You are on page 1of 37

PENDAHULUAN

Keseimbangan cairan merupakan sebuah istilah dalam mendeskripsikan


keseimbangan input dan output dari carian di dalam tubuh untuk menjalankan
fungsi proses metabolik secara benar . Air sangat penting untuk kehidupan.
Menjaga dan mengoreksi keseimbangan cairan di dalam tubuh juga penting untuk
kesehatan
Dalam berbagai kondisi yang tidak sesuai, terkadang seseorang bisa
mengalami defisit cairan. Misalnya kondisi dehidrasi, luka bakar, dan perdarahan
berat. Kondisi lain misalnya saat perioperatif, yang timbul sebagai akibat puasa
pra-bedah yang kadang-kadang dapat memanjang, kehilangan cairan yang sering
menyertai penyakit primernya, perdarahan, manipulasi bedah, dan lamanya
pembedahan yang mengakibatkan terjadinya sequestrasi atau translokasi cairan.
Pada periode pasca bedah kadang-kadang perdarahan dan atau kehilangan cairan
(dehidrasi) masih berlangsung, yang tentu saja memerlukan perhatian khusus.
Sebagai contoh puasa pra-bedah selama 12 jam atau lebih dapat
menimbulkan defisit cairan (air dan elektrolit) sebanyak 1 liter pada pasien orang
dewasa. Gejala dari defisit cairan ini belum dapat dideskripsikan, tetapi termasuk
di dalamnya adalah rasa haus, perasaan mengantuk, dan pusing kepala.
Tujuan utama terapi cairan perioperatif adalah untuk mengganti defisit pra
bedah, selama pembedahan dan pasca bedah diamana saluran pencernaan belum
berfungsi secara optimal disamping untuk pemenuhan kebutuhan normal harian.
Terapi dinilai berhasil apabila pada penderita tidak ditemukan tanda-tanda
hipovolemik dan hipoperfusi atau tanda-tanda kelebihan cairan berupa edema paru
dan gagal nafas.
Sampai saat ini terapi cairan dan elektrolit perioperatif masih merupakan
topik yang menarik untuk dibicarakan karena dalam prakteknya banyak hal yang
sulit ditentukan atau diukur secara objektif. Perhitungan cairan terkadang tidak
sama adekuat untuk memenuhi defisit cairan pada satu pasien, atau justru
berlebihan pada pasien lain.

LANDASAN TEORI

A.

Komposisi Cairan Tubuh


Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia, persentasenya dapat

berubah tergantung pada umur, jenis kelamin dan derajat obesitas seseorang. Pada
bayi usia < 1 tahun cairan tubuh adalah sekitar 80-85% berat badan dan pada bayi
usia > 1 tahun mengandung air sebanyak 70-75 %. Seiring dengan pertumbuhan
seseorang persentase jumlah cairan terhadap berat badan berangsur-angsur turun.
Tabel.1 Perubahan cairan tubuh total sesuai usia

(Sumber : Guyton AC, Hall J.E. 2007)


Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada
perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan puasa preoperatif maupun
perioperatif, dapat menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan
tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelum tindakan anestesi dan bedah,
maka resiko penderita menjadi lebih besar.
Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular
dan kompartemen ekstraselular. Selanjutnya kompartemen ekstraselular dibagi
menjadi cairan intravaskular dan intersisial.
a) Cairan intraselular
Cairan yang terkandung di dalam sel disebut cairan intraselular. Pada
orang dewasa, sekitar duapertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di
intraselular (sekitar 27 liter rata-rata untuk dewasa laki-laki dengan berat
badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya pada bayi hanya setengah dari cairan
tubuhnya merupakan cairan intraselular.

b) Cairan ekstraselular
Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Jumlah relatif
cairan ekstraselular berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir,
sekitar setengah dari cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular. Setelah usia
1 tahun, jumlah cairan ekstraselular menurun sampai sekitar sepertiga dari
volume total. Ini sebanding dengan sekitar 15 liter pada dewasa muda dengan
berat rata-rata 70 kg.
Cairan ekstraselular dibagi menjadi:
i.

Cairan Interstitial
Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial,
sekitar 11-12 liter pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam
volume interstitial. Relatif terhadap ukuran tubuh, volume ISF adalah
sekitar 2 kali lipat pada bayi baru lahir dibandingkan orang dewasa5.

ii.

Cairan Intravaskular
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah
(contohnya volume plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa
sekitar 5-6L dimana 3 liternya merupakan plasma, sisanya terdiri dari
sel darah merah, sel darah putih dan platelet5.

iii.

Cairan transeluler
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu
seperti serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular
dan sekresi saluran pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume cairan
transeluler adalah sekitar 1 liter, tetapi cairan dalam jumlah banyak
dapat masuk dan keluar dari ruang transeluler5.

Gambar 1. Distribusi Cairan Tubuh

(Sumber : Guyton AC, Hall J.E. 2007)


Cairan ekstra sel terutama mengandung ion natrium,
bikarbonat, dan klorida. Sedangkan cairan intrasel terutama
mengandung ion kalium, kalsium dan magnesium. Pergerakam
antar kompartemen terjadi melalui 3 mekanisme yaitu: (1)
melalui membran lipid (oksigen dan karbondioksida), (2) melalui
kanal protein (natrium, kalium dan kalsium), (3) diffusi dengan
bantuan ikatan protein (glukosa dan asam amino)2.

Gambar 2. Tipe-tipe cairan tubuh


(Sumber: Sheperd Alison, et al. 2011)
Selain air, cairan tubuh mengandung dua jenis zat yaitu elektrolit dan non
elektrolit.
a. Elektrolit
Merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan arus
listrik. Elektrolit dibedakan menjadi ion positif (kation) dan ion negatif
(anion). Jumlah kation dan anion dalam larutan adalah selalu sama (diukur
dalam miliekuivalen)5.
i.

Kation
Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+),
sedangkan kation utama dalam cairan intraselular adalah potassium (K+).
Suatu sistem pompa terdapat di dinding sel tubuh yang memompa keluar
sodium dan potassium ini.
4

ii.

Anion
Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan
bikarbonat (HCO3-), sedangkan anion utama dalam cairan intraselular
adalah ion fosfat (PO43-). Karena kandungan elektrolit dalam plasma dan
cairan interstitial pada intinya sama maka nilai elektrolit plasma
mencerminkan

komposisi

dari

cairan

ekstraseluler

tetapi

tidak

mencerminkan komposisi cairan intraseluler.


i)

