Masyhudul Haq. Beliau dikenal mampu berbicara dalam berbagai bahasa antara lain bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Arab, Turki, dan Jepang. Agus Salim yang dilahirkan di Kota Gadang, Sumatra Barat pada tanggal 8 Oktober 1884 itu, juga seorang otodidak yang menakjubkan. Setelah menamatkan HBS (SMA zaman Belanda), beliau bekerja sebagai penerjemah dan notaris. Kesempatan untuk belajar beliau dapatkan ketika bekerja sebagai pegawai konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi. Pada saat itu, pengetahuan agama Islam dapat beliau perdalam. Pada saat itu pula beliau sekaligus mempelajari seluk-beluk diplomasi. Untuk menyalurkan aspirasi politiknya, Agus Salim masuk dalam Sarekat Islam. Oleh karena kepandaiannya, beliau diangkat sebagai anggota
pengurus pusat. Selain keanggotaannya dalam SI,
beliau juga memimpin beberapa surat kabar sebagai sarana untuk mencurahkan aspirasi politiknya. Pada tahun 1929 SI berubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Pada tahun yang sama, Agus Salim diangkat sebagai penasihat teknis delegasi serikat buruh negeri Belanda dalam konferensi buruh internasional di Jenewa, Swiss. Dalam konferensi tersebut, beliau mendapat kesempatan untuk berpidato dalam bahasa Prancis yang fasih. Banyak anggota delegasi yang kagum karena kemampuannya berbahasa dan berpidatonya, sehingga nama Indonesia harum dalam dunia internasional. Ketika H.O.S. Cokroaminoto wafat pada tahun 1934, Haji Agus Salim diangkat menjadi ketua PSII. Dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), beliau duduk sebagai anggota. Dalam kedudukan itu, beliau terlibat aktif dalam Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar, bersama dengan Prof. Dr. Supomo, Wongsonegoro, Ahmad Subardjo, dan A.A. Maramis. Berbagai jabatan lain diembannya setelah proklamasi kemerdekaan seperti anggota DPA dan menteri muda luar negeri. Ketika Belanda melakukan agresi dengan merebut Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948, Haji Agus Salim ditangkap bersama pemimpin-pemimpin negara seperti Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta. Beliau diasingkan ke Bengkulu. Karena usia yang lanjut, Haji Agus Salim jatuh sakit. Haji Agus Salim tutup usia pada tanggal 4 November 1954 di Jakarta dan dimakamkan di taman makam pahlawan Kalibata, Jakarta. Belajar di sekolah formal, bukanlah tujuan tetapi sebagai sarana untuk dapat belajar secara mandiri. Aktivitas belajar itu juga tidak terbatas pada usia tertentu, namun sepanjang hayat. Haji Agus Salim telah memberi teladan bagaimana kegiatan belajar menjadi sebuah kebutuhan untuk menjawab tantangan bangsa di masa yang akan datang.