yang anggotanya, termasuk ketua dan wakilnya, berjumlah 27 orang.
Dalam sidang tanggal 15 Juli 1945 misalnya, anggota Moh. Hatta, yang kemudian
menjadi Wakil Presiden RI, mempertanyakan bagaimana jika menteri dan DPR
mempunyai beda pendapat. Sebab, menteri sudah ditetapkan bertanggung jawab kepada
presiden dan bukan kepada DPR seperti sistem parlementer. Terhadap pertanyaan ini,
Soepomo segera memberi jawaban. . . . akan tetapi kita harus percaya kepada
kebiaksanaan Kepala Negara dan juga kepada pembantu-pembantunya yang bukan
pembantu biasa, akan tetapi tentu orang-orang yang sangat terkemuka juga, ahli negara
yang bukan saja mengingat publieke opinie, perasaan-perasaan umum dalam Dewan
Perwakilan Rakyat, akan tetapi mengerti juga perasaan umum didalam negara mereka
umumnya. Dalam hal timbulnya perselisihan antara DPR dan Menteri, Prof. Soepomo
mengatakan, . . . Dan kalau perlu tentu menteri sendiri akan meletakkan jabatannya,
harus mempunyai perasaan tanggung jawab, perasaan harga bagi diri sendiri dan
mempunyai political feeling tentang hal itu: jadi haruslah kita percaya kepada
kebijaksanaan ahli negara yang nanti ditempatkan dalam pemerintah pusat. Dalam hal itu
juga kita melihat jalan praktek dinamik konstitusi. Adapun yang dimaksud dengan
pimpinan negara itu ternyata sempat diperdebatkan. Yaitu apakah pimpinan negara berada
di bawah satu orang atau beberapa orang. Ternyata, rapat panitia kecil perancang UUD
pada tanggal 11 Juli 1945, yang diketuai oleh Soekarno dengan 18 orang anggota, sempat
melakukan pemungutan suara. Hasilnya: pendapat pimpinan negara berada di tangan satu
orang mendapat 10 suara setuju dan sembilan tak setuju. Upaya pemungutan suara dalam
menentukan pilihan memang kerap terjadi. Boleh dikata semua perbedaan pendapat
dalam penyusunan UUD 45 ini diselesaikan dengan pemungutan suara, yang dalam
istilah para Bapak Bangsa diseut dengan setem. Termasuk menentukan bentuk negara
dilakukan dengan setem, dengan hasil 55 suara untuk republik, 6 untuk kerajaan, 1
blangko, dan 2 untuk lain-lain. Adapun yang tidak dengan setem ada juga. Yakni ketika
membicarakan pasal 28 ayat 1 yang menyebutkan presiden harus beragama Islam. Wakil
golongan Islam Ahmad Sanusi menolaknya dengan alasan, Perkara agama tidak bisa
disetem. Dan persoalan peka seperti masalah agama memang diselesaikan lewat lobi.