Natrium
Natrium sebagai kation utama didalam cairan ekstraseluler dan
paling berperan di dalam mengatur keseimbangan cairan. Kadar
natrium plasma: 135-145mEq/liter. Kadar natrium dalam plasma diatur
lewat beberapa mekanisme:
Left atrial stretch reseptor
Central baroreseptor
Renal afferent baroreseptor
Aldosterone (reabsorpsi di ginjal)
Atrial natriuretic factor
Sistem renin angiotensin
Sekresi ADH
Perubahan yang terjadi pada air tubuh total (TBW=Total Body
Water)
Kadar natrium dalam tubuh 58,5mEq/kgBB dimana 70% atau
40,5mEq/kgBB dapat berubah-ubah. Ekresi natrium dalam urine 100180mEq/liter, faeces 35mEq/liter dan keringat 58mEq/liter. Kebutuhan
setiap hari adalah 100mEq (6-15 gram NaCl). 4
Natrium dapat bergerak cepat antara ruang intravaskuler dan
interstitial maupun ke dalam dan ke luar sel. Apabila tubuh banyak
mengeluarkan natrium (muntah, diare) sedangkan pemasukkan
terbatas, maka akan terjadi keadaan dehidrasi disertai kekurangan
natrium. Kekurangan air dan natrium dalam plasma akan diganti
dengan air dan natrium dari cairan interstitial. Apabila kehilangan
5

cairan terus berlangsung, air akan ditarik dari dalam sel dan apabila
volume plasma tetap tidak dapat dipertahankan terjadilah kegagalan
sirkulasi. 4
ii)

Kalium
Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam cairan
ekstraseluler berperan penting di dalam terapi gangguan keseimbangan
air dan elektrolit. Jumlah kalium dalam tubuh sekitar 53 mEq/kgBB
dimana 99% dapat berubah-ubah sedangkan yang tidak dapat
berpindah adalah kalium yang terikat dengan protein didalam sel. 4
Kadar kalium plasma 3,5-5,0 mEq/liter, kebutuhan setiap hari 1-3
mEq/kgBB. Keseimbangan kalium sangat berhubungan dengan
konsentrasi H+ ekstraseluler. Ekskresi kalium lewat urine 60-90
mEq/liter, faeces 72 mEq/liter dan keringat 10 mEq/liter.4

iii)

Kalsium
Kalsium dapat dalam makanan dan minuman, terutama susu, 8090% dikeluarkan lewat faeces dan sekitar 20% lewat urine. Jumlah
pengeluaran ini tergantung pada intake, besarnya tulang, keadaan
endokrin. Metabolisme kalsium sangat dipengaruhi oleh kelenjarkelenjar paratiroid, tiroid, testis, ovarium, dan hipofisis. Sebagian
besar (99%) ditemukan didalam gigi dan + 1% dalam cairan
ekstraseluler dan tidak terdapat dalam sel.4
Magnesium
Magnesium ditemukan di semua jenis makanan. Kebutuhan
untuk pertumbuhan + 10 mg/hari. Dikeluarkan lewat urine dan
feses.4
Karbonat
Asam karbonat dan karbohidrat terdapat dalam tubuh
sebagai salah satu hasil akhir daripada metabolisme. Kadar
bikarbonat dikontrol oleh ginjal. Sedikit sekali bikarbonat yang
akan dikeluarkan urine. Asam bikarbonat dikontrol oleh paru-paru
dan sangat penting peranannya dalam keseimbangan asam basa.4

b.

Non elektrolit

Merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi dalam
cairan. Zat lainya termasuk penting adalah kreatinin dan bilirubin.5
B.

Proses Pergerakan Cairan Tubuh


Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh melibatkan

mekanisme transpor pasif dan aktif. Mekanisme transpor pasif tidak


membutuhkan energi sedangkan mekanisme transpor aktif membutuhkan energi.
Difusi dan osmosis adalah mekanisme transpor pasif. Sedangkan mekanisme
transpor aktif berhubungan dengan pompa Na-K yang memerlukan ATP.4,5,6
Proses pergerakan cairan tubuh antar kompertemen dapat berlangsung secara:
a) Osmosis
Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran
semipermeabel (permeabel selektif) dari larutan berkadar lebih rendah menuju
larutan berkadar lebih tinggi hingga kadarnya sama. Seluruh membran sel dan
kapiler permeabel terhadap air, sehingga tekanan osmotik cairan tubuh seluruh
kompartemen sama. Membran semipermeabel ialah membran yang dapat
dilalui air (pelarut), namun tidak dapat dilalui zat terlarut misalnya protein.4,5,6
Tekanan osmotik plasma darah ialah 2855 mOsm/L. Larutan dengan
tekanan osmotik kira-kira sama disebut isotonik (NaCl 0,9%, Dekstrosa 5%,
Ringer laktat). Larutan dengan tekanan osmotik lebih rendah disebut hipotonik
(akuades), sedangkan lebih tinggi disebut hipertonik.4,6
b) Difusi
Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan
bergerak dari konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah.
Tekanan hidrostatik pembuluh darah juga mendorong air masuk berdifusi
melewati pori-pori tersebut. Jadi difusi tergantung kepada perbedaan
konsentrasi dan tekanan hidrostatik.4,6
c) Pompa Natrium Kalium
Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transpor yang memompa
ion natrium keluar melalui membran sel dan pada saat bersamaan memompa

ion kalium dari luar ke dalam. Tujuan dari pompa natrium kalium adalah
untuk mencegah keadaan hiperosmolar di dalam sel.4,5,6
C.

Asupan dan kehilangan cairan dan elektrolit pada keadaan normal


Homeostasis cairan tubuh yang normalnya diatur oleh ginjal dapat berubah

oleh stres akibat operasi, kontrol hormon yang abnormal, atau pun oleh adanya
cedera pada paru-paru, kulit atau traktus gastrointestinal. 2
Pada keadaan normal, seseorang mengkonsumsi air rata-rata sebanyak 20002500 ml per hari, dalam bentuk cairan maupun makanan padat dengan kehilangan
cairan rata-rata 250 ml dari feses, 800-1500 ml dari urin, dan hampir 600 ml
kehilangan cairan yang tidak disadari (insensible water loss) dari kulit dan paruparu.2
Kepustakaan lain menyebutkan asupan cairan didapat dari metabolisme
oksidatif dari karbohidrat, protein dan lemak yaitu sekitar 250-300 ml per hari,
cairan yang diminum setiap hari sekitar 1100-1400 ml tiap hari, cairan dari
makanan padat sekitar 800-100 ml tiap hari, sedangkan kehilangan cairan terjadi
dari ekskresi urin (rata-rata 1500 ml tiap hari, 40-80 ml per jam untuk orang
dewasa dan 0,5 ml/kg untuk pediatrik), kulit (insensible loss sebanyak rata-rata 6
ml/kg/24 jam pada rata-rata orang dewasa yang mana volume kehilangan
bertambah pada keadaan demam yaitu 100-150 ml tiap kenaikan suhu tubuh 1
derajat celcius pada suhu tubuh di atas 37 derajat celcius dan sensible loss yang
banyaknya tergantung dari tingkatan dan jenis aktivitas yang dilakukan), paruparu (sekitar 400 ml tiap hari dari insensible loss), traktus gastointestinal (100-200
ml tiap hari yang dapat meningkat sampai 3-6 L tiap hari jika terdapat penyakit di
traktus gastrointestinal), third-space loses.5
Tabel 2. Rata-rata Harian Asupan dan Kehilangan Cairan pada Orang Dewasa

D.

Perubahan cairan tubuh


Perubahan cairan tubuh dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu :

1. Perubahan volume
a. Defisit volume
Defisit volume cairan ekstraselular merupakan perubahan cairan
tubuh yang paling umum terjadi pada pasien bedah. Penyebab paling
umum adalah kehilangan cairan di gastrointestinal akibat muntah,
dekompresi nasogastrik, diare dan drainase fistula. Penyebab lainnya dapat
berupa kehilangan cairan pada cedera jaringan lunak, infeksi, inflamasi
jaringan, peritonitis, obstruksi usus, dan luka bakar. Keadaan akut,
kehilangan cairan yang cepat akan menimbulkan tanda gangguan pada
susunan saraf pusat dan jantung.2
a) Dehidrasi
Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi
serum

dari

natrium

menjadi

isonatremik

(130-150

mEq/L),

hiponatremik (<139 mEq/L) atau hipernatremik (>150 mEq/L).


Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling sering terjadi (80%),
sedangkan dehidrasi hipernatremik atau hiponatremik sekitar 5-10%
dari kasus.8
Dehidrasi Isotonis (isonatremik) terjadi ketika kehilangan cairan
hampir sama dengan konsentrasi natrium terhadap darah. Kehilangan

cairan dan natrium besarnya relatif sama dalam kompartemen


intravaskular maupun kompartemen ekstravaskular. 8
Tabel 3. Tanda-tanda Klinis Dehidrasi

(Sumber : Ellsbury DL, George CS. 2006)


Dehidrasi hipotonis (hiponatremik) terjadi ketika kehilangan cairan
dengan kandungan natrium lebih banyak dari darah (kehilangan cairan
hipertonis). Secara garis besar terjadi kehilangan natrium yang lebih
banyak dibandingkan air yang hilang. Karena kadar natrium serum rendah,
air

di

kompartemen

intravaskular

berpindah

ke

kompartemen

ekstravaskular, sehingga menyebabkan penurunan volume intravaskular.8


Dehidrasi hipertonis (hipernatremik) terjadi ketika kehilangan
cairan dengan kandungan natrium lebih sedikit dari darah (kehilangan
cairan hipotonis). Secara garis besar terjadi kehilangan air yang lebih
banyak dibandingkan natrium yang hilang. Karena kadar natrium tinggi,
air di kompartemen ekstraskular berpindah ke kompartemen intravaskular,
sehingga meminimalkan penurunan volume intravaskular.8

10

Tabel 4. Derajat Dehidrasi

(Sumber : Ellsbury DL, George CS. 2006)


Terapi

untuk

dehidrasi

(rehidrasi)

dilakukan

dengan

mempertimbangkan kebutuhan cairan untuk rumatan, defisit cairan dan


kehilangan cairan yang sedang berlangsung. Beberapa pendekatan
terangkum dalam tabel 5.
Tabel.5 Rumatan cairan menurut rumus Holliday-Segar

(Sumber : Ellsbury DL, George CS. 2006)


Strategi untuk rehidrasi adalah dengan memperhitungkan defisit
cairan, cairan rumatan yang diperlukan dan kehilangan cairan yang sedang
berlangsung disesuaikan8. Salah satu cara rehidrasi :
i.

Nilai status rehidrasi (sesuai tabel 4 di atas), banyak cairan yang


diberikan

ii.

Hitung cairan rumatan (M) yang diperlukan (untuk dewasa 40


cc/kgBB/24 jam atau rumus holliday-segar seperti untuk anak-anak)

iii.

Pemberian cairan :
6 jam I = D + M atau 8 jam I = D + M (menurut Guillot )

11

18 jam II = D + M atau 16 jam II = D + M (menurut


Guillot)
Untuk terapi cairan perioperatif dapat digunakan formula M O P,
dengan keterangan sebagai berikut9,10,11.
M : Maintenance, dapat dihitung menggunakan rumus Holyday Zegar
untuk anak-anak, dan rumus 421 untuk dewasa.
O : Prediksi cairan yang hilang selama operasi dapat dihitung dari

jenis operasi x BB.

Operasi kecil
: 4-6 ml x BB
Operasi sedang
: 6-8 ml x BB
Operasi besar
: 8-10 ml x BB
P : Lamanya puasa dihitung dari jumlah jam puasa x Maintenance
Perhitungan cairan menggunakan rumus :
Jam I

: M+O+P

Jam II-III

: M+O+P

Jam IV

: M+O

2. Kelebihan volume
Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi
akibat iatrogenik (pemberian cairan intravena seperti NaCl yang
menyebabkan kelebihan air dan NaCl ataupun pemberian cairan intravena
glukosa yang menyebabkan kelebihan air) ataupun dapat sekunder akibat
insufisiensi renal (gangguan pada GFR), sirosis, ataupun gagal jantung
kongestif2,3.
Kelebihan cairan intaseluler dapat terjadi jika terjadi kelebihan
cairan tetapi jumlah NaCl tetap atau berkurang.
3. Perubahan konsentrasi
a. Hiponatremia
Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi,
gangguan mental, letargi, iritabilitas, lemah dan henti pernafasan,
sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan timbul gejala kejang,
koma. Hiponatremia ini dapat disebabkan oleh euvolemia (SIADH,
12

polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare,


muntah, third space losses, diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis).
Keadaan ini dapat diterapi dengan restriksi cairan (Na+ 125 mg/L)
atau NaCl 3% sebanyak (140-X)xBBx0,6 mg dan untuk pediatrik 1,52,5 mg/kg2,3.
Koreksi hiponatremia yang sudah berlangsung lama dilakukan
scara perlahan-lahan, sedangkan untuk hiponatremia akut lebih agresif.
Untuk

menghitung

Na

serum

yang

dibutuhkan

dapat

menggunakan rumus2,3:
Na= Na 1 Na 0 x TBW
Na = Jumlah Na yang diperlukan untuk koreksi (mEq)
Na1 = 125 mEq/L atau Na serum yang diinginkan
Na0 = Na serum yang aktual
TBW = total body water = 0,6 x BB (kg)
b. Hipernatremia
Jika kadar natrium > 160 mg/L maka akan timbul gejala
berupa

perubahan

mental,

letargi,

kejang,

koma,

lemah.

Hipernatremi dapat disebabkan oleh kehilangan cairan (diare,


muntah, diuresis, diabetes insipidus, keringat berlebihan), asupan
air kurang, asupan natrium berlebihan. Terapi keadaan ini adalah
penggantian cairan dengan 5% dekstrose dalam air sebanyak {(X140) x BB x 0,6}: 140. 2,3
c. Hipokalemia
Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari
redistribusi akut kalium dari cairan ekstraselular ke intraselular
atau dari pengurangan kronis kadar total kalium tubuh. Tanda dan
gejala hipokalemia dapat berupa disritmik jantung, perubahan EKG
(QRS segmen melebar, ST segmen depresi, hipotensi postural,
kelemahan otot skeletal, poliuria, intoleransi glukosa. Terapi
hipokalemia dapat berupa koreksi faktor presipitasi (alkalosis,
hipomagnesemia, obat-obatan), infus potasium klorida sampai 10
mEq/jam (untuk mild hipokalemia ;>2 mEq/L) atau infus potasium

13

klorida sampai 40 mEq/jam dengan monitoring oleh EKG (untuk


hipokalemia berat;<2mEq/L disertai perubahan EKG, kelemahan
otot yang hebat).
Rumus untuk menghitung defisit kalium2,3:
K = K1 K0 x 0,25 x BB
K = kalium yang dibutuhkan
K1 = serum kalium yang diinginkan
K0 = serum kalium yang terukur
BB = berat badan (kg)
d. Hiperkalemia
Terjadi jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena
insufisiensi renal atau obat yang membatasi ekskresi kalium
(NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin, diuretik). Tanda dan
gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat (parestesia,
kelemahan otot) dan sistem kardiovaskular (disritmik, perubahan
EKG). Terapi untuk hiperkalemia dapat berupa intravena kalsium
klorida 10% dalam 10 menit, sodium bikarbonat 50-100 mEq
dalam 5-10 menit, atau diuretik, hemodialisis2,3.
E.