Itu, misalnya, terjadi dalam memutuskan kesepakatan yang belakangan dikenal dengan
nama Piagam Jakarta. Yaitu ketika golongan Islam berkeras menginginkan bentuk negara
Islam, sedangkan kelompok lainnya menginginkan negara kebangsaan. Suasana sidang
warganegara didefinisikan sebagai Bangsa peranakan, Tionghoa, India, dan Arab yang
telah berturun-temurun tinggal di Indonesia, yang mempunyai kehendak sungguhsungguh untuk turut bersatu dengan bangsa Indonesia yang asli, harus diterima sebagai
warga negara dengan diberi kebangsaan Indonesia. Sementara itu, Soekarno, dalam
pidatonya pada 1 Juni 1945,justru menyiratkan kecurigaan kepada bangsa Tionghoa yang
dianggap mengobar-ngobarkan perasaan Tionghoanya. Tak ayal, Liem Koen Hian,
sebagai salah satu dari empat wakil keturunan Tionghoa, langsung angkat bicara. Saya
katakan bahwa peranakan Tionghoa tidak masuk orang Tionghoa lagi . Maka kalau kita
di Jawa khususnya, di Indonesia umumnya, ditanya apa kebangsaan kita, saya jawab
bahwa dalam arti kulturil kita bukan bangsa Tionghoa. Dia menganjurkan agar semua
penduduk yang berada di wilayah Indonesia berhak mendapatkan warga negara
Indonesia, tapi berhak juga menolaknya. Tapi Oei Tjan Tjoei tak setuju dengan pendapat
rekan seketurunannya itu. Ia berpendapat bahwa perasaan kebangsaan Tionghoa masih
akan ada kendati ikatan geografi sudah sirna. Pendapatnya didukung oleh Oei Tjong
Hauw. Tapi bukan berarti golongan Tionghoa tak mendukung upaya kemerdekaan
Indonesia, seperti diutarakan Hauw Meskipun kita memilih kerakyatan Tionkok, kita
bersedia seratus persen, Tuan-Tuan sekalian, untuk membantu rakyat Indonesia dalam
mendirikan negara merdeka, menurut kepandaian kita. Adapun dari kelompok keturunan
Arab tampaknya tak ada masalah. Menurut A.R. Baswedan, yang dikenal sebagai pemuka
keturunan Arab, tidak ada lagi yang dinamakan Arab totok di Indonesia. Yang tinggal
hanyalah nama saja. . . . menurut turunannya mereka masih disebut orang Arab. Kirakira di dalam kurun waktu 300 tahun lamanya mereka itu sebenarnya sudah lenyap, dan
meresap di dalam bangsa Indonesia, kata Baswedan, yang kemudian menjadi menteri
muda penerangan. Akhirnya yang menyelesaikan masalah ini adalah usulan Dahler,
seoran anggota keturunan Indo Belanda. Ia mengusulkan agar UUD hanya mengatur .
siapa yang menjadi warga negara adalah orang Indonesia asli, sedang ketentuan
selanjutnya ditetapkan dengan undang-undang itu sendiri. Usul Dahler lainnya yang
diterima tersurat dalam pasal 29 tentang kemerdekaanmemeluk agama. Mulanya hanya
berbunyi, Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya
dan beribadat menurut agamanya. Dahler mengusulkan tambahan kalimat dan
kepercayaannya masing-masing Hatta dan Soepomo kemudian mendukung usul ini,
yang kemudian diterima oleh semua anggota rapat. Tapi yang paling cepat diputuskan
dalam persidangan ini, tampaknya, adalah dalam soal pemilihan presiden, 18 Agustus ]
945. Ketika itu panitia baru saja memutuskan dihapuskannya Piagam Jakarta, dan
menutup rapat pada pukul 13.5. Dua puluh lima menit kemudian rapat dibuka, dan
Soekarno menyampaikan pesan kepada peserta sidang, atas permintaan pers, sidang
akan membicarakan dulu acara pemilihan kepala negara dan wakilnya. Ia minta agar
dilakukan pemungutan suara secara tertulis. Tapi Otto Iskandar Dinata menyela,
Berhubung dengan keadaan waktu, saya harap pemilihan presiden diselenggarakan
dengan aklamasi, dan saya majukan sebagai calon, yaitu Bung Karno sendiri. Hadirin
bertepuk tangan, dan Soekarno menerima dan mengesahkannya. Semua anggota berdiri
dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya karya W.R. Supratman. Bung Hatta
kemudian terpilih melalui cara yang sama, sebagai wakil presiden. Ini barangkali
menggambarkan bagaimana UUD45 dibentuk. Yakni dalam semangat kebersamaan yang
tinggi. Bayangkan, UUD ini dapat diselesaikan dalam tempo sekitar tiga bulan saja.
Padahal, konsitusi AS dan India diselesaikan dalam waktu sekitar dua tahun. Tapi