Cairan Perioperatif
Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang

umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif,
perioperatif dan postoperatif2,3,9.
Faktor-faktor preoperative3,9 :
a. Kondisi yang telah ada
Diabetes mellitus, penyakit hepar, atau insufisiensi renal dapat
diperburuk oleh stres akibat operasi.
b. Prosedur diagnostik
Arteriogram atau pyelogram intravena yang memerlukan marker
intravena dapat menyebabkan ekskresi cairan dan elektrolit urin yang
tidak normal karena efek diuresis osmotik.
c. Pemberian obat

14

Pemberian obat seperti steroid dan diuretik dapat mempengaruhi


eksresi air dan elektrolit
d. Preparasi bedah
Enema atau laksatif dapat menyebabkan peningkatan kehilangan
air dan elekrolit dari traktus gastrointestinal.
e. Penanganan medis terhadap kondisi yang telah ada
f. Restriksi cairan preoperatif
Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa yang sehat
kehilangan cairan sekitar 300-500 mL. Kehilangan cairan dapat
meningkat jika pasien menderita demam atau adanya kehilangan
abnormal cairan.
g. Defisit cairan yang telah ada sebelumnya
Harus dikoreksi sebelum operasi untuk meminimalkan efek dari
anestesi. Dapat menyebabkan terjadinya hipotensi pada pasien dengan
hipovolemia preoperatif karena hilangnya mekanisme kompensasi
seperti takikardia dan vasokonstriksi.
h. Kehilangan darah yang abnormal
Kehilangan abnormal cairan ekstraselular

ke

third

space

(contohnya kehilangan cairan ekstraselular ke dinding dan lumen usus


saat operasi)
i. Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada
luka operasi yang besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan.
Faktor postoperatif3,9:
a. Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi
b. Peningkatan katabolisme jaringan
c. Penurunan volume sirkulasi yang efektif
d. Risiko atau adanya ileus postoperatif
Gangguan cairan, elektrolit dan asam basa yang potensial terjadi
perioperatif adalah3,9:
a. Hiperkalemia
b. Asidosis metabolik
c. Alkalosis metabolik
d. Asidosis respiratorik
e. Alkalosis repiratorik

15

F.

Patofisiologi
Trauma, pembedahan dan anestesi akan menimbulkan perubahan-

perubahan pada keseimbangan air dan metabolisme yang dapat berlangsung


sampai beberapa hari pasca trauma atau bedah. Perubahan-perubahan tersebut
terutama sebagai akibat dari3,9,11:
a.
b.
c.
d.

kerusakan sel di lokasi pembedahan


Kehilangan dan perpindahan cairan baik lokal maupun umum
Pengaruh puasa pra bedah, selama pembedahan dan pasca bedah
Terjadi peningkatan metabolisme, kerusakan jaringan dan

fase

penyembuhan
Perubahan yang terjadi meliputi perubahan-perubahan hormonal seperti3,9:
a.

Kadar adrenalin dan non adrenalin meningkat sampai hari ketiga pasca
bedah atau trauma. Sekresi hormon monoamin ini kebih meningkat lagi
bila pada penderita tampak tanda-tanda sepsi, syok, hipoksia dan

b.
e.

ketakutan.
Kadar glukagon dalam plasma juga meningkat
Sekresi hormon dari kelenjar pituitaria anterior juga mengalami
peningkatan yaitu growth hormone dan adrenocorticotropic hormone
(ACTH). Trauma atau stres akan merangsang hipotalamus sehingga
dikeluarkan corticotropin releasing factor yang merangsang kelenjar

pituitaria anterior untuk mensekresi ACTH.


a. Peningkatan kadar ACTH dalam sirkulasi menyebabkan glukokortikoid
plasma meningkat

sehingga timbul hiperglikemia,

peninggian kadar asma lemak.


b. Kadar hormon antidiuretik (ADH)

glikolisis

dan

mengalami peningkatan yang

berlangsung sampai hari ke 2-4 pasca bedah/trauma. Respon dari trauma


ini akan mengganggu pengaturan ADH yang dalam keadaan normal
banyak dipengaruhi oleh osmolalitas cairan ekstraseluler.
c. Akibat peningkatan ACTH, sekresi aldosteron juga meningkat. Setiap
penurunan volume darah atau cairan ektraseluler selalu menimbulkan
rangsangan untuk pelepasan aldosteron.
d. Kadar prolaktin juga meninggi terutama pada wanita dibandingkan dengan
laki-laki.

16

Derajat perubahan-perubahan tersebut di atas sangat bervariasi bagi setiap


individu tergantung dari beberapa faktor3,9,11:
a. rasa sakit dan kualitas analgesi dan rasa takut dan sedasi yang diberikan
b. komplikasi penyulit pasca bedah/trauma (syok, perdarahan, hipoksia atau
sepsis)
c. keadaan umum penderita
d. berat dan luasnya trauma
G.

Dasar-Dasar Terapi Cairan Elektrolit Perioperatif


Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan menjadi pegangan dalam

pemberian cairan perioperatif, yaitu:


a. Kebutuhan normal cairan dan elektrolit harian
Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari
dan

elektrolit

utama

Na+

=1-2

mmol/kgBB/haridan

K+

mmol/kgBB/hari. Secara umum kebutuhan cairan rumatan dapat dilihat


pada tabel 6. Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan yang hilang
akibat pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat (lewat kulit)
dan pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible water losses.
Cairan yang hilang ini pada umumnya bersifat hipotonus (air lebih banyak
dibandingkan elektrolit).3,9,11
b.

Defisit cairan dan elektrolit pra bedah


Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama pada
penderita bedah elektif (sektar 6-12 jam), kehilangan cairan abnormal
yang seringkali menyertai penyakit bedahnya (perdarahan, muntah,
diare, diuresis berlebihan, translokasi cairan pada penderita dengan
trauma), kemungkinan meningkatnya insensible water loss akibat
hiperventilasi, demam dan berkeringat banyak. Sebaiknya kehilangan
cairan pra bedah ini harus segera diganti sebelum dilakukan
pembedahan.3,9,11

c.

Kehilangan cairan saat pembedahan


a) Perdarahan
Secara teoritis perdarahan dapat diukur dari : botol
penampung darah yang disambung dengan pipa penghisap darah
(suction pump) dengan cara menimbang kasa yang digunakan

17

sebelum dan setelah pembedahan. Kasa yang penuh darah (ukuran


4x4 cm) mengandung 10 ml darah, sedangkan tampon besar
(laparatomy pads) dapat menyerap darah 100-10 ml. Dalam
prakteknya jumlah perdarahan selama pembedahan hanya bisa
ditentukan berdasarkan kepada taksiran (perlu pengalaman banyak)
dan keadaan klinis penderita yang kadang-kadang dibantu dengan
pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit berulang-ulang
(serial). Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit lebih
menunjukkan rasio plasma terhadap eritrosit daripada jumlah
perdarahan. Kesulitan penaksiran akan bertambah bila pada luka
operasi digunakan cairan pembilas (irigasi) dan banyaknya darah
yang mengenai kain penutup, meja operasi dan lantai kamar bedah.
3,9,11

b) Kehilangan cairan lainnya


Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan
yang lebih menonjol dibandingkan perdarahan sebagai akibat
adanya evaporasi dan translokasi cairan internal. Kehilangan cairan
akibat penguapan (evaporasi) akan lebih banyak pada pembedahan
dengan luka pembedahan yang luas dan lama. Sedangkan
perpindahan cairan atau lebih dikenal istilah perpindahan ke ruang
ketiga atau sequestrasi secara masif dapat berakibat terjadi defisit
cairan intravaskuler. Jaringan yang mengalami trauma, inflamasi
atau infeksi dapat mengakibatkan sequestrasi sejumlah cairan
interstitial dan perpindahan cairan ke ruangan serosa (ascites) atau
ke lumen usus. Akibatnya jumlah cairan ion fungsional dalam
ruang ekstraseluler meningkat. Pergeseran cairan yang terjadi tidak
dapat dicegah dengan cara membatasi cairan dan dapat merugikan
secara fungsional cairan dalam kompartemen ekstraseluler dan juga
dapat merugikan fungsional cairan dalam ruang ekstraseluler. 3,9,11
d.

Gangguan fungsi ginjal


Trauma, pembedahan dan anestesia dapat mengakibatkan3,9:

18

e. Laju Filtrasi Glomerular (GFR = Glomerular Filtration Rate)


menurun.
f. Reabsorbsi Na+ di tubulus meningkat yang sebagian disebabkan
oleh meningkatnya kadar aldosteron.
g. Meningkatnya kadar hormon anti diuretik (ADH) menyebabkan
terjadinya retensi air dan reabsorpsi Na+ di duktus koligentes
(collecting tubules) meningkat.
h. Ginjal tidak mampu mengekskresikan free water atau untuk
menghasilkan urin hipotonis.
I. Pengganti defisit Pra bedah
Kebutuhan cairan normal
Pemenuhan

kebutuhan

normal

cairan

adalah

untuk

menggantikan cairan yang normalnya keluar melalui ginjal,


saluran cerna, paru-paru dan keringat. Rata rata kebutuhan
cairan 30 40 mL/KgBB/24 jam. Bila pasien tidak dapat minum,
cairan diberikan melalui infus atau pipa lambung. Dalam
perhitungan pemberian cairan selain dihitung pemberian cairan,
juga dihitung kebutuhan elektrolit terutama natrium dan kalium.
Kebutuhan natrium harian yaitu 2-4 mEq/ kgBB/ hari sedangkan
kebutuhan

kalium 1-2 mEq/kgBB/hari. Pada hari pertama dan

kedua pasca bedah tidak diperlukan pemberian kalium kecuali


jika hasil laboratorium menunjukkan hipokalemia3,9,11.
Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa,
lavement) harus diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada masa
pra-bedah sebelum induksi. Setelah dari sisa defisit yang masih ada diberikan
pada jam pertama pembedahan, sedangkan sisanya diberikan pada jam kedua
berikutnya. Kehilangan cairan di ruang ECF ini cukup diganti dengan ciran
hipotonis seperti garam fisiologis, Ringer Laktat dan Dextrose. Pada penderita
yang karena penyakitnya tidak mendapat nutrisi yang cukup maka sebaiknya
diberikan nutrisi enteral atau parenteral lebih dini lagi. Penderita dewasa yang
dipuasakan karena akan mengalami pembedahan (elektif) harus mendapatkan

19

penggantian cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam lama puasa. Defisit karena


perdarahan atau kehilangan cairan (hipovolemik, dehidrasi) yang seringkali
menyertai penyulit bedahnya harus segera diganti dengan melakukan resusitasi
cairan atau rehidrasi sebelum induksi anestesi. 3,9,11
II. Terapi cairan intra operatif
Gangguan cairan pada kasus bedah umumnya menyangkut
kompartemen ekstra sel sehingga jenis cairan yang dipilih untuk
terapi harus merupai komposisi

cairan ekstra sel. Cairan

pengganti juga harus disesuaikan dengan komposisi cairan tubuh


yang hilang selama perawatan. Selama pembedahan, pemberian
cairan didasarkan pada (1) jumlah cairan untuk menggantikan
darah yang keluar yaitu cairan NaCl 0.9% atau ringer laktat
sebanyak lebih kurang 3 kali jumlah perdarahan, (2) perkiraan
defisit cairan yang belum sepenuhnya terkoreksi misalnya
(misalnya defisit cairan 5 liter, diberikan resusitasi cairan awal 3
liter dan kekurangan 2 liter dibagi menjadi: 1 liter diberikan
dalam 8 jam sedangkan 1 liter sisanya diberikan dalam 16 jam),
(3) cairan rumatan selama pembedahan bergantung pada jenis
operasinya, berkisar antara 2,5 mL/kg/jam (untuk operasi pada
superfisial) hingga 15 mL/kg/jam (untuk operasi pembukaan
rongga abdomen). 3,4,9,11
Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan
kebutuhan dasar ditambah dengan kehilangan cairan akibat pembedahan
(perdarahan, translokasi cairan dan penguapan atau evaporasi). Jenis cairan yang
diberikan tergantung kepada prosedur pembedahannya dan jumlah darah yang
hilang. 3,9,11
i.Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis misalnya
bedah mata (ekstrasi, katarak) cukup hanya diberikan cairan rumatan saja
selama pembedahan.
ii.Pembedahan dengan trauma ringan misalnya: appendektomi dapat
diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar

20

ditambah 4 ml/kgBB/jam untuk pengganti akibat trauma pembedahan.


Total yang diberikan adalah 6 ml/kgBB/jam berupa cairan garam seimbang
seperti Ringer Laktat atau Normosol-R.
iii.Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan sebanyak 2
ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar

ditambah 8 ml/kgBB/jam untuk

pembedahannya. Total 10 ml/kgBB/jam.


Tabel 6. Rates of Fluid Administration to Replace Third Space Losses

(Sumber : Hartanto WW, 2007)


e.

Penggantian darah yang hilang


Kehilangan darah sampai sekitar 20% EBV (EBV = Estimated Blood

Volume = taksiran volume darah), akan menimbulkan gejala hipotensi, takikardi


dan penurunan tekanan vena sentral. Kompensasi tubuh ini akan menurun pada
seseorang yang akan mengalami pembiusan (anestesi) sehingga gejala-gejala
tersebut seringkali tidak begitu tampak karena depresi komponen vasoaktif. 3,4,9
Tabel 7. Perkiraan volume darah

(Sumber : Guyton AC, Hall J.E. 2007)


Walaupun volume cairan intravaskuler dapat dipertahankan dengan larutan
kristaloid, pemberian transfusi darah tetap harus menjadi bahan pertimbangan
berdasarkan9,11:

21

a. Keadaan
b.
c.
d.
e.
f.

umum penderita (kadar Hb dan hematokrit) sebelum

pembedahan
Jumlah/penaksiran perdarahan yang terjadi
Sumber perdarahan yang telah teratasi atau belum.
Keadaan hemodinamik (tensi dan nadi)
Jumlah cairan kristaloid dan koloid yang telah diberikan
Kalau mungkin hasil serial pemeriksaan kadar hemoglobin dan

hematokrit.
g. Usia penderita
Sebagai patokan kasar dalam pemberian transfusi darah3,9,11:
-

1 unit sel darah merah (PRC = Packed Red Cell) dapat menaikkan kadar
hemoglobin sebesar 1gr% dan hematokrit 2-3% pada dewasa.

Transfusi 10 cc/kgBB sel darah merah dapat menaikkan kadar hemoglobin


3gr% Monitor organ-organ vital dan diuresis, berikan cairan secukupnya
sehingga diuresis 1 ml/kgBB/jam.

H. Terapi Cairan dan Elektrolit Pasca Bedah


Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah
ini3,4,9,11:
a.

Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi.


Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar
50 ml/kgBB/24 jam. Pada hari pertama pasca bedah tidak dianjurkan
pemberian kalium karena adanya pelepasan kalium dari sel/jaringan yang
rusak, proses katabolisme dan transfusi darah. Akibat stress pembedahan,
akan dilepaskan aldosteron dan ADH yang cenderung menimbulkan
retensi air dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca bedah tidak
perlu pemberian natrium.

Penderita dengan keadaan umum baik dan

trauma pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150 mg/hari


cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan dapat menekan
pemecahan protein sampai 50% kadar albumin harus dipertahankan
melebihi 3,5 gr%. Penggantian cairan pasca bedah cukup dengan cairan

22

hipotonis dan bila perlu larutan garam isotonis. Terapi cairan ini
berlangsung sampai penderita dapat minum dan makan.
b.

Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:

Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap


kenaikan 1C suhu tubuh

Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau


muntah.

Penderita

dengan

hiperventilasi

atau

pernapasan

melalui

trakeostomi dan humidifikasi.


c.

Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama


pembedahan yang belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr
%, sebaiknya diberikan transfusi darah untuk memperbaiki daya angkut
oksigen.

d. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan


tersebut. Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama meliputi
tekanan darah, frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter pupil,
jalan nafas, frekuensi nafas, suhu tubuh dan warna kulit.
PILIHAN JENIS CAIRAN
1. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF).
Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di
setiap pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan
alergi atau syok anafilaktik, penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama.
Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid)
ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit
volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar
20-30 menit. Heugman et al (1972) mengemukakan bahwa walaupun dalam
jumlah sedikit larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul
edema perifer dan paru serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan
edema jaringan luka, apabila seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9%.
Penelitian Mills dkk (1967) di medan perang Vietnam turut memperkuat penelitan

23

yang dilakukan oleh Heugman, yaitu pemberian sejumlah cairan kristaloid dapat
mengakibatkan timbulnya edema paru berat. 3,4,5
Larutan ringer laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak
digunakan untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang
hampir menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan
tersebut akan mengalami metabolisme dihati menjadi bikarbonat. Cairan
kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah nacl 0,9%, tetapi bila diberikan
berlebih dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional hyperchloremic
acidosis) dan menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida
karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih
banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka
kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitial.
Selain itu, pemberian cairan kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan edema
otak dan meningkatnya tekanan intra cranial. 3,4,5

Tabel 8. Komposisi Cairan Kristaloid

(Sumber : Hartanto WW, 2007)


2. Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut plasma
substitute atau plasma expander. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan
yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang
menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam)

24

dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid sering digunakan untuk
resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik atau
pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang
banyak (misal luka bakar). 3,4,5
Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:
a. Koloid alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5 dan
2,5%). Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60C selama 10 jam
untuk membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain
mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin.
Prekallikrein activators (Hagemans factor fragments) seringkali terdapat dalam
fraksi protein plasma dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab itu pemberian
infus dengan fraksi protein plasma seringkali menimbulkan hipotensi dan kolaps
kardiovaskuler. 3,4,5

Tabel 9. Jenis Cairan Koloid

25

(Sumber : Hartanto WW, 2007)


b. Koloid sintesis yaitu:
1. Dextran:
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70
(Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri
Leuconostoc mesenteroides B yang tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun
Dextran 70 merupakan volume expander yang lebih baik dibandingkan dengan
Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi
mikro karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas) darah. Selain itu Dextran
mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangi platelet adhesiveness,
menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran
darah. 3,4,5
Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross
match, waktu perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran
dapat menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan
memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu. 3,4,5
2. Hydroxylethyl Starch (Heta starch)

26

Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 1.000.000, ratarata 71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30 mmHg.
Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin
dalam waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga
dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat meningkatkan kadar serum
amilase (walau jarang). Low molecullar weight Hydroxylethyl starch (PentaStarch) mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5
kali volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya
sebagai plasma volume expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan
tidak mengganggu koagulasi maka Penta starch dipilih sebagai koloid untuk
resusitasi cairan pada penderita gawat. Kerugian dari plasma expander yaitu
mahal dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang) dan dapat
menyebabkan gangguan pada cross match. 3,4,5
3. Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul
rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Ada 3 macam gelatin,
yaitu:
- modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
- Urea linked gelatin
- Oxypoly gelatin
Merupakan

plasma expanders dan banyak digunakan pada penderita

gawat. Walaupun dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (jarang) terutama dari


golongan urea linked gelatin.

Tabel 10. Keuntungan dan Kerugian Jenis Cairan


Advantages

Kristalloid
Inexpensive

Koloid
More sustained intravascullar increase

Promotes urinary flow

(1/3 still intravascullar at 24 hr)

27

(intravascular volume)

Maintain plasma colloid oncotic

Fluid of choice for initial

pressure.

resuscitation of

Requires smaller volume for equal

trauma/hemorrhage.

effect

Expands intravascular

Less peripheral edema (more fluid

volume

remains intravascullar)

(1/4 volume given retained

May lower intracranial pressure

intravascularly)
Disadvantages

Restores third space losses


Dillutes colloid osmotic

Expensive

pressure

May produce coagulopathy (dextrans

Promotes peripheral edema

and helastarch)

Higher incidence of

With capilary leak may potentiate

pulmonary

fluid loss to the interstitium

edema

Impairs subsequent cross matching of

Requires large volume

bool (dextrans)

Effects are transient

Dilutes cloting factors and platelets


Platelets adhesiveness (absorption
onto platelet membrane receptor)
Potential blocking of renal tubules and
reticuloendhotelial cells in the liver.
Possible anaphylactoid reaction with
dextrans.

(Sumber : Hartanto WW, 2007)

LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
Nama
Umur
Jenis Kelamin

: Tn. M
: 28 Tahun
: Laki-laki
28

BB
Agama
Alamat

: 65 kg
: Islam
: Ds. Bale

B. ANAMNESIS
Riwayat Penyakit
1. Keluhan Utama
2. Riwayat penyakit sekarang

: bengkak pada buah zakar kiri


: pasien rujukan dari RSUD Undata

masuk dengan keluhan bengkak pada buah zakar kiri yang dialami
sejak beberapa jam sebelum masuk rumah sakit. Bengkak terasa nyeri
pada saat beraktifitas, berkurang ketika pasien beristirahat. Pasien juga
mengeluhkan nyeri perut dan tidak bisa buang angin semenjak
merasakan keluhan bengkak pada buah zakarnya selain itu pasien juga
mengalami mual dan muntah 3 kali, sejak kurang lebih 3 jam sebelum
masuk RS. BAB kurang lancar, BAK jarang. Selain hal tersebut, tidak
ada gangguan lain yang menyangkut keluhan pasien.
3. Riwayat penyakit dahulu
:
- Riwayat penyakit jantung disangkal
- Riwayat penyakit hati disangkal
- Riwayat penyakit asma disangkal
- Riwayat alergi obat disangkal
- Riwayat diabetes melitus disangkal
- Riwayat penyakit hipertensi disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan Umum
Kesadaran
Vital Sign
- TD
- Nadi
- RR
- Suhu
2. Pemeriksaan Kepala
- Mata

: Sedang
: Composmentis, GCS: E4V5M6
: 110/80 mmHg
: 60 x/menit
: 25 x/menit
: 36,8 C
: Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-,

refleks
-

Telinga
Hidung

(-),
Mulut

cahaya +/+, pupil isokor d= 3 mm


: discharge (-)
: Discharge (-), epistaksis (-), deviasi septum
: sianosis (-) bibir kering (+), pembesaran

29

3. Pemeriksaan leher

tonsil (-) skor Mallampati 1


simetris, tidak ada deviasi

trakea,

pembesaran kelenjar
getah bening (-)
Tiroid

: Tidak ada kelainan

4. Pemeriksaan Dada
a. Dinding dada/paru :
Inspeksi
:
Bentuk
:
simetris
Retraksi
:
Tidak ada
Palpasi
:
Vokal Fremitus kanan=kiri
Perkusi
:
Sonor kiri : kanan
Auskultasi
:
Suara Napas Dasar
: vesikuler +/+
Suara Napas Tambahan : Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
b. Jantung :
Inspeksi
:
Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
:
Ictus cordis teraba pada SIC
V linea
Perkusi
Auskultasi
Suara dasar
Bising

:
:
:
:

5.

midclavicula sinistra
Batas jantung normal
S1 dan S2 murni, regular
tidak ada

Abdomen :
Inspeksi : Bentuk Datar
Auskultasi : bising usus (+) kesan menurun
Perkusi
: Bunyi
: timpani
Asites
: (-)
Palpasi
: Nyeri tekan
: nyeri tekan epigastrium (+)
Hati
: tidak teraba
Lien
: tidak teraba
Ginjal
: tidak teraba
6. Ekstremitas : akral hangat, edem tidak ada, turgor melambat.
7. Genitalia : Tampak massa pada panggul yang mengarah ke skrotum

30

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Leukosit
Eritrosit
Hematokrit
Trombosit
Waktu
perdarahan/CT
Waktu
perdarahan/BT

KIMIA DARAH
Kreatinin
Ureum

Hasil

Rujukan

Satuan

15,9
11.500
5.0
46
193.000

L: 14-18, P: 12-16
4.000-12.000
L: 4.5-6.5 P: 3.9-5.6
L: 40-46 P: 35-47
150.000-450.000

g/dl
/mm3
Juta/ul
%
/mm3

5-11(Duke)

m.det

1-3 (ivy)

m.det

Hasil

Rujukan

Satuan

1,4
39

L: 0.9-1.3, P: 0.6-1.1
4.000-12.000

mg/dl
mg/dl

E. KESIMPULAN KONSUL ANESTESI


- Status fisik ASA II
- Observasi urin dan ttv
- Acc. Anestesi
F. LAPORAN ANESTESI PASIEN
a) Diagnosis pra-bedah

: Hernia inguinalis lateralis sinistra

susp. strangulata
b) Diagnosis post-bedah

: Hernia inguinalis lateralis sinistra

susp. strangulata
c) Jenis pembedahan
Persiapan anestesi

: Laparotomy
: informed consent
Puasa 8 jam sebelum operasi
Jenis anestesi
: Regional Anestesi
Premedikasi anestesi
: Ondansentron 4 mg
Sedacum 3 mg
Medikasi
: Decain 10.5 mg
Ketorolac 30 mg
Pemeliharaan anestesi
: O2 2 L/menit
Teknik anestesi
: Spinal, SAB L3-L4
Pasien dalam posisi tidur, memiringkan badan ke arah kiri,

lutut dan paha fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada.


Desinfeksi di regio L3-L4

31

Blok dengan jarum spinal no. 27 pada regio L3-L4


LCS keluar (+) jernih
Darah (-)
Barbotage (+)

Respirasi

: Spontan

Status Fisik

: ASA I

Induksi mulai

: 09.55 WITA

Operasi mulai

: 10.10

Lama operasi

: 1 jam 20 menit

Pasien puasa

: 8 jam

Tekanan darah dan frekuensi nadi


Pukul

Tekanan Darah (mmHg)

Nadi (kali/menit)

(WITA)
09.55
10.00
10.05
10.10
10.15
10.20
10.25
10.30
10.35

108/70
100/65
110/72
100/65
100/72
100/73
100/76
110/60
108/68

58
56
60
50
50
58
62
65
62

32

10.40
10.45
10.50
10.55
11.00
11.05
11.10
11.15
11.20
11.25
11.30

107/65
105/68
116/73
110/70
110/68
110/70
108/63
108/65
105/70
100/69
100/68

60
59
66
58
59
60
58
57
59
55
59

G. PENATALAKSANAAN PASCA PEMBEDAHAN


Perawatan bangsal
Masuk Tanggal
: 23 Januari 2015
Jam
: 11.50 WITA
Airway
: clear, mallampati 1
Breathing
: Spontan, vesikuler, Rh -/-, wh -/Circulation
: S1/S2 reguler murmur -/-, gallop -/Disability
: GCS: E4V5M6
Instruksi post operasi : observasi selama 24 jam
1. Monitoring kesadaran, tanda vital, dan keseimbangan cairan
2. Bed rest total 24 jam post op dengan bantal tinggi. Boleh miring kanan
kiri, tidak boleh duduk
3. Ukur TD dan N setiap 15 menit selama 1 jam. Bila TD <90 beri
efedrin dengan dosis bertahap mulai dari 5 mg sehingga menimbulkan
efek bisa N<50 ber SA 0,5 mg
4. Bila tidak ada mual boleh muinum sedikit-sedikit dengan sendok

33

PEMBAHASAN
Sebelum dilakukan operasi, dilakukan pemeriksaan pre-op yang meliputi
anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang untuk menentukan status fisik ASA
dan risiko operasi. Pada pasien ini termasuk ASA I. Pasien tidak mengalami
gangguan organik, fisiologik, biokemik, maupun psikiatri.
Jenis anestesi yang dipilih adalah regional anestesi cara spinal. Anestesi
spinal dengan blok saraf setinggi L3-L4. Bagian yang akan dioperasi pada pasien
adalah perut bagian bawah, hal tersebut merupakan salah satu indikasi
penggunaan anestesi jenis regional spinal.
Ondansentron 4 mg/2 ml diberikan sebagai premedikasi. Ondansentron
merupakan suatu antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang diindikasikan
sebagai pencegahan dan pengobatan mual dan muntah pasca bedah/POVN.
Analgetika yang diberikan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa
nyeri tanpa mempengaruhi susunan saraf pusat atau menurunkan kesadaran tidak
menimbulkan ketagihan. Obat yang digunakan pada pasien ini adalah ketorolac 30
mg, merupakan anti inflamasi non steroid (AINS) bekerja pada jalur oksigenasi
menghambat biosintesis prostaglandin dengan analgetik yang kuat secara perifer
atau sentral juga memiliki efek antiinflamasi dan piretik. Ketorolac dapat
mengatasi rasa nyeri ringan sampai berat. Mula kerja efek analgesia ketorolac
mungkin sedikit lebih lambat, namun lama kerjanya lebih oanjang dibanding
opioid. Efek analgesianya akan mulai terasa dalam pemberian IV/IM, lama
analgesik adalah 4-6 jam.
Selama anestesi berlangsung, pasien diberikan sedacum (midazolam) 3 mg
IV. Midazolam adalah obat dengan efek anxiolitik yang merupakan turunan dari
bemzodiazepin. Pemberian obat ini bertujuan untuk mengurangi kecemasan yang
dirasakan pasien menjelang operasi dan memberikan efek amnesia enterograde
sehingga pasien tidak trauma dengan tindakan operasi. Midazolam bekerja
mendepresi sistem saraf pusat termasuk formatio retikularis dan limbik, serta juga
meningkatkan GABA.

34

Induksi anestesi pada pasien ini menggunakan Decain 10.5 mg yang


diinjeksikan kedalam ruang subarachnoid kanalis spinalis region antara lumbal 34. Decain berisi bupivacain HCl anhydrous. Kerja bupivacain adalah menghambat
konduksi saraf yang menghantarkan impuls dari saraf sensoris.
1.

Pemberian cairan dilakukan berdasarkan perhitungan:


Rehidrasi
a. Menilai derajat dehidrasi (D) sesuai tabel 4
(D) = 6% x 65 x 1000 cc = 3900 cc
b. Menghitung cairan rumatan (M)
10 kg x 4cc
= 40 cc/jam
10 kg x 2cc
= 20 cc/jam
45kg x 1
= 45 cc/jam
Total
= 105 cc/jam
c. Pemberian Cairan:
8 jam pertama = Rehidrasi + M = 1950 + 105 = 2055 cc
pemberian dibagi menjadi 1 jam pertama 1000 cc (dapat
diulang maksimal 2 kali ketika tidak ada perbaikan) dan

2.

kemudian 7 jam kedua 1055 cc.


16 jam berikutnya diberikan cairan 1950 cc
Terapi cairan perioperatif dapat menggunakan formula M O P
M : Maintenance : 105 cc/jam
O : Prediksi cairan yang hilang selama operasi dapat dihitung dari

jenis operasi x BB.


Operasi besar
: 8 cc x 65 kg = 520 cc
P : Lamanya puasa dihitung dari jumlah jam puasa x Maintenance
8 jam x 105 cc = 840 cc
Perhitungan cairan menggunakan rumus :
Jam I

: M + O + P 105 + 520 + 420 = 1045 cc

Jam II-III

: M + O + P 105 + 520 + (420) = 730 cc

Jam IV

: M + O 105 + 520 = 635 cc

Kemudian setelah dilakukan operasi diketahui jumlah perdarahan yaitu 50


cc. Menurut perhitungan, perdarahan yang lebih dari 20% EBV harus dilakukan
tindakan transfusi darah. Pada pasien ini, perkiraan perdahan adalah 50 cc, dimana
EBVnya adalah 4550 cc jumlah perdarahan (%EBV) adalah 2.3 % sehingga tidak
diperlukan transfusi darah.
EBV laki-laki dewasa = 70 cc/kgBB = 65x70 = 4550 cc

35

Sehingga didapatkan jumlah perdarahan (%EBV) adalah


% EBV = 100/4200 x 100% = 2.3%
Untuk kebutuhan cairan dibangsal, perhitungannya adalah sebagai
berikut:
1. Kebutuhan cairan pasca bedah: 50 cc/kgBB/24jam = 3250/ 24 jam=
135 cc/jam
2. Jumlah tetesan yang diperlukan jika menggunakan infus 1 cc = 20 tetes
adalah 135/60 x 20 tetes = 45 tetes/menit.
Pasca operasi, penderita dibawa ke ruang pulih untuk diawasi secara
lengkap dan baik. Hingga kondisi penderita stabil dan tidak terdapat
kendala kendala yang berarti, kemudian di bawa ke bangsal Nangka
untuk perawatan lanjutan. Yang harus diperhatikan adalah:
a. Pasien tidur terlentang dengan bantal tinggi selama minimal 24 jam
pasca operasi
b. Jika pergerkan kaki dan sensasi nyeri pasien telah kembali, boleh
c.
d.
e.
f.
g.

minum / makan sedikit-sedikit.


Kontrol tekanan darah, nadi, respirasi setiap 1 jam
Cairan infus RL 45 tpm
Jika ada mual muntah diberikan anti emetik
Untuk analgetik pasca operasi diberikan ketroloac 300 mg/IV
Jika nadi <50 kali/menit berikan efedrin intravena dengan dosis
bertahap mulai 5 mg hingga memberikan efek.

DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton AC, Hall J.E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerjemah:
Rachman L.Y. et al. Edisi 11. EGC. Jakarta.
2. Pandey CK, Singh RB. 2003. Fluid and electrolyte disorders. Indian J.Anaesh.
47(5):380-387.

36

3. Hartanto WW. 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Bagian


Farmakologi Klinik dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran.
4. Latief AS, dkk. 2007. Petunjuk praktis anestesiologi: Terapi cairan pada
pembedahan. Ed. Ketiga. Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI.
5. Heitz U, Horne MM. 2005. Fluid, electrolyte and acid base balance. 5th ed.
Missouri: Elsevier-mosby. p3-227.
6. Mayer H, Follin SA. 2002. Fluid and electrolyte made incredibly easy. 2nd ed.
Pennsylvania: Springhouse. 3-189.
7. Lyon Lee. Fluid and Electrolyte Therapy. Oklahoma State University - Center
for

Veterinary

Health.

2006.

[http://member.tripod.com/~lyser/ivfs.htm

(online) diakses tanggal 22 September 2012].


8. Ellsbury
DL,
George
CS.
2006.

Dehydration.

eMed

J.

[http://www.emedicine.com/CHILD/topic925.htm (online) diakses pada 20


September 2012].
9. Sjamsuhidajat, R., De Jong, W. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:
EGC.
10. Woo A. 2007. An Introduction to Fluid Therapy. British Journal of Hospital
Medicine. April 2007. 68 (4).
11. Brandstrup B. 2006. Fluid Therapy for the Surgical Patient. J Elsevier. Best
Practice and Research Clinical Anastesiologi. 20 (2) : p 265-283
[http://www.journals.elsevierhealth.com/periodicals/ybean/article/PIIS152168
9605000807 (online) diakses pada 20 November 2013]

37

You might also like